Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Jumlah

penderita

gangguan

jiwa

di

Indonesia

terus

meningkat. Meningkatnya pasien gangguan kesehatan jiwa ini


karena dipicu oleh masalah ekonomi, stress sosial, trauma
bencana, dan korban kejahatan (Dharmono, 2009). Survei lain
juga menunjukkan terjadinya peningkatan masalah gangguan jiwa
di Indonesia, yaitu menurut RS Grhasia Yogyakarta dan RS Sardjito
Yogyakarta, dimana klien gangguan jiwa terus bertambah sejak
tahun

2002

yang

lalu.

Pada

tahun

2003 saja

bertambah

jumlahnya mencapai 7.000 orang. Sedangkan pada tahun 2014


naik

menjadi

10.610

orang.

Sebagian

dari

klien

hanya

mendapatkan penanganan rawat jalan saja dan klien yang telah


mendapatkan penanganan rawat inap adalah sebanyak 678 orang
pada tahun 2003 dan meningkat menjadi 1.314 orang pada tahun
2004 (Iyus Yosep, 2010: 29).
World Health Organization (WHO) tahun 2013

juga

menguatkan dengan survei terbarunya dari orang-orang dengan


gangguan

mental

yang

serius,

menunjukkan

bahwa

angka

kejadian gangguan jiwa antara 35% sampai 50% dari orang-orang


di negara-negara maju, dan antara 76% sampai 85% di negara
berkembang. Jadi, Negara berkembang sangat rentan mengalami
kasus gangguan jiwa termasuk Indonesia. Hasil Riskesdas (Riset
Kesehatan Dasar) 2013, prevalensi gangguan jiwa berat pada

penduduk Indonesia 1,7 per mil. Gangguan jiwa terbanyak di


Daerah Istimewa Yogyakarta, Aceh, Sulawesi Selatan, Bali, dan
Jawa Tengah. Artinya, Jawa Tengah termasuk 5 besar provinsi
dengan gangguan jiwa terbanyak. Disini penderita tidak lagi
didominasi masyarakat kelas bawah. Kalangan pejabat dan
masyarakat lapisan kelas menengah ke atas, juga tersentuh
masalah dalam kesehatan jiwanya (Yosep, 2009; Yosep, 2011).
WHO (2011) menyatakan bahwa gangguan jiwa atau
kondisi mental kronis dan parah yang mempengaruhi 26 juta
orang di seluruh dunia dan mengakibatkan cacat sedang atau
berat

pada

60%

berpenghasilan
menengah

dan

kasus.

rendah,
9

30

adalah

Lima

puluh

orang

negara,

11

berpenghasilan

negara-negara

yang
rendah

berpenghasilan

menengah atas menurut Bank Dunia. Sembilan negara-negara


terpilih mewakili persentase populasi berpenghasilan rendah dan
menengah negara terletak di daerah WHO enam: 11% di wilayah
Eropa ; 13% di wilayah Pasifik Barat; 16% di wilayah Afrika; 18%
di wilayah Amerika; 26% di wilayah Asia Tenggara, dan 57% di
kawasan Mediterania Timur.

Selain itu faktor lain

yang

mempengaruhi terjadinya peningkatan kasus pada gangguan


kesehatan jiwa di 9 negara terpilih tersebut

adalah kurangnya

informasi yang ada pada masyarakat sehingga banyak kalangan


masyarakat tidak mengetahui secara jelas tentang kesehatan jiwa
(Yosep, 2009; Yosep, 2011).

Dalam UU No. 3 tahun 1996 tentang keperawatan jiwa,


sudah dijelaskan bahwa Kesehatan jiwa adalah dimana kondisi
yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual, emosional
secara optimal dari seseorang dan perkembangan ini berjalan
selaras

dengan

orang

lain.

Kesehatan

jiwa

juga

didefinisikan sebagai merujuk pada penyesuaian diri


distress

dengan

eksternal

untuk

mengeraihkan
meminimalisir

sumber-sumber
ketegangan

dapat

terhadap

internal
(Antai

dan

Otong,

Psychiatric Nursing Biological and Behavioral Concept, 1995: 66)


dalam Iyus Yosep & Titin, (2014).
Rosdal, Textbook of Basic Nursing, (1999: 58) dalam Iyus
Yosep & Titin (2014) juga memberikan penjelasan tentang
kesehatan

jiwa

yaitu,

kemampuan

seseorang

untuk

mempertahankan keselarasan dalam pengendalain diri serta


terbebas dari stress yang serius dan
tumbuh berkembang.

