Anda di halaman 1dari 5

SEJARAH KERAJAAN MEMPAWAH

Berawal Dari Bangkule Rajank


Kerajaan Mempawah banyak dikenal orang karena pemerintahan raja Opu Daeng
Menambon pada 1737-1761. Namun, kerajaan ini sebelumnya sudah ada jauh
sebelumnya, sekitar 1380
Pusat pemerintahan Kerajaan Mempawah pertama kali berdiri di pegunungan
Sadaniang. Kerajaan yang terkenal pada saat itu adalah kerajaan suku Dayak,
yang dipimpin oleh Raja Patih Gumantar.
Nama kerajaannya adalah Bangkule Rajank, dengan ibukota yang ditetapkan di
Sadaniang. Kerajaan tersebut lebih terkenal dengan nama kerajaan Sadaniang,
yang menjadi pusat pemerintahan pada saat itu.
Kejayaan kerajaan Bangkule Rajank membuat Kerajaan Suku Biaju (Bidayuh) di
Sungkung ingin menguasainya. Perangpun timbul untuk merebut kekuasaan dari
tangan Patih Gumantar.
Peperangan kala itu dilakukan dengan cara Kayau (memenggal kepala manusia).
Serangan yang tiba-tiba dari kerajaan Bidayuh, membuat Patih Gumantar
mengalami kekalahan. Raja yang terkenal gagah berani itu, meninggal akibat
terkayau oleh lawannya.
Sejak kematian Patih Gumantar, perlahan-lahan kerajaan Bangkule Rajank
mengalami kehancuran. Namun, kerajan ini bangkit kembali sekitar 1610 di
bawah pimpinan Raja Kudong.
Kerajaan yang baru terisi oleh Raja Kudong setelah terjadinya perang Kayau,
merupakan kepemimpinan baru yang bukan berasal dari keturunan Patih
Gumantar. Ia memindahkan pusat pemerintahan kerajaan ke Pekana (sekarang
dinamakan Karangan).
Pengganti Raja Kudong adalah Raja Senggaok yang lebih dikenal sebagai
Panembahan Senggaok. Pusat pemerintahanpun berpindah lagi ke Senggaok
(hulu sungai Mempawah). Raja ini menikahi seorang putri Raja Qahar dari
kerajaan Baturizal Indragiri, Sumatera, yang bernama Puteri Cermin.
Ketika mereka menikah, seorang tukang nujum meramal kehidupan mereka.
Tukang nujum mengatakan, bila Panembahan Senggaok dan Puteri Cermin
melahirkan seorang putri, maka kerajaan nantinya akan diperintah oleh raja
yang berasal dari kerajaan lain.
Hasil pernikahan tersebut melahirkan seorang anak perempuan yang dinamai
Mas Indrawati. Ketika putri mahkota beranjak dewasa, ia menikah dengan Sultan
Muhammad Zainuddin dari kerajaan Matan (Ketapang).
Mas Indrawati melahirkan seorang putri yang berparas cantik. Sultan Muhammad
Zainuddin menamai anaknya itu Putri Kesumba, yang akhirnya menikah dengan
Opu Daeng Menambon.

