Anda di halaman 1dari 24

PEMBAHASAN

1. DEFINISI
Sistemik lupus erytematosus adalah penyakit autoimun kronis
(> 6 minggu sampai bertahun tahun) yang di tandai dengan
berbagai

antibodi

yang

membentuk

kompleks

imun

dan

menimbulkan inflamasi pada berbagai organ. Oleh karena


bersifat sistemik maka manifestasinya sangat luas (merusak
bagian kulit, sendi dan tergantung organ yang terkena) mulai
dari manifestasi klinis yang ringan berupa ruam atau sampai
pada manefestasi klinis yang berat misalnya lupus nefritis
lupuscerebral,

(lupusneuropsikiatrik)

pnemonitis,

perdarahan

paru. Perjalanannya penyakitnya bersifat fluktuatif yang di tandai


dengan periode tenang dan eksaserbasi (Wallace, 2007).
Pada lupus, sistem kekebalan tubuh yang biasanya
memproduksi protein sebagai antibodi untuk perlindungan diri,
namun berubah menciptakan autoantibodi yang menyerang
jaringan sehatnya sendiri karena tidak bisa membedakan antara
penjajah dan jaringan sehatnya. Autoantibodi berkontribusi
terhadap

peradangan,

nyeri,

penyakit

radang

atau

inflamasimultisistem yang penyebabnya diduga karena adanya


perubahan sistem imun.
Perjalanan penyakit LES sulit diduga dan sering berakhir
dengan

kematian.

Karenanya

LES

harus

dipertimbangkan

sebagai diagnosis banding bila anak mengalami demam yang


tidak diketahui penyebabnya, artralgia, anemia, nefritis, psikosis,
dan fatigue. Penyebab terjadinya LES belum diketahui. Berbagai
faktor dianggap berperan dalam disregulasi sistem imun. Pada
anak perempuan, awitan LES banyak ditemukan pada umur 9-15
tahun (Davey, 2006).
2. EPIDEMIOLOGI
Penyakit ini menyerang wanita muda dengan insiden puncak
usia 15-40 tahun selama masa reproduktif dengan ratio wanita

dan pria 5:1. Prevalensi LES di Amerika Serikat adalah 15-50 per
100.000 populasi. Setiap tahun ditemukan lebih dari 100.000
penyandang LES baru di seluruh dunia. Dapat mengenai semua
ras, adapun wanita Afrika-Amerika mempunyai insidensi tiga kali
lebih

tinggi

dibandingkan

kulit

putih

serta

memiliki

kecenderungan perkembangan penyakit pada usia muda dan


dengan komplikasi yang lebih serius. LES juga umum mengenai
wanita hispanik, asia. Beberapa data yang ada di Indonesia
diperoleh dari pasien rawat inap di rumah sakit. Data antara
tahun 1988-1990, insidensi rata-rata penyandang LES adalah
sebesar 37,7 per 10.000 perawatan dan cenderung meningkat
dalam dua dekade terakhir.
Lupus

Eritematosus

Sistemik

biasanya

ditemukan

pada

wanita berusia 20-40 tahun (90%) dan diperberat bila terkena


sinar matahari dan infeksi. Di Inggris pravelensinya (per 100.000)
adalah 36 untuk wanita kulit putih, 90 untuk wanita Asia, dan
200-500 orang untuk wanita Afro-Karibia. Penyakit ini jarang
dijumpai pada orang Afrika di Afrika. (David, wayne, 2007).
3. ETIOLOGI
Etiologi dari penyakit ini belum seluruhnya diketahui namun
diduga :
- Faktor

genetik

Factor

genetic

meningkatkan

adanya

penemuan autoimun dibandingkan dengan populasi lain.


Kecenderungan meningkatnya SLE yang terjadi pada anak
kembar identik menggambarkan adanya kemungkinan factor
genetic yang berperan dalam penyakit ini. Gen-gen yang
memiliki

resiko

tinggi

terjadinya

SLE

terutama

Human

Leukocyte Antigen-DR2 yang menunjukkan sel-sel yang


mampu memberikan antigen ke sel darah putih, HLA-DR3
yang mengurus gen structural yang memproduksi berbagai

jenis unsure penting pada darah dan jaringan sel lupus, dan
biasa terdapat linkage SLE pada kromosom 1.
- Faktor obat : terutama hydrallazine yang digunakan secara
luas untuk terapi pada hipertensi.1,3,4 Sindrom ini terjadi
pada 6-7% penderita hipertensi, setelah terapi selama 3
tahun dengan hydrallazine,dengan dosis 100 mg/hari (5,4%)
dan 200mg/hari (10,4%). Tetapi tidak terjadi pada pemberian
dengan dosis 50 mg/hari.
- Jenis kelamin : lebih tinggi pada wanita (11,6%) dibanding
pria (2,8%).
- Radiasi sinar ultraviolet : dapat juga sebagai faktor pencetus
pada onset SLE atau penyebab kekambuhan pada perjalanan
penyakit ini di mana dapat ditemukan antibodi terhadap
radiasi ultraviolet.
- Faktor lain yang dapat sebagai pencetus adalah infeksi
bakteri, dan stress baik fisik maupun mental.
4. KLASIFIKASI
Klasifikasi penyakit SLE ada 3 menurut (fredy, 2008) yaitu :
1. Cutaneous lupus atau seringkali disebut discoid dimana
penyakit ini hanya menyerang bagian kulit saja. Untuk
mengetahui gambaran penyakit ini yaitu: adanya ruam
yang muncul didaerah leher, kulit kepala atau bahkan ruam
pada seluruh tubuh, salah satu bagian tubuh dan atau
seluruh tubuh berwarna merah sampai gatal dan hampir
semua golongan ini akan berubah menjadi sistemik
2. Sistemik lupus yaitu penyakit lupus yang menyerang organ
tubuh seperti: persendian, otot atau saraf, darah,
pembuluh darah, paru-paru, ginjal, jantung, hati, dan mata.
Penyakit ini, adalah jenjang penyakit lupus yang sangat
berat karena jenis ini menyerang organ-organ vital
baiksatu atau beberapa organ lainnya.

