Sejarah Suram Ikhwanul Muslimin
Sejarah Suram Ikhwanul Muslimin
16 08:20]
Sejarah Suram Ikhwanul Muslimin
Bagian ke 1
Shufi, Syiah, Pluralisme, Mutazilah, dan lain-lain masing-masingnya jelas
berbeda. Namun apa jadinya jika semua kelompok menyimpang ini dijadikan
satu ? Jadilah ia Ikhwanul Muslimin (IM).
Gerakan Ikhwanul Muslimin yang mendominasi dakwah pergerakanpergerakan di Mesir, gaungnya tidak hanya terdengar di negeri asalnya.
Namun dakwah-nya telah mendunia, masuk ke penjuru-penjuru negeri di
hamparan bumi ini. Termasuk tanah air kita, Indonesia, meski tentu saja
dengan nama yang berbeda.
Pemikiran dan buku tokoh-tokoh mereka, semacam Hasan Al-Banna, Sayyid
Quthub, Said Hawwa, Fathi Yakan, Yusuf Al-Qardhawi, At-Turabi tersebar luas
dengan berbagai bahasa, sehingga sempat mewar-nai gerakan-gerakan
dakwah di berbagai negara.
Ikhwanul Muslimin, gerakan ini tidak bisa lepas dari sosok pendirinya, Hasan
Al-Banna. Dialah gerakan Ikhwanul Muslimin dan Ikhwanul Muslimin adalah
dia. Karismanya benar-benar tertanam di hati pengikut dan simpatisannya,
yang kemudian senantiasa mengabadikan gagasan dan pemikiran Al-Banna
di medan dakwah sepeninggalnya.
Untuk mengetahui lebih dekat hakikat gerakan ini, mari kita simak sejarah
singkat Hasan Al-Banna dan berdirinya gerakan Ikhwanul Muslimin.
Kelahirannya
Hasan Al-Banna dilahirkan pada tahun 1906 M, di sebuah desa bernama AlMahmudiyyah, yang masuk wilayah Al-Buhairah. Ayahnya seorang yang
cukup terkenal dan memiliki sejumlah peninggalan ilmiah seperti AlFathurrabbani Fi Tartib Musnad Al-Imam Ahmad Asy-Syaibani, beliau adalah
Ahmad bin Abdurrahman Al-Banna yang lebih dikenal dengan As-Saati.
Pendidikannya
Ia mulai pendidikannya di Madrasah Ar-Rasyad Ad-Diniyyah dengan
menghafal Al-Qur`an dan sebagian hadits-hadits Nabi serta dasar-dasar ilmu
bahasa Arab, di bawah bimbingan Asy-Syaikh Zahran seorang pengikut
tarekat shufi Al-Hashafiyyah. Al-Banna benar-benar terkesan dengan sifatsifat gurunya yang mendidik, sehingga ketika Asy-Syaikh Zahran
menyerahkan kepemimpinan Madrasah itu kepada orang lain, Hasan AlBanna pun ikut meninggalkan madrasah.
Selanjutnya ia masuk ke Madrasah Idadiyyah di Mahmudiyyah, setelah
berjanji kepada ayahnya untuk menyelesaikan hafalan Al-Qur`an-nya di
rumah. Tahun ketiga di madrasah ini adalah awal perkenalannya dengan
gerakan-gerakan dakwah melalui sebuah organisasi, Jumiyyatul Akhlaq AlAdabiyyah, yang dibentuk oleh guru matematika di madrasah tersebut.
Bahkan Al-Banna sendiri terpilih sebagai ketuanya. Aktivitasnya terus
berlanjut hingga ia bergabung dengan organisasi Manul Muharramat.
Kemudian ia melanjutkan pendi-dikannya di Madrasah Al-Muallimin Al-Ula di
kota Damanhur. Di sinilah ia berkenalan dengan tarekat shufi Al-Hashafiyyah.
Ia terkagum-kagum dengan majelis-majelis dzikir dan lantunan nasyid yang
didendangkan secara bersamaan oleh pengikut tarekat tersebut. Lebih
tercengang lagi ketika ia dapati bahwa di antara pengikut tarekat tersebut
ada guru lamanya yang ia kagumi, Asy-Syaikh Zahran. Akhirnya Al-Banna
bergabung dengan tarekat tersebut. Sehingga ia pun aktif dan rutin
mengamalkan dzikir-dzikir Ar-Ruzuqiyyah pagi dan petang hari. Tak
ketinggalan, acara maulud Nabipun rutin ia ikuti: Dan kami pergi
bersama-sama di setiap malam ke masjid Sayyidah Zainab, lalu melakukan
shalat Isya di sana. Kemudian kami keluar dari masjid dan membuat
barisan-barisan.
