Anda di halaman 1dari 19

PRESENTASI BESAR

RESISTENSI OAT

Disusun oleh :
Sudjati Adhinugroho

G4A014078

Pembimbing :
dr. Indah Rahmawati, Sp.P

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2015
LEMBAR PENGESAHAN
PRESENTASI BESAR
RESISTENSI OAT

Disusun oleh :
Sudjati Adhinugroho

G4A014078

Telah dipresentasikan pada


Tanggal,

Oktober 2015

Pembimbing,

dr. Indah Rahmawati, Sp.P


BAB I
PENDAHULUAN
I.

LATAR BELAKANG
Mycobacterium tuberculosis, kuman penyebab tuberkulosis, merupakan kuman

bentuk basil dan memiliki sifat tahan asam, tumbuh lambat, dan sensitif terhadap sinar
ultra violet. Kuman ini terdapat pada ludah atau dahak pasien tuberkulosis. Penyakit
tuberkulosis dapat ditularkan melalui udara ketika pasien tersebut batuk, kemudian butir
air ludah pasien berterbangan diudara dan terhirup oleh orang yang sehat.3 tantangan
terbesar yang harus dihadapi adalah masih banyaknya kasus TB yang hilang atau tidak
terlaporkan ke program. Pada tahun 2012 diperkirakan ada sekitar 130.000 kasus TB yang
diperkirakan ada tetapi belum terlaporkan (Depkes, 2011).
Resisten ganda (multidrugs resistant tuberculosis/TB-MDR ) merupakan masalah
terbesar terhadap pencegahan dan pemberantasan TB dunia. Kasus TB-MDR merupakan
kasus yang sulit ditangani, membutuhkan biaya yang lebih besar, efek samping obat yang
lebih banyak dengan hasil pengobatan yang kurang memuaskan (WHO, 2008).
Tuberkulosis adalah penyakit yang tersebar luas di dunia dan juga termasuk penyakit
yang mematikan. Menurut WHO pada tahun 2013 sebanyak 9 juta jiwa di dunia terinfeksi
oleh Mycobacterium tubercolosis, yang merupakan mikroorganisme penyebab penyakit
tuberkulosis. Menurut data statistik, setiap tahun terdapat 1,5 juta jiwa di dunia meninggal
akibat tuberkulosis. Indonesia merupakan negara urutan ke 4 terbanyak yang terjangkit
penyakit tuberkulosis setelah India, Cina dan Afrika Selatan (WHO, 2014).
Laporan WHO tahun 2007 menyatakan telah terjadi mono resisten OAT 10,3%, poli
resisten OAT 17,0% dan TB-MDR 2,9%. Pada tahun 2010 WHO menyatakan insidens
TB-MDR meningkat secara bertahap merata 2% pertahun. Prevalens TB-MDR
diperkirakan meningkat lebih dari 200 kasus baru terjadi di dunia. Laporan
menghebohkan pertama tentang resisitensi ganda ini datang dari Amerika dengan angka
kematian yang amat tinggi 70-90% dalam waktu yang amat singkat. Di Hongkong yang
menyebutkan bahwa setidaknya sekitar 20% infeksi TB terjadi dari kuman yang telah

resisten. Laporan di Turki dari 785 kasus tuberkulosis paru ditemukan 35% adalah
resisten satu jenis obat, 11,6% resisten dua macam obat, 3,9% tiga macam obat dan 2,8%
empat macam obat. Di Pakistan resistensi terhadap RM, INH, dan EMB dilaporkan
masing-masing adalah 17,7%, 14,7%, dan 8,7%. Di India resisitensi terhadap INH dan
SM adalah 13,9% dan 7,4%, sementara resistensi terhadap dua obat atau lebih adalah
41%. Penelitian dari Saudi Arabia menyebutkan bahwa resistensi terhadap RMP, SM dan
INH adalah 7,2%, 3,3% dan 1,2% (WHO, 2008).
II.

RUMUSAN MASALAH
Bagaimanakah penanganan kasus resistensi OAT.

III.

TUJUAN PENELITIAN
Mengetahui penanganan terbaru pada kasus resistensi OAT.

IV.

