Anda di halaman 1dari 23

TUGAS STASE ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN

MEDIKOLEGAL
REFERAT
SODOMI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Pendidikan Dokter Umum Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Dokter Pembimbing : dr. Sugiharto, (MMR), SH

Disusun Oleh:
Arkan Adi
(J510155076)
Aya

W.

Fana

Oase C.
(J510155081)

Imam Al Huda

(J510155032)

Nadia Primivita D.

(J510155063)

Nariswari Putri W.

(J510155052)

KEPANITERAAN KLINIK STASE ILMU KESEHATAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2015
TUGAS STASE ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN
MEDIKOLEGAL
REFERAT

SODOMI
Disusun Oleh:
Arkan Adi W.

(J510155076)

Aya Fana Oase C.

(J510155081)

Imam Al Huda

(J510155032)

Nadia Primivita D.

(J510155063)

Nariswari Putri W.

(J510155052)

Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pembimbing
dr. Sugiharto, (MMR), SH

Dipresentasikan dihadapan
dr. Sugiharto, (MMR), SH

Disahkan Ka. Program Profesi FK UMS


dr. Dona Dewi Nirlawati

BAB I
PENDAHULUAN

Kejahatan seksual (sexual offences), sebagai salah satu bentuk dari kejahatan
yang menyangkut tubuh, kesehatan, dan nyawa manusia, mempunyai kaitan yang
erat dengan Ilmu Kedokteran Forensik; yaitu di dalam upaya pembuktian
bahwasanya kejahatan tersebut memang telah terjadi. Adanya kaitan antara Ilmu
Kedokteran dengan kejahatan seksual dapat dipandang sebagai konsekuensi dari
pasal-pasal di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Kitab
Undang-Undang Acara Hukum Pidana (KUHAP), yang memuat ancaman
hukuman serta tatacara pembuktian pada setiap kasus yang termasuk di dalam
pengertian kasus kejahatan seksual.2
Pada terjadinya suatu tindak pidana penyimpangan seksual berupa sodomi,
pelaku kejahatan seksual pasti memiliki dorongan dari dalam diri untuk
melakukan sebuah perbuatan sodomi. Niat awalnya biasanya hanya untuk
memuaskan nafsu sesaat karena biasanya pelaku yang merupakan gay atau kaum
homoseksual, tidak memiliki pasangan ketika ingin melakukan perbuatan tersebut.
Maka berbagai cara dilakukan agar keinginannya terpenuhi termasuk unsur
ancaman dan paksaan terhadap korbannya supaya kepuasaan seksnya yang
menyimpang dapat dilaksanakan.2,3
Sodomi adalah istilah hukum yang digunakan merujuk kepada tindakan
seks "tidak alami", yang bergantung pada yuridiksinya dapat terdiri atas seks oral
atau seks anal atau semua bentuk pertemuan organ non-kelamin dengan alat
kelamin, baik dilakukan secara heteroseksual, homoseksual, atau antara manusia
dan hewan. Tindak pidana penyimpangan seksual berupa sodomi dapat diartikan
dengan memaksa si korban untuk melakukan hubungan seks melalui anus atau
anal.3
Permasalahan pada perilaku penyimpangan seksual berupa sodomi ini tidak
hanya dilihat dari 1 aspek saja yang mana perbuatan sodomi bukan hanya ada
pada diri si pelaku kejahatan, yaitu masalah kelainan seksual, tetapi terdapat halhal lain yang menjadi faktor penyebab penyimpangan seksual sodomi ini,
misalnya faktor sosial atau pergaulan, pengaruh media cetak maupun elektronik
yang menampilkan pornografi, faktor trauma atau korban sodomi sewaktu kecil,
faktor genetik yang meskipun mengambil peranan yang sangat kecil.1,4

BAB II
PEMBAHASAN

A. Faktor Penyebab terjadinya Penyimpangan Seksual Berupa Sodomi4,5,6,7,8


Susan Noelen Hoeksema dalam bukunya Abnormal Psychology,
mengatakan bahwa perilaku penyimpangan seksual 90% lebih diderita oleh
pria. Namun, saat para peneliti mencoba menemukan ketidaknormalan pada
hormon testoteron ataupun hormon-hormon lainnya yang diduga menjadi
penyebab perilaku seks menyimpang, hasilnya tidak konsisten. Artinya, kecil
kemungkinan perilaku seks menyimpang disebabkan oleh ketidaknormalan
hormon seks pria atau hormon lainnya. Penyebabnya, tampaknya lebih
berkaitan dengan pelampiasan dorongan agresif atau permusuhan, yang lebih
mungkin terjadi pada pria daripada pada wanita.
Terdapat 5 macam faktor penyebab terjadinya penyimpangan seksual
berupa sodomi yang dialami oleh para terdakwa yang dijelaskan sebagai
berikut :
1. Kelainan Perilaku Seksual
Salah satu contoh dari kelainan perilaku seksual adalah homoseksual,
homoseksual

adalah

kecenderungan

memiliki

hasrat

seksual

atau

mengadakan hubungan seksual dengan jenis kelamin yang sama (Dali


Gulo : 105). Homoseksual pada wanita disebut lesbian dan pada laki-laki
disebut gay. Homoseksualitas adalah istilah untuk menunjukkan gejala
gejala adanya dorongan seksual dan tingkah laku terhadap orang lain dari
kelamin yang sejenis. Secara umum homoseksual juga dipakai untuk
menunjukkan ketertarikan seseorang terhadap orang lain yang berjenis
kelamin sejenis. Selanjutnya kaum homoseksual biasa melakukan hubungan
intim lewat anal / dubur (anogenital) dan oral / mulut (oral seks), di Negara
Barat

