memaksakan
kehendaknya
sesuai
dengan
keinginan
Kondisi tersebut di atas dilengkapi pula dengan sistem pemerintahan yang kurang memperhatikan
pembangunan kemanusiaan para era terdahulu, kebijakan Negara Indonesia didominasi oleh kepentingan
ekonomi dan stabilitas nasional. Sektor pendidikan politik dan pembinaan bangsa kurang mendapat
perhatian. Pada saat itu, masyarakat takut berbeda pandangan, sebab kemerdekaan mengeluarkan
pendapat tidak mendapat tempat; kebebasan berpikir ikut terpasung pembinaan kehidupan dalam
keragaman nyaris berada pada titik nadir. Tiba-tiba sejak dengan adanya Otonomi Daerah semangat
kedaerahan menjadi mengemuka daripada semangat untuk bersatu. Ikatan berdampingan antaretnis
dan agama dikesampingkan, hanya untuk melepas akumulasi kecemburuan sosial. Perbedaan suku,
agama, RAS, dan antargolongan (SARA) sebagai kondisi nyata yang diwarisi turun temurun, yang
merupakan unsur-unsur kekayaan yang mewarnai khasanah budaya bangsa, menjadi momok yang
menakutkan, sekaligus ancaman potensial bagi eksistensi bangsa dan menipisnya rasa nasionalisme.
Secara historis dapat diketahui bahwa rasa nasionalisme dapat membangkitkan bangsa Indonesia
terbebas dari cengekraman penjajah. Untuk konteks masa kini, nasionalisme inilah yang dapat
membangkitkan bangsa Indonesia yang masih sangat besar dependensi (ketergantungan)-nya pada
bangsa-bangsa lain, agar menjadi bangsa yang benar-benar memiliki independensi (kemandirian) dan
selanjutnya mencapai interdependensi, memiliki keunggulan dalam berbagai bidang untuk dapat bekerja
secara sinergis baik dengan suku-suku bangsa (etnis) yang ada di Indonesia maupun dengan bangsa lain.
Sayangnya nasionalisme tersebut mulai menipis.
Menurut Thomas Lickona (1992), ada sepuluh tanda dari perilaku manusia yang menunjukkan arah
kehancuran suatu bangsa, yaitu:
1.
2.
3.
Semakin tingginya rasa tidak hormat kepada orangtua, guru dan pemimpin.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Sepuluh hal inilah yang menunjukkan tanda kehancuran suatu bangsa. Apa yang dikatakan oleh Lickona di
atas hampir semua dapat dilihat telah terjadi di Indonesia. Seperti perkelahian pelajar dan mahasiswa
(tawuran); cukup banyak orangtua, guru dan para pemimpin yang melakukan tindakan tidak terpuji dan
menghilangkan rasa hormat anak pada mereka, atau anak yang tega membunuh orangtua karena
kemauannya tidak dituruti. Maraknya kelompok anak-anak muda yang melakukan kriminal, contoh geng
motor, memperkosa bersama-sama, dan sebagainya. Meningkatnya rasa bermusuhan antaretnis,
antaragama. Cara berkomunikasi yang menebarkan rasa bermusuhan, konflik dan saling memojokkan,
sangat sering kita dengar di lingkungan atau melalui media. Ajaran para tetua dulu terutama pada budaya
Jawa untuk menggunakan bahasa kromo yang santun sudah lama ditinggalkan. Perolaku merusak diri
dengan narkoba, minuman keras dan perilaku seks bebas terus saja bertambah jumlahnya. Etos kerja
yang rendah dan bermimpi punya uang banyak, membuat penipuan, pencurian, dan korupsi merajalela.
Pemberitaan yang riuh dan simpang siur oleh media-media yang komersial membuat warga semakin
kehilangan pedoman moral. Ada kesan sulitnya menjadi orang baik dewasa ini.
Problem dan permasalahan yang kompleks itu memerlukan jalan keluar dan tindakan yang nyata. Karakter
bangsa yang terpuji, kecerdasan warga yang prima, nasionalisme Indonesia yang kuat, kemampuan hidup
dalam masyarakat dan budaya yang multikultural, sangat perlu menjadi fokus pengembangan pribadi
setiap warga bangsa. Hal tersebut dapat dicapai melalui proses pendidikan, pembudayaan dan pelatihan
baik secara formal melalui lembaga sekolah maupun secara informal melalui lembaga kemasyarakatan,
kelompok-kelompok kerja, organisasi-organisasi masyarakat dan dimulai sejak usia dini sampai dewasa ini
bahkan sampai tua, antara lain melalui pendidikan multikulutral.
B. Memahami Pendidikan Multikulural dan Hakekatnya
Dalam konteks kehidupan bangsa dan budaya yang multikultural, pemahaman multikultural harus
dihadirkan untuk memperluas wacana pemikiran manusia yang selama ini masih mempertahankan
egoisme kebudayaan dan keagamaan. Sejarah pahit telah membuktikan ketika sebagian dari warga
bangsa berpandangan primordial, baik dalam paham agama, kewilayahan maupun ideologi telah
mengakibatkan bangsa tercabik-cabik oleh perbedaan tersebut, seperti perang antaretnis, agama, dan
lain-lain.