Pimpinan umum Al-Ustadz Hasan Al-Banna maju dan melantunkan sebuah
nasyid dari nasyid-nasyid maulud Nabi, dan kamipun mengikutinya secara
bersamaan dengan suara yang nyaring, membuat orang melihat kami, ujar
Mahmud Abdul Halim dalam bukunya. (Al-Ikhwanul Muslimun Ahdats
Shanaat Tarikh, 1/109)
Bagian 2
Di antara aktivitas selama bergabung dengan tarekat ini ialah pergi bersama
teman-teman setarekat ke kuburan, untuk mengingatkan mereka tentang
kematian dan hisab (perhitungan amal). Mereka duduk di depan kuburan
yang masih terbuka, bahkan salah seorang mereka terkadang masuk ke
liang kubur tersebut dan berbaring di dalamnya agar lebih menghayati
hakekat kematian nanti.
Pada akhirnya Al-Banna lulus dari Darul Ulum pada tahun 1927 M.
Usai pendidikannya di Darul Ulum, ia diangkat menjadi guru di daerah AlIsmailiyyah. Iapun mengajar di sekolah dasar selama 19 tahun. Sebelumnya,
ia datang ke daerah itu pada tanggal 19 September 1927 dan tinggal di sana
selama 40 hari untuk mempelajari seluk-beluk lingkungan tersebut. Ternyata,
ia dapati banyak terjadi perselisihan di antara masya-rakat, sementara ia
berkehendak agar dapat berkomunikasi, bergaul dengan semua pihak, dan
mempersatukannya. Usai berpikir panjang, akhirnya ia memutuskan untuk
menjauh dari semua kelompok yang ada dan berkonsentrasi mendakwahi
mereka yang berada di warung-warung kopi. Lambat laun dakwahnya-pun
tersebar dan semakin bertambah jumlah pengikutnya.
Pembentukan Gerakan Ikhwanul Muslimin
Pada bulan Dzulqadah 1347 H yang bertepatan dengan Maret 1928, enam
orang dari pengikutnya mendatangi rumahnya, membaiatnya demi beramal
untuk Islam dan sama-sama bersumpah untuk menja-dikan hidup mereka
untuk dakwah dan jihad. Dengan itu muncullah tunas pertama gerakan
Ikhwanul Muslimin. Selang empat tahun, dakwahnya meluas, sehingga ia
pindah ke ibukota Kairo, bersama markas besar Ikhwanul Muslimin. Dengan
bergulirnya waktu, jangkauan dakwah semakin lebar. Kini saatnya bagi AlBanna untuk mengajak anggotanya melakukan jihad amali. Dengan situasi
yang ada saat itu, ia membentuk pasukan khusus untuk melindungi
jamaahnya. Pada tahun 1942 M, Hasan Al-Banna menetapkan untuk
mencalonkan dirinya dalam pemilihan umum, tapi ia mencabutnya setelah
maju, karena ada ancaman dari Musthafa Al-Basya, yang waktu itu menjabat
sebagai pimpinan Al-Wizarah (Perdana Menteri, ed.). Dua tahun kemu-dian,
ia mencalonkan diri kembali, namun Inggris memanipulasi hasil pemilihan
umum.
Wafatnya
Pada tahun 1949 M, Al-Banna mendapat undangan gelap untuk hadir di
kantor pusat organisasi Jumiyyatusy Syubban Al-Muslimin beberapa saat
sebelum maghrib. Ketika ia hendak naik taksi bersama Abdul Karim Manshur,
tiba-tiba lampu penerang jalan tersebut dipadamkan. Bersamaan dengan itu
peluru-peluru beterbangan mengarah ke tubuhnya. Ia sempat dievakuasi
dengan ambulans. Namun karena pendarahan yang hebat, ajal
menjemputnya. Dengan itu, tertutuplah lembaran kehidupannya.
Bagian ke 3
Pandangan Umum terhadap Gerakan Ikhwanul Muslimin
Sekilas, dari sejarah singkat Hasan Al-Banna tampak jati diri gerakan yang
didirikannya. Namun itu tidak cukup untuk mengungkap lebih gamblang.
Untuk itu perlu kami nukilkan di sini beberapa kesimpulan yang didasari oleh
komentar Al-Banna sendiri atau tokoh-tokoh gerakan ini atau simpatisannya.