3. Drug induced lupus (DIL) yang timbul setelah sering


menggunakan obat-obat tertentu. Obat-obat antibiotik
seperti golongan sulfa, obat-obat antitubercolosis seperti
INH, golongan obat prokoinamid untuk jantung, namun
untuk beberapa tahun terakhir ini obar hydralazin dan
prokoinamid sudah jarang sekali digunakan.
4. FAKTOR RESIKO
a. Faktor resiko genetik meliputi jika (frekuensi pada wanita
dewasa 8 kalilebih sering dari pada pria dewasa). Umur
(lebih sering pada usia 20-40 tahun), etnik, dan faktor
keturunan
keluarga

(frekuensinya
dimana

20

kali

terdapat

lebih

anggota

sering

dengan

dalam

penyakit

tersebut)
b. Faktor resiko hormon, estrogen menambah resiko LES,
sedangkan endrogen mengurangi resiko ini.
c. Sinar ultra violet, mengurangi supresi imun sehingga terapi
menjadi

kurang

efektif,

sehingga

LES

kambuh

atau

bertambah berat. Ini disebabkan sel kulit mengeluarkan


sitokin

dan

ditempat

prostaglandin

tersebut

sehingga

sehingga

secara

terjadi

inflamasi

sistemik

melalui

pererdaran dipembuluh darah.


d. Imunitas, pada pasien LES terdapat hiperaktivitas sel B
atau toleransi terhadap sel T.
e. Obat, obat tertentu dalam presentase kecil sekali pada
pasien tertentu dan dimana dalam jangka waktu tertentu
dapat mencetuskan lupus obat (Drug Induced Lupus
Erythematosus atau DILE). Jenis obet yang menyebabkan
lupus

adalah

klorpromazin,

metildopa,

hidralasin,

prokainamid, dan isoniazid.


f. Infeksi, pasien LES cenderung mudah mendapat infeksi dan
kadang-kadang penyakitnya ini kambuh setelah infeksi.
g. Stress, stres berat dapat mencetuskan LES pada pasien
yang sudah memiliki kecenderungan akan pasien ini.

5. PATOFISIOLOGI
Genetik, Lingkungan, virus, obat-obatan
Gangguan Imunnoregulasi
Meningkatnya antibody berlebih
Antibody menyerang organ-organ tubuh (sel/jaringan)
Menimbulkan sel T supresor yang abnormal
Penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan
produksi

kerusakan jaringan bibir dan

antibody

secara

terus

menerus

mulut
Nyeri

Mencetus penyakit inflamasi pada organ


Kulit

sendi

Bintik-bintik
pada

Arthritis

seuruh

tubuh

Intoleransi
Aktivitas

Kerusakan
Integritas Kulit Hambatan
Imobilitas

darah
HB turun
Suplai
nutrisi
menurun

Ginjal

Suplai
Protein UrinariTerjadi
Kerusakan O2
ke
zat
angotak
O2/Protein tubuh
dibutuhkanmenurun
menurun
tubuh
Perubahan

ATP
menurun
Keletihan

Otak

pertimbanganPerubahan tidak
nutrisi
dapat O2
dan
pertimbangankurang dari
kebutuhan Resiko
kematian

hati

Otak

6. MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis penyakit ini sangat beragam tergantung


organ yang terlibat dimana dapat melibatkan banyak organ
dalam

tubuh

manusia

dengan

perjalanan

klinis

yang

kompleks, sangat bervariasi, dapat ditandai oleh serangan


akut, periode aktif, kompleks, atau remisi dan seringkali pada
keadaan awal tidak dikenali sebagai LES. Hal ini dapat terjadi
karena manifestasi klinis penyakit LES ini seringkali tidak
terjadi secara bersamaan. Seseorang dapat saja selama
beberapa tahun mengeluhkan nyeri sendi yang berpindahpindah tanpa adanya keluhan lain. Kemudian diikuti oleh
manifestasi

klinis

lainnya

seperti

fotosensitivitas

dan

sebagainya yang pada akhirnya akan memenuhi kriteria LES.


1. Manifestasi Konstitusional
Kelelahan merupakan keluhan yang umum dijumpai pada
penderita LES dan biasanya mendahului berbagai manifestasi
klinis lainnya.. Kelelahan ini agak sulit dinilai karena banyak
kondisi lain yang dapat menyebabkan kelelahan seperti
anemia, meningkatnya beban kerja, konflik kejiwaan, serta
pemakaian
disebabkan

obat

seperti

oleh

prednison.

aktivitas

penyakit

Apabila

kelelahan

LES,

diperlukan

pemeriksaan penunjang lain yaitu kadar C3 serum yang


rendah. Kelelahan akibat penyakit ini memberikan respons
terhadap pemberian steroid atau latihan. Penurunan berat
badan dijumpai pada sebagian penderita LES dan terjadi
dalam

beberapa

Penurunan
menurunnya

bulan

berat
nafsu

badan

sebelum
ini

makan

diagnosis

dapat
atau

ditegakkan.

