Anda di halaman 1dari 10

EKONOMI KERAKYATAN DALAM DINAMIKA PERUBAHAN

Adi Sasono (*) (**)

Titik Balik Peradaban Manusia


Dalam bukunya berjudul "The Turning Point", Fritjof Capra menyampaikan bahwa
dewasa ini sedang dipertanyakan tentang otoritas pada tingkat global mengapa negara
dunia ketiga disebut sebagai "tertinggal" dari negara-negara industri. Apa kriteria
ketertinggalan itu, dari mana mengukurnya, dan siapa yang menentukannya.
Semakin banyak pemimpin negara ketiga yang memahami dengan jelas krisis
multidimensi yang dialami negara-negara di belahan bumi utara, dan menolak dengan
tegas usaha-usaha mereka untuk mengekspor masalah itu ke belahan bumi selatan.
Bahkan beberapa pemimpin negara ketiga mendiskusikan bagaimana negara-negara di
belahan bumi selatan mungkin mengurangi derajat ketergantungan dari belahan bumi
utara untuk membangun sendiri berbagai pola ekonomi dan teknologi kontekstual
yang cocok dengan masyarakat di belahan bumi selatan.
Bahkan beberapa telah mengusulkan perubahan definisi dari kata pembangunan
("development") yakni dari pembangunan produksi industri dan distribusi barang
menjadi pembangunan sumberdaya insani.
Pernyataan Capra itu bukan tanpa dasar. Teknologi sekali lagi memiliki peran dalam
mengubah peradaban manusia. Ketika dulu mesin-mesin produksi ditemukan di jaman
awal revoulsi industri, peradaban manusia mengalami perubahan besar-besaran.
Di jaman revolusi industri abad 16, kaum lelaki digiring untuk bekerja di pabrikpabrik dan dipaksa untuk mengikuti teknik tata-cara yang ditentukan dalam arus ban
berjalan ala Taylorism. Terminologi efisiensi menjadi ukuran produktivitas setiap
pekerja. Efiesiensi yang diukur berdasarkan kesuksesan arus ban berjalan yang
mengorbankan harkat kreativitas kemanusiaan, karena gerak-gerik manusia dipaksa
untuk mengikuti gerakan mesin demi azas efisiensi. Efisiensi diukur dari menekan
serendah mungkin ongkos bahan baku, ongkos teknologi produksi, dan ongkos tenaga
pekerja. Terminologi kelas pemilik yang menghendaki efisiensi setinggi mungkin atas
dasar menekan serendah mungkin ongkos tenaga kerja menjadi pola interaksi antar
manusia yang timpang dan menindas.
Sementara kaum lelaki harus mengabdi kepada pemilik pabrik, kaum perempuan
didomestikkan untuk bertanggung-jawab di sektor rumah tangga, tanpa digaji.

Sumbangan kaum perempuan kepada keseluruhan efisiensi sistem tidak pernah


diperhitungkan. Menyusul subordinasi kaum pekerja kepada pemilik pabrik,
subordinasi kaum perempuan terhadap kaum lelaki secara ekonomis juga terjadi.
Penindasan multilevel terjadi sebagai akibat revolusi industri yang didorong oleh
berbagai penemuan sains dan teknologi produksi pada saat itu.
Sejarah, kini, kembali menawarkan pencerahan baru. Revolusi teknologi informasi
menjanjikan struktur interaksi kemanusiaan yang lebih baik, lebih adil, dan lebih
efisien.
Revolusi informasi global adalah keberhasilannya menyatukan kemampuan
komputasi, televisi, radio dan telefoni menjadi terintegrasi. Hal ini merupakan hasil
dari suatu kombinasi revolusi di bidang komputer personal, transmisi data dan
kompresi, lebar pita (bandwitdh), teknologi penyimpan data (data storage) dan
penyampai data (data access), integrasi multimedia dan jaringan komputer.
Konvergensi dari revolusi teknologi tersebut telah menyatukan berbagai media, yaitu
suara (voice, audio), video, citra (image), grafik, dan teks.
Teknologi informasi telah, sedang dan akan merubah kehidupan umat manusia dengan
menjanjikan cara kerja dan cara hidup yang lebih efektif , lebih bermanfaat, dan lebih
kreatif. Sebagaimana dua sisi, baik dan buruk, dari suatu teknologi, teknologi
informasi juga memiliki hal yang demikian. Beberapa pertanyaan dan pernyataan
berikut bisa memberikan pertimbangan kemana seharusnya teknologi ini diarahkan
dan ditempatkan dengan sebenar-benarnya, dan apabila keliru, suatu bangsa akan
mengalami akibatnya secara fatal:

