Bahan Bakar Nabati
Bahan Bakar Nabati
Tabel:
serta
Sedangkan viskositas refined vegetable oil yang sangat tinggi (lebih dari 10
kali lipat) menunjukkan bahwa dengan daya pemompaan yang tetap, minyak
ini akan berpotensi menimbulkan masalah pada sistem injeksi bahan bakar,
bila tidak dilakukan tambahan peralatan/modifikasi pada mesin dan atau
sistem penyaluran bahan bakar.
Biodiesel Samples
Azam dkk (2005) mengkompilasi berbagai hasil riset di India tentang BBN
biodiesel dan menemukan 75 spesies tanaman yang bisa menghasilkan
biodiesel; 26 spesies diantaranya, termasuk Jathropa Curcas (Jarak Pagar),
yang memenuhi standar kualitas USA, Jerman, dan Eropa.
Soeradjaja (2005a) menyebut adanya 50 spesies tanaman di Indonesia yang
bisa menghasilkan biodiesel, contoh yang populer adalah sawit, kelapa, jarak
pagar, kapok atau randu.
Produk esterifikasi alkalin akan berupa metil ester di bagian atas dan gliserol
di bagian bawah (akibat perbedaan densitas). Setelah dipisahkan dari
gliserol, metil ester tersebut selanjutnya dicuci dengan air distilat panas (10
vol %).
Karena memiliki densitas yang lebih tinggi dibandingkan metil ester, air
pencuci ini juga akan terpisahkan dari metil ester dan menempati bagian
bawah reaktor. Metil ester yang telah dimurnikan ini selanjutnya bisa
digunakan sebagai bahan bakar mesin diesel.
Selain untuk menurunkan kadar asam, pada proses praesterifikasi juga perlu
dilakukan pengurangan kadar air. Pada prinsipnya, pengurangan kadar air
bisa dilakukan dengan dua cara, separasi gravitasi atau separasi distilasi.
Separasi gravitasi mengandalkan perbedaan densitas antara minyak
dengan air: air yang lebih berat akan berposisi di bagian bawah untuk
selanjutnya dapat dipisahkan.
Sedangkan separasi distilasi mengandalkan titik didih air sekitar 100 C dan
pada beberapa kasus digunakan pula tekanan rendah untuk memaksa air
keluar dan terpisah dari minyak.
Transesterifikasi
Bila bahan baku minyak yang digunakan merupakan minyak yang telah
diproses (refined fatty oil) dengan kadar air dan asam lemak bebas yang
rendah, maka proses esterifikasi dengan katalis alkalin bisa langsung
dilakukan terhadap minyak tersebut. Transesterifikasi pada dasarnya terdiri
atas 4 tahapan, yakni:
1. Pencampuran katalis alkalin (umumnya sodium hidroksida atau potassium
hidroksida) dengan alkohol (umumnya methanol). Konsentrasi alkalin
yang digunakan bervariasi antara 0.5 1 wt % terhadap massa minyak.
Sedangkan alkohol diset pada rasio molar antara alkohol terhadap minyak
sebesar 9 : 1.
2. Pencampuran alkohol+alkalin dengan minyak di dalam wadah yang
dijaga pada temperatur tertentu (sekitar 40 60 C) dan dilengkapi
dengan pengaduk (baik magnetik ataupun motor elektrik) dengan
kecepatan konstan (umumnya pada 600 rpm). Keberadaan pengaduk
sangat penting untuk memastikan terjadinya reaksi methanolisis
secara menyeluruh di dalam campuran. Reaksi methanolisis ini
dilakukan sekitar 1 2 jam.
3. Setelah reaksi methanolisis berhenti, campuran didiamkan dan
perbedaan densitas senyawa di dalam campuran akan mengakibatkan
separasi antara metil ester dan gliserol. Metil ester dipisahkan dari
gliserol dengan teknik separasi gravitasi.
4. Metil ester yang notabene biodiesel tersebut kemudian dibersihkan
menggunakan air distilat untuk memisahkan zat-zat pengotor seperti
methanol, sisa katalis alkalin, gliserol, dan sabun-sabun (soaps). Lebih
tingginya densitas air dibandingkan dengan metil ester menyebabkan
prinsip separasi gravitasi berlaku: air berposisi di bagian bawah
sedangkan metil ester di bagian atas.
Performansi Mesin
Angka Cetane
Angka cetane menunjukkan seberapa cepat bahan bakar mesin diesel yang
diinjeksikan ke ruang bakar bisa terbakar secara spontan (setelah bercampur
dengan udara). Angka cetane pada bahan bakar mesin diesel memiliki
pengertian yang berkebalikan dengan angka oktan pada bahan bakar mesin
bensin, karena angka oktan menunjukkan kemampuan campuran bensinudara menunggu rambatan api dari busi (spark ignition).
Semakin cepat suatu bahan bakar mesin diesel terbakar setelah diinjeksikan
ke dalam ruang bakar, semakin baik (tinggi) angka cetane bahan bakar
tersebut. Cara pengukuran angka cetane yang umum digunakan, seperti
standard dari ASTM D613 atau ISO 5165, adalah menggunakan hexadecane
(C16H34, yang memiliki nama lain cetane) sebagai patokan tertinggi (angka
cetane, CN=100), dan 2,2,4,4,6,8,8 heptamethylnonane (HMN yang juga
memiliki komposisi C16H34) sebagai patokan terendah (CN=15) (Knothe,
2005).
