Anda di halaman 1dari 46

PRESENTASI KASUS

COMMUNITY ACQUIRED PNEUMONIA (CAP)


DAN
TB PARU MILIER BTA (+) LESI LUAS KASUS BARU

Diajukan kepada :
dr. Indah Rahmawati, Sp.P

Disusun oleh :
Irvianna Hamdja

G4A013078

Noni Frista Al Azhari

G4A013079

Nurul Setiawan

G4A013080

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
RSUD PROF. Dr. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO
2015

LEMBAR PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS
COMMUNITY ACQUIRED PNEUMONIA (CAP)
DAN
TB PARU MILIER BTA (+) LESI LUAS KASUS BARU

Disusun oleh :
Irvianna Hamdja

G4A013078

Noni Frista Al Azhari

G4A013079

Nurul Setiawan

G4A013080

Telah dipresentasikan pada


Tanggal,

Maret 2015

Pembimbing,

dr. Indah Rahmawati, Sp.P

BAB I
LAPORAN KASUS
I.

IDENTITAS PENDERITA
Nama
: Nn. S
Usia
: 32tahun
Jenis kelamin : Wanita
Status
: Belum menikah
Agama
: Islam
Pekerjaan
:Alamat
: Bojanegara 02/02, Padamara, Purbalingga
Tanggal masuk : 23 Februari2015
Tanggal periksa :2 Maret 2015
No. CM
: 932091
II.

SUBJEKTIF
1 Keluhan Utama
Sesak napas
2 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan sesak nafas yang dirasakan pertama kali dua bulan
sebelum masuk Rumah Sakit Margono Soekardjo Purwokerto. Sesak tidak kunjung
membaik dan semakin memberat tiga hari sebelum masuk RSMS.Sesak dirasakan
terus- menerus dan semakin memberat.Pasien bernafas menggunakan bantuan oksigen
tambahan terus- menerus.Sesak dirasakan sangat mengganggu aktivitas sehingga
pasien tidak dapat beranjak dari tempat tidur. Saat sesak, pasien merasa lebih nyaman
ketika duduk membungkuk. Pasien merasakan kurang nyaman dengan posisi
berbaring.Posisi tidur dirasakan mempengaruhi sesak.Pasien tidur menggunakan
bantal yang tinggi. Pasien merasakan tidur lebih nyaman dengan posisi duduk
membungkuk.
Selain keluhan sesak, pasien mengeluhkan batuk kering menjadi batuk yang
berdahak semenjak dirawat di RSMS.Batuk muncul terutama saat pagi hari.Dahak
berwarna putih, kental, dan mudah dikeluarkan.Selain itu, pasien juga mengeluhkan
keringat dingin dimalam hari, nafsu makan menurun, berat badan menurun, dan badan
terasa lemah.
3

Riwayat Penyakit Dahulu


Dua bulan sebelum masuk rumah sakit pasien merasakan berat badan menurun,
kadang sesak, batuk kering dan gangguan lambung.Pasien mengatasi sesaknya sendiri

dengan minum air hangat.Selain itu, terkadang pasien merasakan demam yang naik
turun menyertai batuk dan sesak.Pasien sering mual dan muntah setiap kali diberikan
makanan.Pasien memeriksakan dirinya ke Puskesmas Padamara dengan keluhan
sesak, nyeri lambung, dan batuk kering. Keluhan dirasa sering kambuh maka pasien
memutuskan untuk berobat ke RSUD Dr Goeteng Taroenadibratadan mondok selama
4 hari dengan keluhan sesak nafas, nyeri lambung, dan batuk kering. Pasien dianjurkan
melakukan pemeriksaan X foto roentgen di RSUD Dr Goeteng Taroenadibrata dan
pemeriksaan dahak. Pemeriksaan roentgen dilakukan, akan tetapi pemeriksaan dahak
tidak dilakukan karena pasien tidak dapat mengeluarkan dahak.
Pasien sempat pulang selama 1 minggu.Satu minggu kemudian keadaan pasien
tidak kunjung membaik, melainkan dirasa semakin memberat maka pasien berobat
kembali ke RSU Harapan Ibu selama 3 hari dengan keluhan sesak nafas dan batuk
kering.Menurut pasien, pasien sempat diminta untuk melakukan pemeriksaan dahak
namun tidak dilakukan karena dahak sulit keluar.Sesak semakin memberat dan
akhirnya RSU Harapan Ibu merujuk pasien ke RSMS pada tanggal 23 Februari 2015
dengan diagnosa TB Milier.
Pasien menyangkal adanya riwayat alergi dan asma, dulu pasien tidak mempunyai
kebiasaan merokok dan tidak pernah mengkonsumsi OAT. Pasien pernah mengalami
batuk

berdarah selama 2 hari sekitar bulan Juli 2014 namun pasien hanya

memeriksakan ke dokter umum praktek pribadi dan menganggapnya sebagai batuk


biasa.
Riwayat Penyakit Dahulu

a Riwayat keluhan serupa


b Riwayat mondok
c Riwayat OAT
d Riwayat hipertensi
e Riwayat kencing manis
f Riwayat asma
g Riwayat alergi
Riwayat Penyakit Keluarga

: disangkal
: diakui (Tiphoid, sesak nafas, gangguan lambung)
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal

: diakui (kakak pasien dengan keluhan batuk

Riwayat keluhan serupa


berdahak)

Riwayat hipertensi

: disangkal

Riwayat kencing manis

: disangkal

Riwayat asma

: disangkal

Riwayat alergi

: disangkal

Riwayat Sosial Ekonomi


a

Community
Sebelum sakit pasien bekerja di pabrik pembuatan bulu mata di Purbalingga
semenjak lulus SMP.Akan tetapi pekerjaan lebih sering dilakukan di rumah. Pasien
mengaku termasuk orang yang jarang keluar rumah. Pasien lebih sering
beraktifitas dan bekerja di rumah.Pasien pergi saat mengambil bahan atau
mengantar hasil pembuatan bulu mata.Pasien mengaku tidak ada teman- teman
bekerja, tetangga di sekitar rumah, atau keluarga yang memiliki keluhan yang
sama. Hubungan antara pasien dengan tetangga dan keluarga dekat baik.Kakak
pasien mengaku juga mengalami batuk- batuk semenjak merawat pasien.

Home
Pasien tinggal di rumahnya bersama 9 orang anggota keluarga yaitu kedua orang
tuanya, 1 nenek, 5 saudara kandung, dan 1 keponakan.Orangtua pasien bekerja di
rumah. Ibupasien berjualan nasi rames, ayah pasien bekerja sebagai pemelihara
kambing milik orang lain, 3 orang saudara kandungnya bekerja di pabrik permen,
pabrik rambut, dan pabrik rokok serta seorang adik yang masih duduk dibangku
SMP. Dari anggota keluarga yang tinggal serumah dengan pasien, hanya kakak
pasien yang mengeluhkan keluhan serupa dengan pasien yaitu batuk.Namun
keluhan tersebut diakui baru terjadi mulai pada saat kakak pasien merawat
pasien.Lantai rumah beralaskan semen, dinding kayu, atap seng, dan ada beberapa
buah jendela serta ventilasi yang dapat terkena sinar matahari.Rumah pasien
berukuran 14 meter x 10 meter.Rumah pasien terdiri dari 5 kamar tidur, satu ruang
tamu yang menjadi satu dengan ruang keluarga dan ruang makan, satu dapur, dan
satu kamar mandi.Sumber air berasal dari sumur.Pencahayaan rumah pasien
berasal dari lampu dan sinar matahari yang cukup. Kamar pasien berukuran 2
meter x 2,5 meter. Pasien tidur seorang diri di dalam kamarnya.Pada kamar pasien
terdapat jendela yang dapat dibuka berukuran 1 meter x 50 meter.

Occupational

Pasien bekerja sebagai buruh pembuat bulu mata pada sebuah pabrikdengan
penghasilan cukup.Pekerjaannya lebih sering dilakukan di rumah.Pasien datang ke
pabrik

saat

mengambil

bahan

dan

mengantar

hasil

pembuatan

bulu

mata.Pembiayaan rumah sakit ditanggung oleh BPJS PBI.Pembiayaan kebutuhan


sehari-hari dibiayai oleh pasien sendiri dan keluarga, akan tetapi karena sekarang
pasien tidak bekerja, maka kebutuhan sehari-hari ditanggung oleh orangtua dan
saudara kandung.Saat pasien merasakan penurunan berat badan, mual, muntah,
sesak, dan batuk pasien berhenti bekerja.
d

Personal habit
Pasien mengaku makan sehari 2-3kali sehari, dengan nasi, sayur dan lauk pauk
yang cukup karena orang tua bekerja berjualan nasi rames.Pasien mengaku tidak
pernah merokok, pasien mengaku tidak pernah mengkonsumsi alkohol, ataupun
mengkonsumsi obat-obatan terlarang.Pasien mengaku jarang berpergian.