disebabkan
diakibatkan

oleh
gejala

gastrointestinal.
Demam sebagai salah satu gejala konstitusional LES sulit
dibedakan dari sebab lain seperti infeksi karena suhu tubuh
lebih dari 40C tanpa adanya bukti infeksi lain seperti

leukositosis. Demam akibat LES biasanya tidak disertai


menggigil.
2. Manifestasi Muskuloskeletal
Pada penderita LES, manifestasi pada muskuloskeletal
ditemukan poliartritis, biasanya simetris dengan episode
artralgia pada 90% kasus. Pada 50% kasus dapat ditemukan
kaku pagi, tendonitis juga sering terjadi dengan akibat
subluksasi sendi tanpa erosi sendi. Gejala lain yang dapat
ditemukan berupa osteonekrosis yang didapatkan pada 5-10%
kasus dan biasanya berhubungan dengan terapi steroid.
Selain itu, ditemukan juga mialgia yang terjadi pada 60%
kasus, tetapi miositis timbul pada penderita LES< 5% kasus.
Miopati juga dapat ditemukan, biasanya berhubungan dengan
terapi steroid dan kloroquin. Osteoporosis sering didapatkan
dan berhubungan dengan aktifitas penyakit dan penggunaan
steroid.
3. Manifestasi Kardiovaskular
Kelainan kardiovaskular pada LES antara lain penyakit
perikardial, dapat berupa perikarditis ringan, efusi perikardial
sampai penebalan perikardial. Miokarditis dapat ditemukan
pada 15% kasus, ditandai oleh takikardia, aritmia, interval PR
yang

memanjang,

Endokarditis

kardiomegali

Libman-Sachs,

sampai

seringkali

gagal

tidak

jantung.

terdiagnosis

dalam klinik, tapi data autopsi mendapatkan 50% LES disertai


endokarditis Libman-Sachs. Adanya vegetasi katup yang
disertai demam harus dicurigai kemungkinan endokarditis
bakterialis. Wanita dengan LES memiliki risiko penyakit
jantung koroner 5-6% lebih tinggi dibandingkan wanita
normal. Pada wanita yang berumur 35-44 tahun, risiko ini
meningkat sampai 50%.
4. Manifestasi Paru-paru
Kelainan paru-paru pada LES seringkali bersifat subklinik
sehingga foto toraks dan spirometri harus dilakukan pada
pasien LES dengan batuk, sesak nafas atau kelainan respirasi

lainnya. Pleuritis dan nyeri pleuritik dapat ditemukan pada


60% kasus. Efusi pleura dapat ditemukan pada 30% kasus,
tetapi biasanya ringan dan secara klinik tidak bermakna.
Fibrosis interstitial, vaskulitis paru dan pneumonitis dapat
ditemukan pada 20% kasus, tetapi secara klinis seringkali sulit
dibedakan dengan pneumonia dan gagal jantung kongestif.
Hipertensi pulmonal sering didapatkan pada pasien dengan
sindrom antifosfolipid. Pasien dengan nyeri pleuritik dan
hipertensi pulmonal harus dievaluasi terhadap kemungkinan
sindrom antifosfolipid dan emboli paru.
5. Manifestasi Ginjal
Penilainan keterlibatan ginjal pada pasien LES harus
dilakukan dengan menilai ada/tidaknya hipertensi, urinalisis
untuk

melihat

proteinuria

dan

silinderuria,

ureum

dan

kreatinin, proteinuria kuantitatif, dan klirens kreatinin. Secara


histologik, WHO membagi nefritis lupus atas 5 kelas. Pasien
SLE dengan hematuria mikroskopik dan/atau proteinuria
dengan penurunan GFR harus dipertimbangkan untuk biopsi
ginjal.
6. Manifestasi Hemopoetik
Pada LES, terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang
disertai dengan anemia normositik normokrom yang terjadi
akibat anemia akibat penyakit kronik, penyakit ginjal kronik,
gastritis erosif dengan perdarahan dan anemia hemolitik
autoimun. Selain itu, ditemukan juga lekopenia dan limfopenia
pada 50-80% kasus. Adanya leukositosis harus dicurigai
kemungkinan infeksi. Trombositopenia pada LES ditemukan
pada 20% kasus. Pasien yang mula-mula menunjukkan
gambaran trombositopenia idiopatik (ITP), seringkali kemudian
berkembang menjadi LES setelah ditemukan gambaran LES
yang lain.
7. Manifestasi Susunan Saraf12
Keterlibatan Neuropsikiatri LES sangat bervariasi, dapat
berupa migrain, neuropati perifer, sampai kejang dan psikosis.

Kelainan tromboembolik dengan antibodi anti-fosfolipid dapat


merupakan penyebab terbanyak kelainan serebrovaskular
pada LES. Neuropati perifer, terutama tipe sensorik ditemukan
pada 10% kasus.
Ketelibatan saraf otak, jarang ditemukan.Kelainan psikiatrik
sering ditemukan, mulai dari anxietas, depresi sampai
psikosis. Kelainan psikiatrik juga dapat dipicu oleh terapi
steroid.

Analisis

memberikan
menyingkirkan

cairan

gambaran

serebrospinal
yang

kemungkinan

spesifik,

infeksi.

seringkali

tidak

kecuali

untuk

Elektroensefalografi

(EEG) juga tidak memberikan gambaran yang spesifik. CT


scan otak kadang-kadang diperlukan untuk membedakan
adanya infark atau perdarahan. (Wicaksono, 2012)
8. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan lab penderita lupus:
1. Hematologi lengkap dan urin
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan

pada

penyakit Lupus Eritematosus Sistemik ( LES ) adalah


pemeriksaan darah rutin dan pemeriksaan urin. Hasil
pemeriksaan darah pada penderita LES menunjukkan
adanya anemia hemolitik, trombositopenia, limfopenia,
atau leukopenia; erytrocytesedimentation rate (ESR)
meningkat selama penyakit aktif, Coombs test mungkin
positif, level IgG mungkin tinggi, ratio albumin-globulin
terbalik, dan serum globulin meningkat. Selain itu, hasil
pemeriksaan urin pada penderita LES menunjukkan
adanya proteinuria, hematuria, peningkatan kreatinin,
dan ditemukannya Cast, hemegranular atau sel darah
merah pada urin.
2. Laju endap darah
3. Kimia darah (untuk mengetahui apakan organ-organ
sehat dan tetap berfungsi normal)
4. Kadar komplemen
Komplemen adalah suatu molekul dari sistem imun
yang tidak spesifik. Komplemen terdapat dalam sirkulasi