kondisi jiwa yang terus

Dan menurut World Health Organization

(WHO) dalam Iyus Yosep & Titin (2014) kesehatan jiwa adalah
bukan

hanya

mengandung

tidak

ada

berbagai

gangguan
karakteristik

jiwa,

tetapi

yang

melainkan

positif

yang

menggambarkan keselarasan dan keseimbangan kejiwaan yang


mencerminkan kedewasaan kepribadiannya (Yosep, 2009; Yosep,
2011).
Ada beberapa karakteristik kesehatan jiwa yang meliputi
sikap yang positif terhadap diri sendiri, tumbuh dan berkembang
memiliki aktualitas diri, keutuhan, kebebasan diri , otonomi,

memiliki

persepsi

beradaptasi

sesuai

dengan

kenyataan

lingkungan,

dan

dan

kecakapan

jika

salah

dalam

satu

dari

karakteristik diatas terganggu atau tidak bisa mengendalikan


maka akan mengakibatkan terjadinya gangguan jiwa (Stuart &
Laraia). Gangguan jiwa meliputi gejala-gejala patologi dominan
yang berasal dari unsur psikis yang timbul secara menyeluruh.
Salah satu bentuk gangguan jiwa yang terdapat diseluruh dunia
adalah gangguan jiwa berat yaitu Skizofrenia (Yosep, 2009).
Skizofrenia
mempengaruhi

merupakan

suatu

penyakit

yang

fungsi otak. Bahwa bukti-bukti terkini tentang

serangan skizofrenia merupakan suatu hal yang melibatkan


banyak sekali faktor. Faktor-faktor itu meliputi perubahan struktur
fisik otak, perubahan struktur kimia otak, dan faktor genetik
( Nancy Andreansen, 2008). Dan menurut Melinda Herman (2008)
skizofrenia

adalah

sebagai

penyakit

neurologis

yang

mempengaruhi persepsi klien, cara berpikir, bahasa, emosi, dan


perilaku sosialnya.

Salah satu gejala umum skizofrenia yaitu

adanya halusinasi atau gangguan persepsi sensori. Stuart (2006 :


240) juga mengutarakan hal yang tidak jauh berbeda tentang
Skizofrenia

yaitu

suatu

penyakit

otak

persisten

yang

mengakibatkan perilaku psikotik pemikiran konkret, dan kesulitan


dalam memproses informasi, hubungan

interpersonal,

serta

memecahkan masalah. Skizofrenia begitu kompleks, mencangkup


bebarapa masalah yaitu

salah satunya adalah Halusinasi. Klien

dengan skizofrenia mempunyai gejala utama penurunan persepsi:


Halusinasi. Jenis halusinasi yang umum terjadi adalah halusinasi

pendengaran dan penglihatan. Gangguan halusinasi ini umumnya


mengarah pada perilaku yang membahayakan orang lain, klien
dan lingkungan ( Erlinafsiah 2010 : 88)
Menurut FKUI& WHO (2006: 22) halusinasi merupakan
salah satu gangguan jiwa dimana klien mengalami perubahan
persepsi sensori, yang merupakan sensasi palsu berupa suara,
penglihatan, pengecapan, perabaan dan penghirupan. Klien
merasakan

stimulus

yang

sebetulnya

tidak

ada.

Dan

dari

pendapat lain yang tidak jauh berbeda mengutarakan, Halusinasi


adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien mengalami
perubahan persepsi sensori, seperti merasakan sensasi palsu
berupa suara, penglihatan, pengecapan, dan perabaan. Klien
merasakan stimulus yang sebenarnya tidak ada. Halusinasi juga
dapat

didefinisikan

sebagai

terganggunya

persepsi

sensori

seseorang, dimana tidak terdapat stimulus. Tipe halusinasi yang


paling sering adalah halusinasi pendengaran (auditory-hearing
voices or sounds), penglihatan (Visual-seeing persons or things),
penciuman ( Olfactory-smelling odors), pengecapan ( Gustatoryexperiencing tastes), ( Varcarolis, 2006 : 393).
Yosep & Titin,(2014) mengatakan Halusinasi pendengaran
adalah jenis halusinasi yang paling banyak terjadi, diantaranya
seperti mendengar suara-suara, paling sering adalah suara
manusia

yang

menyuruh

untuk

melakukan

suatu

tindakan

( Varcarolis, Carson, shoemaker, 2006: 393). Respon klien


terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, perasaan
tidak aman, gelisah, dan bingung, perilaku merusak diri, kurang

