Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Kandung kemih neurogenik didefinisikan sebagai disfungsi kandung

kemih karena kerusakan atau penyakit pada sistem saraf pusat ataupun sistem
saraf perifer. Pada kandung kemih neurogenik terjadi gangguan pengisian dan
pengosongan urin sehingga timbul gangguan miksi yang disebut inkontinensia
urin dan apabila tidak segera ditangani dapat menimbulkan kerusakan pada ginjal.
Kelainan tersebut dapat merupakan bagian kelainan kongenital ataupun didapat.
Kandung kemih neurogenik pada anak berbeda dengan dewasa dalam hal etiologi.
Sebagian besar kandung kemih neurogenik pada anak disebabkan kelainan
kongenital sedangkan pada dewasa lebih sering karena kelainan didapat.
Istilah neurogenic bladder tidak mengacu pada suatu diagnosis spesifik
ataupun menunjukkan etiologinya, melainkan lebih menunjukkan suatu gangguan
fungsi urologi akibat kelainan neurologis. Fungsi bladder normal memerlukan
aktivitas yang terintegrasi antara sistem saraf otonomi dan somatik. Jaras neural
yang terdiri dari berbagai refleks fungsi destrusor dan sfingter meluas dari lobus
frontalis ke medula spinalis bagian sakral, sehingga penyebab neurogenik dari
gangguan bladder dapat diakibatkan oleh lesi pada berbagai derajat.1
Salah satu penelitian pertama prevalensi Neurogenic Bladder di Asia
adalah sebuah survei oleh APCAB (Asia Pacific Continence Advisory Board)
pada tahun 1998 yang mencakup 7875 laki-laki dan perempuan (sekitar 70%
perempuan) dari 11 negara (termasuk 499 dari Indonesia) ; didapatkan bahwa
prevalensi Neurogenic Bladder secara umum pada orang Asia adalah sekitar
50,6%. Banyak penyebab dapat mendasari timbulnya Neurogenic Bladder
sehingga mutlak dilakukan pemeriksaan yang teliti sebelum diagnosis ditegakkan.
Penyebab tersering adalah gangguan medulla spinalis; trauma merupakan
penyebab akut serta memberikan manifestasi klasik.2,3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Anatomi dan Fisiologi


Kandung kemih merupakan jalinan otot polos yang terbagi menjadi dua

bagian yaitu kandung kemih dan leher kandung kemih. Bagian terbawah leher
kandung kemih disebut sebagai uretra posterior karena berhubungan dengan
uretra. Kandung kemih bagian fundus terdiri atasi tiga lapisan otot polos yang
saling bersilangan dan disebut otot detrusor. Pada dinding kandung kemih
bagian posterior terdapat area berbentuk segitiga yang lazim disebut trigonum.
Sudut bawah dari trigonum merupakan bagian leher kandung kemih yaitu
muara uretra posterior sedangkan kedua sudut lainnya merupakan muara kedua
ureter. Kedua ureter menembus otot detrusor dalam posisi oblik dan
memanjang 12 cm di bawah mukosa kandung kemih sebelum bermuara ke
dalam kandung kemih. Struktur tersebut dapat mencegah aliran balik urin dari
kandung kemih ke ureter.

Gambar 1 Anatomi Kandung Kemih

Ureter memiliki gerakan peristaltik yang memungkinkan urin mengalir


menuju kandung kemih karena adanya tekanan intra ureter. Otot detrusor selain
meluas ke seluruh kandung kemih juga meluas ke arah bawah dan mengelilingi
leher kandung kemih sepanjang 23 cm lalu turun hingga ke uretra posterior
yang disebut sebagai sfingter interna. Otot detrusor secara tidak langsung
berfungsi sebagai katup mencegah pengosongan kandung kemih oleh leher
kandung kemih dan uretra posterior hingga tekanan pada kandung kemih
mencapai ambang potensial yang berlangsung secara otonom. Pada bagian
bawah uretra posterior, uretra melalui diafragma urogenital yang terdiri dari
kumpulan otot sfingter eksterna yang bekerja secara volunter.
Kandung

kemih

manusia

mempunyai

dua

fungsi

utama

yaitu

penampungan dan pengosongan urin. Secara fisiologis, pada proses berkemih


terdapat empat syarat yang harus terpenuhi agar berlangsung normal, yakni:
1.

