Anda di halaman 1dari 13

TINJAUAN PUSTAKA

Tinea Korporis

Disusun oleh:
Mahasti Andrarini (23.26 885 2011)

Pembimbing : dr. Sari Wahyuningrum

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS I


PUSKESMAS BANJAR III

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2015

BAB I
PENDAHULUAN

1.1

Latar belakang

Tinea corporis adalah infeksi jamur pada kulit halus (glabrous skin) di daerah wajah,
leher, badan, lengan, tungkai, dan glutea yang disebabkan jamur dermatofita spesies
Trichophyton, Microsporus, Epidermophyton. Jamur penyebab tinea corporis ini bersifat
antropofilik, geofilik, dan zoofilik. Jamur yang bersifat antropofilik hanya mentransmisikan
penyakit antar manusia antara lain adalah Violaceum yang banyak ditemukan pada orang
afrika, Tricophyton rubrum, Tricophyton schoeleinii, Tricophyton magninii, Tricophyton
soudanense, Tricophyton youndei, Microsporum audouinii, dan Microsporum ferrugineum.
Geofilik merupakan jamur yang hidup di tanah dan dapat menyebabkan radang yang moderat
pada manusia. Golongan jamur ini antara lain Microsporum gypseum dan Microsporum
fulvum. Jamur zoofilik merupakan jamur yang hidup pada hewan, namun dapat
mentransmisikan penyakit pada manusia. Jamur zoofilik penyebab tinea corporis salah satunya
adalah Microsporum canis yang berasal dari kucing. Dari tiga sifat jamur penyebab tinea
corporis tersebut, dermatofit yang antropofilik adalah sifat yang paling sering ditemukan
sebagai sumber infeksi tinea corporis (Djuanda, 2013) (NZDSI, 2012).
Infeksi tinea corporis terdapat di seluruh dunia terutama daerah tropis yang mempunyai
kelembapan tinggi seperti Negara Indonesia. Penyakit ini menyerang pria maupun wanita dan
terjadi pada semua umur terutama dewasa. Penyebab tersering penyakit ini adalah Tricophyton
rubrum dengan prevalensi 47% dari semua kasus tinea corporis. Tricophyton rubrum
mempunyai dinding sel sehingga resisten terhadap eradikasi. Barrier proteksi ini mengandung
mannan, yang menghambat organisme ini tahan terhadap pertahanan lapisan kulit (Jack L
Lesher Jr, 2012).
Lapisan kulit yang sering diinfeksi Tricophyton rubrum yaitu kulit yang tertutup pakaian
ketat atau pakaian yang tidak berpori sehingga dapat meningkatkan temperatur dan keringat
yang dapat mengganggu fungsi barier stratum korneum dan berperan dalam membantu
proliferasi jamur pada kulit penderita. (Rushing, 2009)

1.2

Tujuan Penyusunan
1.2.1 Tujuan Umum
1.2.1.1 Untuk memenuhi tugas penyusunan tinjauan pustaka
1.2.1.2 Untuk mengetahui penanganan kasus Tinea Korporis

1.2.2 Tujuan Khusus


Tujuan Khusus dari laporan kasus ini adalah untuk mengetahui :
1.2.2.1 Mengetahui penyebab dari Tinea Korporis
1.2.2.2 Mengetahui Tanda dan gejala Tinea Korporis
1.2.2.3 Mengetahui penatalaksanaan pada pasien dengan Tinea Korporis