(Amerika),

kelompok

homoseksual

memiliki

undang-undang

Perlindungan Khusus di mana mereka diperbolehkan kawin dengan


sejenisnya sendiri.5

2. Pengaruh Media dalam Menampilkan Pornografi

Media baik elektronik maupun cetak saat ini banyak di sorot


sebagai salah satu penyebab menurunnya moral umat manusia. Berbagai
tayangan yang sangat menonjolkan aspek pornografi diyakini sangat erat
hubungannya dengan meningkatnya berbagai kasus kekerasan seksual.
Pornografi di media adalah materi seks yang mana di media massa
ditujukan secara sengaja untuk membangkitkan hasrat seksual. Contohcontoh pornografi di media massa adalah gambar atau foto wanita dengan
berpakaian minim atau tidak berpakaian di sampul depan atau di bagian
dalam majalah atau media cetak, adegan seks di dalam film bioskop, Video
atau Video Compact Disk (VCD), dan sebagainya. Inilah yang merupakan
salah satu faktor penyumbang terbesar darimana terjadinya perilaku
penyimpangan seksual berupa sodomi ini dari tontonan yang ia lihat baik
di televisi maupun internet serta media lainnya seperti komik dan majalah
dewasa yang mana anak-anak pun dapat melakukannya karena kurangnya
pengawasan dari orang tua dan lingkungan.6
3. Faktor Sosial atau Pergaulan
Faktor sosial atau pergaulan merupakan faktor terbesar yang
menjadi penyebab terjadinya perbuatan sodomi, sekali saja pernah
merasakan hubungan seksual (seperti sodomi ), bisa menjadi ketularan
walaupun tidak sepenuhnya gay tetapi faktor ini juga bisa menyebabkan
Biseksual (melakukan hubungan seksual kelawan jenis ataupun sesama
jenis). Selain faktor ini terdapat faktor lain yang mempengaruhi terjadinya
penyimpangan seksual berupa sodomi yaitu faktor lingkungan, dimana
baik faktor sosial atau pergaulan dan lingkungan kedua faktor ini tidak
berasal dari dalam diri pelaku tetapi berasal dari luar yang mempengaruhi
diri si pelaku itu sendiri. Kegagalan mengidentifikasi dan mengasimilasi
identitas seksual ini dapat dikarenakan figur yang dilihat dan menjadi
contoh untuknya tidak memerankan peranan identitas seksual mereka
sesuai dengan nilai-nilai universal yang berlaku. Seperti : ibu yang terlalu
mendominasi dan ayah yang tidak memiliki ikatan emosional dengan
anak-anaknya, ayah tampil sebagai figur yang lemah tak berdaya, atau

orang tua yang homoseksual. Namun penting untuk diketahui tidak semua
anak yang dihadapkan pada situasi demikian akan terbentuk sebagai
homoseksual karena masih ada faktor lain yang juga dapat mempengaruhi
dan tentunya karena kepribadian dan karakter setiap orang yang berbedabeda.7
4. Faktor Trauma atau korban sodomi sewaktu kecil
Dari beberapa kasus yang terjadi, hampir ditemukan kesamaan
latar belakang riwayat pada mereka yang mengalami homoseksualitas
menceritakan bahwa mereka pernah disiksa atau memiliki ayah yang suka
menyiksa, atau pernah di perkosa oleh orang-orang terdekat. Mereka yang
menjadi homo dari faktor ini biasanya menyadari kalau mereka tidak
semestinya menyukai sesama jenisnya, tetapi dari sesama jenisnya
misalnya dalam hal ini ibu dapat memberikan perlindungan atau orang
yang tidak memberikan kekerasan fisik, atau karena individu memendam
kebencian yang dalam secara terus menerus di alam bawah sadarnya pada
ayah maka ia tumbuh menjadi seorang homo dan selanjutnya untuk
mereka yang pernah diperkosa, maka mereka menjadi homo dikarenakan
mereka ingin membalaskan dendam kepada orang lain dengan menjadi
atau berperilau homo. Kebanyakan dari kasus trauma masa kecil atau
diperkosa ini mendapat recover (perlindungan) tetapi memerlukan
penanganan atau terapi dari Psikolog atau Psikiater yang memakan waktu
yang lama dan proses yang panjang.
5. Faktor Genetik
Peran faktor genetik dalam orientasi homoseksual telah terbukti
pada penelitian angka kejadian homoseksual telah terbukti pada penelitian
angka kejadian homoseksualitas diantara kembar identik, kembar
heterozigot dan saudara kandung. Penelitian pada saudara kembar
menunjukkan angka kejadian homoseksual pada kembar identik lebih
tinggi (48-66 %) dibandingkan kembar heterozigot dan saudara kandung.
Hal ini menunjukkan bahwa faktor genetik memegang peranan penting,
walaupun bukan satu-satunya penyebab. Faktor Genetik merupakan faktor