dalam keadaan tidak aktif. Bila terjadi aktivasi oleh


antigen, kompleks imun dan lain lain, akan menghasilkan
berbagai mediator yang aktif untuk menghancurkan
antigen tersebut. Komplemen merupakan salah satu
sistem enzim yang terdiri dari 20 protein plasma dan
bekerja secara berantai (self amplifying) seperti model
kaskade pembekuan darah dan fibrinolisis. Pada LES,
kadar C1,C4,C2 dan C3 biasanya rendah, tetapi pada
lupus kutaneus normal. Penurunan kadar kompemen
berhubungan dengan derajat beratnya SLE terutama
adanya

komplikasi

penderita

dengan

ginjal.

Observasi

eksaserbasi,

serial

penurunan

pada
kadar

komplemen terlihat lebih dahulu dibanding gejala klinis.


5. Antinuclear antibody test (ANA) (skrining penyakit
autoimun pada individu dengan dugaan autoimun)
Antinuklear antibodi (ANA) merupakan suatu
kelompok autoantibodi yang spesifik terhadap asam
nukleat dan nukleoprotein, ditemukan padaconnective
tissue disease seperti SLE, sklerosis sistemik, Mixed
Connective

Tissue

Disease

(MCTD)

dan

sindrom

sjogrens primer. ANA pertama kali ditemukan oleh


Hargreaves pada tahun 1948 pada sumsum tulang
penderita LES. Dengan perkembangan pemeriksaan
imunodifusi dapat ditemukan spesifisitas ANA yang baru
seperti Sm, nuclear ribocleoprotein (nRNP), Ro/SS-A dan
La/SS-B. ANA dapat diperiksa dengan menggunakan
metode

imunofluoresensi.

ANA

digunakan

sebagai

pemeriksaan penyaring pada connective tissue disease.


Dengan pemeriksaan yang baik, 99% penderita LES
menunjukkan pemeriksaan yang positif, 68% pada
penderita sindrom Sjogrens dan 40% pada penderita
skleroderma.ANA juga pada 10% populasi normal yang
berusia > 70 tahun.

6. Pemeriksaan autoantibodi lain (anti-dsDNA, anti-Sm,


anti-RNP, anti-Ro[SSA], anti-La [SSB])
Proses patogenik setiap penyakit tidak terlepas
kaitannya dengan berbagai proses imunologik, baik
yang non spesifik atau spesifik. Kaitan tersebut tentunya
terlihat lebih nyata pada penyakit-penyakit autoimun
termasuk di 18 dalamnya LES, Arthritis Reumatoid,
sindroma Sjogren dan sebagainya. Adanya antibodi
termasuk autoantibodi sering dipakai dalam upaya
membantu

penegakkan

diagnosis

maupun

evaluasi

perkembangan penyakit dan terapi yang diberikan.


Pembentukan autoantibodi cukup kompleks dan belum
ada satu kajian yang mampu menjelaskan secara utuh
mekanisme patofisiologiknya. Demikian pula halnya
dengan

masalah

otoimunitas.

Pada

masalah

yang

terakhir, dikatakan terdapat kekacauan dalam sistim


toleransi imun dengan sentralnya pada Thelper dan
melahirkan banyak hipotesis, antara lain modifikasi
autoantigen, kemiripan atau mimikri molekuler antigenik
terhadap epitop sel-T, cross reactive peptide terhadap
epitop

sel-B,

mekanisme

bypass

idiotipik,

aktivasi

poliklonal dan sebaginya. Mekanisme lain juga dapat


dilihat dari sudut adanya gangguan mekanisme regulasi
sel baik dari tingkat thymus sampai ke peripher.
Kekacauan ini semakin besar kesempatan terjadinya
sejalan dengan semakin bertambahnya usia seseorang.
Umumnya,

autoantibodi

itu

sendiri

tidak

segera

menyebabkan penyakit. Oleh karenanya, lebih baik


autoantibodi

dipandang sebagai

petanda

(markers)

proses patologik daripada sebagai agen patologik.


Kadarnya yang dapat naik atau turun dapat berkaitan
dengan aktivitas penyakit atau sebagai hasil intervensi

terapi. Kompleks autoantigen dan autoantibodilah yang


akan memulai rangkaian penyakit autotoimun. Hingga
saat ini hipotesis yang dianut adalah autoantibodi baru
dikatakan memiliki peran dalam perkembangan suatu
penyakit reumatik autoimun apabila ia berperan dalam
proses patologiknya.
7. Antibodi terhadap DNA
Antibodi terhadap

DNA

(Anti

ds-DNA)

dapat

digolongkan dalam antibodi yang reaktif terhadap DNA


natif ( double stranded-DNA). Anti ds-DNA positif dengan
kadar

yang

tinggi

dijumpai

pada

73%

SLE

dan

mempunyai arti diagnostik dan prognostik. Kadar anti


ds-DNA yang rendah ditemukan pada sindrom Sjogrens,
arthritis reumatoid. Peningkatan kadar anti ds-DNA
20 menunjukkan peningkatan aktifitas penyakit. Pada
LES,anti ds-DNA mempunyai korelasi yang kuat dengan
nefritis lupus dan aktifitas penyakit SLE. Pemeriksaan
anti

ds-DNA

radioimmunoassay,

dilakukan
ELISA

dengan
dan

metode
C.luciliae

immunofluoresens.
9.

