Diajukan kepada :
dr. Indah Rahmawati, Sp.P
Disusun oleh :
Irvianna Hamdja
G4A013078
G4A013079
Nurul Setiawan
G4A013080
LEMBAR PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS
COMMUNITY ACQUIRED PNEUMONIA (CAP)
DAN
TB PARU MILIER BTA (+) LESI LUAS KASUS BARU
Disusun oleh :
Irvianna Hamdja
G4A013078
G4A013079
Nurul Setiawan
G4A013080
Maret 2015
Pembimbing,
BAB I
LAPORAN KASUS
I.
IDENTITAS PENDERITA
Nama
: Nn. S
Usia
: 32tahun
Jenis kelamin : Wanita
Status
: Belum menikah
Agama
: Islam
Pekerjaan
:Alamat
: Bojanegara 02/02, Padamara, Purbalingga
Tanggal masuk : 23 Februari2015
Tanggal periksa :2 Maret 2015
No. CM
: 932091
II.
SUBJEKTIF
1 Keluhan Utama
Sesak napas
2 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan sesak nafas yang dirasakan pertama kali dua bulan
sebelum masuk Rumah Sakit Margono Soekardjo Purwokerto. Sesak tidak kunjung
membaik dan semakin memberat tiga hari sebelum masuk RSMS.Sesak dirasakan
terus- menerus dan semakin memberat.Pasien bernafas menggunakan bantuan oksigen
tambahan terus- menerus.Sesak dirasakan sangat mengganggu aktivitas sehingga
pasien tidak dapat beranjak dari tempat tidur. Saat sesak, pasien merasa lebih nyaman
ketika duduk membungkuk. Pasien merasakan kurang nyaman dengan posisi
berbaring.Posisi tidur dirasakan mempengaruhi sesak.Pasien tidur menggunakan
bantal yang tinggi. Pasien merasakan tidur lebih nyaman dengan posisi duduk
membungkuk.
Selain keluhan sesak, pasien mengeluhkan batuk kering menjadi batuk yang
berdahak semenjak dirawat di RSMS.Batuk muncul terutama saat pagi hari.Dahak
berwarna putih, kental, dan mudah dikeluarkan.Selain itu, pasien juga mengeluhkan
keringat dingin dimalam hari, nafsu makan menurun, berat badan menurun, dan badan
terasa lemah.
3
dengan minum air hangat.Selain itu, terkadang pasien merasakan demam yang naik
turun menyertai batuk dan sesak.Pasien sering mual dan muntah setiap kali diberikan
makanan.Pasien memeriksakan dirinya ke Puskesmas Padamara dengan keluhan
sesak, nyeri lambung, dan batuk kering. Keluhan dirasa sering kambuh maka pasien
memutuskan untuk berobat ke RSUD Dr Goeteng Taroenadibratadan mondok selama
4 hari dengan keluhan sesak nafas, nyeri lambung, dan batuk kering. Pasien dianjurkan
melakukan pemeriksaan X foto roentgen di RSUD Dr Goeteng Taroenadibrata dan
pemeriksaan dahak. Pemeriksaan roentgen dilakukan, akan tetapi pemeriksaan dahak
tidak dilakukan karena pasien tidak dapat mengeluarkan dahak.
Pasien sempat pulang selama 1 minggu.Satu minggu kemudian keadaan pasien
tidak kunjung membaik, melainkan dirasa semakin memberat maka pasien berobat
kembali ke RSU Harapan Ibu selama 3 hari dengan keluhan sesak nafas dan batuk
kering.Menurut pasien, pasien sempat diminta untuk melakukan pemeriksaan dahak
namun tidak dilakukan karena dahak sulit keluar.Sesak semakin memberat dan
akhirnya RSU Harapan Ibu merujuk pasien ke RSMS pada tanggal 23 Februari 2015
dengan diagnosa TB Milier.
Pasien menyangkal adanya riwayat alergi dan asma, dulu pasien tidak mempunyai
kebiasaan merokok dan tidak pernah mengkonsumsi OAT. Pasien pernah mengalami
batuk
berdarah selama 2 hari sekitar bulan Juli 2014 namun pasien hanya
: disangkal
: diakui (Tiphoid, sesak nafas, gangguan lambung)
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
Riwayat hipertensi
: disangkal
: disangkal
Riwayat asma
: disangkal
Riwayat alergi
: disangkal
Community
Sebelum sakit pasien bekerja di pabrik pembuatan bulu mata di Purbalingga
semenjak lulus SMP.Akan tetapi pekerjaan lebih sering dilakukan di rumah. Pasien
mengaku termasuk orang yang jarang keluar rumah. Pasien lebih sering
beraktifitas dan bekerja di rumah.Pasien pergi saat mengambil bahan atau
mengantar hasil pembuatan bulu mata.Pasien mengaku tidak ada teman- teman
bekerja, tetangga di sekitar rumah, atau keluarga yang memiliki keluhan yang
sama. Hubungan antara pasien dengan tetangga dan keluarga dekat baik.Kakak
pasien mengaku juga mengalami batuk- batuk semenjak merawat pasien.
Home
Pasien tinggal di rumahnya bersama 9 orang anggota keluarga yaitu kedua orang
tuanya, 1 nenek, 5 saudara kandung, dan 1 keponakan.Orangtua pasien bekerja di
rumah. Ibupasien berjualan nasi rames, ayah pasien bekerja sebagai pemelihara
kambing milik orang lain, 3 orang saudara kandungnya bekerja di pabrik permen,
pabrik rambut, dan pabrik rokok serta seorang adik yang masih duduk dibangku
SMP. Dari anggota keluarga yang tinggal serumah dengan pasien, hanya kakak
pasien yang mengeluhkan keluhan serupa dengan pasien yaitu batuk.Namun
keluhan tersebut diakui baru terjadi mulai pada saat kakak pasien merawat
pasien.Lantai rumah beralaskan semen, dinding kayu, atap seng, dan ada beberapa
buah jendela serta ventilasi yang dapat terkena sinar matahari.Rumah pasien
berukuran 14 meter x 10 meter.Rumah pasien terdiri dari 5 kamar tidur, satu ruang
tamu yang menjadi satu dengan ruang keluarga dan ruang makan, satu dapur, dan
satu kamar mandi.Sumber air berasal dari sumur.Pencahayaan rumah pasien
berasal dari lampu dan sinar matahari yang cukup. Kamar pasien berukuran 2
meter x 2,5 meter. Pasien tidur seorang diri di dalam kamarnya.Pada kamar pasien
terdapat jendela yang dapat dibuka berukuran 1 meter x 50 meter.
