Anda di halaman 1dari 13

Fadhlul Islam Bandung, [27.06.

16 08:20]
Sejarah Suram Ikhwanul Muslimin
Bagian ke 1
Shufi, Syiah, Pluralisme, Mutazilah, dan lain-lain masing-masingnya jelas
berbeda. Namun apa jadinya jika semua kelompok menyimpang ini dijadikan
satu ? Jadilah ia Ikhwanul Muslimin (IM).
Gerakan Ikhwanul Muslimin yang mendominasi dakwah pergerakanpergerakan di Mesir, gaungnya tidak hanya terdengar di negeri asalnya.
Namun dakwah-nya telah mendunia, masuk ke penjuru-penjuru negeri di
hamparan bumi ini. Termasuk tanah air kita, Indonesia, meski tentu saja
dengan nama yang berbeda.
Pemikiran dan buku tokoh-tokoh mereka, semacam Hasan Al-Banna, Sayyid
Quthub, Said Hawwa, Fathi Yakan, Yusuf Al-Qardhawi, At-Turabi tersebar luas
dengan berbagai bahasa, sehingga sempat mewar-nai gerakan-gerakan
dakwah di berbagai negara.
Ikhwanul Muslimin, gerakan ini tidak bisa lepas dari sosok pendirinya, Hasan
Al-Banna. Dialah gerakan Ikhwanul Muslimin dan Ikhwanul Muslimin adalah
dia. Karismanya benar-benar tertanam di hati pengikut dan simpatisannya,
yang kemudian senantiasa mengabadikan gagasan dan pemikiran Al-Banna
di medan dakwah sepeninggalnya.
Untuk mengetahui lebih dekat hakikat gerakan ini, mari kita simak sejarah
singkat Hasan Al-Banna dan berdirinya gerakan Ikhwanul Muslimin.
Kelahirannya
Hasan Al-Banna dilahirkan pada tahun 1906 M, di sebuah desa bernama AlMahmudiyyah, yang masuk wilayah Al-Buhairah. Ayahnya seorang yang
cukup terkenal dan memiliki sejumlah peninggalan ilmiah seperti AlFathurrabbani Fi Tartib Musnad Al-Imam Ahmad Asy-Syaibani, beliau adalah
Ahmad bin Abdurrahman Al-Banna yang lebih dikenal dengan As-Saati.
Pendidikannya
Ia mulai pendidikannya di Madrasah Ar-Rasyad Ad-Diniyyah dengan
menghafal Al-Qur`an dan sebagian hadits-hadits Nabi serta dasar-dasar ilmu
bahasa Arab, di bawah bimbingan Asy-Syaikh Zahran seorang pengikut

tarekat shufi Al-Hashafiyyah. Al-Banna benar-benar terkesan dengan sifatsifat gurunya yang mendidik, sehingga ketika Asy-Syaikh Zahran
menyerahkan kepemimpinan Madrasah itu kepada orang lain, Hasan AlBanna pun ikut meninggalkan madrasah.
Selanjutnya ia masuk ke Madrasah Idadiyyah di Mahmudiyyah, setelah
berjanji kepada ayahnya untuk menyelesaikan hafalan Al-Qur`an-nya di
rumah. Tahun ketiga di madrasah ini adalah awal perkenalannya dengan
gerakan-gerakan dakwah melalui sebuah organisasi, Jumiyyatul Akhlaq AlAdabiyyah, yang dibentuk oleh guru matematika di madrasah tersebut.
Bahkan Al-Banna sendiri terpilih sebagai ketuanya. Aktivitasnya terus
berlanjut hingga ia bergabung dengan organisasi Manul Muharramat.
Kemudian ia melanjutkan pendi-dikannya di Madrasah Al-Muallimin Al-Ula di
kota Damanhur. Di sinilah ia berkenalan dengan tarekat shufi Al-Hashafiyyah.
Ia terkagum-kagum dengan majelis-majelis dzikir dan lantunan nasyid yang
didendangkan secara bersamaan oleh pengikut tarekat tersebut. Lebih
tercengang lagi ketika ia dapati bahwa di antara pengikut tarekat tersebut
ada guru lamanya yang ia kagumi, Asy-Syaikh Zahran. Akhirnya Al-Banna
bergabung dengan tarekat tersebut. Sehingga ia pun aktif dan rutin
mengamalkan dzikir-dzikir Ar-Ruzuqiyyah pagi dan petang hari. Tak
ketinggalan, acara maulud Nabipun rutin ia ikuti: Dan kami pergi
bersama-sama di setiap malam ke masjid Sayyidah Zainab, lalu melakukan
shalat Isya di sana. Kemudian kami keluar dari masjid dan membuat
barisan-barisan.
Pimpinan umum Al-Ustadz Hasan Al-Banna maju dan melantunkan sebuah
nasyid dari nasyid-nasyid maulud Nabi, dan kamipun mengikutinya secara
bersamaan dengan suara yang nyaring, membuat orang melihat kami, ujar
Mahmud Abdul Halim dalam bukunya. (Al-Ikhwanul Muslimun Ahdats
Shanaat Tarikh, 1/109)
Bagian 2
Di antara aktivitas selama bergabung dengan tarekat ini ialah pergi bersama
teman-teman setarekat ke kuburan, untuk mengingatkan mereka tentang
kematian dan hisab (perhitungan amal). Mereka duduk di depan kuburan
yang masih terbuka, bahkan salah seorang mereka terkadang masuk ke
liang kubur tersebut dan berbaring di dalamnya agar lebih menghayati
hakekat kematian nanti.