Pada dasarnya ruh dan napas pendidikan multikulutral adalah demokrasi, humanisme, dan pluralisme
yang anti terhadap adanya kontrol, tekanan yang membatasi dan menghilangkan kebebasan manusia.
Yang selanjutnya, pendidikan multikulutral inilah yang menjadi motor penggerak dalam menegakkan
demokrasi, humanisme, dan pluralisme yang dilakukan melalui sekolah, perguruan tinggi, dan institusiinstitusi lainnya seperti halnya terjadi di Amerika Serikat dan diikuti banyak negara lainnya.
Haviland mengatakan bahwa multikultural dapat diartikan pula sebagai pluralitas kebudayaan dan agama.
Dengan demikian, memelihara pluralitas akan tercapai kehidupan yang ramah penuh kedamaian. Pluralitas
kebudayaan adalah interaksi sosial dan politik antara orang-orang yang berbeda cara hidup dan
berpikirnya dalam suatu masyarakat. Secara ideal, pluralisme kebudayaan multikulturalisme berarti
penolakan terhadap kefanatikan, purbasangka, rasialisme, tribalisme, dan menerima secara inklusif
keanekaragaman yang ada (William A. Haviland, 1988).
Sikap saling menerima, menghargai nilai-nilai, keyakinan, budaya, cara pandang yang berbeda tidak
otomatis akan berkembang sendiri. Apalagi karena dalam diri seseorang ada kecenderungan untuk
berharap orang lain menjadi seperti dirinya (Ruslan Ibrahim, 2008). Sikap saling menerima dan
menghargai
akan
cepat
berkembang
bila
dilatihkan,
dididikkan,
dibudayakan
agar
menginternalisasi/terhayati dan ditindakkan pada generasi muda penerus bangsa. Dengan pendidikan dan
pembudayaan, sikap penghargaan terhadap perbedaan direncanakan dengan baik, generasi muda dilatih
dan disadarkan akan pentingnya penghargaan pada orang lain dan budaya lain bahkan dilatihkan dalam
kehidupan sehari-hari, sehingga setelah dewasa mereka sudah punya sikap dan perilaku tersebut. Fay
(1998) mengatakan dalam dunia multikultural harus mementingkan adanya bermacam perbedaan antara
yang satu dengan yang lain dan adanya interaksi sosial di antara mereka. Oleh sebab itu para
multikulturalis memfokuskan pada pemahaman dan hidup bersama dalam konteks sosial budaya yang
berbeda.
Banks (2001) berpendapat bahwa pendidikan multikultural merupakan suatu rangkaian kepercayaan (set
of beliefs) dan penjelasan yang mengkaji dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di dalam
membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan pendidikan dari individu,
kelompok maupun negara. Banks mendefinisikan pendidikan multikultural adalah ide, gerakan
pembaharuan pendidikan dan proses pendidikan, yang tujuan utamanya adalah merubah struktur lembaga
pendidikan supaya siswa baik pria dan wanita, siswa berkebutuhan khusus, dan siswa yang merupakan
anggota dari kelompok ras, etnis, dan budaya (kultur) yang bermacam-macam itu akan memiliki
kesempatan yang sama untuk mencapai prestasi (Banks, 1993).
Dasar psikologi pendidikan multikultural menekankan pada perkembangan pemahaman diri yang lebih
besar, konsep diri yang lebih positif dan kebanggaan pada identitas pribadi. Individu merasa baik tentang
dirinya karena terbuka dan reseptif (menerima) dalam berinteraksi dengan orang lain dan menghormati
budaya dan identitasnya. Adapun Howard (1993) berpendapat bahwa pendidikan multikultural memberi
kompetensi multikultural. Pada masa awal kehidupan seseorang (anak), waktu banyak dilalui di daerah
etnis dan kultur masing-masing. Kesalahan dalam mentransformasi nilai, aspirasi, etiket, dan budaya
tertentu, sering berdampak pada primordialisme kesukuan, agama dan golongan secara berlebihan. Faktor
tersebut menyebabkan timbulnya permusuhan antaretnis dan golongan, seperti fenomena sosial yang
terdapat di beberapa wilayah tanah air Indonesia.
Melalui pendidikan multikultural sejak dini diharapkan anak mampu menerima dan memahami perbedaan
budaya yang berdampak pada perbedaan usage (cara-cara), folkways (kebiasaan), mores (tata
kelakukan), customs (adat istiadat) seseorang. Dengan pendidikan multikultural seseorang sejak dini
mampu menerima perbedaan, kritik, dan memiliki rasa empati, toleransi pada sesama tanpa memandang
status, kelas sosial, golongan, gender, etnis, agama maupun kemampuan akademik (Farida Hanum,
2005). Hal senada juga ditekankan oleh Musa Asyarie (2004) bahwa pendidikan multikultural bermakna
sebagai proses cara hidup, menghormati, tulus, toleran terhadap keragaman budaya yang hidup di tengahtengah masyarakat plural, sehingga peserta didik kelak memiliki kekenyalan dan kelenturan mental bangsa
dalam menyikapi konflik sosial di masyarakat. Artinya pendidikan multikultural dapat mendidik warga
bangsa Indonesia memiliki karakter sesuai dengan karakter bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi
harkat martabat manusia.