kapasitas kandung kemih yang adekuat,

2.

pengosongan kandung kemih yang sempurna,

3.

berlangsung dalam kontrol yang baik, dan

4.

setiap pengisian dan pengosongan kandung kemih tidak berakibat buruk


terhadap saluran kemih bagian atas dan ginjal.
Kandung kemih pada bayi berbeda dengan kandung kemih pada anak

dalam hal fungsi dan strukturnya. Semasa dalam kandungan, kandung kemih
berukuran kecil dengan elastisitas yang rendah. Kandung kemin semakin
berkembang dalam hal kapasitas dan elastisitas seiring dengan bertambahnya
usia. Fungsi koordinasi berkemih yang baik baru muncul setelah usia beberapa
bulan. Pada periode ini proses berkemih terjadi secara otonom dan mulai
terjadi koordinasi antara pengisian dan pengosongan kandung kemih. Proses
berkemih yang terarah atau terlatih baru dapat dilakukan pada usia 25 tahun
tergantung kematangan traktus spinalis dan stimulus yang diberikan.
Saluran kemih bawah mendapatkan persarafan somatik dan otonom
(simpatis dan parasimpatis). Persarafan simpatis berasal dari medula spinalis
daerah torako-lumbal yaitu Th-10 sampai dengan L-1 yang bersatu pada
3

pleksus hipogastrik dan diteruskan melalui serat saraf post-ganglionik untuk


mempersarafi detrusor, leher kandung kemih, dan uretra posterior. Sistem
persarafan parasimpatis berasal dari korda spinalis setinggi S-2, S-3 dan S-4
yang mempersarafi daerah fundus sedangkan persarafan somatik setinggi korda
spinalis yang sama melalui nervus pudendus mempersarafi otot sfingter
eksternal.

Gambar 2 Persarafan Kandung Kemih


2.1.1 Struktur otot detrusor dan sfingter
Sebagian besar otot polos bladder apabila berkontraksi akan
menyebabkan pengosongan pada bladder. Pengaturan serabut detrusor
pada daerah leher bladder berbeda antara pria dan wanita dimana pria
mempunyai

distribusi yang sirkuler dan serabut-serabut tersebut

membentuk suatu sfingter leher bladder yang efektif untuk mencegah


terjadinya ejakulasi retrograd sfingter interna yang ekivalen. Pada pria,
sfingter uretra tepat di distal dari prostat sementara pada wanita
mengelilingi hampir seluruh uretra. Sfingter uretra secara anatomis
berbeda dari otot-otot yang membentuk dasar pelvis. Pada pemeriksaan
4

elektromiografi otot ini menunjukkan suatu discharge tonik konstan yang


akan menurun bila terjadi relaksasi sfingter pada awal proses miksi.1,2,3
2.1.2

Persyarafan dari vesica urinaria dan sfingter

a. Persyarafan parasimpatis
Fungsi motorik dari otot detrusor utama diatur oleh serabut
preganglion parasimpatis dengan badan sel terletak pada kolumna
intermediolateral medula spinalis antara S2 dan S4. Serabut preganglioner
keluar dari medula spinalis bersama radiks spinal anterior dan mengirim
akson melalui N.pelvikus ke pleksus parasimpatis di pelvis. Serabut
postganglioner pendek berjalan dari pleksus untuk menginervasi organorgan pelvis. Tidak terdapat perbedaan khusus postjunctional antara
serabut postganglioner dan otot polos musculus detrusor. Sebaliknya,
serabut postganglioner mempunyai jaringan difus sepanjang serabutnya
yang mengandung vesikel dimana asetilkolin dilepaskan.1,2
b. Persyarafan simpatis
Bladder

menerima

inervasi

simpatis

dari

rantai

simpatis

thorakolumbal melalui n.hipogastrik. Leher bladder menerima persarafan


yang banyak dari sistem saraf simpatis. Simpatektomi lumbal saja tidak
berpengaruh pada miksi meskipun pada umumnya akan menimbulkan
ejakulasi retrograd. Leher bladder pria banyak mengandung transmitter
noradrenergik dan aktivitas simpatis selama ejakulasi menyebabkan
penutupan dari leher bladder untuk mencegah ejakulasi retrograde.2,3
c. Persyarafan somantik
Otot lurik dari sfingter uretra merupakan satu-satunya bagian dari
traktus urinarius yang mendapat persarafan somatik. Onufrowicz
menggambarkan suatu nukleus pada kornu ventralis medula spinalis pada
S2, S3, dan S4. Nukleus ini yang umumnya dikenal sebagai nukleus Onuf,
mengandung badan sel dari motor neuron yang menginnervasi baik
5