Raja Seorang Pelaut


Opu Daeng Menambon bukanlah orang Kalimantan asli. Ia beserta empat orang
adiknya berasal dari kerajaan Luwu di Sulawesi Selatan. Mereka terkenal sebagai
pelaut yang handal dan merantau keluar dari tanah kelahirannya.
Lautan yang mereka arungi antara lain Banjarmasin, Betawi, berkeliling hingga
Johor, Riau, Semenanjung Melaka. Selama mengarungi lautan, mereka banyak
membantu kerajaan-kerajaan kecil yang mengalami kesulitan.
Bantuan yang mereka lakukan tersebut berbentuk membantu kerajaan kecil
berperang, baik perang saudara maupun diserang oleh kerajaan lain. Seringnya
mereka memenangi peperangan mengakibatkan mereka dikenal banyak orang
dan kerajaan.
Merekapun sampai di daerah Kerajaan Tanjungpura (Matan), yang sedang
mengalami perang saudara. Penyebab perang tersebut adalah Sultan
Muhammad Zainuddin diserang oleh adik kandungnya yang bernama Pangeran
Agung.
Pemberontakan dan perampasan tahta kerajaan oleh Pangeran Agung berhasil
dipadamkan oleh Opu Daeng Menambon beserta adiknya. Bahkan, Opu Daeng
Menambon boleh mempersunting Putri Kesumba. Mereka dikaruniai sepuluh
anak, diantaranya adalah Utin Chandramidi dan Gusti Jamiril atau Panembahan
Adijaya Kesuma Jaya.
Sekitar tahun 1740, Opu Daeng Menambon dan istrinya menuju ke Mempawah.
Merekapun mengunjungi Senggaok dan dilakukan serah terima pemerintahan
dari Pangeran Adipati kepada Opu Daeng Menambon. Pusat kerajaan
dipindahkan ke Sebukit Rama (sekitar 10 kilometer dari Kota Mempawah).
Opu Daeng Menambon dikenal sebagai raja yang bijaksana. Penduduknya
beragama Islam dan taat. Ia selalu bermusyawarah dengan bawahannya dalam
memecahkan segala persoalan yang terjadi di kerajaannya.
Gusti Jati Pendiri Kota Mempawah
Gusti Jamiril atau Panembahan Adijaya Kesuma Jaya merupakan penerus tahta
kerajaan Mempawah setelah Opu Daeng Menambon meninggal dunia pada 26
Syafar 1175 Hijriah. Masa kepemimpinan Gusti Jamiril membawa kemakmuran
wilayah kerajaan yang dikuasainya.
Masa keemasan Gusti Amiril tersebut, bersamaan dengan masa penjajahan
Belanda. Bahkan, kerajaan Mempawah selalu bertempur melawan Belanda. Hal
itu disebabkan, raja Mempawah diisukan membenci dan akan memberontak
pemerintahan Hindia Belanda.
Kabar tersebut membuat Belanda murka dan mengirimkan tentara prajurit yang
bermarkas di Pontianak untuk menyerbu kerajaan Mempawah. Gusti Amiril yang
mengetahui adanya penyerbuan, memutuskan memindahkan pusat
pemerintahan ke Karangan.

Akibat sulitnya medan perjalanan dari Mempawah menuju Karangan, gerakan


pasukan Belanda menjadi lamban dan gagal. Kebencian Panembahan Adijaya
Kesuma Jaya semakin menjadi kepada Belanda.
Selama hayatnya, Gusti Jamiril berusaha untuk mengusir penjajah Belanda.
Bahkan, sebelum meninggal, ia berpesan apabila meninggal dunia, dirinya tidak
rela dikebumikan ke luar dari Karangan.

Jabatan raja sepeninggal Gusti Jamiril dipimpin oleh anaknya, Gusti Jati yang
bergelar Sultan Muhammad Zainal Abidin. Kedudukan Gusti Jati yang berada di
Mempawah, dipercaya sebagai pendiri Kota Mempawah.
Kedudukan Gusti Jati digantikan oleh adiknya yang bernama Gusti Amir dan
bergelar Panembahan Adinata Karma Oemar Kamaruddin. Setelah Gusti Amir
wafat, ia digantikan oleh anaknya yang bernama Panembahan Mukmin.
Namun, usai penobatan kerajaan dilakukan, Panembahan Mukmin meninggal
dunia. Iapun dikenal dengan sebutan Raja Sehari. Karena putranya masih kecil
dan dirasa belum mampu mengurus kerajaan, penerus kepemimpinan kerajaan
diserahkan kepada adiknya, Gusti Mahmud, yang bergelar Panembahan Muda
Mahmud.
Wafatnya Gusti Mahmud digantikan oleh putra Panembahan Mukmin yang
bernama Panembahan Usman dan bergelar Panembahan Usman Natajaya
Kesuma. Ia mangkat pada 6 Jumadil, awal 1280 Hijriah, dan dimakamkan di Pulau
Pedalaman.
Perjuangan Melawan Penjajah
Selepas Panembahan Usman wafat, tampuk kepemimpinan Kerajaan Mempawah
dipegang oleh putra Panembahan Muda Mahmud bernama Panembahan Ibrahim
Muhammad Tsaifuddin. Masa pemerintahannya inilah, pennindasan penjahan
Belanda merajalela dan mengakibatkan masyarakat menderita.
Tak tahan ditindas, masyarakat mulai mengadakan pemberontakan kepada
penjajah Belanda. Terlebih, dengan diberlakukannya pembayaran pajak oleh
masyarakat dengan cara pemaksaan.
Pemberontakan dilakukan oleh suku Dayak. Peperangan tersebut dikenal dengan
nama perang Sangking, hingga mayarakat banyak merasa antipati dengan
keberadaan Belanda di tanah kerajaan Mempawah.
Setelah Panembahan Ibrahim Muhammad Tsaifuddin wafat, pimpinan kerajaan
yang semula akan diberikan kepada putranya, Gusti Muhammad Taufik. Tetapi,
putranya tersebut belum dewasa, hingga kerajaan dipimpin sementara oleh
Pangeran Ratu Suri, kakak dari Gusti Muhammad Taufik.
Pada 1902 masehi, Gusti Muhammad Taufik dirasakan sudah cukup umur untuk
memimpin kerajaan. Iapun naik tahta dan bergelar Panembahan Muhammad

