Anda di halaman 1dari 87

PERAN PERTUMBUHAN EKONOMI DAN INTERVENSI

PEMERINTAH DI BIDANG FISKAL TERHADAP


KEMISKINAN, PENGANGGURAN, DAN KETIMPANGAN
DISTRIBUSI PENDAPATAN DI INDONESIA
PERIODE 2005 - 2008
A. Teori tentang Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran, Ketimpangan Distribusi
Pendapatan, dan Kemiskinan
Pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran terbuka, tingkat ketimpangan distribusi
pendapatan dan tingkat kemiskinan erat kaitannya. Menurut Todaro (2003), pertumbuhan
ekonomi, seharusnya menghapus dan mengurangi tingkat kemiskinan, ketimpangan
pendapatan dan tingkat pengangguran. Masih tingginya angka kemiskinan, tingkat
pengangguran dan kesenjangan pendapatan tak terlepas dari strategi pembangunan yang
diterapkan yaitu terlalu fokus terhadap pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang
dicapai dengan tidak diikuti oleh perluasan kerja yang sebanding mengakibatkan jumlah
pengangguran masih besar, tingkat kemiskinan tidak turun secara signifikan, dan kesenjangan
pendapatan melebar. Sedangkan pertumbuhan ekonomi yang dibutuhkan adalah pertumbuhan
ekonomi yang tidak saja tinggi, tetapi mampu menciptakan lapangan pekerjaan yang banyak,
sehingga distribusi pendapatan lebih merata, dan dapat mengentaskan kemiskinan.
Pertumbuhan ekonomi yang berkualitas inilah yang menjadi dambaan tiap daerah.
Apabila tidak terjadi pertumbuhan ekonomi yang demikian, dampaknya adalah tingkat
pengangguran meningkat karena tak tersedia lapangan pekerjaan sehingga jurang kesenjangan
pendapatan semakin melebar, tingkat kemiskinan semakin tinggi dan dikhawatirkan hal-hal
seperti ini akan menghambat dan memberi efek negatif terhadap pertumbuhan ekonomi ke
depannya.
Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan
Data tahun 1970-an dan 1980-an mengenai pertumbuhan ekonomi dan distribusi
pendapatan di banyak negara berkembang, seperti Indonesia, menunjukkan seakan-akan ada
korelasi positif antara laju pertumbuhan dan tingkat ketimpangan distribusi pendapatan:
semakin tinggi pertumbuhan PDB atau semakin besar pendapatan per kapita semakin besar
perbedaan antara kaum miskin dan kaum kaya. Literatur mengenai perubahan kesenjangan
dalam distribusi pendapatan awalnya didominasi oleh apa yang disebut dengan hipotesis
Kuznets. Dengan memakai data antar negara (cross section) dan data dari sejumlah

survey/observasi di tiap negara (time series), Simon Kuznets menemukan relasi antara
kesenjangan pendapatan dan tingkat perdapatan per kapita berbentuk U terbalik. Dimana pada
awalnya pertumbuhan ekonomi akan menyebabkan kesenjangan distribusi pendapatan, dan
kemudian seiring berjalan waktu pertumbuhan akan menyebabkan pemerataan (Tambunan,
2009).
Todaro (2003) menjelaskan bahwa saat ini, terutama di negara berkembang,
kesejahteraan ekonomi yang dicapai melalui pertumbuhan tidak lagi memadai. Diperlukan
pertumbuhan ekonomi yang lebih berkualitas, yaitu pertumbuhan yang berorientasi pada
pemerataan (growth with equity). Pengalaman di banyak negara berkembang menunjukkan
bahwa pembangunan yang memprioritaskan pada pertumbuhan sering meninggalkan ruang
bagi perbaikan distribusi kesejahteraan. Pada dasarnya ada tidaknya ketimpangan pendapatan
pada sebuah negara tergantung karakteristik ekonomi yang dimilikinya. Bagaimana cara
distribusinya, bagaimana cara memperoleh pertumbuhannya, merupakan hal-hal yang dapat
menyebabkan pembagian kue ekonomi itu tidak merata. Meier (1978) dalam Rindayanti
(2009) mendefinisikan pembangunan ekonomi sebagai suatu proses yang dapat menyebabkan
terjadinya peningkatan pendapatan riil per kapita tanpa menyebabkan terjadinya peningkatan
kesenjangan distribusi pendapatan dan peningkatan jumlah penduduk miskin.
Pemerataan hasil-hasil pembangunan biasanya dikaitkan dengan ketimpangan. Pada
dasarnya ketimpangan distribusi pendapatan hanya merupakan sebagian kecil saja dari
ketimpangan. Ada banyak ketimpangan lain yang juga tak kalah penting dengan ketimpangan
distribusi pendapatan, diantaranya: ketimpangan gender, kekuasaan, status, kondisi kerja, dll.
Ada beberapa alasan ketimpangan menjadi suatu hal yang perlu diperhatikan. Ketimpangan
pendapatan yang ekstrem akan menyebabkan inefisiensi ekonomi. Sebagian penyebabnya
adalah pada tingkat pendapatan rata-rata berapapun, ketimpangan yang semakin tinggi akan
menyebabkan semakin kecilnya bagian populasi yang memenuhi syarat untuk mendapatkan
pinjaman atau sumber kredit yang lain. Lebih lanjut, dengan tingkat ketimpangan yang tinggi,
tingkat tabungan secara keseluruhan cenderung rendah. Hal ini dikarenakan, tingkat tabungan
marjinal tertinggi biasanya ditemukan pada kelas menengah ke bawah. Sedangkan kelas atas
sebagian besar dari pendapatannya justru disimpan di luar negeri dalam bentuk pelarian
modal (capital flight) dan konsumsi dilakukan pada barang-barang mewah import. Sehingga
ketimpangan pendapatan akan menyebabkan konsumsi terhadap produk domestik menurun
(Todaro, 2003).

Peranan Pemerintah
Adam Smith, seorang ahli ekonomi aliran klasik yang mengagungkan mekanisme
pasar bebas, menyatakan bahwa ada invisible hands dalam mengatur pembagian sumber daya,
dan oleh karenanya peran pemerintah menjadi sangat dibatasi karena akan mengganggu
proses ini. Konsep invisible hands kemudian direpresentasikan sebagai mekanisme pasar
melalui harga sebagai instrument utamanya. Adapun fungsi pemerintah menurut Smith hanya:
untuk memelihara keamanan, untuk menyelenggarakan peradilan, untuk menyediakan barang
yang tidak disediakan oleh pihak swasta (seperti: jalan, jembatan, irigasi, dll). Namun, dalam
masa sekarang ini, prinsip kebebasan ekonomi dalam praktiknya sulit terealisasi. Adanya
prinsip memaksimumkan kepuasan dari masing-masing individu menyebabkan perbenturan
kepentingan, pasar tidak selalu mampu menciptakan kondisi keseimbangan (market failure).
Depresi di Amerika tahun 1930-an merupakan contoh nyata kegagalan mekanisme pasar
dalam mengatasai pengangguran. Untuk itulah, menurut Keyness dibutuhkan intervensi
pemerintah untuk mempengaruhi tingkat output dan kesempatan kerja (Pracoyo, 2007).
Dalam sistem perekonomian modern, peranan pemerintah dapat dibagi dalam
beberapa bagian, yaitu : alokasi, distribusi dan stabilisasi (Dumairy, 1999). Peranan alokasi
oleh pemerintah ini sangat dibutuhkan terutama dalam hal penyediaan barang-barang yang
tidak dapat disediakan oleh swasta yaitu barang-barang yang bersifat umum atau disebut juga
barang publik. Karena dalam sistem perekonomian suatu negara, tidak semua barang dapat
disediakan oleh swasta dan dapat diperoleh melalui sistem pasar. Dalam hal seperti ini maka
pemerintah harus bisa menyediakan apa yang disebut dengan barang publik tadi. Sedangkan
barang yang dapat diperoleh melalui sistem pasar, yaitu melalui transaksi antara penjual dan
pembeli disebut barang swasta. Tidak dapat tersedianya barang publik oleh sistem atau
mekanisme pasar ini merupakan kegagalan pasar (market failure).
Konsekuensi dari peranan alokasi pemerintah adalah sumber pendapatan. Menurut UU
22/1999 dan UU 25/1999, sumber pendapatan daerah terdiri atas Pendapatan asli daerah
(PAD), dana perimbangan dan dana-dana lain yang sah. Pendapatan asli daerah terdiri atas
pajak daerah, retribusi daerah, hasil kekayaan daerah dan lain-lain yang merupakan hasil
pendapatan dari daerah itu sendiri. Pajak daerah merupakan pungutan yang dilakukan
pemerintah daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pajak daerah ini
dapat dibedakan dalam dua kategori yaitu pajak daerah yang ditetapkan oleh peraturan daerah
dan pajak negara yang pengelolaan dan penggunaannya diserahkan kepada daerah.
Penerimaan pajak daerah antara lain pajak kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan
bermotor, pajak bahan bakar kendaraan bermotor, dan lain-lain.

Berbeda dengan pendapatan asli daerah (PAD), dana perimbangan merupakan dana
yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai
kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana perimbangan terdiri dari
bagi hasil pajak/bukan pajak, dana alokasi umum (DAU), dan dana alokasi khusus (DAK).
DAU merupakan transfer dana dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang
dimaksudkan untuk menutup kesenjangan fiskal (fiscal gap) dan pemerataan kemampuan
fiskal antar daerah dalam rangka membantu kemandirian pemerintah daerah menjalankan
fungsi dan tugasnya melayani masyarakat. DAK merupakan dana yang disediakan kepada
daerah untuk memenuhi kebutuhan khusus. Ada tiga kriteria dari kebutuhan khusus seperti
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu: kebutuhan tidak dapat
diperhitungkan dengan menggunakan rumus dana alokasi umum, kebutuhan merupakan
komitmen atau prioritas nasional, dan kebutuhan untuk membiayai kegiatan reboisasi dan
penghijauan oleh daerah penghasil. Dengan demikian DAKpada dasarnya merupakan transfer
yang bersifat spesifik untuk tujuan-tujuan yang sudah digariskan.
Peran berikutnya yang dilakukan oleh pemerintah adalah peran distribusi. Peranan
distribusi dijalankan pemerintah dengan bertujuan untuk mendistribusikan pendapatan. Salah
satu instrumen yang dapat dilakukan pemerintah adalah pajak penghasilan (PPh). PPh
merupakan pendapatan bagi hasil dari pajak penghasilan terutang oleh wajib pajak orang
pribadi dalam negeri berdasarkan ketentuan pasal 25 dan pasal 29 Undang-Undang tentang
pajak penghasilan. Termasuk pendapatan bagi hasil dari pajak atas penghasilan berupa gaji,
upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lainnya sehubungan dengan pekerjaan atau
jabatan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi berdasarkan
ketentuan pasal 21 Undang-Undang tentang pajak penghasilan yang berlaku.
Penetapan upah minimum provinsi (UMP) juga merupakan upaya pemerintah yang
bertujuan mengurangi ketimpangan distribusi pendapatan. Hal ini termasuk dalam dasar
pertimbangan dari penetapan upah yang tertuang pada pasal 94 UU No. 13 tahun 2003
tentang ketenagakerjaan, selain agar upah tidak melorot dibawah kehidupan minimum untuk
pengentasan kemiskinan. Peranan pemerintah yang lain adalah sebagai alat stabilisasi
perekonomian. Peranan stabilisasi pemerintah dibutuhkan jika terjadi gangguan dalam
stabilitas perekonomian, seperti: terjadi deflasi, inflasi, penurunan permintaan/penawaran
suatu barang, yang nantinya masalah-masalah tersebut akan mengakibatkan timbulnya
masalah yang lain secara berturut-turut, seperti pengangguran, stagflasi, dan lain-lain.
Dalam menjalankan perekonomian dibutuhkan inflasi yang rendah dan relatif stabil.
Inflasi yang rendah dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi. Kenaikan harga lebih cepat

sedikit dibandingkan biaya produksi, sehingga produsen akan memperoleh keuntungan dan
menimbulkan gairah untuk berproduksi. Namun Inflasi yang tinggi, yang menyebabkan harga
naik cepat menyebabkan permintaan agregat menurun, sehingga produksi turut berkurang dan
akan menciptakan pengangguran.
Peran lain yang dapat dilakukan pemerintah yang termasuk dalam penelitian ini
adalah pada bidang pendidikan dan ketenagakerjaan. Pada bidang pendidikan, keterwakilan
intervensi pemerintah dapat terwakili oleh angka melek huruf (AMH). Target pemerintah
pada AMH, menunjukkan campur tangan pemerintah dalam bidang pendidikan tersebut.
Kemampuan membaca merupakan akar dari pengetahuan dan pemikiran manusia. Melek
huruf dapat dimaknai sebagai kemampuan untuk menjalin hubungan dengan orang lain
melalui pembicaraan, membaca, dan menulis, yang diaplikasikan pada kemampuan untuk
memanfaatkan media massa dan berbagai teknologi informasi. Tujuan dari melek huruf
adalah peningkatan taraf kehidupan masyarakat, keikutsertaan publik, penyelesaian masalah
kemanusiaan, dan perluasan kapasitas individu dan sosial masyarakat. Konsep tentang melek
huruf menunjukkan adanya hubungan antara tingkat kemampuan baca tulis dan partisipasi
sekolah dengan kemiskinan. Sedangkan intervensi pemerintah di bidang ketenagakerjaan
adalah pengembangan sektor informal menjadi sektor formal dalam upaya mengurangi
pekerja di sektor informal.
B. Kerangka Pikir dan Model Penelitian
Penelitian ini difokuskan pada telaah terhadap peran pertumbuhan ekonomi terhadap
permasalahan makroekonomi seperti: kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan distribusi
pendapatan. Berbeda dengan penelitian sebelumnya yang memodelkan dan menganalisis
hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan saja, studi ini juga memperhitungkan
hubungan antara pertumbuhan ekonomi terhadap pengangguran serta peran tidak langsung
dari pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan. Di
samping itu, untuk memperluas dan memperkaya cakupan analisis terkait pertumbuhan
ekonomi dengan permasalahan yang terjadi, sejumlah variabel lain terutama intervensi
pemerintah seperti pengeluaran pemerintah untuk kesehatan dan pendidikan, pajak daerah,
DAU, DAK, pajak penghasilan, penetapan UMP, pengendalian tingkat inflasi, angka melek
huruf dan proporsi orang yang bekerja di sektor informal serta kondisi kemiskinan awal
dijadikan sebagai variabel eksogen. Secara ringkas, kerangka pikir mengenai keterkaitan antar
variabel dalam penelitian ini tersaji melalui bagan berikut:

Model Peran Pertumbuhan Ekonomi dan Intervensi Pemerintah di


Bidang Fiskal Terhadap Kemiskinan, Pengangguran dan
Ketimpangan Distribusi Pendapatan

Keterangan: = Aliran Pengaruh = Variabel Eksogen = Variabel Endogen


Adapun hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut:
Hipotesis 1: Pertumbuhan ekonomi menurunkan tingkat kemiskinan, pengangguran dan
ketimpangan distribusi pendapatan.
Hipotesis 2: Tingkat pengangguran terbuka (TPT) mempengaruhi kemiskinan dan
ketimpangan distribusi pendapatan.
Hipotesis 3: Kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan menurunkan konsumsi
masyarakat.
Hipotesis 4: Konsumsi masyarakat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.
Hipotesis 5: Intervensi pemerintah mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, pengangguran,
kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan.

BAB III
METODOLOGI
3.1. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini berisikan tentang keterkaitan beberapa permasalahan
makroekonomi yaitu pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran, tingkat
ketimpangan distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan. Penelitian ini juga
mengamati bagaimana peran pemerintah dalam menanggulangi permasalahanpermasalahan
makroekonomi tersebut.
Penelitian ini menggunakan data cross section dari 30 provinsi, dimana
Provinsi Kepulauan Riau, Sulawesi Barat dan Papua Barat tergabung pada
provinsi asalnya yaitu Provinsi Riau, Sulawesi Selatan dan Papua. Provinsiprovinsi
tersebut diamati selama kurun waktu 4 tahun dalam periode 2005 2008.
Penelitian ini diharapkan mampu menjawab bagaimana keterkaitan antara
permasalahan makroekonomi dan bagaimana intervensi pemerintah turut andil
dalam permasalahan ini.
3.2. Metode Pengumpulan Data
Semua data yang digunakan dalam penelitian ini, kecuali upah minimum
provinsi (UMP) dan pengeluaran pemerintah menurut fungsi kesehatan dan
pendidikan merupakan data sekunder yang bersumber dari BPS. Secara lengkap,
penjelasan mengenai data yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Data PDB Nasional dan PDRB provinsi atas dasar harga konstan tahun 2000.
Dalam penelitian ini, dari data PDRB setiap provinsi dilakukan penghitungan
untuk memperoleh pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi (Growth)
38
pada tahun tertentu merupakan persentase perubahan dari PDRB tahun
tertentu terhadap PDRB tahun sebelumnya.
______,
= ____,______,___
____,___

_100% (1)
dimana : i = provinsi (Aceh, Sumatera Utara,, Papua)
t = tahun (2005, 2006, 2007, 2008)
2. Data persentase penduduk miskin (Head Count Index)
Sumber data: publikasi BPS Data dan Informasi Kemiskinan ; Buku 1:
Propinsi (berbagai tahun)
3. Data tingkat pengangguran terbuka (TPT)
Sumber data: publikasi BPS Indikator Kesejahteraan Rakyat (berbagai
tahun)
4. Data distribusi pendapatan didekati dengan menggunakan gini ratio index
BPS melakukan penghitungan distribusi pendapatan menggunakan proxy
pengeluaran yang datanya diperoleh dari SUSENAS modul konsumsi pada
tahun 2005 dan 2007. Untuk melengkapi data, peneliti melakukan
penghitungan menggunakan raw data SUSENAS kor dengan menggunakan
rumus penghitungan sebagai berikut :
____ = 1 (___( !,_ + #,(__$))) &_
(2)
Dimana : Gini = Gini ratio index untuk mewakili distribusi pendapatan
__ _ = Persentase penduduk kelompok ke-i
!,_ = Persentase kumulatif pendapatan kelompok ke-i
i = 1, 2, 3, , n
5. Data upah minimum propinsi (UMP)

Sumber: Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (DEPNAKERTRANS)


39
6. Data konsumsi rumah tangga
Data konsumsi rumah tangga yang digunakan dalam penelitian ini merupakan
bagian dari komponen penyusun PDRB menurut pengeluaran (expenditure
approach)
Sumber: BPS
7. Data pengeluaran pemerintah menurut fungsi kesehatan dan pendidikan
Sumber : Kementerian Keuangan
8. Data pajak daerah dan pajak penghasilan (PPh)
Sumber: BPS Subdit Keuangan Daerah
9. Data dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK)
Sumber : BPS Subdit Keuangan Daerah
10. Angka Melek Huruf (literacy rate)
Angka melek huruf untuk melihat peran pemerintah dalam kebijakan bidang
pendidikan diperoleh dari publikasi BPS Indikator Kesejahteraan Rakyat
(berbagai tahun)
11. Data proporsi sektor informal
Data ini diperoleh dari publikasi BPS Data dan Informasi Kemiskinan
12. Data IHK
Data IHK atau indeks harga konsumen digunakan untuk memperoleh tingkat
inflasi dimana penelitian ini menggunakan inflasi year on year setiap bulan
Maret (March to March). Penghitungan inflasi tidak berbeda jauh dengan
penghitungan pertumbuhan ekonomi. Inflasi merupakan persentase perubahan
IHK bulan maret pada suatu tahun jika dibandingkan IHK tahun sebelumnya,
atau dapat dirumuskan sebagai berikut :
40
In)lasi.,/ = 012_,__012_,___
012_,___

x 100 % (3)
Dimana : i = provinsi (Aceh, Sumatera Utara, , Papua )
t = tahun (2005, 2006, 2007, 2008 )
Sumber data : BPS
Data yang digunakan untuk analisis inferensia merupakan data panel yang
mencakup 30 provinsi dalam periode tahun 2005-2008. Pengolahan data-data
tersebut dilakukan dengan menggunakan sejumlah program, yakni: Microsoft
Excel 2007, Arc View 3.3 dan Eviews 6.0. Kegiatan pengolahan data dengan
menggunakan Microsoft Excel 2007 mencakup penghitungan pertumbuhan
ekonomi, distribusi pendapatan (gini ratio index) dan inflasi serta pembuatan tabel
dan grafik untuk kepentingan analisis deskriptif. Selain penyajian tabel dan grafik,
penelitian ini juga menggunakan peta yang dibuat dengan menggunakan bantuan
Arc View 3.3. Sedangkan pengolahan data dengan menggunakan Eviews 6.0
digunakan untuk mengestimasi parameter-parameter model regresi dan statistikstatistik
yang digunakan untuk kepentingan analisis inferensia serta uji-uji formal
menyangkut pemilihan metode estimasi serta spesifikasi model terbaik.
3.3. Metode Analisis
Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif pada penelitian ini meliputi penyajian melalui tabel,
grafik, peta, dan sebagainya. Analisis deskriptif dilakukan pada penelitian ini
bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai tingkat kemiskinan,

ketimpangan distribusi pendapatan, tingkat pengangguran dan pertumbuhan


ekonomi di Indonesia.
41
Analisis Inferensia
Analisis Inferensia pada penelitian ini fokus pada persoalan bagaimana
peranan pertumbuhan ekonomi dan intervensi pemerintah di bidang fiskal
terhadap tingkat pengangguran, tingkat ketimpangan distribusi pendapatan dan
tingkat kemiskinan di Indonesia. Untuk menjawab hal tersebut, peneliti
melakukan 2 permodelan yaitu model persamaan simultan (simultaneous
equations model) dan model persamaan tunggal (single equation model). Data
yang digunakan untuk analisis inferensia merupakan data panel dari 30 provinsi
yang diamati dalam kurun waktu 4 tahun (2005 2008).
Analisis Data Panel
Data yang digunakan dalam analisis ekonometrika terdiri dari 3 jenis, yaitu
data time-series, data cross-section, dan data panel. Pada data time series, satu
atau lebih variabel akan diamati pada satu unit observasi dalam kurun waktu
tertentu. Sedangkan data cross-section merupakan amatan dari beberapa unit
observasi dalam satu titik waktu. Data panel (panel pooled data) merupakan
gabungan data cross section dan series. Dengan kata lain, data panel merupakan
data dari beberapa individu sama yang diamati dalam kurun waktu tertentu. Jika
kita memiliki T periode waktu (t = 1,2,...,T) dan N jumlah individu (i = 1,2,...,N),
maka dengan data panel kita akan memiliki total unit observasi sebanyak NT. Jika
jumlah unit waktu sama untuk setiap individu, maka data disebut balanced panel.
Jika sebaliknya, yakni jumlah unit waktu berbeda untuk setiap individu, maka
disebut unbalanced panel.
42
Dalam penelitian ini, digunakan data yang bersifat balanced panel. Oleh
karena data diperoleh dari 30 provinsi yang diamati dalam kurun waktu 4 tahun
maka diperoleh 120 observasi. Penggunaan data panel pada dasarnya merupakan
solusi atas ketidaktersediaan data time-series yang cukup panjang untuk
kepentingan analisis ekonometrika.
Menurut Baltagi (2005), penggunaan data panel dalam regresi memiliki
beberapa keuntungan, diantaranya :
1. Dengan menggabungkan data time series dan cross section, panel
menyediakan data yang lebih banyak dan informasi yang lebih lengkap
serta bervariasi. Dengan demikian akan dihasilkan degress of freedom
(derajat bebas) yang lebih besar dan mampu meningkatkan presisi dari
estimasi yang dilakukan.
2. Data panel mampu mengakomodasi tingkat heterogenitas individuindividu
yang tidak diobservasi namun dapat mempengaruhi hasil dari
permodelan (individual heterogeneity). Hal ini tidak dapat dilakukan oleh
studi time series maupun cross section sehingga dapat menyebabkan hasil
yang diperoleh melalui kedua studi ini akan menjadi bias.
3. Data panel dapat digunakan untuk mempelajari kedinamisan data. Artinya
dapat digunakan untuk memperoleh informasi bagaimana kondisi
individu-individu pada waktu tertentu dibandingkan pada kondisinya pada
waktu yang lainnya.
4. Data panel dapat mengidentifikasikan dan mengukur efek yang tidak dapat
ditangkap oleh data cross section murni maupun data time series murni.
43

