Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEMAM BERDARAH DENGUE


2.1.1. Definisi
Demam Berdarah Dengue adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus
dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti (Soegijanto, 2004). Demam
Berdarah Dengue adalah penyakitdemamyangdiikutipandarahan dibawah kulit, selaput
hidung dan lambung yang disebabkanolehvirusyang ditularkan melalui nyamuk Aedes
Aegypti. Penyakit ini menyerang semua orang dan menyebabkan kematian, terutama
pada anak serta sering menimbulkan wabah. (Irianto, 2009)
2.1.2. Etiologi
Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue dari kelompok Arbovirus B, yaitu
arthropod-borne atau virus yang disebarkan oleh artropoda. Virus ini termasuk genus
flavivirus dari famili flaviviridae. Nyamuk Aedes betina biasanya terinfeksi virus dengue
pada saat menghisap darah dari seseorang yang sedang berada pada tahap demam akut
(viraemia). Setelah melalui periode inkubasi ekstrinsik selama 8 sampai 10 hari, kelenjar
ludah Aedes akan menjadi terinfeksi dan virusnya akan ditularkan ketika nyamuk
menggigit dan mengeluarkan cairan ludahnya kedalam luka gigitan ke tubuh orang lain.
Setelah masa inkubasi instrinsik selama 3-14 hari (rata-rata selama 4-6 hari) timbul
gejala awal penyakit secara mendadak, yang ditandai dengan demam, pusing, myalgia
(nyeri otot), hilangnya nafsu makan dan berbagai tanda atau gejala non spesifik seperti
nausea (mual-mual), muntah dan rash (ruam pada kulit). Viraemia biasanya muncul pada
saat atau persis sebelum gejala awal penyakit tampak dan berlangsung selama kurang
lebih 5 hari setelah dimulainya penyakit. Saat-saat tersebut merupakan masa
kritisdimanapenderitadalammasasangat infektif untuk vektor nyamuk yang berperan
dalam siklus penularan (Widoyono, 2008; Sitio, 2008).
2.1.3. Penularan
Virus dengue (arbovirus) ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk Aedes
aegypti betina, dapat pula melalui gigitan nyamuk Aedes albopictus namun nyamuk
tersebut bukan sebagai vektor utama di daerah perkotaan. Sekali terinfeksi dengan
arbovirus, maka seumur hidup nyamuk akan tetap terinfeksi dan dapat terus menularkan
virus tersebut pada manusia. Beberapa faktor yang berkaitan dengan peningkatan
penularan antara lain:

a. Vektor: perkembangbiakan vektor, kepadatan vektor di lingkungan, transportasi


vektor dari satu tempat ke tempat lain.
b. Host: terdapatnya penderita di lingkungan, mobilisasi dan paparan terhadap nyamuk.
c. Lingkungan: curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk (Widiyono, 2011).
2.1.4. Patogenesis
Ada dua perubahan patofisiologi utama yang terjadi pada DBD. Pertama adalah
peningkatan permeabilitas vaskular yang meningkatkan kehilangan plasma dari
kompartemen vaskular. Keadaan ini mengakibatkan hemokonsentrasi, tekanan nadi
rendah dan tanda syok lainnya. Perubahan kedua adalah gangguan pada hemostatis yang
mencakup perubahan vaskular, trombositopenia dan koagulopati.
Virus bereplikasi di nodus limfatikus regional dan menyebar ke jaringan lain,
terutama ke sistem retikuloendotelial dan kulit secara hematogen. Tubuh akan
membentuk kompleks virus-antibodi dalam sirkulasi darah sehingga akan mengaktivasi
sistem komplemen yang berakibat dilepaskannya anafilaktosin C3a-C5a sehingga
permeabilitas dinding pembuluh darah meningkat. Akan terjadi juga agregasi trombosit
yang melepaskan ADP, trombosit melepaskan zat vasoaktif yang bersifat meningkatkan
permeabilitas kapiler dan melepaskan trombosit faktor III yang merangsang koagulasi
intrvaskular. Terjadinya aktivasi faktor XII akan menyebabkan pembekuan intravaskular
yang meluas dan meningkatkan permeabilitas dinding pembuluh darah. Defek trombosit
terjadi baik kualitatif dan kuantitatif. Beberapa trombosit yang bersirkulasi selama fase
akut DBD tidak dapat berfungsi normal. Oleh karena itu, meskipun penderita dengan
jumlah trombosit >100.000/mm3 mungkin masih mengalami masa perdarahan panjang.
2.1.5. Diagnosis
Diagnosis demam berdarah ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut
WHO tahun 1997 terdiri dari kriteria klinis dan laboratoris.
A.Kriteria Klinis
1. Demam tinggi mendadak, tanpa sebab jelas, berlangsung terus menerus selama 2 - 7 hari.
2. Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan :Uji tourniquet positif, ekomosis,
epitaksis, perdarahan gusi. Hemetamesisdan atau melena.
3. Pembesaran hati
4. Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi, hipotensi, kaki dan
tangan dingin, kulit lembab dan pasien tampak gelisah.
B.Kriteria Laboratoris

1. Trombositopenia(100.000 sel/ mm3 atau kurang)


2. Hemokonsentrasi peningkatan hematoksit 20% atau lebih
Dua kriteria pertama ditambah trombositopemia dan hemokonsentrasi atau
peningkatan hematokrit cukup untuk menegakkan diagnosis klinis demam berdarah
dengueDerajat Penyakit (WHO, 1997)
Derajat I

: Demam disertai gejala tidak khas dan satu satunya

manifestasi ialah uji tourniquetpositif.


