Anda di halaman 1dari 4

INTERAKSI OBAT DAN MAKANAN

Pendahuluan
Interaksi obat merupakan masalah penting yang mengakibatkan ribuan orang harus di rumah sakit di Amerika
Serikat setiap tahun. Penelitian selama satu tahun baru-baru ini disejumlah apotek menunjukkan bahwa hampir
satu dari 4 pasien yang mendapatkan resep pernah mengalami interaksi obat yang berarti pada suatu saat
tertentu dalam tahun tersebut. Interaksi demikian telah menimbulkan gangguan yang serius sehingga kadangkadang menyebabkan kematian. Yang lebih sering terjadi adalah interaksi yang meningkatkan toksisitas atau
turunya efek terapi pengobatan sehingga pasien tidak merasa sehat kembali atau tidak cepat sembuh
sebagaimana seharusnya (Harknoss, 1989).
Saat kita mendapatkan obat dari apotik, kita sering diberi tahu bahwa obat sebaiknya diminum sebelum atau
sesudah makan. Kita kadang tidak tahu, untuk apa sebenarnya hal tersebut harus dilakukan. Mengapa obat
tertentu harus diminum sebelum makan dan obat lainnya harus diminum sesudah makan. Hal itu sebenarnya
berkaitan dengan masalah interaksi obat, sebagai salah satu langkah unttuk menghindari terjadinya interaksi dari
suatu obat yang merugikan ( Lulukria, 2010).
Secara singkat dikatakan interaksi obat terjadi jika suatu obat mengubah efek obat yang lainnya. Kerja obat yang
diubah dapat menjadi lebih atau kurang efektif (Harknoss, 1989). Untuk mendapatkan efek obat harus
berinteraksi dengan reseptor tetapi adakalanya obat berinteraksi dengan faktor lain yang dapat meningkatkan
atau mengurangi efek dari obat tersebut, antara lain: faktor lingkungan, kondisi fisiologi tubuh, metabolisme
tubuh, farmakodinamik, farmakokinetik, dan makanan.
Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi interaksi obat. Pengaruh makanan terhadap
kerja obat masih sangat kurang. Karena itu, pada banyak bahan obat masih belum jelas bagaimana pengaruh
pemberian makanan pada saat yang sama pada kinetika obat. Pada sejumlah senyawa makanan menyebabkan
peningkatan, penundaan, dan penurunan absorbsi obat (Mutschler, 1999). Makanan dapat berikatan dengan
obat, sehingga mengakibatkan absorbsi obat berkurang atau lebih lambat. Sebuah contoh diskusi tentang
makanan yang berikatan dengan obat adalah interaksi tetrasiklin dengan produk-produk dari susu. Akibatnya
adalah penurunan konsentrasi tetrasiklin dalam plasma. Oleh karena adanya efek pengikatan ini, maka
tetrasiklin harus dimakan satu jam sebelum atau 2 jam sesudah makan dan tidak boleh dimakan dengan susu
(Hayes et al., 1996).
Jadi interaksi obat merupakan sarana bagi semua pihak. Pasien, dokter dan farmasis harus bekerjasama, untuk
upaya memaksimalisasi pemakiaan obat demi kepentingan pasien. Di era informasi yang serba cepat dan
mudah seperti sekarang ini, masyarakat mestinya semakin menyadari untuk menjadi mitra aktif dalam menjaga
pemeliharaan kesehatannya sendiri dan keluarga (Harknoss, 1989).
Interaksi Obat dan Makanan
Dasar yang menentukan apakah obat diminum sebelum, selama atau setelah makan tentunya adalah karena
absorpsi, ketersediaan hayati serta efek terapeutik obat bersangkutan, yang amat tergantung dari waktu
penggunaan obat tersebut serta adanya kemungkinan interaksi obat dengan makanan itu sendiri. Cukup banyak
usaha-usaha yang dilakukan untuk menyelidiki hal ini. Kemungkinan-kemungkinan yang menyebabkan dapat
terjadinya interaksi obat dengan makanan adalah :
Perubahan motilitas lambung dan usus, terutama kecepatan pengosongan lambung dari saat masuknya
makanan
Perubahan pH, sekresi asam serta produksi empedu
Perubahan suplai darah di daerah splanchnicus dan di mukosa saluran cerna
Dipengaruhinya absorpsi obat oleh proses adsorpsi dan pembentukan kompleks
Dipengaruhinya proses transport aktif obat oleh makanan
Perubahan biotransformasi dan eliminasi.