5. Data panel memungkinkan untuk membangun dan menguji model yang


bersifat lebih rumit dibandingkan data cross section murni maupun data
time series murni.
6. Data panel dapat meminimalkan bias yang dihasilkan oleh agregasi
individu karena unit observasi terlalu banyak.
Regresi data panel berbeda dengan regresi time series maupun cross
section. Regresi data panel memiliki double subscript pada setiap variabel,
dimana i menunjukkan individu dan aspek cross section, sedangkan t
menunjukkan waktu sekaligus sebagai aspek time series. Regresi data panel dapat
dimodelkan sebagai berikut :
4_
= 5 + 5_ + 6_
7 + 8_
_ = Aceh, Sumut,, Papua; (4)
_ = 2005, 2006, 2007, 2008;
merupakan konstanta, berukuran P x 1 merupakan parameter hasil estimasi
dan 6_ menunjukkan observasi ke-it dari P variabel bebas. 5_ merupakan efek
individu yang berbeda-beda untuk setiap individu ke-i. Sedangkan 8_
merupakan
error regresi seperti halnya pada model regresi klasik.
Model persamaan diatas disebut one-way model atau model satu arah,
karena hanya memasukkan efek individu (5_) dalam model. Jika model juga
memasukkan efek dari waktu, maka disebut two-way model atau model dua arah
dan secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut:
4_
= 5 + 5_ + J
+ 6_
7 + 8_
_ = Aceh, Sumut,, Papua; (5)
_ = 2005, 2006, 2007, 2008;
dimana J
merupakan efek waktu atau komponen tren. Keberadaan J
memperbolehkan pergeseran intersep regresi antar waktu. Jika efek waktu bersifat
44
sistematik atau tidak acak, maka komponen ini dapat digantikan oleh sejumlah
variabel dummy waktu.
Estimasi Model Regresi dengan Menggunakan Data Panel
Tiga macam estimasi model yang dapat digunakan dalam analisis regresi
data panel adalah model common effects, fixed effects, dan random effects. Pada
dasarnya, perbedaan yang mendasari ketiganya adalah keberadaan efek spesifik
individu (5_). Keberadaan efek spesifik individu dan korelasinya dengan variabel
penjelas yang teramati (6_ ) sangat menentukan spesifikasi model yang akan
digunakan.
A. Common Effects Model
Model common effects merupakan pendekatan data panel yang paling
sederhana. Model ini tidak memperhatikan dimensi individu maupun waktu
sehingga diasumsikan bahwa perilaku antar individu sama dalam berbagai kurun
waktu. Model ini hanya mengkombinasikan data time series dan cross section
dalam bentuk pool, mengestimasinya menggunakan pendekatan kuadrat
terkecil/pooled least square.
Adapun persamaan regresi dalam model common effects dapat ditulis
sebagai berikut:
4_
= 5 + 6_
7 + 8_
_ = Aceh, Sumut,, Papua; (6)
_ = 2005, 2006, 2007, 2008;
dimana i menunjukkan cross section (individu) dan t menunjukkan periode
waktunya. Dengan asumsi komponen error dalam pengolahan kuadrat terkecil

45
biasa, proses estimasi secara terpisah untuk setiap unit cross section dapat
dilakukan.
Berdasarkan asumsi struktur matriks varians-kovarians residualnya, pada
model common effects, ada 4 metode estimasi yang dapat digunakan, yakni:
1) Ordinary Least Square (OLS), jika struktur matriks varians-kovarians
residualnya diasumsikan bersifat homoskedastik dan tidak ada cross
sectional correlation.
2) Generalized Least Square (GLS)/ Weighted Least Square (WLS):
Cross Sectional Weight, jika struktur matriks varians-kovarians
residualnya diasumsikan bersifat heteroskedatik dan tidak ada cross
sectional correlation.
3) Feasible Generalized Least Square (FGLS)/ Seemingly Uncorrelated
Regression (SUR) atau Maximum Likelihood Estimator (MLE), jika
struktur matriks varians-kovarians residualnya diasumsikan bersifat
heteroskedastik dan ada cross sectional correlation.
4) Feasible Generalized Least Square (FGLS) dengan proses
autoregressive (AR) pada error term-nya, jika struktur matriks
varians-kovarians residualnya diasumsikan bersifat heteroskedastik
dan ada korelasi antar waktu pada residualnya.
B. Fixed Effects Model
Model Fixed effects mengasumsikan bahwa terdapat efek yang berbeda
antar individu. Perbedaan itu dapat diakomodasi melalui perbedaan pada
intersepnya. Oleh karena itu, dalam model fixed effects, setiap 5_ merupakan
46
parameter yang tidak diketahui dan akan diestimasi dengan menggunakan teknik
variabel dummy yang dapat ditulis sebagai berikut:
4_
= 5 + _5_ + 6_
7 + 8_
(7)
K
4$
4L

4&
N=K
555
N+K
_0
0_

00

00_
NK
5$
5L

5&
N+Q
6$$ 6L$ 6R$

6$L 6LL 6RL

6$& 6L& 6R&


SQ
7$
7L

7R
S+K
8$
8L

8&
N (8)
Teknik seperti diatas dinamakan Least square Dummy Variabel (LSDV).
Selain diterapkan untuk efek tiap individu , LSDV ini juga dapat mengakomodasi
efek waktu yang besifat sistemik. Hal ini dapat dilakukan melalui penambahan
variabel dummy waktu di dalam model.
Berdasarkan asumsi struktur matriks varians-kovarians residualnya, pada
model fixed effects, ada 3 metode estimasi yang dapat digunakan, yakni:
1) Ordinary Least Square (OLS/LSDV), jika struktur matriks varianskovarians
residualnya diasumsikan bersifat homoskedastik dan tidak
ada cross sectional correlation.
2) Weighted Least Square (WLS), jika struktur matriks varians-kovarians
residualnya diasumsikan bersifat heteroskedastik dan tidak ada cross
sectional correlation.
3) Seemingly Uncorrelated Regression (SUR), jika struktur matriks
varians-kovarians residualnya diasumsikan bersifat heteroskedastik
dan ada cross sectional correlation.
C. Random Effects Model
Berbeda dengan fixed effects model, efek spesifik dari masing-masing
individu 5_ diperlakukan sebagai bagian dari komponen error yang bersifat acak
dan tidak berkorelasi dengan variabel penjelas yang teramati (6_ ), model seperti
47
ini dinamakan random effects model (REM). Model ini sering disebut juga dengan
error component model (ECM). Dengan demikian, persamaan model random
effects dapat dituliskan sebagai berikut:
4_
= 5 + 6_
7 + __
_ = Aceh, Sumut,, Papua; (9)
_ = 2005, 2006, 2007, 2008;
Dimana __ = 8_ + U_; V___ ) = 0; V___
L) = WL + WX
L;
VY__ ,_Z
_$[ = 0; _ ]; V_U_8_
) = 0;
V_8_ 8_^) = VY8_ 8Z
[ = VY8_
8Z^[ = 0
Meskipun komponen error it w bersifat homokedastik, nyatanya terdapat
korelasi antara it w dan it s w (equicorrelation), yakni:
____Y__
,___ _$)[ = `a b
`bc`a b (10)
Karena itu, metode OLS tidak bisa digunakan untuk mendapatkan estimator yang

efisien bagi model random effects. Metode yang tepat untuk mengestimasi model
random effects adalah Generalized Least Squares (GLS) dengan asumsi
homokedastik dan tidak ada cross-sectional correlation.
Penyeleksian Model
Dari ketiga model yang telah dibahas sebelumnya, kemudian dipilih yang
mana model yang paling tepat digunakan dalam penelitian. Pemilihan model dapat
dilakukan secara formal maupun informal dengan mempertimbangkan beberapa
hal tertentu.
48
Judge (1980) menyatakan ada perbedaan mendasar untuk menentukan
pilihan antara FEM (Fixed Effects Model) dan ECM (Error Component Model)
antara lain sebagai berikut (Gujarati, 2004):
1) Jika T (jumlah data time series) besar dan N (jumlah unit cross-section)
kecil, perbedaan antara FEM dan ECM adalah sangat tipis. Oleh karena
itu, dapat dilakukan penghitungan secara konvensional. Pada keadaan
ini, FEM mungkin lebih disukai.
2) Ketika N besar dan T kecil, estimasi diperoleh dengan dua metode
dapat berbeda secara signifikan. Pada ECM, 5_ = 5 + U_ , dimana
U_ adalah komponen random cross-section dan pada FEM, 5_
ditetapkan dan tidak acak. Jika kita sangat yakin dan percaya bahwa
individu, ataupun unit cross-section sampel kita adalah tidak acak,
maka FEM lebih cocok digunakan. Jika unit cross-section sampel
adalah random/acak, maka ECM lebih cocok digunakan.
3) Komponen error individu U_ dan satu atau lebih regresor berkorelasi,
estimator yang berasal dari ECM adalah bias, sedangkan yang berasal
dari FEM adalah unbiased.
4) Jika N besar dan T kecil, serta jika asumsi untuk ECM terpenuhi, maka
estimator ECM lebih efisien dibanding estimator FEM.
Secara formal, ada tiga prosedur pengujian yang akan digunakan, yaitu uji
statistik F yang digunakan untuk memilih antara model common effects atau fixed
effects; uji Langrange Multiplier (LM) yang digunakan untuk memilih antara
model common effects atau model random effects; dan uji Hausman yang
digunakan untuk memilih antara model fixed effects atau model random effects.
49
A. Pengujian Signifikansi Model Fixed Effects
Pengujian signifikansi model fixed effects dilakukan dengan uji statistik F.
Uji F digunakan untuk mengetahui apakah teknik regresi data panel dengan fixed
effects lebih baik dari model regresi common effects. Hipotesis null (H0) yang
digunakan adalah model common effects lebih baik, dengan kata lain tidak
terdapat perbedaan antar individu.
Adapun uji F statistiknya adalah sebagai berikut:
__U_d = (ef__efb)/(&_$)
efb/(&h_&_i) ~ (5; (_ 1); (_k _ l)) (11)
dimana n = jumlah individu; T = periode observasi; k = jumlah parameter dalam
model fixed effects; RSS1 merupakan residual sum of squares common effects
model, sedangkan RSS2 merupakan residual sum of squares fixed effects model.
Nilai F hitung akan mengikuti distribusi statistik F dengan derajat bebas
(df) {n-1} dan {nT-n-k}. Jika nilai statistik F hitung lebih besar daripada F tabel
pada tertentu, maka hipotesis null akan ditolak sehingga dapat disimpulkan
teknik regresi data panel dengan fixed effects lebih baik dari model regresi data

panel tanpa variabel dummy (common effects).


B. Pengujian Signifikansi Model Random Effects
Untuk pengujian signifikansi model random effects dapat digunakan uji
Langrange Multiplier (LM). Model ini didasarkan pada nilai residual dari model
common effects. Hipotesis null (H0) yang digunakan adalah bahwa varians dari
efek spesifik individu i sama dengan nol, yakni 2 0 , atau dengan kata lain
tidak terdapat adanya efek tidak teramati pada komponen error model random
50
effects. Dengan kata lain model common effects lebih baik dari random effects
model.
Adapun nilai statistik LM dihitung berdasarkan formula sebagai berikut:
mn = &h
L(h_$) o ( pqr
sr
t_ )b uq
t_
pqr
b srt_
uq
t_

1v
L

~ w5,1

2 (12)
dimana n = jumlah individu; T = jumlah periode waktu dan x_
adalah residual
model common effects. LM akan mengikuti distribusi chi-square dengan derajat
bebas (df) sebesar 1. Jika LM lebih besar dari chi-square pada tabel dengan
signifikansi (alpha tertentu), maka hipotesis null akan ditolak, yang berarti model
estimasi yang tepat untuk regresi data panel adalah model random effects daripada
model common effects.
C. Hausman Test
Terkadang kita berhadapan dengan kondisi dimana random effects model
maupun fixed effects model lebih baik dari common effects model. Untuk itu perlu
dilakukan Hausman test dalam menentukan model yang sesuai antara model fixed
effects atau model random effects. Unsur penting metode pemilihan ini adalah
matriks kovarians dari perbedaan vektor y7z
{| 7z
e|}:
._y7z
{| 7z
e|} = ._y7z
{|} + ._y7z
e|} 2_.y7z
{|,7z
e|} (13)
dimana 7z
{|adalah estimator efisien yang dihasilkan dari metode fixed effects
sedangkan 7z
e| adalah estimator yang dihasilkan dari metode random effects.
Hasil metode Hausman adalah bahwa perbedaan kovarians dari estimator
fixed effects model dengan estimator random effects model adalah 0, sehingga
_.y(7z
{| 7z

e|),7z
e|}

= _.y7z

{|,7z
e|}
e|}

._y7z
= 0 (14)

51
_.y7z
{|,7z
e|} = ._y7z
e|} (15)
Kemudian dengan mensubstitusikan persamaan - persamaan tersebut akan
menghasilkan matriks kovarians sebagai berikut:
._y7z
{| 7z
e|} = ._y7z
{|} ._y7z
e|} =. (16)
Selanjutnya mengikuti kriteria Wald, nilai statistik Hausman diatas akan
mengikuti distribusi chi-square sebagai berikut:
. = wL... = y7z
7z
..f}

.
_$y7z
7z
..f} (17)
Statistik uji Hausman di atas mengikuti distribusi chi-square dengan
derajat bebas sebanyak jumlah variabel bebas (k). Hipotesis null pada uji hausman
adalah model random lebih baik. jika nilai statistik Hausman lebih besar daripada
nilai kritis statistik chi-square, maka hipotesis null akan ditolak, yang berarti
model estimasi yang tepat untuk regresi data panel adalah model fixed effects
dibanding model random effects.
Dalam penelitian ini, penentuan apakah fixed effects model atau random
effects model yang akan digunakan selain didasarkan pada sejumlah pertimbangan
yang telah disebutkan, juga akan didasarkan pada kriteria ekonomi (make sense
secara ekonomi). Kesesuaian tanda hasil estimasi koefisien regresi setiap variabel
di dalam model dengan teori dan kewajaran besaran nilai koefisien hasil estimasi
tersebut juga menjadi unsur pertimbangan dalam pemilihan model.
Selanjutnya, untuk model estimasi regresi data panel terpilih, akan
dilakukan pengujian untuk memilih estimator dengan struktur varians-kovarians
dari residual yang lebih baik. Namun, jika terpilih model random effects maka
pengujian untuk memilih struktur varians-kovarians residual yang lebih baik tidak
dilakukan.
52
Strukstur Varians-Kovarians Residual Model Regresi Data Panel
Tahapan selanjutnya setelah menentukan model estimasi adalah memilih
metode estimasi yang tepat sesuai dengan struktur varians-kovarians residual.
Membangun model regresi dengan data panel akan menyebabkan bertambahnya
komponen residual, karena adanya dimensi cross-section dan time-series pada

data. Kondisi ini menyebabkan matriks varians-kovarians residual menjadi sedikit


lebih kompleks bila dibandingkan dengan model regresi klasik yang hanya
menggunakan data cross-section atau data time-series.
Pada model regresi klasik, pelanggaran terhadap asumsi klasik, terutama
heterokedastisitas dan autokerelasi merupakan masalah serius yang
mengakibatkan penduga parameter regresi yang diestimasi dengan OLS tidak lagi
bersifat BLUE (best linier unbiased estimator). Ada banyak solusi yang dapat
dijalankan bila itu terjadi pada model regresi klasik, diantaranya transformasi
variabel dengan berbagai bentuk modifikasi.
Dalam pemodelan regresi dengan data panel, terjadinya pelanggaran
asumsi regresi linier klasik pada residual adalah hal yang sangat sulit dihindari.
Namun berbeda dengan regresi linear klasik, pelanggaran asumsi klasik dapat
diakomodasi melalui pemilihan metode estimasi yang disesuaikan dengan struktur
varians-kovarians residualnya.
Berbagai kemungkinan metode estimasi yang disesuaikan dengan struktur
varians-kovarians yang selanjutnya akan dijelaskan ini hanya bisa diterapkan pada
model fixed effects dan model common effects.
53
A. Struktur Homoskedastik dan Tidak Ada Cross-sectional Correlation
Struktur varians-kovarians residual yang bersifat homoskedastik dan tidak
ada cross-sectional correlation adalah sebagai berikut:
= E.. =
L 0 0
0 L 0

0 0 L
.
Untuk struktur seperti ini metode estimasi yang digunakan adalah Ordinary Least
Square.
B. Struktur Heteroskedastik dan Tidak Ada Cross-sectional Correlation
Struktur varians-kovarians residual yang bersifat heteroskedastik dan tidak
ada cross-sectional correlation adalah sebagai berikut:
= E.. =
$
L 0 0
0 L
L 0

0 0 .
L
.
Untuk struktur seperti ini metode estimasi yang digunakan adalah Generalized
Least Square (GLS)/Weighted Least Square (WLS) Cross-sectional Weight.
C. Struktur Heteroskedastik dan Ada Cross-sectional Correlation
Struktur varians-kovarians residual yang bersifat heteroskedastik dan ada
cross-sectional correlation adalah sebagai berikut:
= E.. =
$$
L $L
L $.


L$
L LL
L L.
L

.$
L .$
L ..
L
.
Untuk struktur seperti ini metode estimasi yang digunakan adalah Feasible
Generalized Least Square (FGLS)/Seemingly Uncorrelated Regression (SUR):
SUR weight atau Maximum Likelihood Estimator (MLE).
54
D. Struktur Heterokedastik dan Adanya Autokorelasi
Pada model ini terjadi korelasi antar dua residual pada periode waktu yang
berbeda dalam cross-section yang sama (diasumsikan tidak terjadi cross-sectional
correlation). Komponen residual antar waktu diasumsikan mengikuti proses
autoregressive dengan lag 1/AR(1). Struktur matrik varians-kovarians residual
adalah
= E.. =
$
L. 0 0
0 L
L. 0

0 0 .
L.
.
Metode estimasi yang digunakan adalah Feasible Generalized Least Square
(FGLS) dengan proses autoregressive (AR) pada residual (Ekananda, 2004).
Pengujian Asumsi Struktur Varians-kovarians Residual
Adapun untuk penentuan metode estimasinya dilakukan pengujian
Lagrange Multiplier (LM test pada struktur varians-kovarians residual). Pengujian
dilakukan untuk mengetahui apakah struktur varians-kovarians residual memenuhi
asumsi homoskedastik atau struktur heteroskedastik dan tidak ada cross-sectional
correlation. Hipotesis null (H0) yang digunakan adalah struktur varians-kovarians
residual bersifat homoskedastik. Sementara hipotesis alternatifnya (H1) adalah
bahwa struktur varian-kovarian residual bersifat heteroskedastik.
L

22

:i H (Struktur varians-kovarians residual homoskedastik).

0
22
1

:i H (Struktur varians-kovarians residual heteroskedastik).

Secara matematis, statistik uji yang digunakan dapat dirumuskan sebagai


55
berikut:
mn = h
L

o`..b
`.b 1v

L
&_

~ w.;&_$
L (18)
dimana T merupakan jumlah periode waktu, n adalah jumlah individu, i2 adalah
varian residual persamaan ke-i pada kondisi homoskedastik, dan 2 adalah Mean
Square Error persamaan sistem pada kondisi homoskedastik.
Statistik uji LM ini mengikuti distribusi statistik chi-square dengan derajat
bebas sebanyak n-1. Jika nilai statistik LM lebih besar dari nilai kritis statistik chisquare,
maka hipotesis null akan ditolak, yang berarti struktur varians-kovarians
residual bersifat heteroskedastik tanpa ada korelasi antar unit. Metode yang dapat
digunakan untuk struktur varians-kovarians residual yang bersifat heteroskedastik
adalah Weighted Least Squares (WLS).
Pemilihan Estimator Struktur Heteroskedastik dan Tidak Ada Cross
Sectional Correlation atau SUR dengan Uji LM.
Pengujian ini dilakukan apabila hasil pengujian LM menunjukkan bahwa
struktur varians-kovarians residual bersifat heteroskedastik. Pada pengujian ini,
hipotesis null yang digunakan adalah bahwa struktur varians-kovarians residual
bersifat heteroskedastik dan tidak ada cross sectional correlation. Sementara
hipotesis alternatifnya adalah bahwa struktur varians-kovarians residual bersifat
heteroskedastik dan ada cross sectional correlation (Seemingly Uncorrelated
Regression/SUR). Statistik uji yang digunakan dirumuskan sebagai berikut:
.. = k __Z
.$

__$ L
Z.$
&_

~ w&(&_$)/L
L (19)
56
dimana n adalah jumlah individu, T adalah jumlah periode waktu __Z
L adalah
residual correlation coefficient antara persamaan ke-i dan ke-j.
Statistik uji LM ini mengikuti distribusi statistik chi-square dengan derajat
bebas sebanyak n(n-1)/2. Jika nilai statistik mn lebih besar dari nilai kritis
statistik chi-square maka hipotesis null akan ditolak, yang berarti struktur varianskovarians
residual bersifat heteroskedastik dan ada cross sectional correlation
(Seemingly Uncorrelated Regression/ SUR).
Model Persamaan Simultan dengan Menggunakan Data Panel
Pada model persamaan tunggal terdapat satu variabel tak bebas Y dan
beberapa variabel bebas X. Dalam model seperti ini penekanan diberikan kepada
peramalan nilai Y ketika nilai X diketahui. Dalam kata lain terdapat hubungan
sebab akibat dari X ke Y. Namun dalam banyak kasus ekonomi, kenyataannya
variabel ekonomi saling mempengaruhi. Ini terjadi jika Y tidak hanya ditentukan
oleh X tetapi beberapa X juga ditentukan oleh Y. Ringkasnya, ada hubungan dua
arah (interdependensi), atau simultan antara sejumlah variabel. Hubungan
simultan yang terjadi berimplikasi pada estimasi setiap persamaan dan
keseluruhan sistem, karena dampak feedback dan dual causality antara sejumlah
variabel di satu sisi dan adanya korelasi residual antar persamaan dan antar
periode waktu di sisi yang lain. Oleh karena itulah, muncul model persamaan
simultan menjadi solusi permasalahan seperti ini.
Dalam penelitian ini, hubungan simultan antara variabel penelitian
.L

didasarkan pada informasi apriori (Gujarati, 2004), yakni teori dan hasil penelitian
empiris. Variabel dalam persamaan simultan dapat dikelompokkan menjadi dua,
57
yaitu : variabel endogen dan variabel eksogen. Variabel endogen merupakan
variabel yang nilainya ditentukan oleh model, sedangkan variabel eksogen
nilainya ditentukan dari luar model. Dalam penelitian ini variabel
kebijakan/intervensi pemerintah merupakan variabel eksogen. Berikut adalah
bentuk umum sistem persamaan simultan dengan menggunakan data panel.
Misalkan sebuah sistem persamaan terdiri dari M persamaan, K variabel
eksogen, N observasi, dan T periode waktu. Dengan struktur data panel, berarti
terdapat sebanyak N observasi untuk setiap persamaan dan M persamaan untuk
setiap periode waktu. Karena itu, setiap periode waktu memiliki jumlah variabel
endogen, eksogen dan observasi yang sama, untuk setiap periode waktu bentuk
struktural setiap persamaan adalah sebagai berikut:
4$$$ + 4LL$+ + 4..$ + _$7$$ + _L7L$+ + _.7.$ + 8$ = 0
4$$L + 4LLL+ + 4..L + _$7$L + _L7LL+ + _.7.L + 8L = 0

4$$. + 4LL.+ + 4... + _$7$. + _L7L.+ + _.7.. + 8. = 0


Dalam notasi matriks, sistem ini dapat dituliskan menjadi
.y$ yL y. Q
$$ $L $
L$ LL L

$ L
S + .x$ xL x. Q
$$ $L $
L$ LL L

$ L
S = .$ L .

dimana :
setiap vektor y1...yM merepresentasikan N observasi pada M variabel endogen.
Setiap vektor 1 k x ...x merepresentasikan N observasi pada K variabel eksogen.
Setiap vektor 1...M merepresentasikan N observasi pada M residual. , dan ,
merupakan parameter struktural dari sistem yang akan diestimasi.
58
Untuk semua (full set) N observasi, struktur di atas dapat dituliskan
menjadi
... + ..22. = .. (20)
dimana
=
x$$ x$

x.$ x.

..2

=
y$$ y$

y.$ x.

..

=
$$ $

.$ .

..

