Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN KASUS

SPINAL ANESTESI PADA OPERASI SECTIO CESAREA


Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik
di Bagian Anestesiologi
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa

Diajukan Kepada :
Pembimbing : dr. A. Setyo Heru, Sp.An
Disusun Oleh :
Aditya Nugraha

H2A011007

Billy Gustomo

H2A011012

Wendy Rachmadhany

H2A011048

Kepaniteraan Klinik Departemen Anestesiologi


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SEMARANG
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa

LEMBAR PENGESAHAN KOORDINATOR KEPANITERAAN


ANESTESIOLOGI

Presentasi kasus dengan judul :

SPINAL ANESTESI PADA OPERASI SECTIO CESAREA


Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik
di Bagian Anestesiologi
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa
Disusun Oleh:
Aditya Nugraha

H2A011007

Billy Gustomo

H2A011012

Wendy Rachmadhany

H2A011048

Telah disetujui oleh Pembimbing:


Nama pembimbing

dr. A. Setyo Heru, Sp.An

Tanda Tangan

.............................

Tanggal

.............................

Mengesahkan:
Koordinator Kepaniteraan Ilmu Anestesiologi

dr. A. Setyo Heru, Sp.An

BAB I
LAPORAN KASUS
A. Identitas Penderita
No. Register
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Alamat
Diagnosis pre operatif

: 101038
: Ny. LM
: 28 tahun
: Perempuan
: Kaliulo 6/6 Klepu Pringapus kab. semarang
: serotinus G2P1A0 40 minggu serotinus janin
tunggal hidup intrauterine in partu kala 1 fase
laten dengan KPD 16 jam dengan pre eklamsia

Diagnosis post-operatif

ringan
: Post Sectio Caesaria atas indikasi hamil

Macam Operasi
Macam Anestesi
Tanggal masuk

serotinus dengan pre eklamsia ringan


: Sectio Cesarea
: Regional anestesi
: 21 April 2016

B. Pemeriksaan Pra Anestesi


1. Anamnesa
a. Keluhan utama
: kenceng-kenceng
b. Riwayat Penyakit Sekarang
:
Seorang G1P1A0 usia 21 tahun, umur kehamilan 40 minggu dengan
keluhan keluar cairan ketuban sejak 16 jam yang lalu, mengalir terusmenerus, warna jernih, kenceng-kenceng 1x dalam 10 menit, lama 20
detik. Lendir (-), darah (-), gerakan janin masih dirasakan. Setelah di
USG didapatkan keterangan air ketuban sudah sedikit.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
A (Allergy)
: (-)
M (Medication) : (-)
P (Past illness)
: DM(-), HT (-), asma(-), penyakit jantung (-),
L (Last meal)
E (Exposure)
2. Pemeriksaan Fisik :
Keadaan Umum
Tensi
Nadi
Suhu Axiler

riwayat operasi (-)


: sudah mulai puasa 8 jam yang lalu
: pemeriksaan fisik
: Compos mentis dan gizi kesan cukup
: 140 / 100 mmHg
: 80 x / menit
: 35,9 C

Respirasi
Berat badan
Kepala
Mata
Hidung
Mulut
Telinga
Leher

: 18 x / menit
: 65 kg
: mesosefal
: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
: nafas cuping hidung (-), sekret (-)
: sianosis (-), gigi goyah/palsu (-), buka mulut >3cm
: sekret (-), pendengaran baik
: glandula thyroid tidak membesar, pembesaran
limponodi (-), JVP tidak meningkat, TMD > 6cm,

gerak bebas
Thorax
: retraksi (-),
Cor : I : Ictus cordis tidak tampak
P : Ictus cordis tidak kuat angkat
P : Batas jantung kesan tidak melebar
A: BJ I II intensitas N, reguler, bising (-)
Pulmo : I : Pengembangan dada kanan = kiri
P: Fremitus raba kanan = kiri
P: Sonor-sonor
A: Suara dasar vesikuler +/+, Suara tambahan -/Abdomen : I
A
P

: perut tampak membuncit membujur, tidak mengkilat,


venetasi (-), striae gravidarum, bundle ring (-)
: Bising usus (+) Normal, DJJ (+) 140x
: tympani (+)