C. Karakter Bangsa
1.
personality (kepribadian) seseorang. Seseorang bisa disebut orang yang berkarakter (a person of
character) apabila perilakunya sesuai dengan kaidah moral.
Karakter dikembangkan melalui tahap pengetahuan (knowing), acting, menuju kebiasaan (habit). Hal ini
berarti, karakter tidak sebatas pada pengetahuan. Menurut William Kilpatrick (dalam Tadkiroatun M., 2008),
seseorang yang memiliki pengetahuan tentang kebaikan belum tentu mampu bertindak sesuai dengan
pengetahuannya itu, kalau ia tidak terlatih untuk melakukan kebaikan tersebut. Karakter tidak sebatas
pengetahuan, karakter lebih dalam lagi, menjangkau wilayah emosi dan kebiasaan diri. Dengan demikian,
diperlukan tiga komponen karakter yang baik (components of good character), yaitu moral knowing atau
pengetahuan tentang moral; moral feeling atau perasaan tentang moral, dan moral action atau perbuatan
bermoral. Hal ini diperlukan agar individu mampu memahami, merasakan, dan mengerjakan
(menindakkan) nilai-nilai kebajikan.
2.
terhadap
negara,
perang
antaretnis
dan
agama,
korupsi
yang
membudaya, tindak kekerasan yang merajalela, dan sebagainya. Hal ini mencerminkan kurangnya
pembinaan bangsa (nation building), sehingga mengakibatkan rendahnya kadar pemahaman terhadap
wawasan kebangsaan dan jati diri bangsa Indonesia.
Ada tiga tiang utama jati diri bangsa Indonesia yang tidak boleh digerogoti dengan cara apapun (Hasjim
Djalal, 2007). Pertama, Indonesia sebagai satu kebangsaan. Hal ini dicapai sejak Sumpah Pemuda 1928
yang menegaskan bahwa Indonesia adalah satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa. Dengan
demikian, bangsa Indonesia bukanlah berdasar agama, suku, ras ataupun mementingkan kelompok-
kelompok tertentu, tetapi adalah semua warga yang mendiami seluruh tanah air Indonesia. Kedua,
Indonesia adalah satu negara yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945. Ini berarti bahwa manusiamanusia Indonesia yang menyatakan dirinya hidup dalam satu negara yaitu Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Itu adalah sudah final, oleh karenanya tidak mungkin ada negara di dalam NKRI
tersebut. Ketiga, Indonesia adalah satu kewilayahan, dalam arti orang-orang Indonesia yang telah menjadi
satu bangsa itu, berdiam di dalam satu kesatuan kewilayahan, yaitu satu kesatuan nusantara Indonesia
yang mencakup wilayah darat, laut, udara, dan kekayaan alamnya.
Pendiri bangsa (founding fathers) mendirikan NKRI dengan dasar Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Di
mana Pancasila dengan kelima silanya menuntun bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang bermoral,
dengan rasa kebangsaan yang tinggi, bangga terhadap tanah air dan menghindari konflik dengan
musyawarah dan mufakat, serta bersama-sama menuju masyarakat sejahtera dan makmur. Sementara
Bhinneka Tunggal Ika adalah prinsip yang menghargai perbedaan dan selalu bertoleransi dalam
menghadapi perbedaan. Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika merupakan karakter bangsa Indonesia, di
dalamnya mengandung nilai-nilai utama dari bangsa Indonesia, yaitu:
a.
b.
c.
d. Nilai
Kerakyatan
(Kerakyatan
yang
dipimpin
oleh
hikmah
kebijaksanaan
dalam
permusyawaratan/perwakilan)
e.
f.
Robinson (dalam Nasikun, 2005) menyampaikan bahwa ada tiga perspektif multikulturalisme di dalam
sistem pendidikan, yaitu:
a. Perspektif Cultural Assimilation
Merupakan suatu model transisi di dalam sistem pendidikan yang menunjukkan proses asimilasi individu
dari berbagai kebudayaan (masyarakat sub nasional/masyarakat suku bangsa) ke dalam suatu core
society (nilai bersama).
b. Perspektif Cultural Pluralism
Suatu sistem pendidikan yang menekankan pada pentingnya hak bagi semua kebudayaan dan masyarakat
sub nasional (suku bangsa) untuk memelihara dan mempertahankan identitas kultural masing-masing.
c. Perspektif Cultural Synthesis
Merupakan sintesis dari perspektif asimilasionis dan pluralis yang menekankan pentingnya proses
terjadinya ekletisme dan sintesis di dalam diri individu dan masyarakat, dan terjadinya perubahan di dalam
berbagai kebudayaan dan masyarakat sub nasional.
Menurut Nasikun (2005) bahwa di dalam masyarakat Indonesia yang sangat majemuk ini diperlukan
aplikasi pilihan perspektif pendidikan yang ketiga. Pendidikan perspektif cultural synthesis memberi peran
pada pendidikan multikultural sebagai instrumen bagi pengembangan ekletisisme dan sintesis beragam
kebudayaan sub nasional pada tingkat individual dan masyarakat serta bagi promosi terbentuknya suatu
melting pot dari beragam kebudayaan dan masyarakat sub nasional.