Karena adalah sebuah matriks kuadrat dan diasumsikan nonsingular, maka


bentuk tereduksi untuk semua N observasi dan M variabel endogen adalah sebagai
berikut:
Y XB1 1 (21)
Dengan memisalkan, B1 dan V 1,maka persamaan
diatas dapat dituliskan sebagai berikut:
Y X V (22)
Dengan mengestimasi matriks bentuk tereduksi , selanjutnya dapat diestimasi
elemen-elemen dari B dan V (AlDakhil, 1998).
Identifikasi Model Persamaan Simultan
Persamaan struktural dalam sistem harus teridentifikasi (just identified
atau overidentified) agar dapat menghasilkan estimasi. Prosedur yang digunakan
untuk mengidentifikasi model sistem persamaan simultan pada penelitian ini
adalah order condition.
Syarat identifikasi dengan order condition adalah sebagai berikut: Suatu
model dengan M persamaan simultan, akan identified apabila jumlah variabel
59
eksogen yang tidak terdapat dalam persamaan harus paling sedikit atau sama
dengan jumlah variabel endogen yang ada dalam persamaan dikurangi satu.
K - k = m 1 (23)
dimana, m adalah jumlah variabel endogen dalam suatu persamaan, K adalah
jumlah variabel eksogen dalam sistem, dan k adalah jumlah variabel eksogen
dalam suatu persamaan. Jika K - k = m -1, persamaan disebut just identified.
Tetapi jika K k > m - 1, persamaan disebut overidentified. Apabila K - k < m -1,
maka persamaan tersebut disebut unidentified (underidentified) yang tidak dapat
diselesaikan dengan model persamaan simultan (Gujarati, 2004).
Pengujian Variabel Endogen
Tahapan selanjutnya setelah persamaan structural dapat diidentifikasikan
adalah pengujian variabel endogen. Penetapan yang mana variabel endogen dan
variabel eksogen merupakan tanggung jawab seorang peneliti sehingga hal ini
akan tergantung pada masalah yang ada dan berdasarkan informasi apriori yang
dimiliki peneliti. Selain itu, Gujarati (2004) memberikan prosedur pengujian
endogenitas dengan tes statistik agar penentuan variabel endogen tersebut dapat
dibuktikan secara empiris.
Prosedur pengujian variabel endogen diawali dengan mengestimasi
variabel yang dianggap endogen oleh peneliti melalui persamaan reduced-nya.
Kemudian hasil estimasi variabel endogen tersebut diregresikan bersama dengan
variabel bebas yang lain pada persamaan structural. Apabila hasil estimasi
variabel endogen tersebut signifikan secara statistik maka variabel yang diduga
endogen tersebut terbukti mempunyai sifat endogen. Namun, apabila variabel
60
endogen hasil estimasi tersebut tidak signifikan secara statistik maka variabel

tersebut tidak bisa berlaku sebagai variabel endogen.


Penelitian ini menggunakan 5 variabel endogen, yaitu: log(PDRB), TPT,
log(gini), HCI, log(konsumsi). Kelima variabel endogen tersebut terbukti
mempunyai sifat endogen yang ditunjukkan oleh Lampiran 3.
Pengujian Simultanitas Hausman
Selain pengujian variabel endogen, model persamaan simultan harus
melalui tahapan pengujian simultanitas hausman. Tujuan pengujian simultanitas
Hausman adalah untuk membuktikan secara empiris bahwa suatu sistem model
persamaan benar-benar memiliki hubungan simultan antar persamaan
strukturalnya.
Prosedur pengujian simultanitas Hausman diawali dengan mengestimasi
variabel endogen melalui persamaan reduced-nya. Kemudian menghitung residual
yang diperoleh dari selisih nilai observasi dengan hasil estimasi variabel endogen.
Variabel endogen pada persamaan structural tersebut lalu disubstitusikan dengan
hasil estimasi dan residual yang diperoleh. Setelah itu regresikan bersama dengan
variabel bebas lain pada persamaan structural. Apabila residual variabel endogen
tersebut signifikan secara statistik maka variabel endogen terbukti memiliki
pengaruh simultan. Namun, apabila residual variabel endogen tersebut tidak
signifikan secara statistik maka variabel endogen tidak memiliki pengaruh
simultan sehingga model persamaan simultan tidak bisa dilakukan.
Pengujian simultanitas Hausman merupakan uji pendahuluan yang harus
dilewati dalam model persamaan simultan. Penelitian ini telah melewati tahapan
61
pengujian persamaan simultan seperti yang terlihat pada Lampiran 4 sehingga
estimasi model persamaan simultan dapat dilakukan.
Estimasi Model Persamaan Simultan
Hubungan simultan antara variabel bebas dan variabel tak bebas pada
model persamaan simultan menjadikan estimasi dengan metode Least Squares
akan menghasilkan penduga yang bias dan tidak konsisten3 bagi parameter
regresi. Ini disebabkan oleh adanya endogenitas pada variabel tak bebas, yakni
korelasi antara variabel bebas dan residual (error regresi).
Sebagai solusi tidak dapat digunakannya metode Least Squares pada
model persamaan simultan, metode-metode seperti Indirect Least Square (ILS),
Two Stage Least Squares (2SLS) dan Three Stages Least Squares (3SLS) dapat
digunakan. Penggunaan metode-metode ini sangat bergantung pada hasil
identifikasi terhadap persamaan struktural. Jika hasil identifikasi justidentified,
maka metode ILS dapat digunakan. Tetapi, jika hasil identifikasi overidentified,
maka estimasi dengan ILS tidak dapat lagi dilakukan. Karena tidak akan
diperoleh estimator yang unik bagi setiap koefisien regresi persamaan struktural.
Sebagai solusi, metode-metode yang digunakan adalah sebagai berikut:
A. Two Stage Least Squares (2SLS)
Dengan metode 2SLS, setiap persamaan struktural dalam sistem diestimasi
satu per satu (equation by equation). Estimasi dilakukan dengan melibatkan
semua variabel eksogen yang ada di dalam sistem untuk memperoleh penduga
yang unik bagi setiap koefisien regresi persamaan struktural.
3 Bias tak akan hilang meskipun ukuran sampel ditambah mendekati populasi.
62
Estimasi dengan 2SLS menggunakan sejumlah variabel instrumen yang
merupakan kombinasi linier dari semua variabel eksogen di dalam sistem
bertujuan untuk mendapatkan nilai prediksi bagi variabel-variabel endogen yang

muncul sebagai variabel penjelas pada persamaan struktural (Gujarati, 2004).


Kelebihan dari metode 2SLS adalah cenderung tidak terpengaruh oleh adanya
multikolineritas dan kesalahan spesifikasi model (misspesification).
Misspesification merupakan kesalahan spesifikasi model terjadi ketika variabel
yang diperlakukan sebagai eksogen tidak benar-benar eksogen (strictly
eksogenous).
Tahapan-tahapan estimasi dengan metode 2SLS adalah sebagai berikut:
- Mengestimasi persamaan bentuk tereduksi (reduced form) dari persamaan
struktural. Dengan demikian, diperoleh estimasi persamaan bentuk tereduksi.
- Menghitung nilai variabel endogen (predicted value) berdasarkan persamaan
bentuk tereduksi yang diperoleh pada tahap pertama. Ini dilakukan hanya
untuk variabel endogen yang juga muncul pada sisi kanan persamaan
struktural dalam sistem.
- Tahapan terakhir adalah mengestimasi persamaan struktural dengan
menggunakan predicted value variabel endogen yang diperoleh pada tahapan
yang kedua.
B. Three Stages Least Squares (3SLS)
Metode 3SLS pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan metode 2SLS.
Metode ini menerapkan teknik generalized least squares (GLS) pada semua
persamaan struktural yang telah diestimasi dengan menggunakan metode 2SLS.
Metode 3SLS lebih efisien dibanding metode 2SLS ketika terdapat korelasi
63
residual antar persamaan. Jika hasil estimasi dengan 3SLS tidak jauh berbeda
dengan 2SLS, ini mengindikasikan bahwa estimasi dengan metode 3SLS telah
mencukupi.
Pengujian Asumsi Klasik
Untuk membangun persamaan regresi panel yang terbaik dari kriteria
ekonometrika, perlu dilakukan pengujian dan penanganan pada masalah-masalah
yang berkaitan dengan pelanggaran asumsi dasar. Berikut ini adalah asumsiasumsi
yang diperlukan dalam analisis regresi.
1. Normalitas
Pemeriksaan normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah residual
berdistribusi normal atau tidak. Menurut Gujarati (2004) estimasi pada OLS
merupakan fungsi linear dari residual. Oleh karena itu distribusi peluang dari hasil
estimasi akan tergantung pada asumsi yang dibuat mengenai distribusi peluang
residual-nya. Distribusi peluang dari penduga diperlukan untuk menguji hipotesis
dan penarikan kesimpulan, peran pengujian residual diasumsikan berdistribusi
normal menjadi penting sekali.
Pemeriksaan kenormalan terhadap residual dapat dilakukan menggunakan
plot persentil-persentil (P-P Plot). Jika plot mengikuti garis lurus, maka residual
mengikuti sebaran normal. Pengujian terhadap asumsi kenormalan ini juga dapat
dilakukan dengan uji Kolmogorov-Smirnov yang merupakan uji Goodness of Fit.
Uji Kolmogorov Smirnov merupakan pengujian mengenai derajat kesesuaian
antara distribusi kumpulan nilai observasi dengan beberapa distribusi teoritis
64
tertentu. Uji ini melibatkan penentuan distribusi kumulatif yang akan terjadi
menurut distribusi teoritis yang telah ditentukan dan perbandingan distribusi
tersebut dengan distribusi kumulatif nilai amatan.
Hipotesis yang digunakan pada pengujian kenormalan adalah:
H0: distribusi suatu variabel mengikuti distribusi normal

H1: distribusi suatu variabel tidak mengikuti distribusi normal


Statistik uji yang akan digunakan dalam uji Kolmogorov-Smirnov yaitu:
D = max | .(6_) &(6_)| ; i= 1,2,,n (24)
.(6_) adalah suatu distribusi frekuensi kumulatif dari distribusi teoritis dalam
kondisi H0. &(6_) merupakan distribusi frekuensi kumulatif amatan sebanyak n.
Aturan pengambilan keputusan dengan tingkat signifikansi yaitu:
- Jika D D/., maka H0 tidak ditolak
- Jika D > D/., maka H0 ditolak
Selain itu penolakan H0 juga dapat dilakukan berdasarkan p-value. Jika _
../Ux < 5, maka H0 ditolak
2. Non-Autokorelasi
Asumsi berikutnya yang harus terpenuhi adalah tidak adanya korelasi antar
error atau non-autokorelasi. Kendall dan Buckland dalam Gujarati (2004)
mendefinisikan autokorelasi sebagai korelasi antara anggota serangkaian
observasi yang diurutkan menurut waktu (seperti pada data time series) atau
ruang (seperti pada data cross-sectional). Dalam konteks regresi, model
regresi linear klasik mengasumsikan bahwa residual tidak mengandung
autokorelasi, atau VYx_xZ[ = 0 dimana _ ].
65
Adanya masalah autokorelasi akan menghasilkan estimasi koefisien yang
konsisten dan tidak bias tetapi varians menjadi besar, atau dengan kata lain hasil
penafsiran tidak efisien. Estimasi yang tidak efisien ini menyebabkan nilai thitung
cenderung tidak signifikan. Untuk mendeteksi adanya autokorelasi adalah
dengan uji Durbin-Watson (DW). Sebagai patokan, nilai DW yang mendekati 2
dianggap bahwa model terbebas dari autokorelasi (Gujarati, 2004).
Adapun statistik uji DW untuk data panel (Baltagi, 2005) yaitu:
R = Ypq,r_pq,r__[b sr
tb
q
t_

pq,r
b srt_
q
t_

(25)
Dimana x_,
adalah residual dari regresi dengan fixed effects untuk tiap panel i, t
adalah periode waktu, dan N adalah jumlah individu. Nilai statistik dp akan
dibandingkan dengan nilai dU dan dL. Nilai dU adalah batas atas pada tabel Durbin
Watson dan . adalah nilai batas bawah pada tabel Durbin Watson. Keputusan
yang diambil adalah sebagai berikut:
0 < R < .; terjadi autokorelasi positif
. < R < . dan 4 . < R < 4 .; tidak dapat disimpulkan
. < R < 4 .; tidak ada autokorelasi
4 . < R < 4; terjadi autokorelasi negatif
Terdapat kriteria lain yang digunakan untuk menentukan ada tidaknya
korelasi pada residual, yaitu dengan menggunakan koefisien korelasi sampel
berorde satu:
= 2(1 .), dimana . = pp q,rpp q,r__
pp q,r
b (26)
66
Dari persamaan di atas dapat terlihat jika . = 0 maka nilai d=2, maka dari itu

jika tidak terdapat serial korelasi diharapkan d akan bernilai di sekitar 2. Sebagai
rule of thumb, jika nilai d ternyata 2, maka peneliti bisa mengasumsikan bahwa
tidak ada autokorelasi baik positif maupun negatif.
3. Homoskedastisitas
Heteroskedastisitas berarti adanya varians dari error OLS yang tidak
konstan yang disebabkan oleh tingkah laku variabilitas (misalnya: dalam hal
disparitas yang mencolok antar daerah) atau perkembangan ketelitian pencatatan
data (misalnya dengan semakin canggihnya metode pengumpulan data, tingkat
kesalahan pengukuran semakin kecil) atau karena kesalahan spesifikasi
(misspecification). Akibatnya varians koefisien-koefisiennya tidak akurat
(overestimate atau underestimate), sehingga hasil uji-nya tidak reliabel.
Dalam pemodelan regresi dengan data panel, terjadinya pelanggaran
asumsi regresi linier klasik pada residual terutama tidak terpenuhinya asumsi
homoskedastisitas merupakan hal yang sangat sulit dihindari, dan tidak seperti
pada regresi klasik, pelanggaran tersebut dapat diakomodasi untuk menentukan
metode estimasi terbaik bagi spesifikasi model yang digunakan. Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya penentuan metode estimasi yang digunakan tergantung
pada struktur varians-kovarians residual-nya.
4. Non-Multikolinearitas
Multikolinieritas berarti adanya korelasi antar variabel bebas, yang terjadi
karena variabel-variabel bebas tersebut memiliki hubungan pada populasi atau
67
hanya pada sampel. Cara mendeteksi adanya kolinieritas: (Nash dan Bradford,
2001)
- Dengan memeriksa simple pairwise (Pearson) correlation antar variabel
independen. Batas nilai yang disarankan sebagai indikasi kolinieritas serius
berbeda-beda (0,8 menurut Berry dan Felman, 1985; dan 0,9 menurut Griffith
dan Amerhein, 1997). Nash dan Bradford (2001) menyebutkan bahwa suatu
variabel independen berkorelasi tinggi dengan variabel independen lainnya
jika _ lebih dari 0,85.
- Uji formal untuk mendeteksi keberadaan dari multikoliearitas yaitu dengan
melihat nilai Variance Inflation Factor (VIF). Nilai VIF ini
menunjukkan bagaimana varians dari sebuah estimator akan meningkat
akibat adanya multikolinearitas. Nilai VIF diperoleh dengan formula berikut:
 i= $
$_e.

(27)
dimana l = 1,2,, _ 1 dan .i
L merupakan koefisien determinasi dari
regresi berganda ketika 6i diregresikan dengan p-2 variabel lainnya dalam
model. Jika nilai VIF lebih dari 10, maka hal tersebut dapat berindikasi
bahwa multikolinearitas bersifat serius dan akan mempengaruhi estimasi
yang menggunakan OLS karena meskipun estimator tetap bersifat unbiased
namun sudah tidak lagi memiliki varians yang minimum. Selain itu,
keberadaan multikolinieritas juga akan membuat estimator bersifat sensitif
untuk perubahan yang kecil pada data, sehingga akan mengakibatkan
kesalahan (missleading) dalam menginterpretasikan suatu model regresi. Cara
mengatasi adanya multikolinieritas antara lain melepas satu atau lebih
68
variabel yang memiliki korelasi yang tinggi, mentransformasi model, atau
b

memperbesar jumlah sampel.


Pengujian Keberartian Model Regresi
Model regresi hasil estimasi, selain harus lolos asumsi, hendaklah
memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut:
1. Kriteria ekonomi yaitu melihat kesesuaian tanda dan nilai estimasi dengan
teori ekonomi dan logika (make sense secara ekonomi).
2. Kriteria statistik yaitu melihat nilai nilai yang dihasilkan dari pengujian
statistik meliputi koefisien determinasi (R2), uji simultan (F test), dan uji
parsial (t test).
Kriteria diatas dimaksudkan untuk mengetahui apakah model regresi yang
diperoleh merupakan model yang tepat untuk menggambarkan hubungan antar
variabel dan untuk mengetahui apakah variabel bebas berpengaruh signifikan
terhadap variabel tak bebas.
A. Koefisien Determinasi
Koefisien determinasi digunakan untuk menentukan seberapa baik
garis regresi sampel fit (cocok) pada data (goodness of fit), atau secara verbal
koefisien ini mengukur proporsi dari total variasi pada variabel tak bebas Y
yang dapat dijelaskan oleh model regresi (Gujarati, 1978). Koefisien
determinasi dapat dirumuskan sebagai berikut :
.L = (AAq_AA)b
(Aq_AA)b = fe
fh = 1 f|
fh (28)
69
dimana SSR: sum square regression, SST: sum square total, SSE: sum square
error.
Namun, yang perlu diperhatikan disini, koefisien determinasi nilainya
sangat dipengaruhi oleh penambahan jumlah variabel bebas, maka perlu
dilakukan penyesuaian. Penyesuaian ini digunakan agar efek dari penambahan
variabel dapat hilang dari koefisien determinasi. Koefisien determinasi yang telah
disesuaikan (adjusted .L) dapat dihitung dengan rumus:
A.AALA = 1 (1 .L)
_k 1
_k _ l
(29)
Koefisien determinasi (R2) ataupun adjusted R2 nilainya berkisar dari 0 hingga 1.
Dimana semakin mendekati 1, maka menunjukkan variabel bebas yang kita miliki
semakin baik menjelaskan variasi dari variabel dependent.
B. Uji F
Uji F dilakukan untuk menguji koefisien regresi apakah variabel bebas
secara bersama-sama (simultan) memiliki pengaruh terhadap variabel
dependent. Pengujian ini dilakukan dengan membandingkan nilai F hitung
dengan F tabel. Hipotesis yang digunakan:
Ho: 7$ = 7L = = 7i = 0 (secara simultan tidak ada pengaruh signifikan
terhadap variabel tak bebas)
H1: minimal ada satu nilai 7_ 0; i=1,2,,k.
Statistik uji F dirumuskan sebagai berikut:
(A_
X&A) = eb/(&ci_$)
($_eb)/(&h_&_i) (30)
70

Hipotesis nol ditolak jika (A_ X&A) > (&ci_$;&h_&_i). Jika keputusan tolak H0
berarti minimal ada satu variabel bebas yang signifikan berpengaruh terhadap
variabel tidak bebasnya. Keputusan ini dapat juga didasarkan pada perbandingan
nilai p-value dengan tingkat signifikansinya (). Hipotesis null ditolak jika nilai pvalue
lebih kecil dari .
C. Uji t
Uji t dilakukan untuk pengujian koefisien regresi secara parsial. Dengan
kata lain pelaksanaannya bertujuan untuk melihat signifikansi dari pengaruh
peubah bebas secara individu terhadap peubah tak bebas dengan menganggap
peubah lain bersifat konstan. Uji ini dilaksanakan dengan membandingkan thitung
dengan t-tabel.
Hipotesis pengujian:
H0: 7_ = 0, tidak ada pengaruh yang signifikan dari peubah bebas tertentu
terhadap peubah tak bebas.
H1: 7_ 0, ada pengaruh yang signifikan dari peubah bebas tertentu
terhadap peubah tak bebas.
Statistik uji yang digunakan adalah statistik uji t-student. Formulanya
sebagai berikut:
_A_
X&A =
7z _
Cx(7z
_)
(31)
7z
_ adalah penduga parameter ke-i dan Cx(7z
_) adalah simpangan baku dari
nilai penduga dari parameter ke-i. Hipotesis nol akan ditolak jika _A_
X&A >
_E
b(&h_&_.) atau _A_
X&A < _E
b(&h_&_.). Keputusan ini dapat juga didasarkan pada
71
perbandingan nilai p-value dengan tingkat signifikansinya (). Hipotesis null
ditolak jika nilai p-value lebih kecil dari nilai . Hal ini berarti secara parsial
variabel bebas ke-i signifikan mempengaruhi variabel tidak bebasnya dengan
tingkat kepercayaan (1 5) . 100%.
Model Penelitian
Untuk menelaah kaitan antara pertumbuhan ekonomi dan permasalahan
makroekonomi di Indonesia digunakan model persamaan simultan. Terdapat lima
persamaan struktural dan lima persamaan reduced yang digunakan dalam
penelitian. Persamaan reduced merupakan regresi dari variabel endogen terhadap
seluruh variabel eksogen dalam sistem. Sedangkan persamaan structural masingmasing
endogen dirumuskan sebagai berikut:
Log(PDRB)(it) = $+11Log(Konsumsi)(it)+ 12Log(Expenditure_EH)(it)+ 13Log(DAU)(it)
+ 14Log(DAK)(it)+ 15Log(pajak)(it)+ 16Inflasi(it)+ 17Informal(it)+ Z(i)
+ $./ (32)
TPT(it) = L+ 21Log(PDRB)(it)+ 22Log(UMP)it)+ 23Inflasi(it) + 24Informal(it)+ Z(i)
+ L./ (33)
Log(Gini)(it) = E+ 31Log(PDRB)(it)+ 32TPT(it)+ 33Log(UMP)it)+ 34Log(PPh)(it)
+35Log(DAU)(it)+ 36Log(DAK)(it)+ Z(i)+ E./ (34)
HCI(it) = E+ 41Log(PDRB)(it)+ 42TPT(it) + 43Log(Expenditure_EH)(it)+44Log(UMP)(it)

+ 45Inflasi(it) + 46AMH(it)+ 47Initial_poverty(it)+ Z(i)+ E./ (35)


Log(Konsumsi)(it) = I+ 51HCI(it)+ 52Log(Gini)(it)+ 53Inflasi(it)+ 54log(UMP)(it)+
55Log(PPh)(it)+ Z(i) + I./ (36)

72
dimana :
HCI = Head Count Index (%)
Log(PDRB) = Logaritma dari Produk Domestik Bruto
TPT = Tingkat Pengangguran Terbuka (%)
Log(Gini) = Logaritma dari indeks gini ratio
Log(Konsumsi) = Logaritma dari konsumsi rumah tangga/ masyarakat
Log(Expenditure) = Logaritma dari pengeluaran pemerintah fungsi kesehatan
dan pendidikan
Log(DAU) = Logaritma dari dana alokasi umum
Log(DAK) = Logaritma dari dana alokasi khusus
Log(Pajak) = Logaritma dari pajak daerah
Log(PPh) = Logaritma dari pajak penghasilan
Log(UMP) = Logaritma dari upah minimum provinsi
Informal = Proporsi pekerja sektor informal(%)
AMH = Literacy rate, angka melek huruf
Inflasi = Tingkat inflasi (%)
Z = Efek individu

i = Aceh, Sumut, , Papua


t = 2005, 2006, 2007, 2008
./ = Error model
Model-model tersebut kemudian dilakukan identifikasi model persamaan
simultan. Hasilnya seperti yang terlihat pada Tabel 1 , kelima persamaan
struktural merupakan persamaan yang overidentified, sehingga dapat dilakukan
73
estimasi model persamaan simultan dengan metode two stage least
squares(2SLS). Dimana m = jumlah variabel endogen dalam persamaan struktural;
k = jumlah variabel eksogen dalam persamaan structural; K= jumlah variabel
eksogen dalam sistem.
Tabel 1. Identifikasi Persamaan Simultan
Persamaan m k K K-k > m-1 Identifikasi
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Log(PDRB) 2 6 10 Ya Overidentified
TPT 2 7 10 Ya Overidentified
Log(Gini) 3 4 10 Ya Overidentified
HCI 3 5 10 Ya Overidentified
Log(Konsumsi) 3 3 10 Ya Overidentified
Selain model persamaan simultan, pada penelitian ini untuk menelaah
pertumbuhan sektor apakah yang memiliki pengaruh signifikan terhadap
pengentasan tingkat kemiskinan, pengurangan tingkat pengangguran dan
perbaikan distribusi pendapatan di Indonesia digunakan 3 model regresi data
panel (single equation).
Adapun ketiga model regresi data panel tersebut adalah sebagai berikut:
TPT(it)= 1 + 11Log(PDRB1)(it) + 12Log(PDRB2)(it) + 13Log(PDRB3)(it)
+ 14Log(PDRBN)(it) + u1i + $./ (37)
HCI(it)= 2 + 21Log(PDRB1)(it) + 22Log(PDRB2)(it) + 23Log(PDRB3)(it)
+ 24Log(PDRBN)(it) + u2i + L./ (38)

GINI(it)= 3 + 11Log(PDRB1)(it) + 32Log(PDRB2)(it) + 33Log(PDRB3)(it)


