Referat Difteri
Referat Difteri
PENDAHULUAN.
Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan
oleh karena toxin dari bakteri dengan ditandai pembentukan pseudomembran pada
kulit dan atau mukosa dan penyebarannya melalui udara. Penyebab penyakit ini
adalah Corynebacterium Diphteriae, dimana manusia merupakan salah satu
reservoir dari bakteri ini. (1)
Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang pada
kulit, konjugtiva, genitalia dan telinga. Infeksi ini menyebabkan gejala -gejala
lokal dan sistemik,efek sistemik terutama karena eksotoksin yang dikeluarkan
oleh mikroorganisme pada tempat infeksi. Masa inkubasi kuman ini antara 2 - 5
hari, penularan terjadi melalui kontak dengan penderita maupun carrier. (2)
Difteri merupakan penyakit yang harus didiagnosa dan diterapi dengan
segera. Bayi baru lahir biasanya membawa antibody secara pasif dari ibunya yang
biasanya akan hilang pada usia 6 bulan, oleh karena itu bayi-bayi diwajibkan di
vaksinasi, yang mana vaksinasi ini telah terbukti mengurangi insidensi penyakit
tersebut. (5)
Walaupun difteri sudah jarang di berbagai tempat di dunia, tetapi kadangkadang masih ada yang terkena oleh penyakit tersebut. Di Indonesia difteri
banyak terdapat di daerah berpenduduk padat dan keadaan lingkungan yang buruk
dengan angka kematian yang cukup tinggi, 50% penderita difteri meninggal
dengan gagal jantung. Kejadian luar biasa ini dapat terjadi terutama pada
golongan umur rentan yaitu bayi dan anak. Tapi akhir-akhir ini berkat adanya
Program Pengembangan Imunisasi (PPI) maka angka kesakitan dan kematian
menurun secara drastis. (3)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DIFTERI
2.1. Etiologi
Spesies Corynebacterium Diphteriae adalah kuman batang gram-positif
(basil aerob), tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora,
mati pada pemanasan 60C, tahan dalam keadaan beku dan kering. Dengan
pewarnaan, kuman ini bisa terlihat dalam susunan palisade, bentuk L atu V, atau
merupakan formasi mirip huruf cina. Kuman tidak bersifat selektif dalam
pertumbuhannya, isolasinya dipermudah dengan media tertentu (yaitu sistin telurit
agar darah) yang menghambat pertumbuhan organisme yang menyaingi, dan bila
direduksi oleh C. diphteheriae akan membuat koloni menjadi abu-abu hitam, atau
dapat pula dengan menggunakan media loeffler yaitu medium yang mengandung
serum yang sudah dikoagulasikan dengan fosfat konsentrasi tinggi maka terjadi
granul yang berwarna metakromatik dengan metilen blue, pada medium ini koloni
akan berwarna krem. Pada membran mukosa manusia C.diphtheriae dapat hidup
bersama-sama dengan kuman diphtheroid saprofit yang mempunyai morfologi
serupa, sehingga untuk membedakan kadang-kadang diperlukan pemeriksaan
khusus dengan cara fermentasi glikogen, kanji, glukosa, maltosa atau sukrosa. (4)
Secara umum dikenal 3 tipe utama C.diphtheriae yaitu tipe garvis,
intermedius dan mistis namun dipandang dari sudut antigenitas sebenarnya basil
ini merupakan spesies yang bersifat heterogen dan mempunyai banyak tipe
serologik. Hal ini mungkin bias menerangkan mengapa pada seorang pasien biasa
mempunyai kolonisasi lebih dari satu jenis C.diphtheriae. Ciri khas C.diphtheriae
adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in-vivo maupun in-vitro,
toksin ini dapat diperagakan dengan uji netralisasi toksin in vivo pada marmut (uji
kematian) atau diperagakan in vitro dengan teknik imunopresipitin agar (uji Elek)
yaitu suatu uji reaksi polimerase pengamatan. Eksotoksin ini merupakan suatu
protein dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas atau cahaya,
mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (amino-terminal) dan fragmen B
(karboksi-terminal).
Kemampuan
suatu
strain
untuk
membentuk
atau
dan gejala-gejala radang lokal. Demam jarang lebih tinggi dari 39C.
2.3.1.1. Difteri Hidung
Difteria hidung pada awalnya meneyerupai common cold,
dengan gejala pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik
ringan.