Perspektif cultural synthesis, memiliki rasional yang paling dasar di dalam hakekat tujuan suatu pendidikan
multikultural, yang dapat diidentifikasi melalui tiga tujuan, yaitu 1) tujuan atitudinal, 2) tujuan kognitif, dan 3)
tujuan instruksional.
Pada tingkat atitudinal, pendidikan multikultural memiliki fungsi untuk menyemai dan mengembangkan
sensitivitas kultural, toleransi kultural, pengembangan sikap budaya responsif dan keahlian untuk
melakukan penolakan dan resolusi konflik.
Pada tingkat kognitif, pendidikan multikultural memiliki tujuan bagi pencapaian kemampuan akademik,
pengembangan pengetahuan tentang kemajemukan kebudayaan, kompetensi untuk melakukan analisis
dan interpretasi perilaku kultural, dan kemampuan membangun kesadaran kritis tentang kebudayaan
sendiri.
Pada tingkat instruksional, pendidikan multikultural memiliki tujuan untuk mengembangkan kemampuan
melakukan koreksi atas distorsi-distorsi, stereotipe-stereotipe, peniadaan-peniadaan, dan mis informasi
tentang kelompok-kelompok etnis dan kultural yang dimuat di dalam buku dan media pembelajaran,
menyediakan strategi-strategi untuk melakukan hidup di dalam pergaulan multikultural, mengembangkan
keterampilan-keterampilan komunikasi interpersonal, menyediakan teknik-teknik untuk melakukan evaluasi
dan membentuk, menyediakan klarifikasi serta penjelasan-penjelasan tentang dinamika-dinamika
perkembangan kebudayaan (Ekstrand dalam Nasikun, 2005).
Penerapan perspektif cultural synthesis dengan tiga tujuan (atitudinal, kognitif, instruksional) di atas dapat
dilakukan pada para warga masyarakat secara bertahap melalui berbagai wahana untuk membicarakan
berbagai masalah budaya dan kondisi bangsa. Dialog-dialog budaya, temu budaya, pertukaran budaya,
dan even-even budaya lainnya, akan berdampak pada terjadinya akulturasi budaya, pemahaman budaya,
penghargaan budaya, kebanggaan budaya dan berikutnya dapat terinternalisasi pada perilaku warga
bangsa dan menjadi karakter bangsa. Nilai-nilai luhur yang terdapat pada butir-butir Pancasila dan
Bhinneka Tunggal Ika benar-benar dapat diresapi dan terinternalisasi menjadi landasan kepribadian warga
Indonesia, yang akhirnya membentuk karakter bangsa. Melalui pendidikan multikultural dibangun karakter
bangsa yang kokoh sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang telah tertuang dalam Pancasila
dan Bhinneka Tunggal Ika.
2.
Hal ini sangat memungkinkan untuk dilakukan mulai dari keluarga, dalam kehidupan warga sekitar, di
sekolah sampai dalam komunitas yang lebih luas. Para pendidik dapat menanamkan dan melatihkan pada
siswa untuk mampu melakukan soft skill yang berkaitan dengan substansi nilai-nilai multikultural, seperti
mampu menerima perbedaan, toleransi, menghormati pendapat orang lain, bekerja sama, mampu
menganalisis persamaan dan perbedaan yang ada pada orang lain, mampu berlaku adil, mampu melihat
ketimpangan sosial, dan mencari solusinya (problem solving). Selain itu membiasakan warga untuk saling
membantu tanpa memandang perbedaan agama, status sosial, gender, umur, wilayah tempat tinggal
(desa/kota). Dengan demikian sejak awal anggota masyarakat dilatih untuk mampu menyesuaikan diri dan
hidup dalam keragaman serta mampu berperilaku sesuai dengan karakter bangsa Indonesia yang
multikultural. Untuk dapat melaksanakannya diperlukan kebijakan dari penyelenggaran negara, organisasi
masyarakat, organisasi keagamaan, partai dan lembaga-lembaga masyarakat lainnya. Kebijakan itu
kemudian diwujudkan ke dalam program praktik terencana dan disesuaikan dengan kondisi maupun
potensi masyarakatnya.
d. Melatihkan Kemampuan untuk Memahami Ideologi (Agama) Lain
Warga bangsa Indonesia merupakan masyarakat religius yang berlandaskan pada ajaran agama yang
diakui di Indonesia (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha) dan aliran kepercayaan. Ini perwujudan dari sila
pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian, pada setiap warga negara perlu ditanamkan
kesadaran bahwa di Indonesia terdapat bermacam-macam ideologi dan agama. Setiap manusia
mempunyai agama ataupun ideologi yang tidak harus sama dengan ideologi kita. Oleh sebab itu yang
paling baik adalah memahami substansi ideologi dan agama tersebut sebagai sebuah ajaran yang
mencita-citakan kedamaian dan kebaikan. Bila hal ini dilaksanakan dengan sungguh-sungguh maka konflik
antaragama tidak akan terjadi.