terkecil dari terjadinya perilaku penyimpangan seksual berupa sodomi


namun ada baiknya harus terdapat tindakan pencegahan agar perilaku
perilaku penyimpangan seksual ini dapat dideteksi dan dilakukan upaya
penyembuhan agar perilaku menyimpangnya tidak berkembang pada diri
seseorang, hal ini diperlukan agar ia dapat memiliki perilaku normal
seperti kebanyakan orang pada umumnya serta dapat dapat tumbuh
berkembang dengan baik di masyarakat.
Faktor Genetik merupakan faktor terkecil dari terjadinya perilaku
penyimpangan seksual berupa sodomi ini namun ada baiknya harus
terdapat tindakan pencegahan agar perilaku perilaku penyimpangan
seksual ini dapat dideteksi dan dilakukan upaya penyembuhan agar
perilaku menyimpangnya tidak berkembang pada diri seseorang, hal ini
diperlukan agar ia dapat memiliki perilaku normal seperti kebanyakan
orang pada umumnya serta dapat dapat tumbuh berkembang dengan baik
di masyarakat.8
B. Homoseksual sebagai Salah Satu Bentuk Kejahatan Seksual1,2,4,10,11,12
Di dalam pasal 292 KUHP, terdapat ancaman hukuman bagi seseorang
yang cukup umur yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang
berjenis kelamin sama yang belum cukup umur atau belum dewasa.
Pasal 292 KUHP
Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama
kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
Dengan demikian kasus homoseks dan lesbian jelas merupakan
kejahatan seksual, bila partnernya belum dewasa, yang secara yuridis belum
berumur 21 tahun atau bila berumur kurang dari 21 tahun tetapi sudah pernah
kawin, maka partnernya tersebut dianggap sudah dewasa.
Jika kasus yang dihadapi adalah kasus homoseks antara dua pria, maka
pembuktian secara kedokteran forensik tidak sulit, oleh karena yang perlu
dibuktikan dalam hal ini adalah: perkiraan umur (belum dewasa), dan adanya

sperma serta air mani baik dalam dubur maupun mulut korban; juga perlu
diperiksa bentuk dubur, bagi yang telah sering melakukan persetubuhan
melalui dubur, maka bentuk dari dubur akan mengalami perubahan, duburnya
terbuka, berbentuk corong (funnel shape), dan otot sfingternya sudah tidak
dapat berfungsi dengan baik.
Pada kasus lesbian, selain perkiraan umur maka perlu dicari apakah
terdapat kelainan yang diakibatkan oleh manipulasi genital dengan tangan atau
alat-alat bantu.
C. Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan Pada Kasus Homoseksual
Tujuan pemeriksaan dilakukan untuk menentukan adanya sperma dalam
dubur pasangannya dan mendapatkan adanya unsur-unsur yang terdapat dalam
anus.

Bahan pemeriksaan : anal swab

Metoda

: untuk melihat unsur-unsur yang ada dalam dubur yang

terbawa atau melekat pada penis, dapat dibuat sediaan langsung dengan atau
tanpa pewarnaan.
2. Pemeriksaan Air Mani Dari Rambut Dan Kulit
Para pelaku kejahatan seksual tidak jarang di dalam melampiaskan
hasrat seksualnya itu, melalui cara yang tidak lazim, seringkali korban
dipaksa untuk melakukan "fellatio" atau sodomi.
Di dalam menghadapi kemungkinan yang demikian tadi, maka selain
pemeriksaan yang rutin dilakukan, harus pula dikerjakan pemeriksaan
terhadap rambut dan kulit korban, untuk mencari air mani yang tercecer.
a. Daerah yang diperiksa tergantung dari peristiwanya, ke pala, bulubulu atau rambut di wajah, kulit di daerah perioral (sekitar mulut),
paha bagian dalam, dan daerah pantat,
b. Rambut kepala dicabut dan direndam dalam larutan NaCl,
c. Pemeriksaan dilakukan dengan pap smear dan penen tuan asam
fosfatase,

d. Kulit dibasahi dengan aplikator katun yang telah diren dam dalam
larutan NaCl, test kemudian dapat dilakukan,
e. Tes

yang

positif

pada

paha

atau

pantat,

dapat

membantu

memperkirakan saat terjadinya kejahatan tersebut,

tentunya

tergantung dari: apakah korban telah membersihkan dirinya atau


belum.
Metoda pemeriksaan:
a. Sampel rambut yang berasal dari daerah frontal dan temporal diperiksa
hati-hati, apakah terkontaminasi dengan air mani,
b. Rambut tersebut direndam dalam 3 ml NaCl, kemudian disentrifuse,
c. Pap smear, dapat dilakukan dari sedimen tersebut, sedangkan
supernatantnya dipergunakan antuk analisa asam fosfatase,
d. Dua aplikator dari katun untuk swab dibasahi oleh NaCl, ini dipakai
untuk membersihkan material yang mengandung air mani pada ki pit,
e. Kedua swab tersebut digosokkan pada permukaan kulit,
f. Buat sediaan apus dari swab tersebut, warnai dengan teknik
Papanicolaou,
g. Penentuan asam fosfatase juga dapat memakai bahan yang berasal
dari swab tersebut,
h. Salah satu swab direndam dalam 3 ml NaCI selama 30 menit pada
temperatur ruang,
i. Dengan modifikasi dari teknik Bodansky (bete-glycerolphosphoric acid,
disodium salt sebagai substrate), 0,5 ml dari elusi ini dipakai untuk
menentukan kadar dari asam phosphatese yang berasal dari prostat.
D. Upaya Penanggulangan terhadap Tindak Pidana Penyimpangan Seksual
berupa sodomi ditinjau dari Psikologi Kriminil6,7,8,12,13
Penanggulangan terhadap penyimpangan Perilaku Seksual berupa
Sodomi yang ditinjau dari Psikol ogi Kriminil dilakukan dengan berbagai cara
yang terbagi atas 3 (tiga) bagian antara lain sebagai berikut:
1. Usaha Preventif.