Pertama: Menggabung Kelompok-kelompok Bidah
Tentu pembaca tahu, bahwa bidah tercela secara mutlak dalam agama:
Semua bidah itu sesat. (HR. Muslim, Kitabul Jumah, no. 2002). Kata-kata
ini senantiasa Nabi Shalallahu 'alahi wa sallam ucapkan dalam pembukaan
khutbahnya. Bahkan Nabi juga katakan: Allah melaknati orang yang
Benarkah dua kelompok itu sama dan bersih dalam dua kalimat
syahadatTidakkah Al-Banna tahu, bahwa di antara kelompok Syiah ada
yang menuhankan Ali bin Abi ThalibTidakkah dia tahu bahwa Syiah
menuhankan imam-imam mereka, dengan menganggap mereka mengetahui
perkara-perkara ghaibTidakkah dia tahu bahwa di antara Syiah ada yang
meyakini bahwa Malaikat Jibril keliru menyampaikan risalah mestinya kepada
Ali, bukan kepada Nabi Sholallohu 'alaihi WasallamSeandainya hanya ini
saja (penyimpangan) yang dimiliki Syiah, mungkinkah didekatkan antara
keduanyaLebih-lebih dengan segudang kekafiran dan bidah Syiah.
Kedua: Lemahnya Al-Wala` dan Al-Bara`
Pembaca, tentu anda tahu bahwa Al-Wala` (loyalitas kepada kebenaran) dan
Al-Bara` (antipati terhadap kebatilan) merupakan prinsip penting dalam
agama kita, Islam.
Abu Utsman Ash-Shabuni (wafat 449 H) mengatakan: Dengan itu, (Ahlus
Sunnah) seluruhnya bersepakat untuk merendahkan dan menghinakan ahli
bidah, dan menjauhkan serta menjauhi mereka, dan tidak berteman dan
bergaul dengan mereka, serta mendekatkan diri kepada Allah dengan
menjauhi mereka (Aqidatussalaf Ashabil Hadits, hal 123, No 175)...
Bagian ke 4
Tauhid Al-Asma` dan Sifat, adalah salah satu dari tiga unsur penting dalam
ilmu-ilmu tentang Allah ta'ala. Intinya adalah mengimani nama-nama Allah
ta'ala dan sifat-sifat-Nya sebagaimana Allah ta'ala sebutkan dalam Al-Qur`an
atau Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam sebutkan dalam hadits yang shahih.
Aqidah Ahlussunnah dalam hal ini tergambar dalam jawaban Imam kota
Madinah saat itu, Al-Imam Malik bin Anas Al-Ashbuhi Rohimahullah, ketika
ditanya oleh seseorang: Allah naik di atas Arsy-Nya, bagaimana di atas itu ?
Dengan bercucuran keringat karena kaget, beliau menjawab: Naik di atas
itu diketahui maknanya. Caranya tidak diketahui. Iman dengannya adalah
wajib. Dan bertanya tentang itu adalah bidah
Ucapan Al-Imam Malik ini minimalnya mengandung empat hal:
1. Naik di atas itu diketahui maknanya: Demikian pula nama, sifat dan
perbuatan Allah yang lain seperti, murka, cinta, melihat, dan
sebagainya. Semuanya diketahui maknanya, dan semua itu dengan
bahasa Arab yang bisa dimengerti.
2. Tapi caranya tidak diketahui: yakni kaifiyyah, cara dan seperti apa
tidaklah diketahui, karena Allah ta'ala tidak memberitahukan perincian
tentang hal ini. Demikian pula sifat-sifat yang lain.
3. Iman dengannya adalah wajib: karena Allah memberitakannya dalam
Al-Qur`an dan Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam mengabarkan dalam
haditsnya yang shahih.
4. Dan bertanya tentang itu adalah bidah: yakni bertanya tentang tata
caranya dan seperti apa sifat-sifat tersebut adalah bidah, tidak pernah
dilakukan oleh generasi awal. Mereka beriman apa adanya, karena
Allah ta'ala tidak pernah memberitakan perincian tata caranya.
Berbeda dengan ahli bidah yang melakukan takyif yakni mereka-reka
kaifiyyah sifat tersebut, atau bertanya untuk mencari tahu dengan
pertanyaan: Bagaimana ? Dengan penjelasan di atas, maka ucapan
Hasan Al-Banna: Semua itu dengan makna yang tidak kita ketahui,
dan kita serahkan kepada Allah pengetahuan tentang ilmunya, adalah
ucapan yang menyelisihi kebenaran. Dan ini tentu bukan manhaj salaf.
Bahkan ini adalah manhaj Ahluttafwidh atau Al-Mufawwidhah, yang
menganggap ayat dan hadits tentang sifat-sifat Allah itu bagaikan
huruf muqaththaah, yakni huruf-huruf di awal surat seperti alif lam
mim, yang tidak diketahui maknanya.