e. Mengembangkan dan Melestarikan tradisi
Pengakuan terhadap bangsa Indonesia yang terdiri dari beratus suku bangsa, berarti mengakui keragaman
budaya dan tradisi yang hidup serta berkembang di Indonesia. Setiap warga bangsa harus mengetahui
dan memahami negara Indonesia kaya akan tradisi bangsa. Menghormati budaya sendiri dan
melestarikannya merupakan upaya menanamkan sikap kebangsaan yang kuat pada diri sendiri. Sehingga
tercipta suatu identitas/komunitas yang dapat melahirkan karakter sebuah bangsa. Pemahaman
keberagaman yang multikultural berarti menerima adanya keragaman ekspresi budaya yang mengandung
nilai-nilai kemanusiaan dan keindahan. Keragaman budaya dan tradisi yang ada dari sub nasional atau
etnis, merupakan kekayaan bangsa dan negara. Negara harus menjamin kebebasan pengembangan dan
pelestarian tradisi dan budaya daerah (lokal) atau etnis. Pengembangan dan pelestarian tradisi dan
budaya daerah (etnis) ini, bukan untuk menguatkan primordialisme kesukuan, tetapi untuk menguatkan
kekayaan khasanah budaya nasional yang pada dasarnya berasal dari budaya sub-nasional. Sebagai
warga negara dan bagian dari wilayah Indonesia, dimanapun berada setiap warga negara haruslah
memiliki rasa nasionalisme yang tinggi, memiliki rasa kesatuan dan persatuan bangsa, menjunjung tinggi
harkat dan martabat bangsa serta mematuhi semua aturan-aturan negara demi kelanjutan dan keteraturan
hidup berbangsa bernegara. Makna yang terkandung pada Sumpah Pemuda 1928 yang menegaskan
bahwa Indonesia adalah satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa, harus diinternalisasikan kepada
setiap warga negara Indonesia untuk menjadi janji luhur yang tetap dipegang sampai akhir hayat.
Mengembangkan dan melestarikan tradisi bukan berarti melunturkan rasa nasionalisme.
f. Mewajibkan Media Massa Mengambil Peran dalam Membangun Karakter Bangsa
Media massa, khususnya mempengaruhi pembentukan watak dan akhlak bangsa, diharapkan dapat
mengambil peran sosio-kultural, sosial-ekonomi, sosial-politik untuk tugas nation and character building
(membangun karakter bangsa), dan pengukuran kebhinneka-tunggalikaan. Dengan adanya dialog,
persuasif, dan menyamakan pandangan untuk kepentingan bangsa dan negara, antara para pemimpin
media massa dengan pemimpin-pemimpin negara dan masyarakat diperoleh kesepakatan, kebersamaan
kewajiban dan kepedulian untuk bersama-sama membangun karakter bangsa di bidangnya masingmasing. Melalui media massa dapat dikembangkan tentang pentingnya bangsa memiliki karakter, serta
dapat disosialisasikan strategi untuk membangunnya.
Selain langkah-langkah di atas masih banyak lagi cara yang dapat dilakukan untuk membangun karakter
bangsa. Walau cara, teknik, sarana berbeda-beda tetapi tujuan dan komitmen tetap sama yaitu
membangun karakter bangsa yang baik. Bangsa yang memiliki karakter yang baik adalah bangsa yang
terhormat dan dapat menjadi teladan bangsa-bangsa lain di dunia. Semoga Indonesia suatu saat menjadi
teladan bangsa lain, khususnya dalam hal karakter bangsa. Amin.
Daftar Pustaka
Alwisol. 2006. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM.
Bank, James A. 1993. An Introduction to Multicultural Education. Boston: Allyn & Bacon.
.., and Cherry A. McGee Banks (editor). Handbook of Research on Multicultural Education 2 ndEdition.
San Fransisco: Jossey Bass.
Battistich, Victor. 2007. Character Education. Prevention, and Positive Youth Development. Illionois:
University of Missouri.
Departemen Dalam Negeri. 2003. Sosialisasi Kebangsaan, Modul 8. Jakarta: Depdagri Dirjen Kesatuan
Bangsa.
Farida Hanum. 2005. Fenomena Pendidikan Multikultural pada Mahasiswa Aktivis UNY. Laporan
Penelitian. Yogyakarta: Lemlit UNY.
Hasyim Djalal. 2007. Jati Diri Bangsa dalam Ancaman Globalisasi. Pokok-Pokok Pikiran Guru Besar.
Surabaya: Airlangga University Press.
Haviland, William A. 1998. Antropologi 2. Terj. Jakarta: Airlangga.
Killpatrick, W. 1992. Why Jhony Cant Tell Right from Wrong. New York: Simon & Schuster Inc.
Kirschenbaum. Howard. 1995. 100 Ways to Ecnhange Values and Morality in Schools and Youth Settings.
Massachusetts; Allyn & Bacon.
Lickona, Thomas. 1992. Educating for Character. How our scholl can teach respect and responsibility. New
York: Bantam Books.
Musa Asy;arie. 2004. Pendidikan Multikultural dan Konflik 1-2. www.kompas.co.id. Diunduh pada bulan Juli
2005.
Nasikun. 2005. Imperatif Pendidikan Multikultural di Masyarakat Majemuk. Makalah. Disampaikan di UMM
Surakarta 8 Januari 2005.