Derajat II

: Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit dan atau

perdarahan lain.
Derajat III

: Didapatkan kegagalan sirekulasi, yaitu nadi cepat dan

lambat,tekanan mulut, kulit dingin atau lembab dan penderita tampak gelisah.
Derajat IV

: Syok berat, nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur

2.1.7. Penatalaksanaan
Tidak ada terapi spesifik untuk DBD, prinsip utama adalah terapi suportif.
Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling penting dalam
penanganan DBD. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga terutama cairan oral. Bila
asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan tambahan cairan
melalui intravena untuk mencegah kebocoran plasma yang berlebihan dan untuk
mengganti cairan intravaskular.

Gambar 2. Observasi dan pemberian cairan suspek DBD dewasa di IGD

Gambar 3. Pemberian cairan suspek DBD dewasa di ruang rawat

Gambar 4. Penatalaksaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%

Gambar 5. Penatalaksanaan syok dengue dewasa

2.2. VEKTOR DEMAM BERDARAH DENGUE


Vektor penular DBD adalah nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Kedua
spesies ini ditemukan hampir di seluruh wilayah Indonesia, kecuali di ketinggian >1000
m di atas permukaan laut. Di Indonesia Aedes aegypti merupakan vektor utama yang
paling berperan dalam penularan penyakit karena nyamuk ini hidup di dalam dan sekitar
rumah sehingga kesempatan untuk kontak dengan manusia lebih besar, sedangkan Aedes
albopictus hidup di kebun. Nyamuk Aedes aegypti biasa hidup di lingkungan gelap
tersembunyi sebagai tempat peristirahatannya. Larva nyamuk ini dapat ditemukan di
dalam atau di dekat perumahan, di dalam kaleng atau tempat-tempat penyimpanan air
yang relatif bersih yang digunakan untuk minum atau mandi. Sedangkan nyamuk Aedes
albopictus berkembangbiak di dalam lubang-lubang pohon, potongan batang bambu dan
buah kepala yang terbuka. Larvanya dapat hidup di dalam kaleng dan tempat
penampungan air lainnya.
2.2.1. Morfologi
Nyamuk Aedes aegypti dewasa berukuran kecil, memiliki warna dasar hitam
dengan bintik-bintik putih di badannya (terutama pada kaki) dan dikenal dari bentuk
morfologinya yang khas sebagai nyamuk yang mempunyai gambaran lira (lyre form)
yang putih pada punggungnya. Oksiput bersisik lebar, berwarna putih terletak
memanjang. Tibia berwarna hitam seluruhnya. Sayap bersisik hitam dan mempunyai
ukurtan selebar 2-3 mm. Sifat atau ciri-ciri nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor utama
DBD sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Sangat domestik
Senang tinggal di dalam ruangan
Senang bersitirahat di tempat yang gelap dan lembab
Senang hinggap di benda-benda yang menggantung
Menggigit pada pagi hari (09-12) dan sore hari (15-17)
Hidup tersebar di daerah tropis dan dataran rendah
Jarak terbang rata-rata 40-100 m.

2.2.2. Siklus Hidup


Nyamuk Aedes aegypti mengalami metamorfosis sempurna, yaitu telur larva/jentik - pupa/kepompong - nyamuk dewasa. Nyamuk betina meletakkan telurnya di
atas permukaan air dalam keadaan menempel pada dinding tempat perindukannya.
Stadium telur, larva dan pupa hidup di air. Seekor nyamuk betina dapat meletakkan ratarata 100 butir telur setiap kali bertelur. Telur nyamuk Aedes aegypti berwarna hitam dan
berukuran sangat kecil sekitar 0,7-0,8 mm. Telur biasanya menempel pada dinding