III. OBJEKTIF
1. Pemeriksaan Fisik
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Keadaan Umum
Kesadaran
BB
TB
IMT
Vital sign
- Tekanan Darah
- Nadi
- RR
- Suhu
d. Status Generalis

:tampak sesak
: composmentis, GCS E4M6V5 (15)
: 31 kg
: 150 cm
: 13,78 (underweight)
: 110/70 mmHg
: 112x/menit
: 32x/menit
: 36,1oC

1) Kepala
-

Bentuk

: mesochepal, simetris, venektasi temporal (-)

Rambut

: warna hitam, tidak mudah dicabut, distribusimerata, tidak

rontok
2) Mata
-

Palpebra

: edema (-/-) ptosis (-/-)

Konjungtiva

: anemis (+/+)

Sclera

: ikterik (-/-)

Pupil

: reflek cahaya (+/+) normal,isokor 3 mm

3) Telinga
-

otore (-/-)

deformitas (-/-)

nyeri tekan (-/-)

discharge (-/-)

4) Hidung
-

nafas cuping hidung (-/-)

deformitas (-/-)

discharge (-/-)

rinorhea (-/-)

5) Mulut
-

bibir sianosis (-)

bibir kering (+ )

lidah kotor (-)

6) Leher
-

Trakhea

: deviasi trakhea (-/-)

Kelenjar lymphoid

: tidak membesar, nyeri (-)

Kelenjar thyroid

: tidak membesar

JVP

: nampak,tidak kuat angkat

7) Dada
a) Paru
-

Inspeksi

: bentuk dada simetris,ketinggalan gerak (-)


Jejas (-)
Retraksi suprasternalis (-)
Retraksi intercostalis (-)
Retraksi epigastrik (+)

Palpasi

: vocal fremitus kanan=kiri


ketinggalan gerak (-)

Perkusi

: sonor pada kedua lapang paru kiri

Batas paru hepar di SIC V LMCD


-

Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), wheezing (-/-)


Ronki basah kasar (+/+), ronki basah halus (-/-)

b) Jantung
-

Inspeksi : ictus cordis nampak pada SIC V 2 jari medial LMCS

Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V 2 jari medial LMCS,tidak kuat


angkat

Perkusi : Batas jantung kanan atas di SIC II LPSD


Batas jantung kiri atas di SIC II LPSS
Batas jantung kanan bawah di SIC IV LPSD
Batas jantung kiri bawah di SIC V 2 jari medial LMCS

Auskultasi : S1>S2, reguler, murmur (-), gallops (-)

8) Abdomen
-

Inspeksi

: datar

Auskultasi

: bising usus (+) normal

Perkusi

: timpani,

pekak sisi (-), pekak alih (-), nyeri ketok

costovertebrae (-)
-

Palpasi

: supel, nyeri tekan (+) epigastrik, undulasi (-)

Hepar

: tidak teraba

Lien

: tidak teraba

9) Ekstrimitas
-

Superior : edema (-/-), sianosis (-/-)

Inferior : edema (-/-), sianosis (-/-)

2. Pemeriksaan penunjang
a. Laboratorium darah 23 Februari 2015 (sebelum tranfusi)
Hb

: 7,9gr/dl

Normal : 12 16 gr/dl

Leukosit

: 12.380 /ul

Normal : 4.800 10.800/ul

Hematokrit

: 24 %

Normal : 37 % - 47 %

Eritrosit

: 3,4 juta/ul

Normal : 4,2 5,4 juta/ul

Trombosit

: 538.000/ul

Normal: 150.000 - 450.000/ul

MCV

: 71,1 fL

Normal : 79 - 99 fL

MCH

: 23,5 pg

Normal : 27 - 31 pg

MCHC

: 33,1 gr/dl

Normal : 33 37gr/dl

RDW

: 16,5 %

Normal : 11,5 - 14.5 %

MPV

: 8,6fL

Normal : 7,2 - 11,1 fL

Eosinofil

: 0,2% N

Normal : 0 1 %

Basofil

: 0,0 %

Normal : 2 4 %

Batang

: 1,2 %

Normal : 2 5 %

Segmen

: 95,8 %

Normal : 40 70%

Limfosit

: 1,5% L

Normal : 25 - 40%

Monosit

: 1,3% L

Normal : 2 8 %

SGOT

: 29

Normal: 15-37 u/L

SGPT

: 27

Normal: 30-65 u/L

GDS

: 119

Normal : < 200 mg/dl

Natrium

: 134

Normal : 136- 145

Kalium

: 4,2

Normal : 3,5- 5,2

Klorida

: 88

Normal : 98- 107

Hitung Jenis

Kimia Klinik

Laboratorium darah 26 Februari 2015 (setelah tranfusi)


Hb

: 9gr/dlL

Normal : 12 16 gr/dl

Leukosit

: 10.600 /ul

Normal : 4.800 10.800/ul

Hematokrit

: 29 %

Normal : 37 % - 52 %

Eritrosit

: 3,9 juta/ul

Normal : 4,2 5,4 juta/ul

Trombosit

: 459.000/ul

Normal: 150.000 - 450.000/ul

MCV

: 71,3 fL

Normal : 79 - 99 fL

MCH

: 23,3 pg

Normal : 27 - 31 pg

MCHC

: 32,6 gr/dl

Normal : 33 37gr/dl

RDW

: 16,3 %

Normal : 11,5 - 14.5 %

MPV

: 7,9fL

Normal : 7,2 - 11,1 fL

Eosinofil

: 0,0% N

Normal : 0 1 %

Basofil

: 0,0 %

Normal : 2 4 %

Batang

: 0,0 %

Normal : 2 5 %

Segmen

: 94,4 %

Normal : 40 70%

Limfosit

: 2,7% L

Normal : 25 - 40%

Monosit

: 2,9% L

Normal : 2 8 %

Hitung Jenis

Mikrobiologi 25 Februari 2015


Pewarnaan ZN 1X
BTA I

: 3+ (positif 3)

Epitel

: positif

Leukosit

: positif

Pewarnaan ZN 2X
BTA II

: 3+ (positif 3)

Epitel

: positif

Leukosit

: positif

Pewarnaan ZN 3
BTA BTA I

: 3+ (positif 3)

Epitel

: positif

Leukosit

: positif

Gambaran Darah Tepi 25 Februari 2015


Eritrosit

Anisositosis sedang
Poikilositosis sedang fragmentosit, granulosit, sel pensil, sferosit
Leukosit

Estimasi jumlah meningkat, neutrofilia, granulasi toksik, vakuolisasi

Trombosit

Estimasi jumlah meningkat, bentuk kasar (+), clumping (-)


Kesan

Anemia mikrositik hipokromik


DD :

Anemia karena penyakit kronik


Anemia Defisiensi besi

Lekositosis
Suspek infeksi bakteri
Trombositosis
DD :

Trombositosis reaktif ec infeksi


Esensial trombositopenia

b. Foto thoraks

Foto Thorax 9Februari 2015 di RSUD Dr Goeteng Taroenadibrata


Hasil pemeriksaan Foto Thorax
Cor

: Besar cor normal

Pulmo

: Bercak konsolidasi di kedua paru ec bronchopneumonia (milier)


DD: TB paru tipe milier
Tak tampak efusi pleura

IV.

DIAGNOSIS
1. TB paru milier BTA (+) Lesi luas kasus baru
2. Community Acquired Pneumonia
3. Anemia ringan

V.

PLANNING
1. Diagosis
a. Sputum BTASPS ( BTA I, II, dan III positif)

b. Cek GDT
c. Konsul VCT
2. Terapi
a. Farmakologi
1) NRM 6- 8 lpm
2) Cefixime 2 x 100 mg PO
3) Metil prednisone 2x2 mg PO
4) Ranitidin2x1 tab PO
5) Terasma 3 x 1 cth PO
6) Sulfat ferosus 2 x 1 tab PO
7) 4FDC 1XII tab PO
8) B6 1 x 1 tab PO
b. Non Farmakologi
1) Edukasi

pasien

dan

keluarga

pasien

mengenaipenyebab,

penularan,

pengobatan, efek samping obatdan komplikasi dari penyakit TB.


2) Edukasi mengenai kebersihan lingkungan rumah, seperti buka ventilasi setiap
hari agar sinar matahari dan udara masuk juga edukasi untuk selalu
membersihkan rumahnya dan edukasi agar pasien menutup mulut apabila batuk
ataumenggunakan masker, tidak mambuang dahak sembarangan lagi.
3) Makan makanan yang bergizi
4) Screening pada anggota keluarga yang lain apabila ada yang mengalami gejala
yang sama terutama anak kecil dan untuk tindakan pencegahan juga
pengobatan lebih awal jika keluarga lain sudah tertular.
3. Monitoring
a. Keadaan umum dan kesadaran
b. Tanda vital
c. Evaluasi klinis
-

Pasien dievaluasi setiap 2 minggu sampai akhir bulan kedua pengobatan,


selanjutnya tiap 1 bulan mulai bulan ketiga.

Evaluasi respon pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada
tidaknya komplikasi

Evaluasi klinis meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisik

d. Evaluasi radiologi
-

Sebelum pengobatan

Pada akhir pengobatan

e. Evaluasi efek samping


-

Periksa fungsi hati (SGOT, SGPT, bilirubin)

Periksa fungsi ginjal (ureum, kreatinin)

Periksa GDS, G2PP, asam urat

Pemeriksaan visus

Pemeriksaan keseimbangan dan pendengaran

f. Evaluasi keteraturan obat


4. Prognosis
Keberhasilan kesembuhan penyakit tuberkulosis tergantung pada:
a. Kepatuhan minum obat
b. Komunikasi dan edukasi serta pengawasan minum obat
c. Umur penderita
d. Penyakit yang menyertai
e. Resistensi obat
Ad vitam

