FARMASIi LIA 2
FARMASIi LIA 2
Oleh:
Amallia Ardana Reswari
G 99131012
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi dan Etiologi
Dermatitis atopik (DA) adalah penyakit kulit reaksi inflamasi yang
didasari oleh faktor herediter dan faktor lingkungan, bersifat kronik residif dengan
gejala eritema, papula, vesikel, kusta, skuama, dan pruritus yang hebat. Bila
residif biasanya disertai infeksi, atau alergi, faktor psikologik, atau akibat bahan
kimia atau iritan.
Dermatitis atopik atau eksema adalah peradangan kronik kulit yang kering
dan gatal yang umumnya dimulai pada awal masa kanak-kanak. Eksema dapat
menyebabkan gatal yang tidak tertahankan, peradangan, dan gangguan tidur.
Penyakit ini dialami sekitar 10-20% anak. Umumnya episode pertama terjadi
sebelum usia 12 bulan dan episode-episode selanjutnya akan hilang timbul hingga
anak melewati masa tertentu. Sebagian besar anak akan sembuh dari eksema
sebelum usia 5 tahun. Sebagian kecil anak akan terus mengalami eksema hingga
dewasa.
Penyakit ini dinamakan dermatitis atopik oleh karena kebanyakan
penderitanya memberikan reaksi kulit yang didasari oleh IgE dan mempunyai
kecenderungan untuk menderita asma, rinitis, atau keduanya di kemudian hari
yang dikenal sebagai allergic march. Walaupun demikian, istilah dermatitis atopik
tidak selalu memberikan arti bahwa penyakit ini didasari oleh interaksi antigen
dengan antibodi. Nama lain untuk dermatitis atopik adalah eksema atopik, eksema
dermatitis, prurigo Besnier, dan neurodermatitis. Diperkirakan angka kejadian di
masyarakat adalah sekitar 1-3% dan pada anak < 5 tahun sebesar 3,1% dan
prevalensi DA pada anak meningkat 5- 10% pada 20-30 tahun terakhir. Sangat
mungkin peningkatan prevalensi ini berasal dari faktor lingkungan, seperti bahan
kimia industri, makanan olahan, atau benda asing lainnya. Ada dugaan bahwa
peningkatan ini juga disebabkan perbaikan prosedur diagnosis dan pengumpulan
data.
B. Patogenesis
Sampai saat ini etiologi maupun mekanisme yang pasti DA belum
semuanya diketahui, demikian pula pruritus pada DA. Tanpa pruritus diagnosis
DA tidak dapat ditegakkan. Rasa gatal dan rasa nyeri sama-sama memiliki
reseptor di taut dermoepidermal, yang disalurkan lewat saraf C tidak bermielin ke
saraf spinal sensorik yang selanjutnya diteruskan ke talamus kontralateral dan
korteks untuk diartikan. Rangsangan yang ringan, superfisial dengan intensitas
rendah menyebabkan rasa gatal, sedangkan yang dalam dan berintensitas tinggi
menyebabkan rasa nyeri. Sebagian patogenesis DA dapat dijelaskan secara
imunologik dan nonimunologik.
1. Reaksi imunologis DA
Sekitar 70% anak dengan DA mempunyai riwayat atopi dalam keluarganya seperti
asma bronkial, rinitis alergi, atau dermatitis atopik. Sebagian besar anak dengan
DA (sekitar 80%) terdapat peningkatan kadar IgE total dan eosinofil di dalam
darah. Anak dengan DA terutama yang moderat dan berat akan berlanjut dengan
asma dan/atau rinitis alergika di kemudian hari (allergic march), dan semuanya ini
memberikan dugaan bahwa dasar DA adalah suatu penyakit atopi.
a. Ekspresi sitokin
Keseimbangan sitokin yang berasal dari Th1 dan Th2 sangat berperan pada
reaksi inflamasi penderita Dermatitis Atopik (DA). Pada lesi yang akut ditandai
dengan kadar Il-4, Il-5, dan Il-13 yang tinggi sedangkan pada DA yang kronis
disertai kadar Il-4 dan Il-13 yang lebih rendah, tetapi kadar Il-5, GM-CSF
(granulocyte-macrophage colonystimulating factor), Il-12 dan INFg lebih
tinggi dibandingkan pada DA akut.