MANFAAT PENELITIAN

Memberikan informasi mengenai penanganan pada kasus resistensi OAT di RSUD Prof.
DR. Margono Soekarjo Purwokerto Tahun 2015.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Diagnosis TB

Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan


fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan penunjang lainnya
(Konsensus TB, 2014).
1. Gambaran klinis

Gejala respiratori

batuk > 2 minggu

Batuk darah

Sesak napas

Nyeri dada

Gejala sistemik

Demam

Malaise, keringat malam, Penurunan berat badan, anoreksia

Gejala TB ekstra paru

Limfadenitis TB

Meningitis TB

Pleuritis TB

TBC tulang dan sendi

2. Pemeriksaan jasmani
Pada pemeriksaan jasmani gejala yang ditemukan tergantung pada organ yang terlibat.
Pada tuberkulosis paru umumnya terletak pada lobus superior terutama daerah apeks dan
segmen posterior serta daerah apeks lobus inferior. Pada pemeriksaan ditemukan antara
lain :
Suara napas bronkial, amforik,melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru,
diafragma, dan mediastinum .Bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang
menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan
menimbulkan suara "mengi", suara nafas melemah yang disertai sesak.
3. Pemeriksaan Bakteriologi

Bahan pemeriksaan

Bahan untuk pemeriksaan bakteriologi dapat berasal dari dahak, cairan pleura, Liquor
cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, Bronchoalveolar Lavage,
urin, feses,

jaringan biopsi.

Cara pengambilan dahak


Pengambilan dahak lakukan 3 kali yaitu Sewaktu (saat datang pertama kali) pagi
sewaktu ( saat mengantarkan dahak pagi) atau dikumpulkan setiap pagi 3 kali
berturut-turut

Cara pemeriksaan
Dapat dilakukan secara mikroskopik biasa, mikroskopik fluoresen atau biakan.
Biakan adalah cara yang terbaik karena dapat untuk memastikan kuman tersebut
kuman hidup, dan dapat dilakukan uji kepekaan dan identifikasi kuman bila perlu.
Pemeriksaan mikroskopik dapat dengan pewarnaan Ziehl Neelsen atau Tan Thiam
Hok (gabungan Kinyoun Gabbett), dan biakan dengan cara sederhana

4. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan standart adalah foto thorax PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto
lateral, toplordotik, oblique, CT- Scan.

Luas lesi :

Minimal tidak lebih dari sela iga depan, serta tidak dijumpai kaviti

Luas proses lebih luas dari lesi minimal

Gambaran radiologis TB inaktif:

Fibrotik

Kalsifikasi

Schwarte

Gambaran radiologis lesi TB aktif :

Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru
dan segmen superior lobus bawah

Kaviti terutama lebih dari satu , dikelilingi oleh bayangan berawan atau
nodular

Bayangan bercak milier

Efusi pleura

Destroyed lung
Merupakan gambaran radiologi yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang
berat. Gambaran radiologi destroyed lung terdiri dari:

Atelektasis

Multicaviti

Fibrosis parenkim paru

PEMERIKSAAN KHUSUS

BACTEC
Adalah metode radiometric. Mycobacterium tuberculosis memetabolisme asam lemak
yang kemudian menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth index-nya.

PCR
Merupakan pemeriksaan yang mendeteksi DNA,termasuk DNA M. tuberculosis.

Serologi

ELISAmerupakan uji serologi yang mendeteksi respon humoral berupa


proses antigen-antibodi yang terjadi. Masalah dalam teknik ini adalah
kemungkinan antibody menetap dalam jangka waktu lama.

Immunochromatographic (ICT) uji serologi untuk mendeteksi M.


tuberculosis dalam serum yang menggunakan 5 antigen spesifik yang berasal
dari membran sitoplasma M.tuberculosis.

Mycodot untuk mendeteksi antibody antimikobakterial dalam tubuh


manusia. Uji ini menggunakan antigen lipoarabinomanan (LAM) yang
direkatkan oleh suatu alat yang berbentuk sisir plastic.

Uji peroksidase anti peroksidase (PAP) untuk mendeteksi reaksi serologi


yang terjadi.

IgG TB adalah salah satu pemeriksaan serologi dengan cara mendeteksi


antibody IgG dengan antigen spesifik untuk M.tuberculosis. Metode ini lebih
sering digunakan untuk mendeteksi TB ekstra paru, tapi tidak cukup baik
untuk mendeteksi TB paru pada anak (Konsensus TB, 2014).