Occupational
Pasien bekerja sebagai buruh pembuat bulu mata pada sebuah pabrikdengan
penghasilan cukup.Pekerjaannya lebih sering dilakukan di rumah.Pasien datang ke
pabrik
saat
mengambil
bahan
dan
mengantar
hasil
pembuatan
bulu
Personal habit
Pasien mengaku makan sehari 2-3kali sehari, dengan nasi, sayur dan lauk pauk
yang cukup karena orang tua bekerja berjualan nasi rames.Pasien mengaku tidak
pernah merokok, pasien mengaku tidak pernah mengkonsumsi alkohol, ataupun
mengkonsumsi obat-obatan terlarang.Pasien mengaku jarang berpergian.
III. OBJEKTIF
1. Pemeriksaan Fisik
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Keadaan Umum
Kesadaran
BB
TB
IMT
Vital sign
- Tekanan Darah
- Nadi
- RR
- Suhu
d. Status Generalis
:tampak sesak
: composmentis, GCS E4M6V5 (15)
: 31 kg
: 150 cm
: 13,78 (underweight)
: 110/70 mmHg
: 112x/menit
: 32x/menit
: 36,1oC
1) Kepala
-
Bentuk
Rambut
rontok
2) Mata
-
Palpebra
Konjungtiva
: anemis (+/+)
Sclera
: ikterik (-/-)
Pupil
3) Telinga
-
otore (-/-)
deformitas (-/-)
discharge (-/-)
4) Hidung
-
deformitas (-/-)
discharge (-/-)
rinorhea (-/-)
5) Mulut
-
bibir kering (+ )
6) Leher
-
Trakhea
Kelenjar lymphoid
Kelenjar thyroid
: tidak membesar
JVP
7) Dada
a) Paru
-
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
b) Jantung
-
8) Abdomen
-
Inspeksi
: datar
Auskultasi
Perkusi
: timpani,
costovertebrae (-)
-
Palpasi
Hepar
: tidak teraba
Lien
: tidak teraba
9) Ekstrimitas
-
2. Pemeriksaan penunjang
a. Laboratorium darah 23 Februari 2015 (sebelum tranfusi)
Hb
: 7,9gr/dl
Normal : 12 16 gr/dl
Leukosit
: 12.380 /ul
Hematokrit
: 24 %
Normal : 37 % - 47 %
Eritrosit
: 3,4 juta/ul
Trombosit
: 538.000/ul
MCV
: 71,1 fL
Normal : 79 - 99 fL
MCH
: 23,5 pg
Normal : 27 - 31 pg
MCHC
: 33,1 gr/dl
Normal : 33 37gr/dl
RDW
: 16,5 %
MPV
: 8,6fL
Eosinofil
: 0,2% N
Normal : 0 1 %
Basofil
: 0,0 %
Normal : 2 4 %
Batang
: 1,2 %
Normal : 2 5 %
Segmen
: 95,8 %
Normal : 40 70%
Limfosit
: 1,5% L
Normal : 25 - 40%
Monosit
: 1,3% L
Normal : 2 8 %
SGOT
: 29
SGPT
: 27
GDS
: 119
Natrium
: 134
Kalium
: 4,2
Klorida
: 88
Hitung Jenis
Kimia Klinik
: 9gr/dlL
Normal : 12 16 gr/dl
Leukosit
: 10.600 /ul
Hematokrit
: 29 %
Normal : 37 % - 52 %
Eritrosit
: 3,9 juta/ul
Trombosit
: 459.000/ul
MCV
: 71,3 fL
Normal : 79 - 99 fL
MCH
: 23,3 pg
Normal : 27 - 31 pg
MCHC
: 32,6 gr/dl
Normal : 33 37gr/dl
RDW
: 16,3 %
MPV
: 7,9fL
Eosinofil
: 0,0% N
Normal : 0 1 %
Basofil
: 0,0 %
Normal : 2 4 %
Batang
: 0,0 %
Normal : 2 5 %
Segmen
: 94,4 %
Normal : 40 70%
Limfosit
: 2,7% L
Normal : 25 - 40%
Monosit
: 2,9% L
Normal : 2 8 %
Hitung Jenis
: 3+ (positif 3)
Epitel
: positif
Leukosit
: positif
Pewarnaan ZN 2X
BTA II
: 3+ (positif 3)
Epitel
: positif
Leukosit
: positif
Pewarnaan ZN 3
BTA BTA I
: 3+ (positif 3)
Epitel
: positif
Leukosit
: positif
Anisositosis sedang
Poikilositosis sedang fragmentosit, granulosit, sel pensil, sferosit
Leukosit
Trombosit
Lekositosis
Suspek infeksi bakteri
Trombositosis
DD :
b. Foto thoraks
Pulmo
IV.
DIAGNOSIS
1. TB paru milier BTA (+) Lesi luas kasus baru
2. Community Acquired Pneumonia
3. Anemia ringan
V.
PLANNING
1. Diagosis
a. Sputum BTASPS ( BTA I, II, dan III positif)
b. Cek GDT
c. Konsul VCT
2. Terapi
a. Farmakologi
1) NRM 6- 8 lpm
2) Cefixime 2 x 100 mg PO
3) Metil prednisone 2x2 mg PO
4) Ranitidin2x1 tab PO
5) Terasma 3 x 1 cth PO
6) Sulfat ferosus 2 x 1 tab PO
7) 4FDC 1XII tab PO
8) B6 1 x 1 tab PO
b. Non Farmakologi
1) Edukasi
pasien
dan
keluarga
pasien
mengenaipenyebab,
penularan,
Evaluasi respon pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada
tidaknya komplikasi
d. Evaluasi radiologi
-
Sebelum pengobatan
Pemeriksaan visus
: dubia ad bonam
Ad fungsionam
: dubia ad bonam
Ad sanationam
: dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. TB MILIER
Tuberkolosis milier termasuk salah satu bentuk TB yang berat dan merupakan 3 - 7%
dari seluruh kasus TB dengan angka kematian yang tinggi. Tuberkulosis milier merupakan
jenis tuberkulosis yang bervariasi mulai dari infeksi kronis, progresif lambat, hingga penyakit
fulminan akut, yang disebabkan penyebaran hematogen atau limfogen dari bahan kaseosa
terinfeksi ke dalam aliran darah dan mengenai banyak organ dengan tuberkel-tuberkel mirip
benih padi (Kartasasmita et al., 2008).
TB milier merupakan penyakit limfo-hematogen sistemik akibat penyebaran kuman M.
tuberkolosis dari komples primer yang biasanya terjadi dalam waktu 2 6 bulan pertama
setelah infeksi awal. Tuberkulosis Milier adalah suatu bentuk Tuberkulosa paru dengan
terbentuknya granuloma. Granuloma yang merupakan perkembangan penyakit dengan
ukuran kurang lebih sama kelihatan seperti biji milet (sejenis gandum), berdiameter 1-2 mm
(WHO, 2006).