Al-Banna terus bergabung dengan tarekat tersebut sampai pada akhirnya ia


berbaiat kepada syaikh tarekat saat itu yaitu Asy-Syaikh Basyuni Al-Abd.
Jabir Rizq mengatakan: (Hasan Al-Banna) sangat berkeinginan mengambil
ajaran tarekat itu, sampai-sampai ia meningkat dari sekedar simpatisan ke
pengikut yang berbaiat. Sepeninggal Basyuni, Al-Banna berbaiat kepada
Asy-Syaikh Abdul Wahhab Al-Hashafi, pengganti pendiri tarekat tersebut. Ia
diberi ijazah wirid-wirid tarekat tersebut.
Dengan bangga Al-Banna mengungkapkan: Dan saya berteman dengan
saudara-saudara dari tarekat Al-Hashafiyyah di Damanhur. Saya rutin
mengikuti acara al-hadhrah di Masjid Taubah setiap malam Sayyid Abdul
Wahhab-pun datang, dialah yang memberikan ijazah di kelompok tarekat
Hashafiyyah Syadziliyyah, dan saya mendapat ajaran tarekat ini darinya. Ia
juga mem-beri saya wirid dan amalan tarekat itu.
Karena faktor tertentu, akhirnya kelompok tarekat ini mendirikan sebuah
organisasi, bernama Jumiyyah Al-Hashafiyyah Al-Khairiyyah yang diketuai
oleh teman lamanya, Ahmad As-Sukkari. Sementara Hasan Al-Banna menjadi
sekretarisnya. Al-Banna mengatakan: Di saat-saat ini, nampak pada kami
untuk mendirikan organisasi perbaikan yaitu Al-Jumiyyah Al-Hashafiyyah AlKhairiyyah, dan aku terpilih sebagai sekretarisnya Lalu dalam perjuangan
ini, aku menggantikannya dengan organisasi Ikhwanul Muslimin setelah itu.
Al-Banna menghabiskan waktunya di madrasah Al-Muallimin dari tahun
1920-1923 M. Di sela-sela masa itu, ia juga banyak membaca majalah AlManar yang diterbitkan oleh Muhammad Rasyid Ridha, salah seorang tokoh
gerakan Ishlahiyyah yang banyak dipengaruhi pemikiran Muta-zilah. Di sisi
lain, iapun suka mendatangi Asy-Syaikh Muhibbuddin Al-Khathib di
perpustakaan salafinya.
Al-Banna, ketika ingin melanjutkan pendidikannya ke Darul Ulum, sempat
bimbang antara melanjutkan atau menekuni dakwah dan amal. Ini
dikarenakan interaksinya dengan buku Ihya Ulumud-din. Namun
bermodalkan nasehat dari salah seorang gurunya, ia mantap untuk
melanjutkan pendidikan.
Ia akhirnya memutuskan melanjutkan pendidikannya di Darul Ulum. Di sini,
ia sangat giat membentuk jamaah-jamaah dakwah, sehingga di tengahtengah aktivitasnya tercetus dalam benaknya, ide untuk menjalin hubungan
dengan orang-orang yang duduk di warung-warung kopi dan di desa-desa
terpencil untuk mendak-wahi mereka.