tempat perindukan. Pada umumnya telur akan menetas menjadi larva/jentik biasanya
sekitar dua hari setelah telur terendam air.
Stadium larva/jentik berlangsung 2-4 hari. Jentik nyamuk Aedes aegypti selalu
bergerak aktif di dalam air, gerakannya naik turun dari bawah ke atas secara berulang.
Gerakan ini dilakukan untuk bernapas. Jika terkena cahaya, jentik akan bergerak
menjauhi sumber cahaya. Pada waktu istirahat, posisi jentik berada tegak lurus dengan
permukaan air. Sesuai dengan pertumbuhan jentik nyamuk Aedes aegypti, ada empat
tingkatan (instar) jentik yang dibedakan berdasarkan ukuran tubuh, yakni instar I (1-2
mm), instar II (2,5-3,5 mm), instar III (ukuran lebih besar sedikit dari instar II) dan instar
IV (5 mm). Jentik biasanya hidup di air bersih yang tergenang, tidak terkena sinar
matahari dan tidak berhubungan langsung dengan tanah. Jentik sering ditemukan di bak
mandi, lokasi pengumpulan barang bekas, tempat air untuk menyiram tanaman dan
kendi. Jentik akan berubah menjadi pupa setelah 6-8 hari.
Stadium berikutnya adalah pupa berbentuk koma yang berlangsung dua hari pada
suhu 24-27C. Gerakannya lambat dan sering berada di atas permukaan air. Setelah 1-2
hari akan berubah menjadi dewasa dan melanjutkan siklus berikutnya. Dalam suasana
yang optimal, perkembangan dari telur menjadi dewasa memerlukan waktu sedikitnya
sembilan hari. Umur nyamuk betina diperkirakan mencapai 2-3 bulan.
Untuk keperluan hidupnya, nyamuk Aedes aegypti betina menghisap darah.
Darah manusia lebih disukai daripada darah binatang (antropofilik). Nyamuk Aedes
aegypti menghisap darah manusia setiap dua hari. Protein yang terkandung dalam darah
manusia digunakan untuk mematangkan telur yang dikandungnya agar dapat menetas
jika dibuahi oleh nyamuk Aedes aegypti jantan. Berbeda dengan nyamuk Aedes aegypti
betina, nyamuk Aedes aegypti jantan biasanya menghisap sari bunga atau tumbuhan.
Setelah menghisap darah, nyamuk akan mencari tempat hinggap yang digunakan untuk
istirahat. Tempat yang disukai nyamuk untuk beristirahat berupa benda-benda yang
tergantung seperti pakaian, kelambu, gorden atau tumbuhan di dekat tempat
perkembangbiakannya yang gelap dan lembab. Setelah beristirahat, nyamuk akan
bertelur dan menghisap darah kembali. Berbeda dengan nyamuk lainnya, nyamuk Aedes
aegypti memiliki kebiasaan menghisap darah secara berulang kali dalam satu siklus
gonotropik. Satu siklus gonotropik adalah waktu yag diperlukan untuk menyelesaikan
perkembangan telur mulai dari nyamuk menghisap darah sampai telur dikeluarkan,
biasanya berlangsung 3-4 hari. Hal inilah yang membuat nyamuk Aedes aegypti sangat
efektif dalam menularkan DBD (Hadi, 2012).

2.2.3. Ekologi Vektor


Ekologi vektor bertujuan untuk mempelajari hubungan antara vektor dan
lingkungannya atau mempelajari bagaimana pengaruh lingkungan terhadap vektor.
Lingkungan yang mempengaruhi vektor ada dua macam, yakni lingkungan fisik dan
lingkungan biotik.
1. Lingkungan fisik
a. Jarak antara rumah dan konstruksi rumah
Jarak rumah mempengaruhi penyebaran nyamuk dari satu rumah ke
rumah lain. Semakin dekat jarak antar rumah, semakin mudah nyamuk
menyebar ke rumah sebelah. Bahan-bahan pembuat rumah, konstruksi
rumah, warna dinding dan pengaturan barang-barang dalam rumah
menyebabkan rumah tersebut menjadi disenangi atau tidak oleh nyamuk.
b. Macam kontainer
Macam kontainer termasuk pula letak kontainer, bahan kontainer, warna,
bentuk, tutup dan asal air pada kontainer mempengaruhi nyamuk betina
dalam pemilihan tempat bertelur.
c. Ketinggian tempat
Setiap kenaikan 100 m suatu tempat, makan selisih suhu udara dengan
tempat semula adalah setengah derajat celcius. Bila perbedaan cukup
tinggi, maka perbedaan suhu juga akan cukup banyak dan mempengaruhi
pula faktor-faktor lain, termasuk penyebaran nyamuk. Pada ketinggian
1000 m di atas permukaan laut, tidak ditemukan vektor penular DBD.
d. Iklim
Iklim adalah suatu komponen fisik yan terdiri atas suhu udara,
kelembaban nisbi udara, curah hujan dan kecepatan angin. Rata-rata suhu
optimum untuk pertumbuhan nyamuk adalah 25-27C. Pertumbuhan
nyamuk akan berhenti sama sekali pada suhu <10C atau >40C. Umur
nyamuk juga dipengaruhi oleh kelembaban udara. Pada kelembaban
<60%, umur nyamuk akan menjadi pendek, tidak dapat menjadi vektor
karena tidak cukup waktu untuk perpindahan virus dari lambung ke
kelenjar ludah nyamuk. Curah hujan mempengaruhi dua cara yakni
turunnya temperatur dan naiknya kelembaban nisbi udara. Temperatur dan
kelembaban nisbi udara selama musim hujan sangat kondusif untuk
kelangsungan