Sifat ambivalen teknologi informasi oleh Andrew Feenberg dinyatakan dalam


dua prinsip yang menjelaskan implikasi sosial dari pengembangan teknologi
ini, yakni "principle of the conservation of hierarchy" sekaligus juga "principle
of subversive rationalism". Prinsip yang pertama bermakna bahwa hirarki
sosial yang ada dipertahankan oleh teknologi tersebut, dan bahkan diperkuat
lagi. Suatu contoh disini adalah komputerisasi manajerial yang memperkuat
kontrol terhadap bawahan oleh para pemilik modal untuk lebih mengefisienkan
para pekerjanya. Sementara prinsip kedua meyakini bahwa teknologi baru
sering membuka peluang bagi perubahan hirarki sosial yang ada di masyarakat
sehingga mendorong terjadinya demokratisasi.

Tempat dimana komputer akan berperan dalam kehidupan sosial sangat


tergantung secara erat dengan rancangan sistemnya. Sistem yang dirancang
untuk alat kontrol hirarkis adalah sejalan dengan asumsi rasional bahwa
komputer bisa terancam fungsinya sebagai alat otomasi yang ditujukan untuk
memerintah atau bahkan mengganti posisi pekerja dalam pengambilan

keputusan. Sebaliknya sistem yang dirancang secara demokratis akan merespon


dimensi komunikatif dari komputer sehingga bisa memfasilitasi kemandirian
organisasi-organisasi masyarakat. Demikian pandangan Winograd dan
Flores yang menyebutnya dengan "ontological designing".

Hirschhorn menjelaskan potensi komputer dengan mengontraskannya dengan


pandangan para Taylorist. Kalau Taylorism membatasi dan bahkan menindas
gerak anggota badan manusia pekerja untuk mengikuti sistem ban berjalan
demi efisiensi, komputer memiliki prinsip fleksibelitas yang menciptakan
konsepsi pekerjaan dimana kapasitas pekerja untuk belajar, untuk beradaptasi,
untuk meregulasi kontrol yang berkembang menjadi sentral dari pengembangan
potensi sistem mesin itu sendiri.

Zuboff berargumentasi, dalam arah yang sejalan dengan argumentasi Marx


yang mengkongkritkan evaluasinya tentang biaya tinggi dari sistem manajemen
otoriter. Ia menunjukkan bahwa komputer dengan sifat ambivalennya dapat
berperan dalam pembangunan masyarakat alternatif. Otomatisasi meningkatkan
otonomi manajemen hanya dengan sedikit ongkos melalui terciptanya ruanggerak para pekerja, dimana ruang gerak tersebut justru membuka peluang untuk
meningkatkan kualitas kerja individu secara terarah. Pandangan ini dinyatakan
Zuboff dengan : "Design teknologi sekaligus menyangkut asumsi-asumsi yang
dapat mengundang atau meniadakan kontribusi insani".

Andrew Fernberg mengingatkan kembali sejarah pemisahan lapisan tenaga


kerja menjadi "manual workers" versus "sacred readers" yang kini digugat
kembali. Strategi otomatisasi yang memanfaatkan kemampuan komputer dalam
komunikasi akan menurunkan perbedaan yang menyolok antara pekerja mental
(intelektual, politisi, pemuka agama, dll.) dengan pekerja manual (buruh, logi
baru karyawan, dll.). Bentuk-bentuk norma sosial yang baru akan bertumbuhan
di seputar penerapan teknologi baru, yang akan menjadi medium bagi proses
demokratisasi kemandirian organisasi.