B. Epidemiologi
WHO Report On Tuberculosis Epidemic 2008 menyatakan bahwa resisitensi ganda
kini menyebar dengan amat cepat di berbagai belahan dunia. Lebih dari 50 juta orang
mungkin telah terinfeksi oleh kuman tuberkulosis yang resisten terhadap beberapa obat
anti tuberkulosis khususunya Rifampisin dan INH, serta kemungkinan pula ditambah obat
lainnya (WHO, 2008). Pada tahun 2014 WHO menyatakan kasus TB-MDR hanya 48%
kasus MDR yang terdeteksi dapat disembuhkan, 16% meninggal, 24% kasus tidak
diketahui hasilnya dan 12% tidak dapat disembuhkan walaupun sudah mendapatkan
terapi (WHO, 2014).
Indonesia menduduki rangking ke 8 dari 27 negara-negara yang mempunyai
bebantinggi dan prioritas kegiatan untuk MDR. Beban TB-MDR di 27 negara ini
menyumbang 85% dari beban TB-MDR global. Di negara-negara yang termasuk dalam
daftar

ini

minimal

sekurangkurangnya10%

diperkirakan

terdapat

dari

kasus

seluruh

4000
baru

kasus

TB-MDR.

TB-MDR
Laporan

atau
WHO

memperkirakan bahwa pada tahun 2008 kasus TB-MDR di Indonesia sebesar 6.427.
Angka tersebut merujuk pada perkiraan angka TB-MDR sebesar 2% dari kasus TB baru
dan 20% dari kasus TB pengobatan ulang (Depkes RI, 2011).
C. Faktor Penyebab Resistensi
Kegagalan pada pengobatan poliresisten TB atau TB-MDR akan menyebabkan
lebih banyak OAT yang resisten terhadap kuman M. tuberculosis. Kegagalan ini bukan
hanya merugikan pasien tetapi juga meningkatkan penularan pada masyarakat. TB
resistensi obat anti TB (OAT) pada dasarnya adalah suatu fenomena buatan manusia,

sebagai akibat dari pengobatan pasien TB yang tidak adekuat yang menyebabkan
terjadinya penularan dari pasien TB-MDR keorang lain / masyarakat. Faktor penyebab
resitensi OAT terhadap kuman M. tuberculosis antara lain (Soepandi, 2010):
1. Faktor mikrobiologik
a. Resisten yang natural
b. Resisten yang didapat
c. Amplifier effect
d. Virulensi kuman
e. Tertular jalur kuman MDR
2. Faktor klinik
a. Penyelenggara kesehatan
Keterlambatan diagnosis
Pengobatan tidak mengikuti guideline
Penggunaan paduan OAT yang tidak adekuat yaitu karena jenis obatnya yang
kurang atau karena lingkungan tersebut telah terdapat resitensi yang tinggi

terhadap OAT yang digunakan misal rifampisin atau INH


Tidak ada guideline/pedoman
Tidak ada / kurangnya pelatihan TB
Tidak ada pemantauan pengobatan
Fenomena addition syndrome yaitu suatu obat yang ditambahkan pada satu
paduan yang telah gagal. Bila kegagalan ini terjadi karena kuman tuberkulosis
telah resisten pada paduan yang pertama maka penambahan 1 jenis obat

tersebut akan menambah panjang daftar obat yang resisten.


Organisasi program nasional TB yang kurang baik
b. Obat
Pengobatan TB jangka waktunya lama lebih dari 6 bulan sehingga

membosankan pasien
Obat toksik menyebabkan efek samping sehingga pengobatan kompllit atau

sampai selesai gagal


Obat tidak dapat diserap dengan baik misal rifampisin diminum setelah

makan, atau ada diare


Kualitas obat kurang baik misal penggunaan obat kombinasi dosis tetap yang

mana bioavibiliti rifampisinnya berkurang


Regimen / dosis obat yang tidak tepat
Harga obat yang tidak terjangkau
Pengadaan obat terputus
c. Pasien
Kurangnya informasi atau penyuluhan
Kurang dana untuk obat, pemeriksaan penunjang dll
Efek samping obat
Sarana dan prasarana transportasi sulit / tidak ada