Pada akhirnya Al-Banna lulus dari Darul Ulum pada tahun 1927 M.
Usai pendidikannya di Darul Ulum, ia diangkat menjadi guru di daerah AlIsmailiyyah. Iapun mengajar di sekolah dasar selama 19 tahun. Sebelumnya,
ia datang ke daerah itu pada tanggal 19 September 1927 dan tinggal di sana
selama 40 hari untuk mempelajari seluk-beluk lingkungan tersebut. Ternyata,
ia dapati banyak terjadi perselisihan di antara masya-rakat, sementara ia
berkehendak agar dapat berkomunikasi, bergaul dengan semua pihak, dan
mempersatukannya. Usai berpikir panjang, akhirnya ia memutuskan untuk
menjauh dari semua kelompok yang ada dan berkonsentrasi mendakwahi
mereka yang berada di warung-warung kopi. Lambat laun dakwahnya-pun
tersebar dan semakin bertambah jumlah pengikutnya.
Pembentukan Gerakan Ikhwanul Muslimin
Pada bulan Dzulqadah 1347 H yang bertepatan dengan Maret 1928, enam
orang dari pengikutnya mendatangi rumahnya, membaiatnya demi beramal
untuk Islam dan sama-sama bersumpah untuk menja-dikan hidup mereka
untuk dakwah dan jihad. Dengan itu muncullah tunas pertama gerakan
Ikhwanul Muslimin. Selang empat tahun, dakwahnya meluas, sehingga ia
pindah ke ibukota Kairo, bersama markas besar Ikhwanul Muslimin. Dengan
bergulirnya waktu, jangkauan dakwah semakin lebar. Kini saatnya bagi AlBanna untuk mengajak anggotanya melakukan jihad amali. Dengan situasi
yang ada saat itu, ia membentuk pasukan khusus untuk melindungi
jamaahnya. Pada tahun 1942 M, Hasan Al-Banna menetapkan untuk
mencalonkan dirinya dalam pemilihan umum, tapi ia mencabutnya setelah
maju, karena ada ancaman dari Musthafa Al-Basya, yang waktu itu menjabat
sebagai pimpinan Al-Wizarah (Perdana Menteri, ed.). Dua tahun kemu-dian,
ia mencalonkan diri kembali, namun Inggris memanipulasi hasil pemilihan
umum.
Wafatnya
Pada tahun 1949 M, Al-Banna mendapat undangan gelap untuk hadir di
kantor pusat organisasi Jumiyyatusy Syubban Al-Muslimin beberapa saat
sebelum maghrib. Ketika ia hendak naik taksi bersama Abdul Karim Manshur,
tiba-tiba lampu penerang jalan tersebut dipadamkan. Bersamaan dengan itu
peluru-peluru beterbangan mengarah ke tubuhnya. Ia sempat dievakuasi
dengan ambulans. Namun karena pendarahan yang hebat, ajal
menjemputnya. Dengan itu, tertutuplah lembaran kehidupannya.

Demikian sejarah ringkas Hasan Al-Banna bersama gerakan dakwah yang ia


dirikan.
Pembaca mungkin berbeda-beda dalam menanggapi sejarah tersebut, sesuai
dengan sudut pandang yang digunakan. Namun bila kita melihatnya dengan
kacamata syari, menimbangnya dengan timbangan Ahlus Sunnah, maka kita
akan mendapatinya sebagai sejarah yang suram. MengapaKarena kita
melihat, ternyata gerakan tersebut lahir dari sebuah sosok yang berlatar
belakang aliran shufi Hashafi dengan berbagai kegiatan bidahnya, seperti
baiat kepada syaikh tarekat dan kepada Al-Banna sendiri sebagai pimpinan
gerakan, amalan wirid-wirid Ruzuqiyyah yang diada-adakan, dzikir
berjamaah, maulud Nabi, ziarah-ziarah kubur dengan cara bidah sampai
pada praktek politik praktis di atas asas demokrasi. Gurunyapun campur
aduk, dari syaikh tarekat, seorang yang terpengaruh madzhab Mutazilah,
dan seorang yang berakidah salafi.
Warna-warni sosok pendiri tersebut sangat berpengaruh dalam menentukan
corak gerakan tersebut, sehingga warnanyapun tidak jelas, buram. Tidak
seperti Ash-Shirathul Mustaqim yang Nabi Shalallahu alaihi wa sallam
katakan: Aku tinggalkan kalian di atas yang putih bersih, malamnya seperti
siangnya. (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Abi Ashim, Al-Hakim, dishahihkan
oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Zhilalul Jannah no. 33)
Untuk melihat lebih dekat dan jelas buktinya mari kita simak pembahasan
berikutnya.