: dubia ad bonam

Ad fungsionam

: dubia ad bonam

Ad sanationam

: dubia ad bonam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. TB MILIER

Tuberkolosis milier termasuk salah satu bentuk TB yang berat dan merupakan 3 - 7%
dari seluruh kasus TB dengan angka kematian yang tinggi. Tuberkulosis milier merupakan
jenis tuberkulosis yang bervariasi mulai dari infeksi kronis, progresif lambat, hingga penyakit
fulminan akut, yang disebabkan penyebaran hematogen atau limfogen dari bahan kaseosa
terinfeksi ke dalam aliran darah dan mengenai banyak organ dengan tuberkel-tuberkel mirip
benih padi (Kartasasmita et al., 2008).
TB milier merupakan penyakit limfo-hematogen sistemik akibat penyebaran kuman M.
tuberkolosis dari komples primer yang biasanya terjadi dalam waktu 2 6 bulan pertama
setelah infeksi awal. Tuberkulosis Milier adalah suatu bentuk Tuberkulosa paru dengan
terbentuknya granuloma. Granuloma yang merupakan perkembangan penyakit dengan
ukuran kurang lebih sama kelihatan seperti biji milet (sejenis gandum), berdiameter 1-2 mm
(WHO, 2006).
TB milier lebih sering terjadi pada bayi dan anak kecil, terutama usia dibawah 2 tahun,
karena imunitas seluler spesifik, fungsi makrofag dan mekanisme lokal pertahanan parunya
belum berkembang sempurna sehingga kuman TB mudah berkembang biak dan menyebar
keseluruh tubuh. Akan tetapi, TB milier dapat juga terjadi pada anak besar dan remaja akibat
pengobatan penyakit paru primer sebelumnya yang tidak adekuat, atau pada usia dewasa
akibat reaktivasi kuman yang dorman. Berbeda dengan TB dewasa, gejala TB pada anak
seringkali tidak khas dan sulit didapatkan spesimen diagnostik yang terpercaya.Sehingga
diagnosis TB pada anak menggunakan scoring system yang didasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan penunjang (Kartasasmita et al, 2008; WHO, 2006).
Diagnosis TB Milier ditegakkan berdasarkan temuan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
radiologis. Mengacu kepada ketentuan WHO, pengobatan TBC Milier pada prinsipnya sama
dengan pengobatan TBC pada umumnya, yaitu perpaduan dari beberapa jenis antituberkulosa
baik yang bakteriostatik maupun bakterisid. TBC Milier bersama dengan TBC dengan
Meningitis, TBC Pleuritis Eksudatif, TBC Parikarditis Konstriktif, direkomendasikan untuk
mendapat pengobatan dengan OAT kategori I ditambah dengan kortikosteroid (Starke JR,
2011).
1. Definisi
Tuberkulosis milier (TB milier) merupakan penyakit limfohematogen sistemik
akibat penyebaran kuman Mycobacterium tuberculosis dari kompleks primer, yang
biasanya terjadi dalam waktu 2-6 bulan pertama, setelah infeksi awal. TB milier dapat

mengenai 1 organ (sangat jarang, <5%), namun yang lazim terjadi pada beberapa organ
(seluruh tubuh, >90%), termasuk otak. TB milier klasik diartikan sebagai kuman basil TB
berbentuk millet (padi) ukuran rata-rata 2 mm, lebar 1-5 mm diparu, terlihat pada
Rontgen. Pola ini terlihat pada 1-3 % kasus TB (Kartasasmita et al, 2008; WHO, 2006).
2. Etiologi
Mycobacterium Tuberculosis adalah penyebab utama penyakit tuberkulosis pada
manusia, berupa basil tidak membentuk spora, tidak bergerak, panjang 2-4 nm. Obligat
aerob yang tumbuh dalam media kultur Loweinstein-Jensen, tumbuh baik pada suhu 37410C, dinding sel yang kaya lemak menyebabkan tahan terhadap efek bakterisidal
antibodi dan komplemen, tumbuh lambat dengan waktu generasi 12-24 jam (Maltezau et
al, 2000).
3. Epidemiologi
Laporan mengenai TB anak jarang di dapatkan. Perkiraan jumlah kasus TB anak
pertahun adalah 5-6 % dari total kasus TB. Angka kejadian TB di Amerika Serikat dan
Kanada mengalami peningkatan pada anak berusia 0-4 tahun (19%), sedangkan pada usia
5-15 tahun (40%). Angka kejadian TB di Asia Tenggara selama 10 tahun, di perkirakan
bahwa jumlah kasus baru adalah 35,1 juta. Penanggulangan TB Global yang di keluarkan
WHO pada tahun 2004, angka kejadian TB pada tahun 2002 mencapai 555.000 kasus
(256 kasus/100.000 penduduk). Hasil survey prevalensi TB di Indonesia tahun 2004
menunjukkan bahwa angka prevalensi TB BTA positif secara nasional 110 per 100.000
penduduk (Starke, 2011; Rahajoe et al, 2007).
TB milier mirip dengan banyak penyakit, pada beberapa kasus, hampir 50%
kasus tidak dapat didiagnosis semasa hidup. Dari semua pasien TB, 1,5% di perkirakan
merupakan TB milier. Laporan dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC)
Amerika Serikat, dari tahun 1996 menunjukkan bahwa 257 pasien (1,2%) dari 21.337
pasien TB adalah TB milier. Insiden TB milier lebih tinggi pada orang Afrika Amerika di
Amerika Serikat karena pengaruh faktor sosial ekonomi, laki-laki lebih tinggi insidennya
dari wanita. Pada beberapa kasus di temukan bahwa kulit hitam lebih tinggi insidennya
di bandingkan kulit putih karena pengaruh sosial ekonomi (Kartasasmita et al, 2008).

Gambar 1. Insidens TB didunia (WHO, 2004)

Tuberkulosis milier lebih sering terjadi pada bayi dan anak kecil, terutama usia <
2 tahun, karena imunitas selular spesifik, fungsi makrofag, dan mekanisme lokal
pertahanan parunya belum berkembang sempurna, sehingga kuman TB mudah
berkembangbiak dan menyebar ke seluruh tubuh. TB milier juga dapat terjadi pada anak
besar dan remaja akibat pengobatan penyakit paru primer sebelumnya yang tidak
adekuat, atau pada usia dewasa akibat reaktivasi kuman yang dorman (Kartasasmita et al,
2008).
Terjadinya TB milier di pengaruhi oleh dua faktor, yaitu jumlah dan virulensi
kuman Mycobacterium tuberculosis dan status imunologis pasien (non spesifik dan
spesifik). Beberapa kondisi yang menurunkan sistem imun juga dapat memudahkan
timbulnya TB milier, seperti infeksi HIV, malnutrisi, infeksi morbili, pertusis, diabetes
melitus, gagal ginjal, keganasan, dan penggunaan kortikosteroid jangka lama. Faktorfaktor lain yang mempengaruhi perkembangan penyakit adalah faktor lingkungan, yaitu
kurangnya sinar matahari, perumahan yang padat, polusi udara, asap rokok, penggunaan
alkohol, obat bius, serta sosial ekonomi (Starke, 2011).

Jumlah penderita TB milier di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM pada periode
tahun Januari 2000 - Desember 2001 yang di diagnosis berdasarkan gambaran klinis dan
foto thorak adalah 19 pasien, laki-laki 11 pasien dan perempuan 8 pasien dengan rentang
usia 2,5-11 bulan, terbanyak berusia 1-6 bulan. Sedangkan di Bagian Ilmu Kesehatan
Anak RSUP Dr.M.Djamil pada tahun 2006-2007 di dapatkan dari 27 pasien TB yang di
rawat, di temukan 2 pasien (7%) dengan TB milier (Kartasasmita et al, 2008).
4. Patogenesis
Paru merupakan port dentree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Ukuran kuman
TB sangat kecil (<5m), sehingga kuman yang terhirup dalam percik renik (droplet
nuclei) dapat mencapai alveolus. Sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan
seluruhnya oleh mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak terjadi respons
imunologis spesifik, sedangkan sebagian kasus lainnya, tidak seluruhnya dapat
dihancurkan. Individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag
alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian besar di hancurkan. Sebagian kecil
kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak dalam makrofag,
dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya kuman TB membentuk lesi di
tempat tersebut, yang di namakan fokus primer Ghon. Penyebaran selanjutnya, kuman
TB dari fokus primer Ghon menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe
regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer.
Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di
kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Gabungan antara fokus primer, limfangitis,
dan limfadenitis di namakan kompleks primer (primary complex). Waktu yang di
perlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer secara
lengkap di sebut sebagai masa inkubasi. Masa inkubasi TB berlangsung selama 2-12
minggu, biasanya berlangsung selama 4-8 minggu. Selama masa inkubasi, sebelum
terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi penyebaran limfogen dan hematogen.
Penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks
primer, atau berlanjut menyebar secara limfohematogen. Penyebaran hematogen secara
langsung bisa juga terjadi, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke
seluruh tubuh (gambar 2) ((Kartasasmita et al, 2008; WHO, 2006).

Pada TB milier penyebaran hematogennya adalah penyebaran hematogenik


generalisata akut (acute generalized hematogenic spread) dengan kuman yang besar.
Kuman ini akan menyebar ke seluruh tubuh, dalam perjalanannya di dalam pembuluh
darah akan tersangkut di ujung kapiler, dan membentuk tuberkel di tempat tersebut.
Semua tuberkel yang di hasilkan melalui cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih
kurang sama. Istilah milier berasal dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai butir
padi-padian (millet seed). Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning
berukuran 1-3 mm , sedangkan secara histologik merupakan granuloma. Tuberkulosis
diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit
bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi
berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem
imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak dibawah 5 tahun
(balita) , terutama dibawah 2 tahun (International Union Against Tuberculosis and Lung
Disease, 2003; Grossman, 1997; Schlesinger, 2004).