+ 34Log(PDRBN)(it) + u3i + E./ (39)
74
Dimana :
TPT = Tingkat Pengangguran Terbuka (%)
HCI = Head Count Index (%)
GINI = Logaritma indeks gini ratio
Log(PDRB1) = Logaritma PDRB sektor pertanian
Log(PDRB2) = Logaritma PDRB sektor pertambangan
Log(PDRB3) = Logaritma PDRB sektor industri pengolahan
Log(PDRBN) = Logaritma PDRB sektor non-tradeable
ui = Koefisien individu
./ = Residual model
i = Aceh, Sumatera Utara, , Papua;
t = 2005, 2006, 2007, 2008;
4.1. Gambaran Umum
Kemiskinan merupakan salah satu indikator yang dapat menunjukkan
keberhasilan pembangunan di suatu negara. Tinggi rendahnya angka kemiskinan
dapat menggambarkan kesejahteraan
angka kemiskinan merupakan salah satu permasalahan mendasar yang biasa
menjadi perhatian utama bagi seluruh negara di dunia, tak terkecuali Indonesia.
Sumber : BPS (diolah)
Gambar 4. Jumlah
periode
Berdasarkan G
2008 adalah 34,96 juta
Jumlah tersebut tidak begitu mengalami pe
jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2005 yaitu 35,1 juta
begitupun dari segi persentasenya yaitu 15,97 persen
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
2005
Jumlah dalam juta orang
75
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tingkat Kemiskinan di Indonesia
emiskinan an penduduk di suatu negara. Oleh karena itu,
. penduduk miskin di Indonesia berdasarkan t
2005 2008
Gambar 4, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun
orang atau 15,42 persen dari total penduduk (

ak perubahan jika dibandingkan dengan


persen. Menurut Faisal Basri
2006 2007 2008
tempat tinggal
, n Gambar 5).
jiwa
enurut Total
Kota
Desa
(2009), hal tersebut mengindikasikan bahwa pengentasan kemiskinan di Indonesia
seperti jalan di tempat. Selain itu, jika diteliti lebih mendalam jumlah penduduk
miskin di Indonesia pada tahun 2006 juga sempat meningkat hingga mencapai
39,3 juta jiwa atau 17,75 persen
Bank (2007), hal ini terutama disebabkan oleh meningkatnya angka inflasi
itu, karena pemerintah menaikkan harga
dengan meningkatnya harga beras selama
Sumber : BPS (diolah)
Gambar 5. Persentase
periode 2005
Menurut Kadir (2010
tahun 2006 menunjukkan salah satu dimensi
Indonesia, yakni tingginya proporsi penduduk yang hidup dengan pengeluaran di
sekitar garis kemiskinan (rentan miskin)
Indonesia pada dasarnya sangat rentan untuk menjadi miskin (hampir miskin) a
dengan kata lain tingkat kerentanan untuk jatuh miskin di Indonesia cukup tinggi.
0
5
10
15
20
25
2005
Persentase penduduk
76
dari total penduduk Indonesia.
na bahan bakar minyak dalam negeri, diikuti
eningkatnya kurun waktu tersebut.
penduduk miskin di Indonesia berdasarkan
2008
2010, hal. 67), melonjaknya angka kemiskinan pada
penting dari kemiskinan di
miskin). Banyak penduduk tidak miskin di
2006 2007 2008
. Menurut World
kala
sarkan tempat tinggal
elonjaknya atau
Total
Kota
Desa

77
Tabel 2. Garis kemiskinan dan persentase penduduk miskin di Indonesia,
tahun 2006
Sumber GK per Hari GK per Bulan Persentase
Penduduk Miskin
(1) (2) (3) (4)
BPS
Rp 5.066,57,_
= Rp 151.997,_ 17,8
= US$ 1.55 PPP
Bank
Dunia
US$ 1 PPP
= Rp 97.218,_ 7,4
= Rp 3.240,60_
US$ 2 PPP
= Rp 194.439,_ 49,0
= Rp 6.481,60_

Sumber : BPS (2007)


Dengan menggunakan garis kemiskinan Bank Dunia, yakni sebesar 1
dollar dan 2 dollar PPP per hari, maka berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi
Nasional (SUSENAS panel) yang dilakukan oleh BPS, persentase penduduk
miskin pada tahun 2006 masing-masing adalah 7,4 persen dan 49,0 persen. Hal ini
menunjukkan besarnya jumlah penduduk yang hidup dengan pengeluaran per hari
di antara 1 dollar dan 2 dollar PPP, yakni mencapai 42 persen. Dengan demikian,
jika terjadi saja sedikit guncangan ekonomi, maka jumlah penduduk miskin akan
meningkat secara signifikan (Kadir, 2010).
Selain besarnya proporsi penduduk yang rentan miskin, permasalahan lain
dari kemiskinan di Indonesia adalah disparitas, baik yang terjadi antara daerah
perkotaaan dan perdesaaan maupun antar provinsi. Menurut data BPS (Gambar 4
dan Gambar 5), pada tahun 2008 jumlah penduduk miskin di desa adalah 22,19
juta orang atau 18,93 persen dari total penduduk perdesaan. Jumlah tersebut
hampir 2 kalinya dari jumlah penduduk miskin di kota yakni 12,77 juta orang
(11,65 persen dari total penduduk perkotaan). Hal ini sepertinya disebabkan oleh
ketimpangan kemajuan pembangunan yang terjadi antara daerah perkotaan dan
perdesaan. Sebagian besar masyarakat Indonesia hidup di perdesaan dan sebagian
78
besar dari mereka adalah petani. Melihat hal tersebut, sudah seharusnya
pembangunan pertanian dan perdesaan tidak lagi dimarjinalkan (Yudhoyono,
2004).
Sumber : BPS (diolah)
Gambar 6. Persentase penduduk miskin di Indonesia berdasarkan provinsi tahun
2008
Disparitas kemiskinan tidak terjadi antar perkotaan dan perdesaan saja
tetapi juga antar provinsi di Indonesia. Disparitas kemiskinan antar provinsi
disebabkan oleh perbedaan karakteristik sosial ekonomi dan perbedaan pola
pembangunan yang dilakukan masing-masing provinsi. Gambar 6 dengan jelas
menunjukkan bahwa persentase penduduk miskin masing-masing provinsi
bervariasi. Dari 30 provinsi yang diteliti, hanya Provinsi DKI Jakarta yang
memiliki persentase penduduk miskin dibawah 5 persen yaitu hanya 3,86 persen.
Sedangkan, Provinsi Papua dan Papua Barat memiliki persentase penduduk
Po DKI =3,86

Po Papua = 35,53

miskin paling tinggi yaitu 35,53 persen.


terdapat 7 provinsi lain yang memiliki persentase pendud
persen, yaitu Provinsi Maluku, Nusa Tenggara Timur,
Barat, Lampung, Sulawesi Tengah dan Gorontalo. Hal ini mengindikasikan bahwa
masih banyak provinsi
tinggi. Selain itu, dari peta diatas secara jelas juga dapat dilihat bahwa secara
umum provinsi-provinsi di kawasan timur Indonesia (KTI) memiliki tingkat
kemiskinan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan provinsi
kawasan barat Indonesia (KBI).
4.2. Gambaran Umum Tingkat Pengangguran Terbuka di Indonesia
Sumber : BPS (diolah)
Gambar 7. Perkembangan Tingkat Pengang
tahun 200
Selain kemiskinan, masalah krusial lain yang
adalah pengangguran. Dalam periode penelitian, dapat dilihat bahwa terdapat
kecenderungan tingkat pengangguran terbuka yang mengalami penurunan dari
tahun ke tahun (Gambar
10.26
0
2
4
6
8
10
12
2005
Peresentase penduduk
79
Selain Provinsi Papua dan Papua Barat,
penduduk miskin lebih dari 20
Aceh, Nusa Tenggara
di Indonesia yang memiliki tingkat kemiskinan sangat
Pengangguran Terbuka (TPT) d
ahun 2005 2008
dihadapi oleh Indonesia
rungan 7). Tingkat pengangguran terbuka pada tahun 2005
10.45
9.75
2006 2007
uk , provinsi-provinsi di
di Indonesia
. 8.46
2008
80
mencapai 10,26 persen turun menjadi 8,46 persen pada tahun 2008. Kendati
mengalami penurunan, TPT tahun 2008 tersebut masih terbilang cukup tinggi
yaitu setara dengan 9,43 juta orang.
Namun hal yang patut kita syukuri adalah penurunan tingkat
pengangguran terbuka tidak hanya terjadi pada level nasional saja, melainkan juga

pada level provinsi. Gambar 8 dan Gambar 9 menunjukkan keterbandingan


tingkat pengangguran terbuka level provinsi pada tahun 2005 dan 2008. Dari
gambar-gambar tersebut dapat dilihat bahwa ada perubahan corak warna dominan
coklat tua yang berubah menjadi lebih terang yang mengindikasikan terjadinya
penurunan tingkat pengangguran terbuka pada sebagian besar provinsi di
Indonesia dalam kurun waktu penelitian.
Sumber : BPS (diolah)
Gambar 8. Gambaran Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Indonesia
berdasarkan provinsi tahun 2005
TPT Banten = 16,6%
TPT Gorontalo = 14%

81
Berdasarkan gambar 8, dapat dilihat bahwa pada tahun 2005 terdapat 11
provinsi yang termasuk kelompok provinsi dengan tingkat pengangguran terbuka
lebih dari 12,5 persen. Kesebelas provinsi tersebut adalah Aceh, Sumatera Barat,
Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Sulawesi Utara, Sulawesi
Selatan, Gorontalo, Maluku dan Maluku Utara. Sedangkan berdasarkan Gambar 9,
dapat dilihat bahwa hanya satu provinsi yang memiliki tingkat pengangguran
terbuka yang masih lebih dari 12.5 persen yaitu Provinsi Banten. Hal ini
mengindikasikan bahwa tingkat pengangguran yang tinggi selama periode
penelitian tersebut telah berkurang.
Sumber : BPS (diolah)
Gambar 9. Gambaran Tingkat Pengangguran Terbuka(TPT) di Indonesia
berdasarkan provinsi tahun 2008
Dalam rentang waktu penelitian, Provinsi Gorontalo mencatat penurunan
tingkat pengangguran terbuka paling tinggi jika dibandingkan dengan yang lain.
Tingkat pengangguran terbuka Provinsi Gorontalo yang semula 14 persen pada
TPT Banten = 15,18 %
TPT Gorontalo = 5,65 %

82
tahun 2005 menjadi 5,65 persen pada tahun 2008 atau terjadi penurunan TPT
sebesar 8,35 persen. Hal ini tidak terlepas dari peran sektor pertanian yang
tumbuh dengan sangat luar biasa di Provinsi Gorontalo (Tabel 3). Pertumbuhan
sektor pertanian yang tinggi dapat menyerap jumlah tenaga kerja dalam jumlah
banyak sehingga jumlah pengangguran dapat berkurang. Provinsi Gorontalo dapat
menjadi contoh yang tepat bagi provinsi lain dalam menurunkan tingkat
pengangguran terbukanya lewat pembangunan sektor pertanian.
Tabel 3. Perkembangan PDRB sektor pertanian dan Tingkat Pengangguran
Terbuka (TPT) Provinsi Gorontalo periode 2004 - 2008
Tahun
PDRB pertanian
(juta rupiah)
Pertumbuhan PDRB
pertanian (%)
TPT (%)
(1) (2) (3) (4)
2004 575.307,4
2005 618.182,1 7,5 14,0
2006 667.259,9 7,9 7,6
2007 716.115,4 7,3 7,2
2008 774.000,0 8,1 5,7

Sumber : BPS (diolah)

4.3. Gambaran Umum Ketimpangan Distribusi Pendapatan di Indonesia


Permasalahan berikutnya yang tidak kalah penting dibandingkan
permasalahan yang telah dibahas sebelumnya adalah ketimpangan distribusi
pendapatan di Indonesia. Dari Gambar 10, dapat dilihat bahwa dalam periode
penelitian 2005 2008, secara umum terdapat kecenderungan distribusi
pendapatan yang semakin tidak merata yang ditunjukkan oleh indeks gini ratio
Indonesia yang meningkat dari 0,343 pada tahun 2005 menjadi 0,368 pada tahun
2008.
Dari Gambar 10 juga dapat dilihat bahwa distribusi pendapatan yang
semakin timpang bukanlah fenomena yang terjadi di level nasional dan perkotaan
saja melainkan juga terjadi di perdesaan meskipun pada level yang lebih rendah.
Indeks gini ratio perdesaan di Indonesia meningkat dari 0,264 pada tahun 2005
menjadi 0,3 pada tahun 2008. Sedangkan indeks
dari 0,338 pada tahun 2005 menjadi 0,367 pada tahun 2008. Hal ini menunjukkan
distribusi pendapatan baik di perdesaan maupun di perkotaan semakin tidak
merata.
Sumber : BPS (diolah)
Gambar 10. Perkembangan
tinggal
Distribusi pendapatan yang diindikasikan semakin tidak merata juga
terjadi pada level provinsi. Gambar
keterbandingan indeks
gambar tersebut dapat dilihat bahwa ada perubahan corak warna dominan hijau
terang yang berubah menjadi lebih gelap
peningkatan indeks gini ratio
tidak merata pada sebagian besar provinsi di Indonesia.
Dari Gambar
provinsi yang memiliki indeks
Bengkulu, Lampung, Banten,
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0.35
0.4
2005
83
gini ratio perkotaan me
indeks gini ratio di Indonesia berdasarkan tempat
inggal tahun 2005 2008
tribusi i 11 dan Gambar 12
gini ratio level provinsi pada tahun 2005 dan 200
gelap. Hal tersebut mengindikasikan terjadinya
yang menunjukkan distribusi pendapatan semakin
11, dapat dilihat bahwa pada tahun 2005 hanya ada 12
gini ratio lebih dari 0,33. Provinsi tersebut
Jawa Barat, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, Bali,

2006 2007 2008


Kota+Desa
Kota
Desa
meningkat
menunjukkan
2007. Dari
ibusi , adalah
84
NTT, Papua, Sulawesi Selatan, Gorontalo dan Sulawesi Tenggara. Sedangkan
pada tahun 2008 (Gambar 12), selain 12 provinsi tersebut terdapat 4 tambahan
provinsi yang memiliki indeks gini ratio lebih dari 0,33 yaitu Provinsi DKI
Jakarta, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan Maluku Utara. Hal ini
mengindikasikan bahwa semakin banyak provinsi yang memiliki distribusi
pendapatan yang semakin tidak merata di Indonesia dalam periode penelitian.
Sumber : BPS (diolah)
Gambar 11. Gambaran tingkat ketimpangan distribusi pendapatan di Indonesia
berdasarkan provinsi tahun 2005
Indikasi distribusi pendapatan yang semakin tidak merata juga didukung
oleh fakta lain yang ditemukan pada data penelitian. Dari 30 provinsi yang
menjadi observasi penelitian, hanya terdapat 7 provinsi yang mengalami
perbaikan indeks gini ratio. Provinsi tersebut adalah Provinsi Aceh, Sumatera
Utara, Bengkulu, Bangka Belitung, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur dan Sulawesi
Tenggara. Namun demikian, hanya 3 provinsi yang berhasil untuk naik ke interval
85
indeks gini ratio yang lebih baik, yaitu Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Bangka
Belitung dan Provinsi Aceh.
Sumber : BPS (diolah)
Gambar 12. Gambaran tingkat ketimpangan distribusi pendapatan di Indonesia
berdasarkan provinsi tahun 2007
4.4. Gambaran Umum Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia
Apabila ditinjau dari sisi Produk Domestik Bruto (PDB), secara umum
kinerja perekonomian Indonesia selama periode 2005 2008 sudah cukup baik.
Berdasarkan Gambar 13, dapat dilihat bahwa selama periode penelitian Produk
Domestik Bruto atas dasar harga konstan tahun 2000 (PDB ADHK/PDB riil)
cenderung mengalami peningkatan dari 1.750,8 triliun rupiah pada tahun 2005
menjadi 2.082,1 triliun rupiah pada tahun 2008.
86
Sumber : BPS (diolah)
Gambar 13. Perkembangan PDB atas dasar harga konstan tahun 2000
Pertumbuhan ekonomi yang terjadi dalam kurun waktu tersebut juga
cukup tinggi dan cenderung mengalami peningkatan, dari 5,6 persen per tahun
pada 2005 menjadi 6,1 persen per tahun pada 2008 (Gambar 14). Meskipun pada
tahun 2006 dan tahun 2008, pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi yang
disebabkan oleh kenaikan harga BBM dan krisis global namun pengaruhnya tidak
terlalu besar; kontraksi tersebut hanya menurunkan pertumbuhan ekonomi sebesar
0,1 persen dan 0,2 persen. Menurut BPS (2009), hal tersebut mengindikasikan
bahwa secara umum, kinerja perekonomian dalam rentang 2005 2008
menunjukkan kemajuan yang menggembirakan.
Sumber : BPS (diolah)

Gambar 14. Perkembangan pertumbuhan ekonomi Indonesia periode 2005 - 2008


1750.8
1847.1
1963.1
2082.1
1500
1600
1700
1800
1900
2000
2100
2200
2005 2006 2007 2008
Dalam triliun rupiah
5.6
5.5
6.3
6.1
5
5.2
5.4
5.6
5.8
6
6.2
6.4
2005 2006 2007 2008
dalam persen
87
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, perekonomian Indonesia
tumbuh dengan mantap beberapa tahun terakhir. Namun, menurut Faisal Basri
(2009) pertumbuhan ekonomi Indonesia itu sendiri tidak berjalan sebagaimana
seharusnya, karena ternyata sangat tidak seimbang. Pertumbuhan ekonomi tidak
seimbang yang dimaksud oleh beliau adalah pertumbuhan ekonomi Indonesia
yang terlalu bertumpu pada perkembangan sektor jasa-jasa yang tidak dapat
diperdagangkan secara internasional dengan leluasa (non-tradeable), sedangkan
sektor barang yang erat kaitannya dengan produksi dan perdagangan dalam
pengertian konvensional (tradeable) mengalami pertumbuhan yang cenderung
semakin rendah (Basri, 2009).
Tabel 4. Perkembangan pertumbuhan PDB (%) per sektor di Indonesia tahun
2005-2008
Sektor 2005 2006 2007 2008
(1) (2) (3) (4) (5)
A. Tradeable 3,5 3,7 3,8 3,5
Pertanian 2,5 3,0 3,5 4,8
Pertambangan dan Penggalian 1,6 2,2 2,0 0,7
Manufaktur 4,6 4,6 4,7 3,7
B. Non-Tradeable 8,0 7,4 9,0 8,5
Listrik, Gas, Air 6,5 5,9 10,4 10,9

Konstruksi 7,3 9,0 8,6 7,5


Perdagangan, Hotel dan Restoran 8,6 6,1 8,5 6,9
Transportasi dan Komunikasi 13,0 13,6 14,4 16,6
Keuangan 7,1 5,7 8,0 8,2
Jasa-Jasa Umum 5,2 6,2 6,6 6,2
GDP 5,6 5,5 6,3 6,0

Sumber : Basri (2009)


Data pada Tabel 4 menegaskan pernyataan yang telah disampaikan
sebelumnya. Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa sektor tradeable yang terdiri atas
sektor pertanian, pertambangan, dan industri pengolahan dalam periode 2005
2008, tingkat pertumbuhannya hanya antara 3,5 3,8 persen per tahun. Sektor
88
pertanian, sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja dan paling
diandalkan sebagai sumber pendapatan sebagian besar rakyat hanya memiliki
tingkat pertumbuhan sebesar 2,5 persen pada tahun 2005. Namun demikian, hal
yang patut kita syukuri adalah terdapat kenaikan pertumbuhan sektor pertanian
dari tahun ke tahun, yang mengindikasikan bahwa sektor pertanian mulai
diperhatikan kembali. Sektor berikutnya yang juga banyak menyerap tenaga kerja
adalah sektor industri pengolahan. Dari Tabel 4 juga dapat dilihat bahwa tingkat
pertumbuhan sektor industri pengolahan dalam periode 2005 2007 stagnan pada
kisaran 4,6 4,7 persen.
Gambaran kontras dapat kita lihat pada sektor non-tradeable yang secara
keseluruhan selama periode 2005 2008 mengalami pertumbuhan 2 3 kali lipat
lebih tinggi dari pertumbuhan sektor tradeable. Pertumbuhan sektor nontradeable
per tahun dalam periode penelitian antara 7,4 9,0 persen.
Pertumbuhan PDB sektor non-tradeable terutama ditopang oleh pertumbuhan dari
sektor komunikasi dan transportasi dan keuangan yang merupakan sektor-sektor
yang padat teknologi dan minim penyerapan tenaga kerja.
Dari Tabel 4 juga dapat dilihat bahwa sektor transportasi dan komunikasi
memiliki tingkat pertumbuhan antara 13 16,6 persen per tahun dalam periode
2005 2008. Sektor ini terutama ditopang oleh pertumbuhan subsektor
komunikasi lebih spesifik lagi telepon seluler. Sektor keuangan juga memiliki
tingkat pertumbuhan yang tinggi. Dalam periode penelitian, sektor keuangan
memiliki tingkat pertumbuhan antara 5,7 8,2 persen per tahun.
Ironinya pertumbuhan nilai tambah yang tinggi terjadi pada sektor-sektor
non-tradeable yang padat teknologi dan minim penyerapan tenaga kerja. Hanya
segelintir orang yang dapat bekerja
hanya akan menjadi konsumen saja. Contohnya adalah sektor keuangan subsektor
perbankan. Menurut Faisal Basri (2009
sektor ini hanya kalangan professional perbankan, da
menikmati keuntungan dan buah pertumbuhan yang pesat, sementara orang
lain sekadar menjadi nasabah atau pasar
2008 penduduk yang bekerja di sektor keuangan hanya 2 persen dari
penduduk yang bekerja di Indonesia.
dan komunikasi subsek
keuangan juga terjadi pada
yang bisa berkerja disana
dengan spesifikasi tertentu
menikmati keuntungan dan buah pertumbuhan yang pesat pada sektor ini,
sedangkan mayoritas penduduk hanya akan menjadi konsumen dan
menopang sektor ini.

bekerja di sektor ini hanya 6 persen dari seluruh penduduk yang bekerja di
Indonesia.
Sumber : BPS (diolah)
Gambar 15. Proporsi
Pengangkutan
dan komunikasi
6%

89
di sektor ini. Sedangkan mayoritas penduduk,
2009, hal. 45), yang dapat menjadi produsen di
dan mereka inilah yang dapat
pasar. Berdasarkan Gambar
Contoh lainnya adalah sektor transportasi
subsektor telepon seluler. Hal yang serupa
sektor transportasi dan komunikasi
hanya segelintir orang yang memiliki kompetensi
di bidang IT dan orang - orang inilah yang dapat
Berdasarkan Gambar 15, pada tahun 2008 penduduk yang
pekerja menurut lapangan usaha utama di Indonesia
Pertanian
40%
Pertambangan
1%
Industri
12%
LGA
0%
Bangunan
5%
Perdagangan
21%
Keuangan
2%
Jasa-jasa
13%

n orang-orang
15, pada tahun
total seluruh
dengan sektor
komunikasi, dimana orang
berperan
, 2008
90
Menurut Todaro (2003, hal. 219), sudah jelas bahwa pembangunan
memerlukan PDB yang tinggi dan pertumbuhan yang cepat. Namun masalah
dasarnya bukan hanya bagaimana menumbuhkan PDB, tetapi siapakah yang
menumbuhkan PDB, sejumlah besar masyarakat yang ada di dalam sebuah negara
ataukah hanya segelintir orang di dalamnya. Jika yang menumbuhkannya
hanyalah orang-orang kaya yang berjumlah sedikit, maka manfaat
pertumbuhannya itu pun hanya dinikmati oleh mereka saja, sehingga kemiskinan
dan ketimpangan pendapatan akan semakin parah. Namun jika pertumbuhan
dihasilkan oleh orang banyak, mereka pulalah yang akan memperoleh manfaat
terbesarnya dan manfaat pertumbuhan ekonomi akan terbagi secara lebih merata.
4.5. Model Persamaan Simultan
Untuk menjawab tujuan penelitian yang kedua yaitu menjelaskan peran
pertumbuhan ekonomi dan intervensi pemerintah terhadap tingkat kemiskinan,

tingkat pengangguran terbuka dan tingkat ketimpangan distribusi pendapatan di


Indonesia, penulis menggunakan model persamaan simultan. Model persamaan
simultan yang digunakan dalam penelitian terdiri atas 5 persamaan structural dan
5 persamaan reduced.
Sebagaimana tersaji pada Tabel 5 dan Tabel 6, hasil estimasi dengan
menggunakan Eviews 6.0 menunjukkan bahwa secara umum sebagian besar tanda
koefisien dari variabel yang digunakan telah sesuai dengan yang diharapkan
(sesuai dengan kriteria ekonomi). Secara statistik, model yang digunakan valid,
ditunjukkan oleh nilai F-Statistic semua persamaan structural dan reduced hasil
estimasi signifikan pada taraf nyata 1 persen, yang menunjukkan variabel-variabel
91
penjelas yang digunakan pada setiap persamaan structural dan reduced secara
simultan (bersama-sama) signifikan dalam mempengaruhi variabel tak bebas.
Nilai Adjusted R-Squared dari persamaan-persamaan yang digunakan juga cukup
besar, menunjukkan besarnya proporsi variasi dari variabel tak bebas yang bisa
dijelaskan oleh variabel bebas di masing-masing model sudah baik.
Model estimasi fixed effect digunakan untuk mengestimasi persamaan
structural dan persamaan reduced yang ada. Selain itu, terdapat persamaan yang
menggunakan metode estimasi cross section weight. Hal ini dikarenakan melalui
uji Lagrange Multiplier untuk struktur varians dan kovarians residual secara
statistik dapat dibuktikan bahwa struktur varians dan kovarians dari residual yang
dimiliki beberapa model adalah heteroskedastik. Oleh karena itu, estimasi dengan
metode 2SLS dilakukan dengan EGLS (Cross section weight) untuk
mengakomodasi terjadinya pendugaan yang tidak efisien akibat pelanggaran
terhadap asumsi homoskedastisitas. Selain itu, digunakan pula Cross section SUR
(PCSE) sebagai injeksi awal pada struktur varians dan kovarians untuk
mengantisipasi adanya gangguan correlation antar cross-section pada saat
permodelan.
Selain pengujian terhadap asumsi homoskedastisitas, persamaan structural
dan persamaan reduced yang digunakan pada model persamaan simultan juga
telah lolos asumsi normalitas (Lampiran 8 dan 9). Sedangkan untuk pengujian
asumsi non-autokorelasi, penulis menggunakan statistik uji Durbin Watson,
dimana semua model secara statistik dapat dinyatakan lolos asumsi nonautokorelasi.
Model yang telah melewati tahapan pengujian asumsi dapat
diinterpretasikan seperti yang dapat dilihat pada sub-bab berikutnya.
92
Tabel 5. Model persamaan struktural
Persamaan
Struktural
Variabel
Dependen
Variabel
Independen Koefisien Ringkasan Statistik
(1) (2) (3) (4) (5)
I Log(PDRB) C 0,515026 R-squared 0,999970
Log(Konsumsi) 0,421530 ** Adj. R-squared 0,999950
Log(Expenditure_EH) -0,006829 Prob(F-statistic) 0,000000
Log(DAU) 0,083409 ** DW 2,421472
Log(DAK) 0,004507
Log(Pajak_Daerah) 0,050593 **
Inflasi 0,000781
Informal 0,000432
II TPT C 203,170200 ** R-squared 0,965252
Log(PDRB) -18,977350 ** Adj. R-squared 0,944776
Log(UMP) -0,175465 Prob(F-statistic) 0,000000

