Anda di halaman 1dari 4

NALAR TOLERANSI PADA PEMBELAJARAN BILANGAN DAN ANGKA.

PENGANTAR
Berbagai research tentang pendidikan toleransi dari berbagai rumpun:
Toleransi menjadi barang langka atau seolah-olah sulit ditemukan di keseharian
kehidupan masyarakat kita sebagai sebuah bangsa yang majemuk. Pemberitaan
diberbagai media semakin memperkuat asumsi bahwa kemajemukan masyarakat yang
syarat akan nilai budaya mengkerucut ke satu titik kritis di mana rasa salaing percaya dan
saling hormat menghormati kini sudah terkikis.
Fakta lain yang mengkukuhan bahwa toleransi telah terkikis adalah lahirnya banyak
research tentang toleransi di tengah kemajemukan kehidupan bermasyarakat dan
pendidikan toleransi menjadi hal yang diharuskan ke dalam kurikulum pendidikan
nasional [1]. Jika toleransi merupakan sesuatu yang telah membudaya dan mengakar
dalam kehidupan masyarakat, maka fakta pendukung tersebut perlu dipertanyakan untuk
kepentingan apa serta siapa?.
Hal yang paling mengkhawatirkan adalah bagaimana mungkin kesadaran hidup
bertoleransi dengan mudah terlepas dari akal komunitas masyarakat kita yang terbiasa
hidup dalam bingkai perbedaan bertahun-tahun lamanya ketika dihadapkan dengan
serangkaian isu atau pemberitaan yang cenderung propokatif. Isu-isu tentang agama dan
keyakinan menjadi bahan bakar utama penggerak hilangnya rasa saling percaya dan
saling hormat serta toleransi di antara masyarakat kita.
Tindakan intoleransi di beberapa daerah
Terjadinya kerusuhan diberbagai daerah yang akhir-akhir ini sering terjadi dan bahkan
telah lama terjadi (seolah-olah dibiarkan terjadi), misalnya kerusuhan Tolikara Papua
yang baru-baru ini menjadi pemberitaan diberbagai media dan menyulut rasa simpati
serta reaksi ribuan muslim dari berbagai basis organisasi Islam merupakan fenomena
sederhana adanya masalah dengan toleransi dalam kehidupan bermasyarakat. Bahkan,
ketua umum MUI menghimbau bahwa Intoleransi adalah musuh bersama [OkeZone,
Minggu 26/07/2015].
Kejadian di Tolikara Papua merupakan contoh kecil cenderung besar dari perlunya
focus dan perenungan kembali tentang toleransi diantara kita. Di beberapa daerah atau
mungkin bahkan di daerah kita, seiring jalannya waktu akan mencapai titik yang sama,
titik rendahnya nilai toleransi diantara masyarakat. Bagaimana proses ini akan

berlangsung, pandangi saja generasi-genari muda kita, tidak hanya di level pekerja di usia
muda, bahkan Mahasiswa dan pelajar pun seperti gagap mengartikan setiap perbedaan
yang muncul di antara mereka. Perbedaan kecil dan tidak substatif mampu menjadikan
nalar hidup bertoleransi diantara mereka tersudutkan, terjadilah tindakan yang bersifat
intoleran di lingkungan kampus terhadap sesame mahasiswa, tawuran sebagai symbol
maskulin di antara pelajar, mencederai sesame karena hal yang sederhana.
Sudut pendidikan toleransi di lingkungan sekolah
Di lingkungan lembaga pendidikan formal, pendidikan toleransi menjadi alternative
solusi atas menyebarnya paham radikal. Tidak hanya dalam konteks keagamaan dan
social, pendidikan atau nilai-nilai toleransi menjadi sesuatu yang harus dilibatkan disetiap
proses pembelajaran. Bahkan, di beberapa lembaga pendidikan memuat menu
pendidikan toleransi secara khusus.
MATEMATIKA DAN SAINS
Pembelajaran Matematika tingkat SD s.d PT
Adanya spesifikasi formula pendidikan toleransi di lembaga pendidikan menjadikan
pembelajaran toleransi sebagai sesuatu yang terpisah dari disiplin ilmu lainnya. Padahal,
jika kita amati dan mau untuk memahami, nilai toleransi dapat kita temui dihampir semua
disiplin ilmu. Misalkan pada pembelajaran Matematika yang terkesan ekstrim dan jauh
dari nilai-nilai humanis, nilai toleransi telah terkandung dalam pembelajaran matematik
sejak level Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi.
Sedikit makna toleransi pada pembelajaran matematika (Angka dan Bilangan)
Ambil contoh pada proses pembelajaran matematika dengan tema angka dan
bilangan. Sebagian besar dari kita ketika berbicara tentang matematika, asumsi umum
yang telah tersimpan dalam memori kita adalah Bilangan dan angka. Matematika adalah
disiplin ilmu tentang berhitung, berhitung bilangan atau angka. Hal ini sangat
menggelisahkan matmatikawan atau praktisi matematika, sehingga wajar jika kegelisahan
tersebut muncul pada benak prof. Iwan Pranoto (pada tweet) ketika beliau mendapati
pengertian matematika dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang mencantumkan
bahwa matematika adalah ilmu tentang bilangan, hubungan antara bilangan, dan prosedur
operasional yang digunakan dalam penyelesaian masalah mengenai bilangan. Bagi
beliau, Matematika adalah kegiatan berkesenian dalam bernalar guna merumuskan
kesimpulan. Jadi, Matematika tidak hanya sekedar berhitung, berhitung hanya bagian dari
matematika, matematika tentang aktivitas bernalar, merenungi dan memahami secara