5. Imunopatogenesis TB
Setelah terinhalasi di paru, kuman TB mempunyai beberapa kemungkinan.
Kemungkinan pertama, respon imun awal pejamu secara efektif membunuh semua
kuman TB, sehingga TB tidak terjadi. Kedua, segera setelah infeksi terjadi multiplikasi,
Gambar 2. Bagan Patogenesis Tuberkulosis(Rahajoe et al., 2007)

pertumbuhan kuman TB dan muncul manifestasi klinis, yang dikenal sebagai TB primer.
Ketiga, kuman TB dalam keadaan dorman, terjadi infeksi laten dengan uji tuberkulin

positif sebagai satu-satunya manifestasi. Keempat, kuman TB laten tumbuh dan muncul
manifestasi klinis, disebut sebagai reaktivasi TB (TB pasca-primer) (Kartasasmita et al,
2008).
Pada infeksi TB terjadi respon imunologi berupa imunitas seluler dan
hipersensitivitas tipe lambat.Imunitas seluler menyebabkan proliferasi limposit-T CD 4+
dan memproduksi sitokin lokal. Sebagai respon terhadap antigen yang dikeluarkan M. TB
limposit-T CD4+ mempengaruhi limposit-T Th1 untuk mengaktifkan makrofag dan
limposit-T Th2 untuk memproduksi sitokin lokal TNF dan INF . Sitokin ini akan
menarik monosit darah ke lesi TB dan mengaktifkannya. Monosit aktif atau makrofag
dan limposit-T CD4+ memproduksi enzim lisosom, oksigen radikal, nitrogen
intermediate khususnya nitrogen oksida dan Interleukin-12.Nitrogen oksida ini
selanjutnya diaktifkan oleh TNF dan INF untuk menghambat pertumbuhan dan
membunuh M. TB yang virulen.Peran imunitas seluler mengaktifkan makrofag dan
menghancurkan basil terutama pada jumlah basil yang sedikit.Kemampuan membunuh
M. TB juga bergantung pada jumlah makrofag setempat yang aktif (Ardiana et al., 2002;
Kenyorini, 2010).

Gambar 3.Hipersensitifitas tipe IV (Kenyorini, 2010).


Hipersensitifitas tipe lambat merupakan bagian dari respon imun seluler, yaitu
terjadinya peningkatan aktifitas limposit-T CD 4+ dan limposit-T CD8+ sitotoksik serta

sel pembunuh yang memusnahkan makrofag setempat, jaringan sekitar dan perkijuan.
Hipersensitifitas tipe lambat dapat mengisolasi lesi aktif, menyebabkan M. TB menjadi
dorman, kerusakan jaringan, fibrosis dan jaringan parut. Proses ini dapat merugikan
tubuh, dimana M. TB dapat keluar dari bagian pinggir daerah nekrosis dan membentuk
hipersensitifitas tipe lambat kemudian difagositosis oleh makrofag setempat. Apabila
makrofag belum diaktifkan oleh imunitas seluler, maka M. TB dapat tumbuh dalam
makrofag sampai hipersensitifitas tipe lambat merusak makrofag dan menambah daerah
nekrosis.Saat itu imunitas seluler menstimulasi makrofag setempat untuk membunuh
basil dan mencegah perkembangan penyakit.Hipersensitifitas tipe lambat lebih berperan
pada jumlah basil yang banyak dan menyebabkan nekrosis jaringan..Apabila M. TB
masuk ke dalam aliran limfe atau darah biasanya akan dihancurkan di tempat yang baru
dengan terbentuknya tuberkel. Adanya reseptor spesifik terhadap antigen yang dihasilkan
M. TB pada limposit-T di darah dan jaringan limfe, menyebabkan pengumpulan dan
aktivasi makrofag lebih cepat dan destruksi M. TB. Tuberkel yang terjadi tetap kecil
dengan perkijuan yang minimal, cepat sembuh dan tidak diikuti oleh terjadinya
penyebaran hematogen atau limfogen ke jaringan lain (kenyorini et al., 2010; Rogelio
Hernndez et al., 2007).

Gambar 4.Respon imunologis pada infeksi Mycobacterium tuberculosis(Rogelio


Hernndez et al., 2007).

6. Manifestasi klinis dan Penegakkan Diagnosis


Manifestasi klinis TB milier bermacam-macam, bergantung pada banyaknya
kuman dan jenis organ yang terkena. Gejala yang sering di jumpai adalah keluhan kronik
yang tidak khas, seperti TB pada umumnya, misalnya anoreksia dan BB turun atau gagal
tumbuh (dengan demam ringan atau tanpa demam), demam lama dengan penyebab yang
tidak jelas, serta batuk dan sesak nafas. TB milier juga dapat di awali dengan serangan
akut berupa demam tinggi yang sering hilang timbul (remittent), pasien tampak sakit
berat dalam beberapa hari, tetapi gejala dan tanda respiratorik belum ada. Lebih kurang
50% pasien, limfadenopati superfisial, splenomegali, dan hepatomegali akan terjadi
dalam beberapa minggu. Demam kemudian bertambah tinggi dan berlangsung terusmenerus/kontinu, tanpa disertai gejala respiratorik atau disertai gejala minimal, dan foto
toraks biasanya masih normal. Gejala klinis biasanya timbul akibat gangguan pada paru,
yaitu gejala respiratorik seperti batuk dan sesak nafas di sertai ronki atau mengi
(Kartasasmita et al, 2008; WHO, 2006). Anemia bisa terjadi baik akibat penyakit kronik
ataupun defisiensi besi. Anemia penyakit kronis sering bersamaan dengan anemia
defisiensi besi dan keduanya memberikan gambaran penurunan besi serum, namun TIBC
(Total Iron Binding Capacity) pada anemia defisiensi besi meningkat.Rendahnya besi
pada

anemia

penyakit

kronis

disebabkan

aktifitas

mobilisasi

besi

sistem

retikuloendotelial ke plasma menurun, sedangkan penurunan saturasi transferin pada


anemia defisiensi besi diakibatkan oleh degradasi transferin yang meningkat. 16 Kriteria
diagnosis anemia defisiensi besi menurut WHO adalah : (1) kadar hemoglobin kurang
dari normal sesuai usia, (2) Konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata <31% (nilai
normal:32%-35%), (3) Kadar fe serum <50g/dL (nilai normal:80-180g/dL), dan (4)
Saturasi transferin <15% (nilai normal:20%-25%). Cara lain untuk menentukan anemia
defisiensi besi dapat juga dilakukan uji percobaan pemberian preparat besi dosis 3-6
mg/kgBB/hari dalam 2-3 dosis selama 3-4 minggu terjadi peningkatan kadar hemoglobin
1-2 g/dL maka dapat dipastikan bahwa penyebabnya adalah anemia defisiensi besi
(Gunadi et al., 2009).
Gejala lain yang dapat di temukan adalah kelainan kulit berupa tuberkuloid,
papula nekrotik, nodul, atau purpura. Tuberkel koroid di temukan pada 13-87% pasien,
dan jika di temukan dini dapat menjadi tanda yang sangat spesifik dan sangat membantu

diagnosis TB milier, sehingga

pada TB milier perlu di lakukan funduskopi untuk

menemukan tuberkel koroid (Ardiana et al, 2002).


Lesi milier dapat terlihat pada foto thorak dalam waktu 2-3 minggu setelah
penyebaran kuman secara hematogen. Gambarannya sangat khas, yaitu berupa tuberkel
halus (millii) yang tersebar merata diseluruh lapangan paru, dengan bentuk yang khas dan
ukuran yang hampir seragam (1-3mm). Lesi-lesi kecil dapat bergabung membentuk lesi
yang lebih besar, kadang-kadang membentuk infiltrat yang luas. Sekitar 1-2 minggu
setelah timbulnya penyakit, pada foto thorak dapat di lihat lesi yang tidak teratur seperti
kepingan salju (WHO, 2006; Rogelio Hernndez et al., 2007).
Manifestasi klinis TB milier tidak spesifik. Kriteria diagnosis TB milier adalah
a

Presentasi klinis sesuai dengan diagnosis tuberkulosis seperti demam dengan


peningkatan suhu di malam hari, penurunan berat badan, anoreksia, takikardi,
keringat malam menetap setelah pemberian antituberkulosis selama 6 minggu.

Foto toraks menunjukkan gambaran klasik pola milier.

Lesi paru berupa gambaran retikulonodular difus bilateral di belakang bayangan


milier yang dapat dilihat pada foto toraks maupun HRCT.

Bukti mikrobiologi dan atau histopatologi menunjukkan adanya tuberkulosis


(Kementrian Kesehatan RI, 2013)

Untuk penegakkan diagnosis TB secara umum, diperlukan skema langkah penegakkan


diagnosis seperti di bawah ini

Gambar Skema Alur Penegakkan Diagnosis TB pada Orang Dewasa(Perhimpunan


Dokter Paru Indonesia, 2006)

7. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Darah
Tidak ada perubahan hematologi yang spesifik pada TBC Milier. Laju endap
darah tidak informatif. Anemia biasanya ringan, namun pada kasus lama dan berat
mungkin dijumpai anemia berat. Sering ditemui lekopeni, kadang-kadang lekositosis
dan monositosis. Dalam pemeriksaan sumsum tulang didapatkan tuberkel-tuberkel
dan gambaran darah tepi dapat menyerupai leukemia berupa leukositosis dan lekosit-

lekosit muda, anemia leukoeritroblastik berupa lekosit muda dan normoblas. Kadangkadang terdapat gambaran hematologik anemia aplastik berupa pansitopenia (Rahajoe
et al, 2007).
b. Pemeriksaan Radiologi
Gambaran patologik pada pemeriksaan radiologi tidak selalu dijumpai pada
kasus TBC Milier. Pada gambaran foto toraks tipikal kemungkinan juga tidak
ditemukan adanya manifestasi klinis spesifik sebelum mencapai stadium lanjut.Oleh
karenanya gambaran radiologi normal belum pasti menyingkirkan diagnosa TBC
Milier. Gambaran normal radiologi mungkin disebabkan oleh :
1

fokus di paru memecah ke cabang vena, yang menyebabkan tidak terjadinya


infiltrat di paru.

2
3

ukuran infiltrat yang sangat kecil.


atau karena pemeriksaan dilakukan pada fase dini dari penyakit.

Dalam hal demikian sebaiknya pemeriksaan diulang setelah 1-4 minggu.