Anak dengan bawaan atopi lebih mudah bereaksi terhadap antigen
lingkungan (makanan dan inhalan), dan menimbulkan sensitisasi terhadap
reaksi hipersentivitas tipe I. Imunitas seluler dan respons terhadap reaksi
hipersensitivitas tipe lambat akan menurun pada 80% penderita dengan DA,
akibat menurunnya jumlah limfosit T sitolitik (CD8+), sehingga rasio limfosit
T sitolitik (CD 8+) terhadap limfosit T helper (CD4+) menurun dengan akibat
kepekaan terhadap infeksi virus, bakteri, dan jamur meningkat.
Di antara mediator yang dilepaskan oleh sel mast, yang berperan pada
pruritus adalah vasoaktif amin, seperti histamin, kinin, bradikinin, leukotrien,
prostaglandin, dan sebagainya, sehingga dapat dipahami bahwa dalam
penatalaksanaan DA, walaupun antihistamin sering digunakan, namun hasilnya
tidak terlalu menggembirakan dan sampai saat ini masih banyak silang
pendapat para ahli mengenai manfaat antihistamin pada DA. Trauma mekanik
(garukan) akan melepaskan TNF-a dan sitokin pro inflammatory lainnya di
epidermis, yang selanjutnya akan meningkatkan kronisitas DA dan bertambah
beratnya eksema.
b. Antigen Presenting Cells
Kulit penderita DA mengandung sel Langerhans (LC) yang
mempunyai afinitas tinggi untuk mengikat antigen asing (Ag) dan IgE
lewat reseptor FceRI pada permukaannya, dan beperan untuk
mempresentasikan alergen ke limfosit Th2, mengaktifkan sel memori
Th2 di kulit dan yang juga berperan mengaktifkan Th0 menjadi Th2 di
dalam sirkulasi.
2. Faktor non imunologis
Faktor non imunologis yang menyebabkan rasa gatal pada DA antara lain
adanya faktor genetik, yaitu kulit DA yang kering (xerosis). Kekeringan kulit
diperberat oleh udara yang lembab dan panas, banyak berkeringat, dan bahan
detergen yang berasal dari sabun. Kulit yang kering akan menyebabkan nilai
ambang rasa gatal menurun, sehingga dengan rangsangan yang ringan seperti
iritasi wol, rangsangan mekanik, dan termal akan mengakibatkan rasa gatal.
C. Faktor Pencetus
1. Makanan
Berdasarkan hasil Double Blind Placebo Controlled Food Challenge
(DBPCFC), hampir 40% bayi dan anak dengan DA sedang dan berat
mempunyai riwayat alergi terhadap makanan. Bayi dan anak dengan alergi
makanan umumnya disertai uji kulit (skin prick test) dan kadar IgE spesifik
positif terhadap berlbagai macam makanan. Walaupun demikian uji kulit
positif terhadap suatu makanan tertentu, tidak berarti bahwa penderita tersebut
alergi terhadap makanan tersebut, oleh karena itu masih diperlukan suatu uji
eliminasi dan provokasi terhadap makanan tersebut untuk menentukan
kepastiannya.
2. Alergen hirup
Alergen hirup sebagai penyebab DA dapat lewat kontak, yang dapat
dibuktikan dengan uji tempel, positif pada 30-50% penderita DA, atau lewat
inhalasi. Reaksi positif dapat terlihat pada alergi tungau debu rumah (TDR),
dimana pada pemeriksaan in vitro (RAST), 95% penderita DA mengandung
IgE spesifik positif terhadap TDR dibandingkan hanya 42% pada penderita
asma di Amerika Serikat. Perlu juga diperhatikan bahwa DA juga bisa
diakibatkan oleh alergen hirup lainnya seperti bulu binatang rumah tangga,
jamur atau ragweed di negara-negara dengan 4 musim.
3. Infeksi kulit
Penderita dengan DA mempunyai tendensi untuk disertai infeksi kulit oleh
kuman umumnya Staphylococcus aureus, virus, dan jamur. Stafilokokus dapat
ditemukan pada 90% lesi penderita DA dan jumlah koloni bisa mencapai 107
koloni/cm2 pada bagian lesi tersebut. Akibat infeksi kuman Stafilokokus akan
dilepaskan sejumlah toksin yang bekerja sebagai superantigen, mengaktifkan
makrofag dan limfosit T, yang selanjutnya melepaskan histamin. Oleh karena itu
penderita DA dan disertai infeksi harus diberikan kombinasi antibiotika terhadap
kuman stafilokokus dan steroid topikal.
D. Diagnosis
Kriteria diagnosis dermatitis atopik dari Hanifin dan Lobitz, 1977:
1. Kriteria mayor (>3):
a. pruritus: morfologi dan distribusi khas:
1) dewasa: likenifikasi fleksura
2) bayi dan anak : lokasi kelainan di daerah muka dan ekstensor
b. dermatitis bersifat kronik residif
c. riwayat atopi pada penderita atau keluarganya
baik. Pada pasien kronik diberikan 3-4 kali sehari dengan water-in-oil
moisturizers sediaan lactic acid.