PENATALAKSANAAN
Tujuan dari pengobatan SLE adalah untuk mengurangi
gejala

penyakit,

mencegah

terjadinya

inflamasi

dan

kerusakan jaringan, memperbaiki kualitas hidup pasien,


memperpanjang ketahanan pasien, memonitor manifestasi
penyakit,

menghindari

penyebaran

penyakit,

serta

memberikan edukasi kepada pasien tentang manifestasi dan


efek samping dari terapi obat yang diberikan. Karena
banyaknya variasi dalam manifestasi klinik setiap individu
maka pengobatan yang dilakukan juga sangat individual
tergantung dari manifestasi klinik yang muncul.Pengobatan

SLE meliputi terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi


(Herfindal et al., 2000).
1. Terapi nonfarmakologi
Gejala yang sering muncul pada penderita SLE adalah
lemah sehingga diperlukan keseimbangan antara istirahat dan
kerja, dan hindari kerja yang terlalu berlebihan.Penderita SLE
sebaiknya

menghindari

merokok

karena

hidrasin

dalam

tembakau diduga juga merupakan faktor lingkungan yang


dapat memicu terjadinya SLE.Tidak ada diet yang spesifik
untuk penderita SLE (Delafuente, 2002).
Tetapi penggunaan minyak ikan pada pasien SLE yang
mengandung vitamin E 75 IU and 500 IU/kg diet dapat
menurunkan produksi sitokin proinflamasi seperti IL-4, IL-6,
TNF-a,

IL-10,

dan

menurunkan

kadar

antibodi

anti-DNA

(Venkatraman et al., 1999). Penggunaan sunblock (SPF 15) dan


menggunakan pakaian tertutup untuk penderita SLE sangat
disarankan untuk mengurangi paparan sinar UV yang terdapat
pada sinar matahari ketika akan beraktivitas di luar rumah
(Delafuente, 2002).
2. Terapi farmakologi
Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan
sistem imun dan mengatasi inflamasi. Umumnya pengobatan
SLE tergantung dari tingkat keparahan dan lamanya pasien
menderita SLE serta manifestasi yang timbul pada setiap
pasien.
a.) NSAID
Merupakan terapi utama untuk manifestasi SLE yang
ringan termasuk salisilat dan NSAID yang lain (Delafuente,
2002). NSAID memiliki efek antipiretik, antiinflamasi, dan
analgesik (Neal, 2002). NSAID dapat dibedakan menjadi
nonselektif

COX

inhibitor

dan

selektif

COX-2

inhibitor.Nonselektif COX inhibitor menghambat enzim COX-1


dan COX-2 serta memblok asam arakidonat. COX-2 muncul
ketika

terdapat

rangsangan

dari

mediator

inflamasi

termasuk

interleukin,

interferon,

serta

tumor

necrosingfactor sedangkan COX-1 merupakan enzim yang


berperan pada fungsi homeostasis tubuh seperti produksi
prostaglandin

untuk

melindungi

lambung

serta

keseimbangan hemodinamik dari ginjal. COX-1 terdapat


pada mukosa lambung, sel endotelial vaskular, platelet, dan
tubulus collecting renal (Katzung, 2002). Efek samping
penggunaan NSAID adalah perdarahan saluran cerna, ulser,
nefrotoksik, kulit kemerahan, dan alergilainnya. Celecoxib
merupakan inhibitor selektif COX-2 yang memiliki efektivitas
seperti inhibitor COX non selektif, tapi kejadian perforasi
lambung dan perdarahan menurun hingga 50% (Neal, 2002).
Terapi pada SLE didasarkan pada kesesuaian obat, toleransi
pasien terhadap efek samping yang timbul, frekuensi
pemberian, dan biaya.Pemberian terapi pada pasien SLE
dilakukan selama 1 sampai 2 minggu untuk mengevaluasi
efikasi NSAID. Jika NSAID yang digunakan tidak efektif dan
menimbulkan efek samping maka dipilih NSAID yang lain
dengan periode 1 sampai 2 minggu.
Tabel II.2 NSAID lain yang digunakan pada SLE (Herfindal
et al., 2000;Burnham et al., 2001)
Obat

Dosisse Frekuen Bioavailabil Half


Ikatan Eks.Re Eks.
hari(
si
itas (%)
life(h
nal(
Fe
mg)
ours
Prot
%)
se
)
ein
s
(%)
(%
)
Diklofen 100BID-QID 50-60
2
> 99 65
ak
200
BID-QID > 80
7,3
90
60
Etodolac 400900 TID-QID NS
3
99
90
Fenoprof
en
1200- BID-TID NS
5,7
> 99 > 70
3200
Flurbipro

ven

200TID-QID > 80
300
Ibuprofe
BID-QID 98
n
12003200 TID-QID 90
Indomet
asin 50-200 TID-QID 100

1,8-2

99

45-79

4.5

> 99

60

2,1

90

80

5-6

> 99

91

Ketoprof 150QID
NS
en
300
BID-QID > 80
Ketolorac 20-40
BID
95
Meklofen 200amat
400 QID
95

1,3

99

70

22,5

> 99

80

12-17

> 99

95

42-50

> 99

65

Nabumet 500QID
on
2000
BID
Naproxe 500n
1100 QID

NS

50

98,5

NS

90

7,8

> 93

50

NS

2-7

NS

~ 100

11

97

27

Oxaprosi 600BID-QID NS
n
1800
Piroksika 10-20
m
200Sulindac
400
Tolmetin 6002000
Celecoxi
b
200400
Keterangan : NS = Not Studied

b.) Antimalaria
Antimalaria efektif digunakan untuk manifestasi ringan
atau sedang (demam, atralgia, lemas atau serositis) yang
tidak

menyebabkan

kerusakan organ-organ

penting.