Teknologi informasi mengaburkan batas-batas tradisional yang membedakan bisnis,


media dan pendidikan. Teknologi informasi juga mendorong pemaknaan ulang
perdaganagn dan investasi. Revolusi ini secara pasti merasuki semua aspek
kehidupan., pendidikan, segala sudut usaha, kesehatan, entertainment, pemerintahan,
pola kerja, perdagangan, pola produksi, bahkan pola relasi antar masyarakat dan antar
individu. Dewasa ini sedang diributkan seputar politik dan kontrol terhadap teknologi
yang terus tumbuh ini. Suatu hal yang merupakan tantangan bagi semua bangsa,
masyarakat dan individu.

Pada dasarnya, teknologi yang memungkinkan dan memudahkan manusia saling


berhubungan dengan cepat, mudah, dan terjangkau memiliki potensi untuk
mendorong pembangunan masyarakat yang demokratis. Teknologi semacam ini harus
dimiliki oleh rakyat untuk membantu rakyat mengorganisir diri secara modern,
efisien, sehingga pada gilirannya rakyat yang mendapat manfaat tersebar dari proses
berekonomi dan bermasyarakat.

Dorongan Pasar Bebas dan Globalisasi (Global Market Driven Forces):


Revolusi teknologi informasi telah memberikan kekuatan yang sangat besar dalam
merubah paradigma kemanusiaan. Diantaranya yang paling cepat mengadopsi
perubahan paradigma itu adalah dunia usaha dan perekonomian global.Gelombang
reformasi dan demokrasi yang kita hadapi sesungguhnya hanyalah konsekuensi dari
perubahan di dalam fundamen yang menyokong ekonomi dunia. Perubahan itu terjadi
akibat dari berlangsungnya 3 faktor yang membentuk kembali dunia perdagangan
internasional. Ketiga faktor tersebut adalah internasionalisasi komoditi,
transnasionalisasi modal dan globalisasi informasi . (Lihat Gambar A).
Suatu komoditi saat ini diciptakan berdasarkan sumbangan dari seluruh penjuru
dunia. Perluasan produksi komoditi itu berarti perluasan produksi dunia. Inilah yang
dimaksud dengan internasionalisasi komoditi yang membawa akibat kepada
meluasnya penggunaan mata uang dunia (US dollar). Dari Gambar A, proses
internasionalisasi komoditi sejak tahun 1950 1990 telah tumbuh sekitar 20%.
Manakala suatu komoditi dihasilkan dengan cara menggabungkan berbagai produk
dari seluruh dunia, penggabungan itu akan terjadi juga kepada salah satu faktor
produksinya, yaitu modal. Produksi tidak lagi melibatkan tenaga kerja diseluruh
dunia, pada akhirnya ia juga melibatkan modal dari berbagai bangsa.
Transnasionalisasi modal ini menyebabkan modal amat likuid, dengan cepat bergerak
dari satu tempat ke tempat lain.
Pada suatu saat modal menjadi anonim, siapa pemiliknya tidak jelas diketahui dan
pemanfaatannya pun lepas dari preferensi individual. Dibanding tahun 1950an, modal
transnasional telah naik menjadi lebih 160% pada tahun 1990-an.
Modal jenis inilah yang yang telah merontokkan mata uang negara-negara Asia
Selatan. Modal ini datang dan pergi hanya untuk satu alasan: keuntungan.
Faktor penentu ketiga adalah globalisasi informasi, yaitu penyebaran akses dan
produksi informasi keseluruh dunia. Informasi bisa diakses dan dimiliki oleh siapa