Gambaran klasik Rongent foto dari TBC Milier adalah gambaran badai salju
(snow storm appearance). Infiltrat-infiltrat yang halus berukuran beberapa milimeter,
tersebar di kedua lapangan pandang paru. Lesi milier dapat terlihat pada rontgen paru
dalam waktu 2 - 3 minggu setelah penyebaran kuman secara hematogen.
Gambarannya sangat khas, berupa tuberkel halus (millii) yang tersebar merata
diseluruh lapangan paru, dengan bentuk yang khas dan ukuran yang hamper seragam
( 1-3 mm ). Lesi kecil dapat bergabung membentuk lesi yang lebih besar, kadangkadang membentuk infiltrat yang luas. Sekitar 1-2 minggu setelah timbulnya
penyakit, lesi yang tidak teratur seperti kepingan salju dapat dilihat pada rontgen
paru. Disamping itu dapat ditemukan pula efusi pleura, penebalan pleura dan kavitasi
(Rahajoe et al, 2007).
8. Penatalaksanaan
a

Rawat Inap

Pemberian oksigenasi

Pengobatan TB Milier dilakukan dengan pemberian OAT (Obat Anti Tuberkulosis)


Kategori I dan kortikosteroid.

OAT Kategori I, terdiri dari :

a. Tahap Intensif , 60 hari minum obat setiap hari dengan perpaduan obat : Isoniazid (H),
Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) dan Etambutol (E).
b. Tahap lanjutan, 54 hari minum obat selama 4 bulan (3x/minggu), dengan paduan :
Isoniasid (H) dan Rifampisin (R).
Dosis obat :
a

Isoniasid (H)
Bersifat bakterisid, dapat membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa hari
pengobatan. Dosis harian : 5 mg/kg BB, dosis intermiten 3 x / minggu : 10 mg/kg BB.

Rifampisin (R)
Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang tidak bisa dibunuh oleh Isoniasid.
Dosis harian dan dosis intermiten sama, yaitu : 10 mg/kg BB.

Pirasinamid (Z)
Bersifat bakterisid, membunuh kuman yang berada di dalam sel dengan suasana
asam. Dosis harian : 25 mg/kg BB, dosis intermiten 35 mg/kg BB.

Etambutol (E)
Bersifat bakteriostatik, dosis harian : 15 mg/kg BB, dosis intermiten : 30 mg/kg BB.

Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid (prednison) biasanya diberikan dengan dosis 2 mg/kgBB/hari
selama 4 minggu, kemudian diturunkan perlahan-lahan (tappering off) selama 2-6
minggu(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006; Starke, 2011).

9. Prognosis
Prognosa kesembuhan TBC Milier, setelah ditemukannya obat anti TBC
mengalami perbaikan yang signifikan, kecuali bila ada komplikasi meningitis, serta
keterlambatan dan tidak teratur dalam berobat. Respon TBC Milier terhadap
antituberkulosis baik.Evaluasi hasil pengobatan dilakukan setelah 2 bulan terapi. Evaluasi
pengobatan dilakukan dengan beberapa cara, yaitu evaluasi klinis, evaluasi radiologis,
dan pemeriksaan LED. Evaluasi yang terpenting adalah evaluasi klinis, yaitu menghilang
atau membaiknya kelainan klinis yang sebelumnya ada pada awal pengobatan, misalnya
penambahan berat badan yang bermakna, hilangnya demam, hilangnya batuk, perbaikan
nafsu makan, dan lain-lain. Evaluasi radiologis pada pasien TB milier perlu diulang

setelah 1 bulan untuk evaluasi hasil pengobatan. Gambaran milier pada foto toraks
biasanya menghilang dalam 1 bulan, kadang-kadang berangsur menghilang dalam 5-10
minggu, tetapi mungkin saja belum ada perbaikan hingga beberapa bulan (Rahajoe et al.,
2007; Kartasasmita, 2008)
B. COMMUNITY ACQUIRED PNEUMONIA (CAP)
1. Definisi
Pneumonia adalah suatu peradangan paru yang disebabkan oleh mikroorganisme
(bakteri, virus, jamur, parasit). Pneumonia komuniti adalah pneumonia yang didapat di
masyarakat (Crofton J, 1983; Fishman, 2008).
Berdasarkan asal penyakit, pneumonia dibagi menjadi dua jenis, yaitu Pneumonia
yang berkembang di luar rumah sakit disebut dengan Community Acquired Pneumonia
(CAP atau Pneumonia Komunitas), dan pneumonia yang terjadi 72 jam atau lebih setelah
perawatan di rumah sakit adalah nosokomial, atau Hospital Acquired Pneumonia (HAP
atau Pneumonia Nosokomial) (Fishman, 2008).
2. Epidemiologi
Pneumonia adalah penyakit yang sering terjadi di masyarakat. Jumlah serangan
rata-rata 12 kasus dari 1000 orang per tahun. Pada orang dewasa, rata-rata yang
membutuhkan perawatan di rumah sakit usianya berkisar 17-55 tahun, kebanyakan
menyerang usia lanjut. Pneumonia menempati urutan ke 6 sebagai penyebab kematian di
Amerika Serikat. Dalam penelitian di Seattle, peneliti menemukan jumlah penderita CAP
berusia 65-69 tahun sebanyak 18,2 kasus per 1000 orang per tahun dibandingkan 52,3
kasus per 1000 orang per tahun yang mengenai usia 85 tahun. Hasil dari survey rumah
sakit nasional di Amerika Serikat mengindikasikan bahwa dari tahun 1990 hingga 2002
ada 21,4 juta kasus pasien rumah sakit usianya diatas 65 tahun (Harris GD, Johanson
WG, 1982). Tingginya angka kematian pada pneumonia sudah dikenal sejak lama, Osler
W menyebutkan pneumonia sebagai "teman pada usia lanjut"(Fishman, 2008).
Epidemiologi pneumonia berubah tiap tahunnya. Hal ini berkaitan dengan
perubahan jumlah populasi dan penyebaran bakteri-bakteri baru yang menyebabkan
pneumonia dan perubahan antibiotik guna memberantas bakteri-bakteri lama, seperti S.

pneumonia, H. influenzae, dan Staphylococcus Aureus. Perubahan populasi termasuk


pertumbuhan jumlah dari pasien yang berusia 65 tahun atau lebih (Fishman, 2008).
Ven Katesen dkk mendapatkan 38 orang pneumonia usia lanjut yang didapat di
masyarakat, 43% diantaranya disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae, Hemophilus
influenzae dan virus influenza B; tidak ditemukan bakteri gram negatif. Lima puluh tujuh
persen lainnya tidak dapat diidentifikasi karena kesulitan pengumpulan spesimen dan
sebelumnya telah diberikan antibiotik (Ven Katesen Pet al., 1990).
3. Patogenesis
Pada orang yang sehat tidak akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme yang
bersifat patogen di paru. Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan saluran
napas. Apabila terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dan
lingkungan, akan menimbulkan penyakit (Stein D, 1987).
Terjadinya pneumonia berhubungan dengan banyaknya jumlah bakteri yang
teraspirasi, penurunan daya tahan tubuh dan virulensi koloni bakteri di orofaring.
Mekanisme organisme mencapai saluran napas melalui : inokulasi langsung, penyebaran
melalui pembuluh darah, inhalasi, dan kolonisasi di permukaan mukosa (Stein D, 1987).
Turunnya daya tahan tubuh juga dihubungkan dengan imunitas humoral dan
imunitas seluler, malnutrisi, perokok berat dan penyakit sistemik. Faktor predisposisi
pneumonia adalah penggunaan pipa endotrakeal, pemakaian nebuhaler, adanya super
infeksi dan malnutrisi (Cunha BAet al.,1980; Harris et al, 1982).
Mikroorganisme menyerang sel untuk bereproduksi. Biasanya, mikroorganisme
akan mencapai paru ketika udara yang dihirup melalui mulut dan hidung. Setelah di paru,
mikroorganisme ini menyerang sel-sel yang melapisi saluran udara dan alveoli. Hal ini
sering menyebabkan kematian sel, baik ketika mikroorganisme langsung membunuh sel,
atau melalui jenis apoptosis sel yang disebut penghancuran diri. Ketika sistem kekebalan
tubuh merespon infeksi, kerusakan paru bahkan lebih meluas. Sel darah putih, terutama
limfosit, mengaktifkan sitokin kimia tertentu yang memungkinkan cairan bocor ke dalam
alveoli. Hal ini menyebabkan demam, menggigil, dan kelelahan. Kombinasi dari
kerusakan sel dan alveoli berisi cairan mengganggu transportasi normal oksigen ke dalam
aliran darah (Harris et al, 1982; Stein D, 1987).