TB milier lebih sering terjadi pada bayi dan anak kecil, terutama usia dibawah 2 tahun,
karena imunitas seluler spesifik, fungsi makrofag dan mekanisme lokal pertahanan parunya
belum berkembang sempurna sehingga kuman TB mudah berkembang biak dan menyebar
keseluruh tubuh. Akan tetapi, TB milier dapat juga terjadi pada anak besar dan remaja akibat
pengobatan penyakit paru primer sebelumnya yang tidak adekuat, atau pada usia dewasa
akibat reaktivasi kuman yang dorman. Berbeda dengan TB dewasa, gejala TB pada anak
seringkali tidak khas dan sulit didapatkan spesimen diagnostik yang terpercaya.Sehingga
diagnosis TB pada anak menggunakan scoring system yang didasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan penunjang (Kartasasmita et al, 2008; WHO, 2006).
Diagnosis TB Milier ditegakkan berdasarkan temuan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
radiologis. Mengacu kepada ketentuan WHO, pengobatan TBC Milier pada prinsipnya sama
dengan pengobatan TBC pada umumnya, yaitu perpaduan dari beberapa jenis antituberkulosa
baik yang bakteriostatik maupun bakterisid. TBC Milier bersama dengan TBC dengan
Meningitis, TBC Pleuritis Eksudatif, TBC Parikarditis Konstriktif, direkomendasikan untuk
mendapat pengobatan dengan OAT kategori I ditambah dengan kortikosteroid (Starke JR,
2011).
1. Definisi
Tuberkulosis milier (TB milier) merupakan penyakit limfohematogen sistemik
akibat penyebaran kuman Mycobacterium tuberculosis dari kompleks primer, yang
biasanya terjadi dalam waktu 2-6 bulan pertama, setelah infeksi awal. TB milier dapat
mengenai 1 organ (sangat jarang, <5%), namun yang lazim terjadi pada beberapa organ
(seluruh tubuh, >90%), termasuk otak. TB milier klasik diartikan sebagai kuman basil TB
berbentuk millet (padi) ukuran rata-rata 2 mm, lebar 1-5 mm diparu, terlihat pada
Rontgen. Pola ini terlihat pada 1-3 % kasus TB (Kartasasmita et al, 2008; WHO, 2006).
2. Etiologi
Mycobacterium Tuberculosis adalah penyebab utama penyakit tuberkulosis pada
manusia, berupa basil tidak membentuk spora, tidak bergerak, panjang 2-4 nm. Obligat
aerob yang tumbuh dalam media kultur Loweinstein-Jensen, tumbuh baik pada suhu 37410C, dinding sel yang kaya lemak menyebabkan tahan terhadap efek bakterisidal
antibodi dan komplemen, tumbuh lambat dengan waktu generasi 12-24 jam (Maltezau et
al, 2000).
3. Epidemiologi
Laporan mengenai TB anak jarang di dapatkan. Perkiraan jumlah kasus TB anak
pertahun adalah 5-6 % dari total kasus TB. Angka kejadian TB di Amerika Serikat dan
Kanada mengalami peningkatan pada anak berusia 0-4 tahun (19%), sedangkan pada usia
5-15 tahun (40%). Angka kejadian TB di Asia Tenggara selama 10 tahun, di perkirakan
bahwa jumlah kasus baru adalah 35,1 juta. Penanggulangan TB Global yang di keluarkan
WHO pada tahun 2004, angka kejadian TB pada tahun 2002 mencapai 555.000 kasus
(256 kasus/100.000 penduduk). Hasil survey prevalensi TB di Indonesia tahun 2004
menunjukkan bahwa angka prevalensi TB BTA positif secara nasional 110 per 100.000
penduduk (Starke, 2011; Rahajoe et al, 2007).
TB milier mirip dengan banyak penyakit, pada beberapa kasus, hampir 50%
kasus tidak dapat didiagnosis semasa hidup. Dari semua pasien TB, 1,5% di perkirakan
merupakan TB milier. Laporan dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC)
Amerika Serikat, dari tahun 1996 menunjukkan bahwa 257 pasien (1,2%) dari 21.337
pasien TB adalah TB milier. Insiden TB milier lebih tinggi pada orang Afrika Amerika di
Amerika Serikat karena pengaruh faktor sosial ekonomi, laki-laki lebih tinggi insidennya
dari wanita. Pada beberapa kasus di temukan bahwa kulit hitam lebih tinggi insidennya
di bandingkan kulit putih karena pengaruh sosial ekonomi (Kartasasmita et al, 2008).
Tuberkulosis milier lebih sering terjadi pada bayi dan anak kecil, terutama usia <
2 tahun, karena imunitas selular spesifik, fungsi makrofag, dan mekanisme lokal
pertahanan parunya belum berkembang sempurna, sehingga kuman TB mudah
berkembangbiak dan menyebar ke seluruh tubuh. TB milier juga dapat terjadi pada anak
besar dan remaja akibat pengobatan penyakit paru primer sebelumnya yang tidak
adekuat, atau pada usia dewasa akibat reaktivasi kuman yang dorman (Kartasasmita et al,
2008).
Terjadinya TB milier di pengaruhi oleh dua faktor, yaitu jumlah dan virulensi
kuman Mycobacterium tuberculosis dan status imunologis pasien (non spesifik dan
spesifik). Beberapa kondisi yang menurunkan sistem imun juga dapat memudahkan
timbulnya TB milier, seperti infeksi HIV, malnutrisi, infeksi morbili, pertusis, diabetes
melitus, gagal ginjal, keganasan, dan penggunaan kortikosteroid jangka lama. Faktorfaktor lain yang mempengaruhi perkembangan penyakit adalah faktor lingkungan, yaitu
kurangnya sinar matahari, perumahan yang padat, polusi udara, asap rokok, penggunaan
alkohol, obat bius, serta sosial ekonomi (Starke, 2011).
Jumlah penderita TB milier di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM pada periode
tahun Januari 2000 - Desember 2001 yang di diagnosis berdasarkan gambaran klinis dan
foto thorak adalah 19 pasien, laki-laki 11 pasien dan perempuan 8 pasien dengan rentang
usia 2,5-11 bulan, terbanyak berusia 1-6 bulan. Sedangkan di Bagian Ilmu Kesehatan
Anak RSUP Dr.M.Djamil pada tahun 2006-2007 di dapatkan dari 27 pasien TB yang di
rawat, di temukan 2 pasien (7%) dengan TB milier (Kartasasmita et al, 2008).