saja dan dimana saja di dunia ini. Perkembangan lintas batas informasi adalah yang
tercepat. Sampai ketika Internet ditemukan, sekitar tahun 1990 globalisasi informasi
telah naik 200% dibanding tahun 1950an. Dengan semakin luasnya pemakaian
Internet globalisasi informasi naik entah berapa kali lipat, only sky is the limit.
Ketiga kecenderungan inilah yang membentuk ulang dunia tempat hidup kita
sekarang. Dan salah satu faktor penentu, modal transnasional, telah membuktikan
kekuatannya tatkala memicu runtuhnya perekonomian Indonesia.
Maka proses reformasi, dimana demokratisasi menjadi pegangan utamanya, yang
sedang kita lakukan sekarang ini, tidak lain hanyalah langkah awal dari perubahan
yang perlu dan harus kita lakukan demi menyiasati perubahan bukan saja di
lingkungan internal, bahkan juga di lingkungan global.

Indonesia Menghadapi Tantangan Rekolonisasi


Ketiga aspek proses globalisasi akan mendapatkan kekuatan yang sangat dahsyat dari
revolusi teknologi informasi dan komunikasi, seperti telah disampaikan sebelumnya,
yang mewujud dalam teknologi Internet. Dalam masa 10 tahun ke depan kemajuan
Internet, dengan tingkat perkembangan yang ada, akan merubah hampir semua aspek
kehidupan -- pendidikan, perawatan kesehatan, kegiatan kerja dan pengisian waktu
luang.
Internet menawarkan peluang yang sangat luar-biasa, yang tidak seluruhnya positif.
Dari sisi positif, Internet dapat menjadi alat demokratisasi yang ampuh. Internet
mampu memberikan sekaligus 2 hal yang menjadi inti demokrasi: kemampuan
memilih dan kemampuan mewujudkan pilihan.
Di sisi lain, Internet juga membuka peluang luarbiasa bagi lahirnya bentuk penjajahan
baru. Suatu penjajahan yang bertujuan penguasaan ekonomi melalui pengendalian dan
penguasaan informasi.
Kenyataan yang kita hadapi memang luar biasa pahit. Lewat perjuangan keras pada
Agustus 1945 kita berhasil melepaskan diri dari kolonialisme Belanda. Sekarang,
setelah lebih dari 50 tahun merdeka ternyata kita masih harus menyembah untuk belas
kasihan pemodal asing. Sekarang, tatkala kita ingin bangkit, kita seakan kembali
terperangkap ke dalam koridor sempit yang mengerdilkan kemartabatan dan
kemandirian kita.