BAB II
TINJAUAN TEORI

1.1.Definisi
Tinea korporis adalah dermatofitosis pada kulit yang tidak berambut (glabrous skin)
kecuali telapak tangan, telapak kaki, dan lipat paha. (Djuanda, 2013)
2.1.Etiologi
Dermatofitosis adalah infeksi jamur yang menyerang pada jaringan yang mengandung
zat tanduk yang disebabkan golongan jamur dermatofita yaitu Epidermophyton,
Microsporum dan Trycophyton. Hingga kini dikenal sekitar 41 spesies dermatofita,
masing-masing 2 spesies Epidermophyton, 17 spesies Microsporum, dan 21 spesies
Trichophyton. (Djuanda, 2013)
3.1.Epidemiologi
Infeksi tinea corporis terdapat di seluruh dunia terutama daerah tropis yang
mempunyai kelembapan tinggi seperti Negara Indonesia. Penyakit ini menyerang pria
maupun wanita dan terjadi pada semua umur terutama dewasa. Penyebab tersering
penyakit ini adalah Tricophyton rubrum dengan prevalensi 47% dari semua kasus tinea
corporis. Tricophyton rubrum mempunyai dinding sel sehingga resisten terhadap
eradikasi. Barrier proteksi ini mengandung mannan, yang menghambat organisme ini
tahan terhadap pertahanan lapisan kulit (Jack L Lesher Jr, 2012).
Penyebab tinea korporis berbeda-beda di setiap negara, seperti di Amerika Serikat
penyebab terseringnya adalah Tricophyton rubrum, Trycophyton mentagrophytes,
Microsporum canis dan Trycophyton tonsurans. Di Afrika penyebab tersering tinea
korporis adalah Tricophyton rubrum dan Tricophyton mentagrophytes, sedangkan di
Eropa penyebab terseringnya adalah Tricophyton rubrum, sementara di Asia penyebab
terseringnya adalah Tricophyton rubrum, Tricophyton mentagropytes dan Tricophyton
violaceum (Verma dan Heffernan,2008).
4.1. Klasifikasi Ekologi
Jamur penyebab tinea corporis ini bersifat antropofilik, geofilik, dan zoofilik. Jamur
yang bersifat antropofilik hanya mentransmisikan penyakit antar manusia antara lain
adalah Tricophyton violaceum yang banyak ditemukan pada orang afrika, Tricophyton
4

rubrum, Tricophyton schoeleinii, Tricophyton magninii, Tricophyton soudanense,


Tricophyton youndei, Microsporum audouinii, dan Microsporum ferrugineum. Jamur
geofilik merupakan jamur yang hidup di tanah dan dapat menyebabkan radang yang
moderat pada manusia. Golongan jamur ini antara lain Microsporum gypseum dan
Microsporum fulvum. Jamur zoofilik merupakan jamur yang hidup pada hewan, namun
dapat mentransmisikan penyakit pada manusia. Jamur zoofilik penyebab tinea corporis
salah satunya adalah Microsporum canis yang berasal dari kucing. Dari tiga sifat jamur
penyebab tinea corporis tersebut, dermatofit yang antropofilik adalah sifat yang paling
sering ditemukan sebagai sumber infeksi tinea corporis (Djuanda, 2013 dan NZDSI, 2012).

5.1.Patogenesis
Lapisan kulit yang sering diinfeksi Tricophyton rubrum yaitu kulit yang tertutup
pakaian ketat atau pakaian yang tidak berpori sehingga dapat meningkatkan temperatur
dan keringat yang dapat mengganggu fungsi barier stratum korneum dan berperan dalam
membantu proliferasi jamur. Infeksi jamur dimulai dengan terjadinya kolonisasi hifa atau
cabang-cabangnya dalam jaringan keratin yang mati. Hifa ini memproduksi enzim
keratolitik yang mengadakan difusi ke dalam jaringan epidermis dan merusak keratinosit.
Setelah masa inkubasi 1-3 minggu, respon jaringan terhadap infeksi semakin jelas dimana
bagian tepi lesi yang aktif akan meningkatkan proses proliferasi sel epidermis dan
menghasilkan skuama (Rushing, 2009; Amiruddin, 2003).
Penjelasannya:
Elemen kecil dari jamur disebut hifa, berupa benang-benang filament terdiri dari selsel yang mempunyai dinding. Dinding sel jamur merupakan karakteristik utama yang
membedakan jamur, karena banyak mengandung substrat nitrogen disebut dengan chitin.
Struktur bagian dalam (organela) terdiri dari nukleus, mitokondria, ribosom, retikulum
endoplasma, lisosom, apparatus golgi dan sentriol dengan fungsi dan peranannya masingmasing. Benang-benang hifa bila bercabang dan membentuk anyaman disebut miselium
(Verma dan Heffernan,2008).
Infeksi Dermatofita diawali dengan perlekatan jamur atau elemen jamur yang dapat
tumbuh dan berkembang pada stratum korneum. Pada saat perlekatan, jamur dermatofita
harus tahan terhadap rintangan seperti sinar ultraviolet, variasi temperatur dan
kelembaban, kompetensi dengan flora normal, spingosin dan asam lemak. Kerusakan
5