Infeksi
nares
anterior
(lebih
sering
pada
bayi)
tebal dan bekuan nekrotik. Pada difteria faring primer gejala toksik
kurang nyata, oleh karena mukosa laring mempunyai daya serap
toksin yang rendah dibandingkan mukosa faring sehingga gejala
obstruksi saluran nafas atas lebih mencolok. Gejala klinis difteri
laring sukar dibedakan dari tipe infectious croups yang lain, seperti
nafas berbunyi, stridor yang progresif, suara parau dan batuk
kering. Pada Obstruksi laring yang berat terdapat retraksi
suprasternal, interkostal dan supraklavikular. Bila terjadi pelepasan
membrane yang menutup jalan nafas biasa terjadi kematian
mendadak. Pada kasus berat, membrane dapat meluas ke
percabangan trakeobronkial. Apabila difteria laring terjadi sebagai
perluasan dari difteria faring, maka gejala yang tampak merupakan
campuran gejala obstruksi dan toksemia.
2.3.2. Difteri Kulit
Difteri kulit berupa tukak dikulit, tepi jelas dan terdapat membrane
pada dasarnya, kelainan cenderung menahun. Difteri kulit klasik adalah
infeksi nonprogresif lamban yang ditandai dengan ulkus yang tidak
menyembuh, superficial, ektimik dengan membrane coklat keabu-abuan.
Infeksi difteri kulit tidak selalu dapat dibedakan dari impetigo
streptokokus atau stafilokokus, dan mereka biasanya bersama. Pada
kebanyakan kasus, dermatosis yang mendasari, luka goresan, luka bakar
atau impetigo yang telah terkontaminasi sekunder. Tungkai lebih sering
terkena dari pada badan atau kepala. Nyeri, sakit, eritema, dan eksudat
khas. Hiperestesi lokal atau hipestesia tidak lazim. Kolonisasi saluran
pernapasan atau infeksi bergejala dan komplikasi toksik terjadi pada
sebagian kecil penderita dengan difteri kulit.
2.3.3. Difteri Vulvovaginal, Konjungtiva, dan Telinga
C. diphtheriae kadang-kadang menimbulkan infeksi mukokutan
pada
tempat-tempat
lain,
seperti
telinga
(otitis
eksterna),
mata
2.6. Komplikasi
Komplikasi difteria dapat terjadi sebagai akibat inflamasi lokal atau akibat
aktivitas eksotoksin, maka komplikasi difteria dapat dikelompokkan dalam infeksi
tumpangan oleh kuman lain, obstruksi jalan nafas akibat membrane atau adema
jalan nafas, sistemik; karena efek eksotoksin terutama ke otot jantung, syaraf, dan
ginjal. (3)
Infeksi tumpangan pada anak dengan difteri seringkali mempengaruhi
gejala kliniknya sehingga menimbulkan permasalahan diagnosis maupun
pengobatan. Infeksi ini dapat disebabkan oleh kuman streptokok dan stafilokok.
Panas tinggi terutama didapatkan pada penderita difteri dengan infeksi tumpangan
dengan streptokok. Mengingat adanya infeksi tumpangan ini, kita harus lebih
waspada dalam mendiagnosis dan mengobati difteri pada anak. (7)
Obstruksi jalan nafas, disebabkan oleh tertutupnya jalan nafas oleh
membrane difteria atau oleh karena edema pada tonsil, faring, daerah
submandibular dan servical.
Kasus septikemi yang jarang dan secara umum mematikan telah diuraikan.
Kasus endokarditis sporadik terjadi, dan kelompok-kelompok pengguna obat
intravena telah dilaporkan di beberapa negara; kulit adalah tempat masuk yang
mungkin, dan hampir semua strain adalah nontoksigenik. Kasus arthritis piogenik
sporadic terutama karena strain nontoksigenik, dilaporkan pada orang dewasa dan
anak-anak. Difteroid yang diisolasi dari tempat-tempat tubuh steril tidak boleh
dianggap sebagai kontaminan tanpa pertimbangan wujud klinis yang teliti. (5)
Miokardiopati toksik. Terjadi pada sekitar 10-25% penderita dengan difteri
dan menyebabkan 50-60% kematian. Tanda-tanda miokarditis yang tidak kentara
dapat terdeteksi pada kebanyakan penderita, terutama pada anak yang lebih tua,
tetapi resiko komplikasi yang berarti berkorelasi secara langsung dengan luasnya
dan keparahan penyakit orofaring lokal eksudatif dan penundaan pemberian
antitoksin. Bukti adanya toksisitas jantung khas terjadi pada minggu ke-2 dan ke-3
sakit ketika penyakit faring membaik tetapi dapat muncul secara akut seawall
1minggu bila berkemungkinan hasil akhir meninggal, atau secara tersembunyi
lambat sampai sakit minggu ke-6. Takikardi diluar proporsi demam lazim dan
dapat merupakan bukti efektif toksisitas jantung atau disfungsi system saraf
otonom. Pemanjangan interval PR dan perubahan pada gelombang ST-T pada
A.