Pokok-pokok Pikiran Ekonomi Kerakyatan


Landasan bagi kebijakan ekonomi di masa depan harus disusun menurut perspektif
menyeluruh atas kekuatan-kekuatan yang membentuk kondisi kita sekarang ini.
Kondisi objektif itu dapat diringkaskan dalam pokok-pokok pikiran berikut ini:
1. Segala bentuk korupsi yang menyebabkan biaya transaksi tinggi terjadi sebagai
akibat dari sistem yang tertutup dan protektif. Tanpa kelembagaan yang
memiliki derajat accountability danpredictability yang tinggi, perekonomian
akan tumbuh sebagaimana disinyalir oleh Schumpeter "Kapitalisme dalam
tenda oksigen". Apa yang terjadi dibalik tenda tidak sungguh-sungguh nyata.
Pertumbuhan ekonomi tidak lebih dari ilusi belaka. Apabila kelembagaan
demokratis gagal mengendalikan keserakahan penguasa, semua mimpi pada
waktunya akan sirna.
2. Pengusaha-pengusaha yang tangguh tidak dilahirkan dari rekayasa atau sistem
preferensi. Hanya pergulatan dalam pasar yang akan memberikan kita
industrialis dan pengusaha yang dapat kita banggakan. Sistem preferensi hanya
akan mengukuhkan eksistensi elit dan mengekalkan sistem proteksi, yang
dalam jangka panjang justru merusak sendi-sendi ekonomi dan demokrasi
masyarakat kita.
3. Kenaikan standar hidup rakyat harus dilihat sebagai bagian pembentukan
modal nasional (capital accumulation). Ini berarti tujuan pokok dan terusmenerus dari kebijaksanaan ekonomi kita adalah peningkatan purchasing power
dari rakyat. Pelajaran ini sangat penting, bahwa di masa depan kekukuhan
ekonomi nasional harus ditemukan di dalam potensi besar yang dimiliki
masyarakat luas, yaitu usaha kecil dan menengah.
4. Krisis Ekonomi 1997-1998 menunjuk kepada pentingnya memperhitungkan
kekuatan eksternal yang semata bekerja menurut hukum ekonomi pasar,
dan indifferent terhadap dampak kepada kemanusiaan. Kekuatan modal yang
menyerbu pasar uang Asia Selatan amatlah besar dan tidak pernah ada preseden
sebelumnya menyangkut pengerahan dana sebanyak itu. Parafund
managers yang berada dibalik pengerahan dana besar-besaran itu berhasil
mengeruk keuntungan amat besar dengan meninggalkan ribuan industri
bangkrut dan jutaan pengangguran baru.
5. Fokus kebijaksanaan ekonomi adalah usaha kecil/menengah. Kalau kita
menuntut pemerintah menaruh fokus kepada usaha kecil/menengah bukanlah
karena kita ingin menciptakan sistem preferensi baru. Dengan menaruh
perhatian kepada UKM tidak berarti pemerintah bertindak unfair, sehingga
dikhawatirkan nantinya bakal mendistorsi pasar. Substansi pokok ilmu ekonomi
adalah memperbesar manfaat (utility). Manfaat adalah value, yang dalam ilmu

ekonomi adalah subjektif. Bagi seorang petani desa, pendapatan Rp.1 juta
sudah cukup untuk mencetak 5 anaknya menjadi sarjana. Tetapi uang sebesar
ini bagi seorang konglomerat, barangkali hanya cukup untuk sekali makan
siang.
6. Persoalan yang juga akut menyangkut pengembangan usaha kecil dan
menengah adalah terjebaknya usaha kecil dan menengah di dalam kelumpuhan
sumberdaya Keadaan mereka yang miskin, ketakpastian dan resiko yang tinggi
praktis telah mengasingkan mereka dari sumber-sumber modal, keahlian,
informasi dan peluang bisnis. Tidak seluruh kelemahan usaha kecil/menengah
berasal dari kelemahan internal mereka. Kesalahan kebijakan yang melahirkan
konsentrasi kekuasaan dan ekonomi mempunyai andil yang tidak kecil atas
keterpurukan UKM. Modal, keahlian, informasi dan pasar adalah komoditi
ekonomi yang senantiasa bergerak menuju lokasi dengan potensi keuntungan
tertinggi. Selama kebijakan tidak memberiadvantage kepada UKM, semua
sumberdaya itu hanya akan bergerak ke arah usaha besar. Hanya dengan
memberi advantage kepada UKM maka kesenjangan dapat dijembatani.
7. Fokus kebijaksanaan ekonomi kepada Usaha Kecil Menengah merupakan suatu
keharusan apabila kita memperhatikan mereka adalah mayoritas pelaku usaha
di Indonesia seperti tercermin dalam data berikut. Data BPS Desember 1998
menunjukkan bahwa terdapat 39,8 juta pengusaha di Indonesia, dimana 99,8%
adalah pengusaha kecil dan hanya 0,2% pengusaha besar dan menengah. Dari
jumlah 39,8 juta diatas, komposisi sektoral adalah pertanian 62,7%,
perdagangan, perhotelan dan restauran 22,67%, Industri 5,7% dan Jasa sebesar
3,9%. Dari komposisi volume usaha sejumlah 99,85% volumeusahanya
dibawah 1 miliar, 0,14% diantara 1-50 miliar, dan 0,01% yang diatas 50 miliar.
Dari komposisi penyerapan tenaga kerja, kelompok pertama tersebut menyerap
88,66%, kelompok kedua menyerap 10,78% dan yang ketiga menyerap 0,56%
8. Apakah kebijaksanaan serupa itu akan mendistorsi pasar? Distorsi adalah
keadaan ketika pelaku ekonomi keliru menafsirkan sinyal pasar. Ketika
seharusnya ia membeli, malah menjual. Sebaliknya, saat seharusnya ia menjual
malah membeli. Distorsi tidak disebabkan oleh policy, betapa pun
buruknya policy itu. Distorsi ditimbulkan oleh ketidak-terbukaan. Kebijakan
apapun kalau dibuat dan dijalankan secara tertutup akan menyebabkan distorsi.
Keadaan ini terjadi akibat ada informasi yang asymmetric, sebagian orang tahu
sementara yang lain tidak tahu. Akibatnya sebagian pelaku akan bertindak
optimal sementara yang lain tidak. Jadi, masalahnya bukankah kebijaksanaan
apa, tetapi apakah semua orang punya informasi yang sama?