Proses peradangan pneumonia dapat dibagi atas 4 stadium yaitu Stadium kongesti
dimana kapiler melebar dan kongesti serta di dalam alveolus terdapat eksudat jernih,
bakteri dalam jumlah banyak, beberapa netrofil dan makrofag. Stadium hepatisasi merah:
lobus dan lobulus yang terkena menjadi padat dan tidak mengandung udara, serta warna
menjadi merah. Dalam alveolus didapatkan fibrin, leukosit, netrofil, eksudat dan banyak
sekali eritrosit dan kuman. Stadium hepatisasi kelabu: lobus masih tetap padat dan warna
merah menjadi pucat kelabu. Permukaan pleura tampak kabur karena diliputi fibrin.
Alveolus terisi fibrin dan leukosit. Kapiler tidak lagi kongestif. Stadium resolusi: Eksudat
berkurang, dalam alveolus makrofag bertambah dan leukosit mengalami nekrosis dan
degenerasi lemak, fibrin diresorpsi dan menghilang (Bartlett JGet al., 1998).
4. Gambaran Klinis
Gejala pada masing-masing individu berbeda-beda, diantaranya demam, sesak
napas, nyeri dada, dan batuk. Batuk dapat bersifat tidak produktif (kering) atau terdapat
sputum yang mukoid atau purulen (produktif) (Bartlett JGet al., 1998; Fishman, 2008).
Pada pemeriksaan fisik, tanda-tanda pada tipe pneumonia klasik bisa didapatkan
konsolidasi paru seperti perkusi yang redup, suara napas bronkial, dan ronki basah
(Bartlett JGet al., 1998; Cunha et al,., 1990). Tidak didapatkan demam pada 20%
pneumonia dan dapat tanpa disertai batuk produktif dan perasaan dingin (Kiss, 1982).
Gejala diluar sistem pernapasan seperti sakit kepala, mual, muntah, nyeri perut,
diare, nyeri otot, dan nyeri sendi juga gejala yang sering didapat pada pneumoni. Perlu
diingat bahwa pada pasien yang tua keluhan lebih sedikit dibandingkan pada pasien yang
lebih muda (Bartlett JGet al., 1998; Fishman, 2008).
Pada sebagian besar penderita didapatkan leukosit yang normal atau sedikit
meninggi, kadang-kadang didapatkan leukositosis. Dapat terjadi peningkatan ureum,
kreatinin dan glukosa, terdapat juga hiponatremi atau hipernatremi, hipofosfatemi; dapat
terjadi hipoksemi yang disebabkan infeksi akut (Harris et al., 1982; Bartlett JGet al.,
1998; Fishman, 2008).
5. Pemeriksaan Penunjang
a. Radiologi

Pada pneumonia diagnosis radiologik ditegakkan bila didapatkan gambaran


infiltrat sampai konsolidasi dengan air bronchogram, penyebaran bronkogenik, dan
intersisial. Tidak khas untuk menenttukan etiologi pneumonia. Sering kali infiltrat
belum terlihat pada 24-48 jam setelah perawatan. Gambaran radiologi kadang-kadang
masih tampak normal pada pneumonia dini, pneumonia oleh bakteri gram negatif dan
tuberkulosis endobronkial (Gleckmanet al; 1987).
b. Laboratorium
Peningkatan jumlah leukosit berkisar antara 10.000 - 40.000 /ul, Leukosit
polimorfonuklear dengan banyak bentuk. Meskipun dapat pula ditemukan leukopenia.
Hitung jenis menunjukkan shift to the left, dan LED meningkat(Gleckmanet al; 1987;
Bartlett JGet al., 1998).
c. Mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi diantaranya biakan sputum dan kultur darah untuk
mengetahui adanya S. pneumonia dengan pemeriksaan koagulasi antigen polisakarida
pneumokokkus(Gleckmanet al; 1987; Bartlett JGet al., 1998).
d. Analisa Gas Darah
Ditemukan hipoksemia sedang atau berat. Pada beberapa kasus, tekanan
parsial karbondioksida (PCO2) menurun dan pada stadium lanjut menunjukkan
asidosis respiratorik(Gleckmanet al; 1987).

6. Diagnosis
Diagnosis pneumonia komunitas didasarkan kepada riwayat penyakit yang
lengkap, pemeriksaan fisik yang teliti dan pemeriksaan penunjang yaitu pada foto
toraks terdapat infiltrat baru, atau infiltrat progresif ditambah dengan dua atau lebih
gejala seperti batuk, perubahan karakteristik dahak atau purulen, suhu tubuh lebih
dari 38oC (aksila) atau riwayat demam, pada pemeriksaan fisik ditemukan tandatanda konsolidasi, suara napas bronkhial, ronkhi, dan leukosit >10.000 atau <4500
/uL(Gleckmanet al; 1987; Bartlett JGet al., 1998).
7. Penatalaksanaan

Identifikasi etiologi penting untuk pengobatan antibiotik. Pemeriksaan bakteri


dapat dengan cara pewarnaan gram dari sputum dan cairan pleura, kultur sputum, kultur
darah dan cairan pleura. Kadang-kadang sukar untuk memperoleh sputum yang baik
pada pneumonia. Terapi kita gunakan antibiotik secara empirik. Pada pneumonia oleh
pneumococcus, penisilin adalah obat pilihan utama (Stein, 1987; Gleckmanet al; 1987).
Pada pneumonia oleh H. influenzae dapat diberikan ampisilin. Pada penderita
yang resisten terhadap ampisilin dapat diberikan cefonicid atau cefuroxime sodium.
Pilihan lain adalah penisilin atau sefalosporin. Bila alergi terhadap penisilin dapat
diberikan kloramfenikol atau trimetoprim-sulfametoksasol (Gleckmanet al; 1987Cunha
BAet al, 1990).
Pada pneumonia oleh strain staphylococcus dapat diberikan terapi oksasilin,
nafsilin dan sefalotin Gleckmanet al; 1987(Gleckmanet al; 1987;Cunha BAet al, 1990).
Terapi Antibiotik Empiris untuk CAP (Gleckmanet al; 1987; Barlet
et al; 1998)
Rawat jalan
Sebelumnya sehat
Tanpa terapi antibiotik belakangan ini: makrolid
Terapi antibiotik belakangan ini (kurang dari 3 bulan):
fluoroquinolon, lanjutkan makrolid + amoksicilin dosis tinggi.
Terapi antibiotik belakangan ini (lebih dari 3 bulan): pilih
antibiotik yang belum diterima selama 3 bulan terakhir.
Rawat Inap
Bangsal
Tanpa terapi antibiotik belakangan ini: fluoroquinolon, atau
lanjutkan makrolid + beta
laktam/cefotaxime/ceftriakson/ampisilin
Terapi antibiotik belakangan ini: makrolid + beta laktam atau
fluoroquinolon saja
ICU
Tanpa masalah infeksi Pseudomonas: beta laktam + makrolid
atau fluoroquinolon, bila alergi beta laktam, fluoroquinolon +

klindamisin
Infeksi Pseudomonas: antipseudomonal + ciprofloksasin atau
antipseudomonal + aminoglikosida + fluoroquinolon/makrolid,
bila alergi beta laktam: aztreonam + levofoksasin atau
aztreonam + moxifloksasin/gatifloksasin dengan atau tanpa
aminoglikosida
Pada penderita rawat jalan dapat diberikan antibiotik (empirik) dan pengobatan
yang bersifat suportif atau simtomatik : istirahat yang cukup, minum yang cukup untuk
mencegah dehidrasi, panas dapat diberikan antipiretik, mukolitik dan ekspektoran jika
diperlukan (Harris et al., 1982).
Pada penderita rawat inap biasa dapat diberikan antibiotik (empirik) dan
pengobatan suportif : pemberian oksigen, infus rehidrasi nutrisi dan elektrolit (ringer
laktat, NaCl 0,9 %, ringer asetat), pemberian obat simtomatik diantaranya antipiretik
(paracetamol 500mg 3x1 tablet) dan mukolitik (Bromhexin 3x1 tablet atau ambroxol
3x1 tablet) (Harris et al., 1982).
Pada penderita rawat inap di ruang intensif, terapi sama dengan penderita di ruang
rawat inap biasa, biila diperlukan dipasang ventilator mekanik. Pemilihan antibiotik
empirik sesuai dengan golongan kuman penyebab (Harris et al., 1982).
Dalam penatalaksanaan harus diperhatikan nutrisi, jumlah kalori yang dibutuhkan
baik parenteral atau melalui pipa lambung (Cunha BAet al., 1990). Cairan dan elektrolit
perlu dinilai karena pada pneumonia dapat terjadi hiponatremi atau hipernatremi.
Infeksi meningkatkan katabolisme protein dan melemahkan sistim imunitas humoral
dan seluler. Sistim respirasi harus diperhatikan, bila terjadi hipoksemi dapat diberi
oksigen. Pemberian oksigen dapat dinilai dengan analisis gas darah, karena keracunan
oksigen dapat melemahkan gerakan mukosiliar dan menyebabkan fibrosis. Penting
diperhatikan interaksi obat-obat yang dipakai, agar dicapai efek obat yang maksimum
dengan efek samping yang minimal. Dalam pemberian obat lebih dan dua macam dapat
terjadi percepatan metabolisme obat, pengaruh terhadap pembuluh darah perifer atau
mempengaruhi sistim saraf sentral (Gleckmanet al; 1987).

Bila dengan antibiotik empirik tidak ada perbaikan atau bahkan memburuk, terapi
disesuaikan dengan bakteri penyebab dan uji sensitivitas (Niederman MSet al., 1990).
8. Pencegahan
Di luar negri di anjurkan pemberian vaksin influenza dan pneumokokus pada
orang dengan resiko tinggi, dengan gangguan imunologis, penyakit berat termasuk
penyakit paru kronik, hati, ginjal dan jantung. Di samping itu vaksin juga perlu di
berikan untuk penghuni rumah jompo atau rumah penampungan penyakit kronik, dan
usia diatas 65 tahun (Centers for Disease Control and Prevention, 1997).