hidup

nyamuk

dewasa

dan

juga

meningkatkan

kemungkinan hidup nyamuk yang terinfeksi. Secara tidak langsung, angin

akan mempengaruhi penguapan air dan suhu udara. Angin juga


berpengaruh pada penerbangan nyamuk. Bila kecepatan angin 11-14
m/detik, hal ini akan menghambat penerbangan nyamuk (Dini AMV,
2010).
2. Lingkungan biotik
Lingkungan biotik yang mempengaruhi penularan DBD terutama
adalah banyaknya tanaman pekarangan yang mempengaruhi pencahayaan
dan kelembaban di sekitar rumah. Kelembaban yang tinggi dan kurangnya
pencahayaan dalam rumah merupakan tempat yang disenangi nyamuk Aedes
aegypti untuk beristirahat.
2.2.4. Kepadatan Vektor
Monitoring kepadatan populasi nyamuk Aedes aegypti sangat penting untuk
membantu dalam mengadakan evaluasi adanya ancaman DBD di suatu wilayah. Untuk
mengetahui situasi vektor DBD, dilakukan pemantauan vektor DBD yang mencakup
kegiatan survei di rumah penduduk yang dipilih secara acak. Kegiatan survei yang biasa
dilakukan adalah survei nyamuk dewasa dan survei jentik.
1. Survei nyamuk dewasa
Survei nyamuk dewasa dilakukan dengan cara penangkapan nyamuk umpan orang di
dalam dan di luar ruangan. Masing-masing dilakukan selama 20 menit per rumah dan
penangkapan nyamuk yang hinggap di dinding dilakukan dengan cara yang sama.
Penangkapan nyamuk menggunakan alat yang disebut aspirator.
2. Survei jentik
Survei jentik dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Memeriksa semua tempat maupun bejana yang dapat menjadi tempat perindukan
nyamuk Aedes aegypti dengan mata telanjang untuk mengetahui adanya jentik.
b. Pada tempat penampungan air yang berukuran besar, sebaiknya menunggu sekitar satu
menit untuk memastikan adanya jentik bila penglihatan pertama tidak ditemukan adanya
jentik.
c. Pada tempat penampungan air yang berukuran kecil seperti vas bunga, pot tanaman,
botol yang airnya keruh sebaiknya dipindahkan terlebih dahulu ke wadah yang agak luas
sehingga dapat dilihat adanya jentik.
d. Saat memeriksa jentik di tempat yang agak gelap atau airnya keruh, sebaiknya
menggunakan senter.
Dalam program pemberantasan DBD, survei jentik yang biasanya digunakan
adalah dengan cara larva tunggal dan visual. Cara larva tunggal yakni dilakukan

pengambilan satu jentik di setiap tempat genangan air yang ditemukan jentik untuk
diidentifikasi lebih lanjut. Sedangkan cara visual yakni melihat ada atau tidaknya jentik
di setiap tempat genangan air yang diperiksa tanpa mengambil jentiknya. Ukuran yang
dipakai untuk mengetahui kepadatan jentik Aedes aegypti adalah:
a. Angka bebas jentik (ABJ) :
Jumlah rumah/bangunan yang tidak ditemukan jentik x100%
Jumlah rumah/bangunan yang diperiksa
b. Rumah indeks (HI) :
Jumlah rumah/bangunan yang ditemukan jentik x100%
Jumlah rumah/bangunan yang diperiksa
2.2.5.Pengendalian Vektor
Pengendalian vektor DBD adalah semua kegiatan yang bertujuan untuk menekan
kepadatan nyamuk dan jentik nyamuk yang berperan sebagai vektor penyakit DBD di
rumah atau bangunan yang meliputi perumahan, perkantoran, tempat umum, sekolah,
gudang, dan sebagainya.
Untuk memutuskan rantai penularan, pemberantasan vektor dianggap cara
paling memadai saat ini. Vektor demam berdarah dengue khususnya Aedes aegypti
sebenarnya mudah diberantas karena sarang-sarangnya terbatas di tempat yang berisi air
bersih dan jarak terbang maksimal dari nyamuk ini hanya 100 meter. Tetapi karena
vektor tersebar luas maka untuk keberhasilan pemberantasan perlu dilakukan total
coverage (meliputi seluruh wilayah) agar nyamuk tak dapat berkembang biak lagi.
Langkah-langkah kegiatan berhubungan dengan pengendalian vektor demam
berdarah dengue yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan RI, yaitu :
1. Surveilans tempat perindukan vektor
Pendataan rumah/bangunan di wilayah kerja
Pemeriksaan tempat perindukan vektor pada rumah/bangunan
Pengolahan data hasil pemeriksaan tempat perindukan vektor

Rekomendasi kepada petugas kesehatan dan sektor terkait


Laporan kepada atasan langsung dan sektor terkait
Penyebarluasan (sosialisasi, diseminasi informasi) hasil surveilans/pengamatan
kepada lintas program dan lintas sektor maupun swasta dan masyarakat.
2. Pengendalian vektor
Investigasi rumah/bangunan dan lingkungan yang potensial jentik di wilayah
kerja melalui survey lingkungan, sosekbud, dan survei entomologi.
Menentukan jenis pengendalian vektor sesuai dengan permasalahan di wilayah
kerja.
Melakukan pemberantasan vektor sesuai dengan jenisnya.
3. Penyuluhan dan penggerakan masyarakat
Melakukan identifikasi masalah sesuai dengan sasaran
Menentukan jenis media penyuluhan sesuai dengan sasaran
Menentukan materi penyuluhan pengendalian vektor
Melaksanakan penyuluhan dan penggerakan masyarakat dalam rangka
pengendalian vektor khususnya tempat perindukan
Menghimpun feed back (umpan balik) yang diberikan oleh sasaran.
4. Sosialisasi, advokasi, dan kemitraan
Melakukan pertemuan untuk sosialisasi terhadap lintas program, lintas sektor
terkait, swasta dan masyarakat.