stratum korneum, tempat yang tertutup dan maserasi memudahkan masuknya jamur ke
epidermis (Verma dan Heffernan,2008).
Masuknya dermatofita ke epidermis menyebabkan respon imun pejamu baik respon
imun nonspesifik maupun respon imun spesifik. Respon imun nonspesifik merupakan
pertahanan lini pertama melawan infeksi jamur. Mekanisme ini dapat dipengaruhi faktor
umum, seperti gizi, keadaan hormonal, usia, dan faktor khusus seperti penghalang mekanik
dari kulit dan mukosa, sekresi permukaan dan respons radang. Respons radang merupakan
mekanisme pertahanan nonspesifik terpenting yang dirangsang oleh penetrasi elemen
jamur. Terdapat 2 unsur reaksi radang, yaitu pertama produksi sejumlah komponen kimia
yang larut dan bersifat toksik terhadap invasi organisme. Komponen kimia ini antara lain
ialah lisozim, sitokin, interferon, komplemen, dan protein fase akut. Unsur kedua
merupakan elemen seluler,seperti netrofil, dan makrofag, dengan fungsi utama fagositosis,
mencerna, dan merusak partikel asing. Makrofag juga terlibat dalam respons imun yang
spesifik. Sel sel lain yang termasuk respons radang nonspesifik ialah basophil, sel mast,
eosinophil, trombosit dan sel NK (natural killer). Neutrofil mempunyai peranan utama
dalam pertahanan melawan infeksi jamur (Verma dan Heffernan,2008).
Imunitas spesifik membentuk lini kedua pertahanan melawan jamur setelah jamur
mengalahkan pertahanan nonspesifik. Limfosit T dan limfosit B merupakan sel yang
berperan penting pada pertahanan tubuh spesifik. Sel-sel ini mempunyai mekanisme
termasuk pengenalan dan mengingat organisme asing, sehingga terjadi amplifikasi dari
kerja dan kemampuannya untuk merespons secara cepat terhadap adanya presentasi
dengan memproduksi antibodi, sedangkan limfosit T berperan dalam respons seluler
terhadap infeksi. Imunitas seluler sangat penting pada infeksi jamur. Kedua mekanisme ini
dicetuskan oleh adanya kontak antara limfosit dengan antigen, pada saat ini lesi tiba-tiba
menjadi inflamasi, dan barrier epidermal menjadi permeable terhadap transferin dan selsel yang bermigrasi. Segera jamur hilang dan lesi secara spontan menjadi sembuh. (Verma
dan Heffernan,2008).
6.1.Gambaran Klinis
Gambaran klinis terdiri atas macam-macam efloresensi kulit (polimorf). Bagian tepi
lesi lebih aktif (terlihat tanda-tanda peradangan) daripada bagian tengah, dimulai dengan
lesi bulat atau lonjong dengan tepi yang aktif dengan perkembangan ke arah luar, bercakbercak bisa melebar dan akhirnya memberi gambaran yang polisiklik, arsinar, dan sirsinar.
6

Pada bagian pinggir ditemukan lesi yang aktif yang ditandai dengan eritema, adanya papul
atau vesikel, sedangkan pada bagian tengah lesi relatif lebih tenang (sentral healing). Tinea
korporis yang menahun, tanda tanda aktif menjadi hilang dan selanjutnya hanya
meninggalkan daerah hiperpigmentasi saja. Gejala subjektif yaitu gatal, dan terutama jika
berkeringat dan kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. (Djuanda, 2013)
(Verma dan Heffernan,2008).
Gambar Penyakit Tinea Korporis pada Badan