: supel, NT (-) , Hepar dan Lien tidak teraba

Ekstremitas
: akral dingin (-), oedem(-), turgor kembali cepat
3. Pemeriksaan laboratorium :
Laboratorium Darah :
22/06/2015

Satuan

Hb

9,8 L

g/dl

Hct

30 L

Eritrosit

4,19

X 106/ uL

Leukosit

10,8

X 103/ uL

Trombosit 208

X 103/ uL

GD

CT

4:00

Detik

BT

1:00

Detik

HbsAg

GDS

75

Mg/dL

Ur

18,3

Mg/dl

Cr

0,53

Mg/dl

Protein

(-)

urin
4. Kesimpulan :
Seorang G1P0A0 usia 21 tahun, umur kehamilan 40 minggu dengan
keluhan keluar cairan ketuban sejak 16 jam yang lalu, mengalir terusmenerus, warna jernih, kenceng-kenceng 1x dalam 10 menit, lama 20
detik. Lendir (-), darah (-), gerakan janin masih dirasakan.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan : Vital Sign : tekanan darah
140/100 mmHg, nadi 80x/menit, respirasi rate 18x/menit, suhu axiller 35,9
o

C, BB 65 kg. Abdomen : perut membuncit membujur, sesuai dengan usia

kehamilan 40 minggu.
Pada pemeriksaan laboratorium darah didapatkan Hb 9,8 g/dl, Hct
30% AL 10,9.103 /l, GDS 75 mg/dl, ureum 18,3 mg/dl, creatinin 0,53
mg/dl.
Akan dilakukan Sectio Cesarea dengan anestesi.
Kelainan sistemik : (-), Kegawatan bedah : (-), Status fisik : ASA II.
C. Diagnosis kerja
serotinus G1P0A0 40 minggu janin tunggal hidup intrauterine in partu kala 1
fase laten dengan KPD 16 jam dengan pre eklamsia ringan
D. Rencana Anestesi
1. Persiapan Operasi
a. Persetujuan operasi tertulis (+)
b. Suhu tubuh pasien dibawah 38 C
c. Oksigenasi 3 L / menit
d. Puasa > 6 jam
e. Infus RL 20 tpm
2. Jenis Anestesi
: Regional anestesi
3. Teknik anestesi
: Anestesi spinal
4. Premedikasi
: Ondancentron 4 mg, Ranitidin 50 mg
5. Obat anestesi regional : Bupivakain 15 mg
6. Maintenance
: O2 2 L/menit
7. Monitoring
: tanda vital selama operasi tiap 15 menit, kedalaman
anestesi, cairan, perdarahan
8. Perawatan pasca anestesi di ruang pemulihan
E. Tata Laksana Anestesi
1. Di ruang persiapan

Periksa persetujuan operasi dan identitas penderita.


Pemeriksaan tanda-tanda vital :
T : 140/100 mmHg
N : 80 X/menit
R : 20 X/menit
t : 35,9C
- Cek obat dan alat anestesi.
- Infus RL 20 tts/menit
2. Di Ruang Operasi
- Jam 11.00 pasien masuk kamar operasi, manset dan monitor dipasang.
- Jam 11.15 mulai dilakukan anestesi spinal dengan prosedur sebagai
berikut:
a. Pasien diminta duduk dengan punggung fleksi maksimal.
b. Dilakukan tindakan antiseptis pada daerah kulit punggung bawah
pasien dengan menggunakan larutan Iodin dan alkohol
c. Menggunakan sarung tangan steril, pungsi lumbal dilakukan

dengan menyuntikkan jarum spinal no. 23 pada bidang median


dengan arah 10-30 derajat terhadap bidang horizontal ke arah
kranial pada ruang antar vertebra lumbal 4-5.
d. Setelah jarum sampai di ruang subarachnoid yang ditandai dengan

menetesnya cairan LCS, stilet dicabut dan disuntikkan bunascan


(bupivacain) 15 mg.
e. Lokasi penyuntikan ditutup dengan plester
f. Pasien dikembalikan pada posisi telentang. Oksigen 3 liter/menit.
- Jam 11.15 Infus wida HES 500 cc, pemberian ranitidin 15 mg
-

dan ondancetron 4 mg
Jam 11.20 operasi dimulai, tanda vital dimonitor.
Jam 11.25 pemberian oxytoxin 2 mg I.V dan metergin IV
Jam 11. 45 Infus wida HES diganti Ringer asetat 500 cc +

ketorolac 30 mg drip
Jam 12.00 operasi selesai, pasien dipindahkan ke ruang
pemulihan.