Usaha Preventif ialah usaha yang dilakukan untuk mencegah


terjadinya perbuatan kejahatan seperti sodomi dimana usaha ini yang
pertama dilakukan agar kejahata dapat ditekan atau diwaspadai dan di
antisipasi oleh masyarakat.
Cara untuk mencegah terjadinya sodomi dapat dilakukan dengan
cara seperti :
a. Kebijakan Non Hukum Pidana (Jalur Non Penal)
Penanggulangan non penal, baik dengan pencegahan tanpa pidana
(prevention without punishment) maupun mempengaruhi pandangan
masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media
(influencing views of society on crime and punishment/mass media)
sebenarnya mempunyai peranan strategis agar orang tidak berbuat
sodomi karena penanggulangan non Penal sifatnya mencegah, maka
penanggulangan non penal juga harus memperhatikan berbagai aspek
Sosial Psikologis sebagai faktor yang menjadikan situasi menjadi
kondusif sehingga orang tidak melakukan perbuatan sodomi. Oleh sebab
itu agar orang tidak melakukan kejahatan seksual seperti sodomi maka
diperlukan pendidikan maupun pengajaran Seksual melalui berbagai cara
seperti:
1) Memberikan Pengenalan Pendidikan Seks sejak dini kepada Anak
Pendidikan

seks

secara

baik

dan

benar

sebaiknya

diperkenalkan ke dalam kurikulum sekolah secara nasional, hal ini


dilakukan agar anak mulai dari sekarang mengetahui tentang seks itu
sendiri serta berbahayanya jika perbuatan itu dilakukan, salah satu
akibat yang ditimbulkan dari perbuatan seks itu adalah hamil diluar
nikah dan timbulnya Penyakit Menular Seksual (PMS) pada anak.
Pihak yang berkompeten dalam memasukkan kurikulum ini adalah
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Pendidikan Seks bukanlah hal
yang tabu, Kebijakan Pendidikan seks dalam lingkungan sekolah
harus diapresiasi dikarenakan dengan memahami pendidikan seks
siswa menjadi waspada dalam pergaulan baik sesama teman maupun

orang yang tidak dikenal dan sebaiknya kurikulum ini mulai


dimasukkan serta diajarkan dibangku SMP karena pada usia pelajar
tingkat SMP merupakan masa pubertas, masalah pengenalan
pendidikan seks tidak hanya di serahkan kepada sekolah tetapi juga
peranan orang tua juga sangat dibutuhkan. Untuk itulah diharapkan
peran berbagai pihak dalam memberikan perhatian terhadap masalah
pendidikan seks ini agar nantinya dapat mengantisipasi terjadinya
kejahatan seksual seperti sodomi.
2) Pemberantasan VCD Porno dan Pengawasan Media Cetak serta
Elektronik yang mengandung unsur Pornografi Pencegahan
terjadinya kejahatan seksual berupa sodomi dapat dilakukan salah
satunya adalah pemberantasan peredaran VCD porno, VCD Porno
merupakan gambar yang didalamnya memperlihatkan adegan
hubungan seks yang dilakukan oleh orang dewasa hal ini tentu dapat
mengganggu dan merusak pikiran manusia sehingga sangat
berbahaya apalagi jika hal ini dilihat oleh anak-anak yang masih
kecil. Hal yang ditakutkan apa yang dilihat di VCD Porno tersebut
akan dipraktekkan ke orang lain dalam hal ini seperti temantemannya atau bahkan keluarganya seperti saudaranya sendiri.
Demikian juga media cetak dan Elektronik yang saat ini begitu
mudah didapat, diakses dan disebarkan kepada pengguna yang lain
seperti Majalah dewasa, komik porno, internet serta melalui
Handphone.
Pemberantasan VCD Porno yang dilakukan oleh Polisi akan
di dukung oleh masyarakat serta Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) dan sejenisnya karena pengaruh VCD Porno yang sangat
meresahkan dan mengakibatkan dilakukannya perbuatan seperti
yang ditontonnya di VCD Porno apabila iman dan ketakwaanya
sangat kurang baik yang dilakukan oleh anak kecil sampai orang
dewasa bahkan bisa juga orangtua yang sudah berumur lanjutpun
dapat melakukan hal yang tercela dengan menonton VCD Porno.

Peran polisi serta pemerintah dan semua pihak baik Keluarga,


Masyarakat

dan

Ormas

sosial

maupun

Lembaga

Swadaya

Masyarakat dalam pemberantasan VCD Porno adalah sangat penting


dimana pemberantasan VCD Porno dan media yang sejenisnya dapat
mencegah rusaknya generasi muda sebagai aset bangsa.
3) Dukungan dari Lingkungan Sosial dan Masyarakat
Pada bagian ini menjelaskan peran serta masyarakat dalam
mendukung korban kasus kejahatan seksual kepada Polisi, di mana
masyarakat memiliki peranan melaporkan kepada polisi apabila
melihat dan atau mengetahui adanya kejahatan seksual seperti
sodomi yang terjadi di lingkungan tempat tinggal mereka.
Selanjutnya Pemerintah harus mempengaruhi pandangan masyarakat
mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media (influecing
views of society on crime and punishment / mass media) bahwa
kejahatan harus dilaporkan bukan untuk ditutupi atau dibiarkan
begitu saja.
Pemerintah