Inflasi 0,027905 * DW 2,158733


Informal -0,011152
III Log(Gini) C -13,656370 ** R-squared 0,936430
Log(PDRB) 1,310323 ** Adj. R-squared 0,895227
TPT 0,018237 ** Prob(F-statistic) 0,000000
Log(UMP) -0,302721 ** DW 2,636830
Log(PPh) -0,022684
Log(DAU) -0,030086
Log(DAK) 0,092078 **
IV HCI C 77,204150 ** R-squared 0,998559
Log(PDRB) -1,067156 Adj. R-squared 0,997580
TPT 0,380990 ** Prob(F-statistic) 0,000000
Log(Expenditure_EH) -0,186314 DW 2,619161
Log(UMP) -4,572052 **
Inflasi 0,033628 **
AMH -0,317823 **
Initial_poverty 0,476724 **
V Log(Konsumsi) C 16,022300 ** R-squared 0,999990
HCI -0,023743 ** Adj. R-squared 0,999984
Log(Gini) -0,037457 ** Prob(F-statistic) 0,000000
Inflasi -0,001322 ** DW 2,336123
Log(UMP) 0,168581 **
Log(PPh) -0,016434 **

Catatan : **signifikan pada taraf nyata 5 persen ; * taraf nyata 10 persen


93
Tabel 6. Model persamaan reduced form
Variabel Independen
Persamaan Reduced Form
I II III IV V
Log(PDRB) TPT Log(Gini) HCI Log(Konsumsi)
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
C 7.285466 ** 103.888000 ** -8.109806 ** 115.295700 ** 13.516930 **
Log(Exp_EH) -0.007394 -0.765999 ** 0.003808 -0.388557 ** 0.008080 *
Log(DAU) 0.058078 ** -1.815072 ** -0.007099 -0.323197 0.083596 **
Log(DAK) -0.006500 ** -1.649230 ** 0.064772 ** -0.620395 ** -0.021476 **
Log(Pajak_Daerah) 0.067969 * -0.173907 0.361472 ** -1.922230 ** 0.017667
Log(PPh) -0.024766 * 0.561297 -0.034928 ** 0.181279 -0.039151 **
Log(UMP) 0.335243 ** -4.669848 ** -0.128939 ** -6.370804 ** 0.224892 **
Inflasi 0.000618 -0.008713 0.003405 ** 0.043509 ** -0.001478 **
AMH -0.013522 0.253548 -0.007742 -0.029176 0.007198 *
Initial_poverty 0.006012 -0.432929 ** 0.010926 * 0.344204 ** -0.010260 **
Informal 0.000292 -0.085676 ** 0.005682 ** -0.010444 0.000959 *
R-squared 0.999753 0.976477 0.811668 0.999837 0.999987
Adjusted R-squared 0.999560 0.958129 0.664769 0.999710 0.999977
Prob(F-statistic) 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000

Catatan : **signifikan pada taraf nyata 5 persen ; * taraf nyata 10 persen


4.6. Peran Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Kemiskinan, Pengangguran
dan Ketimpangan Distribusi Pendapatan di Indonesia
Dari persamaan structural IV, dapat dinyatakan bahwa pertumbuhan
ekonomi tidak terbukti signifikan dalam menurunkan persentase penduduk miskin
secara langsung. Namun demikian, sesuai dengan teori Okuns Law dan bukti
empiris dari persamaan structural II, dengan tingkat keyakinan 95 persen,
pertumbuhan ekonomi dapat menciptakan lapangan kerja baru yang dapat
menyerap tenaga kerja, dimana penyerapan tersebut dapat menyebabkan
penurunan tingkat pengangguran terbuka (TPT) dengan signifikan. Setiap
pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen menyebabkan penurunan TPT sebesar
18,98 persen saat kondisi cateris paribus.
94
Tingkat pengangguran terbuka (TPT) yang turun menyebabkan penurunan
persentase penduduk miskin (HCI). Dengan tingkat keyakinan 95 persen, setiap
penurunan tingkat pengangguran terbuka (TPT) sebesar 1 persen dapat
menyebabkan persentase penduduk miskin turun 0,38 persen. Sehingga dapat

disimpulkan bahwa meskipun secara langsung tidak memiliki pengaruh, namun


dengan menurunkan tingkat pengangguran terbuka, pertumbuhan ekonomi secara
tidak langsung dapat menyebabkan penurunan persentase penduduk miskin di
Indonesia.
Hasil yang diperoleh sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh BPS
dalam publikasi Analisis Kemiskinan, Ketenagakerjaan dan Distribusi
Pendapatan tahun 2009. Dalam publikasi tersebut, BPS menyatakan bahwa
pertumbuhan ekonomi tidak terbukti signifikan menurunkan tingkat kemiskinan.
Adapun yang signifikan mempengaruhi tingkat kemiskinan adalah tingkat
pengangguran terbuka (TPT). Dimana setiap pertumbuhan tingkat pengangguran
terbuka sebesar 1 persen dapat menyebabkan tingkat kemiskinan meningkat 0,071
persen. Hasil ini tentu saja memperkuat dugaan bahwa pengangguran merupakan
salah satu penyebab kemiskinan.
Dari persamaan structural III, dapat disimpulkan bahwa dengan tingkat
keyakinan 95 persen pertumbuhan ekonomi secara langsung signifikan
menyebabkan distribusi pendapatan semakin timpang di Indonesia. Setiap
pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen dapat menyebabkan pertumbuhan indeks
gini ratio sebesar 1,31 persen. Hal ini dikarenakan pertumbuhan ekonomi hanya
dinikmati oleh sebagian kecil penduduk saja. Berdasarkan data BPS tahun 2008,
hampir 45 persen dari kue pembangunan dinikmati oleh 20 persen penduduk
95
dengan pendapatan tertinggi, sedangkan 40 persen penduduk dengan pendapatan
terendah hanya menikmati 19,5 persen saja.
Menurut Todaro (2003), pembangunan sudah jelas memerlukan produk
domestik bruto (PDB) yang tinggi dan pertumbuhannya yang cepat. Namun
masalah dasarnya bukan hanya bagaimana menciptakan pertumbuhan PDB, tetapi
siapakah yang menumbuhkan PDB, sejumlah besar masyarakat yang ada di dalam
negara ataukah hanya segelintir orang saja. Jika yang menumbuhkannya hanyalah
orang-orang kaya berjumlah sedikit, maka manfaat pertumbuhan PDB itupun
hanya akan dinikmati oleh mereka saja, sehingga ketimpangan pendapatan akan
semakin parah. Namun jika pertumbuhan dihasilkan oleh orang banyak, mereka
pulalah yang akan memperoleh manfaat terbesarnya, dan buah pertumbuhan
ekonomi akan terbagi secara lebih merata.
Tabel 7. Distribusi pendapatan (%) dan rasio gini Indonesia 2002 - 2008
Kelompok Penduduk 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
40% terendah 20,9 20,6 20,8 18,8 19,8 19,1 19,5
40% menengah 36,9 37,1 37,1 36,4 38,1 36,1 35,7
20% teratas 42,2 42,3 42,1 44,8 42,2 44,8 44,8
Rasio Gini 0,33 0,32 0,32 0,34 0,36 0,38 0,37

Sumber : Kuncoro (2010)


Namun demikian, pertumbuhan ekonomi akan mengurangi tingkat
pengangguran terbuka, dimana pengurangan ini akan berdampak negatif pada
pertumbuhan indeks gini ratio. Dengan kata lain, berkurangnya tingkat
pengangguran terbuka (TPT) dapat menyebabkan distribusi pendapatan lebih
merata. Dari persamaan structural III, dengan tingkat keyakinan 95 persen dapat
disimpulkan bahwa setiap penurunan tingkat pengangguran terbuka (TPT)
sebesar 1 persen dapat berdampak negatif pada pertumbuhan indeks gini ratio
96
sebesar 0,018 persen. Sehingga secara tidak langsung, dapat dikatakan bahwa
pertumbuhan ekonomi berdampak negatif pada pertumbuhan ketimpangan

distribusi pendapatan.
Berkurangnya ketimpangan distribusi pendapatan dan persentase
penduduk miskin akibat penurunan TPT, secara tidak langsung akan semakin
mempercepat pertumbuhan ekonomi. Hal ini dikarenakan dengan penurunan
persentase penduduk miskin dan distribusi pendapatan yang lebih merata,
pengeluaran konsumsi masyarakat menjadi meningkat, dimana peningkatan
tersebut secara langsung akan memacu pertumbuhan ekonomi. Dari persamaan
structural I, dengan tingkat keyakinan 95 persen, dapat disimpulkan bahwa setiap
pertumbuhan konsumsi sebesar 1 persen menyebabkan pertumbuhan ekonomi
sebesar 0,42 persen. Menurut Keyness, pengeluaran agregat, dalam hal ini
pengeluaran masyarakat atas barang dan jasa, merupakan faktor utama yang
menentukan tingkat kegiatan ekonomi yang dicapai suatu negara.
Namun sebaliknya, jika persentase penduduk miskin meningkat dan
distribusi pendapatan melebar maka pertumbuhan ekonomi secara tidak langsung
akan terhambat. Dari persamaan structural V, dengan tingkat keyakinan 95
persen dapat disimpulkan bahwa peningkatan Head Count Index (HCI) ataupun
persentase penduduk miskin sebesar 1 persen dapat berdampak negatif pada
pertumbuhan konsumsi rumah tangga sebesar 0,023 persen. Sedangkan dari
persamaan yang sama, setiap pertumbuhan indeks gini ratio sebesar 1 persen
dapat berdampak negatif pada pertumbuhan konsumsi rumah tangga sebesar 0,037
persen. Hasil ini sesuai dengan teori virtuous circle, Soeharsono Sagir dalam
buku Kapita Selekta Ekonomi Indonesia tahun 2009, dimana peningkatan
97
pendapatan penduduk miskin, dalam hal ini penurunan persentase penduduk
miskin dan distribusi pendapatan yang lebih merata akan menyebabkan
peningkatan konsumsi dan secara tidak langsung akan memacu pertumbuhan
ekonomi.
Sumber : Sagir (2009)
Gambar 16. Teori Lingkaran Setan Kemiskinan (Virtuous Circle)
Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi memiliki kaitan yang erat dan
peran yang penting sekali dalam mengatasi permasalahan pengangguran,
kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan. Pertumbuhan ekonomi
harus dipacu terutama pada sektor-sektor tradeable yang dapat menyerap tenaga
kerja yang banyak sehingga menurunkan tingkat pengangguran terbuka.
Penurunan tingkat pengangguran terbuka dapat menyebabkan
pengurangan tingkat kemiskinan dan distribusi pendapatan yang lebih merata.
Kemudian penurunan persentase penduduk miskin dan distribusi pendapatan yang
lebih merata secara tidak langsung akan berimplikasi terhadap percepatan laju
Economic
Growth
Productive
Capacity
Employment
With Rising
Productivity
Higher income
of the Poor
Higher
Expenditure
Increased
productive
capacity

98

pertumbuhan ekonomi. Hasil ini sesuai dengan penelitian Faisal Basri dalam buku
Lanskap Ekonomi Indonesia tahun 2009. Beliau menyatakan bahwa bagi
negara berkembang yang jutaan penduduknya masih menganggur, sektor
tradeable atau barang lebih menguntungkan untuk dikembangkan, karena dapat
menyerap begitu banyak tenaga kerja dan keuntungannya dapat dinikmati oleh
banyak pihak.
Namun faktanya, seperti yang telah dijelaskan pada analisis deskriptif,
sektor tradeable justru semakin tertekan di Indonesia. Sektor tradeable tumbuh 34 persen per tahun, sedangkan pertumbuhan sektor non-tradeable justru berkisar
antara 8 9 persen per tahun. Menurut Faisal Basri, pertumbuhan ekonomi yang
timpang inilah yang menjadi salah satu penyebab utama, mengapa pengangguran
dan kemiskinan sulit teratasi serta ketimpangan distribusi pendapatan semakin
melebar padahal pertumbuhan ekonomi Indonesia berkisar antara 5-6 persen per
tahun. Penjelasan lebih lanjut mengenai pertumbuhan PDB sektor apa yang harus
dikembangkan akan dijelaskan pada sub bab terakhir pada bab ini.
4.7. Peran Intervensi Pemerintah Terhadap Kemiskinan, Pengangguran dan
Ketimpangan distribusi Pendapatan
Pengeluaran pemerintah menurut fungsi kesehatan dan pendidikan
Dari persamaan structural I dan reduced I, secara statistik tidak dapat
dibuktikan bahwa pengeluaran pemerintah untuk kesehatan dan pendidikan
berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Pada dasarnya, pengeluaran
pemerintah merupakan salah satu instrumen penting bagi pemerintah untuk
mengendalikan tingkat pertumbuhan ekonomi. Peningkatan pengeluaran
99
pemerintah merupakan kebijakan fiskal ekspansi dalam upaya meningkatkan
pertumbuhan ekonomi. Sedangkan penurunan pengeluaran pemerintah merupakan
kebijakan fiskal kontraksi, sebagai upaya menurunkan tingkat pertumbuhan
ekonomi. Namun, pengeluaran kesehatan dan pendidikan berbeda karena tidak
signifikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.
Menurut Todaro (2003), pengeluaran untuk kesehatan dan pendidikan
merupakan investasi modal manusia (human capital investment) dimana
dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi tidak dapat dirasakan pada tahun
tersebut namun pada tahun-tahun yang akan datang. Todaro melakukan ilustrasi
sederhana untuk menjelaskan hubungan antara pengeluaran untuk kesehatan dan
pendidikan terhadap pendapatan. Todaro mengambil contoh pengambilan
keputusan seseorang untuk melanjutkan sekolah. Skema Todaro mengasumsikan
bahwa seseorang bekerja saat lulus sekolah hingga meninggal di usia 66 tahun,
yang merupakan usia harapan hidup penduduk dunia saat itu. Lulusan sekolah
dasar dan sekolah tingkat atas diasumsikan masing-masing mulai bekerja pada
usia 13 dan 17 tahun.
Dari Gambar 17 dapat disimpulkan bahwa bagi seseorang yang
memutuskan untuk melanjutkan sekolah ke tingkat atas akan mengorbankan 4
tahun pendapatan yang diperolehnya kalau bekerja karena memilih untuk
bersekolah. Hal ini merupakan biaya tidak langsung, di samping itu terdapat biaya
langsung berupa uang sekolah, buku-buku dan lain-lain. Namun selama sisa
hidupnya, dia akan memperoleh penghasilan yang lebih besar setiap tahunnya
daripada jika ia bekerja dengan berbekal ijazah SD saja.
100
Sumber : Todaro (2003)
Gambar 17. Trade-off finansial dalam pengambilan keputusan untuk melanjutkan

Sekolah
Hal tersebut jika kita analogikan dengan permasalahan yang ada dapat
menjelaskan hubungan yang cukup unik antara pengeluaran untuk kesehatan dan
pendidikan dengan pertumbuhan ekonomi. Dalam jangka pendek (short term),
pengeluaran pemerintah untuk kesehatan dan pendidikan akan terasa seperti biaya
pemborosan, sehingga dapat menghambat pertumbuhan ekonomi. Namun
dalam jangka panjang (long term), pengeluaran pemerintah untuk kesehatan dan
pendidikan sekarang akan menghasilkan sumber daya manusia Indonesia yang
lebih berkualitas, lebih terampil dan lebih produktif pada masa yang akan datang,
sehingga akan memacu pertumbuhan ekonomi, seperti yang dijelaskan dalam
ilustrasi sederhana dari Todaro tersebut.
Pengeluaran pemerintah untuk kesehatan dan pendidikan penting
keberadaannya bagi sebagian besar penduduk, terutama penduduk miskin di
Indonesia. Pengeluaran pemerintah untuk kesehatan dan pendidikan secara
langsung memang terbukti tidak signifikan menurunkan persentase penduduk
66
13 17
Pendapatan
Biaya Langsung
Manfaat
Umur
Lulusan
Sekolah Atas
Lulusan
Sekolah Dasar
Biaya Tidak Langsung

101
miskin seperti yang terlihat di persamaan structural IV. Namun pengeluaran
pemerintah untuk kesehatan dan pendidikan bagaimanapun tetap diperlukan dan
sangat membantu kaum menengah ke bawah tersebut. Dengan pengeluaran
pemerintah untuk kesehatan dan pendidikan dapat berupa subsidi ataupun bantuan
langsung, pendapatan yang seharusnya digunakan penduduk untuk biaya
kesehatan dan pendidikan dapat mereka simpan ataupun mereka manfaatkan
untuk membuka usaha yang produktif. Hal ini dibuktikan oleh persamaan
reduced II, dimana dengan tingkat keyakinan 95 persen dapat disimpulkan
bahwa pengeluaran pemerintah untuk kesehatan dan pendidikan signifikan
menurunkan persentase pengangguran. Setiap pertumbuhan pengeluaran
pemerintah untuk kesehatan dan pendidikan sebesar 1 persen dapat menurunkan
TPT sebesar 0,77 persen.
Penurunan tingkat pengangguran terbuka berimplikasi terhadap penurunan
persentase penduduk miskin. Dari persamaan reduced IV, dapat disimpulkan
bahwa, dengan tingkat keyakinan 95 persen pengeluaran pemerintah untuk
kesehatan dan pendidikan signifikan dalam menurunkan persentase penduduk
miskin. Setiap pertumbuhan pengeluaran pemerintah untuk kesehatan dan
pendidikan sebesar 1 persen akan menurunkan tingkat kemiskinan (HCI)
Indonesia sebesar 0,39 persen.
Oleh karena pengaruhnya yang positif terhadap penurunan TPT dan
pengentasan kemiskinan, hendaknya pengeluaran pemerintah untuk kesehatan
dan pendidikan lebih ditingkatkan. Tabel 8 menunjukkan proporsi pengeluaran
pemerintah untuk kesehatan dan pendidikan terhadap PDB beberapa negara di
Asia.

102
Tabel 8. Rasio pengeluaran pemerintah untuk kesehatan dan pendidikan
terhadap PDB (%) beberapa negara di Asia tahun 2001 - 2009
Negara 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
Japan 10,6 10,7 10,9 10,8 10,9 10,9 11,0 11,2
Malaysia 8,8 9,4 9,1 7,4 6,8 7,1 7,5 7,8 9,4
Australia 5,2 5,2 5,2 5,3 5,3 5,3 5,1 5,3 5,6
Thailand 5,5 5,9 5,5 5,1 4,6 4,3 4,5 5,0
Singapore 5,4 5,3 5,3 4,4 4,1 3,7 3,7 4,1
Brunei Darussalam 6,0 6,7 8,5 4,3 5,4 4,8 4,4
Sri lanka 3,3 3,8 3,6 3,6 4,4 4,7 4,5 4,0 3,6
Indonesia 3,3 3,3 3,9 3,4 3,3 4,0 4,1 4,1
Phillippines 3,6 3,6 3,3 2,9 2,7 2,7 2,8 2,8 3,4
Bangladesh 3,2 3,0 2,9 2,9 2,7 2,8 2,9 2,7
Kamboja 2,1 2,7 2,5 2,4 2,3 2,4 2,4 2,4
Sumber : ADB Database
Dari Tabel 8 dapat dilihat bahwa pengeluaran pemerintah untuk kesehatan
dan pendidikan Indonesia relatif lebih kecil dibandingkan negara-negara tetangga,
terutama: Singapura, Malaysia, Thailand dan Brunei Darussalam. Proporsi
pengeluaran pemerintah untuk kesehatan dan pendidikan terbesar adalah negara
Jepang. Jepang kemudian juga secara konsisten bertahan dengan pengeluaran
untuk kesehatan dan pendidikan yang lebih dari 10 persen dari PDB-nya tiap
tahun. Indonesia sendiri hanya memiliki proporsi pengeluaran pemerintah untuk
kesehatan dan pendidikan berkisar 3-4 persen dari PDB tiap tahunnya atau berada
pada urutan 8 dari 11 negara pada Tabel 8. Proporsi pengeluaran pemerintah
untuk kesehatan dan pendidikan terhadap PDB Indonesia hanya unggul tipis dari
Filipina, Bangladesh dan Kamboja. Oleh karena itu, pengeluaran pemerintah
untuk kesehatan dan pendidikan Indonesia hendaklah harus ditingkatkan.
103
Sumber : BPS (diolah)
Gambar 18. Rasio pengeluaran pemerintah untuk kesehatan dan pendidikan
terhadap total pendapatan daerah di Indonesia tahun 2008
Permasalahan pengeluaran pemerintah untuk kesehatan dan pendidikan
bukan hanya karena proporsinya yang relatif kecil dibandingkan PDB nasional,
tetapi juga disparitas rasio pengeluaran pemerintah untuk kesehatan dan
pendidikan terhadap total peendapatan daerah (TPD) antar provinsi (Gambar 18).
Rasio pengeluaran pemerintah untuk kesehatan dan pendidikan terhadap total
0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00
Jawa Barat
PAPUA
Bali
Maluku Utara
Sumatera Utara
Bangka Belitung
Sulawesi Selatan
Banten
Sulawesi Utara
Sulawesi Tenggara
D.I. Yogyakarta

Gorontalo
Lampung
Jawa Timur
Nusa Tenggara Barat
Sulawesi Tengah
Kalimantan Barat
Sumatera Selatan
Jawa Tengah
Kalimantan Tengah
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Bengkulu
Sumatera Barat
DKI Jakarta
Jambi
Maluku
RIAU
Aceh
dalam persen
104
pendapatan daerah paling besar adalah Provinsi Aceh yaitu 23,59 persen. Selain
Provinsi Aceh, terdapat beberapa provinsi lainnya yang memiliki rasio antara
pengeluaran pemerintah untuk kesehatan dan pendidikan yang lebih dari 20
persen yaitu Provinsi Riau, DKI Jakarta, Jambi dan Maluku. Hal ini menunjukkan
kepedulian pemerintah provinsi tersebut terhadap kesehatan dan pendidikan
penduduknya atau dengan kata lain terhadap kualitas sumber daya manusianya.
Meskipun demikian, sebagian besar provinsi justru memiliki rasio
pengeluaran pemerintah untuk kesehatan dan pendidikan terhadap total
pendapatan daerah yang lebih kecil dari 20 %. Tentu saja, hal ini memprihatinkan,
mengingat pengeluaran pemerintah untuk kesehatan dan pendidikan sesuai model
yang dibentuk signifikan dalam mengurangi kemiskinan dan pengangguran. Oleh
karena itu, pengeluaran pemerintah untuk kesehatan dan pendidikan khususnya di
provinsi yang memiliki rasio kurang dari 20 % hendaklah ditingkatkan agar
efektif mengurangi penduduk menganggur dan miskin.
Pajak Daerah
Berbicara mengenai sisi pengeluaran tentu tidak bisa dilepaskan dari sisi
pendapatan. Pendapatan yang diterima oleh daerah akan digunakan untuk
pengeluaran-pengeluaran pembangunan, salah satunya pengeluaran krusial yang
telah dibahas sebelumnya, yaitu pengeluaran pemerintah untuk kesehatan dan
pendidikan. Sumber pendapatan daerah menurut UU 22/1999 dan UU 25/1999
dapat dilihat pada Tabel 9.
Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa pendapatan daerah meningkat setiap
tahunnya. Pada tahun 2005 total pendapatan provinsi seluruh Indonesia adalah
105
196,9 triliun rupiah meningkat hingga 375,8 triliun rupiah pada tahun 2008.
Proporsi terbesar dari total pendapatan provinsi seluruh Indonesia dari dana
perimbangan berkisar antara 70 sampai 80 persen tiap tahunnya. Proporsi
pendapatan asli daerah (PAD) antara 15 sampai 20 persen tiap tahunnya,
sedangkan sisanya merupakan pendapatan lain-lain daerah yang disahkan.