4. Patogenesis
Paru merupakan port dentree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Ukuran kuman
TB sangat kecil (<5m), sehingga kuman yang terhirup dalam percik renik (droplet
nuclei) dapat mencapai alveolus. Sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan
seluruhnya oleh mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak terjadi respons
imunologis spesifik, sedangkan sebagian kasus lainnya, tidak seluruhnya dapat
dihancurkan. Individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag
alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian besar di hancurkan. Sebagian kecil
kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak dalam makrofag,
dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya kuman TB membentuk lesi di
tempat tersebut, yang di namakan fokus primer Ghon. Penyebaran selanjutnya, kuman
TB dari fokus primer Ghon menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe
regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer.
Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di
kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Gabungan antara fokus primer, limfangitis,
dan limfadenitis di namakan kompleks primer (primary complex). Waktu yang di
perlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer secara
lengkap di sebut sebagai masa inkubasi. Masa inkubasi TB berlangsung selama 2-12
minggu, biasanya berlangsung selama 4-8 minggu. Selama masa inkubasi, sebelum
terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi penyebaran limfogen dan hematogen.
Penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks
primer, atau berlanjut menyebar secara limfohematogen. Penyebaran hematogen secara
langsung bisa juga terjadi, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke
seluruh tubuh (gambar 2) ((Kartasasmita et al, 2008; WHO, 2006).
5. Imunopatogenesis TB
Setelah terinhalasi di paru, kuman TB mempunyai beberapa kemungkinan.
Kemungkinan pertama, respon imun awal pejamu secara efektif membunuh semua
kuman TB, sehingga TB tidak terjadi. Kedua, segera setelah infeksi terjadi multiplikasi,
Gambar 2. Bagan Patogenesis Tuberkulosis(Rahajoe et al., 2007)
pertumbuhan kuman TB dan muncul manifestasi klinis, yang dikenal sebagai TB primer.
Ketiga, kuman TB dalam keadaan dorman, terjadi infeksi laten dengan uji tuberkulin
positif sebagai satu-satunya manifestasi. Keempat, kuman TB laten tumbuh dan muncul
manifestasi klinis, disebut sebagai reaktivasi TB (TB pasca-primer) (Kartasasmita et al,
2008).
Pada infeksi TB terjadi respon imunologi berupa imunitas seluler dan
hipersensitivitas tipe lambat.Imunitas seluler menyebabkan proliferasi limposit-T CD 4+
dan memproduksi sitokin lokal. Sebagai respon terhadap antigen yang dikeluarkan M. TB
limposit-T CD4+ mempengaruhi limposit-T Th1 untuk mengaktifkan makrofag dan
limposit-T Th2 untuk memproduksi sitokin lokal TNF dan INF . Sitokin ini akan
menarik monosit darah ke lesi TB dan mengaktifkannya. Monosit aktif atau makrofag
dan limposit-T CD4+ memproduksi enzim lisosom, oksigen radikal, nitrogen
intermediate khususnya nitrogen oksida dan Interleukin-12.Nitrogen oksida ini
selanjutnya diaktifkan oleh TNF dan INF untuk menghambat pertumbuhan dan
membunuh M. TB yang virulen.Peran imunitas seluler mengaktifkan makrofag dan
menghancurkan basil terutama pada jumlah basil yang sedikit.Kemampuan membunuh
M. TB juga bergantung pada jumlah makrofag setempat yang aktif (Ardiana et al., 2002;
Kenyorini, 2010).
sel pembunuh yang memusnahkan makrofag setempat, jaringan sekitar dan perkijuan.
Hipersensitifitas tipe lambat dapat mengisolasi lesi aktif, menyebabkan M. TB menjadi
dorman, kerusakan jaringan, fibrosis dan jaringan parut. Proses ini dapat merugikan
tubuh, dimana M. TB dapat keluar dari bagian pinggir daerah nekrosis dan membentuk
hipersensitifitas tipe lambat kemudian difagositosis oleh makrofag setempat. Apabila
makrofag belum diaktifkan oleh imunitas seluler, maka M. TB dapat tumbuh dalam
makrofag sampai hipersensitifitas tipe lambat merusak makrofag dan menambah daerah
nekrosis.Saat itu imunitas seluler menstimulasi makrofag setempat untuk membunuh
basil dan mencegah perkembangan penyakit.Hipersensitifitas tipe lambat lebih berperan
pada jumlah basil yang banyak dan menyebabkan nekrosis jaringan..Apabila M. TB
masuk ke dalam aliran limfe atau darah biasanya akan dihancurkan di tempat yang baru
dengan terbentuknya tuberkel. Adanya reseptor spesifik terhadap antigen yang dihasilkan
M. TB pada limposit-T di darah dan jaringan limfe, menyebabkan pengumpulan dan
aktivasi makrofag lebih cepat dan destruksi M. TB. Tuberkel yang terjadi tetap kecil
dengan perkijuan yang minimal, cepat sembuh dan tidak diikuti oleh terjadinya
penyebaran hematogen atau limfogen ke jaringan lain (kenyorini et al., 2010; Rogelio
Hernndez et al., 2007).
anemia
penyakit
kronis
disebabkan
aktifitas
mobilisasi
besi
sistem
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Darah
Tidak ada perubahan hematologi yang spesifik pada TBC Milier. Laju endap
darah tidak informatif. Anemia biasanya ringan, namun pada kasus lama dan berat
mungkin dijumpai anemia berat. Sering ditemui lekopeni, kadang-kadang lekositosis
dan monositosis. Dalam pemeriksaan sumsum tulang didapatkan tuberkel-tuberkel
dan gambaran darah tepi dapat menyerupai leukemia berupa leukositosis dan lekosit-
lekosit muda, anemia leukoeritroblastik berupa lekosit muda dan normoblas. Kadangkadang terdapat gambaran hematologik anemia aplastik berupa pansitopenia (Rahajoe
et al, 2007).
b. Pemeriksaan Radiologi
Gambaran patologik pada pemeriksaan radiologi tidak selalu dijumpai pada
kasus TBC Milier. Pada gambaran foto toraks tipikal kemungkinan juga tidak
ditemukan adanya manifestasi klinis spesifik sebelum mencapai stadium lanjut.Oleh
karenanya gambaran radiologi normal belum pasti menyingkirkan diagnosa TBC
Milier. Gambaran normal radiologi mungkin disebabkan oleh :
1
2
3
Rawat Inap
Pemberian oksigenasi
a. Tahap Intensif , 60 hari minum obat setiap hari dengan perpaduan obat : Isoniazid (H),
Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) dan Etambutol (E).
b. Tahap lanjutan, 54 hari minum obat selama 4 bulan (3x/minggu), dengan paduan :
Isoniasid (H) dan Rifampisin (R).