Beberapa mekanisme aksi dari obat antimalaria adalah


stabilisasi

membran

lisosom

sehingga

menghambat

pelepasan enzim lisosom, mengikat DNA, mengganggu


serangan antibodi DNA, penurunan produksi prostaglandin
dan leukotrien,penurunan aktivitas sel T,serta pelepasan IL1 dan

tumor

necrosing

factor

(TNF-

).Pemberian

antimalaria dilakukan pada 1 sampai 2 minggu awal terapi


dan kebanyakan pasien mengalami regresi eritema lesi kulit
pada 2 minggu pertama. Jika pasien memberikan respon
yang

baik

maka

dosis

diturunkanmenjadi50% selama

beberapa bulan sampai manifestasiSLE teratasi. Sebelum


pengobatan dihentikan sebaiknya dilakukan tapering dosis
dengan memberikan obat malaria dosis rendah dua atau
tiga kali per minggu.Sekitar 90% pasien kambuh setelah 3
tahun penghentian obat (Herfindal et al., 2000).
Obat malaria yang sering digunakan adalah :
Klorokuin
Klorokuin mempunyai indeks terapetik yang sempit
sehingga tidak dianjurkan pemberian secara parenteral
untuk anak-anak. Dosis yang digunakan 150 mg (250 mg
klorokuin fosfat) per hari. Efek samping yang terjadi
meliputi

ocular

toksisitas

(keratopati

dan

retinopati),

saluran cerna, SSP, kardiovaskular, dll. (McEvoy, 2002).


Hidroksiklorokuin
Dosis yang digunakan 155 310 mg (200 400 mg
hidroksiklorokuin sulfat). Efek samping yang terjadi sama
dengan

klorokuin

tetapi

kardiomiopati

jarang

terjadi.

Didistribusikan ke dalam air susu ibu (ASI) (McEvoy, 2002).


Kortikosteroid
Penderita dengan manifestasi klinis yang serius dan tidak
memberikan respon terhadap penggunaan obat lain seperti
NSAID atau antimalaria diberikan terapi kortikosteroid.
Beberapa pasien yang mengalami

lupus eritematosus

pada kulit baik kronik atau subakut lebih menguntungkan


jika diberikan kortikosteroid topikal atau intralesional.
Kortikosteroid

mempunyai

mekanisme

kerja

sebagai

antiinflamasi melalui hambatan enzim fosfolipase yang


mengubah fosfolipid menjadi asam arakidonat sehingga
tidak terbentuk mediator mediator inflamasi seperti
leukotrien, prostasiklin, prostaglandin, dan tromboksan-A2
serta

menghambat

melekatnya

sel

pada

endotelial

terjadinya inflamasi dan meningkatkan influks neutrofil


sehingga mengurangi jumlah sel yang bermigrasi ke
tempat terjadinya inflamasi.
Siklofosfamid
Obat ini bekerja dengan mengganggu proliferasi sel,
aktivitas mitotik, diferensiasi dan fungsi sel. Mereka juga
menghambat

pembentukan

DNA

yang

menyebabkan

kematian sel B, sel T, dan neutrofil yang berperan dalam


inflamasi.

Menekan

sel

limfosit

dan

menyebabkan

penekanan secara langsung pembentukan antibodi (Ig G)


sehingga mengurangi reaksi inflamasi.Terapi dosis tinggi
dapat berfungsi sebagai imunosupresan yang meningkatkan
resiko terjadinya neutropenia dan infeksi.Oleh karena itu
dilakukan

monitoring

secara

rutin

terhadap

WBC,

hematokrit, dan platelet count.Yang perlu diperhatikan


adalah dosis optimal, interval pemberian, rute pemberian,
durasi pulse therapy, kecepatan kambuh, dan durasi remisi
penyakit.
Efek samping lain pada penggunaan siklofosfamid adalah
mual, muntah, diare, dan alopesia. Pengobatan mual dan
muntah dapat dilakukan dengan cara pemberian obat
antiemetik. Pemakaian jangka panjang dapat menyebabkan
kegagalan

produktif

dan

penurunan produksi sperma (Herfindal et al., 2000).


Azatioprin
Penggunaan azatioprin pada pengobatan pasien

SLE

ditujukan

ovarian

apabila

pada

wanita

pasien

yang

mengalami

intoleran

siklofosfamid.Dosis yang digunakan pada pasien SLE 2 3

mg/kg BB per hari. Mekanisme kerja azatioprin meliputi


menurunkan limfosit sel B dan sel T dalam sirkulasi, sintesis
IgM dan IgG, sekresi IL-2, serta gangguan ribonukleotida
adenin dan guanin melalui supresi sintesis asam inosinat
(Clements and Furst, 1994).
Metotreksat
Merupakan analog asam

folat

yang

dapat

mengikat

dehidrofolat reduktase, memblok pembentukan DNA, dan


menghambat sintesis purin. Pada terapi SLE, digunakan
dosis 7,5 15 mg secara oral satu kali seminggu (Herfindal
et al., 2000). Pada pemakaian oral absorpsi obat bervariasi
dan

tergantung

didistribusikan

dosis

secara

tetapi
luas

rata-rata

30%.

ke dalam jaringan

Obat

ini

melalui

mekanisme transpor aktif dengan konsentrasi terbesar


berada dalam ginjal, limpa, hati,
kemih.