perhatian,tidak mampu mengambil keputusan serta tidak dapat


membedakan keadaan nyata dan tidak nyata.
Faktor ekonomi dan faktor pendidikan, jika dibandingkan
dengan faktor- faktor yang lain ternyata memang menjadi salah
satu penyebab yang menyumbang banyak kontribusi dalam
peningkatan penderita gangguan jiwa di Dunia, dan khususnya
Indonesia. Penduduk Indonesia yang taraf hidup masyarakatnya
kebanyakan masih berada dalam taraf rendah memang memiliki
potensi yang besar terjadi peningkatan kasus gangguan jiwa yang
menurut WHO 2013 (World Health Organization), Indonesia dalam
setiap tahunnya selalu mengalami peningatan dalam kasus
gangguan jiwa. Kasus Skizofrenia adalah salah satu kasus yang
cukup populer di dalam dunia kesehatan jiwa di Indonesia, karena
hampir di setiap rumah sakit Jiwa di Indonesia Skizofrenia menjadi
jajaran kasus teratas yang sangat perlu mendapatkan perhatian
lebih dalam pengelolaannya, khususnya pada klien dengan
gangguan persepsi sensori: Halusinasi. Di Indonesia Jawa Tengah
termasuk 5 besar provinsi dengan gangguan jiwa terbanyak,
sehingga hari data-data di atas maka penulis tertarik untuk
mengambil masalah gangguan persepsi sensori: halusinasi di
Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soerojo Magelang.

b. Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum
Untuk

mendapatkan

gambaran

yang

nyata

tentang

penerapan proses keperawatan pada klien gangguan persepsi

sensori:

halusinasi

pendengaran

di

RSJ

Prof.

Dr.

Soerojo

Magelang.
2. Tujuan khusus
Secara khusus karya tulis ilmiah ini berguna bagi penulis
untuk:
a. Mengetahui

tentang

pengertian,

penyebab,

tanda

gejala pada klien gangguan persepsi sensori: halusinasi


pendengaran.
b. Melakukan

pengkajian

analisa

data,

merumuskan

masalah keperawatan, menetapkan pohon masalah,


menetapkan diagnosa keperawatan.
c. Menyusun

rencana

tindakan

keperawatan

untuk

memenuhi kebutuhan klien dan mengatasi masalah


klien.
d. Mengimplementasikan rencana tindakan keperawatan
yang nyata sesuai dengan diagnosa keperawatan yang
telah ditegakkan.
e. Menilai hasil (mengevaluasi) tindakan keperawatan
yang telah dilakukan.
f.

Mendokumentasikan

asuhan

keperawatan

dengan

gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran


pada klien Tn. P.
g. Menggali faktor pendukung, resiko penghambat dan
alternatif dalam perawatan klien dengan gangguan
persepsi sensori: Halusinasi pendengan.

h. Manfaat Penulisan
1. Bagi penulis
Hasil pengelolaan kasus ini sebagai sarana dan alat untuk
menambah

pengetahuan

dan

memperoleh

pengalaman

khususnya di bidang keperawatan jiwa dan memberikan


pengalaman nyata dalam melaksanakan pengelolaan kasus
pada klien dengan gangguan persepsi sensori : halusinasi
pendengaran secara ilmiah dalam rangka mengembangkan
diri.
2. Institusi pendidikan
Hasil pengelolaan kasus ini dapat digunakan sebagai
tambahan dan referensi bagi mata kuliah keperawatan jiwa.
Selain itu, hasil pengelolaan ini dapat digunakan sebagai
bahan referensi bagi mahasiswa lain yang akan mengambil
kasus yang serupa.
3. Instansi Rumah Sakit
Hasil pengelolaan kasus ini dapat digunakan sebagai
informasi tambahan bagi perawat di rumah sakit jiwa untuk
bahan masukan yang diperlukan dalam pelaksanaan praktik
pelayanan keperawatan jiwa khususnya halusinasi.
4. Bagi Masyarakat dan Keluarga
Hasil pengelolaan kasus ini dapat digunakan sebagai
sarana

informasi

dalam

memberikan

penanganan

dan

pengelolaan klien dengan gangguan jiwa khususnya bagi


keluarga

yang

mengalami

gangguan

jiwa

dan

dapat

memberikan dukungan atau motivasi kepada pasien dengan


gangguan jiwa khususnya halusinasi.

Anda mungkin juga menyukai