Tabel 9. Proporsi pendapatan provinsi di seluruh Indonesia tahun 2005 2008


No Jenis Pendapatan
2005 2006 2007 2008
Jumlah
(miliar)
% Jumlah
(miliar)
% Jumlah
(miliar)
% Jumlah
(miliar)
%
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
1 PAD 38.772 19,7 44.518 16,0 51.538 16,0 64.730 17,2
1.1 Pajak Daerah 28.365 14,4 30.347 10,9 34.844 10,8 44.729 11,9
1.2 Retribusi Daerah 5.233 2,7 6.196 2,2 7.240 2,2 8.046 2,1
1.3 Hasil Kekayaan Daerah 1.413 0,7 1.570 0,6 2.208 0,7 3.055 0,8
1.4 Lain-lain 3.761 1,9 6.405 2,3 7.245 2,2 8.901 2,4
2 Dana Perimbangan 148.723 75,5 225.506 81,2 244.253 75,8 276.106 73,5
2.1.1 Bagi Hasil Pajak 31.367 15,9 42.753 15,4 34.521 10,7 38.797 10,3
2.1.2 Bagi Hasil SDA 24.242 12,3 27.490 9,9 26.546 8,2 37.173 9,9
2.2 DAU 88.776 45,1 143.470 51,6 165.435 51,3 179.024 47,6
2.3 DAK 4.339 2,2 11.793 4,2 17.751 5,5 21.112 5,6
3 Lain-lain pendapatan
daerah 9.459 4,8 7.859 2,8 26.439 8,2 34.968 9,3
Total 196.954 100,0 277.883 100,0 322.230 100,0 375.805 100,0

Sumber : BPS (diolah)


Secara umum, pajak daerah memberikan kontribusi terbesar terhadap
pendapatan asli daerah (PAD). Proporsi pajak daerah terhadap pendapatan asli
daerah antara 68 sampai 75 persen seperti yang terlihat pada Gambar 19. Namun
jika dibandingkan dengan total pendapatan provinsi seluruh Indonesia, pajak
daerah hanya menyumbang kurang dari 15 persen. Dengan kata lain porsi pajak
daerah terhadap total pendapatan provinsi seluruh Indonesia masih relatif kecil
seperti ditunjukkan oleh Tabel 9.
Sumber : BPS (diolah)
Gambar 19. Proporsi Pendapatan Asli Daerah (PAD) seluruh provinsi di
Indonesia periode 2005
Menurut Mustaqiem
berfungsi sebagai alat mengatur atau melaksanakan kebijakan di bidang sosial dan
ekonomi. Sebagai contoh yaitu dikenakannya pajak yang tinggi terhadap
minuman keras, sehingga konsumsi minuman keras dapat dikurangi. K
berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan
pengeluaran-pengeluaran pemerintah. Pengeluaran pemerintah merupakan
instrumen kunci dari kebijakan fiskal, dimana ketika pengeluaran pemerintah
meningkat maka pemerintah berarti
Dari persamaan
dibuktikan bahwa pajak daerah berpengaruh positif terhadap pertumbuhan
ekonomi. Setiap pertumbuhan pajak daerah sebesar 1 persen dapat menyebabkan
pertumbuhan ekonomi sebesar 0,05 persen. Selain itu, pajak daerah juga
signifikan dalam mempengaruhi persentase penduduk miskin. Dari persamaan
reduced IV, dapat disimpulkan bahwa dengan tingkat keyakinan 95 persen
pendapatan dari pajak daerah yang digunakan u
106
. - 2008
(2008), fungsi pajak ada dua. Pertama, pajak
sedang melakukan ekspansi ekonomi.
structural I, dengan tingkat keyakinan 95 persen dapat
umbuhan , untuk upaya pengentasan

), Kedua, pajak
, ntuk
107
kemiskinan signifikan dalam menurunkan persentase penduduk miskin di
Indonesia. Setiap pertumbuhan pajak daerah sebesar 1 persen dapat menurunkan
persentase penduduk miskin di Indonesia sebesar 1,92 persen. Hasil ini sesuai
dengan yang disampaikan Soeharsono Sagir dalam bukunya yang berjudul Kapita
Selekta Ekonomi Indonesia tahun 2009, bahwasanya sebagai salah satu instrumen
kebijakan fiskal, pajak daerah memiliki sasaran spesifik diantaranya pengentasan
kemiskinan dan pengendalian konsumsi atas komoditas yang sifatnya tertiary
class dan nonbasic goods.
Dari persamaan reduced II, dapat disimpulkan bahwa pajak daerah tidak
terbukti signifikan mempengaruhi tingkat pengangguran terbuka. Hal ini
dikarenakan proporsi pajak daerah yang relatif kecil dibandingkan total
pendapatan daerah. Sehingga pajak daerah tidak cukup signifikan bila
diprioritaskan untuk upaya penciptaan lapangan kerja.
Pajak daerah yang tidak signifikan menurunkan tingkat pengangguran
terbuka secara tidak langsung dapat mengakibatkan ketimpangan distribusi
pendapatan melebar. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa ketimpangan
distribusi pendapatan dipengaruhi oleh tingkat pengangguran terbuka. Dari
persamaan reduced III, dapat disimpulkan bahwa dengan tingkat keyakinan 95
persen, pajak daerah terbukti signifikan mempengaruhi ketimpangan distribusi
pendapatan. Setiap pertumbuhan pajak daerah sebesar 1 persen dapat
menyebabkan pertumbuhan Indeks gini ratio sebesar 0,36 persen.
Seperti yang disampaikan sebelumnya, yang menjadi permasalahan adalah
proporsi pajak daerah yang relatif kecil jika dibandingkan total pendapatan
daerah. Oleh karena itu, pajak daerah harus ditingkatkan agar cukup mampu
108
digunakan untuk membiayai pembangunan-pembangunan yang sifatnya menyerap
dan membutuhkan jumlah tenaga kerja yang banyak. Sehingga dengan
peningkatan pajak daerah akan menyebabkan persentase pengangguran berkurang.
Pengaruh DAU dan DAK
Seperti yang telah dibahas sebelumnya (Tabel 9), sebagian besar total
pendapatan provinsi berasal dari dana perimbangan. Dana perimbangan
berkontribusi antara 75 sampai 80 persen terhadap total pendapatan. Hal ini
mengindikasikan bahwa daerah sangat membutuhkan dana perimbangan terkait
dengan terbatasnya kemampuan daerah dalam membiayai pembangunan. Di satu
sisi, dana perimbangan dapat menambah kemampuan daerah untuk membiayai
belanja daerah. Namun di sisi lain, besarnya dana perimbangan menunjukkan
ketergantungan fiskal yang tinggi antara pemerintah daerah terhadap pemerintah
pusat.
Dana perimbangan terdiri atas bagi hasil (bagi hasil pajak ditambah
dengan bagi hasil bukan pajak) antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah,
dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK). Total dana
perimbangan tahun 2008 berjumlah 276,1 triliun rupiah atau 73,5 persen dari total
pendapatan yang diterima seluruh provinsi di Indonesia. Dari Gambar 20 dapat
dilihat 73 persen dana perimbangan berasal dari dana alokasi umum (DAU) dan
dana alokasi khusus (DAK). Sedangkan, kontribusi bagi hasil terhadap total dana
perimbangan hanya 27 persen.
Sumber : BPS (diolah)

Gambar 20. Proporsi dana perimbangan seluruh provinsi di Indonesia periode


2005 2008
DAU dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar
daerah (mengatasi horizontal
sepenuhnya oleh daerah. Pengalokasian DAU didasarkan atas
konsep kesenjangan fiskal atau celah fiskal (
kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal.
Dari persamaan
keyakinan 95 persen, DAU memiliki pengaruh signifikan dalam memacu
pertumbuhan ekonomi. Setiap pertumbuhan DAU sebesar 1 persen dapat
menyebabkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,08 persen. Pertumb
akan menyebabkan peningkatan signifikan pada kemampuan keuangan
pemerintah daerah dalam meningkatkan pembiayaan pengeluaran
pemerintah untuk pembangunan. Hasil ini sesuai dengan teori kebijakan fiskal
ekspansi, dimana peningkatan penge
pertumbuhan ekonomi. Hal ini dikarenakan kontribusi DAU yang besar terhadap
total pendapatan daerah dan juga peran DAU dalam menutupi kesenjangan fiskal,

65%
109
. imbalance), dimana penggunaannya ditetapkan
fiscal gap), yaitu selisih antara
structural I dapat disimpulkan bahwa dengan tingkat
, pengeluaran pemerintah akan memacu

14%
13%
8%
Bagi Hasil Pajak
Bagi Hasil SDA
DAU
DAK
, formula dengan
), Pertumbuhan DAU
pengeluaran-pengeluaran
luaran
110
sehingga pertumbuhan dari DAU akan sangat sensitif sekali mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi suatu daerah.
Pertumbuhan ekonomi dapat mengurangi tingkat pengangguran terbuka
dengan signifikan (teori Okuns Law dan persamaaan structural II). Sehingga,
secara tidak langsung pertumbuhan DAU mempengaruhi tingkat pengangguran
terbuka dengan signifikan. Hal ini ditunjukkan oleh persamaan reduced II.
Dengan tingkat keyakinan 95 persen, dapat disimpulkan bahwa setiap
pertumbuhan DAU sebesar 1 persen menyebabkan tingkat pengangguran terbuka
turun sebesar 1,8 persen.
Selain DAU, pemerintah daerah menerima transfer dana dari pemerintah
pusat berupa dana alokasi khusus (DAK). Berbeda dengan DAU, DAK disediakan
kepada daerah untuk memenuhi kebutuhan khusus yang bersifat spesifik untuk
tujuan-tujuan yang sudah digariskan. Berdasarkan tujuannya, DAK dapat
dialokasikan menjadi DAK reboisasi dan DAK non reboisasi. Kegiatan reboisasi

ataupun non reboisasi akan menyerap tenaga kerja, dengan kata lain menyebabkan
pengangguran berkurang. Dari persamaan reduced II, dapat disimpulkan bahwa
dengan tingkat keyakinan 95 persen DAK berpengaruh signifikan terhadap tingkat
pengangguran terbuka. Setiap pertumbuhan DAK sebesar 1 persen dapat
menyebabkan tingkat pengangguran terbuka turun sebesar 1,65 persen.
Berkurangnya tingkat pengangguran terbuka dapat menyebabkan tingkat
kemiskinan turun. Sehingga, secara tidak langsung dapat diyakini bahwa DAK
berpengaruh signifikan terhadap persentase penduduk miskin. Hasil ini
ditunjukkan oleh persamaan reduced IV. Dengan tingkat keyakinan 95 persen
111
dapat disimpulkan bahwa setiap pertumbuhan DAK sebesar 1 persen secara tidak
langsung dapat menyebabkan Head Count Index (HCI) turun 0,62 persen.
Namun demikian, karena sifatnya yang spesifik dan tujuannya yang
bersifat khusus, dana alokasi khusus (DAK) tidak dapat dinikmati oleh sebagian
besar penduduk Indonesia. Hal ini menyebabkan distribusi pendapatan semakin
tidak merata seperti yang ditunjukkan oleh persamaan reduced III. Dengan tingkat
keyakinan 95 persen, dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan DAK sebesar 1
persen dapat menyebabkan pertumbuhan indeks gini ratio sebesar 0,065 persen.
Selain itu, karena memang untuk tujuan yang khusus dan sudah
digariskan, seperti kegiatan reboisasi dan non-reboisasi, pengaruhnya terhadap
pertumbuhan ekonomi tidak signifikan (persamaan structural I). Kegiatan
reboisasi tersebut misalnya. Pengalokasian DAK untuk reboisasi tentu saja
terkesan seperti pemborosan, karena pengaruhnya tidak dapat kita rasakan saat
itu juga (short term). Akibatnya, secara total DAK menyebabkan penurunan
tingkat pertumbuhan ekonomi. Tetapi, pengaruh dari pengalokasian DAK untuk
reboisasi dapat dirasakan nanti (long term), ketika biji yang kita tanam pada saat
reboisasi telah menghasilkan pohon yang kuat yang berdampak pada lingkungan
yang lebih bersih dan nyaman untuk ditinggali.
Pemerintah daerah sebaiknya meningkatkan pengeluaran untuk kesehatan
dan pendidikan supaya menghasilkan SDM yang lebih berkualitas sehingga
pembangunan masa yang akan datang (long term) jauh lebih baik. Konsekuensi
dari peningkatan pengeluaran pemerintah adalah peningkatan sumber pendapatan.
Seperti yang telah dinyatakan sebelumnya, PAD dalam hal ini diwakili oleh pajak
daerah, kontribusinya masih relatif kecil terhadap total pendapatan. Dana
112
perimbangan, yang dalam penelitian ini diwakili oleh DAU dan DAK, terlalu
dominan dalam memacu pertumbuhan ekonomi dan mengurangi pengangguran
karena kontribusinya yang besar terhadap total pendapatan daerah. Hal ini
mengindikasikan kemandirian fiskal yang rendah dari pemerintah daerah.
Menurut Smith dan Uppal dalam Tangkilisan (2005), tingkat kemandirian fiskal
dapat dilihat dari derajat desentralisasi fiskal suatu daerah. Derajat desentralisasi
fiskal dapat diukur salah satunya dari rasio PAD terhadap total pendapatan daerah.
Menurut hasil penelitian tim Fisipol UGM derajat desentralisasi fiskal dengan
menggunakan skala interval dapat ditunjukkan oleh tabel berikut:
Tabel 10. Skala interval derajat desentralisasi fiskal
PAD/TPD (%) Kemampuan Keuangan Daerah
(1) (2)
0 - 10,00 Sangat Kurang
10,01 - 20,00 Kurang
20,01 - 30,00 Cukup
30,01 - 40,00 Sedang

40,01 - 50,00 Baik


> 50,00 Sangat baik

Sumber : Tangkilisan (2005)


Berdasarkan data BPS tahun 2008, dapat ditunjukkan bahwa sebagian
besar daerah di Indonesia memiliki kemandirian fiskal daerah yang termasuk
kategori kurang dan sangat kurang, yaitu rasio PAD terhadap total pendapatan
daerah kurang dari 20 persen. Provinsi DKI Jakarta merupakan provinsi yang
memiliki rasio PAD/TPD paling besar dan menunjukkan kemampuan keuangan
daerah sangat baik. Provinsi Bali berada pada kategori kemampuan keuangan
daerah sedang. Sedangkan Provinsi Banten, Jawa Barat, D.I. Yogyakarta dan Jawa
113
timur termasuk provinsi yang memiliki kategori kemampuan keuangan daerah
cukup. Rincian kemandirian masing-masing provinsi dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Kemandirian fiskal daerah menurut provinsi tahun 2008
Provinsi
PAD
(miliar Rp)
Dana
Perimbangan
(miliar Rp)
Pendapatan
Lain
(miliar Rp)
Total
Pendapatan
(miliar Rp)
Proporsi
PAD/Total
Pendapatan
(%)
Kategori
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
DKI Jakarta 10.456 8.703 63 19.222 54,39 Sangat Baik
Bali 2.337 4.500 740 7.577 30,84 Sedang
Banten 2.530 5.219 833 8.582 29,48 Cukup
Jawa Barat 7.946 22.354 3.318 33.619 23,64 Cukup
Jawa Timur 8.090 25.852 2.166 36.107 22,40 Cukup
D.I.Yogyakarta 1.051 3.545 623 5.219 20,14 Cukup
Jawa Tengah 6.054 22.637 2.504 31.195 19,41 Kurang
Kep. Riau 1.033 4.241 287 5.561 18,58 Kurang
Kalimantan Selatan 1.438 6.146 610 8.194 17,55 Kurang
Sumatera Utara 3.078 13.246 1.486 17.810 17,28 Kurang
Riau 2.818 14.773 542 18.134 15,54 Kurang
Sulawesi Selatan 1.929 10.424 1.238 13.592 14,19 Kurang
Jambi 912 5.093 505 6.511 14,01 Kurang
Kep. Bangka Belitung 520 3.038 186 3.744 13,88 Kurang
Lampung 1.131 6.642 552 8.326 13,59 Kurang
Sumatera Barat 1.303 7.907 795 10.005 13,02 Kurang
Sumatera Selatan 1.589 10.380 529 12.498 12,71 Kurang
Kalimantan Timur 3.035 19.467 2.269 24.771 12,25 Kurang
NTB 646 4.839 257 5.743 11,25 Kurang
Kalimantan Barat 855 6.986 435 8.276 10,33 Kurang
Sulawesi Utara 486 3.945 340 4.771 10,19 Kurang
Bengkulu 403 3.568 576 4.546 8,86 Sangat Kurang
Sulawesi Tenggara 483 4.745 366 5.593 8,63 Sangat Kurang
Kalimantan Tengah 644 6.974 346 7.964 8,08 Sangat Kurang
Sulawesi Tengah 447 5.012 450 5.909 7,56 Sangat Kurang
Gorontalo 192 2.100 289 2.581 7,44 Sangat Kurang
N T T 540 6.487 262 7.290 7,41 Sangat Kurang
Aceh 1.146 10.891 4.190 16.227 7,06 Sangat Kurang
Maluku Utara 246 3.321 273 3.840 6,40 Sangat Kurang
Maluku 257 3.965 174 4.396 5,84 Sangat Kurang
Sulawesi Barat 119 2.146 79 2.343 5,07 Sangat Kurang
Papua 526 5.788 5.101 11.415 4,61 Sangat Kurang
Papua Barat 493 11.172 2.581 14.247 3,46 Sangat Kurang

Sumber : BPS (diolah)


114

Secara umum, Faisal Basri (2009) menyatakan bahwa pendapatan pajak


Indonesia harus ditingkatkan, agar tersedia dana lebih banyak guna memperbesar
kapabilitas negara dalam mengatasi berbagai persoalan bangsa yang memang
sudah sejak lama terasa mendesak. Publikasi IMF tahun 2005 menunjukkan
bahwa rasio pajak terhadap PDB Indonesia relatif lebih kecil jika dibandingkan
dengan negara lainnya. Tabel 12 menunjukkan bahwa negara maju dengan nilai
PDB yang tinggi biasanya memiliki rasio pajak yang tinggi juga.
Tabel 12. Rasio pajak terhadap PDB beberapa negara tahun 2005
No Negara Rasio
No Negara Rasio
(1) (2) (3)
(1) (2) (3)
1 Swedia 51,3
21 Siprus 35,6
2 Denmark 50,3
22 Malta 35,3
3 Belgia 45,5
23 Portugal 35,3
4 Norwegia 44,3
24 Polandia 34,2
5 Perancis 44,0
25 Kanada 33,4
6 Finlandia 43,9
26 Turki 32,3
7 Islandia 42,4
27 Estonia 30,9
8 Austria 42,0
28 Australia 30,9
9 Italia 40,6
29 Irlandia 30,8
10 Slovenia 40,5
30 Swiss 29,7
11 Jerman 38,8
31 Latvia 29,4
12 Hungaria 38,5
32 Slowakia 29,3
13 Luksemburg 38,2
33 Lithuania 28,9
14 Belanda 38,2
34 Jepang 27,4
15 Brasil 37,4
35 Rumania 27,3
16 Inggris 37,0
36 Amerika Serikat 27,3
17 Selandia Baru 36,6
37 Korea Selatan 28,5
18 Republik Cheska 36,3
38 Singapura 24,2
19 Spanyol 35,9
39 Malaysia 22,3
20 Bulgaria 35,6
40 INDONESIA 13,2

Sumber : Basri (2009) dan IMF Working Paper WP/08/129, Mei 2008

Menurut Faisal Basri, beberapa permasalahan pajak diantaranya :


1. Kesadaran pajak yang rendah di kalangan masyarakat, yang diperburuk
oleh minimnya upaya pengenalan pajak.
115
2. Masih tingginya kesulitan riil maupun persepsi pengurusan pajak, yang
diperburuk oleh kualitas pelayanan pajak yang rendah.
3. Ketiadaan penggalian potensi pajak secara optimal, terutama akibat
kelemahan kinerja dan etos kerja aparat pelaksana pemungutan pajak.
4. Politisasi dan korupsi pajak.
Dengan mengatasi permasalahan tersebut, diharapkan pajak dapat meningkat
sehingga negara dapat membiayai kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan salah
satu contohnya pengeluaran untuk kesehatan dan pendidikan.
Pengaruh Pajak Penghasillan (PPh)
Bagi rakyat sebagai pembayar pajak, pada hakikatnya pajak bukanlah
beban melainkan tanggung jawab alamiah seluruh warga negara. Seperti yang
telah disampaikan sebelumnya, pajak berfungsi sebagai sumber pendapatan yang
dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah (fungsi
budgetair). Pajak penghasilan (PPh) merupakan pajak yang wewenang
pemungutannya berada di tangan pemerintah pusat. Selain fungsi budgetair, PPh
berfungsi sebagai alat untuk mengatur kehidupan sosial ekonomi masyarakat
(fungsi regulerend) terutama berkaitan dengan penghasilan. Fungsi PPh tersebut
sesuai dengan peran distributif pemerintah dari sisi penerimaan, yakni pemerintah
mengenakan pajak dan memungut sumber-sumber pendapatan untuk kemudian
diredistribusikannya secara adil dan proporsional.
Dari persamaan reduced III, dengan tingkat keyakinan 95 persen dapat
disimpulkan bahwa pajak penghasilan terbukti signifikan menurunkan
ketimpangan distribusi pendapatan. Setiap pertumbuhan pajak penghasilan (PPh)
116
sebesar 1 persen berimplikasi negatif terhadap pertumbuhan indeks gini ratio
sebesar 0,035 persen. Hasil penelitian yang diperoleh sesuai dengan sasaran utama
dari pajak penghasilan yaitu menciptakan distribusi pendapatan yang lebih merata.
Namun di sisi lain, pajak penghasilan akan mengurangi pendapatan yang
bisa dikonsumsi oleh masyarakat (disposable income). Berkurangnya disposable
income menyebabkan konsumsi rumah tangga berkurang. Dari persamaan
structural V, dengan tingkat keyakinan 95 persen dapat disimpulkan bahwa pajak
penghasilan berpengaruh terhadap konsumsi rumah tangga. Setiap pertumbuhan
pajak penghasilan sebesar 1 persen menyebabkan pertumbuhan konsumsi rumah
tangga berkurang sebesar 0,016 persen. Berdasarkan pemaparan sebelumnya,
berkurangnya konsumsi rumah tangga menyebabkan pertumbuhan ekonomi
berkurang. Sehingga secara tidak langsung, pajak penghasilan berpengaruh
negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Dari persamaan reduced I, dengan
tingkat keyakinan 95 persen dapat disimpulkan bahwa pajak penghasilan (PPh)
terbukti signifikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Setiap pertumbuhan
pajak penghasilan (PPh) sebesar 1 persen menyebabkan pertumbuhan ekonomi
berkurang 0,025 persen.
Pengaruh Upah Minimum Provinsi (UMP)
Upah Minimum Provinsi (UMP) ditetapkan oleh Gubernur dengan
memperhatikan rekomendasi dari dewan pengupahan provinsi, maupun Bupati
dan Walikota. Kesepakatan bersama menentukan jumlah upah minimum bertujuan
agar buruh dapat menerima upah yang dianggap layak untuk memenuhi

kebutuhan hidup. Dalam UU No. 13/2003, pemerintah menetapkan upah


117
minimum berdasarkan nilai kebutuhan hidup layak (KHL). KHL artinya
penghitungan harga bahan-bahan keperluan hidup yang mutlak diperlukan bagi
seorang buruh untuk bertahan hidup sekedarnya.
Dari persamaan structural III, dengan tingkat keyakinan 95 persen dapat
disimpulkan bahwa UMP signifikan mempengaruhi distribusi pendapatan secara
langsung. Setiap pertumbuhan UMP sebesar 1 persen dapat menyebabkan
pertumbuhan negatif indeks gini ratio sebesar 0,3 persen. Selain itu UMP juga
signifikan dalam mempengaruhi tingkat kemiskinan. Dari persamaan structural
IV, dengan tingkat keyakinan 95 persen dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan
UMP sebesar 1 persen dapat menyebabkan HCI turun 4,6 persen. Hasil ini sesuai
dengan peran distribusi dari pemerintah dan tujuan dari penetapan UMP yaitu agar
buruh dapat menerima upah yang layak untuk memenuhi kebutuhannya.
Peningkatan pendapatan yang diterima oleh buruh akibat penetapan UMP
signifikan meningkatkan konsumsi. Dari persamaan structural V, dengan tingkat
keyakinan 95 persen dapat disimpulkan bahwa setiap pertumbuhan UMP sebesar
1 persen menyebabkan pertumbuhan konsumsi rumah tangga sebesar 0,17 persen.
Seperti yang diungkapkan dalam bukunya yang sangat terkenal yakni The
General Theory of Employment, Interest and Money, Keyness menjelaskan
bahwa jumlah konsumsi yang dilakukan oleh rumah tangga berhubungan
langsung dengan pendapatan yang diterimanya. Hubungan antara keduanya
dinamakan fungsi konsumsi.
Fungsi konsumsi menggambarkan tingkat konsumsi pada masing-masing
tingkat pendapatan sektor rumah tangga. Dari Gambar 21 kita dapat melihat
beberapa karakteristik dari kurva konsumsi:
118
1. Kurva Konsumsi memiliki slope yang positif, artinya bila pendapatan
(Y) naik maka konsumsinya (C) naik.
2. Kurva konsumsi memotong sumbu C di atas nol, konsumsinya positif.
Sebagai contoh para pengangguran, anak-anak, orang yang sudah tua
dan tidak berpendapatan tetap melakukan konsumsi walaupun tidak
memiliki pendapatan.
Gambar 21. Teori fungsi konsumsi
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, peningkatan konsumsi akan
memacu pertumbuhan ekonomi, sebaliknya penurunan konsumsi akan
menghambat pertumbuhan ekonomi. Sehingga secara tidak langsung penetapan
UMP akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Dari persamaan reduced I,
dengan tingkat keyakinan 95 persen, dapat disimpulkan bahwa setiap
pertumbuhan UMP sebesar 1 persen menyebabkan pertumbuhan ekonomi sebesar
0,335 persen.
Pertumbuhan ekonomi menyebabkan terciptanya banyak lapangan
pekerjaan sehingga menyerap banyak tenaga kerja dan mengurangi tingkat
pengangguran terbuka. Sehingga secara tidak langsung, UMP mempengaruhi
tingkat pengangguran terbuka. Dari persamaan reduced II, dengan tingkat
keyakinan 95 persen dapat disimpulkan bahwa setiap pertumbuhan UMP sebesar
1 persen akan menyebabkan TPT berkurang 4,7 persen. Pracoyo (2007)
C=f(Y)
C