2. Pengobatan topikal
Pengobatan topikal adalah untuk mengatasi kekeringan kulit dan
peradangan. Mengatasi kekeringan kulit atau memelihara hidrasi kulit dapat
dilakukan dengan mandi memakai sabun lunak tanpa pewangi. Meskipun
mandi dikatakan dapat memperburuk kekeringan kulit, namun berguna untuk
mencegah terjadi infeksi sekunder. Jangan menggunakan sabun yang bersifat
alkalis dan sebaliknya pakailah sabun atau pembersih yang mempunyai pH 7,0.
Pemberian pelembab kulit penting untuk menjaga hidrasi antara lain dengan
dasar lanolin, krim air dalam minyak, atau urea 10% dalam krim. Untuk
mengatasi peradangan dapat diberikan krim kortikosteroid. Penggunaan
kortikosteroid topikal golongan kuat sebaiknya berhati-hati dan tidak
digunakan di daerah muka. Apabila dermatitis telah teratasi maka secepatnya
pengobatan dialihkan pada penggunaan kortikosteroid golongan lemah atau
krim pelembab. Untuk daerah muka sebaiknya digunakan krim hidrokortison
1%. Dengan pengobatan topikal yang baik dapat dicegah penggunaan
pengobatan sistemik. Karena perjalanan penyakit DA adalah kronik dan residif,
maka untuk pemakaian kortikosteroid topikal maupun sistemik untuk jangka
panjang sebaiknya diamati efek samping yang mungkin terjadi. Bila dengan
kortikosteroid topikal tidak adekuat untuk menghilangkan rasa gatal dapat
ditambahkan krim yang mengandung mental, fenol, lidokain, atau asam
salisilat. Bila dengan pengobatan topikal ini tetap tidak adekuat, maka dapat
dipertimbangkan pemberian pengobatan sistemik Kortikosteroid topikal
mempunyai efek antiinflamasi, antipruritus, dan efek vasokonstriktor. Yang
perlu diperhatikan pada penggunaan kortikosteroid topikal adalah segera
setelah mandi dan diikuti berselimut untuk meningkatkan penetrasi; tidak lebih
dari 2 kali sehari; bentuk salep untuk kulit lembab bisa menyebabkan
folikulitis; bentuk krim toleransinya cukup baik; bentuk lotion dan spray untuk
daerah yang berambut; pilihannya adalah obat yang efektif tetapi potensinya
Kasus:
ILUSTRASI KASUS
I.
ANAMNESA
A. IDENTITAS PENDERITA
Nama
: Ny. S
Umur
: 30 Tahun
Jenis kelamin
: perempuan
Alamat
: Karanganyar
Agama
: Islam
Suku
: Jawa
Status
: Menikah
Pendidikan
: SMA
Pekerjaan
: 2134XXX
B. DATA DASAR
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesa pada
tanggal 27 Februari 2014 di RSDM
1. Keluhan Utama : gatal dan bintil pada kedua lipat siku, lengan,
tengkuk, dan punggung
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan gatal dan bintil pada kedua
lipat siku, lengan, tengkuk, dan punggung sejak 2 minggu yang
lalu, keluhan dirasakan terutama saat pasien berkeringat, awalnya
muncul bintil-bintil sedikit pada kedua lipat siku, lalu bertambah
banyak dan menyebar ke lengan, tengkuk, dan punggung.
Terkadang keluar cairan dari plenting- plenting itu selain itu kulit
terasa kering. Tidak nyeri, pasien tidak tahu apa yang mengawali
timbulnya gatal-gatal. Pernah mengalami gejala serupa, kambuhan
10
sejak 2 tahun yang lalu dan menderita rhinitis alergika. Dari pihak
keluarga tidak ada yang serupa.
3. Riwayat Penyakit Dahulu :
a. Riwayat kelainan serupa
: (-)
c. Riwayat dirawat di RS
: (-).
: (-)
: (-)
f. Riwayat alergi
: disangkal
: disangkal
c. Riwayat alergi
: disangkal
: disangkal
C. PEMERIKSAAN FISIK
1.
2.
Keadaan Umum
Status gizi
155 cm
Kulit
Suhu : 36,5 0C
Warna sawo matang, petechie (-), ikterik (-),
4.
Kepala
5.
Mata
3.
Mulut
(-) pucat (-), lidah tifoid (-), papil lidah atrofi (-)
7.
