Pendahuluan
2.
3.
Bagaimana perundang-undangan member pengaruh terhadap pembangunan nasional dalam
berbagai bidang?
A.
B.
Menurut T. Gilarso (1986) Pelaksanaan pembangunan di bidang ekonomi ini bukan hanya
bertujuan untuk meningkatkan produksi dan pendapatan nasional atau pertumbuhan ekonomi
saja, melainkan sekaligus juga harus menjamin pembagian pendapatan yang lebih merata sesuai
dengan rasa keadilan, dan tetap menjaga dan mempertahankanstabilitas nasional, baik di bidang
politik maupun ekonomi.[2]
Soeharto yang menjalin hubungan dengan kekuatan asing untuk menciptakan stabilitas politik
dan ekonomi.[5]
Tanggal 11 Maret 1966 Presiden menerbitkan Surat Perintah (terkenal dengan istilah Super
Semar) kepada Letnan Jenderal Suharto selaku Pangkostrad untuk mengambil langkah-langkah
pengamanan untuk menyelamatkan negara. Tetapi ternyata Super Semar tersebut dimanfaatkan
untuk mengambil alih kekuasaan Presiden dengan dukungan MPRS.Kemudian disusul dengan
dibentuknya Pemerintahan Orde Baru dibawah pimipinan Jenderal Suharto yang menjanjikan
untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Ternyata secara
operasional sejak awal sudah menyimpang dari jiwa Pancasila dan UUD 1945, terbukti dengan
terbitnya UU No.1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing[1] yang jelas-jelas bertujuan
menciptakan iklim kondusif bagi berkembangnya sistem ekonomi[2] liberal kapitalistik serta
diterapkannya sistem ekonomi trickle down effect yang menguntungkan pihak konglomerat dan
tidak berpihak kepada kepentingan dan partisipasi rakyat yang nota bene adalah pemegang
kedaulatan negara.[6]
Setelah berhasil melakukan desakan terhadap Prasiden untuk memberi surat perintah Supersemar
dan memanfaatkannya sebagai alat legitimasi transfer of souverignty dengan disahkan melalui
Tap MPRS No. XXII/MPRS/1966[2] Soeharto dan para pendukungnya disibukkan untuk
melakukan konsolidasi politik dan ekonomi. Lembaga MPRS yang sudah didominasi oleh
Soeharto dan para pendukungnya mengeluarkan TAP No. XXIII/MPRS/1966 tentang dasar
pembangunan ekonomi yang cenderung kapitalistik.[7]
Dapat dilihat dari TAP MPRS No.XXIII/MPRS/1966, BAB I Pasal 1 berbunyi:
Sadar akan kenyataan bahwa hakekat dari proses kemerosotan yang cepat dari Ekonomi
Indonesia selama beberapa tahun ini adalah penyelewengan dari pelaksanaan secara murni
daripada Undang-Undang Dasar 1945, yang tercermin dalam tidak adanya pengawasan yang
efektif dari lembaga-lembaga perwakilan rakyat terhadap kebijaksanaan ekonomi pemerintah
dan senantiasa kurang diserasikannya kepentingan politik dengan kepentingan ekonomi serta
dikesampingkannya prinsip-prinsip ekonomi yang rasional dalam menghadapi masalah-masalah
ekonomi, maka jalan keluarnya adalah kembali kepelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945
secara murni dan konsekuen.