Bagian ke 3
Pandangan Umum terhadap Gerakan Ikhwanul Muslimin
Sekilas, dari sejarah singkat Hasan Al-Banna tampak jati diri gerakan yang
didirikannya. Namun itu tidak cukup untuk mengungkap lebih gamblang.
Untuk itu perlu kami nukilkan di sini beberapa kesimpulan yang didasari oleh
komentar Al-Banna sendiri atau tokoh-tokoh gerakan ini atau simpatisannya.
Pertama: Menggabung Kelompok-kelompok Bidah
Tentu pembaca tahu, bahwa bidah tercela secara mutlak dalam agama:
Semua bidah itu sesat. (HR. Muslim, Kitabul Jumah, no. 2002). Kata-kata
ini senantiasa Nabi Shalallahu 'alahi wa sallam ucapkan dalam pembukaan
khutbahnya. Bahkan Nabi juga katakan: Allah melaknati orang yang

melindungi bidah. (HR. Muslim, Kitabul Adhahi, Bab Tahrim Adz-Dzabh


Lighairillah, no. 5096). Yakni ridha terhadapnya dan tidak mengingkarinya.
Dan banyak lagi hadits yang lain.
Tapi anehnya, Al-Banna justru menaungi kelompok-kelompok bidah
sebagaimana dia sendiri ungkapkan: Sesungguhnya dakwah Ikhwanul
Muslimin adalah dakwah salafiyyah tarekat sunniyah hakekat shufiyyah
dan badan politik (Majmuah Rasa`il, hal. 122).
Ini menggambarkan usaha untuk mencampur antara al-haq dan al-bathil.
Dan ini adalah cara yang batil. Jika memang dakwahnya adalah salafiyyah
yang sesungguhnya dan itulah kebenaran tidak mungkin dipadukan dengan
shufiyyah dengan berbagai bidahnya dan praktek politik praktis yang
diimpor dari Barat. Karena prinsip ini, maka realita membuktikan bahwa:
Ratusan ribu manusia telah bergabung dengan kelompok Ikhwanul
Muslimin.
Mereka dari kelompok yang bermacam-macam, paham yang berbeda-beda.
Di antara mereka ada sekelompok Shufi yang menyangka bahwa kelompok
ini adalah Shufi gaya baru, demikian ungkap Muhammad Quthub dalam
bukunya Waqiuna Al-Muashir (hal. 405).
Bahkan dengan kelompok Syiah-pun berpelukan. Itu terbukti dengan usaha
Al-Banna untuk menyatukan antara Sunnah dengan Syiah, dan tak sedikit
anggota gerakan yang beraliran Syiah. Umar At-Tilmisani, murid Al-Banna
sekaligus pimpinan umum ketiga gerakan ini, mengungkapkan: Pada tahun
empat-puluhan seingat saya, As-Sayyid Al-Qummi, dan ia berpaham Syiah,
singgah sebagai tamu Ikhwanul Muslimin di markas besarnya. Dan saat itu
Al-Imam Asy-Syahid (Al-Banna) berusaha dengan serius untuk mendekatkan
antar berbagai paham, sehingga musuh tidak menjadikan perpecahan
paham sebagai celah, yang dari situ mereka robek-robek persatuan
muslimin.
Dan kami suatu hari bertanya kepadanya, sejauh mana perbedaan antara
Ahlus Sunnah dengan Syiah, maka ia pun melarang untuk masuk dalam
permasalahan semacam ini Kemudian mengatakan: Ketahuilah bahwa
Sunnah dan Syiah adalah muslimin, kalimat La ilaha illallah Muhammad
Rasulullah menyatukan mereka, dan inilah pokok aqidah. Sunnah dan Syiah
dalam hal itu sama dan sama-sama bersih. Adapun perbedaan antara
keduanya adalah pada perkara-perkara yang mungkin bisa didekatkan.
(Dzikrayat la Mudzakkirat, karya At-Tilmisani, hal. 249-250).