E. Monitoring Durante Operasi


Jam
11.15

Tensi
85/40

Nadi
100

SpO2
98%

Keterangan
Induksi bupivakain 15 mg dan Oksigen 3
L/menit, terpasang infuse HES di lengan

11.30
11.45

95/60
98/76

85
92

99%
99%

kiri, juga diberikan efedrin 15 mg I.V


pemberian oxytoxin I.V dan metergin IV
Infus HAES diganti ringer asetat 500 cc. +

12.00

119/70

84

100%

ketorolac 30 mg I.V drip


Operasi selesai

Jam 12.00 pasien di ruang pemulihan, posisi head up, diberi oksigen 3

lt/menit, tanda vital di monitor


Jam 12.10 pasien bisa menggerakkan kaki.
Jam 12.15 pasien dapat mengangkat kaki
Jam 12.20 pasien pindah bangsal.

G. Terapi cairan
a. Defisit cairan karena puasa 6 jam
(2cc/kgBB/jam) 2 x 65 x 6 = 780 cc
b. Kebutuhan cairan selama operasi sedang selama 1 jam
(4 cc/kgBB/jam) 4 x 65 x 1 = 240 cc
c. Perdarahan yang terjadi : darah suction 300 cc +5 kassa
(6x5cc=25cc)= 325 cc
EBV = 60 cc x 65 kg = 3900 cc
Estimasi kehilangan darah= 430cc /3900 cc *100%= 8,3%

Diganti dengan cairan kristaloid 3x 325 cc = 975 cc


d. Kebutuhan cairan total = 780 + 240+ 975 = 1995 cc
e. Cairan yang sudah diberikan
1. Pra operasi : 500 cc
2. Saat operasi : 1000 cc
Total cairan yang diberikan 1500 cc, jadi masih kurang 495 cc
sehingga pemberian cairan masih diperlukan saat pasien berada di
bangsal.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. BEDAH SESAR
Bedah sesar adalah suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan
melalui suatu insisi pada dinding depan perut dan dinding rahim dengan
syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram. Dalam
praktek obstetri modern, pada dasarnya tidak terdapat kontraindikasi untuk
dilakukan bedah sesar. Namun, bedah sesar jarang diperlukan apabila janin
sudah mati atau terlalu prematur untuk bisa hidup. Pengecualian untuk
pemerataan tersebut mencakup panggul sempit pada tingkatan tertentu di
mana persalinan pervaginam pada beberapa keadaan tidak mungkin
dilakukan, sebagian besar kasus plasenta previa, dan sebagian besar kasus
letak lintang kasep. 1,4,5.
Tabel 2.1 Keputusan untuk melakukan tindakan sectio caesaria 6
Sectio Caesaria berulang
Terjadwal
Gagal pervaginam
Distosia
Presentasi yang abnormal
Transverse
Presentasi bokong
Multiple gestasion
Fetal Distress
Riwayat penyakit ibu yang jelek
Preeklamsi
Penyakit jantung
Penyakit paru
Perdarahan
Plasenta previa