sfingter anal dan uretra. Nukleus ini mempunyai diameter yang lebih kecil
daripada sel kornu anterior lain. Serabut motorik dari sel-sel ini berjalan
dari radiks S2, S3 dan S4 ke dalam n.pudendus dimana ketika melewati
pelvis memberi percabangan ke sfingter anal dan cabang perineal ke otot
lurik sfingter uretra.1,2,3
d. Persyarafan sensorik traktus urinarius bagian bawah
Sebagian besar saraf aferen adalah tidak bermyelin dan berakhir
pada pleksus suburotelial dimana tidak terdapat ujung sensorik khusus.
Karena banyak dari serabut ini mengandung substansi P, ATP atau
calcitonin gene-related peptide dan pelepasannya dapat mengubah
eksitabilitas otot, serabut pleksus ini dapat digolongkan sebagai saraf
sensorik motorik daripada sensorik murni.
Ketiga pasang saraf perifer (simpatis torakolumbal, parasimpatis
sacral dan pudendus) mengandung serabut saraf aferen. Serabut aferen
yang berjalan dalam n.pelvikus dan membawa sensasi dari distensi
bladder tampaknya merupakan hal yang terpenting pada fungsi bladder
yang normal. Akson aferen terdiri dari 2 tipe, serabut C yang tidak
bermyelin dan serabut A bermyelin kecil.
Peran

aferen

hipogastrik

tidak

jelas

tetapi

serabut

ini

menyampaikan beberapa sensasi dari distensi bladder dan nyeri. Aferen


somatik pudendal menyalurkan sensasi dari aliran urine, nyeri dan suhu
dari uretra dan memproyeksikan ke daerah yang serupa dalam medula
spinalis sakral sebagai aferen bladder. Hal ini menggambarkan
kemungkinan dari daerah-daerah penting pada medulla spinalis sakral
untuk intergrasi viserosomatik.
Nathan dan Smith (1951) pada penelitian pasien yang telah
mengalami kordotomi anterolateral, menyimpulkan bahwa jaras ascending
dari bladder dan uretra berjalan di dalam traktus sphinothalamikus.
Serabut spinobulber pada kolumna dorsalis juga berperan pada transmisi
dari informasi aferen. 1,2,3
6

2.1.3 Hubungan dengan susunan saraf pusat


a.

Pusat Miksi Pons


Pons merupakan pusat yang mengatur miksi melalui refleks spinalbulbospinal atau long loop refleks. Demyelinisasi Groat (1990)
menyatakan bahwa pusat miksi pons merupakan titik pengaturan (switch
point) dimana refleks transpinal-bulber diatur sedemikian rupa baik untuk
pengaturan pengisian atau pengosongan bladder. Pusat miksi pons
berperan sebagai pusat pengaturan yang mengatur refleks spinal dan
menerima input dari daerah lain di otak.1,2

b. Daerah kortikal yang mempengaruhi pusat miksi pons


Beberapa penelitian menunjukkan bahwa lesi pada bagian
anteromedial dari lobus frontal dapat menimbulkan gangguan miksi berupa
urgensi, inkontinens, hilangnya sensibilitas bladder atau retensi urine.
Pemeriksaan urodinamis menunjukkan adanya bladder yang hiperrefleksi.
1,2

2.1.4 Fisiologi pengaturan fungsi sfingter vesica urinaria


a. Pengisian urine
Pada pengisian vesica urinaria, distensi yang timbul ditandai
dengan adanya aktivitas sensor regang pada dinding vesica urinaria. Pada
vesica urinaria normal, tekanan intravesikal tidak meningkat selama
pengisian sebab terdapat inhibisi dari aktivitas detrusor dan active
compliance dari vesica urinaria. Inhibisi dari aktivitas motorik detrusor
memerlukan jaras yang utuh antara pusat miksi pons dengan medulla
spinalis bagian sakral. Mekanisme active compliance vesica urinaria
kurang diketahui namun proses ini juga memerlukan inervasi yang utuh
Selain akomodasi vesica urinaria, kontinens selama pengisian memerlukan
fasilitasi aktifitas otot lurik dari sfingter uretra, sehingga tekanan uretra
lebih tinggi dibandingkan tekanan intravesikal dan urine tidak mengalir
keluar.5,6