Benarkah dua kelompok itu sama dan bersih dalam dua kalimat
syahadatTidakkah Al-Banna tahu, bahwa di antara kelompok Syiah ada
yang menuhankan Ali bin Abi ThalibTidakkah dia tahu bahwa Syiah
menuhankan imam-imam mereka, dengan menganggap mereka mengetahui
perkara-perkara ghaibTidakkah dia tahu bahwa di antara Syiah ada yang
meyakini bahwa Malaikat Jibril keliru menyampaikan risalah mestinya kepada
Ali, bukan kepada Nabi Sholallohu 'alaihi WasallamSeandainya hanya ini
saja (penyimpangan) yang dimiliki Syiah, mungkinkah didekatkan antara
keduanyaLebih-lebih dengan segudang kekafiran dan bidah Syiah.
Kedua: Lemahnya Al-Wala` dan Al-Bara`
Pembaca, tentu anda tahu bahwa Al-Wala` (loyalitas kepada kebenaran) dan
Al-Bara` (antipati terhadap kebatilan) merupakan prinsip penting dalam
agama kita, Islam.
Abu Utsman Ash-Shabuni (wafat 449 H) mengatakan: Dengan itu, (Ahlus
Sunnah) seluruhnya bersepakat untuk merendahkan dan menghinakan ahli
bidah, dan menjauhkan serta menjauhi mereka, dan tidak berteman dan
bergaul dengan mereka, serta mendekatkan diri kepada Allah dengan
menjauhi mereka (Aqidatussalaf Ashabil Hadits, hal 123, No 175)...
Bagian ke 4
Tauhid Al-Asma` dan Sifat, adalah salah satu dari tiga unsur penting dalam
ilmu-ilmu tentang Allah ta'ala. Intinya adalah mengimani nama-nama Allah
ta'ala dan sifat-sifat-Nya sebagaimana Allah ta'ala sebutkan dalam Al-Qur`an
atau Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam sebutkan dalam hadits yang shahih.
Aqidah Ahlussunnah dalam hal ini tergambar dalam jawaban Imam kota
Madinah saat itu, Al-Imam Malik bin Anas Al-Ashbuhi Rohimahullah, ketika
ditanya oleh seseorang: Allah naik di atas Arsy-Nya, bagaimana di atas itu ?
Dengan bercucuran keringat karena kaget, beliau menjawab: Naik di atas
itu diketahui maknanya. Caranya tidak diketahui. Iman dengannya adalah
wajib. Dan bertanya tentang itu adalah bidah
Ucapan Al-Imam Malik ini minimalnya mengandung empat hal:
1. Naik di atas itu diketahui maknanya: Demikian pula nama, sifat dan
perbuatan Allah yang lain seperti, murka, cinta, melihat, dan
sebagainya. Semuanya diketahui maknanya, dan semua itu dengan
bahasa Arab yang bisa dimengerti.

2. Tapi caranya tidak diketahui: yakni kaifiyyah, cara dan seperti apa
tidaklah diketahui, karena Allah ta'ala tidak memberitahukan perincian
tentang hal ini. Demikian pula sifat-sifat yang lain.
3. Iman dengannya adalah wajib: karena Allah memberitakannya dalam
Al-Qur`an dan Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam mengabarkan dalam
haditsnya yang shahih.
4. Dan bertanya tentang itu adalah bidah: yakni bertanya tentang tata
caranya dan seperti apa sifat-sifat tersebut adalah bidah, tidak pernah
dilakukan oleh generasi awal. Mereka beriman apa adanya, karena
Allah ta'ala tidak pernah memberitakan perincian tata caranya.
Berbeda dengan ahli bidah yang melakukan takyif yakni mereka-reka
kaifiyyah sifat tersebut, atau bertanya untuk mencari tahu dengan
pertanyaan: Bagaimana ? Dengan penjelasan di atas, maka ucapan
Hasan Al-Banna: Semua itu dengan makna yang tidak kita ketahui,
dan kita serahkan kepada Allah pengetahuan tentang ilmunya, adalah
ucapan yang menyelisihi kebenaran. Dan ini tentu bukan manhaj salaf.
Bahkan ini adalah manhaj Ahluttafwidh atau Al-Mufawwidhah, yang
menganggap ayat dan hadits tentang sifat-sifat Allah itu bagaikan
huruf muqaththaah, yakni huruf-huruf di awal surat seperti alif lam
mim, yang tidak diketahui maknanya.
Madzhab ini sangat berbahaya, yang konsekuensinya adalah menganggap
Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabatnya bodoh, karena
mereka tidak mengetahui makna ayat-ayat itu.
Oleh karenanya, Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa: Al-Mufawwidhah
termasuk sejahat-jahat ahli bidah. (lihat Dar`u Taarudhil Aql wan Naql
karya Ibnu Taimiyyah, 1/201-205, dinukil dari Al-Ajwibah Al-Mufidah, hal. 71).
Bukti lain, ia hadir di salah satu sarang kesyirikan terbesar di Mesir yaitu
kuburan Sayyidah Zainab, lalu memberikan wejangan di sana, tetapi sama
sekali tidak menyinggung kesyirikan-kesyirikan di sekitar kuburan itu (lihat
buku Qafilatul Ikhwan, 1/192).
Jika anda heran, maka akan lebih heran lagi ketika dia mengatakan: Dan
berdoa apabila diiringi dengan tawassul kepada Allah ta'ala dengan
perantara seseorang dari makhluk-Nya, adalah perbedaan pendapat yang
sifatnya furu (cabang) dalam hal tata cara berdoa dan bukan termasuk
perkara aqidah. (Majmu Rasa`il karya Al-Banna, hal. 270).
Bagian ke 5