Placental abruption
Menurut Mochtar (2007), Pre Eklamsia Dibagi menjadi dua golongan,
yaitu :1
1) Pre-eklamsia ringan, bila disertai keadaan sebagai berikut
a. Tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih yang diukur pada posisi
berbaring terlentang: atau kenaikan diastolik 15 mmHg atau lebih;
atau kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih. Cara pengukuran
sekurang-kurangnya pada dua kali pemeriksaan dengan jarak 1
jam,sebaiknya 6 jam.
b. Edema umum, kaki jari tangan, dan muka, atau kenaikan berat
badan 1 kg per minggu.
c. Proteinuria kwantitatif 0,3 gr per liter,kwalitatif 1+ atau 2+ pada
urin kateter atau midstream.
2) Pre-eklamsia berat, bila disertai keadaan sebagai berikut :
a. Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih.
b. Proteinuria 5gr per liter.
c. Oliguria, yaitu jumlah urin kurang dari 500 cc per 24 jam.
d. Adanya gangguan serebral, gangguan visus, dan rasa nyeri di
epigastrium.
e. Terdapat edema paru dan sianosis.
Berdasarkan lokasi sayatan, section cesarea dibedakan menjadi:
1. Jenis klasik yaitu dengan melakukan sayatan vertikal sehingga
memungkinkan ruangan yang lebih besar untuk jalan keluar bayi. Akan
tetapi jenis ini sudah sangat jarang dilakukan saat ini karena sangat
berisiko terhadap terjadinya komplikasi.
2. Sayatan mendatar di bagian atas dari kandung kemih (segmen bawah
rahim) sangat umum dilakukan pada masa sekarang ini. Metode ini
meminimalkan risiko terjadinya pendarahan dan cepat penyembuhannya.
3. Histerektomi caesar yaitu bedah caesar diikuti dengan pengangkatan
rahim. Hal ini dilakukan dalam kasus-kasus dimana pendarahan yang sulit
tertangani atau ketika plasenta tidak dapat dipisahkan dari rahim.

4. Bentuk lain dari bedah caesar seperti bedah sesar ekstraperitoneal atau
bedah sesar Porro.
B. PERSIAPAN ANESTESI REGIONAL
Persiapan anestesi regional sama dengan persiapan GA karena untuk
mengantisipasi terjadinya toksik sistemik reaction yg bisa berakibat fatal,
perlu persiapan resusitasi. Misalnya: obat anestesi spinal/epidural masuk ke
pembuluh darah dan menimbulkan kolaps kardiovaskular sampai cardiac
arrest. Juga untuk mengantisipasi terjadinya kegagalan, sehingga operasi bisa
dilanjutkan dengan anestesi umum.8,9.
Daerah disekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan
kesulitan, misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung atau pasien
gemuk sekali sehingga tidak teraba tonjolan prosesus spinosus. Selain itu
harus pula dilakukan :
1. Informed consent
2. Pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan laboratorium anjuran
C. PREMEDIKASI
Premedikasi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Dengan
kemajuan teknik anestesi sekarang ini, tujuan utama pemberian premedikasi
tidak hanya untuk mempermudah induksi dan mengurangi jumlah obatobatan yang digunakan, akan tetapi sebagai persiapan anestesi terutama untuk
menenangkan pasien, menimbulkan rasa nyaman bagi pasien, menghilangkan
rasa khawatir atau cemas. Premedikasi dengan pemberian obat sedatif
menyebabkan penurunan aktivitas mental. Banyak ahli anestesiologi
berpendapat bahwa kantuk membebaskan rasa takut dan ketegangan emosi.
Dengan demikian hemodinamik pasien akan stabil. 1,7
Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis
pasien yang ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan
demikian maka pemilihan obat premedikasi yang akan digunakan harus selalu
dengan mempertimbangkan umur pasien, berat badan, status fisik, derajat
kecemasan,

riwayat

pemakaian

obat

anestesi

sebelumnya,

riwayat

hospitalisasi sebelumnya, riwayat penggunaan obat tertentu yang berpengaruh

terhadap jalannya anestesi, perkiraan lamanya operasi, macam operasi, dan


rencana anestesi yang akan digunakan. 1,7
Sesuai dengan tujuannya, maka obat-obat yang dapat digunakan sebagai
obat premedikasi dapat digolongkan seperti di bawah ini:
1. Narkotik analgetik, misal morfin, pethidin.
2. Transquillizer yaitu dari golongan Benzodiazepin, misal diazepam dan
midazolam
3. Barbiturat, misal pentobarbital, penobarbital, sekobarbital.
4. Antikolinergik, misal atropin dan hiosin.
5. Antihistamin, misal prometazine.
6. Antasida, misal gelusil
7. H2 reseptor antagonis, misal cimetidine
Karena khasiat obat premedikasi yang berlainan tersebut, dalam
pemakaian sehari-hari dipakai kombinasi beberapa obat untuk mendapatkan
hasil yang diinginkan, misalnya kombinasi narkotik, benzodiazepin, dan
antikolinergik. Sebaiknya obat-obat premedikasi dilakukan 30 menit sampai
60 menit sebelum induksi.1,7.
D. ANESTESI SPINAL
Anestesi spinal (intratekal, intradural, subdural, subarakhnoid) ialah
anestesi regional dengan tindakan penyuntikan obat anestesi lokal ke dalam
ruang subarakhnoid. Larutan anestesi lokal yang disuntikan pada ruang
subarachnoid akan memblok konduksi impuls syaraf. Terdapat tiga bagian
syarat yaitu motor, sensori dan autonom. Pada umumnya, serabut otonom dan
nyeri yang pertama kali diblok dan serabut motor yang terakhir. hal ini akan
memiliki timbal balik yang penting. Contohnya, vasodilatasi dan penurunan
tekanan darah yang mendadak mungkin akan terjadi ketika serabut otonom
diblok dan pasien merasakan sentuhan dan masih merasakan sakit ketika
tindakan pembedahan dimulai.1,8,9.
Untuk mencapai cairan serebrospinal, maka jarum suntik akan menembus
kutis subkutis lig. Supraspinosum lig. Interspinosum lig. Flavum
ruang epidural durameter ruang subarachnoid.