Ruslan Ibrahim. 2008. Pendidikan Multikultural: Upaya Meminimalisir Konflik dalam Era Pluralitas Agama.
Jurnal Pendidikan Islam. El-Carbawi No. 1 Vol. 1.
Said Agil Siraj. 2007. Upaya Membangun Kembali Kebangsaan dalam Jati Diri Bangsa dalam Ancaman
Globalisasi. Forum Intelektual Indonesia-Konferensi Guru Besar Indonesia. Jakarta 16-17 Mei 2007.
Tadkiroatun Musfiroh. 2008. Pengembangan Karakter Anak Melalui Pendidikan Karakter, dalam Tinjauan
Berbagai Aspek Character Building. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Sumber:
Makalah disampaikan dalam Dialog Budaya Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan tema
Aneka Ragam Budaya Daerah Sebagai Modal Dasar Dalam Membangun Karakter Bangsa yang
diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta pada tanggal 18-19 Mei
2011
[1]
Dimana dengan adanya kondisi tersebut kita mampu untuk menerima perbedaan dengan
penuh rasa toleransi.
Seperti definisi di atas, Muhaemin el Mahaddi berpendapat bahwa pendidikan
multikultural dapat didefinisikan sebagai pendidikan keragaman kebudayaan dalam merespon
perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara
keseluruhan.
Adapun Paulo Freire seorang pakar pendidikan pembebasan mendefinisikan bahwa
pendidikan bukan merupakan menara gading yang berusaha menjauhi realitas sosial dan
budaya. Melainkan pendidikan itu harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang
terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan suatu kelas
sosial sebagai akibat dari kekayaan dan kemakmuran yang diperolehnya.[1]
Pendidikan multikultural merupakan respons terhadap perkembangan keragaman
populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Hal ini dapat
diartikan bahwa pendidikan multikultural adalah pendidikan yang mencakup seluruh siswa
tanpa membedakan kelompok-kelompoknya, seperti gender, etnis, ras, budaya, strata sosial,
dan agama.
James Bank menjelaskan, bahwa pendidikan multikultural memiliki beberapa dimensi
yang saling berkaitan satu dengan yang lain, yaitu:
1. Content Integration, yaitu mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk
mengilustrasikan konsep dasar, generalisasi, dan teori dalam mata pelajaran / disiplin ilmu.
2. The knowledge construction process, yaitu membawa siswa untuk memahami implikasi budaya
kedalam sebuah mata pelajaran.
3. An equity paedagogy, yaitu menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam
rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya,
ataupun sosial.
4. Prejudice reduction, yaitu mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode
pengajaran mereka. Kemudian, melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan
olahraga, berinteraksi dengan seluruh staff dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya
menciptakan budaya akademik yang toleran dan inklusif.
Dalam aktivitas pendidikan manapun, peserta didik merupakan sasaran (objek) dan
sekaligus sebagai subjek pendidikan, oleh karena itu, dalam memahami hakikat pendidikan
perlu dilengkapi pemahaman tentang ciri-ciri umum peserta didik. Setidaknya, secara umum
peserta didik memiliki lima ciri, yaitu:
1. 1. Peserta didik sedang dalam keadaan berdaya untuk menggunakan kemampuan,
kemauan, dan sebagainya.
2. 2. Mempunyai keinginan untuk berkembang kearah dewasa.
3. 3. Peserta didik mempunyai latar belakang yang berbeda-beda.
4. 4. Peserta didik melakukan penjelajahan terhadap alam sekitarnya dengan potensipotensi dasar yang dimiliki secara individual.
Istilah pendidikan multikultural dapat digunakan baik pada tingkat deskriptif, maupun
normatif, yang menggambarkan isu-isu dan masalah-masalah pendidikan yang berkaitan
dengan masyarakat multikultural. Lebih jauh ia juga mencakup pengertian tentang
pertimbangan terhadap kebijakan-kebijakan dan strategi-strategi pendidikan dalam
masyarakat multikultural. Dalam konteks deskriptif ini, kurikulum pendidikan multikultural
mestilah mencakup subjek-subjek seperti: toleransi, tema-tema tentang perbedaan etno-
1.
2.
3.
4.
5.
kultural dan agama, bahaya diskriminasi, penyelesaian konflik dan mediasi, HAM, demokrasi
dan pluralitas, multikulturalisme, kemanusiaan universal, dan subjek-subjek lain yang
relevan.
Dalam konteks teoritis, belajar dari model-model pendidikan multikultural yang pernah
ada dan sedang dikembangkan oleh negara-negara maju, dikenal dengan lima pendekatan,
yaitu:
Pendidikan mengenai perbedaan kebudayaan atau multikulturalisme
Pendidikan mengenai perbedaan kebudayaan atau pemahaman kebudayaan.
Pendidikan bagi pluralisme kebudayaan.
Pendidikan dwi-budaya.
Pendidikan multikultural sebagai pengalaman moral manusia.
B.
atau kelompok ekonomi. Di dalam kasus ini, agama terkait pada etnis atau tradisi kehidupan
dari sebuah masyarakat.