Menentukan

jumlah

dan

jenis

peraturan/pedoman

yang

akan

disosialisasikanMelakukan advokasi terhadap pengambil keputusan di tingkat


kec.maupun kab/kota

Menjalin jejaring kerjasama baik thp lintas sektor maupun swasta


Hasil sosialisasi dilaporkan kepada atasan langsung dan sektor terkait.
5. Monitoring dan evaluasi
Pemantauan secara terus menerus terhadap hasil survailans tempat perindukan
Pembinaan teknis terhadap pemerintah (dinas kesehatan, puskesmas), swasta
dan masyarakat.
6. Peningkatan SDM
Menentukan jenis pelatihan yang sesuai dengan peserta yg dilatih
Melaksanakan pelatihan pengendalian vektor.
Langkah-langkah kegiatan penanggulangan kasus demam beradarah dengue di
wilayah kerja Puskesmas meliputi penyelidikan epidemiologi (PE) yaitu pencarian
penderita/tersangka DBD lainnya dan pemeriksaaan jentik di rumah penderita/tersangka
dalam radius sekurang-kurangnya 100 meter (di rumah penderita dan 20 rumah
sekitarnya) serta tempat-tempat umum yang diperkirakan menjadi sumber penularan.
Dari hasil PE bila ditemukan penderita DBD lain atau ada jentik dan penderita panas
tanpa sebab yang jelas > 3 orang maka dilakukan kegiatan penyuluhan mengenai 3 M
Plus, tindakan larvasidasi, pengasapan/fogging focus. Apabila tidak ditemukan maka
hanya melakukan penyuluhan dan kegiatan 3M Plus.13
Dalam hal pemberantasan vektor, langkah kegiatannya meliputi pemberantasan
sarang nyamuk demam berdarah dengue (PSN DBD) dengan cara 3 M Plus dan
pemeriksaan jentik berkala (PJB) tiap 3 bulan sekali tiap desa/kelurahan endemis pada
100 rumah/bangunan dipilih secara acak (random sampling) yang merupakan evaluasi
hasil kegiatan PSN DBD yang telah dilakukan masyarakat. Kegiatan in harus ditunjung
dengan pelaksanaan promosi kesehatan dalam bentuk penyuluhan tentang penyakit
demam berdarah dengue serta kegiatan monitoring dan evaluasi yang dilakukan secara
aktif yaitu melalui supervisi dan secara pasif melalui laporan hasil kegiatan.

2.2.6. Pemberantasan Vektor


Pemberantasan vektor penular (Aedes aegypti) merupakan cara utama untuk
menanggulangi DBD. Hal ini disebabkan karena belum tersedianya vaksin maupun obat
untuk membasmi virusnya. Pemberantasan nyamuk Aedes aegypti dapat dilakukan
terhadap nyamuk dewasa maupun jentiknya.
1. Pemberantasan nyamuk Aedes aegypti dewasa
Pemberantasan nyamuk Aedes aegypti dewasa dilakukan dengan cara
penyemprotan/pengasapan dengan insektisida (fogging). Insektisida yang digunakan
adalah golongan organofosfat (malathion dan fenitrothion), pyretoid (lamba sihalotrin
dan pernetrin) serta karbanat. Fogging dilakukan dalam dua siklus dengan interval satu
minggu untuk membatasi penularan virus. Penyemprotan dengan insektisida ini dalam
waktu singkat dapat membatasi penularan, namun tindakan ini perlu diikuti dengan
pemberantasan jentiknya agar populasi vektor penular DBD dapat ditekan (Sayono,
2012).
2. Pemberantasan jentik Aedes aegypti
Pemberatasan jentik Aedes aegypti dikenal dengan istilah Pemberantsan Sarang
Nyamuk (PSN) yang dilakukan dengan cara:
a. Kimia
Memberantas jentik dengan menggunakan insektisida (larvasida) yang lebih
dikenal dengan nama abatisasi. Larvasida yang digunakan adalah temephos. Formulasi
temephos yang digunaka adalah granules (butiran halus seperti pasir) dan dosis yang
digunakan sebanyak 10 gram (satu sendok makan) tiap 100 liter air. Temephos ini
mempunyai efek residu selama tiga bulan. Oleh karena itu, pemakaian temephos harus
rutin dilakukan secara periodik.
b. Biologi
Secara biologi, pemberantasan jentik dilakukan dengan cara memelihara ikan
pemakan jentik pada tempat-tempat yang menjadi penampung air seperti kolam dan vas
bunga. Ikan yang sebaiknya digunakan antara lain jenis ikan kepala timah, ikan tempalo,
ikan gupi dan ikan cupang.
c. Fisik
Cara ini dikenal dengan sebutan 3M (menguras, menutup dan mengubur).
Pengurasan dilakukan pada tempat-tempat penampungan air seperti bak mandi, bak air,
tempayan, bak tempat wudhu, vas bunga, tempat minum burung dan tempat penampung
air kulkas. Hal ini harus dilakukan sekurang-kurangnya seminggu sekali. Penutupan