BAB III
PEMBAHASAN
Dasar diagnosis pada pasien ini adalah:
1. Anamnesis
a. Hasil anamnesa pasien menunjukan adanya gejala lokal atau gejala respiratorik dan
gejala sistemik TB yaitu :

Gejala respiratorik :
1). Batuk 3 minggu
2). Batuk darah
3). Sesak napas
Gejala sistemik
1). Demam
2). Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam,anoreksia, berat badan menurun
b. Adanya konversi dari batuk tidak berdahak menjadi produktif mengarahkan ke CAP.
Selain itu, keluhan batuk dan sesak terjadi sebelum pasien berada di rumah sakit.
c. Kriteriadiagnosis TB milier menurut pedoman nasional pelayanan kedokteran tatalaksana
tuberculosis (Kementerian Kesehatan RI, 2013) antara lain:
1). Presentasiklinis sesuai

dengan diagnosis

tuberkulosis

seperti

demam

dengan peningkatan suhu di malam hari, penurunan berat badan, anoreksia, takikardi,
keringat malam menetap setelah pemberian antituberkulosis selama 6 minggu.
2). Foto toraks menunjukkan gambaran klasik pola milier
3). Lesi paru berupa gambaran retikulonodular difus bilateral di belakang bayangan
milier yang dapat dilihat pada foto toraks maupun HRCT
4). Bukti mikrobiologi dan atau histopatologi menunjukkan tuberkulosis
d. Faktor risiko lingkungan: Pasien tinggaldi daerah pedesaan bersama kedua orang tuanya,
nenek, 5 saudara kandung, dan 1 keponakan. Rumah pasien berdinding kayu, lantai dari
semen, atap dari seng. Pasien menyebutkan bahwa cukup ventilasi di rumahnya sehingga
dapat terkena sinar matahari. Rumah pasien berukuran sekitar 14 meter x 10
meter.Terdapat 1 ruang tamu yang menjadi satu dengan ruang keluarga dan ruang makan,
5 kamar tidur, 1 dapur, dan 1 kamar mandi.Sumber air menggunakan air sumur. Kamar
pasien berukuran 2 meter x 2,5 meter. Di dalam kamar pasien terdapat 1 jendela
berukuran 1 meter x 0,5 meter yang dapat dibuka sehingga kamar pasien dapat terkena
sinar matahari. Disamping rumah pasien terdapat peliharaan kambing milik orang lain.
e. Faktor risiko pekerjaan: Pasien adalah lulusan SMP yang telah bekerja di pabrik
pembuatan bulu mata sebagai buruh. Pekerjaan pasien membuat bulu mata palsu yang
pekerjaannya dapat dilakukan di rumah. Penghasilan pasien dari hasil membuat bulu
mata adalah sekitar Rp 600.000/ bulan.

f. RPD :Pasien pernah mengalami batuk berdarah selama 2 hari sekitar bulan Juli 2014.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum

:tampak sesak

Kesadaran
: composmentis, GCS E4M6V5 (15)
BB
: 31 kg
TB
: 150 cm
IMT : 13,78 (underweight)
Vital sign
- Tekanan Darah
: 110/70 mmHg
- Nadi
: 112x/menit
- RR
: 32x/menit
- Suhu
: 36,1oC
b. Mata
-

Konjungtiva

: anemis (+/+)

c. Mulut
-

Bibir kering (+ )

d. Dada
Paru
-

Inspeksi

: Retraksi epigastrik (+)

Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), wheezing (-/-)


Ronki basah kasar (+/+), ronki basah halus (-/-)

3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan darah lengkap pada tanggal 25 Februari 2015 menunjukan hasil yang tidak
normal yaitu:
Hb

: 7,9gr/dl

Normal : 12 16 gr/dl

Leukosit : 12.380 /ul H

Normal : 4.800 10.800/ul

Hematokrit

: 24 %

Normal : 37 % - 47 %

Eritrosit : 3,4 juta/ul L

Normal : 4,2 5,4 juta/ul

Trombosit

: 538.000/ul

Normal: 150.000 - 450.000/ul

Segmen : 95,8 %

Normal : 40 70%

Limfosit : 1,5%

Normal : 25 - 40%

Laboratorium darah 26 Februari 2015 (setelah tranfusi)


Hb

: 9gr/dlL

Normal : 12 16 gr/dl

Leukosit : 10.600 /ul N

Normal : 4.800 10.800/ul

Hematokrit

: 29 %

Normal : 37 % - 52 %

Eritrosit : 3,9 juta/ul L

Normal : 4,2 5,4 juta/ul

Trombosit

: 459.000/ul

Normal: 150.000 - 450.000/ul

Segmen : 94,4 %

Normal : 40 70%

Limfosit : 2,7%

Normal : 25 - 40%

Diagnosis Anemia didapatkan dari pemeriksaan status generalis pada conjunctiva


anemis (+)diperkuat dengan Hb 7,9 g/dL (anemia sedang) pada saat sebelum tranfusi, Ht
24% dan Hb 9 g/dL (anemia ringan) pada saat setelah tranfusi, Ht 29%.
b. Mikrobiologi 25 Februari 2015
Pewarnaan ZN 1X
BTA I

: 3+ (positif 3)

Epitel

: positif

Leukosit

: positif

Pewarnaan ZN 2X
BTA II

: 3+ (positif 3)

Epitel

: positif

Leukosit

: positif

Pewarnaan ZN 3
BTA BTA I

: 3+ (positif 3)

Epitel

: positif

Leukosit

: positif

c. Gambaran Darah Tepi 25 Februari 2015


Eritrosit

Anisositosis sedang
Poikilositosis sedang fragmentosit, granulosit, sel pensil, sferosit
Leukosit

Estimasi jumlah meningkat, neutrofilia, granulasi toksik, vakuolisasi

Trombosit

Estimasi jumlah meningkat, bentuk kasar (+), clumping (-)


Kesan

Anemia mikrositik hipokromik


DD :

Anemia karena penyakit kronik


Anemia Defisiensi besi

Lekositosis
Suspek infeksi bakteri
Trombositosis
DD :

Trombositosis reaktif ec infeksi


Esensial trombositopenia

Leukositosis 12.380 dengan peningkatan segmen 95,8% menunjukan adanya


infeksi bakteri akut.Trombositosis dari hasil GDT juga dicurigai trombositosis reaktif
karena infeksi. Pasien mendapatkan infeksi pneumonia diluar lingkungan rumah sakit,
sehingga disebut Community Acquired Pneumonia (CAP).

d. Foto thoraks

Foto Thorax 9 Februari 2015 di RSUD Dr Goeteng Taroenadibrata


Hasil pemeriksaan Foto Thorax
Cor

: Besar cor normal

Pulmo

: Bercak konsolidasi di kedua paru ec bronchopneumonia (milier)


DD: TB paru tipe milier
Tak tampak efusi pleura

4. Penatalaksanaan
Pada pasien ini terapi yang dapat diberikan adalah terapi farmakologi dan non farmakologi.
Panduan penatalaksaan TB milier yang direkomendasikan oleh PDPI adalah :
a. Rawat Inap
b. Pemberian oksigenasi
c. Pengobatan TB Milier dilakukan dengan pemberian OAT (Obat Anti Tuberkulosis)
Kategori I dan kortikosteroid.
OAT Kategori I, terdiridari :
a. Tahap Intensif , 60 hari minum obat setiap hari dengan perpaduan obat : Isoniazid
(H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) dan Etambutol (E).
b. Tahap lanjutan, 54 hari minum obat selama 4 bulan (3x/minggu), dengan paduan :
Isoniasid (H) dan Rifampisin (R).
Dosis obat :

a. Isoniasid (H)
Bersifat bakterisid, dapat membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa hari
pengobatan. Dosis harian : 5 mg/kg BB, dosis intermiten 3 x / minggu : 10 mg/kg BB.
b. Rifampisin (R)
Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang tidak bisa dibunuh oleh Isoniasid.
Dosis harian dan dosis intermiten sama, yaitu : 10 mg/kg BB.
c. Pirasinamid (Z)
Bersifat bakterisid, membunuh kuman yang berada di dalam sel dengan suasana
asam. Dosis harian : 25 mg/kg BB, dosis intermiten 35 mg/kg BB.
d. Etambutol (E)
Bersifat bakteriostatik, dosis harian : 15 mg/kg BB, dosis intermiten : 30 mg/kg BB.
Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid dilakukan dengan dosis 30-40 mg/kg BB per hari, kemudian
diturunkan secara bertahap sampai 5-10 mg/kg BB, dan lama pemberian disesuaikan
dengan jenis penyakit dan kemajuan pengobatan.
Pemberian kortikosteroid tidak rutin, hanya diberikan padakeadaan
- Tanda / gejala meningitis
- Sesak napas
- Tanda / gejala toksik
- Demam tinggi
d. Pada keadaan khusus (sakit berat), tergantung keadaan klinis, radiologi, dan evaluas
pengobatan, maka pengobatan lanjutan dapat diperpanjang sampai dengan 7bulan
2RHZE/ 7 RH

a. Terapi utama penumonia adalah pemberian antibiotik. Pemberian tersebut bertujuan


sebagai terapi kausal untuk membunuh kuman penyebab pneumonia tersebut. Terapi yang
diberikan pada pasien ini adalah antibiotik spektrum luas yaitu injeksi ceftriaxon
bertujuan untuk membunuh kuman yang mengakibatkan infeksi saluran nafas dan minim
efek samping. Cefriaxon diganti dengan cefixime pada hari kelima sebagai bakterisidal
terhadap pneumonia.

b. Ranitidin 2 x 1 tab PO diberikan untuk mengatasi mual yang kemungkinan dapat


disebabkan oleh salah satu OAT
c. Terasma syr 3x1 Cth PO diberikan karena pasien ada batuk berdahak.Terasma
mempunyai mekanisme kerja sebagai bronkodilator dan ekspektoran sehingga memiliki
efek mengeluarkan dahak dan melegakan saluran nafas.
d. 4-FDC PO pada pasien ini karena baru memasuki fase intensive dari pengobatan TB
maka untuk OAT yang diberikan berupa FDC (fix Drug Combination) yang berisi
Rifampisin 150 mg, INH 75 mg, pirazinamid 400 mg dan Etambutol 275 mg
e. Vit. B6 1 x 1 tab PO diberikan sebagai asupan tambahan yang berfungsi sebagai
suplemen, fungsi secara umum adalah untuk pembentukan sel darah merah, sintesa
protein, dan vit, B6 juga membantu dalam sintesi limfosit dan anti bodi yang dalam kasus
ini untuk meningkatkan ketahanan tubuh.
f. Pasien diprogramkan untuk transfusi PRC dikarenakan mengalami anemia sedang.
Pemeriksaan generalis didapatkan konjunctiva anemis dan Hb 7,9 mg/dL dimana
transfusi tersebut diharapkan dapat mengembalikan Hb nya menjadi normal kembali
sehingga perfusi oksigen keseluruh jaringan menjadi adekuat.
g. Disampingdigunakanuntuk diagnosis pemeriksaandahakbermanfaatuntuk monitoring
pengobatan

TB.