Tawassul (menjadikan sesuatu sebagai perantara untuk menyampaikan doa


kepada Allah) telah dibahas panjang lebar oleh ulama dan sangat erat
kaitannya dengan aqidah. Di antara tawassul itu ada yang sampai kepada
derajat syirik akbar, adapula yang bidah. Dari sisi ini, bisa pembaca
bandingkan antara nilai aqidah menurut para ulama dan menurut Hasan AlBanna.
Keempat: Menganggap Sepele Bidah dalam Agama
Sekilas telah anda ketahui tentang bahaya bidah yang Nabi Shalallahu
'alaihi wa sallam katakan: Sejelek-jelek perkara adalah perkara yang diadaadakan. (HR. Muslim, Kitabul Jumah, no. 2002).
Oleh karenanya, Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam berpesan: Dan jauhi oleh
kalian perkara-perkara baru (yakni dalam agama) karena semua bidah itu
sesat, dan semua kesesatan di neraka. (Shahih, HR. Abu Dawud dan AtTirmidzi).
Namun berbeda keadaannya dengan gerakan Ikhwanul Muslimin,
sebagaimana anda baca dalam sejarah ringkas Al-Banna. Berbagai macam
bidah ia kumpulkan, kelompok-kelompok bidah ia rangkul, acara bidah ia
datangi seperti maulud Nabi dan dzikir bersama dengan satu suara, bahkan
sebagian bacaannya mengandung aqidah wihdatul wujud. Tentu itu bukan
secara kebetulan, terbukti dengan penegasannya: Dan bidah idhafiyyah,
tarkiyyah, dan iltizam pada ibadah-ibadah yang bersifat mutlak adalah
perbedaan fiqih, yang masing-masing punya pendapat dalam masalah itu
(Majmu Rasa`il karya Al-Banna, hal. 270).
Ia hanya anggap bidah-bidah itu layaknya perbedaan fiqih biasa. Coba
bandingkan dengan wasiat Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam di atas.
Oleh karenanya, muncul kaidah mereka yang sangat populer: Kita saling
membantu pada perkara yang kita sepakati, dan saling mamaklumi
pada apa yang kita perselisihkan. Pada prakteknya, mereka saling
memaklumi dengan Syiah, Shufi yang ekstrim, bahkan Yahudi dan Nashrani,
apalagi ahli bidah yang belum sederajat dengan mereka.
Sedikit penjelasan terhadap ucapan Al-Banna, bidah idhafiyyah adalah
sebuah amalan yang pada asalnya disyariatkan, tapi dalam pelaksanaannya
ditambah-tambah dengan sesuatu yang bidah. Termasuk di dalamnya yaitu
sebuah ibadah yang mutlak, artinya tidak terkait dengan waktu, jumlah, tata
cara, atau tempat tertentu. Tetapi dalam pelaksanaannya, seseorang

mengaitkan
dengannya.

dengan

tata

cara

tertentu

dan

iltizam

(terus-menerus)