Lebih

dari

90%

dari

dosis

kulit,
oral

dan

saluran

diekskresikan

melalui ginjal dengan mekanisme transpor aktif dan filtrasi


glomerolus dalam waktu 24 jam. t1/2 metotreksat pada terapi
dosis rendah (kurang dari 30 mg/m2) adalah 3-10 jam
sedangkan pada terapi dosis tinggi 8-15 jam (McEvoy,
2002). Efek samping metotreksat meliputi defisiensi asam
folat, gangguan gastrointestinal dengan stomatitis atau
dispepsia, teratogenik (Brooks, 1995).
Intravena gamma globulin
Intravena
gamma
globulin
digunakan

purpura

trombositopenia idiopatik, sindroma Gillae-Barre, miastenia


gravis, sindroma Kawasaki, dan penyakit autoimun lain.
Mekanisme kerja gamma globulin sangat kompleks meliputi
perubahan ekspresi dan fungsi reseptor Fc, menganggu
aktivasi komplemen dan sitokin, menyediakan antibodi
antiidiopatik, dan mempengaruhi aktivasi, diferensiasi, dan
fungsi efektor dari sel T dan sel B. Komponen-komponen
dalam intravena gamma globulin yaitu molekul IgG yang

utuh, IgA, CD4, CD8, molekul HLA, dan sitokin (Kazatchkine


and Kaveri, 2001). Dosis yang digunakan 1-2 g/kg BB
(Katzung, 2006).Intravena gamma globulin mempunyai t 1/2
21-29

hari

(McEvoy,

2002).Efek

samping

intravena

imunoglobulin adalah mual, muntah, mialgia, letih, sakit


kepala, urtikaria, hipertensi, dll.(McEvoy, 2002).
Terapi hormone
Dehidroepiandrosteron (DHEA) merupakan hormon pada
pria yang diproduksi pada saat masih fetus dan berhenti
setelah dilahirkan. Hormon ini kembali aktif diproduksi pada
usia 7 tahun, mencapai puncak pada usia 30 tahun, dan
menurun seiring bertambahnya usia. Pasien SLE mempunyai
kadar

DHEA

yang

rendah.

Pemberian

hormon

ini

memberikan respon pada penyakit yang ringan saja dan


mempunyai efek samping jerawat dan pertumbuhan rambut
(Isenberg

andHorsfall,

1998).Secara

in

vitro,

DHEA

mempunyai mekanisme menekan pelepasan IL-1, IL-6, dan


TNF-

serta

meningkatkan

sekresi

IL-2

yang

dapat

digunakan untuk mengaktivasi sel T pada murine.Meskipun


demikian mekanisme secara in vivo belum diketahui (FDA
Arthritis Advisory Comittee, 2001).
Antiinfeksi/Antijamur/Antivirus
Pemberian imunosupresan dapat menurunkan sistem imun
sehingga dapat menyebabkan tubuh mudah terserang
infeksi.Infeksi yang umum menyerang adalah virus herpes
zoster, Salmonella, dan Candida (Isenberg and Horsfall,
1998). Untuk herpes zoster dapat diatasi dengan pemberian
antivirus asiklovir atau vidarabin secara oral 800 mg lima
kali sehari selama 5 7 hari. Salmonella dapat diterapi
dengan

antibiotik

kotrimoksazol,

golongan

dan

Sedangkan

golongan

digunakan

karena

kuinolon,

ampisilin,

kloramfenikol

(Katzung,

penisilin

sefalosporin

dan

menyebabkan

rash

yang

2002).
tidak

sensitif

sehinggadapat

memperparahrash

SLE

(Isenberg

and

Horsfall, 1998). Adanya infeksi dari Candida dapat diatasi


dengan

pemberian

amfoterisin

B,

flukonazol,

dan

itrakonazol (Katzung, 2002).


Mikofenolat mofetil
Efektif pada lupus nefritis terutama pada pasien yang tidak
menunjukkan respon dan intoleran terhadap siklofosfamid.
Mikofenolat mofetil mempunyai mekanisme kerja antara lain
menekan secara selektif proliferasi

limfosit T dan B,

pembentukan antibodi, menghambat sintesis purin dan


deplesi monosit dan limfosit (Chan et al., 2000). Selain itu
mikofenolat mofetil merupakan selektif, reversibel, dan
inhibitor nonkompetitif dari enzim inosine monophosphate
dehydrogenase (IMPDH) yaitu enzim yang berperan dalam
sintesis de novo nukleotida guanosin dari limfosit sel B dan T
(Sanquer, et al., 1999).Toksisitas dari mikofenolat mofetil
meliputi gangguan saluran cerna (mual dan muntah, diare,
dan

nyeri

abdomen)

dan

supresi

myeloid

(terutama

neutropenia) (Katzung, 2002) tetapi efek samping yang


dimiliki tetap lebih rendah daripada siklofosfamid serta tidak
mempunyai efek mutagenik (Chan et al., 2000).Dosis yang
diberikan dua kali sehari sebesar 1 g dan setelah 12 bulan
pemakaian dihentikan, diganti dengan azatioprin (Rahman,
2001).
10.

KOMPLIKASI

Kompilkasi SLE yang mungkin terjadi meliputi:


1.
2.
3.
4.

Infeksi lain yang terjadi secara bersamaan


Infeksi saluran kemih
Gagal ginjal
Osteonekrosis
tulang
pinggul/pangkal
penggunaan steroid jangka panjang.
(kowalak dkk, 2003)

Komplikasi lupus eritematosus sistemik


1. Serangan pada Ginjal

paha

akibat

a) Kelainan ginjal ringan (infeksi ginjal)


b) Kelainan ginjal berat (gagal ginjal)
c) Kebocoran ginjal (protein terbuang secara berlebihan
melalui urin).
2. Serangan pada Jantung dan Paru
a.
Pleuritis
b.
Pericarditis
c.
Efusi pleura
d.
Efusi pericard
e.
Radang otot jantung atau Miocarditis
f.
Gagal jantung
g.
Perdarahan paru (batuk darah).
3. Serangan Sistem Saraf
a)
Sistem saraf pusat
Cognitive dysfunction
Sakit kepala pada lupus
Sindrom anti-phospholipid
Sindrom otak
Fibromyalgia.
b) Sistem saraf tepi
Mati rasa atau kesemutan di lengan dan kaki
c) Sistem saraf otonom
Gangguan suplai darah ke otak dapat menyebabkan
kerusakan jaringan otak, dapat menyebabkan kematian
sel-sel otak dan kerusakan otak yang sifatnya permanen
(stroke). Stroke dapat menimbulkan pengaruh sistem saraf
otonom.
4. Serangan pada Kulit