b. Pengaliran urine
Pada orang dewasa yang normal, rangsangan untuk miksi timbul
dari distensi vesica urinaria yang sinyalnya diperoleh dari aferen yang
bersifat sensitif terhadap regangan. Mekanisme normal dari miksi
volunteer tidak diketahui dengan jelas tetapi diperoleh dari relaksasi oto
lurik dari sfingter uretra dan lantai pelvis yang diikuti dengan kontraksi
vesica urinaria. Inhibisi tonus simpatis pada leher vesica urinaria juga
ditemukan sehingga tekanan intravesikal diatas/melebihi tekanan intra
uretral dan urine akan keluar. Pengosongan kandung kemih yang lengkap
tergantung adri refleks yang menghambat aktifitas sfingter dan
mempertahankan kontraksi detrusor selama miksi.5,6
2.2 Definisi Neurogenic bladder
Neurogenic bladder adalah suatu disfungsi kandung kemih akibat
kerusakan sistem saraf pusat atau saraf tepi yang terlibat dalam pengendalian
berkemih. Keadaan ini bisa berupa kandung kemih tidak mampu berkontraksi
dengan baik untuk miksi (underactive bladder) maupun kandung kemih
terlalu aktif dan melakukan pengosongan kandung kemih berdasar refleks
yang tak terkendali (overactive bladder) (Rackley, 2009; Waxman, 2010).
2.3 Etiologi
Beberapa kondisi yang menjadi penyebab neurogenic bladder
adalah sebagai berikut:6
1. Kelainan pada sistem saraf pusat:
a.

Alzheimers disease

b.

Meningomielocele

c.

Tumor otak atau medulla spinalis

d.

Multiple sclerosis

e.

Parkinson disease

f.

Cedera medulla spinalis

g.

Sequele stroke
8

2. Kelainan pada sistem saraf tepi :


a. Neuropati alkoholik
b. Diabetes neuropati
c. Kerusakan saraf akibat operasi pelvis
d. Kerusakan saraf dari herniasi diskus
e. Defisiensi vitamin B12
2.4 Klasifikasi
Ada 2 tipe neurogenic bladder8
1.

Spastic

Disebabkan oleh lesi diatas pusat miksi di sacral.

Hilangnya sensasi untuk mengosongkan kandung kemih dan kehilangan

kontrol motorik,

Bladder bisa atropi, sehingga kapasitas bladder berkurang.

Munculan Klinis :

Sering berkemih secara involunter

Kapasitas kecil < 300 cc

Sejumlah kecil

Disertai oleh spasme ekstremitas bawah

Sensasi bladder hilang

Pengosongan kemih bisa dicetuskan oleh rangsangan kulit pada


perineum atau genitalia.

2.

Flaccid

Lesi lower motor neuron

Bladder terus diisi dan membesar (ektensi)

Urine terkumpul dan bisa terjadi pengosongan tapi tidak komplit


(overflow) sehingga menyebabkan banyaknya residu urine lalu memicu
potensi untuk terjadinya infeksi.