Gambar Penyakit Tinea Korporis pada Lengan

7.1.Pemeriksaan Laboratorium
Selain dari gejala khas tinea korporis, diagnosis harus dibantu dengan pemeriksaan
laboratorium antara lain pemeriksaan mikroskopis, kultur, pemeriksaan lampu wood,
biopsi dan histopatologi, pemeriksaan serologi, dan pemeriksaan dengan menggunakan
PCR (Hay dan Moore,2004).
Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan membuat preparat langsung dari kerokan
kulit, kemudian sediaan dituangi larutan KOH 10%. Sesudah 15 menit atau sesudah
dipanaskan dengan api kecil, dilihat di bawah mikroskop. Pemeriksaan ini memberikan
hasil positif hifa ditemukan hifa (benang-benang) yang bersepta atau bercabang, selain itu
tampak juga spora berupa bola kecil sebesar 1-3 (Hay dan Moore,2004).

Kultur dilakukan dalam media agar sabaroud pada suhu kamar (25-30C),kemudian
satu minggu dilihat dan dinilai apakah ada pertumbuhan jamur. Spesies jamur dapat
ditentukan melalui bentuk koloni, bentuk hifa dan bentuk spora (Hay dan Moore,2004).
Pemeriksaan lampu wood adalah pemeriksaan yang menggunakan sinar ultraviolet
dengan panjang gelombang 365 nm. Sinar ini tidak dapat dilihat. Bila sinar ini diarahkan
ke kulit yang mengalami infeksi oleh jamur dermatofita tertentu, sinar ini akan berubah
menjadi dapat dilihat dengan memberi warna (fluoresensi). Beberapa jamur yang
memberikan fluoresensi yaitu M.canis, M.audouini, M.ferrugineum dan T.schoenleinii.
(Hay dan Moore2004).
8.1.Diagnosis Banding
Ada beberapa diagnosis banding tinea korporis, antara lain, eksema numular, psoriasis,
dermatitis seboroik, pitiriasis rosea, liken planus dan dermatitis kontak (Djuanda, 2013)
9.1.Pengobatan
Pengobatan infeksi jamur dibedakan menjadi pengobatan non medikamentosa dan
pengobatan medikamentosa.
I.

Non Medikamentosa
Menurut Badan POM RI (2011), dikatakan bahwa penatalaksanaan non
medikamentosa adalah sebagai berikut:
a) Gunakan handuk tersendiri untuk mengeringkan bagian yang terkena infeksi atau
bagian yang terinfeksi dikeringkan terakhir untuk mencegah penyebaran infeksi ke
bagian tubuh lainnya.
b) Jangan mengunakan handuk, baju, atau benda lainnya secara bergantian dengan orang
yang terinfeksi.
c) Cuci handuk dan baju yang terkontaminasi jamur dengan air panas untuk mencegah
penyebaran jamur tersebut. Bersihkan kulit setiap hari menggunakan sabun dan air
untuk menghilangkan sisa-sisa kotoran agar jamur tidak mudah tumbuh.
d) Jika memungkinkan hindari penggunaan baju dan sepatu yang dapat menyebabkan kulit
selalu basah seperti bahan wool dan bahan sintetis yang dapat menghambat sirkulasi
udara.

e) Sebelum menggunakan sepatu, sebaiknya dilap terlebih dahulu dan bersihkan debudebu yang menempel pada sepatu.
f) Hindari kontak langsung dengan orang yang mengalami infeksi jamur. Gunakan sandal
yang terbuat dari bahan kayu dan karet

II.