Untuk

monitoring

pengobatan,

WHO

(bulan

ke-2)

merekomendasikanpemeriksaanpadaakhir Intensiffase

padapasien kasusbaru baikpadainisialpengobatanmempunyaihasil BTA +, atau (-) bahkan


yang tidakdilakukanpemeriksaanawalsamasekalisertadilakukanulanganlagipada bulan ke5

dan

ke-6

(akhirpengobatan).

Khususpadapasien

TB

paru

diawalpengobatantidakdilakukanpemeriksaan
makajikahasilpemeriksaanpadabulan

ke-2

yang
sputum

menunjukanhasil

makapengobatantetapdilanjutkantetapi tidak dilakukanpengulanganpemeriksaan


padabulan

negative
sputum
ke-5

atauakhirpengobatandanmonitoringnyadilakukansecaraklinissertadapatmenggunakanpeni
ngkatan beratbadan sebagaisalahsatuprediktor (WHO, 2008)
h. Non Farmakologi
1). Edukasi tentang penyakit, faktor risiko, pengobatan dan komplikasi penyakit.
Diberikan edukasi terutama mengenai TB dan komplikasinya. Selain itu diberikan
edukasi mengenai faktor resiko seperti ventilasi udara yang kurang, kebersihan

lingkungan rumah yang kurang serta pola hidup sehat.Selain itu, edukasi mengenai
pentingnya minum obat secara teratur
2). Mengindari pajanan asap rokok dan berhenti merokok.
Sebagai edukasi ke pasien mengenai faktor yang dapat memperburuk masalah yang
terdapat di paru-paru pasien.
3). Keseimbangan nutrisi antara karbohidrat, protein, lemak yang diberikan dalam porsi
kecil tapi sering.
Karena pasien mengalami penurunan berat badan yang drastic dalam waktu dua bulan
sebanyak 10 kilogram, maka keseimbangan nutrisi maupun intake nutrisi yang masuk
harus disesuaikan.
4). Edukasi keluarga dengan menyarankan anggota keluarga untuk tes dahak

BAB IV

KESIMPULAN
1. Penegakkan diagnosis tuberkulosis paru mencakup dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang tidak cukup hanya menggunakan foto
thorax saja, akan tetapi membutuhkan pemeriksaaan sputum sewaktu-pagi-sewaktu.
2. Pada kasus TB paru milier BTA (+) lesi luas kasusbaru, diberikan OAT kategori 1 yaitu
dilakukan dengan pemberian OAT (Obat Anti Tuberkulosis) Kategori I dan kortikosteroid.
OAT Kategori I, terdiri dari :
a. Tahap Intensif , 60 hari minum obat setiap hari dengan perpaduan obat : Isoniazid (H),
Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) dan Etambutol (E).
b. Tahap lanjutan, 54 hari minum obat selama 4 bulan (3x/minggu), dengan paduan :
Isoniasid (H) dan Rifampisin (R).
Pemberian kortikosteroid dilakukan dengan dosis 30-40 mg/kg BB per hari, kemudian
diturunkan secara bertahap sampai 5-10 mg/kg BB, dan lama pemberian disesuaikan dengan
jenis penyakit dan kemajuan pengobatan.
3. Tindak lanjut hasil pemeriksaan ulang sputum dilakukan pada akhir tahap intensif, sebulan
sebelum pengobatan terakhir, dan akhir pengobatan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Ardiana D, Wuryaningrum W, Widjaja ES. Skrofuloderma pada Dada. Disampaikan pada
Pertemuan Berkala Ilmu Penyakit Kulit & Kelamin XIV. Surabaya. 1 April, 2002.
2. Bartlett JG, Breiman RF, Mandell LA, File TM Jr: Community Acquired Pneumonia in
adults: Guidelines for management. Clin Infect Dis 26:811-838, 1998
3. Centers for Disease Control and Prevention : Premature deaths, monthly mortality and
monthly physician contacs-United States. MMWR Morb Mortal Wkly Rep 46:556, 1997.
4. Crofton J, Douglas A. Pneumonia. In: Respiratory disease. Singapore: PG Publ Pte Ltd, 165,
1983.
5. Cunha BA, Gingrich D, Rosenbaum GS. Pneumonia syndromes: a clinical approach in the
olderly. Geriatrics, 45-49, 1990.
6. Fishman : Pulmonary disease and disorders, fourth edition, volume two, United States,
119:2097-2114, 2008.
7. Gleckman RA, Bergman MH. Bacterial pneumonia: specific diagnosis and treatment of the
elderly. Geriatrics 1987; 42: 29.
8. Grossman M. Tuberculosis. Dalam: Rudolph AM, Hoffman JIE, Rudolph CD, penyunting.
Buku ajar Pediatri Rudolph. Edisi ke-20. EGC;1997.h.687-97.
9. Gunadi D, Lubis B, Rosdiana N. Terapi dan suplementasi besi pada anak. Sari Pediatri
2009;11(3):207-11.
10. Harris GD, Johanson WG. Pathogenesis of bacterial pneumonia. In: Guenter CA, Welch MG.
ed. Pulmonary medicine. Second ed. Philadelphia: lB Lippincott Co. 347, 1982.
11. International Union Against Tuberculosis and Lung Disease. Diagnostic ATLAS of
intrathoracic tuberculosis in children. Paris;2003.
12. Kartasasmita CB, Basir D. Tuberkulosis. Dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB,
penyunting. Buku ajar respirologi anak. Edisi pertama. Jakarta. IDAI;2008.h.162-261.
13. Kenyorini, Suradi, Surjanto E. Uji Tuberkulin. Jurnal Tuberkulosis Indonesia 2010;3(2):15.Maltezau HO, Spyridis P, Kafetzis DA. Extra-pulmonary tuberculosis in children. Arch Dis
Child. 2000;83:342-46.
14. Kementrian Kesehatan RI. 2013. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana
Tuberkulosis. Jakarta : Kementrian Kesehatan RI.

15. Kenyorini, Suradi, Surjanto E. Uji Tuberkulin. Jurnal Tuberkulosis Indonesia 2010;3(2):1-5.
16. Kiss TG. Infections of the lung parenchyma. In: Diagnosis and management of pulmonary
disease in primary practice. Sydney: Addison-Wesley Pubi Co. 122, 1982.
17. Niederman MS, Sarosi GA. Respiratory infection. In: George RB, Light RW, Matthay MA,
2nd eds. Chest medicine essentials of pulmonary and critical care medicine. Baltimore:
Williams & Wilkins, 307, 1990.
18. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
19. Rahajoe NN, Basir D, Makmuri MS, Kartasasmita CB. Pedoman nasional tuberkulosis anak.
Edisi ke-2. Jakarta: UKK Respirologi IDAI;2007.
20. Rogelio Hernndez-Pando, Rommel Chacn-Salinas, Jeanet Serafn-Lpez, and Iris Estrada.
Immunology, pathogenesis,virulence. In: tuberculosis 2007 from basic science to patient
care. 2007:157-205. Diunduh dari www.tuberculosistextbook.com.
21. Starke JR. Tuberculosis. Dalam: Behrman RE, Kliegman R, Jenson HB, penyunting. Nelson
Textbook of Pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia; Saunders;2011.h.960-71.
22. Stein D. Managing pneumonia acquired in nursing homes: special concerns. Geriatrics 42:
81-90, 1987.
23. Schlesinger LS. Phagositosis and toll-like receptors in tuberculosis. Dalam: Rom W, Garay
SM, Levitzky, penyunting. Pulmonary pathophysiology. Edisi ke-5. Volume I;2004.
24. Ven Katesen Pet al. A hospital study of community acquired pneumonia in the elderly.
Thorax, 5: 254, 1990.
25. WHO. Anti tuberculosis treatment in children. Dalam: Guidance for national tuberculosis
programmes on the management of tuberculosis in children. Geneva: World Health
Organization;2006;1205-11.

Resep Non FDC


RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto
SIP. G4A0130787980
Jl. Dr. Gumbreg No 1, Purwokerto 53182
Telp. (0278) 1234567890
Purwokerto, 7 Maret 2015
BB : 31 kg
Dosis Terapi
R/ Rifampisin kaps 300 mg No. XXX

(243- 372 mg)

1 dd kaps 1 ac pagi_______________________
R/ Isoniazid tab 300 mg No. XV

(124- 186 mg)

I dd tab pc pagi_________________________
R/ Pirazinamid tab 500 mg No XLV

(620- 930 mg)

__ 1 dd tab 1 pc siang______________________
R/ Etambutol tab 500 mg No. XXX
1 dd tab 1 pc sore__________________________

Pro

: Nn. S

Umur : 32 Tahun
Alamat: Bojanegara 02/02, Padamara, Purbalingga

(465- 620 mg)

Resep FDC
RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto
SIP. G4A0130787980
Jl. Dr. Gumbreg No 1, Purwokerto 53182
Telp. (0278) 1234567890
Purwokerto, 7 Maret 2015
BB : 31 kg
R/ 4 FDC tab No. LX
I dd tab 2 ac pagi/malam_____________________

Pro

: Nn. S

Umur : 32 Tahun
Alamat: Bojanegara 02/02, Padamara, Purbalingga

Anda mungkin juga menyukai