Medulla spinalis berada didalam kanalis spinalis dikelilingi oleh cairan


serebrospinal, dibungkus oleh meningens (duramater, lemak dan pleksus
venosus). Pada dewasa berakhir setinggi L1, pada anak L2 dan pada bayi L3.
Kelebihan pemakaian anestesi spinal, diantaranya biaya minimal,
kepuasan pasien, tidak ada efek pada pernafasan, jalan nafas pasien terjaga,
dapat dilakukan pada pasien diabetes mellitus, perdarahan minimal, aliran
darah splancnic meningkat, terdapat tonus visceral, jarang terjadi gangguan
koagulasi.11,12.
Sedangkan kekurangan pemakaian anestesi spinal akan menimbulkan
hipotensi, hanya dapat digunakan pada operasi dengan durasi tidak lebih dari
dua jam, bila tidak aseptik akan menimbulkan infeksi dalam ruang
subarachnoid dan meningitis, serta kemungkinan terjadi postural headache.6,13.
Indikasi dilakukannya anestesi spinal adalah bedah ekstremitas bawah,
bedah panggul, tindakan sekitar rektum-perineum, bedah obstetri ginekologi,
bedah urologi, bedah abdomen bawah3.
Kontraindikasi dilakukannya anestesi spinal dibagi menjadi kontra
indikasi absolut dan relatif:
1. Kontra indikasi absolut :
a.
b.
c.
d.

Pasien menolak untuk dilakukan anestesi spinal


Terdapat infeksi pada tempat suntikan
Hipovolemia berat sampai syok
Menderita
koagulopati
dan
sedang
antikoagulan

mendapat

terapi

e. Tekanan intrakranial yang meningkat


f. Fasilitas untuk melakukan resusitasi minim
g. Kurang berpengalaman atau tanpa konsultan anestesi
2. Kontra indikasi relatif :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.

Menderita infeksi sistemik ( sepsis, bakteremi )


Terdapat infeksi disekitar tempat suntikan
Kelainan neurologis
Kelainan psikis
Bedah lama
Menderita penyakit jantung
Hipovolemia
Nyeri punggung kronis.

Peralatan anestesi spinal:


1. Peralatan monitor, untuk memonitor tekanan darah, nadi, oksimeter denyut
dan EKG
2. Peralatan resusitasi /anestesia umum
3. Jarum spinal

Jarum pinsil (whitecare)

Jarum tajam (QuinckeBabcock)

Teknik analgesia spinal


Posisi duduk atau posisi tidur lateral decubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan diatas
meja operasi tanpa dipindahkan lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan

posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan


menyebabkan menyebarnya obat.
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien dalam posisi dekubitus lateral atau
duduk dan buat pasien membungkuk maksimal agar procesus spinosus
mudah teraba.
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua Krista iliaka dengan
tulang punggung ialah L4 atau L4-L5, tentukan tempat tusukan misalnya
L2-L3, L3-L4 atau L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau atasnya berisiko
trauma terhadap medulla spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine dan alcohol
4. Beri anestetik lokal pada tempat tusukan misalnya lidokain 1% 2-3ml.
5. Cara tusukan adalah median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar
22G, 23G, atau 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk jarum
kecil 27G atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum (introducer),
yaitu jarum suntik biasa semprit 10cc. Jarum akan menembus kutis,
subkutis,

ligamentum

supraspinosum,

ligamentum

interspinosum,

ligamentum flavum, ruang epidural, duramater dan ruang subarachnoid.