Ekonomi Jaringan sebagai dasar Ekonomi Rakyat


Ekonomi Jaringan adalah antitesa dari paradigma ekonomi konglomerasi berbasis
produksi masal ala Taylorism, dan sekaligus sintesa dari ketiga faktor yang telah
dijelaskan diatas, yaitu realitas bangsa yang mayoritas pelaku usahanya adalah usaha
kecil menengah, faktor pendorong global dan pasar bebas, serta dorongan revolusi
teknologi informasi.
Memperhatikan berbagai faktor internal dan eksternal seperti dijelaskan sebelumnya,
maka ekonomi kerakyatan perlu dipahami secara komprehensif, tidak sepotongsepotong, dalam sebuah kerangka "close-circuit economy" yang sesuai dengan
perkembangan paradigma baru masyarakat yang holistik. Secara singkat, ekonomi
kerakyatan dapat dijelaskan sebagai:

ekonomi jaringan yang menghubung-hubungkan sentra-sentra inovasi,


produksi dan kemandirian usaha masyarakat ke dalam suatu jaringan berbasis
teknologi informasi, untuk terbentuknya jaringan pasar domestik diantara
sentra dan pelaku usaha masyarakat,

suatu jaringan yang diusahakan untuk siap bersaing dalam era globalisasi,
dengan cara mengadopsi teknologi informasi dan sistem manajemen yang
paling canggih sebagaimana dimiliki oleh lembaga-lembaga bisnis
internasional, dengan sistem kepemilikan koperasi dan publik.

Jaringan tersebut menerapkan sistem open consumer society cooperatives


(koperasi masyarakat konsumen terbuka), dimana para konsumen adalah
sekaligus pemilik dari berbagai usaha dan layanan yang dinikmatinya, sehingga
terjadi suatu siklus kinerja usaha yang paling efisien karena pembeli adalah
juga pemilik sebagaimana iklan di banyak negara yang menganut sistem
kesejahteraan sosial masyarakat (welfare state) dengan motto: "belanja
kebutuhan sehari-hari di toko milik sendiri".

Ekonomi jaringan ini harus didukung oleh jaringan telekomunikasi, jaringan


pembiayaan, jaringan usaha dan perdagangan, jaringan advokasi usaha,
jaringan saling-ajar, serta jaringan sumberdaya lainnya seperti hasil riset dan
teknologi, berbagai inovasi baru, informasi pasar, kebijaksanaan dan intelejen
usaha, yang adil dan merata bagi setiap warga-negara, agar tidak terjadi

diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu yang disudutkan sebagai beban


pembangunan seperti yang terjadi selama Orde Baru.