Dosis obat :
a
Isoniasid (H)
Bersifat bakterisid, dapat membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa hari
pengobatan. Dosis harian : 5 mg/kg BB, dosis intermiten 3 x / minggu : 10 mg/kg BB.
Rifampisin (R)
Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang tidak bisa dibunuh oleh Isoniasid.
Dosis harian dan dosis intermiten sama, yaitu : 10 mg/kg BB.
Pirasinamid (Z)
Bersifat bakterisid, membunuh kuman yang berada di dalam sel dengan suasana
asam. Dosis harian : 25 mg/kg BB, dosis intermiten 35 mg/kg BB.
Etambutol (E)
Bersifat bakteriostatik, dosis harian : 15 mg/kg BB, dosis intermiten : 30 mg/kg BB.
Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid (prednison) biasanya diberikan dengan dosis 2 mg/kgBB/hari
selama 4 minggu, kemudian diturunkan perlahan-lahan (tappering off) selama 2-6
minggu(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006; Starke, 2011).
9. Prognosis
Prognosa kesembuhan TBC Milier, setelah ditemukannya obat anti TBC
mengalami perbaikan yang signifikan, kecuali bila ada komplikasi meningitis, serta
keterlambatan dan tidak teratur dalam berobat. Respon TBC Milier terhadap
antituberkulosis baik.Evaluasi hasil pengobatan dilakukan setelah 2 bulan terapi. Evaluasi
pengobatan dilakukan dengan beberapa cara, yaitu evaluasi klinis, evaluasi radiologis,
dan pemeriksaan LED. Evaluasi yang terpenting adalah evaluasi klinis, yaitu menghilang
atau membaiknya kelainan klinis yang sebelumnya ada pada awal pengobatan, misalnya
penambahan berat badan yang bermakna, hilangnya demam, hilangnya batuk, perbaikan
nafsu makan, dan lain-lain. Evaluasi radiologis pada pasien TB milier perlu diulang
setelah 1 bulan untuk evaluasi hasil pengobatan. Gambaran milier pada foto toraks
biasanya menghilang dalam 1 bulan, kadang-kadang berangsur menghilang dalam 5-10
minggu, tetapi mungkin saja belum ada perbaikan hingga beberapa bulan (Rahajoe et al.,
2007; Kartasasmita, 2008)
B. COMMUNITY ACQUIRED PNEUMONIA (CAP)
1. Definisi
Pneumonia adalah suatu peradangan paru yang disebabkan oleh mikroorganisme
(bakteri, virus, jamur, parasit). Pneumonia komuniti adalah pneumonia yang didapat di
masyarakat (Crofton J, 1983; Fishman, 2008).
Berdasarkan asal penyakit, pneumonia dibagi menjadi dua jenis, yaitu Pneumonia
yang berkembang di luar rumah sakit disebut dengan Community Acquired Pneumonia
(CAP atau Pneumonia Komunitas), dan pneumonia yang terjadi 72 jam atau lebih setelah
perawatan di rumah sakit adalah nosokomial, atau Hospital Acquired Pneumonia (HAP
atau Pneumonia Nosokomial) (Fishman, 2008).
2. Epidemiologi
Pneumonia adalah penyakit yang sering terjadi di masyarakat. Jumlah serangan
rata-rata 12 kasus dari 1000 orang per tahun. Pada orang dewasa, rata-rata yang
membutuhkan perawatan di rumah sakit usianya berkisar 17-55 tahun, kebanyakan
menyerang usia lanjut. Pneumonia menempati urutan ke 6 sebagai penyebab kematian di
Amerika Serikat. Dalam penelitian di Seattle, peneliti menemukan jumlah penderita CAP
berusia 65-69 tahun sebanyak 18,2 kasus per 1000 orang per tahun dibandingkan 52,3
kasus per 1000 orang per tahun yang mengenai usia 85 tahun. Hasil dari survey rumah
sakit nasional di Amerika Serikat mengindikasikan bahwa dari tahun 1990 hingga 2002
ada 21,4 juta kasus pasien rumah sakit usianya diatas 65 tahun (Harris GD, Johanson
WG, 1982). Tingginya angka kematian pada pneumonia sudah dikenal sejak lama, Osler
W menyebutkan pneumonia sebagai "teman pada usia lanjut"(Fishman, 2008).
Epidemiologi pneumonia berubah tiap tahunnya. Hal ini berkaitan dengan
perubahan jumlah populasi dan penyebaran bakteri-bakteri baru yang menyebabkan
pneumonia dan perubahan antibiotik guna memberantas bakteri-bakteri lama, seperti S.
Proses peradangan pneumonia dapat dibagi atas 4 stadium yaitu Stadium kongesti
dimana kapiler melebar dan kongesti serta di dalam alveolus terdapat eksudat jernih,
bakteri dalam jumlah banyak, beberapa netrofil dan makrofag. Stadium hepatisasi merah:
lobus dan lobulus yang terkena menjadi padat dan tidak mengandung udara, serta warna
menjadi merah. Dalam alveolus didapatkan fibrin, leukosit, netrofil, eksudat dan banyak
sekali eritrosit dan kuman. Stadium hepatisasi kelabu: lobus masih tetap padat dan warna
merah menjadi pucat kelabu. Permukaan pleura tampak kabur karena diliputi fibrin.
Alveolus terisi fibrin dan leukosit. Kapiler tidak lagi kongestif. Stadium resolusi: Eksudat
berkurang, dalam alveolus makrofag bertambah dan leukosit mengalami nekrosis dan
degenerasi lemak, fibrin diresorpsi dan menghilang (Bartlett JGet al., 1998).
4. Gambaran Klinis
Gejala pada masing-masing individu berbeda-beda, diantaranya demam, sesak
napas, nyeri dada, dan batuk. Batuk dapat bersifat tidak produktif (kering) atau terdapat
sputum yang mukoid atau purulen (produktif) (Bartlett JGet al., 1998; Fishman, 2008).
Pada pemeriksaan fisik, tanda-tanda pada tipe pneumonia klasik bisa didapatkan
konsolidasi paru seperti perkusi yang redup, suara napas bronkial, dan ronki basah
(Bartlett JGet al., 1998; Cunha et al,., 1990). Tidak didapatkan demam pada 20%
pneumonia dan dapat tanpa disertai batuk produktif dan perasaan dingin (Kiss, 1982).
