MEDIKOLEGAL
REFERAT
SODOMI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Pendidikan Dokter Umum Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Dokter Pembimbing : dr. Sugiharto, (MMR), SH
Disusun Oleh:
Arkan Adi
(J510155076)
Aya
W.
Fana
Oase C.
(J510155081)
Imam Al Huda
(J510155032)
Nadia Primivita D.
(J510155063)
Nariswari Putri W.
(J510155052)
SODOMI
Disusun Oleh:
Arkan Adi W.
(J510155076)
(J510155081)
Imam Al Huda
(J510155032)
Nadia Primivita D.
(J510155063)
Nariswari Putri W.
(J510155052)
Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pembimbing
dr. Sugiharto, (MMR), SH
Dipresentasikan dihadapan
dr. Sugiharto, (MMR), SH
BAB I
PENDAHULUAN
Kejahatan seksual (sexual offences), sebagai salah satu bentuk dari kejahatan
yang menyangkut tubuh, kesehatan, dan nyawa manusia, mempunyai kaitan yang
erat dengan Ilmu Kedokteran Forensik; yaitu di dalam upaya pembuktian
bahwasanya kejahatan tersebut memang telah terjadi. Adanya kaitan antara Ilmu
Kedokteran dengan kejahatan seksual dapat dipandang sebagai konsekuensi dari
pasal-pasal di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Kitab
Undang-Undang Acara Hukum Pidana (KUHAP), yang memuat ancaman
hukuman serta tatacara pembuktian pada setiap kasus yang termasuk di dalam
pengertian kasus kejahatan seksual.2
Pada terjadinya suatu tindak pidana penyimpangan seksual berupa sodomi,
pelaku kejahatan seksual pasti memiliki dorongan dari dalam diri untuk
melakukan sebuah perbuatan sodomi. Niat awalnya biasanya hanya untuk
memuaskan nafsu sesaat karena biasanya pelaku yang merupakan gay atau kaum
homoseksual, tidak memiliki pasangan ketika ingin melakukan perbuatan tersebut.
Maka berbagai cara dilakukan agar keinginannya terpenuhi termasuk unsur
ancaman dan paksaan terhadap korbannya supaya kepuasaan seksnya yang
menyimpang dapat dilaksanakan.2,3
Sodomi adalah istilah hukum yang digunakan merujuk kepada tindakan
seks "tidak alami", yang bergantung pada yuridiksinya dapat terdiri atas seks oral
atau seks anal atau semua bentuk pertemuan organ non-kelamin dengan alat
kelamin, baik dilakukan secara heteroseksual, homoseksual, atau antara manusia
dan hewan. Tindak pidana penyimpangan seksual berupa sodomi dapat diartikan
dengan memaksa si korban untuk melakukan hubungan seks melalui anus atau
anal.3
Permasalahan pada perilaku penyimpangan seksual berupa sodomi ini tidak
hanya dilihat dari 1 aspek saja yang mana perbuatan sodomi bukan hanya ada
pada diri si pelaku kejahatan, yaitu masalah kelainan seksual, tetapi terdapat halhal lain yang menjadi faktor penyebab penyimpangan seksual sodomi ini,
misalnya faktor sosial atau pergaulan, pengaruh media cetak maupun elektronik
yang menampilkan pornografi, faktor trauma atau korban sodomi sewaktu kecil,
faktor genetik yang meskipun mengambil peranan yang sangat kecil.1,4
BAB II
PEMBAHASAN
adalah
kecenderungan
memiliki
hasrat
seksual
atau
(Amerika),
kelompok
homoseksual
memiliki
undang-undang
orang tua yang homoseksual. Namun penting untuk diketahui tidak semua
anak yang dihadapkan pada situasi demikian akan terbentuk sebagai
homoseksual karena masih ada faktor lain yang juga dapat mempengaruhi
dan tentunya karena kepribadian dan karakter setiap orang yang berbedabeda.7
4. Faktor Trauma atau korban sodomi sewaktu kecil
Dari beberapa kasus yang terjadi, hampir ditemukan kesamaan
latar belakang riwayat pada mereka yang mengalami homoseksualitas
menceritakan bahwa mereka pernah disiksa atau memiliki ayah yang suka
menyiksa, atau pernah di perkosa oleh orang-orang terdekat. Mereka yang
menjadi homo dari faktor ini biasanya menyadari kalau mereka tidak
semestinya menyukai sesama jenisnya, tetapi dari sesama jenisnya
misalnya dalam hal ini ibu dapat memberikan perlindungan atau orang
yang tidak memberikan kekerasan fisik, atau karena individu memendam
kebencian yang dalam secara terus menerus di alam bawah sadarnya pada
ayah maka ia tumbuh menjadi seorang homo dan selanjutnya untuk
mereka yang pernah diperkosa, maka mereka menjadi homo dikarenakan
mereka ingin membalaskan dendam kepada orang lain dengan menjadi
atau berperilau homo. Kebanyakan dari kasus trauma masa kecil atau
diperkosa ini mendapat recover (perlindungan) tetapi memerlukan
penanganan atau terapi dari Psikolog atau Psikiater yang memakan waktu
yang lama dan proses yang panjang.
