militer yang kedua kalinya ini segera membawa perubahan pada roda
pemerintahan daerah, karena kota Blitar yang saat itu menjadi
kedudukan pemerintahan propinsi diserbu dan diduduki Belanda
tanggal 21 Desember 1948. Karena itu Gubernur Dr. Moerdjani dan
staf terpaksa menyingkir dan bergerilya di lereng Gunung Willis. Dari
sana dia melanjutkan pemerintahan bersama-sama Gubernur Militer
Kolonel Sungkono.
Tetapi lereng Gunung Willis juga tak luput dari serbuan Belanda. Pada
tanggal 24 Februari 1949, kedudukan pemerintah daerah diserang dan
Belanda menangkap Gubernur Moerdjani dan Wagub Doel Arnowo
serta beberapa pejabat pemerintah daerah lainnya. Mereka kemudian
dibawa ke Surabaya dan ditahan di Hotel Sarkies. Dalam peristiwa
terpisah, Menteri Pembangunan dan Pemuda RI Supeno gugur
ditembak oleh pasukan Belanda di Desa Ganter, Nganjuk. Untuk
mengatasi keadaan maka Gubernur Militer Jawa Timur Kolonel
Sungkono menugaskan Wakil Gubernur Jawa Timur Samadikun
meneruskan perjuangan dari daerah Blitar Selatan (Lodoyo) bersamasama dengan Bupati Blitar Darmadi.
Aksi Militer II Belanda berakhir dengan tercapainya Persetujuan
Roem- Royen tanggal 7 Mei 1949 yang isinya antara lain
mengembalikan Presiden dan Wakil Presiden RI ke Yogyakarta pada
tanggal 6 Juli 1949. Sebagai kelanjutan dari R-R Statements itu, maka
dari tanggal 23 Agustus sampai 2 November 1949, di Denhaag
diadakan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang menghasilkan Piagam
Pengakuan Kedaulatan Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) oleh
Kerajaan Belanda. Di Amsterdam pengakuan kedaulatan tersebut
dilaksanakan oleh Ratu Juliana kepada Wakil RIS Mohammad Hatta,
dan di Jakarta dilakukan antara Wakil Tinggi Mahkota Belanda Dr.
Lovink kepada Wakil RIS Sultan Hamengku Buwono IX pada tanggal
27 Desember 1949.
Segera sesudah keputusan KMB ditandatangani pada tanggal 2
November 1949, di seluruh Indonesia termasuk di daerah Jawa
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, yang dari tahun 1971 hingga tahun
1976 menjadi gubernur definitif Ketika Mohammad Noer menjadi
Pemangku Jabatan Gubernur Kepala Daerah, situasi keamanan di
daerah Jawa Timur diguncang oleh PKI Gaya Baru yang memiliki
basis pertahanannya di Blitar Selatan.
Setelah aksi pengacauan PKI Gaya Baru ini berhasil ditumpas
menjelang akhir tahun 1968, barulah keadaan membaik. Bersamaan
dengan dicanangkannya Repelita I oleh pemerintah Orde Baru, Jawa
Timur mulai mengisi lem- baran-lembaran sejarahnya dengan
pembangunan di segala bidang. Bahkan berkat prestasinya di bidang
pembangunan, Jawa Timur tampil sebagai satu-satunya propinsi di
Tanah Air yang pertama kali dianugerahi Pataka Parasamnya
Purnakarya Nugraha oleh Pemerintah Pusat. Jika Jawa Timur dikenal
sebagai daerah yang paling kaya dengan gejolak, hal ini tampaknya
menunjukkan dinamisme yang dimiliki oleh masyarakatnya. Setelah
Gubernur
Mohammad
Noer
digantikan
oleh
Soenandar
Prijosoedarmo (1976-1983), dan selanjutnya Wahono (1983-1988),
lalu Sularso (1988-sekarang), Jawa Timur tetap tampil sebagai salah
satu propinsi yang mencatat pertumbuhan ekonomi tertinggi. Dan
prestasi ini terbukti dalam kemampuannya meraih penghargaan
paling terhormat di bidang pembangunan tersebut empat kali
berturut-turut, dari Pelita I sampai Pelita IV.