Pada akhirnya, Ekonomi jaringan adalah suatu perekonomian yang


menghimpun para pelaku ekonomi, baik itu produsen, konsumen, services
provider, equipment provider, cargo, dsb di dalam jaringan yang terhubung baik
secara elektronik maupun melalui berbagai forum usaha yang aktif dan
dinamis.

Paradigma Networked Economy (Ekonomi Jaringan) dalam era globalisasi tidak bisa
dihindari. Sukses Ekonomi Rakyat adalah Indonesia harus memiliki Ekonomi
Jaringan sebelum tahun 2003. Semoga.

Penutup

Solow, Dertouzos dan Lester dari MIT , ketika memimpin Komisi Produktivitas
Industri Amerika, yang salah satu laporannya dimuat dalam buku berjudul "Made in
America", kembali mengingatkan kita bahwa apabila suatu banga ingin hidup secara
baik, maka bangsa itu harus berproduksi secara baik. Karena kalau tidak demikian,
maka bangsa itu harus menanggung defisit akibat ketidak-setaraan dalam perdagangan
antar bangsa.
Komisi Produktivitas Industri Amerika ini dibentuk karena desakan berbagai produk
Jepang yang membanjiri Amerika dengan kualitas dan harga bersaing. Pabrik-pabrik
Amerika dianggap tidak efisien, kelompok pekerja yang diperlakukan kurang baik dan
kurang terperbaharui pengetahuan dan ketrampilannya, manajer dianggap sangat
oportunistik karena mengejar hasil jangka pendek ketimbang memperjuangkan tujuan
fundamental jangka panjang.
Amerika telah memberi contoh bagaimana strategi ekonomi yang diterapkan dalam
melindungi pasar domestik untuk kepentingan produksi dalam negeri dengan cara
meningkatkan produktivitas dan kualitas produk-produk untuk bersaing secara
kompetitif dengan produk negara lain, bukan dengan cara proteksi yang mematikan.
Untuk menuju kesana. Langkah awal yang harus dilakukan adalah perhatian kepada
mayoritas pelaku usaha, yakni usaha kecil menengah dan koperasi. Perhatian ini pada
kenyataannya harus menyangkut pembenahan dalam banyak hal, mulai dari
infrastruktur telekomunikasi, infrastruktur pembiayaan, dan infrastruktur usaha
lainnya, ketersediaan sumberdaya manusia yang kreatif, ketersediaan riset dan
teknologi yang bervariasi sesuai tuntutan usaha kecil menengah, ketersediaan

dukungan untuk membentuk jaringan pasar domestik yang menjadi incaran pelakupelaku usaha internasional, dll. merupakan isu sentral dari usaha demokrasi ekonomi
saat ini.
Ekonomi kerakyatan berbasis ekonomi jaringan harus mengadopsi teknologi tinggi
sebagai faktor pemberi nilai tambah terbesar dari proses ekonomi itu sendiri. Faktor
skala ekonomi dan efisiensi yang akan menjadi dasar kompetisi bebas menuntut
keterlibatan jaringan ekonomi rakyat, yakni berbagai sentra-sentra kemandirian
ekonomi rakyat, skala besar dengan pola pengelolaan yang menganut model siklus
terpendek dalam bentuk yang sering disebut dengan "pembeli adalah juga pemilik".
Dengan keyakinan ini,
Masyarakat Indonesia baru akan memasuki era globalisasi dengan cara-cara yang
elegan dan kompetitif sebagaimana suatu korporasi "New Indonesia Incorporated".

(*) disampaikan pada:


KONFERENSI INTERNASIONAL
EKONOMI JARINGAN: MENUJU DEMOKRATISASI EKONOMI DI INDONESIA

Hotel Shangri-La, 6-7 Desember 1999, Jakarta, Indonesia


Yang diselenggarakan oleh: PERNetworks dan INDONESIA BANGKIT
(**) Ketua

Perhimpunan INDONESIA BANGKIT

Sumber :
http://www.unhas.ac.id/rhiza/arsip/makalah/adisas.html

Anda mungkin juga menyukai