2.5 Patofisiologi
Neurologic

bladder

melibatkan

beberapa

bagian

sistem

saraf

diantaranya otak, pons, medula spinalis dan saraf perifer. Sebuah kondisi
disfungsi menghasilkan gejala yang berbeda, berkisar antara retensi urin akut
hingga overaktivitas kandung kemih atau kombinasi keduanya.2
Ketidak lancaran urinaria berasal dari disfungsi kandung kemih,
spinkter atau keduanya. Overaktivitas kandung kemih (spastic bladder)
berhubungan dengan gejala ketidak lancaran yang mendesak, sedangkan
spincter underaktivitas (decreased resistance) menghasilkan gejala stress
incontinence.3
1. Lesi otak
Lesi otak diatas pons merusak pusat kontrol, menyebabkan
hilangnya kontrol ekskresi secara keseluruhan. Refleks ekskresi traktus
urinarius bagian bawah-refleks ekskresi primitif-tetap utuh. Beberapa
individu mengeluhkan ketidakmampuan mengendalikan eksresi yang
parah, atau spastic kandung kemih. Pengosongan kandung kemih yang
terlalu cepat atau terlalu sering, dengan kuantitas yang rendah, dan
pengisian urin di kandung kemih menjadi sulit. Biasanya, orang dengan
masalah ini berlari cepat ke kamar mandi namun urin keluar sebelum
mereka mencapai tujuan. Mereka mungkin sering terbangun di malam
hari untuk berkemih.Contoh lesi otaknya strok, tumor otak, parkinson.
Hidrosepalus, cerebral palsy, dan Shy-Drager syndrome juga dapat
menyebabkan hal tersebut.
2. Lesi medula spinalis
Penyakit atau cedera medula spinalis diantara pons dan sakral
menghasilkan spastic bladder atau overactive bladder. Orang dengan
paraplegic atau quadriplegic memiliki lower extremity spasticity.
Awalnya, setelah trauma medula spinalis, individu masuk kedalam fase
shock spinal dimana sistem saraf berhenti. Setelah 6-12 minggu, sistem
saraf aktif kembali. Ketika sistem saraf aktif kembali, menyebabkan
hiperstimulasi organ yang terlibat.
10

3. Cedera sacral
Cedera pada medula sakrum dan akar saraf yang keluar dari
sakrum mungkin mencegah terjadinya pengosongan kandung kemih. Jika
terjadi sensory neurogenik bladder, pasien tidak akan tahu kapan
kandung kemihnya penuh. Pada kasus motor neuriogenik bladder,
inidividu mngkin merasakan kandung kemih penuh, namun otot detrusor
tidak bereaksi, hal ini disebut detrusor arefleksia.
4. Cidera saraf perifer
Diabetes mellitus dan AIDS adalah dua kondisi penyebab periferal
neuropaty yang menyebabkan rentensio urin. Penyakit ini merusak saraf
kandung kemih, distensi tidak nyeri dari kandung kemih. Pasien dengan
diabetes kronis kehilangan sensasi dari kandung kemih, sebelum kandung
kemih melakukan dekompensata. Serupa dengan cedera pada sakrum,
pasien akan sulit untuk berkemih, mereka mungkin mempunyai
hypocontractile bladder.
2.6

Gejala
Gejala-gejala Neurogenik bladder meliputi urgensi, frekuensi, retensi dan

inkontinens. Hiperrefleksi detrusor merupakan keadaan yang mendasari


timbulnya frekuensi, urgensi dan inkontinens sehingga kurang dapat menilai
lokasi kerusakan (localising value) karena hiperrefleksia detrusor dapat timbul
baik akibat kerusakan jaras dari suprapons maupun suprasakral.8
Retensi urine bisa disebabkan oleh berbagai keadaan patologis. Pada
penderita dengan lesi neurologis antara pons dan medulla spinalis bagian
sakral, Disinergia Detrusor-Sfingter (DDS) dapat menimbulkan berbagai
derajat retensi meskipun pada umumnya hiperrefleksia detrusor yang lebih
sering timbul. Retensi dapat juga timbul akibat gangguan kontraksi detrusor
seperti pada lesi LMN. Retensi juga dapat timbul akibat kegagalan untuk
memulai refleks niksi seperti pada lesi susunan saraf pusat. Meskipun hanya
sedikit kasus dari lesi frontal dapat menimbulkan retensi, lesi pada pons juga
dapat menimbulkan gejala serupa.7,8

11

Inkontenensia urine disebabkan oleh hiperrefleksia detrusor pada lesi


suprapons dan suprasakral.

Hal ini sering dihubungkan dengan frekuensi

miksi dan jika jaras sensorik masih utuh, akan timbul sensasi urgensi. Lesi
LMN dihubungkan dengan kelemahan sfingter yang dapat bermanifestasi
sebagai stress inkontinens dan ketidakmampuan dari kontraksi detrusor yang
mengakibatkan retensi kronik dengan overflow.7,8,10
2.7 Evaluasi dan Penatalaksanaan
2.7.1