Taufik Accamaddin. Ia ditawan oleh Belanda bersama raja-raja daerah lainnya


serta para pemimpin pemuka masyarakat.
Lepas dari tawanan Belanda, Gusti Muhammad Taufik diculik oleh penjajah
Jepang. Bersama para tokoh masyarakat yang diculik, ia dibunuh. Lokasi
pembunuhan sekaligus tempat pemakaman terjadi di Mandor.
Gusti Muhammad Taufik meninggalkan empat orang anak. Yakni Pangeran
Mohammad atau yang saat ini dikenal bernama Drs H Jimmi Mohammad Ibrahim,
Pangeran Faitsal Taufik, Pangeran Abdullah, dan Pangeran Ratu Hajjah
Thaufiqiyah Mohammad Taufik.
Pada masa itu, dibentuklah Bestuur Komisi sebagai pengganti raja yang diketuai
oleh Pangeran Wiranata Kesuma (1944-1946).
Akhir Kepemimpinan Kerajaan Mempawah
Sebelum pendaratan pasukan sekutu di Kalimantan Barat, Pangeran Mohammad
yang baru berumur 13 tahun pernah diangkat menjadi panembahan (tokoh)
Mempawah oleh pemerintah bala tentara Jepang dalam suatu upacara di depan
gedung Kerapatan.
Tokoh-tokoh masyarakat kemudian melakukan lagi upacara penobatan yang
sama pada tahun 1946. Tahun ini pula Belanda (NICA) datang lagi ke Mempawah
dan mencoba mengangkat raja kembali.
Karena Panembahan Pangeran Mohammad (Drs H Jimmi Mohammad Ibrahim)
belum dewasa dan ingin melanjutkan sekolahnya yang baru duduk di kelas VSD
(Jokio Ko Gakko), ia tidak bersedia diangkat kembali.
Pengganti Pangeran Mohammad adalah Gusti Mustaan yang menjadi raja
sementara bergelar wakil panembahan hingga tahun 1955. Meskipun sudah
pernah dinobatkan secara formal menjadi Panembahan dan sudah dewasa,
Pangeran Mohammad menyatakan tidak bersedia menggantikan ayahnya
sebagai raja.
Penolakan tersebut dikarenakan dirinya ingin terus melanjutkan pendidikannya di
perguruan tingga Gadjah Mada Yogyakarta. Keputusannya itu mengakhiri
kepemimpinan kerajaan Mempawah.
Sejak berdirinya kerajaan Mempawah hingga berakhirnya masa kepemimpinan
berakhir, kerajaan sudah mengalami perpindahan pusat kerajaan sebanyak lima
kali. Yakni pegunungan Sadaniang, Pekana, Senggaok, Sebukit Rama, dan
Mempawah.
Raja yang memimpin kerajaan Mempawah dibagi dalam dua zaman, yaitu zaman
Hindu dan Islam. Zaman Hindu dipimpin oleh tiga raja, sedangkan zaman Islam
dipimpin oleh 13 raja.
Raja zaman Hindu adalah Patih Gumantar, Raja Kudong, dan Panembahan
Senggaok. Raja zaman Islam adalah Opu Daeng Menambon, Gusti Jamiril, Syarif

Kasim, Syarif Husein, Gusti Jati, Gusti Amir, Gusti Mukmin, Gusti Mahmud, Gusti
Usman, Gusti Ibrahim, Muhammad Tsafiudin, Drs Gusti H Jimmi Muhammad
Ibrahim, dan Ir Mardan Adijaya M Sc P Hd.

Anda mungkin juga menyukai