119

menyatakan, seandainya dalam perekonomian terjadi penurunan tingkat


konsumsi masyarakat yang disebabkan oleh penurunan pendapatan maka
produsen akan menyikapi hal tersebut dengan cara mengurangi kegiatan produksi.
Apabila kegiatan produksi turun maka akan mengurangi jumlah tenaga kerja dan
terciptalah pengangguran (hal. 13). Sebaliknya jika konsumsi masyarakat
meningkat akibat peningkatan pendapatan maka produsen akan menyikapi hal
tersebut dengan cara menambah kegiatan produksi. Peningkatan kegiatan produksi
akan menambah jumlah tenaga kerja dan mengurangi pengangguran.
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, berkurangnya tingkat
pengangguran terbuka menyebabkan berkurangnya kemiskinan dan distribusi
pendapatan. Sehingga selain pengaruh secara langsung (persamaan structural IV
dan structural III), UMP juga mempengaruhi kemiskinan dan distribusi
pendapatan secara tidak langsung. Dari persamaan reduced IV, dengan tingkat
keyakinan 95 persen dapat disimpulkan bahwa pengaruh total dari setiap
pertumbuhan UMP sebesar 1 persen menyebabkan persentase penduduk miskin
(HCI) turun 6,37 persen. Sedangkan dari persamaan reduced III, dengan tingkat
keyakinan 95 persen dapat disimpulkan bahwa pengaruh total dari setiap
pertumbuhan UMP sebesar 1 persen dapat menyebabkan pertumbuhan negatif
indeks gini ratio sebesar 0,13 persen.
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa UMP memiliki peran
strategis dalam mengatasi masalah pengangguran, kemiskinan dan distribusi
pendapatan di Indonesia. Peningkatan UMP dapat mengurangi tingkat
kemiskinan, menciptakan distribusi pendapatan yang lebih merata, memacu
pertumbuhan ekonomi dan menambah penyerapan tenaga kerja dalam hal ini
120
berarti mengurangi tingkat pengangguran. Oleh karena itu jumlah upah minimum
provinsi hendaknya lebih ditingkatkan dan disesuaikan dengan nilai kebutuhan
hidup layak. Berdasarkan dari data Depnakertrans (2009), hampir di seluruh
provinsi, jumlah UMP yang ditetapkan masih dibawah KHL-nya.
Tabel 13. Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Nilai Kebutuhan Hidup Layak
(KHL) tahun 2007 2008
No Provinsi
UMP (ribu rupiah) KHL (ribu rupiah)
2007 2008 2007 2008
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1 N.A. Darussalam 850 1.000 920 1.100
2 Sumatera Utara 761 822 714 783
3 Sumatera Barat 725 800 760 871
4 Riau 710 800 774 816
5 Jambi 658 724 693 734
6 Sumatera Selatan 662 743 753 1.100
7 Bengkulu 644 684 644 715
8 Lampung 555 617 590 9 Bangka Belitung 720 813 830 979
10 DKI Jakarta 901 973 992 1.055
11 Jawa Barat 517 568 607 614
12 Jawa Tengah 500 547 586 612
13 D.I. Yogyakarta 500 586 657 687
14 Jawa Timur 448 500 459 544
15 Banten 746 837 764 851
16 Bali 622 683 704 711
17 Nusa Tenggara Barat 645 730 645 730

18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30

Nusa Tenggara Timur 600 650 735 783


Kalimantan Barat 560 645 722 777
Kalimantan Tengah 666 766 753 825
Kalimantan Selatan 745 825 768 790
Kalimantan Timur 766 815 883 935
Sulawesi Utara 750 845 705 802
Sulawesi Tengah 615 670 635 733
Sulawesi Selatan 673 740 677 755
Sulawesi Tenggara 640 700 653 640
Gorontalo 560 760 600 799
Maluku 635 700 1.091 1.183
Maluku Utara 660 700 1.475 1.090
Papua 987 1.106 941 1.639

Sumber : Kuncoro (2010)


121
Berdasarkan Tabel 13, dari 30 provinsi yang diamati pada penelitian ini,
hanya 4 provinsi saja yang jumlah UMP nya diatas nilai KHL. Provinsi tersebut
adalah Provinsi Sumatera Utara, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara dan
Sulawesi Tenggara. Sedangkan provinsi lainnya memiliki UMP yang kurang dari
atau sama dengan KHL.
Pengaruh Inflasi
Stabilitas ekonomi ditandai oleh rendahnya tingkat inflasi. Tingkat inflasi
juga merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam mewujudkan
kesejahteraan masyarakat sebagai tujuan akhir pembangunan ekonomi.
Peningkatan pendapatan per kapita dapat menjadi sia-sia jika tidak dibarengi
dengan upaya pengendalian inflasi. Untuk itu dalam peranannya sebagai
stabilisator, pemerintah harus mengendalikan tingkat inflasi.
Dari persamaan structural IV, dengan tingkat keyakinan 95 persen dapat
disimpulkan bahwa inflasi mempengaruhi tingkat kemiskinan dengan signifikan.
Setiap peningkatan inflasi sebesar 1 persen akan menyebabkan persentase
penduduk miskin meningkat sebesar 0,034 persen. Hasil ini sesuai dengan
penelitian Yusuf (2010) yang membuktikan bahwa tingginya tingkat inflasi akan
menyebabkan persentase penduduk miskin meningkat. Dalam penelitiannya,
Yusuf (2010) menyatakan bahwa setiap kenaikan inflasi sebesar 1 persen, dapat
meningkatkan persentase penduduk miskin 0,1 persen.
Dari persamaan reduced III, dengan tingkat keyakinan 95 persen dapat
dibuktikan bahwa inflasi mempengaruhi distribusi pendapatan. Setiap kenaikan
inflasi sebesar 1 persen dapat menyebabkan pertumbuhan indeks gini ratio
122
sebesar 0,003 persen. Hasil ini sesuai dengan penelitian Sumarlin (1992) dalam
Komalasari (1992) yang menyatakan bahwa inflasi akan memberikan beban bagi
masyarakat terutama yang berpendapatan tetap (upah dan gaji), karena upah dan
gaji relatif tidak mudah disesuaikan dengan tingkat inflasi. Sementara pendapatan
kelompok lain (bukan penerima upah dan gaji seperti pedagang, pengusaha,
pemilik modal), relatif dapat disesuaikan dengan tingkat inflasi. Dengan
demikian, kesenjangan pendapatan antara kelompok penerima upah dan gaji
dengan kelompok bukan penerima upah dan gaji semakin besar, yang berarti
distribusi pendapatan semakin tidak merata.
Kenaikan inflasi jelas menjadi beban bagi masyarakat Indonesia. Naiknya
harga sejumlah barang dapat menyebabkan penurunan pendapatan riil masyarakat,
yang berarti akan menurunkan daya beli masyarakat. Penurunan daya beli

masyarakat akan mengurangi konsumsi rumah tangga. Dari persamaan structural


V, dengan tingkat keyakinan 95 persen dapat disimpulkan bahwa inflasi
mempengaruhi konsumsi rumah tangga. Setiap kenaikan inflasi sebesar 1 persen
dapat menyebabkan pertumbuhan konsumsi rumah tangga berkurang 0,001
persen. Hasil ini sesuai dengan penelitian Evans (1969) dalam Dumairy (1999)
yang membuktikan bahwa inflasi memiliki pengaruh negatif yang signifikan
terhadap konsumsi rumah tangga.
Inflasi merupakan indikator kenaikan sejumlah harga barang di pasaran.
Dari sisi penawaran, kenaikan harga akan memacu produsen meningkatkan
produksinya. Sedangkan dari sisi permintaan, kenaikan harga justru menyebabkan
konsumen mengurangi konsumsinya. Ambiguitas dari akibat inflasi ini
menyebabkan pengaruh dari inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi tidak
123
signifikan. Hasil ini ditunjukkan oleh persamaan structural I dan persamaan
reduced I.
Selain itu, kenaikan inflasi akan menyebabkan pengangguran meningkat.
Mudrajad Kuncoro (2009) menyatakan bahwa ada hubungan positif antara inflasi
dengan pengangguran di Indonesia yang tidak sesuai dengan teori kurva Phillips.
Teori William Phillips (1958) menunjukkan bahwa ada hubungan negatif antara
inflasi dan pengangguran. Apabila inflasi tinggi maka pengangguran rendah dan
sebaliknya. Untuk kasus Indonesia, inflasi yang tinggi justru akan menyebabkan
gangguan di sisi demand yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi kontraksi,
yang pada gilirannya menyebabkan pengangguran meningkat. Dari persamaan
structural II, dengan tingkat keyakinan 90 persen dapat disimpulkan bahwa setiap
kenaikan inflasi sebesar 1 persen menyebabkan persentase pengangguran
meningkat 0,028 persen.
Pengaruh Angka Melek Huruf (AMH)
Dalam penelitian ini, dari persamaan reduced I, reduced II, dan reduced
III dengan tingkat keyakinan 95 persen tidak dapat dibuktikan bahwa AMH
berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran terbuka dan
tingkat ketimpangan distribusi pendapatan. Dari persamaan structural IV, dapat
disimpulkan bahwa AMH (literacy rate) secara langsung mempengaruhi tingkat
kemiskinan. Setiap kenaikan angka melek huruf sebesar 1 satuan menyebabkan
persentase penduduk miskin berkurang 0,32 persen. Namun demikian, karena
tidak signifikan memacu pertumbuhan ekonomi, menurunkan tingkat
pengangguran dan tingkat ketimpangan distribusi pendapatan, pengaruh total dari
124
AMH terhadap tingkat kemiskinan menjadi tidak signifikan (persamaan reduced
IV). Hal tersebut diduga karena AMH merupakan variabel sosial yang
pergerakannya tidak terlalu berfluktuatif dan cenderung konstan dalam periode
penelitian sehingga tidak mampu menjelaskan pergerakan dari kemiskinan,
pengangguran dan ketimpangan distribusi pendapatan.
Pengaruh Sektor Informal yang Semakin Menjadi Andalan
Pada masa krisis moneter tahun 1998, wajar rasanya apabila jutaan orang
yang kehilangan pekerjaannya di sektor formal beralih kepada sektor informal
untuk menyambung hidup. Banyak pekerja kantoran yang beralih profesi menjadi
tukang ojek, membuka warung, montir, tukang sayur dan mencari objekan sana
sini (Basri, 2009). Sektor informal merupakan sektor yang terbukti bertahan
ketika badai krisis moneter melanda negara Indonesia. Namun sungguh
disayangkan kalau ternyata sampai saat ini masih banyak orang Indonesia yang

harus bekerja seperti itu. Berdasarkan data BPS, pada tahun 2006 jumlah orang
yang bekerja di sektor informal adalah 65,78 juta orang atau 68,9 persen dari
jumlah orang yang bekerja. Pada tahun 2007, proporsi orang yang bekerja di
sektor informal dibandingkan jumlah orang yang bekerja meningkat menjadi
69,05 persen atau 69 juta orang (Tabel 14).
Dari persamaan reduced II, dengan tingkat keyakinan 95 persen dapat
disimpulkan bahwa perkembangan sektor informal berpengaruh terhadap tingkat
pengangguran. Setiap peningkatan proporsi pekerja sektor informal sebesar 1
persen akan mengurangi tingkat pengangguran terbuka sebesar 0,086 persen. Bagi
penduduk yang tidak memiliki pekerjaan ataupun bagi yang baru saja kehilangan
125
pekerjaan di sektor formal, beralih profesi menjadi pekerja sektor informal tentu
menjadi salah satu solusi bagi mereka. Mereka akan mengusahakan apa saja guna
mencari sedikit keuntungan ataupun imbalan sekedar untuk menyambung hidup.
Tabel 14. Pengelompokkan pekerja di Indonesia menurut status ketenagakerjaan
tahun 2006 dan 2007
Status Ketenagakerjaan
Jumlah Penduduk
Indonesia (Juta Jiwa)
Persentase Pekerja di
Indonesia (%)
2006 2007 2006 2007
(1) (2) (3) (4) (5)
Sektor Formal 29,67 30,92 31,08 30,94
Majikan 2,85 2,88 2,99 2,88
Pegawai Tetap 26,82 28,04 28,10 28,06
Sektor Informal 65,78 69,00 68,91 69,05
Bekerja Sendiri 19,50 20,32 20,43 20,33
Bekerja Sendiri Plus Asisten Tidak Tetap 19,95 21,02 20,90 21,03
Buruh Musiman Pertanian 5,54 5,92 5,80 5,92
Buruh Musiman Non-pertanian 4,62 4,46 4,84 4,46
Pekerja Tanpa Upah Tetap 16,17 17,28 16,94 17,29
Total 95,46 99,93 100,00 100,00
Sumber : Kuncoro (2010)
Namun, dari persamaan reduced IV, dapat disimpulkan bahwa meskipun
memiliki koefisien negatif yang menunjukkan perkembangan sektor informal
menurunkan kemiskinan, namun pengaruhnya tidak signifikan. Memang ada
beberapa kisah sukses dari orang yang bekerja di sektor informal kemudian dapat
melepaskan diri dari jerat kemiskinan. Tetapi, jumlahnya tidak banyak. Sebagian
besar dari pekerja sektor informal justru menerima imbalan sangat rendah,
sampai-sampai tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan paling mendasar.
Dari Tabel 15 dapat dilihat bahwa upah rata-rata pekerja di sektor informal
sedemikian rendahnya. Selain itu kenyataan lain yang lebih mengiris adalah
pendapatan riil rata-rata pekerja sektor informal kian merosot. Contohnya
pembantu rumah tangga, secara nominal gajinya memang naik tiap tahun, namun
kenaikan itu tidak sebanding dengan kenaikan harga-harga sehingga kenyataannya
126
nilai barang dan jasa yang dibeli dengan pendapatan itu dari tahun ke tahun
semakin sedikit (Basri, 2009).
Tabel 15. Perkembangan upah sektor informal di Indonesia tahun 2004 2008

Periode
Upah Nominal
Rata-rata (Rp)
Pertumbuhan
Nominal Tahunan
(%)
Pertumbuhan Riil
Tahunan (%)
BB* PPR* PRT** BB PPR PRT BB PPR PRT
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
Jan-Jun 2004 26.366 6.351 139.618
Jan-Jun 2005 29.943 6.865 151.043 13,6 8,1 8,2 5,5 0,3 0,5
Jan-Jun 2006 33.831 7.627 160.396 13,0 11,1 6,2 -2,8 -4,4 -8,6
Jan-Jun 2007 35.455 7.907 169.644 4,8 3,7 5,8 -1,3 -2,4 -0,4
Mei 2007 35.608 7.927 170.624
Mei 2008 38.127 8.145 179.616 7,1 2,8 5,3 -3,0 -6,9 -4,6
Keterangan : * = Rata-Rata upah nominal per hari
** = Rata-Rata upah nominal per bulan
BB = Buruh Bangunan
PPR = Perempuan Penata Rambut
PRT = Pembantu Rumah Tangga
Sumber : Basri (2009)
Dengan upah rata-rata para pekerja sektor informal yang rendah,
perkembangan sektor informal selain tidak signifikan menurunkan kemiskinan
menyebabkan distribusi pendapatan semakin timpang. Dari persamaan reduced
III, dengan tingkat keyakinan 95 persen dapat disimpulkan bahwa perkembangan
sektor informal signifikan mempengaruhi ketimpangan distribusi pendapatan.
Peningkatan proporsi pekerja sektor informal sebesar 1 persen menyebabkan
pertumbuhan indeks gini ratio sebesar 0,006 persen.
Selain itu, pengaruh perkembangan sektor informal terhadap pertumbuhan
ekonomi relatif tidak signifikan seperti yang ditunjukkan oleh persamaan reduced
I. Fakta bahwa saat ini hampir 70 persen penduduk bekerja di sektor informal
jelas bukan merupakan kenyataan sosial dan ekonomi yang menggembirakan.
127
Menurut Faisal Basri tahun 2009, semakin kecil sektor informal dalam
perekonomian, dan semakin besar sektor formalnya, maka akan semakin baik
perekonomian yang bersangkutan (hal. 67).
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, perkembangan sektor informal
memang signifikan menurunkan tingkat pengangguran terbuka. Namun,
perkembangan sektor informal memiliki sumbangsih yang kecil terhadap
perekonomian. Selain itu, perkembangan sektor informal tidak signifikan dalam
menurunkan kemiskinan dan justru menyebabkan distribusi pendapatan semakin
tidak merata. Menurut Faisal Basri, banyak alasan untuk memperkecil proporsi
orang yang bekerja di sektor informal, diantaranya imbalan bagi para pekerja
sektor informal sangat rendah dan pekerja sektor informal tidak dilindungi oleh
jaminan sosial apa pun.
Di sinilah pentingnya pemerintah turun tangan mengurangi proporsi orang
yang bekerja di sektor informal. Pengurangan yang dimaksud disini bukanlah
dengan cara melarang ataupun menindas pelakunya, melainkan dengan berusaha
segera mengembangkan sektor informal menjadi sektor formal. Selain alasan yang

telah disebutkan, pemerintah sendiri memiliki kepentingan untuk berperan aktif


dalam mengembangkan sektor informal menjadi sektor formal, yakni untuk
memperbesar basis pajak demi kesinambungan pendapatan negara di masa yang
akan datang. Faisal Basri menyatakan bahwa sebesar apapun sektor informal,
sumbangannya bagi pendapatan negara tidak bisa diharapkan karena mereka tidak
membayar pajak. Kalau saja sektor informal bisa dibenahi, maka perekonomian
nasional akan memperoleh sumber pendapatan yang besar karena bagaimanapun
sebagian besar pekerja di Indonesia bekerja di sektor informal.
128
4.8. Peran PDRB per Sektor Terhadap Kemiskinan, Pengangguran dan
Ketimpangan Distribusi Pendapatan di Indonesia
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, pertumbuhan ekonomi
berkaitan erat dan memiliki peranan penting terhadap pengurangan pengangguran,
kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan. Hal tersebut membuat penulis
berkepentingan untuk mengkaji lebih dalam lagi pertumbuhan PDRB sektor
apakah yang harus diprioritaskan untuk dikembangkan dalam upaya mengatasi
permasalahan pengangguran, kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan.
Untuk menjawab tujuan terakhir penelitian yaitu mengetahui pertumbuhan
PDRB sektor apa yang harus digiatkan untuk mengurangi pengangguran, tidak
memperlebar ketimpangan distribusi pendapatan dan mengentaskan kemiskinan di
Indonesia, penulis menggunakan 3 persamaan tunggal (single equation) yaitu
persamaan TPT, persamaan GINI dan persamaan HCI. Persamaan TPT
menggunakan metode estimasi Fixed effect no weight, sedangkan kedua model
lainnya menggunakan metode estimasi Fixed effect cross section weight. Hal ini
dikarenakan melalui uji lagrange multiplier untuk struktur varians dan kovarians
residual secara statistik dapat dibuktikan bahwa struktur varians dan kovarians
dari persamaan GINI dan persamaan HCI adalah heteroskedastik. Karena itu,
estimasi keduanya dilakukan dengan EGLS (Cross section weight) untuk
mengakomodasi terjadinya pendugaan yang tidak efisien akibat pelanggaran
terhadap asumsi homoskedastik. Selain itu, digunakan pula Cross section SUR
(PCSE) sebagai injeksi awal pada struktur varians dan kovarians untuk
mengantisipasi adanya gangguan correlation antar cross-section pada saat
permodelan.
129
Tabel 16. Persamaan pertumbuhan PDRB per sektor terhadap pengangguran,
kemiskinan dan distribusi pendapatan di Indonesia
Variabel Independen
Variabel Dependen
TPT GINI HCI
(1) (2) (3) (4)
Log(PDRB1) -12,655210 ** -0,230917 * -16,409880 **
Log(PDRB2) -0,436103 0,120263 ** 1,937802 **
Log(PDRB3) -7,213001 ** 0,055459 -1,677270 *
Log(PDRBN) -5,754548 ** 0,118554 -7,769045 **
Initial Poverty - - 0,225281 **
Initial Unemployment -0,188623 ** - Konstanta 415,217700 ** -1,978397 ** 392,988100 **
Fixed Effect (Cross) Lampiran Lampiran Lampiran
Ringkasan Statistik
R-Squared 0,977693 0,841489 0,997143

Adjusted R-Squared 0,963902 0,780665 0,995377


Prob(F-Stat) 0,000000 0,000000 0,000000
Catatan : **signifikan pada taraf nyata 5 persen ; * taraf nyata 10 persen
PDRB1 = PDRB sektor pertanian
PDRB2 = PDRB sektor pertambangan
PDRB3 = PDRB sektor industri pengolahan
PDRBN = PDRB sektor non-tradeable
Selain pengujian terhadap struktur varians dan kovarians untuk
pengecekan asumsi homoskedastisitas, ketiga persamaan juga telah melewati
pengujian asumsi normalitas (Lampiran 10). Sedangkan untuk pengujian asumsi
non-autokorelasi, penulis menggunakan statistik uji Durbin Watson, dimana
semua model secara statistik dapat dinyatakan lolos asumsi non-autokorelasi.
Selain telah lulus uji asumsi, ketiga model valid digunakan karena memiliki
probabilitas (F-Stat) yang kurang dari 0,01 menunjukkan masing-masing model
memiliki variabel bebas yang secara bersama-sama dapat mempengaruhi variabel
tak bebasnya. Selain itu nilai adjusted R-squared dari persamaan TPT, GINI dan
HCI yang masing-masing adalah 96 %, 78 % dan 99 %, menunjukkan bahwa
variabel bebas yang digunakan telah dapat menjelaskan variasi dari masing130
masing variabel tak bebas dengan sangat baik. Oleh karena itu, ketiga model
selanjutnya dapat diinterpretasikan untuk menjawab tujuan terakhir penelitian ini.
Dari persamaan TPT, dengan tingkat keyakinan 95 persen dapat
dismpulkan bahwa pertumbuhan PDRB sektor pertanian, industri pengolahan dan
sektor non-tradeable signifikan menurunkan tingkat pengangguran terbuka.
Sedangkan, pertumbuhan PDRB sektor pertambangan tidak dapat dibuktikan
secara statistik signifikan menurunkan tingkat pengangguran terbuka. Hal ini
dikarenakan sektor pertambangan tidak menyerap jumlah tenaga kerja yang
banyak. Berdasarkan data BPS tahun 2008, orang yang bekerja di sektor
pertambangan hanya 1 persen dari total pekerja di Indonesia (Gambar 15).
Sektor pertanian berkontribusi terbesar dalam pengurangan pengangguran.
Setiap pertumbuhan PDRB sektor pertanian sebesar 1 persen dapat mengurangi
tingkat pengangguran terbuka sebesar 12,7 persen dalam kondisi yang lain cateris
paribus. Sektor pertanian merupakan lapangan pekerjaan utama di negara
Indonesia dimana lebih dari 40 persen penduduknya bekerja di sektor ini. Sektor
berikutnya yang berkontribusi terbesar dalam pengurangan tingkat pengangguran
terbuka (TPT) adalah sektor industri pengolahan. Setiap pertumbuhan PDRB
sektor industri pengolahan sebesar satu persen dapat mengurangi tingkat
pengangguran terbuka sebesar 7,21 persen dalam kondisi yang lain cateris
paribus. Terakhir, sektor yang berkontribusi dalam pengurangan tingkat
pengangguran terbuka adalah sektor non-tradeable. Setiap pertumbuhan PDRB
sektor non-tradeable sebesar 1 persen dapat mengurangi tingkat pengangguran
terbuka turun sebesar 5,8 persen dalam kondisi yang lain cateris paribus.
131
Selain berkontribusi terhadap pengurangan tingkat pengangguran terbuka,
sektor pertanian, industri pengolahan dan non-tradeable juga berperan dalam
mempengaruhi tingkat kemiskinan (HCI). Dari persamaan HCI, dengan tingkat
keyakinan 95 persen dapat disimpulkan bahwa sektor pertanian signifikan dalam
menurunkan tingkat kemiskinan (HCI). Sektor pertanian berkontribusi paling
besar terhadap penurunan tingkat kemiskinan. Setiap pertumbuhan PDRB sektor
pertanian sebesar 1 persen dapat menyebabkan tingkat kemiskinan berkurang
sebesar 16,4 persen dalam kondisi yang lain cateris paribus.