Evaluasi
Pemeriksaan meliputi penilaian saluran kencing bagian atas, penilaian
pengosongan vesica urinaria dan deteksi hiperrefleksia detrusor.3,8,10
a. Penilaian saluran kencing bagian atas
Meskipun jarang didapatkan masalah pada saluran kencing bagian atas,
gangguan ginjal merupakan hal yang potensial mengancam penderita.
Penilaian ditujukan untuk menilai fungsi ginjal dandeteksi hidronefrosis.
Pemeriksaan radiologis harus meliputi urografi intravena dan voiding
cystourethrogram untuk menilai saluran bagian atas dan menyingkirkan
kemungkinan adanya refluks vesikoureteral.
b. Penilaian pengosongan vesica urinaria
Penilaian sisa urine dapat dilakukan dengan katerisasi pada saat
pertama pemeriksaan meupun dengan menggunakan USG. Residu urine
lebih dari 100 ml dikatakan bermakna.
c. Deteksi hiperrefleksia detrusor
Pemeriksaan CMG dan EMG dari sfingter uretral eksterna akan
membantu menentukan disfungsi neurogenik dan adanya suatu DDS yang
signifikan. Kontraksi abnormal dari otot detrusor dapat dideteksi dengan
baik denganmenggunakan filling cystometrogram (CMG). Pada orang
normal, kandung kencing dapat mengakomodasi pengisian vesica urinaria
bahkan pada kecepatan pengisian yang tinggi sedangkan pada penderita
dengan hiperrefleksia vesica urinaria, terjadi peningkatan tekanan yang
spontan pada pengisian.
12

d. Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis harus meliputi pemeriksaan sensibilitas
perianal untuk mengetahui ada tidaknya sacral sparing. Adanya tonus anal,
reflex anal dan refleks bulbokavernosus hanya menandakan utuhnya konus
danlengkung refleks lokal. Didapatkannya kontraksi volunter sfingter anal
menunjukkan uthunya kontrol volunter dan pada kasus kuadriplegia, ini
menandakan lesi medula spinalis yang inkomplit. Pada lesi medulla
spinalis, dalam hari pertama sampai 3 atau 4 minggu berikutnya seluruh
refleks dalam pada tingkat di bawah lesi akan hilang. Hal ini biasanya
dihubungkan dengan fase syok spinal. Dalam periode ini, vesica urinaria
bersifat arefleksi danmemerlukan drainase periodik atau kontinu yang
cermat dan tes provokatif dengan menggunakan 4 oz air dingin steril suhu
4oC tidak akan menimbulkan aktifitas refleks vesica urinaria. Tes air es
dikatakan positif bila pengisian dengan air dingin segera diikuti dengan
pengeluaran air kateter dari vesica urinaria. Drainase vesica urinaria yang
adekuat selama fase syok spinal akan dapat mencegah timbulnya distensi
yang berlebih dan atoni dari vesica urinaria yang arefleksi.
2.7.2

Penatalaksanaan
Dasar dari penatalaksanaan dari disfungsi bladder adalah untuk
mempertahankan fungsi ginjal dan mengurangi gejala. Manajemen kondisi
kandung kemih neurogenik membutuhkan pendidikan pasien dan mungkin
termasuk intervensi seperti berkemih waktunya, ekspresi manual, obat ,
intermiten kateterisasi, kateter urin berdiamnya, dan kandung kemih
dan/atau uretra prosedur bedah.

a. Penatalaksanaan gangguan pengosongan bladder dapat dilakukan dengan


cara :

Stimulasi kontraksi detrusor, suprapubic tapping atau stimulasi


perianal

Kompresi eksternal dan penekanan abdomen, credes manoeuvre

Clean intermittent self-catheterisation


13

Indwelling urethral catheter

b. Penatalaksanaan hiperrefleksia detrusor

c.

Bladder training (bladder drill)

Pengobatan oral, Propantheline, imipramine, oxybutinin

Penatalaksanaan operatif

Tindakan operatif berguna pada penderita usia muda dengan kelainan


neurologis kongenital atau cedera medula spinalis.