5. Faktor Genetik
Peran faktor genetik dalam orientasi homoseksual telah terbukti
pada penelitian angka kejadian homoseksual telah terbukti pada penelitian
angka kejadian homoseksualitas diantara kembar identik, kembar
heterozigot dan saudara kandung. Penelitian pada saudara kembar
menunjukkan angka kejadian homoseksual pada kembar identik lebih
tinggi (48-66 %) dibandingkan kembar heterozigot dan saudara kandung.
Hal ini menunjukkan bahwa faktor genetik memegang peranan penting,
walaupun bukan satu-satunya penyebab. Faktor Genetik merupakan faktor
sperma serta air mani baik dalam dubur maupun mulut korban; juga perlu
diperiksa bentuk dubur, bagi yang telah sering melakukan persetubuhan
melalui dubur, maka bentuk dari dubur akan mengalami perubahan, duburnya
terbuka, berbentuk corong (funnel shape), dan otot sfingternya sudah tidak
dapat berfungsi dengan baik.
Pada kasus lesbian, selain perkiraan umur maka perlu dicari apakah
terdapat kelainan yang diakibatkan oleh manipulasi genital dengan tangan atau
alat-alat bantu.
C. Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan Pada Kasus Homoseksual
Tujuan pemeriksaan dilakukan untuk menentukan adanya sperma dalam
dubur pasangannya dan mendapatkan adanya unsur-unsur yang terdapat dalam
anus.
Metoda
terbawa atau melekat pada penis, dapat dibuat sediaan langsung dengan atau
tanpa pewarnaan.
2. Pemeriksaan Air Mani Dari Rambut Dan Kulit
Para pelaku kejahatan seksual tidak jarang di dalam melampiaskan
hasrat seksualnya itu, melalui cara yang tidak lazim, seringkali korban
dipaksa untuk melakukan "fellatio" atau sodomi.
Di dalam menghadapi kemungkinan yang demikian tadi, maka selain
pemeriksaan yang rutin dilakukan, harus pula dikerjakan pemeriksaan
terhadap rambut dan kulit korban, untuk mencari air mani yang tercecer.
a. Daerah yang diperiksa tergantung dari peristiwanya, ke pala, bulubulu atau rambut di wajah, kulit di daerah perioral (sekitar mulut),
paha bagian dalam, dan daerah pantat,
b. Rambut kepala dicabut dan direndam dalam larutan NaCl,
c. Pemeriksaan dilakukan dengan pap smear dan penen tuan asam
fosfatase,
d. Kulit dibasahi dengan aplikator katun yang telah diren dam dalam
larutan NaCl, test kemudian dapat dilakukan,
e. Tes
yang
positif
pada
paha
atau
pantat,
dapat
membantu
tentunya
seks
secara
baik
dan
benar
sebaiknya
dan
Ormas
sosial
maupun
Lembaga
Swadaya
wajib
melindungi
warganya
dengan
cara
2. Usaha Repressif
3. Usaha Reformatif
Usaha Reformatif ialah upaya pembinaan terhadap para pelaku
kejahatan sodomi agar mereka jera dan tidak mengulangi perbuatan mereka
yang bukan hanya merugikan dirinya sendiri tetapi juga orang lain dalam
hal ini adalah korban dari pelaku kejahatan seksual berupa sodomi. Usaha
Reformatif tersebut dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut :
a. Meningkatkan nilai agama dan moral
Peranan Agama sangat penting di dalam membina mental dan
kepribadian seseorang, karena agama dan moral sebagai benteng
pertahanan yang kokoh serta memberikan petunjuk-petunjuk yang tegas
tentang baik dan buruk dan harus di pahami dengan baik oleh
pemeluknya. Pertumbuhan dan perkembangan jiwa anak harus dilatih
sejak ia masih kecil agar masa depannya dapat berjalan sesuai dengan
nilai agama serta kehidupan di masyarakat sebab anak merupakan masa
depan bangsa sehingga anak sebaiknya harus disayangi serta dilindungi
serta diharapkan perlakuan orangtua yang baik, penuh kasih sayang
disertai dengan rasa ikhlas, jujur dan bertanggung jawab yang dilandasi
oleh ketaatan kepada agama akan menambah unsur kebaikan atau positif
pada pribadi anak, sehingga tidak akan menimbulkan rasa takut ketika ia
besar di kemudian hari.