logis suatu fenomena guna mendapatkan pelajaran atau kesimpulan dari fenomena
tersebut.
Pada pembelajaran matematika mengenai bilangan dan angka, tersimpan dasardasar toleransi yang cukup mengagumkan. Pada level sekolah dasar, kita diajarkan bahwa
angka dan bilangan merupakan dua hal yang berbeda. Angka adalah lambing bilangan.
Karenanya, kita dapat mengoperasikan beberapa bilangan, tapi kita tidak dapat
mengoperasikan angka. Angka hanya perwujudan simbolik suatu bilangan. Dan bilangan
itu sendiri merupakan konsepsi ide untuk menggambarkan suatu unit.
Misalkan pada bilangan satu, di level sekolah dasar, kita dikenalkan pada
simbol 1 (notasi hindu-arab) dan I (notasi romawi). Angka sangat mungkin berbeda untuk
menuliskan suatu bilangan, namun tetap berada pada substansi yang sama. Di level yang
lebih tinggi, setelah kita mempelajari objek matematika, begitu banyak kita jumpai
ekspresi atau mungkin pernyataan yang menyatakan bilangan satu, misalnya
2

x =x dimana

x> 0 , lim
x 0

sin x
0
, a
x

untuk a R , dan masih banyak lagi

bentuk lainnya.
Pada kasus seperti di atas, jika kita hanya bersikeras pada kerangka berpikir
bahwa

A= A A A

(A adalah A dan bukan A tidak sama dengan A) atau lebih

dikenal dengan istilah konsep identitas dalam metode dan postulat matematika, maka

perlu ketelitian didalamnya agar dapat menerima pernyataan bahwa

lim

x 0

sin x
=1
.
x

Secara sederhana fakna ini menyatakan bahwa nilai suatu kebenaran sangat mungkin
muncul dalam ekspresi (simbolisasi) yang berbeda. Intoleransi muncul dari
kecenderungan pemikiran bahwa yang paling benar adalah kelompoknya yang identik
dengan simbol-simbol tertentu dan menafikan kebenaran dalam bentuk ekspresi yang
berbeda.
Pada kasus lainnya, konsep pengawetan persamaan (preservation of equality)
sangat diperlukan dalam pemahaman kehidupan keseharian kita. Konsep preservation of
equality dalam metode dan postulat matematika menyatakan bahwa jika

A=B , maka

f ( A ) =f ( B) . Konsep tersebut menyampaikan gagasan bahwa pada kasus tertentu, jika


suatu kejadian atau keadaan
suatu aturan f

sama dengan kondisi pada B , maka jika diterapkan

atau rumusan tertentu pada keduanya menghasilkan hasil

yang

tetap sama dengan hasil B . Hal ini tentu saja sangat bergantung pada aturan yang
ditentukan atau diberikan. Misalkan
pada

x , maka akan berlaku

x=2 , jika diberikan aturan ( f ) ditambahkan 3

x+ 3=2+3 , sehingga 2 harus ditambahkan 3 agar tetap

=. Konsep ini menyampaikan gagasan bahwa kedua hal yang telah memiliki substansi
yang sama, meski dalam ekspresi yang berbeda, maka akan menghasilkan sesuatu yang
tetap dapat ditemui kesamaannya pada hasil yang diperoleh.
Konsep preservation of equality membekali kita suatu pemahaman bahwa dalam
keseharian kita,
SINTESA
Sebuah Tanya dan anekdot Agama Islam.

Anda mungkin juga menyukai