Masalah sosial
Gangguan penyerapan obat
3. Faktor program
a. Tidak ada fasilitas untuk biakan dan uji kepekaan
b. Amplifier effect
c. Tidak ada program DOTS-PLUS
d. Program DOTS belum berjalan dengan baik
e. Memerlukan biaya yang besar
4. Faktor AIDSHIV
a. Kemungkinan terjadi TB-MDR lebih besar
b. Gangguan penyerapan
c. Kemungkinan terjadi efek samping lebih besar
5. Faktor kuman
Kuman M. tuberculosis super strains
a. Sangat virulen
b. Daya tahan hidup lebih tinggi
c. Berhubungan dengan TB-MDR
Resistensi ganda menunjukkan M.Tuberculosis resisten terhadap rifampisin dan
INH dengan atau tanpa OAT lainnya Secara umum resistensi terhadap obat
tuberkulosis dibagi menjadi :
Resistensi primer ialah apabila penderita sebelumnya tidak pernah mendapat
pengobatan TB
Resistensi inisial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah penderitanya sudah
pernah ada riwayat pengobatan sebelumnya atau tidak
Resistensi sekunder ialah apabila penderita telah punya riwayat pengobatan
sebelumnya.
Laporan pertama tentang reistensi ganda datang dari Amerika Serikat, khususnya pada
penderita TB dan AIDS yang menimbulkan angka kematian 70% 90% dalam waktu
hanya 4 sampai 16 minggu. WHO Report on Tuberculosis Epidemic 1995
menyatakan bahwa resitensi ganda kini menyebar di berbagai belahan dunia. Lebih
dari 50 juta orang mungkin telah terinfeksi oleh kuman tuberkulosis yang resisten
terhadap beberapa obat anti tuberkulosis khususnya rifampisin dan INH, serta
kemungkinan pula ditambah obat antituberkulosis yang lainnya. TB paru kronik
sering disebabkan oleh MDR Ada beberapa penyebab terjadinya resitensi terhadap
obat tuberkulosis, yaitu :
Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis

Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, baik karena jenis obatnya yang tidak
tepat misalnya hanya memberikan INH dan etambutol pada awal pengobatan, maupun
karena di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi yang tinggi terhadap obat yang
digunakan, misalnya memberikan rifampisin dan INH saja pada daerah dengan
resistensi terhadap kedua obat tersebut sudah cukup tinggi
Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga minggu
lalu stop, setelah dua bulan berhenti kemudian berpindah dokter dan mendapat obat
kembali selama dua atau tiga bulan lalu stop lagi, demikian seterusnya
Fenomena addition syndrome (Crofton, 1987), yaitu suatu obat ditambahkan
dalam suatu paduan pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena
kuman TB telah resisten pada paduan yang pertama, maka penambahan (addition)
satu macam obat hanya akan menambah panjang nya daftar obat yang resisten
Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik,
sehingga mengganggu bioavailabiliti obat
Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang obat datang ke suatu daerah kadang
terhenti pengirimannya sampai berbulan-bulan
Pemakaian obat antituberkulosis cukup lama, sehingga kadang menimbulkan
kebosanan
Pengetahuan penderita kurang tentang penyakit TB
Belum menggunakan strategi DOTS
Kasus MDR-TB rujuk ke ahli paru
Berdasarkan Guidelines for the programmatic management of drug resistant
tuberculosis oleh WHO (2014) resisten terhadap OAT dinyatakan bila hasil
pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya pertumbuhan M. Tuberculosis in
vitro saat terdapat satu atau lebih OAT. Terdapat empat jenis kategori resistensi
terhadap OAT, yaitu:

Mono resisten

Resisten terhadap satu obat lini pertama

Poli resisten

Resisten terhadap lebih dari satu OAT lini


pertama selain kombinasi isoniazid dan
rifampisin.

Multi

drug

resistant

(MDR)
Extensively

Resisten terhadap sekurang-kurangnya


isoniazid dan rifampisin

drug

resistant (XDR)

TB-MDR ditambah kekebalan terhadap


salah satu obat golongan flourokuinolon
dan sedikitnya salah satu dari OAT
injeksi

lini

kedua

(kapreomisin,

kanamisin dan amikasin).


Rifampicin

Resisten

terhadap

rifampisin

yang

Resistance(RR)

terdeteksi dengan menggunakan metode


phenotypic atau genotypic, dengan atau
tanpa resistensi terhadap OAT yang lain.