Kebijakan rezim Orde Baru menggeser rezim Demokrasi Terpimpin semakin memberi peluang
untuk melakukan perubahan kebijakan dalam bidang ekonomi.Pemerintah selain menghadapi
infrastruktur ekonomi yang kurang kondusif juga beban hutang luar negeri yang lebih dari $
2.400 juta.Kekuatan borjuasi lokal, pengusaha keturunan Cina serta kalangan militer yang telah
lama terlibat dalam bidang ekonomi berkebutuhan untuk mendorong pembangunan ekonomi
yang kapitalistik.Sebuah program pembangunan yang memungkinkan terjadinya realisasi antara
kekuatan ekonomi internasional dengan borjuasi nasional.[8]
Ketika Orde Baru semakin mengendalikan negara dan peluang bangkitnya pendukung Sukarno
menyusut, prospek Soeharto memperoleh bantuan keuangan dalam jumlah besar dari dunia barat
semakin meningkat pula.Salah satu masalah pertama Suharto adalah utang luar negeri yang
begitu besar yang diwariskan pemerintahan demokrasi terpimpin. Pada akhir tahun 1965,
jumlahnya mencapai US$ 2, 36 miliar, 59, 5% di antaranya merupakan utang kepada negara
komunis (42% kepada Uni Soviet), 24,9% kepada negara barat, dan sisanya kepada negaranegara nonkomunis lainnya. Jepang adalah kreditor terbesar di luar negara-negara komunis
(9,8% dari total uang). Walaupun utang ini sangat besar, harus dicatat bahwa jumlah ini jauh
lebih kecil daripada utang yang kelak diperoleh Orde Baru.Para kreditor nonkomunis Indonesia
setuju untuk bertindak bersama-sama dan akhirnya IGGI (Inter-Govermental Group on
Indonesia) pada tahun 1967.Dari bulan Juli 1966, mereka mulai menjadwal ulang pembayaran
utang Indonesia. Pada bulan Oktober, Adam Malik, yang telah memiliki hubungan baik dengan
Uni Soviet, juga menjadwal ulang sebagian pembayaran utang Indonesia kepada Uni Soviet.[9]
Revrisond Baswir menjelaskan bahwa Pemerintahan Orde Baru memandai bergesernya bandul
perekonomian Indonesia ke sisi kanan. Hal itu antara lain ditandai dengan diundangkannya
Undang-undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) No. 1/1967 dan UU Koperasi No.
12/1967. Memang, di awal Orde Baru ini gagasan ekonomi kerakyatan sempat mencoba muncul
kembali. Tetapi dalam pergulatan pemikiran yang terjadi antara kubu ekonomi kerakyatan yang
antara lain dimotori oleh Sarbini Sumawinata, dengan kubu ekonomi neoliberal yang dimotori
oleh Widjojo Nitisastro, kubu ekonomi neoliberal muncul sebagai pemenang. Sarbini hanya
sempat singgah sebentar di Bappenas pada beberapa tahun pertama Orde Baru.
Pada tahun-tahun permulaan Orde Baru, bank sentral bertindak sebagai perantara dalam
tabungan yang diinvestasikan dalam bentuk mata uang.Sebagian dengan menyediakan kredit
langsung (terutama untuk usaha-usaha produksi pangan) dan sebagian dengan pemberian modal
kembali kredit bank negara untuk program-program yang diprioritaskan, misalnya rencana
intensifikasi padi (Bimas) dan Program Investasi Jangka Menengah.[10]
Struktur ekonomi juga bisa dimantapkan pada tahun 1968. Minyak merupakan fokus utama
kebijakan ekonomi pemerintah, meskipun industri lain yang memerlukan modal intensif dan
teknologi tinggi serta menghasilkan mineral dan karet juga berkembang pesat. Pengeboran lepas
pantai dimulai pada tahun 1966 dan berkembang pesat pada tahun 1968.Pada bulan Agustus
1968, peran bisnis tentara semakin kokoh ketika perusahaan minyak Pertamin (didirikan pada
tahun 1961) dan Permina digabung menjadi Pertamina (Perusahaan Pertambangan Minyak dan
Gas Bumi Negara). Pertamina dimanfaatkan sebagai kerajaan pribadi oleh Ibnu Suwoto, yang
segera memperoleh reputasi internasional berkat manajemennya yang agresif dan penuh visi[3],
reputasi yang kemudian runtuh pada tahun 1975. Pertamina hanya sedikit melakukan pengeboran
sendiri, selebihnya perusahaan ini (dan bukan pemerintah) mengadakan perjanjian pembagian
produksi dengan perusahaan asing. Produksi minyak tumbuh sekitar 15% pada tahun 1968-9 dan
hampir 20% pada tahun 1970 .[11]
Kenaikan harga minyak antara bulan November 1973 dan Juni 1974 meningkatkan penerimaan
devisa bagi Indonesia lebih dari dua kali lipat, karena sebagian besar peningkatan tersebut
(sesudah adanya negosiasi kembali pembagian keuntungan dengan perusahaan-perusahaan
C.