Medikamentosa
Pengobatan tinea korporis terdiri dari pengobatan lokal dan pengobatan sistemik.
Pada tinea korporis dengan lesi terbatas,cukup diberikan obat topikal. Lama pengobatan
bervariasi antara 1-4 minggu bergantung jenis obat. Obat oral atau kombinasi obat oral
dan topikal diperlukan pada lesi yang luas atau kronik rekurens. Anti jamur topikal yang
dapat diberikan yaitu derivate imidazole, toksiklat, haloprogin dan tolnaftat. Pengobatan
lokal infeksi jamur pada lesi yang meradang disertai vesikel dan eksudat terlebih dahulu
dilakukan dengan kompres basah secara terbuka (Vermam dan Heffernan,2008).
Pada keadaan inflamasi menonjol dan rasa gatal berat, kombinasi antijamur dengan
kortikosteroid (prednison 3 x 5 mg atau prednisolon 3 x 4 mg sehari selama dua minggu)
akan mempercepat perbaikan klinis dan mengurangi keluhan pasien. (Djuanda, 2013)
(Verma dan Heffernan,2008).
a.

Pengobatan Topikal
Pengobatan topikal merupakan pilihan utama. Efektivitas obat topikal dipengaruhi

oleh mekanisme kerja,viskositas, hidrofobisitas dan asiditas formulasi obat tersebut. Selain
obat-obat klasik, obatobat derivate imidazole dan alilamin dapat digunakan untuk
mengatasi masalah tinea korporis ini. Efektivitas obat yang termasuk golongan imidaol
kurang lebih sama. Pemberian obat dianjurkan selama 3-4 minggu atau sampai hasil kultur
negative. Selanjutnya dianjurkan juga untuk meneruskan pengobatan selama 7-10 hari
setelah penyembuhan klinis dan mikologis dengan maksud mengurangi kekambuhan. Pada
masa kini selain obat-obat topikal konvensional, misalnya asam salisil 2-4%, asam benzoat
6-12%, sulfur 4-6%, vioform 3%, asam undesilenat 2-5%, dan zat warna (hijau brilian 1%
dalam cat castellani) dikenal banyak obat topikal baru. Obat-obat topikal ini diantaranya
tolnaftat 2%, tolsiklat, haloprogin, derivat-derivat imidazol, siklospiroksolamin, dan
nalftine masing-masing 1%. (Djuanda, 2013) (Verma dan Heffernan,2008).
b.

Pengobatan Sistemik

Pengobatan sistemik yang dapat diberikan pada tinea korporis adalah: (Djuanda,
2013)

Griseofulvin
Griseofulvin merupakan obat sistemik pilihan pertama yang bersifat fungistatik.
Dosis untuk anak-anak 15-25 mg/kgBB/hari, sedangkan dewasa 500-1000
mg/hari. Lama pengobatan bergantung pada lokasi penyakit, penyebab penyakit,
dan keadaan imunitas pasien. Setelah sembuh klinis dilanjutkan 2 minggu agar
tidak residif.

Ketokonazol
Ketokonazol bersifat fungistatik digunakan untuk mengobati tinea korporis yang
resisten terhadap griseofulvin atau terapi topikal. Dosisnya adalah 200 mg/hari
selama10 hari-2 minggu pada pagi hari setelah makan.

Obat-obat yang relative baru seperti itrakonazol (2 x 100 mg/hari selama 3 hari)
serta terbinafin yang bersifat fungisidal (dosis: 62,5 mg 250 mg/hari) dikatakan
cukup memuaskan untuk pengobatan tinea korporis.

10.1.Prognosis
Dengan terapi yang benar dan menjaga kebersihan kulit, pakaian dan lingkungan.
Prognosis tinea korporis dan kruris adalah baik. Penting juga untuk menghilangkan sumber
penularan untuk mencegah reinfeksi dan penyebaran lebih lanjut.