Contoh dzikir dengan ucapan La ilaha Illallah, dalam sebuah hadits


dianjurkan secara mutlak, tapi ada orang yang membatasi dengan jumlah
tertentu (500 kali, misalnya) dan beriltizam dengannya.
Bidah tarkiyyah, adalah meninggalkan sesuatu yang Allah halalkan atau
mubahkan dengan niat bertaqarrub, mendekatkan diri dan beribadah kepada
Allah dengan itu.
Contohnya adalah orang yang tidak mau menikah dengan tujuan semacam
itu, seperti yang dilakukan pendeta Nashrani dan sebagian muslimin yang
mencontoh mereka. (lihat Mukh-tashar Al-Itsham, hal. 11 dan 72)
Kelima: Baiat Bidah
Baiat adalah sebuah ibadah. Layak-nya ibadah yang lain, tidak bisa
dibenarkan kecuali dengan dua syarat: ikhlas dan sesuai dengan ajaran Nabi
Sholallohu 'alaihi Wasallam. Dalam sejarah Nabi dan para shahabatnya,
bahkan para imam Ahlus Sunnah setelah mereka, mereka tidak pernah
memberikan baiat kepada selain khalifah, imam, atau penguasa muslim.
Maka, sebagaimana dikatakan Said bin Jubair seorang tabiin: Sesuatu
yang tidak diketahui oleh para Ahli Badr (shahabat yang ikut Perang Badr),
maka hal itu bukan bagian dari agama. (Al-Fatawa, 4/5 dinukil dari Hukmul
Intima`, hal. 165).
Al-Imam Malik mengatakan: Sesuatu yang di masa shahabat bukan sebagai
agama, maka hari ini juga bukan sebagai agama. (Al-Fatawa, 4/5 dinukil dari
Hukmul Intima`, hal. 165).
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan ditanya tentang baiat, beliau menjawab: Baiat
tidak diberikan kecuali kepada waliyyul amr (penguasa) kaum muslimin.
Adapun baiat-baiat yang ada ini adalah bidah, dan merupakan akibat dari
adanya ikhtilaf (perselisihan). Yang wajib dilakukan oleh kaum muslimin yang
berada di satu negara atau satu kerajaan, hendaknya baiat mereka hanya
satu dan untuk satu pimpinan (Fiqh As-Siyasah As-Syar'iyah ha 28 dan
lihat Al Maurid Al 'adzab az zulal, Karya An Najmi hal 214).
Bagian ke 6

Sementara, Hasan Al-Banna sendiri berbaiat kepada syaikh tarekat shufi.


Dan ketika mendirikan gerakan ini, ia dibaiat oleh enam tunas gerakan ini,
bahkan Al-Banna menjadikan baiat sebagai unsur penting manhaj gerakan
Ikhwanul Muslimin.
Dia katakan: Wahai saudara-saudara yang jujur, rukun baiat kita ada
sepuluh, hafalkanlah:
1. Paham,
2. Ikhlas,
3. Amal,
4. Jihad,
5. Pengorbanan,
6. Taat,
7. Kokoh,
8. Konsentrasi,
9. Persaudaraan,
10.
Percaya. (Majmu Rasa`il, karya Al-Banna, hal. 268).
Untuk mengkaji kritis secara tuntas point-point itu tentu butuh berlembarlembar kertas. Namun cukup untuk mengetahui batilnya, bahwa rukun-rukun
baiat ini berdiri di atas asas baiat yang salah.
Sebagai tambahan, tahukah anda apa yang dimaksud ketaatan pada point
keenamSilahkan anda simak penuturan Al-Banna: Dan pada periode
kedua yaitu periode takwin (menyusun kekuatan), aturan dakwah dalam
periode ini adalah keshufian yang murni dari sisi rohani dan militer murni
dari sisi amal. Dan selalu, motto dua sisi ini adalah komando dan taat
tanpa ragu, bimbang, bertanya, segan. (Risalah Talim, karya Al-Banna, hal.
274).
Yakni taat komando secara mutlak, bagaikan mayat di hadapan yang
memandikan. Sedangkan Nabi saja, dalam baiat yang sah mensyaratkan
ketaatan dengan dua syarat:
1. Pada perkara yang sesuai syariat.
2. Sebatas kemampuan.
(lihat Al-Maurid Al-Adzb Az-Zulal, karya An-Najmi hal. 217).
Tahukah pula anda, apa yang dimaksud dengan paham pada point pertama ?
Mari kita simak penuturan sang imam ini: Hanyalah yang saya maukan
dengan paham ini, adalah engkau harus yakin bahwa pemikiran kami
adalah Islami dan benar, dan agar engkau memahami Islam sebagaimana