Madzhab ini sangat berbahaya, yang konsekuensinya adalah menganggap
Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabatnya bodoh, karena
mereka tidak mengetahui makna ayat-ayat itu.
Oleh karenanya, Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa: Al-Mufawwidhah
termasuk sejahat-jahat ahli bidah. (lihat Dar`u Taarudhil Aql wan Naql
karya Ibnu Taimiyyah, 1/201-205, dinukil dari Al-Ajwibah Al-Mufidah, hal. 71).
Bukti lain, ia hadir di salah satu sarang kesyirikan terbesar di Mesir yaitu
kuburan Sayyidah Zainab, lalu memberikan wejangan di sana, tetapi sama
sekali tidak menyinggung kesyirikan-kesyirikan di sekitar kuburan itu (lihat
buku Qafilatul Ikhwan, 1/192).
Jika anda heran, maka akan lebih heran lagi ketika dia mengatakan: Dan
berdoa apabila diiringi dengan tawassul kepada Allah ta'ala dengan
perantara seseorang dari makhluk-Nya, adalah perbedaan pendapat yang
sifatnya furu (cabang) dalam hal tata cara berdoa dan bukan termasuk
perkara aqidah. (Majmu Rasa`il karya Al-Banna, hal. 270).
Bagian ke 5
mengaitkan
dengannya.
dengan
tata
cara
tertentu
dan
iltizam
(terus-menerus)
kami memahaminya dalam batas 20 prinsip yang kami ringkas seringkasringkasnya. (Majmu Rasa`il, karya Al-Banna, hal. 356)
Pembaca, haruskah seseorang berbaiat untuk membenarkan pemikiran AlBanna yang sedemikian rupa, seperti anda bacaHaruskah kita memahami
Islam seperti dia pahami, hanya berkutat pada 20 prinsip yang ia buat, itu
pun bila prinsip-prinsip itu benarAnehnya juga, ketika menyebutkan 38
kewajiban muslim berkaitan dengan baiat tersebut, salah satunya adalah:
Jangan berlebih-lebihan minum kopi, teh dan minuman-minuman sejenis
yang membuat susah tidur. (Majmu Rasa`il, karya Al-Banna, hal. 277,
dinukil dari Haqiqatud Dawah, karya Al-Hushayyin, hal. 80), namun dia tidak
menyinggung masalah pembenahan aqidah.
Pembaca yang saya muliakan, dari penjelasan di atas tentu anda merasakan,
bagaimana sosok Hasan Al-Banna begitu mewarnai corak gerakan yang ia
dirikan. Sekaligus anda dapat mengetahui betapa jauhnya gerakan ini dari
Ash-Shirathul Mustaqim, jalan yang digariskan Nabi Sholallohu 'alaihi
Wasallam dan kita diperintahkan menelusurinya serta berhati-hati dari
selainnya.
Lebih-lebih, gerakan ini juga, tidak kurang-kurangnya memuji musuh-musuh
Allah seperti,
1. Al-Khomeini, dan tokoh-tokoh Syiah yang lain,
2. Al-Marghini tokoh wihdatul wujud, memusuhi Muwahhidin, melakukan
pembunuhan pembunuhan kepada aparatur negara yang dianggap
merugikan dengan cara yang tidak syari, berdemo, melakukan kudeta
tanpa melalui prosedur syari, nasyid ala shufi dan sandiwara.
3. Dan betapa pengikutnya berlebihan dalam menyanjung Al-Banna
sampai menjulukinya Asy-Syahid (yang mati syahid), dan dengan yakin
salah satu di antara mereka mengatakan: Bahwa ia (yakni Hasan AlBanna) hidup di sisi Rabbnya dan mendapat rizki di sana. (lihat AlMaurid Al-Adzb Az-Zulal, karya An-Najmi hal. 206, 165, 208, 226, 229,
117, 228).
Padahal, Al-Imam Al-Bukhari menyebutkan sebuah bab dalam bukunya
Shahih Al-Bukhari berjudul: Tidak boleh dikatakan bahwa fulan adalah
syahid, lalu beliau sebutkan dalilnya. Beliau juga menyebutkan hadits
dalam bab lain: Bahwa Ummul Ala berkata: Utsman bin Mazhun dapat
bagian di rumah kami (setelah diundi), maka ketika ia sakit kami merawatnya. Tatkala wafat, aku katakan: Persaksianku atas dirimu wahai Abu
Sa`ib (Utsman bin Mazhun) bahwa Allah telah memuliakanmu. Maka Nabi
Selesai...