10

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Tinea corporis adalah infeksi jamur pada kulit halus (glabrous skin) di daerah wajah,
leher, badan, lengan, tungkai, dan glutea yang disebabkan jamur dermatofita spesies
Trichophyton, Microsporus, Epidermophyton. Jamur penyebab tinea corporis ini bersifat
antropofilik, geofilik, dan zoofilik.
Patofisiologi terjadinya tinea korporis adalah infeksi Tricophyton rubrum pada lapisan
kulit yang tertutup pakaian ketat atau pakaian yang tidak berpori sehingga dapat meningkatkan
temperatur dan keringat yang dapat mengganggu fungsi barier stratum korneum dan berperan
dalam membantu proliferasi jamur pada kulit penderita
Diagnosis ditegakan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Gejala yang timbul pada penyakit ini terdiri atas macam-macam efloresensi kulit
(polimorf). Bagian tepi lesi lebih aktif (terlihat tanda-tanda peradangan) daripada bagian
tengah, dimulai dengan lesi bulat atau lonjong dengan tepi yang aktif dengan perkembangan
ke arah luar, bercak-bercak bisa melebar dan akhirnya memberi gambaran yang polisiklik,
arsinar, dan sirsinar. Pada bagian pinggir ditemukan lesi yang aktif yang ditandai dengan
eritema, adanya papul atau vesikel, sedangkan pada bagian tengah lesi relatif lebih tenang
(sentral healing). Untuk memastikan diagnosis bisa dilakukan dengan pemeriksaan KOH 10%,
pemeriksaan ini memberikan hasil positif hifa ditemukan hifa (benang-benang) yang bersepta
atau bercabang.
Tatalaksana pada penyakit ini dapat diberikan terapi medikamentosa anti-fungi per oral
dengan pilihan Griseofulvin 250 mg 2x1/hari selama gejala klinis sembuh dan dilanjutkan
selama 2 minggu agar tidak residif, atau dapat diberikan Ketokonazol 200 mg/hari selama 10
hari-2 minggu pada pagi hari setelah makan. Terapi lainnya yaitu bersifat simptomatis untuk
mengurangi keluhan gatal dengan diberikan antihistamin yaitu Chlorphenamine maleate 4 mg
3x1/hari. Selain itu dapat diberikan obat topikal antifungi yaitu Mikonazol 2%.
Dengan terapi yang benar dan menjaga kebersihan kulit, pakaian dan lingkungan.
Prognosis tinea korporis dan kruris adalah baik..

11

3.2 Saran

1. Bagi pasien diharapkan menjaga lingkungan sekitar agar tetap bersih dan sehat. Cuci
handuk dan baju yang terkontaminasi jamur dengan air panas untuk mencegah
penyebaran jamur tersebut. Bersihkan kulit setiap hari menggunakan sabun dan air
untuk menghilangkan sisa-sisa kotoran agar jamur tidak mudah tumbuh dan lebih
menerapkan pola hidup bersih dan sehat.
2. Bagi insitusi diharapkan dapat menambah koleksi buku-buku yang membahas secara
lebih mendalam mengenai penyakit kulit.
3. Bagi petugas medis agar dapat terus meningkatkan pengetahuan serta keterampilannya
dalam hal penanganan pasien Tinea Korporis.

12

DAFTAR PUSTAKA

Budimulja, U., 2013. Mikosis. Dalam: Djuanda, A. dkk, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. hlm 9299.
Hay, RJ dan Moore, MK. Mycology Dalam: Burns, T, dkk, penyunting. Rooks Textbook Of
Dermatology. Edisi ketujuh. Australia: Blackwell Publishing. 2004.
Jack L Lesher Jr. 2012. Tinea corporis. US: Medical College of Georginia.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011. Profil Kesehatan Indonesia 2010. Jakarta:
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
New Zealand Dermatological Society Incorporated. 2012. Tinea corporis. Selandia Baru: The
International League of Dermatological Societies.
Rushing ME. 2009. Tinea corporis. US: Medical College of Georginia.
Verma,S., Heffernan, M.P., 2008. Superfisial Fungal Infection: Dermatophytosis,
Onychomycosis, Tinea Nigra, Piedra. Dalam: Wolff, K. dkk, penyunting.. Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine. Vol.II. Edisi 7. United States: The Mcgraw-Hill
Companies, Inc, 1807-1821

13

Anda mungkin juga menyukai