wajib

melindungi

warganya

dengan

cara

memberikan keamanan serta kesejahteraan, dengan begitu kehidupan


masyarakat akan tenang dan nyaman dimana kejahatan yang terjadi
apalagi kejahatan seksual seperti sodomi selalu mengintai korbannya
kapanpun dan dimanapun, keadaan ini menyebabkan hidup
masyarakat menjadi resah dan takut karena kejahatan seksual seperti
sodomi yang menjadi korbannya adalah anak-anak, untuk itulah
pemerintah di harapkan memberikan rasa aman dengan melakukan
tindakan pencegahan berupa disebarkannya melalui media massa
baik cetak maupun elektronik bahwa kejahatan sodomi akan
dihukum dengan sangat berat sehingga pelaku sodomi menjadi takut
dan tidak berani melakukan aksinya.

2. Usaha Repressif

Usaha Repressif ialah upaya atau tindakan penanggulangan setelah


terjadinya kejahatan seksual berupa sodomi, hal ini dilakukan agar korban
tidak mengalami trauma serta gangguan psikologis yang menghambat
perkembangan fisik dan mentalnya, sehingga bisa menjadi lebih tenang dan
merasa aman.
Pemerintah telah membuat berbagai peraturan untuk melindungi
anak mulai dari UUD 1945 sampai UU No.23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, namun dalam prakteknya masih belum maksimal.
Idealnya penanganan kasus kejahatan terhadap anak memerlukan aparat
penegak hukum yang memiliki minat dan integritas yang besar terhadap
perkembangan anak sehingga cara penanganannya menjadi berbeda dengan
orang dewasa, di mana penanganannya disesuaikan dengan tujuan yaitu
kesejahteraan dan perlindungan anak tersebut. Selama ini hukum memang
belum menempatkan korban kejahatan dalam sistem peradilan yang
bertujuan social welfare (kesejahteraan sosial). Hukum baru berjalan pada
batas perbuatan, pelaku dan sanksi pidana. Akibatnya orang hanya bicara
pada pemberian sanksi pidana kepada pelaku kejahatan saja sehingga
persoalan perlindungan korban menjadi bagian yang terlupakan. Pada kasus
kejahatan seksual seperti sodomi, nasib korban setelah pelaku dijatuhi
hukuman atau setelah selesai menjalani hukuman sepertinya hal ini berlalu
begitu saja. Sebaiknya perlu perlu dipikirkan peran serta semua pihak baik
keluarga, guru (sekolah) dan masyarakat untuk bersama memberikan
perlindungan terhadap anak juga bisa di bantu melalui Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) dengan harapan adanya bantuan LSM tersebut maka
pelaku kejahatan dapat dihukum berat dan hak-hak dari korban dapat
dipenuhi.
a. Kebijakan Hukum Pidana (Jalur Penal)
Dalam Penanggulangan jalur penal, usaha pemberantasan pelaku
kejahatan seksual dalam hal ini ditujukan kepada pelaku sodomi. Artinya
pemberantasan kejahatan sodomi langsung kepada pelaku, hal ini
dilakukan agar kejahatan langsung diberantas pada akarnya. Agar pelaku

kejahatan seksual berupa sodomi menjadi jera perlu dilakukan hal-hal


sebagai berikut :
1) Menambah Vonis Hukuman kepada pelaku Kejahatan Kejahatan
Seksual berupa sodomi
Meningkatnya kasus kejahatan seksual berupa sodomi di
karenakan kesalahan semua pihak baik penegak Hukum seperti
Polisi, Jaksa dan Hakim yang memberikan hukuman ringan kepada
pelaku kejahatan seksual berupa sodomi sampai masyarakat yang
kurang mengawasi lingkungannya, namun semua pihak harus peduli
dan ada rasa tanggung jawab bersama untuk mencegah perbuatan
seksual yang menyimpang seperti sodomi tersebut. Kejahatan
Seksual diatur didalam pasal 281, 289 sampai 296 KUHP yang mana
rentang waktu hukumannya antara 9 bulan sampai 12 tahun dan
hukuman tersebut masih ringan dibandingkan kerugian yang dialami
oleh korban kejahatan seksual seperti sodomi, karena hal tersebut
akan terbawa sampai korban mati atau selama hidupnya merupakan
memori yang terburuk dalam kehidupannya, dalam kasus kejahatan
seksual seperti sodomi harus ada semacam kebijakan kriminal
( criminal policy ) dari para petinggi hukum di negeri ini yang mana
para pelaku dihukum berat atau perlu diberlakukan hukuman seumur
hidup bahkan hukuman mati agar terdapat efek jera dari pelaku
kejahatan seksual seperti sodomi ini. Korban kejahatan seksual
berupa sodomi harus berani melaporkan kasusnya kepada pihak yang
berkompeten dengan kasus kejahatan seksual seperti Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM), serta khususnya kepada Polisi. Selain
Criminal Policy (kebijakan kriminal) terdapat hal yang penting
lainnya ialah victim center (pusat

korban) yang berguna untuk

membantu melalui konsultasi serta rehabilitasi baik secara fisik


maupun mental korban kejahatan seksual.