(Widianto, 1989)
Dari semua pengaruh ini, ada beberapa factor yang mempengaruhi interaksi obat dan makanan antara lain:
a. Pengosongan lambung
Pada kasus tertentu misalnya setelah pemberian laksansia atau penggunaan preparat retard, maka di usus
besarpun dapat terjadi absorpsi obat yang cukup besar. Karena besarnya peranan usus halus dalam hal ini,
tentu saja cepatnya makanan masuk ke dalam usus akan amat mempengaruhi kecepatan dan jumlah obat yang
diabsorpsi. Peranan jenis makanan juga berpengaruh besar di sini. Jika makanan yang dimakan mengandung
komposisi 40% karbohidrat, 40% lemak dan 20% protein maka walaupun pengosongan lambung akan mulai

terjadi setelah sekitar 10 menit. Proses pengosongan ini baru berakhir setelah 3 sampai 4 jam. Dengan ini
selama 1 sampai 1,5 jam volume lambung tetap konstan karena adanya proses-proses sekresi.
Tidak saja komposisi makanan, suhu makanan yang dimakanpun berpengaruh pada kecepatan pengosongan
lambung ini. Sebagai contoh makanan yang amat hangat atau amat dingin akan memperlambat pengosongan
lambung. Ada pula peneliti yang menyatakan pasien yang gemuk akan mempunyai laju pengosongan lambung
yang lebih lambat daripada pasien normal. Nyeri yang hebat misalnya migren atau rasa takut, juga obat-obat
seperti antikolinergika (missal atropin, propantelin), antidepresiva trisiklik (misal amitriptilin, imipramin) dan
opioida (misal petidin, morfin) akan memperlambat pengosongan lambung. Sedangkan percepatan
pengosongan lambung diamati setelah minum cairan dalam jumlah besar, jika tidur pada sisi kanan (berbaning
pada sisi kiri akan mempunyai efek sebaliknya,) atau pada penggunaan obat seperti metokiopramida atau
khinidin. Jelaslah di sini bahwa makanan mempengaruhi kecepatan pengosongan lambung, maka adanya
gangguan pada absorpsi obat karenanya tidak dapat diabaikan.
b. Komponen makanan
Efek perubahan dalam komponen-komponen makanan :
1. Protein (daging, dan produk susu)
Sebagai contoh, dalam penggunaan Levadopa untuk mngendalikan tremor pada penderita Parkinson. Akibatnya,
kondisi yang diobati mungkin tidak terkendali dengan baik. Hindari atau makanlah sesedikit mungkin makanan
berprotein tinggi (Harknoss, 1989).
2. Lemak
Keseluruhan dari pengaruh makan lemak pada metabolisme obat adalah bahwa apa saja yang dapat
mempengaruhi jumlah atau komposisi asam lemak dari fosfatidilkolin mikrosom hati dapat mempengaruhi
kapasitas hati untuk memetabolisasi obat. Kenaikan fosfatidilkolin atau kandungan asam lemak tidak jenuh dari
fosfatidilkolin cenderung meningkatkan metabolism obat (Gibson, 1991). Contohnya : Efek Griseofulvin dapat
meningkat.interaksi yang terjadi adalah interaksi yang menguntungkan dan grieseofluvin sebaiknya dimakan
pada saat makan makanan berlemak seperti daging sapi, mentega, kue, selada ayam, dan kentang goring
(Harkness, 1989).
3. Karbohidrat
Karbohidrat tampaknya mempunyai efek sedikit pada metabolism obat, walaupun banyak makan glukosa,
terutama sekali dapat menghambat metabolism barbiturate, dan dengan demikian memperpanjang waktu tidur.
Kelebihan glukosa ternyata juga mengakibatkan berkurangnya kandungan sitokrom P-450 hati dan
memperendah aktivitas bifenil-4-hidroksilase (Gibson, 1991). Sumber karbohidrat: roti, biscuit, kurma, jelli, dan
lain-lain (Harkness, 1989).
4. Vitamin
Vitamin merupakan bagian penting dari makanan dan dibutuhkan untuk sintesis protein dan lemak, keduanya
merupakan komponen vital dari system enzim yang memetabolisasi obat. Oleh karena itu tidak mengherankan
bahwa perubahan dalam level vitamin, terutama defisiensi, menyebabkan perubahan dalam kapasitas
memetabolisasi obat. Contohnya :
a. Vit A dan vit B dengan antacid, menyebabkan penyerapan vitamin berkurang.
b. Vit C dengan besi, akibatnya penyerapan besi meningkat.
c. Vit D dengan fenitoin (dilantin), akibatnya efek vit D berkurang.
d. Vit E dengan besi, akibatnya aktivitas vit E menurun.