2.7.3 Bladder training


Bladder training adalah salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi
vesica urinaria yang mengalami gangguan ke keadaan normal atau ke fungsi
optimal neurogenik (UMN atau LMN), dapat dilakukan dengan pemeriksaan
refleks-refleks:7
1. Refleks otomatik
Refleks melalui saraf parasimpatis S2-3 dan simpatis T12-L1,2, yang
bergabung menjadi n.pelvikus. Tes untuk mengetahui refleks ini adalah tes air
es (ice water test). Test positif menunjukkan tipe UMN sedangkan bila negatif
(arefleksia) berarti tipe LMN.
2. Refleks somatic
Refleks melalui n.pudendalis S2-4. Tesnya berupa tes sfingter ani
eksternus dan tes refleks bulbokarvernosus. Jika tes-tes tersebut positif berarti
tipe UMN, sedangkan bila negatif berarti LMN atau tipe UMN fase syok spinal
Langkah-langkah Bladder Training :
a. Tentukan dahulu tipe vesica urinaria neurogeniknya apakah UMN atau
LMN
b. Rangsangan setiap waktu miksi
c. Kateterisasi :

Pemasangan indwelling cathether (IDC) = dauer cathether

14

IDC dapat dipasang dengan sistem kontinu ataupun penutupan berkala


(clamping). Dengan pemakaian kateter menetap ini, banyak terjadi
infeksi atau sepsis. Karena itu kateterisasi untuk bladder training
adalah kateterisasi berkala. Bila dipilh IDC, maka yang dipilih adalah
penutupan berkala oleh karena IDC yang kontinu tidal fisiologis
dimana vesica urinaria yang selalu kosong akan mengakibatkan
kehilangan potensi sensasi miksi serta terjadinya atrofi serta
penurunan tonus otot kaki.

Kateterisasi berkala
Keuntungan kateterisasi berkala antara lain :
o

Mencegah

terjadinya

tekanan

intravesikal

yang

tinggi/overdistensi yang mengakibatkan aliran darah ke mukosa


vesica urinaria dipertahankan seoptimal mungkin.
o

Vesica urinaria dapat terisi dan dikosongkan secara berkala


seakan-akan berfungsi normal.

Bila dilakukan secara dini pada penderita cedera medula spinalis,


maka penderita dapat melewati masa syok spinal secara fisiologis
sehingga fedback ke medula spinalis tetap terpelihara.

Teknik yang mudah dan penderita tidak terganggu kegiatan


sehariharinya

d. Penatalaksanaan gangguan fungsi miksi pada lesi medulla

Lesi kauda Ekuina


Penatalaksanaan pada pasien dengan lesi kauda ekuina memerlukan
perhatian khusus. Pada umumnya ditemukan vesica urinaria yang
arefleksi (nonkontraktil) dan miksi dilakukan dengan bantuan
manipulasi Crede atau Valsava. Lesi umumnya inkomplit atau tipe
campuran

dan

berpotensi

untuk

mengalami

penyembuhan.

Pemeriksaan urodinamik mungkin menunjukkan sfingter uretral


eksternal yang utuh danps demikian dengan lesi suprakonus mungkin
mengalami kesulitan dalam miksi kecuali bila terdapat tekanan

15

intravesikal

yang

penuh

yang

dapat

mengakibatkan

refluksi

vesikoureteral. Pada pasien ini didapatkan kerusakan pada persarafan


parasimpatis dengan persarafan simpatis yang utuh atau mengalami
reinervasi dimana leher vesica urinaria mungkin tidak dapat membuka
dengan baik pada waktu miksi.

Sindroma Medula Spinalis Sentral


Neurogenic bladder akibat lesi inkomplit seperti lesi medula spinalis
sentral dapat diperbaiki pada lebih dari 50% pasien. Disamping
disfungsi neurologis yang berat dalam minggu-minggu pertama,
pemulihan fungsi vesica urinaria dapat terjadi terutama karena serabut
vesica urinaria terletak perifer pada medula spinalis. Penatalaksanaan
biasanya

dgnkateterisasi

intermiten

danobat-obatan.

Keadaan

inkontinens dapat ditimbulkan dengan reseksi sfingter transuretral


dini. DDS yang menetap, spastisitas yang berat dan hidronefrosis
merupakan indikasi untuk tindakan sfingtertomi transuretral setalh
mencoba penggunaan penghambat alfa, antikolinergik dan pelemas
otot skelet seperti baclofen. Penatalaksanaan neurogenic bladder pada
pasien wanita dengan lesi medula spinalis (UMN) adalah sulit, namun
penatalaksanaan lesi konus dankauda (LMN) adalah mudah dengan
menggunakan maneuver Crede/Valsava. Kateterisasi intermiten
dimulai setiap 4 sampai 6 jam dan dengan restriksi cairan sampai 1,5
liter perhari pada umunya memerlukan kateterisasi 3 kali perhari .
Pada lesi suprakonus dengan vesica urinaria hiperrefleks, untuk
mengurangi