3. Usaha Reformatif
Usaha Reformatif ialah upaya pembinaan terhadap para pelaku
kejahatan sodomi agar mereka jera dan tidak mengulangi perbuatan mereka
yang bukan hanya merugikan dirinya sendiri tetapi juga orang lain dalam
hal ini adalah korban dari pelaku kejahatan seksual berupa sodomi. Usaha
Reformatif tersebut dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut :
a. Meningkatkan nilai agama dan moral
Peranan Agama sangat penting di dalam membina mental dan
kepribadian seseorang, karena agama dan moral sebagai benteng
pertahanan yang kokoh serta memberikan petunjuk-petunjuk yang tegas
tentang baik dan buruk dan harus di pahami dengan baik oleh
pemeluknya. Pertumbuhan dan perkembangan jiwa anak harus dilatih
sejak ia masih kecil agar masa depannya dapat berjalan sesuai dengan
nilai agama serta kehidupan di masyarakat sebab anak merupakan masa
depan bangsa sehingga anak sebaiknya harus disayangi serta dilindungi
serta diharapkan perlakuan orangtua yang baik, penuh kasih sayang
disertai dengan rasa ikhlas, jujur dan bertanggung jawab yang dilandasi
oleh ketaatan kepada agama akan menambah unsur kebaikan atau positif
pada pribadi anak, sehingga tidak akan menimbulkan rasa takut ketika ia
besar di kemudian hari.
b. Mengajarkan Perilaku Seks yang Sehat dan tidak Menyimpang
Kejahatan Seksual berupa sodomi merupakan perbuatan seks
yang salah karena melakukan hubungan seks bukan ditempat reproduksi
seks yang sebenarnya tetapi melalui lubang dubur yang jika hal itu
dilakukan kepada korban maka ia akan mengalami sakit yang luar biasa,
seperti yang diketahui dubur merupakan tempat untuk membuang
kotoran yang dihabis makan dan dicerna oleh organ pencernaan pada
tubuh manusia. Perbuatan seks melalui dubur sangat mengundang resiko
yang lebih tinggi dikarenakan dubur bukan merupakan tempat untuk
reproduksi seksual sehingga jika melakukannya akan mudah terkena
penyakit menular seksual (PMS) dikarenakan dubur dapat merusak

kesehatan karena mengandung bakteri yang berbahaya, oleh sebab itu


lebih baik tidak melakukan perbuatan tersebut sebab dapat menyebabkan
kerugian baik bagi pelaku maupun korban itu sendiri.
E. Prinsip Pemeriksaan dan Penatalaksanaan Korban (P3K) Kekerasan
Seksual8,9,10,11,12,13,14
Dalam melakukan P3K kekerasan seksual, terdapat beberapa aspek etik
dan medikolegal yang harus diperhatikan. Karena korban juga berstatus
sebagai pasien, dan yang akan diperiksa adalah daerah sensitif, hal utama
yang harus diperhatikan adalah memperoleh informed consent. Informasi
tentang pemeriksaan harus diberikan sebelum pemeriksaan dimulai dan antara
lain, mencakup tujuan pemeriksaan dan kepentingannya untuk pengungkapan
kasus, prosedur atau teknik pemeriksaan, tindakan pengambilan sampel atau
barang bukti, dokumentasi dalam bentuk rekam medis dan foto, serta
pembukaan sebagian rahasia kedokteran guna pembuatan Visum et Repertum.
Setiap pemeriksaan Visum et Repertum juga berdasarkan permintaan dari polisi
penyidik yang berwenang.
Seorang dokter yang memeriksa kasus kekerasan seksual harus bersikap
objektif-imparsial, konfi densial, dan professional. Objektifimparsial artinya
seorang dokter tidak boleh memihak atau bersimpati kepada korban sehingga
cenderung mempercayai seluruh pengakuan korban begitu saja. Hal yang boleh
dilakukan adalah berempati, dengan tetap membuat penilaian sesuai dengan
bukti-bukti objektif yang didapatkan secara sistematis dan menyeluruh. Dokter
juga

harus

menjaga

konfi

densialitas

hasil

pemeriksaan

korban.

Komunikasikan hasil pemeriksaan hanya kepada yang berhak mengetahui,


seperti kepada korban dan/atau walinya (jika ada), serta penyidik kepolisian
yang berwenang. Tuangkan hasil pemeriksaan dalam visum et repertum sesuai
keperluan saja, dengan tetap menjaga kerahasiaan data medis yang tidak terkait
dengan kasus. Profesionalitas dokter dalam melakukan P3K kekerasan seksual
ditunjukkan dengan melakukan pemeriksaan sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu

kedokteran yang umum dan mutakhir, dengan memperhatikan hak dan


kewajiban korban (sekaligus pasien) dan dokter.
Secara umum tujuan pemeriksaan korban kekerasan seksual adalah
untuk:
1. Melakukan identifikasi, termasuk memperkirakan usia korban
2. Menentukan adanya tanda-tanda persetubuhan, dan waktu terjadinya
3. Menentukan adanya tanda-tanda kekerasan, termasuk tanda intoksikasi
narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (NAPZA)
4. Menentukan pantas/tidaknya korban utk dikawin, termasuk tingkat
perkembangan seksual
5. Membantu identifikasi pelaku
Pada korban kekerasan seksual, anamnesis harus dilakukan dengan
bahasa awam yang mudah dimengerti oleh korban. Gunakan bahasa dan
istilah-istilah yang sesuai tingkat pendidikan dan sosio-ekonomi korban,
sekalipun mungkin terdengar vulgar. Anamnesis dapat dibagi menjadi
anamnesis umum dan khusus. Hal-hal yang harus ditanyakan pada anamnesis
umum mencakup, antara lain:
1.
2.
3.
4.
5.