b. Mengajarkan Perilaku Seks yang Sehat dan tidak Menyimpang
Kejahatan Seksual berupa sodomi merupakan perbuatan seks
yang salah karena melakukan hubungan seks bukan ditempat reproduksi
seks yang sebenarnya tetapi melalui lubang dubur yang jika hal itu
dilakukan kepada korban maka ia akan mengalami sakit yang luar biasa,
seperti yang diketahui dubur merupakan tempat untuk membuang
kotoran yang dihabis makan dan dicerna oleh organ pencernaan pada
tubuh manusia. Perbuatan seks melalui dubur sangat mengundang resiko
yang lebih tinggi dikarenakan dubur bukan merupakan tempat untuk
reproduksi seksual sehingga jika melakukannya akan mudah terkena
penyakit menular seksual (PMS) dikarenakan dubur dapat merusak
harus
menjaga
konfi
densialitas
hasil
pemeriksaan
korban.
tindakan
(pemerkosaan,
persetubuhan,
pencabulan,
sebagainya),
2. Adanya kekerasan dan/atau ancaman kekerasan, serta jenisnya,
dan
Artinya, pemeriksaan fisik harus dilakukan secara sistematis dari ujung kepala
sampai
ke
ujung
kaki.
Pelaksanaan
pemeriksaan
fisik
juga
harus
1. Tingkat kesadaran,
2. Keadaan umum,
3. Tanda vital,
4. Penampilan (rapih atau tidak, dandan, dan lain-lain),
5. Afek (keadaan emosi, apakah tampak sedih, takut, dan sebagainya),
6. Pakaian (apakah ada kotoran, robekan, atau kancing yang terlepas),
7. Status generalis,
8. Tinggi badan dan berat badan,
9. Rambut (tercabut/rontok)
10. Gigi dan mulut (terutama pertumbuhan gigi molar kedua dan ketiga),
11. Kuku (apakah ada kotoran atau darah di bawahnya, apakah ada kuku yang
tercabut atau patah),
12. Tanda-tanda perkembangan seksual sekunder,
13. Tanda-tanda intoksikasi napza, serta
14. Status lokalis dari luka-luka yang terdapat pada bagian tubuh selain daerah
kemaluan.
Pemeriksaan fisik khusus bertujuan mencari bukti-bukti fisik yang
terkait dengan tindakan kekerasan seksual yang diakui korban dan mencakup
pemeriksaan:
1. Daerah pubis (kemaluan bagian luar), yaitu adanya perlukaan pada
jaringan lunak atau bercak cairan mani
2. Penyisiran rambut pubis (rambut kemaluan), yaitu apakah adanya rambut
pubis yang terlepas yang mungkin berasal dari pelaku, penggumpalan atau
perlengketan rambut pubis akibat cairan mani
3. Daerah vulva dan kulit sekitar vulva/paha bagian dalam (adanya perlukaan
pada jaringan lunak, bercak cairan mani)
4. Labia mayora dan minora (bibir kemaluan besar dan kecil), apakah ada
perlukaan pada jaringan lunak atau bercak cairan mani
5. Vestibulum dan fourchette posterior (pertemuan bibir kemaluan bagian
bawah), apakah ada perlukaan
6. Hymen (selaput dara), catat bentuk, diameter ostium, elastisitas atau
ketebalan, adanya perlukaan seperti robekan, memar, lecet, atau hiperemi).