tempat penampungan air juga turut dilakukan dengan cara menutup rapat agar nyamuk
tidak dapat masuk untuk berkembangbiak. Lubang bambu bekas ditebang juga harus
ditutup dengan tanah atau adonan semen. Terakhir, mengubur barang-barang bekas yang
dapat menjadi tempat berkembangbiak nyamuk seperti ban bekas, kaleng dan botol bekas
(Tamza, 2013).
2.2.7. Pemeriksaan Jentik Berkala
Pemeriksaan Jentik Berkala merupakan pemeriksaan tempat penampungan air
dan tempat perkembang biakan nyamuk Aedes aegypti untuk mengetahui adanya jentik
nyamuk. Kegiatan ini dilakukan secara teratur oleh petugas kesehatan atau kader atau
jumantik di rumah dan tempat-tempat umum. Selain melakukan pemeriksaan jentik,
petugas memberikan penyuluhan mengenai Pemberantasan Sarang Nyamuk kepada
masyarakat atau pengelola tempat umum. Dengan kunjungan yang berulang diharapkan
masyarakat dapat termotivasi untuk melaksanakan Pemberantasan Sarang Nyamuk
secara teratur. Tahapan pelaksanaan program Pemeriksaan Jentik Berkala sebagai berikut:
1. Persiapan
a. Pemetaan dan pengumpulan data penduduk, rumah/bangunan dan lingkungan oleh
puskesmas.
b. Pertemuan/pendekatan:
(1) Pendekatan lintas sektor (RT, RW, swasta, LSM, tokoh masyarakat)
(2) Pertemuan singkat kelurahan yang dihadiri lintas sektor masyarakat
(3) Pertemuan singkat RT yang dihadiri oleh warga setempat.
2. Melakukan kunjungan rumah
a. Penyusunan rencana waktu kunjungan rumah
b. Konseling tentang DBD (cara penularan, gejala klinik, dampak yang ditimbulkan,
komplikasi yang mungkin terjadi dan upaya pencegahannya)
c. Mengajak tuan rumah bersama-sama memeriksa tempat penampungan air dan
barang-barang yang menjadi tempat berkembangbiaknya nyamuk, baik di dalam
maupun luar rumah.
3. Melakukan pemeriksaan jentik
a. Pemeriksaan bak mandi, tempayan dan tempat penampungan air lainnya
b. Jika tidak tampak, tunggu satu menit. Pemeriksaan positif jika ditemukan jentik
yang muncul ke permukaan air
c. Gunakan senter untuk pemeriksaan di tempat gelap
d. Lakukan juga pemeriksaan di vas bunga, tempat minum burung, kaleng-kaleng
plastik, ban bekas dan lainnya.
4. Mencatat dan melaporkan hasil

a. Tulis tanggal pemeriksaan, nama petugas pemeriksa, nama wilayah bangunan yang
diperiksa dan hasil pemeriksaannya
b. Laporkan hasil pemeriksaan ke puskesmas setiap bulannya.
Program PJB di wilayah kerja Puskesmas Pancoran Mas berada di bawah
tanggung jawab koordinator sanitasi dan kesling Puskesmas Pancoran Mas. Program PJB
dilakukan oleh kader dari setiap RW yang merupakan perwakilan warga yang telah menjalani
penyuluhan dan pelatihan PJB sebelumnya. Kader tersebut melaksanakan program PJB
empat kali dalam sebulan biasanya dilakukan pada hari jumat kemudian dilaporkan ke
koordinator sanitasi dan kesling Puskesmas Pancoran Mas setiap bulannya. Program PJB
dipantau langsung oleh koordinator sanitasi dan kesling Puskesmas Pancoran Mas setiap
Jumat di setiap kelurahan. Pencatatan dan pelaporan bulanan program PJB dilakukan oleh
koordinator sanitasi dan kesling Puskesmas Pancoran Mas sebagai bahan evaluasi tahunan
Puskesmas Pancoran Mas. Berikut ini adalah tolok ukur pencapaian yang digunakan sebagai
landasan dalam program PJB Puskesmas Pancoran Mas:
Tabel 1. Variabel dan tolok ukur penilaian
No

Variabel

Cakupan angka
bebas jentik
(ABJ)
Laporan kasus
yang
ditindaklanjuti
dengan
penyelidikan
epidemiologi
(PE)

Jumlah bangunan yang tidak ada jentik x 100%


Jumlah bangunan yang diperiksa jentiknya
Jumlah kasus yang ada di wilayah kerja
puskesmas termasuk kasus yang ditemukan di
rumah sakit.

100%
laporan
kasus
ditindaklanj
uti dengan
PE

Pencatatan dan
pelaporan

Pencatatan dan pelaporan tahun sebelumnya


digunakan sebagai masukan dalam upaya
perbaikan program selanjutnya

Dilakukan
evaluasi
program

Angka
morbiditas
DBD

Morbiditas: banyaknya jumlah penderita DBD

Mengalami
penurunan
dari tahun
ke tahun

Definisi operasional atau rumus

Tolok ukur
keberhasil
an
>95%

5.

Angka
Mortalitas: banyaknya jumlah penderita yang
mortalitas DBD meninggal akibat DBD

Mengalami
penurunan
dari tahun
ke tahun

Sumber: Peraturan Pemerintah Daerah No. 6 Tahun 2007 tentang Pengendalian DBD

2.3. KESEHATAN LINGKUNGAN


Menurut World Health Organization (WHO), kesehatan lingkungan adalah suatu
keseimbangan ekologi yang harus ada antara manusia dan lingkungan agar dapat menjamin
keadaan sehat dari manusia. Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia (HAKLI)
mendefinisikan kesehatan lingkungan sebagai suatu kondisi lingkungan yang mampu
menopang keseimbangan ekologi yang dinamis antara manusia dan lingkungannya untuk
mendukung tercapainya kualitas hidup manusia yang sehat dan bahagia.(Setiyabudi,2007)
Terdapat 17 ruang lingkup kesehatan lingkungan menurut World Health Organization
(WHO), yaitu : (WHO, 2008)
1. Penyediaan air minum
2. Pengelolaan air buangan dan pengendalian pencemaran
3. Pembuangan sampah padat
4. Pengendalian vektor
5. Pencegahan/pengendalian pencemaran tanah oleh ekskreta manusia
6. Higiene makanan, termasuk higiene susu
7. Pengendalian pencemaran udara
8. Pengendalian radiasi
9. Kesehatan kerja
10. Pengendalian kebisingan
11. Perumahan dan pemukiman
12. Aspek kesling dan transportasi udara
13. Perencanaan daerah dan perkotaan
14. Pencegahan kecelakaan
15. Rekreasi umum dan pariwisata
16.Tindakan-tindakan

sanitasi

yang

berhubungan

dengan

epidemi/wabah, bencana alam dan perpindahan penduduk


17. Tindakan pencegahan yang diperlukan untuk menjamin lingkungan.

keadaan

Di Indonesia, berdasarkan undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang Pokok-Pokok