Umur atau tanggal lahir


Status pernikahan
Riwayat paritas dan/atau abortus
Riwayat haid (menarche, hari pertama haid terakhir, siklus haid)
Riwayat koitus (sudah pernah atau belum, riwayat koitus sebelum dan/atau
setelah kejadian kekerasan seksual, dengan siapa, penggunaan kondom atau

alat kontrasepsi lainnya)


6. Penggunaan obat-obatan (termasuk NAPZA)
7. Riwayat penyakit (sekarang dan dahulu)
8. Keluhan atau gejala yang dirasakan pada saat pemeriksaan.
Sedangkan anamnesis khusus mencakup keterangan yang terkait
kejadian kekerasan seksual yang dilaporkan dan dapat menuntun pemeriksaan
fi sik, seperti:
What & How:
1. Jenis

tindakan

(pemerkosaan,

persetubuhan,

pencabulan,

sebagainya),
2. Adanya kekerasan dan/atau ancaman kekerasan, serta jenisnya,

dan

3. Adanya upaya perlawanan,


4. Apakah korban sadar atau tidak pada saat atau setelah kejadian,
5. Adanya pemberian minuman, makanan, atau obat oleh pelaku sebelum
atau setelah kejadian,
6. Adanya penetrasi dan sampai mana (parsial atau komplit),
7. Apakah ada nyeri di daerah kemaluan,
8. Apakah ada nyeri saat buang air kecil/besar,
9. Adanya perdarahan dari daerah kemaluan,
10. Adanya ejakulasi dan apakah terjadi di luar atau di dalam vagina,
11. Penggunaan kondom, dan
12. Tindakan yang dilakukan korban setelah kejadian, misalnya apakah
korban sudah buang air, tindakan membasuh/douching, mandi, ganti
baju, dan sebagainya.
When:
1. Tanggal dan jam kejadian, bandingkan dengan tanggal dan jam melapor,
dan
2. Apakah tindakan tersebut baru satu kali terjadi atau sudah berulang.
Where:
1. Tempat kejadian, dan
2. Jenis tempat kejadian (untuk mencari kemungkinan trace evidence dari
tempat kejadian yang melekat pada tubuh dan/atau pakaian korban).
Who:
1.
2.
3.
4.

Apakah pelaku dikenal oleh korban atau tidak,


Jumlah pelaku,
Usia pelaku, dan
Hubungan antara pelaku dengan korban.
Saat melakukan pemeriksaan fisik, gunakan prinsip top-to-toe.

Artinya, pemeriksaan fisik harus dilakukan secara sistematis dari ujung kepala
sampai

ke

ujung

kaki.

Pelaksanaan

pemeriksaan

fisik

juga

harus

memperhatikan keadaan umum korban. Apabila korban tidak sadar atau


keadaan umumnya buruk, maka pemeriksaan untuk pembuatan visum dapat
ditunda dan dokter fokus untuk life-saving terlebih dahulu. Selain itu, dalam
melakukan pemeriksaan fisik, perhatikan kesesuaian dengan keterangan korban
yang didapat saat anamnesis. Pemeriksaan fisik yang dilakukan dapat dibagi
menjadi pemeriksaan umum dan khusus. Pemeriksaan fisik umum mencakup:

1. Tingkat kesadaran,
2. Keadaan umum,
3. Tanda vital,
4. Penampilan (rapih atau tidak, dandan, dan lain-lain),
5. Afek (keadaan emosi, apakah tampak sedih, takut, dan sebagainya),
6. Pakaian (apakah ada kotoran, robekan, atau kancing yang terlepas),
7. Status generalis,
8. Tinggi badan dan berat badan,
9. Rambut (tercabut/rontok)
10. Gigi dan mulut (terutama pertumbuhan gigi molar kedua dan ketiga),
11. Kuku (apakah ada kotoran atau darah di bawahnya, apakah ada kuku yang
tercabut atau patah),
12. Tanda-tanda perkembangan seksual sekunder,
13. Tanda-tanda intoksikasi napza, serta
14. Status lokalis dari luka-luka yang terdapat pada bagian tubuh selain daerah
kemaluan.
Pemeriksaan fisik khusus bertujuan mencari bukti-bukti fisik yang
terkait dengan tindakan kekerasan seksual yang diakui korban dan mencakup
pemeriksaan:
1. Daerah pubis (kemaluan bagian luar), yaitu adanya perlukaan pada
jaringan lunak atau bercak cairan mani
2. Penyisiran rambut pubis (rambut kemaluan), yaitu apakah adanya rambut
pubis yang terlepas yang mungkin berasal dari pelaku, penggumpalan atau
perlengketan rambut pubis akibat cairan mani
3. Daerah vulva dan kulit sekitar vulva/paha bagian dalam (adanya perlukaan
pada jaringan lunak, bercak cairan mani)
4. Labia mayora dan minora (bibir kemaluan besar dan kecil), apakah ada
perlukaan pada jaringan lunak atau bercak cairan mani
5. Vestibulum dan fourchette posterior (pertemuan bibir kemaluan bagian
bawah), apakah ada perlukaan
6. Hymen (selaput dara), catat bentuk, diameter ostium, elastisitas atau
ketebalan, adanya perlukaan seperti robekan, memar, lecet, atau hiperemi).
Apabila ditemukan robekan hymen, catat jumlah robekan, lokasi dan arah
robekan (sesuai arah pada jarum jam, dengan korban dalam posisi
litotomi), apakah robekan mencapai dasar (insersio) atau tidak, dan adanya
perdarahan atau tanda penyembuhan pada tepi robekan
7. Vagina (liang senggama), cari perlukaan dan adanya cairan atau lendir