Gejala diluar sistem pernapasan seperti sakit kepala, mual, muntah, nyeri perut,
diare, nyeri otot, dan nyeri sendi juga gejala yang sering didapat pada pneumoni. Perlu
diingat bahwa pada pasien yang tua keluhan lebih sedikit dibandingkan pada pasien yang
lebih muda (Bartlett JGet al., 1998; Fishman, 2008).
Pada sebagian besar penderita didapatkan leukosit yang normal atau sedikit
meninggi, kadang-kadang didapatkan leukositosis. Dapat terjadi peningkatan ureum,
kreatinin dan glukosa, terdapat juga hiponatremi atau hipernatremi, hipofosfatemi; dapat
terjadi hipoksemi yang disebabkan infeksi akut (Harris et al., 1982; Bartlett JGet al.,
1998; Fishman, 2008).
5. Pemeriksaan Penunjang
a. Radiologi
6. Diagnosis
Diagnosis pneumonia komunitas didasarkan kepada riwayat penyakit yang
lengkap, pemeriksaan fisik yang teliti dan pemeriksaan penunjang yaitu pada foto
toraks terdapat infiltrat baru, atau infiltrat progresif ditambah dengan dua atau lebih
gejala seperti batuk, perubahan karakteristik dahak atau purulen, suhu tubuh lebih
dari 38oC (aksila) atau riwayat demam, pada pemeriksaan fisik ditemukan tandatanda konsolidasi, suara napas bronkhial, ronkhi, dan leukosit >10.000 atau <4500
/uL(Gleckmanet al; 1987; Bartlett JGet al., 1998).
7. Penatalaksanaan
klindamisin
Infeksi Pseudomonas: antipseudomonal + ciprofloksasin atau
antipseudomonal + aminoglikosida + fluoroquinolon/makrolid,
bila alergi beta laktam: aztreonam + levofoksasin atau
aztreonam + moxifloksasin/gatifloksasin dengan atau tanpa
aminoglikosida
Pada penderita rawat jalan dapat diberikan antibiotik (empirik) dan pengobatan
yang bersifat suportif atau simtomatik : istirahat yang cukup, minum yang cukup untuk
mencegah dehidrasi, panas dapat diberikan antipiretik, mukolitik dan ekspektoran jika
diperlukan (Harris et al., 1982).
Pada penderita rawat inap biasa dapat diberikan antibiotik (empirik) dan
pengobatan suportif : pemberian oksigen, infus rehidrasi nutrisi dan elektrolit (ringer
laktat, NaCl 0,9 %, ringer asetat), pemberian obat simtomatik diantaranya antipiretik
(paracetamol 500mg 3x1 tablet) dan mukolitik (Bromhexin 3x1 tablet atau ambroxol
3x1 tablet) (Harris et al., 1982).
Pada penderita rawat inap di ruang intensif, terapi sama dengan penderita di ruang
rawat inap biasa, biila diperlukan dipasang ventilator mekanik. Pemilihan antibiotik
empirik sesuai dengan golongan kuman penyebab (Harris et al., 1982).
Dalam penatalaksanaan harus diperhatikan nutrisi, jumlah kalori yang dibutuhkan
baik parenteral atau melalui pipa lambung (Cunha BAet al., 1990). Cairan dan elektrolit
perlu dinilai karena pada pneumonia dapat terjadi hiponatremi atau hipernatremi.
Infeksi meningkatkan katabolisme protein dan melemahkan sistim imunitas humoral
dan seluler. Sistim respirasi harus diperhatikan, bila terjadi hipoksemi dapat diberi
oksigen. Pemberian oksigen dapat dinilai dengan analisis gas darah, karena keracunan
oksigen dapat melemahkan gerakan mukosiliar dan menyebabkan fibrosis. Penting
diperhatikan interaksi obat-obat yang dipakai, agar dicapai efek obat yang maksimum
dengan efek samping yang minimal. Dalam pemberian obat lebih dan dua macam dapat
terjadi percepatan metabolisme obat, pengaruh terhadap pembuluh darah perifer atau
mempengaruhi sistim saraf sentral (Gleckmanet al; 1987).
Bila dengan antibiotik empirik tidak ada perbaikan atau bahkan memburuk, terapi
disesuaikan dengan bakteri penyebab dan uji sensitivitas (Niederman MSet al., 1990).
8. Pencegahan
Di luar negri di anjurkan pemberian vaksin influenza dan pneumokokus pada
orang dengan resiko tinggi, dengan gangguan imunologis, penyakit berat termasuk
penyakit paru kronik, hati, ginjal dan jantung. Di samping itu vaksin juga perlu di
berikan untuk penghuni rumah jompo atau rumah penampungan penyakit kronik, dan
usia diatas 65 tahun (Centers for Disease Control and Prevention, 1997).
BAB III
PEMBAHASAN
Dasar diagnosis pada pasien ini adalah:
1. Anamnesis
a. Hasil anamnesa pasien menunjukan adanya gejala lokal atau gejala respiratorik dan
gejala sistemik TB yaitu :
Gejala respiratorik :
1). Batuk 3 minggu
2). Batuk darah
3). Sesak napas
Gejala sistemik
1). Demam
2). Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam,anoreksia, berat badan menurun
b. Adanya konversi dari batuk tidak berdahak menjadi produktif mengarahkan ke CAP.
Selain itu, keluhan batuk dan sesak terjadi sebelum pasien berada di rumah sakit.
c. Kriteriadiagnosis TB milier menurut pedoman nasional pelayanan kedokteran tatalaksana
tuberculosis (Kementerian Kesehatan RI, 2013) antara lain:
1). Presentasiklinis sesuai
dengan diagnosis
tuberkulosis
seperti
demam
dengan peningkatan suhu di malam hari, penurunan berat badan, anoreksia, takikardi,
keringat malam menetap setelah pemberian antituberkulosis selama 6 minggu.