Kesehatan pasal 22 ayat 3 menyebutkan bahwa kesehatan lingkungan meliputi
kegiatan/program penyehatan air dan udara, pengamanan limbah padat, limbah cair, limbah
gas, radiasi, kebisingan, pengendalian vektor penyakit dan penyakit berbasis lingkungan, dan
penyehatan atau pengamanan lainnya. (Depkes RI, 1992)
Masalah kesehatan berbasis lingkungan disebabkan oleh kondisi lingkungan yang
tidak memenuhi syarat kesehatan baik kualitas maupun kuantitasnya, serta perilaku hidup
bersih dan sehat masyarakat yang masih rendah, mengakibatkan penyakit berbasis
lingkungan seperti diare, ISPA, TB Paru, DBD dan lain-lain. Di samping itu juga disebabkan
oleh pola pelayanan kesehatan yang masih menitik beratkan pada pelayanan kuratif. Bila
melihat kondisi lingkungan yang kurang sehat dan perilaku hidup bersih dan sehat
masyarakat yang masih rendah, maka perlu adanya program kegiatan terobosan yang dapat
memacu peningkatan kualitas lingkungan yang lebih baik, sehingga dapat menekan kejadian
penyakit yang berbasis lingkungan. Program kegiatan Siaga Kesehatan Lingkungan (Siaga
Kesling) yang merupakan kegiatan yang bertujuan meningkatkan kualitas lingkungan dengan
melibatkan peran serta masyarakat agar masyarakat terlindungi dari masalah penyakit yang
berbasis lingkungan. Tujuan khusus dari kegiatan Siaga Kesling adalah :
1. Meningkatnya perilaku masyarakat dalam berperilaku hidup bersih dan sehat
(PHBS).
2. Penanggulangan masalah kesehatan ke arah upaya preventif dan promotif.
3. Meningkatnya gerakan masyarakat dalam upaya penanggulangan masalah
kesehatan lingkungan.
4. Menurunnya penyakit berbasis lingkungan.
5. Penyebarluasan informasi mengenai kesehatan lingkungan dan meningkatkan
pengetahuan tentang kesehatan lingkungan kepada masyarakat.
2.4. SISTEM
2.4.1. Pengertian Sistem
Kata sistem awalnya berasal dari bahasa Yunani (sustma) dan bahasa Latin
(systma). Beberapa macam pengertian dari sistem antara lain:
a) Sistem adalah suatu struktural konseptual yang terdiri dari fungsi-fungsi yang saling
berhubungan yang bekerja sebagai satu unit organik untuk mencapai keluaran yang
diinginkan secara efektif dan efisien.

b) Sistem adalah gabungan dari elemen-elemen yang saling dihubungkan oleh suatu
proses atau struktur dan berfungsi sebagai satu kesatuan organisasi dalam upaya
menghasilkan sesuatu yang telah ditetapkan.
c) Sistem adalah kumpulan dari bagian-bagian yang berhubungan dan membentuk satu
kesatuan yang majemuk, dimana masing-masing bagian bekerja sama secara bebas dan
terkait untuk mencapai sasaran kesatuan dalam suatu situasi yang majemuk pula.
d) Sistem adalah suatu kesatuan yang utuh dan terpadu dari berbagai elemen yang
berhubungan serta saling mempengaruhi yang dengan sadar dipersiapkan untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Sesuatu disebut sebagai sistem apabila ia memiliki beberapa ciri pokok sistem.
Ciri-ciri pokok yang dimaksud banyak macamnya, jika disederhanakan dapat
dibedakan atas empat macam yaitu (Anwar, 2008):
1.

Dalam sistem terdapat bagian atau elemen yang satu sama lain saling
berhubungan dan mempengaruhi yang membentuk satu kesatuan, dalam arti semuanya
berfungsi untuk mencapai tujuan yang sama yang telah ditetapkan.

2.

Fungsi yang diperankan oleh masing-masing bagian atau elemen yang


membentuk satu kesatuan tersebut adalah dalam rangka mengubah masukan menjadi
keluaran yang direncanakan.

3.

Dalam melaksanakan fungsi tersebut, semuanya bekerja sama secara bebas


namun terkait, dalam arti terdapat mekanisme pengendalian yang mengarahkannya agar
tetap berfungsi sebagaimana yang telah direncanakan.

4.

Sekalipun sistem merupakan satu kesatuan yang terpadu, bukan berarti ia


tertutup terhadap lingkungan.