negatif. Yang mengalamipertumbuhan ekonomi positif selama tahun 1998 hanya sektor pertanian
1,31%, sektor listrik gas dan air bersih 3,11 %, sektor pengangkutan dankomunikasi 16.23 %.
Perkembangan pertumbuhan ekonomi setelah krisis moneter1997/1998 yaitu tahun 1999 mulai
membaik dengan pertumbuhan ekonomisedikit di atas 0 %. PDB ( atas harga berlaku tahun
1998 ) mencapai 141,0miliar dolar Amerika Serikat dibandingkan tahun 1995 sebesar 94,2
miliardolar Amerika Serikat. Pertumbuhan ekonomi mengalamipercepatan.Akselerasi ini
didukung pula dengan semakin seimbangnyasumber pertumbuhan ekonomi dimana investasi
makin penting peranannya.Dengan keberhasilan menciptakan stabilitas ekonomi makro (nilai
tukar daninflasi),pendapatan per kapita Indonesia jika diukur dengan mata uang USD,meningkat
1,8 kali pada akhir tahun 2008 dibandingkan akhir 2004, danmelebihi USD 2.000 per kapita pada
akhir tahun 2008.[16]
D.
Pertumbuhan Politik
Dalam rangka menjamin keamanan, ketenangan, serta stabilitas pemerintahan, Soeharto sebagai
pengemban Supersemar telah mengeluarkan kebijakan:[17]
Membubarkan PKI pada tanggal 12 Maret 1966 yang diperkuat dengan Ketetapan MPRS
No IX/MPRS/1966
Pada tanggal 8 Maret 1966 mengamankan 15 orang menteri yang dianggap terlibatGerakan
30 September 1965.
Pada tahun 1973 setelah dilaksanakan pemilihan umum yang pertama pada masa Orde Baru
pemerintahan pemerintah melakukan penyederhaan dan penggabungan (fusi) partai- partai
politik menjadi tiga kekuatan social politik.Penggabungan partai-partai politik tersebut tidak
didasarkan pada kesamaan ideologi, tetapi lebih atas persamaan program. Tigakekuatan social
politik itu adalah :
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan gabungan dari NU, Parmusi, PSII,
dan PERTI
Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan gabungan dari PNI, Partai Katolik,
Partai Murba, IPKI, dan Parkindo Golongan Karya
Selama masa Orde Baru pemerintah berhasil melaksanakan enam kali pemilihan umum, yaitu
tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Dalam setiap Pemilu yang diselenggarakan
selama masa pemerintahan Orde Baru, Golkar selalu memperoleh mayoritas suara dan
memenangkan Pemilu.Pada Pemilu 1997 yang merupakan pemilu terakhir masa pemerintahan
Orde Baru, Golkar memperoleh 74,51 % dengan perolehan 325 kursi di DPR dan PPP
memperoleh 5,43 % dengan perolehan 27 kursi.[18]Sedangkan PDI mengalami kemorosotan
perolehan suara dengan hanya mendapat 11 kursi di DPR.Hal disebabkan adanya konflik intern
di tubuh partai berkepala banteng tersebut.PDI akhirnya pecah menjadi PDI Suryadi dan PDI
Megawati Soekarno Putri yang sekarang menjadi PDIP.Penyelenggaraan Pemilu yang teratur
selama masa pemerintahan Orde Baru telah menimbulkan kesan bahwa demokrasi di Indonesia
telah berjalan dengan baik.