Apabila ditemukan robekan hymen, catat jumlah robekan, lokasi dan arah
robekan (sesuai arah pada jarum jam, dengan korban dalam posisi
litotomi), apakah robekan mencapai dasar (insersio) atau tidak, dan adanya
perdarahan atau tanda penyembuhan pada tepi robekan
7. Vagina (liang senggama), cari perlukaan dan adanya cairan atau lendir
BAB III
KESIMPULAN
Kejahatan seksual (sexual offences), sebagai salah satu bentuk dari
kejahatan yang menyangkut tubuh, kesehatan, dan nyawa manusia, mempunyai
kaitan yang erat dengan Ilmu Kedokteran Forensik, yaitu di dalam upaya
pembuktian bahwasanya kejahatan tersebut memang telah terjadi.
Persetubuhan yang merupakan kejahatan seperti yang dimaksudkan oleh
undang-undang , tertera pada pasal-pasal yang terdapat pada Bab XIV KUHP,
tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan, meliputi persetubuhan di dalam
perkawinan (pasal 288 KUHP) maupun di luar perkawinan yang mencakup
persetubuhan dengan persetujuan (pasal 284 dan 287 KUHP) serta persetubuhan
tanpa persetujuan (pasal 285 dan 286). Homoseksual juga termasuk bentuk
kejahatan seksual bila dilakukan pada orang dengan jenis kelamin sama namun
belum dewasa seperti yang tertera dalam pasal 292 KUHP.
Upaya pembuktian secara kedokteran forensik pada setiap kasus kejahatan
seksual sebenarnya terbatas di dalam pembuktian ada tidaknya tanda-tanda
persetubuhan, ada tidaknya tanda-tanda kekerasan, perkiraan umur serta
pembuktian apakah seseorang itu memang sudah pantas atau sudah mampu untuk
dikawin atau tidak.
Berbagai pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan untuk mendukung
adanya persetubuhan.
DAFTAR PUSTAKA
1
Behrman, Kliegman & Arvin, Nelson. Ilmu Kesehatan Anak. EGC: Jakarta.
2012
(diakses
dari
http://www.pulih.or.id/res/publikasi/news_letter
%2015.pdf ).2010
3
Pada
Anak
Korban
Kekerasan.
(diakses
dari
http://www.scribd.com/doc/83672075/6-sudaryono). 2007
4
dari
http://www.smallcrab.com/anak-anak/1050-melindungi-
kesehatan-anak-korban-kekerasan). 2010
5
Bago
Petugas
Kesehatan,
diakses
dari
http://www.gizikia.depkes.go.id/wpcontent/uploads/downloads/2011/01/PEDOMAN-RUJUKANKASUS-KtA-BAGI-PETUGAS-KESEHATAN.pdf. 2011
7
Idries, AM. 1997. Kekerasan Seksual. Dalam: Idries, AM, Pedoman Ilmu
Kedokteran Forensik. Jakarta: Bina Rupa Aksara. p 216-27
10 Narendra et al, 2002. Tumbuh Kembang Anak dan Remaja. Jakarta : Ikatan
Dokter Anak Indonesia.
11 Kaplan,H.I., B. J. Sadock, J.A. Grebb, Sinopsis Psikiatri:Ilmu Pengetahuan
Perilaku Psikiatri Klinis, 2 (Jakarta: Binarupa Aksara,1997).
12 Rose, S, J. Bisson & S. Wessely, Psychological Debriefing for Preventing
Post Traumatic Stress Disorder (PTSD): Review, dalam Cochrane Database
of Systematic Reviews, Issue 2, Art No.CD000560, 2002.
13 Small, R., J. Lumley, L. Donohue, A. Potter & U. Waldenstrom,
Randomized Controlled Trial of Midwife Led Debriefing to Reduce
Maternal Depression after Operative Childbirth,British Medical Journal,
321, 2000: 1043-1047.
14 Swalm, D., Tabs-Childbirth and Emotional Trauma: Why its Important to
Talk T alk Talk,Associate Head of Dept of Psychological Medicine for
Women, King