Tabel 1. Jenis-jenis resistensi OAT(WHO, 2014)

D. Patogenesis
Ungkapan terhadap tahap MDR pada mikrobakteriologi mengarah pada resisten
secara simultan terhadap Ripampisin dan Isoniazide (dengan atau tanpa resistensi pada
obat anti tuberkulosis lainnya) (Wallace dan Griffith, 2015).
1. Mekanisme Resistensi Terhadap INH
Isoniazid merupakan hydrasilasi dari asam isonikotinik, molekul yang larut air
sehingga mudah untuk masuk ke dalam sel. Mekanisme kerja obat ini dengan
menghambat sintesis dinding sel asam mikolik (struktur bahan yang sangat penting
pada dinding sel mykobakterium) melalui jalur yang tergantung dengan oksigen
seperti rekasi katase peroksidase.
Mutan M.tuberculosis yang resisten isoniazid terjadi secara spontan dengan kecepatan
1 dalam 105-106 organisme. Mekanisme resistensi isoniazid diperkirakan oleh adanya
asam amino yang mengubah gen katalase peroksidase (katG) atau promotor pada

lokus 2 gen yang dikenal sebagai inhA. Mutasi missense atau delesi katG berkaitan
dengan berkurangnya aktivitas katalase dan peroksidase.
2. Mekanisme Resistensi Terhadap Rifampisin
Rifampisin merupakan turunan semisintetik dari Streptomyces mediterranei, yang
bekerja sebagai bakterisid intraseluler maupun ekstraseluler. Obat ini menghambat
sintesis RNA dengan mengikat atau menghambat secara khusus RNA polymerase
yang tergantung DNA.
Rifampisin berperan aktif invitro pada kokus gram positif dan gram negatif,
mikobakterium, chlamydia, dan poxvirus. Resistensi mutannya tinggi, biasanya pada
semua populasi miikobakterium terjadi pada frekuensi 1: 107 atau lebih. Resistensi
terhadap rifampisin ini disebabkan oleh adanya permeabilitas barier atau adanya
mutasi dari RNA polymerase tergantung DNA.
Rifampisin mengahambat RNA polymerase tergantung DNA dari mikobakterium, dan
menghambat sintesis RNA bakteri yaitu pada formasi rantai (chain formation) tidak
pada perpanjangan rantai (chain elongation), tetapi RNA polymerase manusia tidak
terganggu.
Resistensi rifampisin berkembang karena terjadinya mutasi kromosom dengan
frekuensi tinggi dengan kecepatan mutasi tinggi yaitu 10-7 sampai 10-3, dengan akibat
terjadinya perubahan pada RNA polymerase. Resistensi terjadi pada gen untuk beta
subunit dari RNA polymerase dengan akibat terjadinya perubahan pada tempat ikatan
obat tersebut.
3. Mekanisme Resistensi Terhadap Pyrazinamide

Pyrazinamid merupakan turunan asam nikotinik yang berperan penting sebagai


bakterisid jangka pendek terhadap terapi tuberkulosis. Obat ini bekerja efektif
terhadap bakteri tuberkulosis secara invitro pada pH asam (pH 5,0-5,5). Pada keadaan
pH netral, pyrazinamid tidak berefek atau hanya sedikit berefek. Obat ini merupakan
bakterisid yang memetabolisme secara lambat organisme yang berada dalam suasana
asam pada fagosit atau granuloma kaseosa. Obat tersebut akan diubah oleh basil
tuberkel menjadi bentuk yang aktif asam pyrazinoat.
Mekanisme

resistensi

pyrazinamid

berkaitan

dengan

hilangnya

aktivitas

pyrazinamidase sehingga pyrazinamid tidak banyak yang diubah menjadi asam


pyrazinoat. Kebanyakan kasus resistensi pyrazinamide ini berkaitan dengan mutasi
pada gen pncA, yang menyandikan pyrazinamidase.
4. Mekanisme Resistensi Terhadap Ethambutol
Ethambutol merupakan turunan ethylenediamine yang larut air dan aktif hanya pada
mycobakteria. Ethambutol ini bekerja sebagai bakteriostatik pada dosis standar.
Mekanisme utamanya dengan menghambat enzim arabinosyltransferase yang
memperantarai polymerisasi arabinose menjadi arabinogalactan yang berada di dalam
dinding sel.
Resistensi ethambutol pada M.tuberculosis paling sering berkaitan dengan mutasi
missense pada gen embB yang menjadi sandi untuk arabinosyltransferase. Mutasi ini
telah ditemukan pada 70% strain yang resisten dan keterlibatan pengganti asam amino
pada posisi 306 atau 406 pada sekitar 90% kasus.
5. Mekanisme Resistensi Terhadap Streptomysin