Masing-masing individu telah menggunakan prinsip agama untuk menuntun dirinya dalam
kehidupan di masyarakat, tetapi tidak berbagi pengertian dari keyakinan agamanya pada
pihak lain. Hal ini hanya dapat dilakukan melalui pendidikan multikultural untuk mencapai
tujuan dan prinsip seseorang dalam menghargai agama.
2. Kepercayaan
Unsur yang penting dalam kehidupan bersama adalah kepercayaan. Dalam masyarakat
yang plural selalu memikirkan resiko terhadap berbagai perbedaan. Munculnya resiko dari
kecurigaan/ketakutan atau ketidakpercayaan terhadap yang lain dapat juga timbul ketika tidak
ada komunikasi di dalam masyarakat/plural.
3. Toleransi
Toleransi merupakan bentuk tertinggi, bahwa kita dapat mencapai keyakinan. Toleransi
dapat menjadi kenyataan ketika kita mengasumsikan adanya perbedaan. Keyakinan adalah
sesuatu yang dapat diubah. Sehingga dalam toleransi, tidak harus selalu mempertahankan
keyakinannya.Untuk mencapai tujuan sebagai manusia Indonesia yang demokratis dan dapat
hidup di Indonesia diperlukan pendidikan multikultural.[4]
Adapun pentingnya pendidikan multikultural di Indonesia yaitu sebagai sarana alternatif
pemecahan konflik, peserta didik diharapkan tidak meninggalkan akar budayanya, dan
pendidikan multikultural sangat relevan digunakan untuk demokrasi yang ada seperti
sekarang.
1. Sarana alternatif pemecahan konflik
Penyelenggaraan pendidikan multikultural di dunia pendidikan diakui dapat menjadi
solusi nyata bagi konflik dan disharmonisasi yang terjadi di masyarakat, khususnya di
masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam unsur sosial dan budaya. Dengan kata
laun, pendidikan multikultural dapat menjadi sarana alternatif pemecahan konflik sosialbudaya.[5]
Struktur kultural masyarakat Indonesia yang amat beragam menjadi tantangan bagi dunia
pendidikan untuk mengolah perbedaan tersebut menjadi suatu aset, bukan sumber
perpecahan. Saat ini pendidikan multikultural mempunyai dua tanggung jawab besar, yaitu
menyiapkan bangsa Indonesia untuk mengahadapi arus budaya luar di era globalisasi dan
menyatukan bangsa sendiri yang terdiri dari berbagai macam budaya.
Pada kenyataannya pendidikan multikultural belum digunakan dalam proporsi yang
benar. Maka, sekolah dan perguruan tinggi sebagai instirusi pendidikan dapat
mengembangkan kurikulum pendidikan multikultural dengan model masing-masing sesuai
dengan otonomi pendidikan atau sekolahnya sendiri.
Model-model pembelajaran mengenai kebangsaan memang sudah ada. Namun, hal itu
masih kurang untuk dapat mengahargai perbedaan masing-masing suku, budaya maupun
etnis. Hal ini dapat dilihat dari munculnya berbagai konflik dari realitas kehidupan berbangsa
dan bernegara saat ini. Hal ini berarti bahwa pemahaman mengenai toleransi di masyarakat
masih sangat kurang.
Maka, penyelenggaraan pendidikan multikultural dapat dikatakann berhasil apabila
terbentuk pada diri setiap peserta didik sikap saling toleransi, tidak bermusuhan, dan tidak
berkonflik yang disebabkan oleh perbedaan budaya, suku, bahasa, dan lain sebagainya.
Menurut Stephen Hill, pendidikan multikultural dikatakan berhasil apabila prosesnya
melibatkan semua elemen masyarakat. Hal itu dikarenakan adanya multidimensi aspek
kehidupan yang tercakup dalam pendidikan multikultural.
2.
3.
a.
b.
c.
d.
e.
4.
Perubahan yang diharapkan adalah pada terciptanya kondisi yang nyaman, damai, toleran
dalam kehidupan masyarakat, dan tidak selalu muncul konflik yang disebabkan oleh
perbedaan budaya dan SARA.
Agar peserta didik tidak meinggalkan akar budaya
Selain sebagai sarana alternatif pemecahan konflik, pendidikan multikultural juga
signifikan dalam upaya membina peserta didik agar tidak meninggalkan akar budaya yang ia
miliki sebelumnya, saat ia berhubungan dengan realitas sosial-budaya di era globalisasi.
Pertemuan antar budaya di era globalisasi ini bisa menjadi ancaman serius bagi peserta
didik. Untuk menyikapi realitas tersebut, peserta didik tersebut hendaknya diberikan
pengetahuan yang beragam. Sehingga peserta didik tersebut memiliki kemampuan global,
termasuk kebudayaan. Dengan beragamnya kebudayaan baik di dalam maupun di luar negeri,
peserta didik perlu diberi pemahaman yang luas tentang banyak budaya, agar siswa tidak
melupakan asal budayanya.
Menurut Fuad Hassan, saat ini diperlukan langkah antisipatif terhadap tantangan
globalisasi, terutama dalam aspek kebudayaan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi
(iptek) dapat memperpendek jarak dan memudahkan adanya persentuhan antar budaya.