Setelah mandrin jarum spinal dicabutcairan serebrospinal akan menetes
keluar. Selanjutnya disuntikkan larutan obat analgetik lokal kedalam ruang
subarachnoid tersebut.

BAB IV
PEMBAHASAN
1. Permasalahan dari segi medik
Pada kasus hamil serotinus dengan ketuban pecah dini 16 jam dan
preeklamsia ringan dilakukan tindakan section caesaria karena bila
persalinan dibiarkan berlangsung sendiri tanpa pengambilan tindakan yang
tepat bisa menimbulkan bahaya terutama bagi janin yaitu meningkatkan
infeksi intrapartum.
Pada tindakan-tindakan bedah sesar umumnya dipilih anestesi regional sub
arachnoid block/spinal karena mempunyai banyak keuntungan seperti
kesederhanaan teknik, onset yang cepat, resiko keracunan sistemik yang
kecil, blok anestesi yang baik, pencegahan perubahan fisiologi dan
penanggulangannya

sudah diketahui dengan baik, analgesia dapat

diandalkan, sterilitas dijamin, pengaruh terhadap bayi sangat minimal, dapat


mengurangi kemungkinan terjadinya aspirasi, dan ibu dapat kontak
langsung dengan bayinya segera setelah melahirkan. Tetapi anestesi spinal
juga bukan tanpa risiko, risiko yang dapat terjadi seperti mual dan muntah
bisa terjadi pada anestesi spinal. Bradikardi, disritmia atau bahkan cardiac
arrest merupakan komplikasi yang bisa terjadi.
2. Permasalah Dari Segi Bedah
- kemungkinan perdarahan durante dan post operasi
- Iatrogenik (resiko kerusakan organ akibat pembedahan).
Dalam mengantisipasi hal tersebut, maka perlu dipersiapkan jenis dan teknik
anestesi yang aman

juga perlu dipersiapkan darah untuk mengatasi

perdarahan.
3. Permasalahan Dari Segi Anestesi
Pemberian Obat-obat anestesi:
1. Premedikasi : Ondancentron 4 mg, ranitidine 15 mg
2. Anestesi spinal : Bupivakain 15 mg
3. Maintenance : Oksigen 3 liter/menit.
4. Lain-lain: Oxytocin, metergin, efedrin, dan ketorolac
Ondancentron adalah suatu antagonis 5-HT3, diberikan dengan tujuan
mencegah mual dan muntah pasca operasi agar tidak terjadi aspirasi dan rasa tidak
nyaman. Menurut penelitian obat ini tidak teratogenik, dapat digunakan pada
kehamilan jika ada indikasi.

Penggunaan bupivakain dengan dosis 12,5 mg dikarenakan potensi


bupivakain sebagai analgetik lokal yang lebih kuat daripada lidokain, namun
tingkat toksisitasnya lebih tinggi. ED50 dan ED95 bupivakain adalah sebesar 7,6
mg dan 11 mg.18 Efek samping yang paling penting dan sering terjadi terutama
adalah hipotensi dan bradikardi. Beberapa peneliti menurunkan dosis bupivakain
dan menambahkan opioid lipofilik intratekal untuk mengurangi hipotensi dan
mempertahankan kualitas anestesia yang baik. Fentanil merupakan opioid lipofilik
yang banyak digunakan dan mudah didapat. Hunt dkk. menyebutkan bahwa
penambahan 6,25-50 mcg fentanil intratekal akan meningkatkan periode analgesia
perioperatif pada anestesia spinal dengan bupivakain hiperbarik, tetapi tidak
mempengaruhi onset hambatan sensorik dan motorik.15
Pemberian oxytoxin dan metergin bertujuan untuk mencegah perdarahan
lebih banyak dengan merangsang kontraksi pada uterus.
Pemberian vasopresor efedrin diberikan bila tekanan darah kurang dari
normal ini bertujuan menaikkan kontraksi miokard, curah jantung, tekanan darah
sampai 50%. Hal ini dapat mengurangi insidensi hipotensi sampai 24%. Tetapi
sering menimbulkan hipertensi postpartum karena efedrin bekerja sinergestik
dengan obat oksitoksik.
Pada kasus ini, yang dilakukan anestesi spinal terjadi penurunan tekanan
darah. Tekanan darah yang turun setelah anestesi spinal biasanya sering terjadi.
Jika tekanan darah sistolik turun di bawah 75 mmHg atau terdapat gejala-gejala
penurunan tekanan darah, maka harus cepat diatasi untuk menghindari timbulnya
syok yang menyebabkan gangguan perfusi transplasental, cedera ginjal, jantung
dan otak. Cara yang digunakan untuk mengatasi keadaan ini di antaranya dengan
memberikan oksigen, menaikkan kecepatan tetesan infuse, dan pemberian obatobatan.
Pada kasus ini terjadi defisit cairan sebanyak 2750 cc, ini diperoleh dari
kebutuhan cairan total ( terdiri dari : defisit cairan karena puasa 6 jam, kebutuhan
dasar selama operasi, kebutuhan operasi sedang dan kehilangan darah selama
operasi). Sedangkan cairan yang masuk sebanyak 1500 cc. Untuk mengatasi
defisit cairan ini maka diperlukan penambahan cairan saat pasien masuk bangsal.