(Harkness, 1989)
5. Mineral
Mineral merupakan unsur logam dan bukan logam dalam makanan untuk menjaga kesehatan yang baik. Unsur
unsure yang telah terbukti mempengaruhi metabolisme obat ialah: besi, kalium, kalsium, magnesium, zink,
tembaga, selenium, dan iodium. Makanan yang tidak mengandung magnesium juga secara nyata mengurangi
kandungan lisofosfatidilkolin, suatu efek yang juga berhubungan dengan berkurangnya kapasitas
memetabolisme hati. Besi yang berlebih dalam makanan dapat juga menghambat metabolisme obat. Kelebihan
tembaga mempunyai efek yang sama seperti defisiensi tembaga, yakni berkurangnya kemampuan untuk
memetabolisme obat dalam beberapa hal. Jadi ada level optimum dalam tembaga yang ada pada makanan
untuk memelihara metabolism obat dalam tubuh (Gibson, 1991).
c. Ketersediaan hayati
Penggunaan obat bersama makanan tidak hanya dapat menyebabkan perlambatan absorpsi tetapi dapat pula
mempengaruhi jumlah yang diabsorpsi (ketersediaan hayati obat bersangkutan). Penisilamin yang digunakan

sebagai basis terapeutika dalam menangani reumatik, jika digunakan segera setelah makan, ketersediaan
hayatinya jauh lebih kecil dibandingkan jika tablet tersebut digunakan dalam keadaan lambung kosong. Ini akibat
adanya pengaruh laju pengosongan lambung terhadap absorpsi obat (Gibson, 1991).
Interaksi antara obat dan makanan disini dapat dibagi menjadi :
1. Obat-obatan yang dapat menurunkan nafsu makan, mengganggu pengecapan dan mengganggu traktus
gastrointestinal atau saluran pencernaan.
2. Obat-obatan yang dapat mempengaruhi absorbsi, metabolisme dan eksresi zat Gizi
Obat dan penurunan nafsu makan
Efek samping obat atau pengaruh obat secara langsung, dapat mempengaruhi nafsu makan. Kebanyakan
stimulan CNS dapat mengakibatkan anorexia. Efek samping obat yang berdampak pada gangguan CNS dapat
mempengaruhi kemampuan dan keinginan untuk makan. Obat-obatan penekan nafsu makan dapat
menyebabkan terjadinya penurunan berat badan yang tidak diinginkan dan ketidakseimbangan nutrisi (Mahan,
2002).
Obat dan perubahan pengecapan atau penciuman
Banyak obat yang dapat menyebabkan perubahan terhadap kemampuan merasakan dysgeusia, menurunkan
ketajaman rasa hypodysgeusia. Gejala-gejala tersebut dapat mempengaruhi intake makanan. Obat-obatan yang
umum digunakan dan diketahui menyebabkan hypodysgeusia seperti: obat antihipertensi (captopril),
antriretroviral ampenavir, antineoplastik cisplastin, dan antikonvulsan phenytoin (Mahan, 2002).
Obat dan gangguan gastrointestinal
Obat dapat menyebabkan perubahan pada fungsi usus besar dan hal ini dapat berdampak pada terjadinya
konstipasi atau diare. Obat-obatan narkosis seperti kodein dan morfin dapat menurunkan produktivitas tonus otot
halus dari dinding usus. Hal ini berdampak pada penurunan peristaltik yang menyebabkan terjadinya konstipasi
(Lulukria, 2010).
Absorbsi
Interaksi dalam proses absorpsi dapat terjadi dengan berbagai cara misalnya,
- Perubahan (penurunan) motilitas gastrointestinal oleh karena obat-obat seperti morfin atau senyawa-senyawa
antikolinergik dapat mengubah absorpsi obat-obat lain.
- Kelasi yakni pengikatan molekul obat-obat tertentu oleh sen/.zyawa logam sehingga absorpsi akan dikurangi,
oleh karena terbentuk senyawa kompleks yang tidak diabsorpsi. Misalnya kelasi antara tetrasiklin dengan
senyawa-senyawa logam /berat akan menurunkan absorpsi tetrasiklin.