2). Foto toraks menunjukkan gambaran klasik pola milier
3). Lesi paru berupa gambaran retikulonodular difus bilateral di belakang bayangan
milier yang dapat dilihat pada foto toraks maupun HRCT
4). Bukti mikrobiologi dan atau histopatologi menunjukkan tuberkulosis
d. Faktor risiko lingkungan: Pasien tinggaldi daerah pedesaan bersama kedua orang tuanya,
nenek, 5 saudara kandung, dan 1 keponakan. Rumah pasien berdinding kayu, lantai dari
semen, atap dari seng. Pasien menyebutkan bahwa cukup ventilasi di rumahnya sehingga
dapat terkena sinar matahari. Rumah pasien berukuran sekitar 14 meter x 10
meter.Terdapat 1 ruang tamu yang menjadi satu dengan ruang keluarga dan ruang makan,
5 kamar tidur, 1 dapur, dan 1 kamar mandi.Sumber air menggunakan air sumur. Kamar
pasien berukuran 2 meter x 2,5 meter. Di dalam kamar pasien terdapat 1 jendela
berukuran 1 meter x 0,5 meter yang dapat dibuka sehingga kamar pasien dapat terkena
sinar matahari. Disamping rumah pasien terdapat peliharaan kambing milik orang lain.
e. Faktor risiko pekerjaan: Pasien adalah lulusan SMP yang telah bekerja di pabrik
pembuatan bulu mata sebagai buruh. Pekerjaan pasien membuat bulu mata palsu yang
pekerjaannya dapat dilakukan di rumah. Penghasilan pasien dari hasil membuat bulu
mata adalah sekitar Rp 600.000/ bulan.
f. RPD :Pasien pernah mengalami batuk berdarah selama 2 hari sekitar bulan Juli 2014.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
:tampak sesak
Kesadaran
: composmentis, GCS E4M6V5 (15)
BB
: 31 kg
TB
: 150 cm
IMT : 13,78 (underweight)
Vital sign
- Tekanan Darah
: 110/70 mmHg
- Nadi
: 112x/menit
- RR
: 32x/menit
- Suhu
: 36,1oC
b. Mata
-
Konjungtiva
: anemis (+/+)
c. Mulut
-
Bibir kering (+ )
d. Dada
Paru
-
Inspeksi
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan darah lengkap pada tanggal 25 Februari 2015 menunjukan hasil yang tidak
normal yaitu:
Hb
: 7,9gr/dl
Normal : 12 16 gr/dl
Hematokrit
: 24 %
Normal : 37 % - 47 %
Trombosit
: 538.000/ul
Segmen : 95,8 %
Normal : 40 70%
Limfosit : 1,5%
Normal : 25 - 40%
: 9gr/dlL
Normal : 12 16 gr/dl
Hematokrit
: 29 %
Normal : 37 % - 52 %
Trombosit
: 459.000/ul
Segmen : 94,4 %
Normal : 40 70%
Limfosit : 2,7%
Normal : 25 - 40%
: 3+ (positif 3)
Epitel
: positif
Leukosit
: positif
Pewarnaan ZN 2X
BTA II
: 3+ (positif 3)
Epitel
: positif
Leukosit
: positif
Pewarnaan ZN 3
BTA BTA I
: 3+ (positif 3)
Epitel
: positif
Leukosit
: positif
Anisositosis sedang
Poikilositosis sedang fragmentosit, granulosit, sel pensil, sferosit
Leukosit
Trombosit
Lekositosis
Suspek infeksi bakteri
Trombositosis
DD :
d. Foto thoraks
Pulmo
4. Penatalaksanaan
Pada pasien ini terapi yang dapat diberikan adalah terapi farmakologi dan non farmakologi.
Panduan penatalaksaan TB milier yang direkomendasikan oleh PDPI adalah :
a. Rawat Inap
b. Pemberian oksigenasi
c. Pengobatan TB Milier dilakukan dengan pemberian OAT (Obat Anti Tuberkulosis)
Kategori I dan kortikosteroid.
OAT Kategori I, terdiridari :
a. Tahap Intensif , 60 hari minum obat setiap hari dengan perpaduan obat : Isoniazid
(H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) dan Etambutol (E).
b. Tahap lanjutan, 54 hari minum obat selama 4 bulan (3x/minggu), dengan paduan :
Isoniasid (H) dan Rifampisin (R).
Dosis obat :
a. Isoniasid (H)
Bersifat bakterisid, dapat membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa hari
pengobatan. Dosis harian : 5 mg/kg BB, dosis intermiten 3 x / minggu : 10 mg/kg BB.
b. Rifampisin (R)
Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang tidak bisa dibunuh oleh Isoniasid.
Dosis harian dan dosis intermiten sama, yaitu : 10 mg/kg BB.
c. Pirasinamid (Z)
Bersifat bakterisid, membunuh kuman yang berada di dalam sel dengan suasana
asam. Dosis harian : 25 mg/kg BB, dosis intermiten 35 mg/kg BB.
d. Etambutol (E)
Bersifat bakteriostatik, dosis harian : 15 mg/kg BB, dosis intermiten : 30 mg/kg BB.
Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid dilakukan dengan dosis 30-40 mg/kg BB per hari, kemudian
diturunkan secara bertahap sampai 5-10 mg/kg BB, dan lama pemberian disesuaikan
dengan jenis penyakit dan kemajuan pengobatan.
Pemberian kortikosteroid tidak rutin, hanya diberikan padakeadaan
- Tanda / gejala meningitis
- Sesak napas
- Tanda / gejala toksik
- Demam tinggi
d. Pada keadaan khusus (sakit berat), tergantung keadaan klinis, radiologi, dan evaluas
pengobatan, maka pengobatan lanjutan dapat diperpanjang sampai dengan 7bulan
2RHZE/ 7 RH
TB.
Untuk
monitoring
pengobatan,
WHO
(bulan
ke-2)
merekomendasikanpemeriksaanpadaakhir Intensiffase
dan
ke-6
(akhirpengobatan).
Khususpadapasien
TB
paru
diawalpengobatantidakdilakukanpemeriksaan
makajikahasilpemeriksaanpadabulan
ke-2
yang
sputum
menunjukanhasil
negative
sputum
ke-5
atauakhirpengobatandanmonitoringnyadilakukansecaraklinissertadapatmenggunakanpeni
ngkatan beratbadan sebagaisalahsatuprediktor (WHO, 2008)
h. Non Farmakologi
1). Edukasi tentang penyakit, faktor risiko, pengobatan dan komplikasi penyakit.
Diberikan edukasi terutama mengenai TB dan komplikasinya. Selain itu diberikan
edukasi mengenai faktor resiko seperti ventilasi udara yang kurang, kebersihan
lingkungan rumah yang kurang serta pola hidup sehat.Selain itu, edukasi mengenai
pentingnya minum obat secara teratur
2). Mengindari pajanan asap rokok dan berhenti merokok.
Sebagai edukasi ke pasien mengenai faktor yang dapat memperburuk masalah yang
terdapat di paru-paru pasien.
3). Keseimbangan nutrisi antara karbohidrat, protein, lemak yang diberikan dalam porsi
kecil tapi sering.
Karena pasien mengalami penurunan berat badan yang drastic dalam waktu dua bulan
sebanyak 10 kilogram, maka keseimbangan nutrisi maupun intake nutrisi yang masuk
harus disesuaikan.
4). Edukasi keluarga dengan menyarankan anggota keluarga untuk tes dahak
BAB IV
KESIMPULAN
1. Penegakkan diagnosis tuberkulosis paru mencakup dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang tidak cukup hanya menggunakan foto
thorax saja, akan tetapi membutuhkan pemeriksaaan sputum sewaktu-pagi-sewaktu.