DAFTAR PUSTAKA
1. Sarwono. Ilmu Kebidanan. Ed II. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka. 1999
2. Atkison, R.S., et al. A synopsis of Anasthaesia, 10 th
Publishing Ltd. Singapore. 1998.

edition. PG

3. Morgan, GE et al. Obstetric Anestesia Dalam: Clinical Anesthesiology 3 rd


ed. New York: Mc Graw Hill, 2005: 819-48
4. Cunningham FG, MacDonald PC, Gant NF; Terjemahan: Suyono J,
Hartono A. Obstetri Williams. Edisi 21 vol 2. Jakarta : EGC; 2005 ; p. 206,
375-91, 511-34, 595
5. Norris MC. Handbook of Obstetri Anaesthesia. Philadelphia : Wolters
Kluwer Company; 2000; p. 247-91
6. Chestnut DH. Obstetric Anesthesia Principles and Practice. 3rd Ed.
Mosby. Philadelphia. 2004.
7. Leksana E. Belajar Ilmu Anestesia. Edisi I. Semarang: Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro. 2004, hal:13-20.
8. Boulton TB, Blogg CE, Hewer CL. Anaesthethic for Medical Students.
Churchill Livingstone. London. 1989.
9. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi.
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI. Jakarta. 2001.
10. Cuningham FG, et al. Obstetri Williams. 21nd ed. Jakarta: EGC. 2005
11. Winkjosastro H. Ilmu Kebidanan. Edisi III. Jakarta: YBP-SP. 2007
12. Wee MYK, Brown H, Reynolds F. The National Institute of Clinical
Excellence (NICE) guidelinesfor caesarean sections: implications for the
anaesthetist. International Journal of Obstetric Anesthesia 2005; 14: p.
147-58.
13. Mojica JL, Melendez HJ, Bautista LE. The Timing of Intravenous
Crystaloid Administration and Incidence of Cardiovascular Side Eff ect
During Spinal Anesthesia: The Results from a Randomized Controlled
Trial. Anesth Analg 2002; 94: 432-7.

14. Morgan PJ. The Eff ect of Increasing Central Blood Volume to Decrease
the Incidence of Hypotension Following Spinal Anesthesia for Cesarean
Section. In Halpern SH, Douglas MJ. Evidence Based Obstetric
Anesthesia. Massacuse+ s: Blackwell Publishing, Inc; 2005, 89-100.
15. Mcllroy DR, Karasch ED. Acute Intravascular Volume Expansion with
Rapidly Administered Crystalloid or Colloid in the Setting of Moderate
Hypovolemia. Anesth Analg 2003; 96: 1572-7.
16. Ginosar Y, Mirikatani E, Drover DR, Cohen SE, Riley ET. ED50 and
ED95 of intrathecal hyperbaric bupivacaine coadministered with opioid in
cesarean delivery. Anesthesiology 2004;100:676-82.
17. Hunt CO, et al. Perioperative analgesia with subarachnoid fentanylbupivacaine for cesarean section. Anesthesiology 1999;71:535-40.

Anda mungkin juga menyukai