Tantangan dalam dunia pendidikan kita, saat ini sangat berat dan kompleks. Maka, upaya
untuk mengantisipasinya harus dengan serius dan disertai solusi konkret. Jika tidak
ditanggapi dengan serius terutama dalam bidang pendidikan yang bertanggung jawab atas
kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) maka, peserta didik tersebut akan kehilangan arah dan
melupakan asal budayanya sendiri.
Sehingga dengan pendidikan multikultural itulah, diharapkan mampu membangun
Indonesia yang sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Karena keanekaragaman
budaya dan ras yang ada di Indonesia itu merupakan sebuah kekayaan yang harus kita jaga
dan lestarikan.
Sebagai landasan pengembangan kurikulum nasional
Pendidikan multikultural sebagai landasan pengembangan kurikulum menjadi sangat
penting apabila dalam memberikan sejumlah materi dan isi pelajaran yang harus dikuasai
oleh peserta didik dengan ukuran dan tingkatan tertentu.
Pengembangan kurikulum yang berdasarkan pendidikan multikultural dapat dilakukan
berdasarkan langkah-langkah sebagai berikut.
Mengubah filosofi kurikulum dari yang berlaku secara serentak seperti sekarang menjadi
filosofi pendidikan yang sesuai dengan tujuan, misi, dan fungsi setiap jenjang pendidikan dan
unit pendidikan.
Harus merubah teori tentang konten (curriculum content) yang mengartikannya sebagai aspek
substantif yang berisi fakta, teori, generalisasi, menuju pengertian yang mencakup nilai
moral, prosedur, proses, dan keterampilan (skills) yang harus dimiliki generasi muda.
Teori belajar yang digunakan harus memperhatikan unsur keragaman sosial, budaya,
ekonomi, dan politik.
Proses belajar yang dikembangkan harus berdasarkan cara belajar berkelompok dan bersaing
secara kelompok dalam situasi yang positif. Dengan cara tersebut, perbedaan antarindividu
dapat dikembangkan sebagai suatu kekuatan kelompok dan siswa terbiasa untuk hidup
dengan keberanekaragaman budaya.
Evaluasi yang digunakan harus meliputi keseluruhan aspek kemampuan dan kepribadian
peserta didik sesuai dengan tujuan dan konten yang dikembangkan.
Menuju masyarakat Indonesia yang Multikultural
Inti dari cita-cita reformasi Indonesia adalah mewujudkan masyarakat sipil yang
demokratis, dan ditegakkan hukum untuk supremasi keadilan, pemerintah yang bersih dari
KKN, terwujudnya keteraturan sosial serta rasa aman dalam masyarakat yang menjamin
kelancaran produktivitas warga masyarakat, dan kehidupan ekonomi yang mensejahterakan
rakyat Indonesia.
Corak masyarakat Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika bukan hanya merupakan
keanekaragaman suku bangsa saja melainkan juga menyangkut tentang keanekaragaman
budaya yang ada dalam masyarakat Indonesia secara menyeluruh. Eksistensi
keberanekaragaman tersebut dapat terlihat dari terwujudnya sikap saling menghargai,
menghormati, dan toleransi antar kebudayaan satu sama lain.
Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara lain adalah demokrasi,
keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang
sederajat, suku bangsa, kesukubangsaan, kebudayaan suku bangsa, keyakinan keagamaan,
ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya komuniti, dan
kosnep-konsep lain yang relevan.[6]
BAB III
KESIMPULAN
Pendidikan di Indonesia yang masyarakatnya terdiri dari berbagai macam ras, suku
budaya, bangsa, dan agama dirasa penting untuk menerapkan pendidikan multikultural.
Karena tidak dapat dipungkiri bahwa dengan masyarakat Indonesia yang beragam inilah
seringkali menjadi penyebab munculnya berbagai macam konflik.
Seiring dengan perkembangan zaman dan waktu juga dapat mempengaruhi kehidupan
berbangsa dan bernegara. Sehingga banyak terjadi berbagai macam perubahan di masyarakat
yang diakibatkan oleh masuknya berbagai macam budaya baru dari luar negeri ke Indonesia.
Melalui pendidikan multikultural yang memperkenalkan budaya asli kepada peserta didik
diharapkan agar peserta didik tidak melupakan asal budayanya sendiri.
Namun demikian, pendidikan multikultural tidak hanya dipelajari dalam pendidikan
normal saja. Melainkan pendidikan multikultural itu harus dipelajari oleh masyarakat luas,
secara non formal melalui berbagai macam diskusi, presentasi. Agar dapat terciptanya
masyarakat Indonesia yang tentram dan damai.
DAFTAR PUSTAKA
Fay, Brian. 1996. Contemporary Philosophy of Social Sience: A Multicultural Approach.
Oxrofd:Backwell.
Freire, Paulo. 2000. Pendidikan Pembebasan. Jakarta: LP3S.
Hernandez, Hilda. 2002. Multicultural Education: A Teacher Guide to Linking Context, Process,
and Content. New Jersey & Ohio: Prentice Hall.
http://emarakhmawati.blogspot.co.id/2013/02/pentingnya-pendidikanmultikultural-di.html