Pemungutan suara Pemilu 1977 dilakukan 2 Mei 1977.Cara pembagian kursi masih
dilakukan seperti dalam Pemilu 1971, yakni mengikuti sistem proporsional di daerah pemilihan.
Dari 70.378.750 pemilih, suara yang sah mencapai 63.998.344 suara atau 90,93 persen. Dari
suara yang sah itu Golkar meraih 39.750.096 suara atau 62,11 persen. Namun perolehan kursinya
menurun menjadi 232 kursi atau kehilangan 4 kursi dibandingkan Pemilu 1971.
Pada Pemilu 1977 suara PPP naik di berbagai daerah, bahkan di DKI Jakarta dan DI Aceh
mengalahkan Golkar. Secara nasional PPP berhasil meraih 18.743.491 suara, 99 kursi atau naik
2,17 persen, atau bertambah 5 kursi dibanding gabungan kursi 4 partai Islam dalam Pemilu 1971.
Kenaikan suara PPP terjadi di banyak basis-basis eks Masjumi.Ini seiring dengan tampilnya
tokoh utama Masjumi mendukung PPP.Tetapi kenaikan suara PPP di basis-basis Masjumi diikuti
pula oleh penurunan suara dan kursi di basis-basis NU, sehingga kenaikan suara secara nasional
tidak begitu besar.
PPP berhasil menaikkan 17 kursi dari Sumatera, Jakarta, Jawa Barat dan Kalimantan, tetapi
kehilangan 12 kursi di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Secara
nasional tambahan kursi hanya 5.
PDI juga merosot perolehan kursinya dibanding gabungan kursi partai-partai yang berfusi
sebelumnya, yakni hanya memperoleh 29 kursi atau berkurang 1 kursi di banding gabungan
suara PNI, Parkindo dan Partai Katolik. Selengkapnya perolehan kursi dan suara tersebut bisa
dilihat pada tabel di bawah ini.[19]
62,11
29,29
8,60
100,00
E.
Untuk menciptakan stabilitas politik, pemerintah Orde Baru memberikan peran ganda kepada
ABRI, yaitu peran Hankam dan sosial.Peran ganda ABRI ini kemudian terkenal dengan sebutan
Dwi Fungsi ABRI.Timbulnya pemberian peran ganda pada ABRI karena adanya pemikiran
bahwa TNI adalah tentara pejuang dan pejuang tentara. Kedudukan TNI dan POLRI dalam
pemerintahan adalah sama. di MPR dan DPR mereka mendapat jatah kursi dengan cara
pengangkatan tanpa melalui Pemilu.Pertimbangan pengangkatan anggota MPR/DPR dari ABRI
didasarkan pada fungsinya sebagai stabilitator dan dinamisator.Peran dinamisator sebenarnya
telah diperankan ABRI sejak zaman Perang Kemerdekaan.Waktu itu Jenderal Soedirman telah
melakukannya dengan meneruskan perjuangan, walaupun pemimpin pemerintahan telah ditahan
Belanda.Demikian juga halnya yang dilakukan Soeharto ketika menyelamatkan bangsa dari
perpecahan setelah G 30 S/PKI, yang melahirkankan Orde Baru.Boleh dikatakan peran
dinamisator telah menempatkan ABRI pada posisiyang terhormat dalam percaturan politik
bangsa selama ini.
Pada masa Orde Baru politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif kembali dipulihkan.MPR
mengeluarkan sejumlah ketetapan yang menjadi landasan politik luar negeri
Indonesia.Pelaksanaan politik luar negeri Indonesia harus didasarkan pada kepentingan nasional,
seperti pembangunan nasional, kemakmuran rakyat, kebenaran, serta keadilan.[20]
Pada tanggal 28 September 1966 Indonesia kembali menjadi anggota Perserikatan BangsaBangsa (PBB).Keputusan untuk kembali menjadi anggota PBB dikarenakan pemerintah sadar
bahwa banyak manfaat yang diperoleh Indonesia selama menjadi anggota pada tahun 19551964.Kembalinya Indonesia menjadi anggota PBB disambut baik oleh negara-negara Asia
lainnya bahkan oleh PBB sendiri.Hal ini ditunjukkan dengan dipilihnya Adam Maliksebagai
Ketua Majelis Umum PBB untuk masa sidang tahun 1974.Dan Indonesia juga memulihkan
hubungan dengan sejumlah negara seperti India, Thailand, Australia, dan negara-negara lainnya
yang sempat renggang akibat politik konfrontasi Orde Lama.