Pengobatan umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan
tenggorok negative 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap
diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3
minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat, makanan lunak yang
mudah dicerna, cukup mengandung protein dan kalori. Penderita diawasi
ketat atas kemungkinan terjadinya komplikasi antara lain dengan
pemeriksaan EKG pada hari 0, 3, 7 dan setiap minggu selama 5 minggu.
Khusus pada difteri laring di jaga agar nafas tetap bebas serta dijaga
kelembaban udara dengan menggunakan nebulizer. (3)
B.
Pengobatan Khusus
larutan garam fisiologis 1:1.000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam
20 menit terjadi indurasi > 10 mm. Uji mata dilakukan dengan meneteskan
1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis. Pada mata yang lain
diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila dalam 20 menit tampak
gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit/mata
positif, ADS diberikan dengan cara desentisasi (Besredka). Bila
ujihiprsensitivitas tersebut diatas negative, ADS harus diberikan sekaligus
secara intravena. Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat
penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada berat badan pasien, berkisar
antara 20.000-120.000 KI seperti tertera pada tabel diatas. Pemberian ADS
intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml glukosa 5% dalam 12 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat dilakukan
selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya Demikian pula
perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness)
(1)
2. Antibiotik
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin melainkan untuk
membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin dan juga mencegah
penularan organisme pada kontak. C. diphtheriae biasanya rentan terhadap
berbagai agen invitro, termasuk penisilin, eritromisin, klindamisin,
rifampisin dan tetrasiklin. Sering ada resistensi terhadap eritromisin pada
populasi yang padat jika obat telah digunakan secara luas. Yang dianjurkan
hanya penisilin atau eritromisin; eritromisin sedikit lebih unggul daripada
penisilin untuk pemberantasan pengidap nasofaring.
Dosis :
Penisilin prokain 25.000-50.000 U/kgBB/hari i.m. , tiap 2 jam
selama 14 hari atau bila hasil biakan 3 hari berturut-turut (-).
Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari, p.o. , tiap 6 jam
selama 14 hari.
Penisilin G kristal aqua 100.000-150.000 U/kgBB/hari, i.m. atau
i.v. , dibagi dalam 4 dosis.
Amoksisilin.
11
Rifampisin.
Klindamisin.
Terapi diberikan selama 14 hari. Bebrapa penderita dengan difteri
kulit diobati 7-10 hari. Lenyapnya organisme harus didokumentasi
sekurang-kurangnya dua biakan berturut-turut dari hidung dan tenggorok
(atau kulit) yang diambil berjarak 24 jam sesudah selesai terapi. (8)
3. Kortikosteroid
Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada
difteria. Dianjurkan korikosteroid diberikan kepada kasus difteria yang
disertai dengan gejala obstruksi saluran nafas bagian atas (dapat disertai
atau tidak bullneck) dan bila terdapat penyulit miokarditis. Pemberian
kortikosteroid untuk mencegah miokarditis ternyata tidak terbukti.
Dosis : Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada kasus
berat selama 14 hari.
C.
Pengobatan Penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika
Pengobatan Karier
Karier
adalah
mereka
yang
tidak
menunjukkan
keluhan,
Uji
Tindakan
(-)
Schick
(-)
12
(+)
(-)
100
mg/kgBB/hari
(+)
minggu
Penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan atau eritromisin
(-)
(+)
2.8. Prognosis
Umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan penyebaran
membran, status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan diagnosis, dan
perawatan umum. (8)
Prognosis difteria setelah ditemukan ADS dan antibiotik, lebih baik
daripada sebelumnya, keadaan demikian telah terjadi di negara-negara lain.
Kematian tersering pada anak kurang dari 4 tahun akibat membran difteri.
Menurut Krugman, kematian mendadak pada kasus difteria dapat disebabkan oleh
karena
(1) Obstruksi jalan nafas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya difteria,
(2) Adanya miokarditis dan gagal jantung,
(3) Paralisis difragma sebagai akibat neuritis nervus nefrikus.