Leher
kaku (-)
Bentuk normochest, simetris, retraksi intercostal
Thorax
Auskultasi
melebar
HR : 92 kali/menit reguler. Bunyi jantung I-II
murni, intensitas normal, reguler, bising (-),
gallop (-).
Pulmo:
Depan
Inspeksi
Statis
12
Dinamis
Palpasi
Statis
Dinamis
Perkusi
Kiri
Kanan
Auskultasi
Kanan
Kiri
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Statis
Dinamis
mendatar
Pengembangan dada simetris kanan = kiri, sela
Statis
Dinamis
Kanan
Kiri
krepitasi (-)
Suara dasar vesikuler intensitas normal,
wheezing(-), ronchi basah kasar (-), ronchi basah
halus (-), krepitasi (-)
9.
Punggung
10
Abdomen
.
Inspeksi
13
Perkusi
epigastrium (-)
Perut keras seperti papan (+), timpani, pekak sisi
(-), pekak alih (-), undulasi (-), area trobe
Palpasi
11. Genitourinaria
12
Ekstremitas
.
Superior dekstra
Superior sinistra
eritema (-)
Edema (-), kaku (-), sianosis (-), pucat (-), akral
dingin (-), luka (-), deformitas (-), ikterik (-),
petechie (-), Spoon nail (-) kuku pucat (-),
clubing finger (-), hiperpigmentasi (-), palmar
Inferior dekstra
eritema (-)
Edema (-), kaku (-), sianosis (-), pucat (-), akral
dingin (-), luka (-), deformitas (-), ikterik (-),
petechie (-), Spoon nail (-), kuku pucat (-),
clubing finger (-), hiperpigmentasi (-), nyeri
Inferior Sinistra
tekan (-)
Edema (-), kaku (-), sianosis (-), pucat (-), akral
dingin (-), luka (-), deformitas (-), ikterik (-),
petechie (-), Spoon nail (-), kuku pucat (-),
clubing finger (-), hiperpigmentasi (-), nyeri
tekan (-)
Status dermatologi yang ditemukan:
14
Papul eritem, ukuran miliar, bentuk bulat, simetris pada siku kanan kiri,
lengan, tengkuk, dan punggung.
Diagnosis:
Eksema basah
Penulisan Resep:
RSUD DR.MOEWARDI
27 Februari 2014
R/ Hydrocortisone 1% cream tube No I
S 2dd I ue
R/ Cetirizine tab mg 10 No X
S 1dd tab I
Pro: Ny. W (30 thn)
DESKRIPSI OBAT
A. Hidrokortison
Dosis
Indikasi
Kontraindikasi
15
Efek samping:
Hydrocortisone
mempunyai
adalah
efek
kortikosteroid
anti-inflamasi,
topikal
yang
anti-alergi
dan
cream, tablet
B. Cetirizine
Dosis
Indikasi
Kontraindikasi
berumur
kurang
dari
tahun.
Pada
beberapa
individu,
dapat
terjadi
reaksi
kerja
kuat
dan
panjang.
Bentuk sediaan
: Tablet, syrup
Interaksi Obat
jangan
diberikan
bersamaan.
Pembahasan Resep:
Obat utama eksema adalah kortikosteroid, alasannya berkaitan dengan
patofisiologinya.
Obat yang dipilih adalah hidrokortison karena memiliki potensiasi yang
terkecil, sehingga tidak terlalu besar efeknya (mengingat 2 khasiat steroid
sebagai antiinflamasi dan antimikotik).
Konsentrasi yang dipilih adalah 1% karean mencari batas yang aman /terkecil
yang diperbolehkan ( ada sediaan 1% dan 2,5%).
Pengobatan topikal didahulukan pada terapi kulit, selain itu agar langsung
tepat ke target site nya.
17
Daftar Pustaka:
Deya K.N. 2010. Dermatitis Atopik pada Wanita 44 Tahun dengan Riwayat
Intoleransi Makanan. Yogyakarta: UMY.
Fahmy A. 2010. Dermatitis Atopik pada Perempuan 30 Tahun dengan Riwayat
Atopik. Yogyakarta: UMY.
Gunawan S.G. 2007. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: FKUI.
Judarwanto W. 2009. Dermatitis Atopi pada Anak. Jakarta: Children Allergy
Centre.
Moeloek F.A. 2007. MIMS. Jakarta: CMP Medical Asia Pte Ltd.
Sandy N.J. 2010. Manifestasi Klinis dan Terapi Dermatitis Atopi. Yogyakarta:
UMY.
18