Biodiesel bisa mengalami degradasi bila disimpan dalam waktu yang lama
disertai dengan kondisi tertentu. Degradasi biodiesel pada umumnya
disebabkan oleh proses oksidasi. Beberapa faktor yang mempengaruhi
degradasi biodiesel antara lain keberadaan asam lemak tak jenuh, kondisi
penyimpanan (tertutup/terbuka, temperatur, dsb.), unsur logam, dan
peroksida. Leung dkk. (2006) menemukan bahwa temperatur tinggi (40 C)
yang disertai dengan keberadaan udara terbuka menyebabkan degradasi
yang sangat signifikan pada penyimpanan biodiesel hingga 50 minggu.
Konsentrasi asam meningkat pada biodiesel yang telah terdegradasi; hal ini
disebabkan oleh putusnya rantai asam lemak metil ester menjadi asamasam lemak. Mereka menemukan bahwa faktor keberadaan air tidak terlalu
signifikan mempengaruhi proses degradasi. Namun demikian, keberadaan air
(yang terpisah dari biodiesel) bisa membantu pertumbuhan mikroorganisme
(Environment Canada, 2006)
Temperatur tinggi (40 C) yang tidak disertai dengan keberadaan udara
terbuka; dan sebaliknya udara terbuka tanpa keberadaan temperatur tinggi,
tidak menyebabkan degradasi yang signifikan pada biodiesel yang disimpan
dalam waktu lama (hingga 50 minggu). Dalam penelitiannya, Leung dkk.
(2006) menggunakan rapeseed oil sebagai bahan baku biodiesel.
Kontak antara biodiesel dengan logam dan elastomer selama proses
penyimpanan juga bisa mempengaruhi stabilitas biodiesel (Environment
Canada, 2006). Ditemukan bahwa logam tembaga (copper) memiliki efek
katalis oksidasi yang paling kuat untuk biodiesel (Knothe, 2005).
Oksidasi pada biodiesel bisa menyebabkan terbentuknya hidroperoksida
yang selanjutnya terpolimerisasi dan membentuk gum; hal ini bisa
menyebabkan penyumbatan pada filter atau saluran bahan bakar mesin
diesel (Environment Canada, 2006).
Standard Eropa, EN 14214, mengatur uji stabilitas biodiesel terhadap
oksidasi, yakni dengan cara memanaskan biodiesel pada 110 C selama tak
kurang dari 6 jam (menggunakan metode Rancimat) (Knothe, 2005).
Harga viskositas biodiesel juga bisa dijadikan sebagai ukuran terjadi-tidaknya
proses degradasi pada biodiesel. Conceicao (2005) menemukan bahwa
biodiesel minyak Castor yang digunakannya bisa mengalami degradasi,
dicirikan dengan kenaikan viskositas yang sangat tinggi, bila dikenai
temperatur yang sangat tinggi (210 C) dalam jangka waktu lebih dari 10
jam. Degradasi ini terjadi diduga karena terjadinya proses oksidasi dan
polimerisasi pada biodiesel.
Angka Iodine
Angka iodine pada biodiesel menunjukkan tingkat ketidakjenuhan senyawa
penyusun biodiesel. Di satu sisi, keberadaan senyawa lemak tak jenuh
meningkatkan performansi biodiesel pada temperatur rendah, karena
senyawa ini memiliki titik leleh (melting point) yang lebih rendah (Knothe,
2005) sehingga berkorelasi pada cloud dan pour point yang juga rendah.
Namun di sisi lain, banyaknya senyawa lemak tak jenuh di dalam biodiesel
memudahkan senyawa tersebut bereaksi dengan oksigen di atmosfer dan
bisa terpolimerisasi membentuk material serupa plastik (Azam dkk., 2005).
Oleh karena itu, terdapat batasan maksimal harga angka iodine yang
diperbolehkan untuk biodiesel, yakni 115 berdasar standard Eropa (EN 14214
Di samping itu, konsentrasi asam linolenic dan asam yang memiliki 4 ikatan
ganda masing-masing tidak boleh melebihi 12 dan 1% (Azzam dkk., 2005).
Sebuah penelitian yang dilakukan di Mercedez-Benz (Environment Canada,
2006) menunjukkan bahwa biodiesel dengan angka iodine lebih dari 115
tidak bisa digunakan pada kendaraan diesel karena menyebabkan deposit
karbon yang berlebihan. Meski demikian, terdapat studi lain yang
menghasilkan kesimpulan bahwa angka iodine tidak berkorelasi secara
signifikan terhadap kebersihan dan pembentukan deposit di dalam ruang bakar
(Environment Canada, 2006).
Referensi
1. Azam, M. M., Waris, A., Nahar, N. M., Prospect and potential of fatty
acid methyl esters of some non-traditional seed oils for use as
biodiesel in India, Biomass and Bioenergy, 29, 293-302 (2005)
2. Bernardo, A., Howard-Hildige, R., OConnel, A., Nichol, R., Ryan, J., Rice,
B., Roche, E., Leahy, J. J., Camelina oil as a fuel for diesel transport
engines, Industrial Crops and Products, 17, 191-197 (2003)
3. Bouaid, A., Diaz, Y., Martinez, M., Aracil, J., Pilot plant studies of
biodiesel production using Brassica Carinata as raw material,
Catalysis Today, (2005)
4. Bozbas, K., Biodiesel as an alternative motor fuel: Production and
policies in the European Union, Renewable & Sustainable Energy
Reviews, 1-12 (2005)
5. Canoira, L., Alcantara, R., Garci$B!&(BMartinez, Ma. J., Carraso, J.,
Biodiesel from Jojoba oil-wax: Transesterification with methanol and
properties as fuel, Biomass and Bioenergy (2005)