- Makanan juga dapat mengubah absorpsi obat-obat tertentu, misalnya: umumnya antibiotika akan menurun
absorpsinya bila diberikan bersama dengan makanan
(Grahame, 1985)
Obat-obatan yang dikenal luas dapat mempengaruhi absorbsi zat gizi adalah obat-obatan yang memiliki efek
merusak terhadap mukosa usus. Antineoplastik, antiretroviral, NSAID dan sejumlah antibiotik diketahui memiliki
efek tersebut. Mekanisme penghambatan absorbsi tersebut meliputi: pengikatan antara obat dan zat gizi (drugnutrient binding) contohnya Fe, Mg, Zn, dapat berikatan dengan beberapa jenis antibiotik; mengubah keasaman
lambung seperti pada antacid dan antiulcer sehingga dapat mengganggu penyerapan B12, folat dan besi; serta
dengan cara penghambatan langsung pada metabolisme atau perpindahan saat masuk ke dinding usus
(Lulukria, 2010).
Metabolisme
Interaksi dalam proses metabolisme dapat terjadi dengan dua kemungkinan, yakni
Pemacuan enzim (enzyme induction) suatu obat (presipitan) dapat memacu metabolisme obat lain (obat obyek)
sehingga mempercepat eliminasi obat tersebut. Obat-obat yang dapat memacu enzim metabolism obat disebut
sebagai enzyme inducer. Dikenal beberapa obat yang mempunyai sifat pemacu enzim ini yakni Rifampisin;
Antiepileptika: fenitoin, karbamasepin, fenobarbital.
Penghambatan enzim, Obat-obat yang punya kemampuan untuk menghambat enzim yang memetabolisir obat
lain dikenal sebagai penghambat enzim (enzyme inhibitor). Akibat dari penghambatan metabolisme obat ini
adalah meningkatnya kadar obat dalam darah dengans egala konsekuensinya, oleh karena terhambatnya proses
eliminasi obat. Obat-obat yang dikenal dapat menghambat aktifitas enzim metabolisme obat antara lain
kloramfenikol, isoniazid, simetidin, propanolol, eritromisin, fenilbutason, alopurinol,dan lain-lain.

(Grahame, 1985)
Obat-obatan dan zat gizi mendapatkan enzim yang sama ketika sampai di usus dan hati. Akibatnya beberapa
obat dapat menghambat aktifitas enzim yang dibutuhkan untuk memetabolisme zat gizi. Sebagai contohnya
penggunaan metotrexate pada pengobatan kanker menggunakan enzim yang sama yang dipakai untuk
mengaktifkan folat. Sehingga efek samping dari penggunaan obat ini adalah defisiensi asam folat (Lulukria,
2010).
Ekskresi
Obat-obatan dapat mempengaruhi dan mengganggu eksresi zat gizi dengan mengganggu reabsorbsi pada ginjal
dan menyebabkan diare atau muntah. Sehingga jika dirangkum, efek samping pemberian obat-obatan yang
berhubungan dengan gangguan GI (gastrointestinal) dapat berupa terjadinya mual, muntah, perubahan pada
pengecapan, turunnya nafsu makan, mulut kering atau inflamasi/ luka pada mulut dan saluran pencernaan, nyeri
abdominal (bagian perut), konstipasi dan diare. Efek samping seperti di atas dapat memperburuk konsumsi
makanan si pasien. Ketika pengobatan dilakukan dalam waktu yang panjang tentu dampak signifikan yang
memperngaruhi status gizi dapat terjadi (Bruyne, 2008).
DAFTAR PUSTAKA
Bruyne, L. K., et al., 2008, Nutrition and Diet Therapy, USA: Thompson.
Gibson, Gordon, 1991, Pengantar Metabolisme Obat, UI Press ; Jakarta.
Grahame, Smith DG et al., 1985, Oxford Textbook of Clinical Pharmacology and Drug Therapi, Pp.158-171,
Oxford University Press, Oxford.
Harkness, Richard, 1989, Interaksi Obat, Penerbit ITB: Bandung.
Hayes, Eveleyn et al., 1996, Farmakologi Pendekatan Proses Keperawatan, Penerbit Buku Kedokteran EGC:
Jakarta.
Mahan, L. K. and Escott-Stump, S, 2002, Krauses Food, Nutrition and Diet Therapy. USA: Elsevier.
Muttschler,Ernest, 1999, Dinamika Obat : Farmakologi dan Toksikologi, Penerbit ITB: Bandung.
Widianto, Mathilda ., 1989, Cermin Dunia Kedokteran, PT Temprint: Jakarta.
(Pramono; www.giziwebster.co.cc)

Anda mungkin juga menyukai