Anak yang pernah menderita miokarditis atau neuritis sebagai penyulit
difteria, pada umumnya akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa; walaupun
demikian pernah dilaporkan kelainan jantung yang menetap. Penyebab strain
gravis prognosisnya buruk. Adanya trombositopenia amegakariositik dan
leukositosis > 25.000/ prognosisnya buruk. Mortalitas tertinggi pada difteri faringlaring (56,8%) menyusul tipe nasofaring (48,4%) dan faring (10,5%) (1).
2. 9. Pencegahan
Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan
pengetahuan tentang bahaya difteria bagi anak. Pada umumnya setelah seseorang
anak menderita difteria, kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga
13
perlu imunisasi DPT dan pengobatan karier. Seorang anak yang telah mendapat
imunisasi difteria lengkap, mempunyai antibodi terhadap toksin difteria tetapi
tidak
mempunyai
antibody
terhadap
organismenya.
Keadaan
demikian
14
mL pada usia 6 tahun. Untuk mereka yang mulai pada atau sesudah umur 1
tahun, seri pertama adalah tiga dosis 0,5 mL vaksin mengandung difteri,
dengan booster yang diberikan pada usia 4-6 tahun, kecuali kalau dosis
ketiga diberikan sesudah umur 4 tahun. (4)
Umur
: 2 11 bln
Dosis
: 0,05 cc
Cara
Selang pemberian
: Minimal 4 minggu
Efek samping
1. Panas
Kebanyakan anak akan menderita panas pada sore hari setelah
mendapat imunisasi DPT, tapi panas ini akan sembuh 1 2 hari.
Anjurkan agar jangan dibungkus dengan baju tebal dan dimandikan
dengan cara melap dengan air yang dicelupkan ke air hangat.
2. Rasa sakit di daerah suntikan
Sebagian anak merasa nyeri, sakit, kemerahan, bengkak.
3. Peradangan
Bila pembengkakan terjadi seminggu atau lebih, maka hal ini
mungkin disebabkan peradangan, mungkin disebabkan oleh jarum suntik
yang tidak steril karena :
- Jumlah tersentuh
- Sebelum dipakai menyuntik jarum diletakkan diatas tempat yang
tidak steril.
- Sterilisasi kurang lama.
- Pencemaran oleh kuman.
4. Kejang-kejang
Reaksi yang jarang terjadi sebaliknya diketahui petugas reaksi
disebabkan oleh komponen dari vaksin DPT.
2. 10. Sosialisasi
A. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar
15
dilakukan
terhadap
dewasa
yang
pekerjaannya
pemberian)
atau
dengan
Erythromycin
selama
7-10
hari
16
17
segera, oleh karena itu bayi-bayi diwajibkan di vaksinasi. Dan ini telah terbukti
dalam mengurangi insidensi penyakit tersebut, walaupun difteri sudah jarang di
berbagai tempat di dunia tetapi kadang-kadang masih ada yang terkena penyakit
ini.
Penyebab dari penyakit difteri ini adalah C diphtheriae yang merupakan
kuman gram (+), ireguler,tidak bergerak, tidak berspora, bersifat leomorfik dan
memperlihatkan bentuk seperti tulisan China.Masa inkubasi kuman ini 2-5 hari,
dengan gejala klinis berupa sakit tenggorokan ringan, panas badan 38,9C.
Penyakit ini diklasifikasikan menurut lokasi membran yaitu difteri nasal,
difteri tonsil dan faring, difteri laring, difteri kulit, difteri vulvovaginal, difteri
konjungtiva, dan difteri telinga, akan tetapi yang paling terseringa adalah difteri
tonsil faring.
Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian
antitoksin sangat mempengaruhi prognosa penderita. Diagnosa pasti dari penyakit
ini adalah isolasi C. Diphtheriae dengan bahan pemeriksaan membran bagian
dalam (kultur).
Dasar dari therapi ini adalah menetralisir toksin bebas dan eradikasi C.
diphtheriae dengan antibiotik. Antibiotok penisilin dan eritromisin sangat efektif
untuk kebanyakan strain C. diphtheriae.
Prognosis umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan
penyebaran membran, status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan
diagnosis, dan perawatan umum.
Pencegahan secara umum dilakukan dengan menjaga kebersihan dan
memberi pengetahuan tentang bahaya difteri bagi anak dan juga dengan
pemberian imunisasi DPT 0,5 mL intramuscular untuk anak kurang dari 7 tahun
dan pemberian DT 0,5 mL intramuscular untuk anak lebih dari 7 tahun.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. T.H.Rampengan, Spa (k) dan Dr. I.R. Laurentz, Spa. 1992. Penyakit Infeksi
Tropik Pada Anak, Difteri, 1-18
Garna Herry, dkk. 2000. Difteri. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan
18
19