Repelita
Tahun
Tahap PJPT I
Pelita I
1969/70 1973/74
Pelita II
1974/75 1978/79
Pelita III
1979/75 1983/84
Pelita IV
1984/85 1988/89
Pelita V
1989/90 1993/94
Tahap PJPT II
Pelita VI
1994/95 1998/94
Tabel 2 Repelita
1.
Pembangunan jangka panjang I (PJPT I) meliputi 5 Pelita. Secara umum tujuan yang hendak
dicapai pada masing-masing Pelita adalah
Meningkatkan taraf hidup, kecerdasan, dan kesejahteraan seluruh rakyat, yang semakin
merata dan adil.
3.
Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
Menumbuhkan sikap dan tekad kemandirian manusia dan masyarakat Indonesia dalam
rangka meningkatkan koalitas sumberdaya manusia untuk mewujudkan kesejahteraan secara
lahir batin yang selaras adil dan merata.
4.
Membangun sistem politik yang demokrtis serta mempertahankan persatuan dan kesatuan.
Mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat landasan pembangunan yang
berkelanjuatan dan berkeadialan.
Sebelum Pelita ke VII terlaksana , sekitar tahun 1997, Indonesia dilanda krisis ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi terhenti dan taraf hidup mesyarakat menurun derastis serena banyak
terjadi PHK dan peningkatan pembangunan. Crisis ini terjadi karena akibat kelamahankelemahan penyelenggaraan negara di massa lalu, antara lain karena pelaksanaan pembanguanan
yang kurang merata antardaerah sehingga meningkatkan terjadinya kesenjangan pertumbuhan.
Hal ini mengakibatkan muncul gejala diintegrasi bangsa, terjadi konflik social, melemahnya
penegaka hukum dan HAM, kesejahteraan masyarakat berkurang, dan pembangunan di daerahdaerah kurang berkembang.
IV. Penutup
Pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto dari segi ekonomi dapat
dikatakan membangun perekonomian Indonesia pasca jatuhnya rezim Orde Lama yang juga
dibarengi dengan turunnya perekonomian pada masa akhir pemerintahan Orde Lama. Seoharto
pada masa Orde Baru yang menjadi presiden Republik Indonesia dijuluki sebagai Bapak
Pembangunan.Pembangunan di segala bidang yang khususnya pembangunan dalam bidang
perekonomian adalah salah satu kebijakan Soeharto yang paling menonjol.
Selama tahun 1964-1966, hiperinflasi melanda Indonesia dengan akibat lumpuhnya
perekonomian.Pemerintah Orde Baru di bawah pimpinan Jenderal Soeharto yang mulai
memegang kekuasaan pemerintahan pada bulan Maret 1966 memberikan prioritas utama bagi
pemulihan roda perekonomian.Sejumlah ahli ekonomi dari Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia ditarik sebagai penasehat ekonomi pemerintah, dan bebarapa di antaranya kemudian
menduduki jabatan penting dalam kabinet.Menjelang tahun 1969 stabilitas moneter sudah
tercapai dengan cukup baik, dan pada bulan April tahun itu Repelita I dimulai.Dasawarsa setelah
itu penuh dengan peristiwa-peristiwa penting bagi perkembangan ekonomi di
Indonesia.Perekonomian tumbuh lebih cepat dan lebih mantap dibandingkan dengan tahun-tahun
sebelumnya, pergeseran-pergeseran telah terjadi dalam struktur perekonomian dan
komposisioutput nasional.