kami memahaminya dalam batas 20 prinsip yang kami ringkas seringkasringkasnya. (Majmu Rasa`il, karya Al-Banna, hal. 356)
Pembaca, haruskah seseorang berbaiat untuk membenarkan pemikiran AlBanna yang sedemikian rupa, seperti anda bacaHaruskah kita memahami
Islam seperti dia pahami, hanya berkutat pada 20 prinsip yang ia buat, itu
pun bila prinsip-prinsip itu benarAnehnya juga, ketika menyebutkan 38
kewajiban muslim berkaitan dengan baiat tersebut, salah satunya adalah:
Jangan berlebih-lebihan minum kopi, teh dan minuman-minuman sejenis
yang membuat susah tidur. (Majmu Rasa`il, karya Al-Banna, hal. 277,
dinukil dari Haqiqatud Dawah, karya Al-Hushayyin, hal. 80), namun dia tidak
menyinggung masalah pembenahan aqidah.
Pembaca yang saya muliakan, dari penjelasan di atas tentu anda merasakan,
bagaimana sosok Hasan Al-Banna begitu mewarnai corak gerakan yang ia
dirikan. Sekaligus anda dapat mengetahui betapa jauhnya gerakan ini dari
Ash-Shirathul Mustaqim, jalan yang digariskan Nabi Sholallohu 'alaihi
Wasallam dan kita diperintahkan menelusurinya serta berhati-hati dari
selainnya.
Lebih-lebih, gerakan ini juga, tidak kurang-kurangnya memuji musuh-musuh
Allah seperti,
1. Al-Khomeini, dan tokoh-tokoh Syiah yang lain,
2. Al-Marghini tokoh wihdatul wujud, memusuhi Muwahhidin, melakukan
pembunuhan pembunuhan kepada aparatur negara yang dianggap
merugikan dengan cara yang tidak syari, berdemo, melakukan kudeta
tanpa melalui prosedur syari, nasyid ala shufi dan sandiwara.
3. Dan betapa pengikutnya berlebihan dalam menyanjung Al-Banna
sampai menjulukinya Asy-Syahid (yang mati syahid), dan dengan yakin
salah satu di antara mereka mengatakan: Bahwa ia (yakni Hasan AlBanna) hidup di sisi Rabbnya dan mendapat rizki di sana. (lihat AlMaurid Al-Adzb Az-Zulal, karya An-Najmi hal. 206, 165, 208, 226, 229,
117, 228).
Padahal, Al-Imam Al-Bukhari menyebutkan sebuah bab dalam bukunya
Shahih Al-Bukhari berjudul: Tidak boleh dikatakan bahwa fulan adalah
syahid, lalu beliau sebutkan dalilnya. Beliau juga menyebutkan hadits
dalam bab lain: Bahwa Ummul Ala berkata: Utsman bin Mazhun dapat
bagian di rumah kami (setelah diundi), maka ketika ia sakit kami merawatnya. Tatkala wafat, aku katakan: Persaksianku atas dirimu wahai Abu
Sa`ib (Utsman bin Mazhun) bahwa Allah telah memuliakanmu. Maka Nabi

mengatakan: Darimana engkau tahu bahwa Allah telah memuliakannya ?


Saya katakan: Ayah dan ibuku tebusanmu, wahai Rasulullah. Demi Allah,
saya tidak tahu. Maka Nabi mengatakan: Sesungguhnya aku, demi Allah,
dan aku ini adalah utusan Allah, aku tidak tahu apa yang akan Allah
perlakukan kepadaku dan kepada kalian. (Shahih, HR. Al-Bukhari).
Wahai saudaraku, sadarlah dan ambillah pelajaran.

Selesai...

Sumber, Asy syariah Edisi 20, 16 November 2011. asysyariah.com


Penulis, al Ustadz Qomar ZA.LC Hafizhohullohu.
Klik join telegram
http://bit.ly/FadhlulIslam
www.salafymedia.com
Publikasi:
WA Fadhlul Islam Bandung

Anda mungkin juga menyukai