inkontinens

antara

kateterisasi,

dapat

diberikan

antikolinergik seperti oxybutinin 1-2 kali 5 mg perhari. Iritabilitas


vesica urinaria meningkat dengan adanya infeksi sehingga pengobatan
infeksi adalah penting. Profilaksis jangka panjang untuk infeksi
saluran kencing sangat direkomendasikan. Pasien dilatih untuk
mengosongkan vesica urinaria dengan menggunakan suprapubic
tapping dan manuver Valsava secara periodik. Kegagalan dalam
kateterisasi berkala biasanya memerlukan tindakan indwelling
16

cathether jangka panjang. Tindakan bedah saraf seperti blok radis


sakral

dapat

diindikasikan

untuk

mengubah

keadaan

reflex

(contractile) bladder menjadi keadaan areflexic bladder yang


penatalaksanaannya lebih mudah dengan tindakan Crede/Valsava.
Implant radix sakral untuk merangsang miksi baru dicoba pada pasien
paraplegi dengan contactile bladder.

17

BAB III
KESIMPULAN
Neurogenic bladder adalah suatu disfungsi kandung kemih akibat
kerusakan sistem saraf pusat atau saraf tepi yang terlibat dalam pengendalian
berkemih. Keadaan ini bisa berupa kandung kemih tidak mampu berkontraksi
dengan baik untuk miksi (underactive bladder) maupun kandung kemih terlalu
aktif dan melakukan pengosongan kandung kemih berdasar refleks yang tak
terkendali (overactive bladder).
Gejala-gejala disfungsi Neurogenik bladder terdiri dari urgensi, frekuensi,
retensi dan inkontinens. Hiperrefleksi detrusor merupakan keadaan yang
mendasari timbulnya frekuensi, urgensi dan inkontinens sehingga kurang dapat
menilai lokasi kerusakan (localising value) karena hiperrefleksia detrusor dapat
timbul baik akibat kerusakan jaras dari suprapons maupun suprasakral. Retensi
urine dapat timbul sebagai akibat berbagai keadaan patologis. Retensi dapat juga
timbul akibat gangguan kontraksi detrusor seperti pada lesi LMN. Retensi juga
dapat timbul akibat kegagalan untuk memulai refleks niksi seperti pada lesi
susunan saraf pusat.
Bladder Training atau latihan bladder adalah salah satu upaya
mengembalikan fungsi bladder yang mengalami gangguan, ke keadaan normal
atau ke fungsi optimalnya sesuai dengan kondisi.

DAFTAR PUSTAKA

1.

Faiz and Moffat. At a Glance ANATOMI. Jakarta: Erlangga, 2004.


18

2.

Snell, RS. Neuroanatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6.


Jakarta : EGC, 2006.

3.

Waxman, Stephan G. A Lange Medical Book Clinical Neuroanatomi


Twenty-Sixth Edition. New York: McGraw-Hill, 2010.

4.

Benevento B.T. and Marca L. Sipski..Neurogenic Bladder, Neurogenic


Bowel, and Sexual Dysfunction in People With Spinal Cord Injury. Phys
Ther. 2002; 82 (6): 601-612.

5.

Guyton and Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC,
2007.

6.

Sheerwood, L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 2. Jakarta: EGC,


2001.

7.

Rackley

R.

Neurogenic

Bladder.

Medscape

reference.

In

http://emedicine.medscape.com/article/453539-overview#a7 (Diakses 15
Agustus 2014).
8.

Ropper, Allan H and Brown Robert H. Adams and Victors Principles of


Neurology Eighth Edition. New York: McGraw-Hill, 2005.

9.

Fowler CJ. Neurogenic bladder dysfunction and its management, In


Greenwood R et al. Neurological rehabilitation. New York: Churchil
Livingstone, 1993.

10. Greenfield, et al. Essentials of Surgery: Scientific Principles and Practice


2nd Edition. New York: McGraw-Hill, 1997.

19

11. Luthfie S.H. Penatalaksanaan Rehabilitasi Neurogenic Bladder. CDK


2008; 65(6): 337-41.

20

Anda mungkin juga menyukai