2. Pada kasus TB paru milier BTA (+) lesi luas kasusbaru, diberikan OAT kategori 1 yaitu
dilakukan dengan pemberian OAT (Obat Anti Tuberkulosis) Kategori I dan kortikosteroid.
OAT Kategori I, terdiri dari :
a. Tahap Intensif , 60 hari minum obat setiap hari dengan perpaduan obat : Isoniazid (H),
Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) dan Etambutol (E).
b. Tahap lanjutan, 54 hari minum obat selama 4 bulan (3x/minggu), dengan paduan :
Isoniasid (H) dan Rifampisin (R).
Pemberian kortikosteroid dilakukan dengan dosis 30-40 mg/kg BB per hari, kemudian
diturunkan secara bertahap sampai 5-10 mg/kg BB, dan lama pemberian disesuaikan dengan
jenis penyakit dan kemajuan pengobatan.
3. Tindak lanjut hasil pemeriksaan ulang sputum dilakukan pada akhir tahap intensif, sebulan
sebelum pengobatan terakhir, dan akhir pengobatan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ardiana D, Wuryaningrum W, Widjaja ES. Skrofuloderma pada Dada. Disampaikan pada
Pertemuan Berkala Ilmu Penyakit Kulit & Kelamin XIV. Surabaya. 1 April, 2002.
2. Bartlett JG, Breiman RF, Mandell LA, File TM Jr: Community Acquired Pneumonia in
adults: Guidelines for management. Clin Infect Dis 26:811-838, 1998
3. Centers for Disease Control and Prevention : Premature deaths, monthly mortality and
monthly physician contacs-United States. MMWR Morb Mortal Wkly Rep 46:556, 1997.
4. Crofton J, Douglas A. Pneumonia. In: Respiratory disease. Singapore: PG Publ Pte Ltd, 165,
1983.
5. Cunha BA, Gingrich D, Rosenbaum GS. Pneumonia syndromes: a clinical approach in the
olderly. Geriatrics, 45-49, 1990.
6. Fishman : Pulmonary disease and disorders, fourth edition, volume two, United States,
119:2097-2114, 2008.
7. Gleckman RA, Bergman MH. Bacterial pneumonia: specific diagnosis and treatment of the
elderly. Geriatrics 1987; 42: 29.
8. Grossman M. Tuberculosis. Dalam: Rudolph AM, Hoffman JIE, Rudolph CD, penyunting.
Buku ajar Pediatri Rudolph. Edisi ke-20. EGC;1997.h.687-97.
9. Gunadi D, Lubis B, Rosdiana N. Terapi dan suplementasi besi pada anak. Sari Pediatri
2009;11(3):207-11.
10. Harris GD, Johanson WG. Pathogenesis of bacterial pneumonia. In: Guenter CA, Welch MG.
ed. Pulmonary medicine. Second ed. Philadelphia: lB Lippincott Co. 347, 1982.
11. International Union Against Tuberculosis and Lung Disease. Diagnostic ATLAS of
intrathoracic tuberculosis in children. Paris;2003.
12. Kartasasmita CB, Basir D. Tuberkulosis. Dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB,
penyunting. Buku ajar respirologi anak. Edisi pertama. Jakarta. IDAI;2008.h.162-261.
13. Kenyorini, Suradi, Surjanto E. Uji Tuberkulin. Jurnal Tuberkulosis Indonesia 2010;3(2):15.Maltezau HO, Spyridis P, Kafetzis DA. Extra-pulmonary tuberculosis in children. Arch Dis
Child. 2000;83:342-46.
14. Kementrian Kesehatan RI. 2013. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana
Tuberkulosis. Jakarta : Kementrian Kesehatan RI.
15. Kenyorini, Suradi, Surjanto E. Uji Tuberkulin. Jurnal Tuberkulosis Indonesia 2010;3(2):1-5.
16. Kiss TG. Infections of the lung parenchyma. In: Diagnosis and management of pulmonary
disease in primary practice. Sydney: Addison-Wesley Pubi Co. 122, 1982.
17. Niederman MS, Sarosi GA. Respiratory infection. In: George RB, Light RW, Matthay MA,
2nd eds. Chest medicine essentials of pulmonary and critical care medicine. Baltimore:
Williams & Wilkins, 307, 1990.
18. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
19. Rahajoe NN, Basir D, Makmuri MS, Kartasasmita CB. Pedoman nasional tuberkulosis anak.
Edisi ke-2. Jakarta: UKK Respirologi IDAI;2007.
20. Rogelio Hernndez-Pando, Rommel Chacn-Salinas, Jeanet Serafn-Lpez, and Iris Estrada.
Immunology, pathogenesis,virulence. In: tuberculosis 2007 from basic science to patient
care. 2007:157-205. Diunduh dari www.tuberculosistextbook.com.
21. Starke JR. Tuberculosis. Dalam: Behrman RE, Kliegman R, Jenson HB, penyunting. Nelson
Textbook of Pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia; Saunders;2011.h.960-71.
22. Stein D. Managing pneumonia acquired in nursing homes: special concerns. Geriatrics 42:
81-90, 1987.
23. Schlesinger LS. Phagositosis and toll-like receptors in tuberculosis. Dalam: Rom W, Garay
SM, Levitzky, penyunting. Pulmonary pathophysiology. Edisi ke-5. Volume I;2004.
24. Ven Katesen Pet al. A hospital study of community acquired pneumonia in the elderly.
Thorax, 5: 254, 1990.
25. WHO. Anti tuberculosis treatment in children. Dalam: Guidance for national tuberculosis
programmes on the management of tuberculosis in children. Geneva: World Health
Organization;2006;1205-11.
1 dd kaps 1 ac pagi_______________________
R/ Isoniazid tab 300 mg No. XV
I dd tab pc pagi_________________________
R/ Pirazinamid tab 500 mg No XLV
__ 1 dd tab 1 pc siang______________________
R/ Etambutol tab 500 mg No. XXX
1 dd tab 1 pc sore__________________________
Pro
: Nn. S
Umur : 32 Tahun
Alamat: Bojanegara 02/02, Padamara, Purbalingga
Resep FDC
RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto
SIP. G4A0130787980
Jl. Dr. Gumbreg No 1, Purwokerto 53182
Telp. (0278) 1234567890
Purwokerto, 7 Maret 2015
BB : 31 kg
R/ 4 FDC tab No. LX
I dd tab 2 ac pagi/malam_____________________
Pro
: Nn. S
Umur : 32 Tahun
Alamat: Bojanegara 02/02, Padamara, Purbalingga