Pembangunan ekonomi yang menekankan pertumbuhan dapat berjalan relatif efisien dengan
adanya kebijakan politik yang otoriter.Arus modal asing yang berelasi dengan modal dalam
negeri pada akhirnya dapat berkembang dengan pesat sehingga banyak mendorong pertumbuhan
ekonomi nasional secara makro.Ternyata di tengah arus penanaman modal yang besar, kalangan
pengusaha menengah ke bawah banyak yang tersisih. Sementara sistem pemerintahan yang
otoriter memungkinkan proses dan kebijakan tidak berlangsung secara transparan akibat
akuntabilitas yang rendah. Konsekuensi dari hal tersebut menyebabkan kebijakan dan
penanaman modal asing banyak diwarnai oleh nuansa kolusi dan korupsi yang potensial
menghancurkan sistem politik ekonomi Orde Baru.
Segala bentuk pembangunan pada masa Orde Baru mengisyaratkan bahwa hukum yang di buat
dalam sebuah periode pemerintahan dapat membawa dampak terhadap
pembangunan.Pembangunan nasional yang dilaksankan selama 32 tahun pada masa orde baru
merupakan implementasi produk hukum yang berlaku.
Pemerintah sebagai badan berwenang dalam menentukan dan memberlakukan kebijakan hukum
yang berlaku dalam pelaksanaan pembangunan berperan penting agar tujuan sebuah negara
tercapai sesuai dengan yang telah disebutkan dalam pem,bukaan UUD 1945.
Pada akhirnya, rezim orde baru dengan berbagai produk hukum yang dibuatnya telah membawa
bangsa Indonesia pada masa pembangunan nasional yang sangat signifikan dalam berbagai
bidang baik ekonomi, politik, social, dan budaya.
Referensi
Anne Booth dan Peter McCawley (ed). 1982. Ekonomi Orde Baru. Jakarta: LP3ES.
Arndt, H.W. 1994. Pembangunan Ekonomi Indonesia: Pandangan Seorang Tetangga.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Benu, Fredrik. 2002. Ekonomi Kerakyatan dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat: Suatu Kajian
Konseptual. Jurnal Ekonomi Kerakyatan, Th. I - No. 10.
Hariyono. 2003. Koperasi Sebagai Strategi Pengembangan Ekonomi Pancasila. Makalah
disampaikan pada Seminar Bulanan PUSTEP, UGM, Yogyakarta, 3 Juni 2003.
Hariyono.2006. Kebijakan Ekonomi di Awal Orde Baru Membuka Pintu Lebar-lebar bagi Modal
Asing. Jurnal Eksekutif, volume 3, nomor 3, Desember 2006: 306-313.
bulan Februari 1975, Pertamina tidak mampu lagi membayar pinjaman dari beberapa bank
Amerika dan Kanada. Informasi yang kelak dikeluarkan banyak menghilangkan nama baik elite
Indonesia di mata masyarakat Indonesia dan asing. Pemerintah mengambil alih Pertamina dan
berusaha membayar utang-utangnya, yang tercatat lebih dari US$ 10 milyar. Pertamina k
berada di bawah kendali pemerintah, namun dengan harga yang mahal (M.C. Ricklefs, 2008:
621).
1)
Pembangunan Indonesia Dari Masa Orde Lama, Orde Baru Sampai Era Reformasi, Afrizal
Ws Zaini,2008
<Https://Afrizalwszaini.Wordpress.Com/Makalah/Pembangunan-Indonesia-Dari-Masa-OrdeLama-Orde-Baru-Sampai-Era-Reformasi/>
2)
3)
4)
<Http://Rendysatriyo.Blogspot.Com/2013/05/Kebijakan-Pembangunan-EkonomiIndonesia.Html>
5)
6)
<id.wikipedia.org/wiki/Orde_Baru>
7)
<http://www.kpu.go.id/index.php/pages/detail/2014/10/PEMILU-1977-1997/MzQz>