2.4.2. Unsur-unsur Sistem


Sistem terbentuk dari bagian atau elemen yang saling berhubungan dan
mempengaruhi. Adapun yang dimaksud dengan bagian atau elemen tersebut
dikelompokan ke dalam enam unsur yaitu:
1. Masukan (input)
Masukan adalah kumpulan bagian atau elemen yang terdapat dalam sistem dan yang
diperlukan untuk dapat berfungsinya sistem tersebut. Dalam sistem pelayanan
kesehatan, masukan terdiri atas tenaga, dana, metode, sarana/material.
2. Proses (process)

Proses adalah kumpulan bagian atau elemen yang terdapat dalam sistem dan yang
berfungsi untuk mengubah masukan menjadi keluaran yang direncanakan. Dalam
sistem pelayanan kesehatan terdiri atas perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan
dan penilaian.
3. Keluaran (output)
Keluaran adalah kumpulan bagian atau elemen yang dihasilkan dari berlangsungnya
proses dalam sistem.
4. Umpan balik (feed back)
Umpan balik adalah kumpulan bagian atau elemen yang merupakan keluaran dari
sistem dan sekaligus sebagai masukan bagi sistem tersebut.
5. Dampak (impact)
Dampak adalah akibat yang dihasilkan oleh keluaran suatu sistem.
6. Lingkungan (environment)
Lingkungan adalah dunia diluar sistem yang tidak dikelola olah sistem tetapi
mempunyai pengaruh besar terhadap sistem.

LINGKUNGAN

MASUKAN

PROSES

KELUARAN

DAMPAK

UMPAN BALIK

Bagan 1. Hubungan unsur-sistem

2.4.3. Pendekatan Sistem


Dibentuknya suatu sistem pada dasarnya untuk mencapai suatu tujuan tertentu
yang telah ditetapkan. Untuk terbentuknya sistem tersebut perlu dirangkai berbagai
unsur atau elemen sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan membentuk suatu
kesatuan dan secara bersama-sama berfungsi untuk mencapai tujuan kesatuan. Apabila
prinsip pokok atau cara kerja sistem ini diterapkan pada waktu menyelenggarakan
pekerjaan administrasi, maka prinsip pokok atau cara kerja ini dikenal dengan nama

pendekatan sistem (system approach). Pada sistem ini batasan tentang pendekatan
sistem banyak macamnya, beberapa yang terpenting adalah :
1.

Pendekatan sistem adalah penerapan suatu prosedur


yang logis dan rasional dalam merancang suatu rangkaian komponen-komponen yang
berhubungan sehingga dapat berfungsi sebagai satu kesatuan mencapai tujuan yang
telah ditetapkan.

2.

Pendekatan

sistem

adalah

suatu

strategi

yang

menggunakan metode analisis, desain dan manajemen untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan secara efektif dan efisien.
3.

Pendekatan sistem adalah penerapan dari cara berpikir


yang sistematis dan logis dalam membahas dan mencari pemecahan dari suatu masalah
atau keadaan yang dihadapi.

2.4.4. Evaluasi Program


Menurut The American Public Association definisi evaluasi adalah suatu proses
untuk menentukan nilai atau jumlah keberhasilan dari pelaksanaan suatu program dalam
mencapai tujuan yang telah ditetapkan, sedangkan menurut The International Clearing
House on Adolescent Fertility Control For Population Options, evaluasi adalah suatu
yang teratur dan sistematis dalam membandingkan hasil yang dicapai dengan tolok ukur
dan kriteria yang telah ditetapkan, dilanjutkan dengan pengambilan kesimpulan serta
penyusunan saran-saran, yang dapat dilakukan pada setiap tahap dari pelaksanaan
program. Menurut Riecken, evaluasi adalah pengukuran terhadap akibat yang
ditimbulkan dari dilaksanakannya program dalam mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Evaluasi program dapat dilakukan pada setiap tahap program tergantung
tujuannya, yakni:
1. Evaluasi formatif (dilakukan pada tahap perencanaan program)
Tujuannya adalah meyakinkan bahwa rencana yang akan disusun benar-benar telah
sesuai dengan masalah yang ditemukan sehingga nantinya dapat menyelesaikan
masalah tersebut.
2. Evaluasi promotif (dilakukan pada tahap pelaksanaan program)
Tujuannya untuk mengukur apakah program yang sedang dilaksanakan tersebut
telah sesuai dengan rencana atau tidak dan apakah terjadi penyimpangan yang dapat
merugikan tujuan program.
3. Evaluasi sumatif (dilakukan pada tahap akhir program)

Tujuannya untuk mengukur keluaran atau dampak bila memungkinkan. Jenis


evaluasi ini yang dilakukan dalam makalah ini.
Ruang lingkup evaluasi program secara sederhana dibedakan menjadi empat
kelompok, yakni evaluasi terhadap masukan, proses, keluaran dan dampak secara
umum. Evaluasi bertujuan untuk menilai keberhasilan program serta meningkatkan
keberhasilan program di masa yang akan datang. Langkah-langkah yang ditempuh
dalam melakukan evaluasi terhadap suatu program meliputi:
1. Penentuan topik/judul
2. Penentuan indikator keluaran
3. Pentuan tolok ukur/nilai dari tiap indikator keluaran
4. Temukan pencapaian/hasil dari masing-masing indikator keluaran
5. Bandingkan pencapaian masing-masing indikator keluaran program dengan tolok
ukurnya
6. Penentuan masalah (kesenjangan antara pencapaian dengan tolok ukurnya)
7. Penentuan prioritas masalah
8. Penentuan penyebab masalah
9. Pembuatan kerangka konsep dari masalah yang diprioritaskan
10. Penentuan prioritas penyebab masalah
11. Pembuatan alternatif jalan keluar
12. Penentuan prioritas jalan keluar
13. Pembuatan kesimpulan yang terdiri atas masalah yang ditemukan, prioritas
masalah, penyebab masalah, alternatif jalan keluar dan jalan keluar yang terpilih
14. Pembuatan saran.

Anda mungkin juga menyukai