8. Serviks dan porsio (mulut leher rahim), cari tanda-tanda pernah


melahirkan dan adanya cairan atau lendir
9. Uterus (rahim), periksa apakah ada tanda kehamilan
10. Anus (lubang dubur) dan daerah perianal, apabila ada indikasi berdasarkan
anamnesis
11. Mulut, apabila ada indikasi berdasarkan anamnesis
12. Daerah-daerah erogen (leher, payudara, paha, dan lain-lain), untuk mencari
bercak mani atau air liur dari pelaku
13. Tanda-tanda kehamilan pada payudara dan perut.

BAB III
KESIMPULAN
Kejahatan seksual (sexual offences), sebagai salah satu bentuk dari
kejahatan yang menyangkut tubuh, kesehatan, dan nyawa manusia, mempunyai
kaitan yang erat dengan Ilmu Kedokteran Forensik, yaitu di dalam upaya
pembuktian bahwasanya kejahatan tersebut memang telah terjadi.
Persetubuhan yang merupakan kejahatan seperti yang dimaksudkan oleh
undang-undang , tertera pada pasal-pasal yang terdapat pada Bab XIV KUHP,
tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan, meliputi persetubuhan di dalam
perkawinan (pasal 288 KUHP) maupun di luar perkawinan yang mencakup
persetubuhan dengan persetujuan (pasal 284 dan 287 KUHP) serta persetubuhan
tanpa persetujuan (pasal 285 dan 286). Homoseksual juga termasuk bentuk
kejahatan seksual bila dilakukan pada orang dengan jenis kelamin sama namun
belum dewasa seperti yang tertera dalam pasal 292 KUHP.
Upaya pembuktian secara kedokteran forensik pada setiap kasus kejahatan
seksual sebenarnya terbatas di dalam pembuktian ada tidaknya tanda-tanda
persetubuhan, ada tidaknya tanda-tanda kekerasan, perkiraan umur serta

pembuktian apakah seseorang itu memang sudah pantas atau sudah mampu untuk
dikawin atau tidak.
Berbagai pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan untuk mendukung
adanya persetubuhan.

DAFTAR PUSTAKA
1

Behrman, Kliegman & Arvin, Nelson. Ilmu Kesehatan Anak. EGC: Jakarta.
2012

Reneta Kristiani, Doni, Mira Nurcahyo budi W. Kekerasan Seksual Pada


Anak.

(diakses

dari

http://www.pulih.or.id/res/publikasi/news_letter

%2015.pdf ).2010
3

Sudaryono. Kekerasan Pada Anak : Bentuk, Penanggulangan, dan


Perlindungan

Pada

Anak

Korban

Kekerasan.

(diakses

dari

http://www.scribd.com/doc/83672075/6-sudaryono). 2007
4

Departemen Kesehatan. Melindungi Kesehatan Anak Korban Kekerasan.


(diakses

dari

http://www.smallcrab.com/anak-anak/1050-melindungi-

kesehatan-anak-korban-kekerasan). 2010
5

Mira, Doni. Kekerasan Seksual Pada Anak. Newsletter PULIH Volume 15


p1-8. 2010

Departemen Kesehatan RI, Pedoman Rujukan Kasus Kekerasan Terhadap


Anak

Bago

Petugas

Kesehatan,

diakses

dari

http://www.gizikia.depkes.go.id/wpcontent/uploads/downloads/2011/01/PEDOMAN-RUJUKANKASUS-KtA-BAGI-PETUGAS-KESEHATAN.pdf. 2011
7

Philip SL. Clinical Forensic Medicine: Much Scope for Development in


Hong Kong. Hongkong: Departement of Pathology Faculty of Medicine
University of Hongkong. 2007

Sugiarto I. Aspek Klinis Kekerasan Pada Anak dan Pencegahannya. Diakses


dari :http://www.lcki.org/images/seminar /anak/tatalaksana.pdf.

Idries, AM. 1997. Kekerasan Seksual. Dalam: Idries, AM, Pedoman Ilmu
Kedokteran Forensik. Jakarta: Bina Rupa Aksara. p 216-27

10 Narendra et al, 2002. Tumbuh Kembang Anak dan Remaja. Jakarta : Ikatan
Dokter Anak Indonesia.
11 Kaplan,H.I., B. J. Sadock, J.A. Grebb, Sinopsis Psikiatri:Ilmu Pengetahuan
Perilaku Psikiatri Klinis, 2 (Jakarta: Binarupa Aksara,1997).
12 Rose, S, J. Bisson & S. Wessely, Psychological Debriefing for Preventing
Post Traumatic Stress Disorder (PTSD): Review, dalam Cochrane Database
of Systematic Reviews, Issue 2, Art No.CD000560, 2002.
13 Small, R., J. Lumley, L. Donohue, A. Potter & U. Waldenstrom,
Randomized Controlled Trial of Midwife Led Debriefing to Reduce
Maternal Depression after Operative Childbirth,British Medical Journal,
321, 2000: 1043-1047.
14 Swalm, D., Tabs-Childbirth and Emotional Trauma: Why its Important to
Talk T alk Talk,Associate Head of Dept of Psychological Medicine for
Women, King

Anda mungkin juga menyukai