Streptomysin merupakan golongan aminoglikosida yang diisolasi dari Streptomyces


griseus. Obat ini bekerja dengan menghambat sintesis protein dengan menganggu
fungsi ribosomal.
Pada 2/3 strain M.tuberculosis yang resisten terhadap streptomysin telah diidentifikasi
oleh karena adanya mutasi pada satu dari dua target yaitu pada gen 16S rRNA (rrs) atau
gen yang menyandikan protein ribosomal S12 (rpsl). Kedua target diyakini terlibat pada
ikatan streptomysin ribosomal. Mutasi yang utama terjadi pada rpsl. Mutasi pada rpsl
telah diindetifikasi sebanyak 50% isolat yang resisten terhadap streptomysin dan mutasi
pada rrs sebanyak 20%. Pada sepertiga yang lainnya tidak ditemukan adanya mutasi.
Frekuensi resistensi mutan terjadi pada 1 dari 105 sampai 107 organisme. Strain
M.tuberculosis yang resisten terhadap streptomysin tidak mengalami resistensi silang
terhadap capreomysin maupun amikasin.
E. Pengobatan TB
PENGOBATAN TB
Tujuan obat kemoterapi anti TB (OAT) adalah:

Menyembuhkan pasien dalam jangka pendek dengan gangguan yang minimal.

Mencegah kematian karena penyakit yang aktif atau efek lanjutannya.

Mencegah relaps.

Mencegah timbulnya kuman yang resisten.

Melindungi masyarakat dan penularan

Obat yang dipakai:


1. Jenis oat utama (lini 1) yang digunakan adalah:
Rifampisin
INH
Pirazinamid
Streptomisin
Etambutol
2. Kombinasi dosis tetap (Fixed Dose Combination)
Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari:
Empat OAT dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150mg, isoniazid 75mg,
pirazinamid 400mg dan etambutol 275mg

Tiga OAT dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150mg, isoniazid 75mg

dan pirazinamid 400mg


3. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2):
Kanamisin
Kuinolon
Obat lain masih dalam penelitian: makrolid, amoksilin + asam

klavunat
Derivat rifampisin dan INH

Dosis OAT
Rifampisin 10mg/kgBB, maksimal 600mg 2-3x/minggu atau
BB > 60kg
: 600mg
BB 40-60kg : 450mg
BB < 40kg
: 300mg
Dosis intermiten 600mg/kali
INH 5mg/kgBB, maksimal 300mg, 10mg/kgBB 3x seminggu, 15mg/kgBB 2x

seminggu atau 300mg/hari untuk dewasa. Intermiten : 600mg/kali


Pirazinamid : fase intensif 25mg/kgBB, 35 mg/kgBB 3x seminggu, 50
mg/kgBB 2x seminggu atau:
BB > 60kg

: 1500mg

BB 40-60kg

: 1000mg

BB <40kg

: 750mg

Etambutol : fase intensif 20mg/kgBB, fase lanjutan 15mg/kgBB, 30mg/kgBB

3x seminggu, 45mg/kgBB 2x seminggu atau:


BB > 60kg
: 1500mg
BB 40-60kg : 1000mg
BB < 40kg
: 750mg
Dosis intermiten 40mg/kgBB/kali
Streptomisin : 15mg/kgBB atau
BB > 60kg
: 1000mg
BB 40-60kg : 750mg
BB < 40kg
: sesuai BB
Kombinasi dosis tetap
Rekomendasi WHO 1999 untuk kombinasi dosis tetap, penderita hanya

minum obat 3-4 tablet sehari selama fase intensif, sedangkan fase lanjutan
dapat menggunakan kombinasi dosis 2 obat antituberkulosis seperti yang
selama ini telah digunakan sesuai dengan pedoman pengobatan (Konsensus
TB, 2014).