Lesi parut berbentuk koin pada daerah kulit yang


terkena langsung cahaya disebut lesi diskoi

Ciri-ciri lesi spesifik ditemukan oleh Sonthiemer dan


Gilliam pada akhir 70-an :
a. Berparut, berwarna merah (erythematosus), berbentuk
koin sangat sensitif terhadap sengatan matahari. Jenis
lesi ini berupa lupus kult subakut/cutaneus lupus
subacute. Kadang menyerupai luka psoriasis atau lesi
tidak berparut berbentuk koin.
b. Lesi dapat terjadi di wajah dengan pola kupu-kupu atau
dapat mencakup area yang luas di bagian tubuh
c. Lesi non spesifik
Rambut rontok (alopecia)Vaskullitis : berupa garis
kecil warna merah pada ujung lipatan kuku dan

ujung jari. Selain itu, bisa berupa benjolan merah


di kaki yang dapat menjadi borok.
Fotosensitivitas : pipi menjadi kemerahan jika
terkena matahari dan kadang di sertai pusing.
d. Serangan pada Sendi dan Otot
Radang sendi pada lupus
Radang otot pada lupus
e. Serangan pada Mata
f. Serangan pada Darah
Anemia
Trombositopenia
Gangguan pembekuan
Limfositopenia
Serangan pada Hati
11.

PENCEGAHAN
Untuk mencegah

kambuhnya

SLE,

penderita

Lupus

disarankan melakukan hal-hal sebagai berikut:


Menghindari stress dan trauma fisik. Stress

dapat

mencetuskan SLE pada pasien yang sudah memiliki


kecenderungan akan penyakit ini.
Menghindari merokok
Berolahraga secara teratur
Menghindari perubahan cuaca karena akan mempengaruhi
proses inflamasi
Menerapkan gaya hidup sehat, karena dapat membantu
mengurangi risiko serangan jantung dan stroke
Melakukan istirahat yang cukup. Kelelahan dan aktivitas
fisik yang berlebih bisa memicu kambuhnya SLE.
Diet sesuai kelainan. Misalnya: jika hiperkolesterol, maka
pasien harus diet rendah lemak.
Menghindari infeksi. Pasien SLE
mendapat infeksi, dan terkadang

cenderung

mudah

penyakit ini kambuh

setelah infeksi.
Menghindari paparan sinar matahari, khususnya pukul
09.00-15.00 karena pasien SLE cenderung sensitif terhadap
sinar ultraviolet. Kulit yang terkena sinar matahari dapat

menimbulkan

kelainan

kulit

seperti

timbulnya

bercak

kemerahan yang menonjol/ menebal.


Mendapatkan vaksinasi untuk membantu melindungi dari
penyakit seperti pneumonia dan flu.
Mengobati tekanan darah tinggi dan kolesterol tinggi.
Minum obat untuk membantu mencegah osteoporosis yang

disebabkan oleh kortikosteroid.


Mencegah plak di arteri (aterosklerosis)

diperburuk oleh kortikosteroid.


Menghindari obat-obatan yang

yang

mengandung

dapat
hormon

estrogen, seperti pil KB/ kontrasepsi.

DAFTAR PUSTAKA
Davey, Patrick. 2006. At a GlanceMrdicine. Surabaya: Jakarta.
David, R, David W, dan John B. 2007. Lecture Notes Kedokteran Klinis.
Jakarta : Erlangga.
Fredy M. Et al, Jurnal Ekologi Kesehatan, Resiko Penyakit Lupus, 2008,
747-757.

Healthwise.

2014.

Lupus

(Systemic

Lupus

Erythematosus).

http://www.emedicinehealth.com/lupus_systemic_lupus_erythemat
osus-health/page8_em.htm. Diakses tanggal 26 Oktober 2014,
pukul 15.30 wib.
Jurnal Kedokteran dan Faramsi Vol. 19. Denpasar : SMF Kulit dan
Kelamin RSUD Wangaya. 2006. 26-0.
Kowalak,

P.,

Welsh,

William.,

Mayer,

Brenna.

2013.

Buku

Ajar

Patofisiologi. Jakarta : EGC


(online). http://core.kmi.open.ac.uk/download/pdf/11736102.pdf
Saraswati PDA, Soekrawati E. Systemic Lupus Erythematosus. In : Dexa
Media
Utomo, Wicaksono N., 2012. Laporan
HUBUNGAN
STATUS
(

LUPUS

ANTARA

Hasil Karya Tulis Ilmiah:

AKTIVITAS

PENYAKIT

KESEHATAN

PADA

ERITEMATOSUS

SISTEMIK

DENGAN

PASIEN
)

DI

LES

RSUP

Dr.

Lengkap

bagi

KARIADI, SEMARANG. Hal: 17-20


Wallace,

Daniel.

2007. The LuspusBook

Panduan

Penderita Lupus dan Keluarganya. Yogyakarta : IKAPI.


Wicaksono, U. 2012. Hubungan
Status

Kesehatan

SISTEMIK)

Di

Pada

Antara Aktivitas Penyakit Dengan

Pasien

RSUP

LES
dr.

(LUPUS

ERITEMATOSUS

Kariadi,

http://core.kmi.open.ac.uk/download/pdf/11736102.pdf.
tanggal 25 Oktober 2014 pukul 20.05 WIB.

Semarang.
diakses

Anda mungkin juga menyukai