F. Pengobatan MDR

Pengobatan MDR-TB hingga saat ini belum ada paduan pengobatan yang
distandarisasi untuk penderita MDR-TB. Pemberian pengobatan pada dasarnya tailor
made, bergantung dari hasil uji resistensi dengan menggunakan minimal 2-3 OAT yang
masih sensitif dan obat tambahan lain yang dapat digunakan yaitu golongan
fluorokuinolon (ofloksasin dan siprofloksasin), aminoglikosida (amikasin, kanamisin dan
kapreomisin), etionamid, sikloserin, klofazimin, amoksilin+ as.klavulanat. Saat ini
paduan yang dianjurkan OAT yang masih sensitif minimal 2 3 OAT dari obat lini 1
ditambah dengan obat lain (lini 2) golongan kuinolon, yaitu Ciprofloksasin dosis 2 x 500
mg atau ofloksasin 1 x 400 mg.

Pengobatan terhadap tuberkulosis resisten ganda sangat sulit dan memerlukan

waktu yang lama yaitu minimal 12 bulan, bahkan bisa sampai 24 bulan.
Hasil pengobatan terhadap resisten ganda tuberkulosis ini kurang
menggembirakan. Pada penderita non-HIV, konversi hanya didapat pada sekitar
50% kasus, sedangkan response rate didapat pada 65% kasus dan kesembuhan

pada 56% kasus.


Pemberian obat antituberkulosis yang benar dan terawasi secara baik merupakan
salah satu kunci penting mencegah dan mengatasi masalah resisten ganda.
Konsep Directly Observed Treatment Short Course (DOTS) merupakan salah
satu upaya penting dalam menjamin keteraturan berobat penderita dan

menanggulangi masalah tuberkulosis khususnya resisten ganda.


Prioritas yang dianjurkan bukan pengobatan MDR, tetapi pencegahan MDR-TB.
Pencegahan resistensi dengan cara pemberian OAT yang tepat dan pengawasan
yang baik.

BAB III
KESIMPULAN

1. Mycobacterium tuberculosis, kuman penyebab tuberkulosis, merupakan


kuman bentuk basil dan memiliki sifat tahan asam, tumbuh lambat, dan
sensitif terhadap sinar ultra violet.
2. Menurut data statistik, setiap tahun terdapat 1,5 juta jiwa di dunia meninggal
akibat tuberkulosis.
3. Indonesia merupakan negara urutan ke 4 terbanyak yang terjangkit penyakit
tuberkulosis setelah India, Cina dan Afrika Selatan.
4. Resisten ganda (multidrugs resistant tuberculosis/TB-MDR ) merupakan
masalah terbesar terhadap pencegahan dan pemberantasan TB dunia.
5. Pemberian pengobatan MDR pada dasarnya tailor made, bergantung dari
hasil uji resistensi dengan menggunakan minimal 2-3 OAT yang masih sensitif
dan obat tambahan lain yang dapat digunakan yaitu golongan fluorokuinolon
(ofloksasin dan siprofloksasin), aminoglikosida (amikasin, kanamisin dan
kapreomisin), etionamid, sikloserin, klofazimin, amoksilin+ asam klavulanat.

DAFTAR ISI
Companion Handbook: to the WHO guidelines for the programmatic
management of drug-resistant tuberculosis.2014. The End TB Strategy:WHO.
Kementrian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan
Penyehatan Lingkungan. 2011. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.
Konsensus
Tuberkulosis
Paru.
2014
Diunduh
dari:
http://www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.pdf. Diakses tanggal 18 Oktober 2015.

Guidelines for the programmatic management of drug-resistant tuberculosis:


emergency update 2008. Geneva, World Health Organization, 2008
(WHO/HTM/TB/2008.402).
Soepandi PZ. 2010. Diagnosis Dan Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya
TB-MDR. Departemen Pulmonologi & Ilmu kedokteran Respirasi FKUI-RS
Persahabatan.
Wallace RJ, Griffith DE. Antimycrobial Agents in Kasper DL, Braunwald E
(eds), Harrisons Principles of Internal Medicine, 19th ed. Mc Graw Hill. New York.
2015.
World Health Organization. Guideline for the programmatic management of
drugresistant tuberculosis . Emergency Update 2008.

Anda mungkin juga menyukai