Temuan ini relevan dengan berbagai hasil penelitian lain yang juga
menelaah peran pertumbuhan ouput atau pendapatan di sektor pertanian terhadap
pengurangan kemiskinan di perdesaan maupun secara keseluruhan. Hasil
penelitian Sumarto dan Suryahadi (2003) menunjukkan pertumbuhan PDRB
sektor pertanian signifikan dalam menurunkan poverty headcount di wilayah
perdesaan Indonesia, begitupula dengan hasil penelitian Ravallion dan Datt (1996)
dalam Tambunan (2009) yang menunjukkan bahwa pertumbuhan PDB di sektor
primer, khususnya pertanian, jauh lebih efektif terhadap penurunan kemiskinan
dibandingkan sektor lainnya. Bahkan hal ini dinyatakan dengan jelas oleh Mellor
(2000) sebagai berikut: There has been a tendency to generalize that economic
growth reduces poverty when in fact it is the direct and indirect effect or
agricurtural growth that accounts for virtually all the poverty decline (hal. 3).
Meskipun tidak seefektif sektor pertanian, pertumbuhan PDRB sektor
industri pengolahan dan non-tradeable juga terbukti signifikan dalam menurunkan
tingkat kemiskinan. Dari persamaan HCI, setiap pertumbuhan PDRB sektor
industri pengolahan dan non-tradeable masing-masing berkontribusi terhadap
132
penurunan kemiskinan sebesar 1,7 persen dan 7,8 persen. Besarnya kontribusi
sektor non-tradeable dalam menurunkan kemiskinan diduga disebabkan besarnya
kontribusi jasa-jasa terutama dari sektor informal. Hasil penelitian ini relevan
dengan penelitian Hasan dan Quibria (2002) dalam Tambunan (2009) dan ADB
(1997) yang menunjukkan bahwa pertumbuhan PDB di sektor industri pengolahan
mempunyai dampak positif yang sangat besar terhadap peningkatan kesempatan
kerja dan penurunan kemiskinan.
Dari persamaan HCI, dengan tingkat keyakinan 95 persen dapat
disimpulkan bahwa pertumbuhan PDRB sektor pertambangan justru dapat
menyebabkan peningkatan persentase penduduk miskin. Setiap pertumbuhan
PDRB sektor pertambangan sebesar 1 persen menyebabkan peningkatan
persentase penduduk miskin sebesar 1,9 persen dalam kondisi yang lain cateris
paribus.
Dari persamaan GINI, dengan tingkat keyakinan 95 persen dapat
disimpulkan bahwa ada dua sektor yang berpengaruh signifikan terhadap indeks
gini ratio yaitu sektor pertanian dan sektor pertambangan. Sedangkan sektor
industri pengolahan dan non-tradeable secara statistik tidak terbukti signifikan
dalam mempengaruhi indeks gini ratio. Dari persamaan tersebut, dapat dinyatakan
bahwa setiap pertumbuhan PDRB sektor pertanian sebesar 1 persen dapat
menurunkan pertumbuhan indeks gini ratio sebesar 0,23 persen. Sedangkan
pertumbuhan PDRB sektor pertambangan justru dapat menyebabkan distribusi
pendapatan semakin tidak merata. Setiap pertumbuhan PDRB sektor
pertambangan sebesar 1 persen menyebabkan pertumbuhan indeks gini ratio
sebesar 0,12 persen.
133
Setelah kita mengkaji peran pertumbuhan PDRB masing-masing sektor
terhadap kemiskinan, pengangguran dan distribusi pendapatan, kita dapat
memperoleh beberapa kesimpulan yang menarik. Pertumbuhan PDRB sektor
pertambangan secara statistik tidak signifikan dalam menurunkan tingkat
pengangguran terbuka dan justru menyebabkan peningkatan persentase penduduk
miskin dan pertumbuhan indeks gini ratio yang mengindikasikan distribusi
pendapatan semakin timpang (cateris paribus). Pertumbuhan PDRB sektor
industri pengolahan dan non-tradeable meskipun signifikan dalam menurunkan

tingkat pengangguran terbuka dan tingkat kemiskinan tetapi tidak signifikan


dalam mengurangi ketimpangan distribusi pendapatan. Sedangkan, Pertumbuhan
PDRB sektor pertanian merupakan satu-satunya pertumbuhan PDRB sektoral
yang secara statistik dapat menurunkan tingkat pengangguran terbuka, tingkat
kemiskinan sekaligus indeks gini ratio.
Sektor pertanian merupakan sumber pendapatan bagi sebagian besar
rumah tangga berpendapatan rendah. Dengan demikian upaya pengurangan
pengangguran, kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan dapat secara
efektif dilakukan melalui pembangunan pertanian. Hasil simpulan ini relevan
dengan penelitian Yudhoyono (2004) yang menyatakan bahwa pertumbuhan
PDRB pertanian lebih efektif dalam pengurangan pengangguran dan kemiskinan.
Pertumbuhan PDRB pertanian dapat mendorong pertumbuhan PDRB total.
Pertumbuhan PDRB total ini mengakibatkan penurunan persentase pengangguran
dan kemiskinan.
Dari pemaparan sebelumnya, jelaslah sudah bahwa pertumbuhan PDRB
yang terutama harus dikembangkan adalah pertumbuhan PDRB sektor pertanian.
134
Hal ini sesuai dengan pidato Bung Hatta, founding father bangsa Indonesia pada
Februari 1946 tentang Ekonomi Indonesia di Masa Depan. Bung Hatta
menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara agraris maka landasan
pembangunan harus dimulai dari pembangunan pertanian (Wiranto, 2009).
Upaya-upaya nyata dari pemerintah perlu dilakukan untuk pembangunan
pertanian. Menurut Wiranto (2009), upaya-upaya pemerintah tersebut diantaranya
adalah menyediakan dan memperbaiki infrastruktur dasar yang diperlukan dalam
pembangunan pertanian, misalnya: pengadaan jalan, jembatan, sistem irigasi,
penelitian dan pengembangan serta penyuluhan. Hal yang tidak kalah pentingnya
adalah memperkuat pasar sebagai media yang akan mempertemukan transaksi
antara sektor hulu dan hilir pertanian. Dan yang terakhir adalah menggandeng
pelaku ekonomi swasta (private sector) untuk mengeksekusi kegiatan lanjutan di
sektor pertanian, khususnya pemasaran dan pengolahan komoditas pertanian
sehingga memiliki keterkaitan dengan sektor non-pertanian.
Pertumbuhan PDRB sektor pertanian memang harus lebih ditingkatkan.
Pertumbuhan sektor pertanian akan memacu pertumbuhan sektor non-pertanian
(Yudhoyono, 2004). Pemerintah menunjukkan kesadaran atas pentingnya hal
tersebut dengan melaksanakan kebijakan revitalisasi pertanian. Revitalisasi sendiri
berarti menghidupkan kembali. Implikasi dari kebijakan revitalisasi pertanian
adalah kecenderungan pertumbuhan PDB sektor pertanian yang meningkat dari
2,5 persen per tahun pada 2005 menjadi 4,8 persen per tahun pada 2008. Menurut
Basri (2009), dengan kualitas pertumbuhan yang lebih baik (lebih seimbang), kita
dapat meredam permasalahan pengangguran dan pada gilirannya juga mengatasi
masalah kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan.
135
136
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Beberapa kesimpulan yang dapat dikemukakan berdasarkan hasil dan
pembahasan yaitu:
1. Dalam periode penelitian, tidak terjadi penurunan yang berarti baik dari segi
jumlah maupun persentase penduduk miskin. Pada tahun 2006, terjadi

peningkatan penduduk miskin yang menunjukkan salah satu dimensi penting


dari kemiskinan yaitu tingginya tingkat rentan miskin di Indonesia. Selain itu,
permasalahan lain dari kemiskinan adalah disparitas, baik yang terjadi antar
perkotaan dengan perdesaan dan antar provinsi.
2. Dalam periode penelitian, terdapat kecenderungan penurunan tingkat
pengangguran terbuka (TPT), sedangkan distribusi pendapatan diindikasikan
semakin tidak merata baik pada level nasional maupun level provinsi.
3. Apabila ditinjau dari PDB agregat, kinerja perekonomian Indonesia memang
tumbuh dengan mantap dalam periode penelitian. Namun, pertumbuhan
tersebut tidak seimbang pada berbagai sektor. Pertumbuhan PDB yang tinggi
ironisnya terjadi pada sektor non-tradeable yang padat teknologi dan minim
tenaga kerja, seperti sektor: keuangan dengan komunikasi dan transportasi.
Hal tersebut merupakan salah satu penyebab kemiskinan sulit teratasi dan
distribusi pendapatan semakin tidak merata di Indonesia.
4. Pertumbuhan ekonomi memang tidak signifikan menurunkan tingkat
kemiskinan (HCI) secara langsung. Namun demikian, dengan menurunkan
tingkat pengangguran terbuka (TPT), pertumbuhan ekonomi secara tidak
137
langsung memiliki peran penting dalam menurunkan tingkat kemiskinan. Hal
tersebut dikarenakan penurunan TPT menyebabkan HCI berkurang.
5. Dengan menurunkan TPT, pertumbuhan ekonomi secara tidak langsung juga
berperan dalam menciptakan distribusi pendapatan yang lebih merata. Namun
dalam periode penelitian, sektor yang tumbuh pesat adalah sektor nontradeable
yang padat teknologi dan minim tenaga kerja. Kondisi tersebut
menyebabkan distribusi pendapatan semakin tidak merata di Indonesia.
6. Pertumbuhan ekonomi memiliki peran dan keterkaitan terhadap kemiskinan,
pengangguran dan ketimpangan distribusi pendapatan. Jika kita kaji masingmasing
sektor ternyata pertumbuhan PDRB sektor pertambangan tidak
signifikan menurunkan TPT. Akibatnya, kemiskinan sulit teratasi dan
distribusi pendapatan semakin tidak merata. Pertumbuhan PDRB sektor
industri pengolahan dan non-tradeable meskipun signifikan dalam
menurunkan TPT dan HCI, tetapi tidak signifikan dalam mengurangi
ketimpangan distribusi pendapatan. Sedangkan pertumbuhan PDRB pertanian
merupakan satu-satunya pertumbuhan PDRB sektoral yang secara statistik
dapat menurunkan TPT, HCI dan ketimpangan distribusi pendapatan secara
sekaligus.
7. Intervensi pemerintah juga berperan dalam mengatasi permasalahan HCI, TPT
dan ketimpangan distribusi pendapatan. Pengaruh pengeluaran pemerintah
untuk kesehatan dan pendidikan memang tidak signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi (short term). Namun, pengeluaran pemerintah untuk
kesehatan dan pendidikan signifikan menurunkan TPT dan HCI.
138
8. Pajak daerah signifikan dalam memacu pertumbuhan ekonomi dan
menurunkan tingkat kemiskinan. Namun demikian, pajak daerah tidak
signifikan menurunkan TPT. Hal tersebut berimplikasi terhadap distribusi
pendapatan yang menjadi tidak merata.
9. Dana alokasi umum (DAU) signifikan dalam memacu pertumbuhan ekonomi
dan menurunkan TPT. DAU menjadi sumber pendapatan terbesar daerah
dalam membiayai pengeluarannya.
10. Dana alokasi khusus (DAK) signifikan menurunkan TPT dan HCI. Namun

demikian, karena sifatnya yang spesifik dan tujuannya yang bersifat khusus,
DAK tidak dapat dinikmati seluruh masyarakat Indonesia. Hal ini
menyebabkan pengaruh DAK terhadap tingkat ketimpangan distribusi
pendapatan adalah positif.
11. Pajak penghasilan (PPh) signifikan dalam menciptakan distribusi pendapatan
yang lebih merata, hal ini sesuai dengan tujuan dan sasaran yang ingin
dicapai-nya. Namun demikian, PPh menyebabkan disposable income
berkurang, sehingga konsumsi berkurang dan berimplikasi terhadap
pengurangan pertumbuhan ekonomi.
12. Selain PPh, intervensi pemerintah lainnya yang bertujuan untuk menciptakan
distribusi pendapatan yang lebih merata adalah penetapan Upah Minimum
Provinsi (UMP). Selain signifikan menurunkan tingkat ketimpangan distribusi
pendapatan, UMP signifikan menurunkan HCI. Perbaikan tingkat
kesejahteraan (dalam hal ini HCI dan tingkat ketimpangan distribusi
pendapatan turun) menyebabkan konsumsi meningkat. Peningkatan tersebut
disikapi oleh produsen dengan cara menambah kegiatan produksi. Hal ini
139
menyebabkan terjadinya penyerapan tenaga kerja dan berimplikasi terhadap
berkurangnya TPT.
13. Inflasi menyebabkan peningkatan HCI dan distribusi pendapatan semakin
tidak merata. Selain itu, kenaikan inflasi menyebabkan penurunan daya beli
masyarakat yang berimplikasi terhadap penurunan konsumsi rumah tangga.
Inflasi merupakan kenaikan harga sejumlah barang di pasaran. Dari sisi
penawaran, kenaikan harga akan memacu produsen meningkatkan
produksinya. Namun, dari sisi permintaan, kenaikan harga justru
menyebabkan konsumen mengurangi konsumsinya. Ambiguitas dari inflasi ini
menyebabkan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi tidak signifikan.
Akibatnya, pengaruh inflasi terhadap TPT juga tidak signifikan.
14. Tingkat pendidikan dalam penelitian ini, diwakili oleh Angka Melek Huruf
(AMH), secara statistik tidak dapat dibuktikan signifikan memengaruhi
tingkat kemiskinan, tingkat pengangguran terbuka dan ketimpangan distribusi
pendapatan di Indonesia.
15. Perkembangan sektor informal menurunkan TPT. Namun demikian, upah
yang diterima di sektor informal tentu tidak banyak. Akibatnya,
perkembangan sektor informal tidak signifikan dalam menurunkan HCI dan
justru mengakibatkan distribusi pendapatan semakin tidak merata. Selain itu,
perkembangan sektor informal memiliki sumbangsih yang kecil terhadap
pertumbuhan ekonomi.
140
5.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian, penulis mengajukan saran
sebagai berikut:
1. Pertumbuhan ekonomi memiliki peran dan keterkaitan penting terhadap
kemiskinan, pengangguran dan dan ketimpangan distribusi pendapatan. Oleh
karena itu, pertumbuhan ekonomi harus dipacu terutama pada sektor-sektor
yang padat karya, lebih spesifik pada sektor pertanian. Adapun upaya yang
dapat dilakukan diantaranya adalah penelitian, penyuluhan dan perbaikan
infrastruktur dasar yang diperlukan dalam pembangunan pertanian, seperti:
pengadaan jalan, jembatan, sistem irigasi dan sebagainya.
2. Setiap intervensi pemerintah memiliki pengaruh yang berbeda terhadap

kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan distribusi pendapatan, baik


positif maupun negatif. Oleh karena itu dibutuhkan intervensi pemerintah
yang terintegrasi sebagai upaya mengatasi permasalahan kemiskinan,
pengangguran dan ketimpangan distribusi pendapatan.
3. Upaya terintegrasi tersebut diantaranya dapat dilakukan dengan cara:
- peningkatan pengeluaran pemerintah untuk kesehatan dan pendidikan.
Konsekuensi dari peningkatan pengeluaran pemerintah adalah
peningkatan sumber pendapatan. DAU dan DAK terlalu dominan sebagai
sumber pendapatan daerah. Padahal tentu saja hal tersebut dapat menjadi
beban bagi pemerintah pusat dan menunjukkan tingkat kemandirian fiskal
yang rendah dari pemerintah daerah. Oleh karena itu, pendapatan daerah
yang harus ditingkatkan adalah PAD itu sendiri, terutama pajak daerah.
141
- peningkatan UMP yang disesuaikan dengan nilai kebutuhan hidup layak
(KHL). Apabila dikombinasikan bersama dengan peningkatan pajak
penghasilan (PPh), penetapan UMP dapat sedikit banyak mengurangi
trade-off yang terjadi terhadap pertumbuhan ekonomi dan semakin efektif
mengurangi ketimpangan distribusi pendapatan.
- Pengendalian inflasi. Peningkatan UMP tidak akan berarti apabila tidak
diiringi oleh upaya pengendalian inflasi. Oleh karena itu, intervensi ini
harus berintegrasi satu sama lainnya.
- Pemberdayaan sektor informal menjadi sektor formal.
4. Pada dasarnya intervensi pemerintah dapat dikelompokkan menjadi kebijakan
fiskal dan kebijakan moneter. Untuk itu, saran bagi penelitian selanjutnya
yaitu meneliti juga mengenai bagaimana peran intervensi pemerintah di
bidang moneter terhadap kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan
distribusi pendapatan.
142
DAFTAR PUSTAKA
Aldakhil, Khalid I. (1998). A Method for Estimating Simultaneous Equations
Models with Time-series and Cross-section Data. Journal King Saud
University, Vol.10, 13-28. Riyadh.
Badan Pusat Statistik (BPS). (2007). Memahami Data Strategis yang Dihasilkan
BPS. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
__________________. (2009). Analisis Kemiskinan, Ketenagakerjaan dan
Distribusi Pendapatan. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
__________________. Berbagai Edisi. Data dan Informasi Kemiskinan, Buku1:
Propinsi. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
__________________. Berbagai Edisi. Statistik Indonesia. Jakarta: Badan Pusat
Statistik.
Baltagi, Badi H. (2005). Econometric Analysis of Panel Data. New York: John
Wiley & Sons.
Basri, Faisal dan Haris Munandar. (2009). Lanskap Ekonomi Indonesia: Kajian
dan Renungan Terhadap Masalah-Masalah Struktural, Transformasi
Baru, dan Prospek Perekonomian Indonesia. Jakarta: Kencana.
Datt, Gaurav, Martin Ravallion. (1996).Why Some Indian States Done Better
Than Others at Reducing Rural Poverty?. Policy Research working Paper
No.1594, World Bank, Washington, D.C
Dumairy. (1999). Perekonomian Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
143

Ekananda, Mahyus. (2005). Analisis Data Panel: Estimasi dengan Struktur


Varians-Covarians Residual. Jakarta: Program Pasca Sarjana Universitas
Indonesia.
Greene, William. (2003). Econometric Analysis: Fifth edition. United State of
America: Prentice Hall.
Gujarati, Damodar. (2004). Basic Econometric: Fourth Edition. Mc.Graw Hill
Companies.
Hajiji, Ajid. (2010). Keterkaitan Antara Pertumbuhan Ekonomi, Ketimpangan
Pendapatan dan Pengentasan Kemiskinan di Provinsi Riau 2002-2008
[Tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Kadir. (2010). Kaitan Antara Pertumbuhan Sektor Pertanian, Nonpertanian, dan
Kemiskinan di Daerah Perdesaan Indonesia: Analisis Data Panel 20022008 [Skripsi]. Jakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Statistik.
Komalasari, Farida. (1992). Inflasi di Indonesia: Dampak dan Permasalahannya.
Jakarta: STEKPI
Kuncoro, Mudrajad. (2009). Ekonomika Indonesia: Dinamika Lingkungan Bisnis
di Tengah Krisis Global. Yogyakarta: UPP STIM YKPN
Kuntoro, Eri. (2007). Hubungan Simultan antara Tingkat Upah dan Penyerapan
Tenaga Kerja serta Variabel-variabel yang Mempengaruhinya [Skripsi].
Jakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Statistik.
Mankiw, N. Gregory. (2007). Makroekonomi: Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga.
Mellor, J.W. (2000). Faster More Equitable Growth: The Relation between
Growth in Agriculture and Poverty Reduction. Agricultural Policy
Development Project Research Report No.4, Abt Associates Inc.,
Cambridge, MA.
144
Mustaqiem. (2008). Pajak Daerah Dalam Transisi Otonomi Daerah. Yogyakarta:
FH UII Press
Nachrowi, Nachrowi D, Hardius Usman. (2006). Ekonometrika. Jakarta: Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Nash, Maliha S. dan David F. Bradford. (2001). Parametric and Nonparametric
(MARS) Logistic Regression for Prediction of A Dichotomous Response
Variable with an Example for presence/Absence of an Amphibian. Nevada:
US Enviromental Protection Agency (EPA).
Novriadi. (2010). Perubahan Struktur Ekonomi dan Tingkat Pengangguran di
Indonesia [Skripsi]. Jakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Statistik.
Pracoyo, Tri Kunawangsih dan Antyo Pracoyo. (2007). Aspek Dasar Ekonomi
Makro di Indonesia. Jakarta: PT Grasindo.
Rahmanita. (2007). Dampak Pengeluaran Pemerintah Terhadap Pertumbuhan
dan Distribusi Pendapatan di Sumatera Utara: Pendekatan SNSE
[Disertasi]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Rindayanti, Wiwiek. (2009). Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan
dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat [Disertasi].
Bogor: Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Sagir, Soeharsono dkk. (2009). Kapita Selekta Ekonomi Indonesia. Jakarta:
Kencana.
Sukirno, Sadono. (2004). Makroekonomi Teori Pengantar Edisi Ketiga. Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada.
145
Sumarto, Sudarno, and Asep Suryahadi.(2003). The Role of Agricultural Growth

in Poverty Reduction in Indonesia. Poverty Module Indonesia, Food and


Agriculture Organization (FAO), Rome.
Tambunan, Tulus. (2009). Perekonomian Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia.
Tangkilisan, Hassel Nogi S. (2005). Manajemen Publik. Jakarta: PT Gramedia
Widiasarana Indonesia.
Todaro, Michael P. dan Stephen C. Smith. (2003). Pembangunan Ekonomi di
Dunia Ketiga. Jakarta: Erlangga.
Wiranto. (2009). Meretas Jalan Baru Ekonomi Indonesia. Jakarta: Institute for
Democracy of Indonesia.
Wooldridge, Jeffrey M. (2002). Econometric Analysis of Cross Section and Panel
Data. London: MIT Press Cambridge, Massachussets.
World Bank. (2007). Laporan Pencapaian Millenium Development Goals
Indonesia 2007. The World Bank.
Yudhoyono, Susilo Bambang. (2004). Pembangunan Pertanian dan Perdesaan
Sebagai Upaya Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran di Indonesia:
Analisis Ekonomi-Politik Kebijakan Fiskal [Disertasi]. Bogor: Sekolah
Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Yusuf, Agusta Briliantono. (2010). Pengaruh Pertumbuhan dan Perubahan
Struktur Ekonomi Serta Penyerapan Tenaga Kerja Sektoral Terhadap
Tingkat Kemiskinan di Indonesia Periode 2002-2008 [Skripsi]. Jakarta:
Sekolah Tinggi Ilmu Statistik.
146
147
LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil Estimasi Model Persamaan Struktural
1.1. Persamaan Struktural I
Dependent Variable: LOG(PDRB?)
Method: Pooled IV/Two-stage EGLS (Cross-section weights)
Date: 06/01/11 Time: 11:30
Sample (adjusted): 2006 2008
Included observations: 3 after adjustments
Cross-sections included: 30
Total pool (balanced) observations: 90
Linear estimation after one-step weighting matrix
Instrument list: C LOG(EXPENDITURE?) LOG(DAU?) LOG(DAK?)
LOG(PAJAK?) LOG(PPH?) LOG(UMP?) INFLASI? AMH? HCI?(-1)
INFORMAL?
Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (d.f. corrected)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 0.515026 0.894437 0.575811 0.5672
LOG(KONSUMSI?) 0.421530 0.058740 7.176248 0.0000
LOG(EXPENDITURE?) -0.006829 0.004129 -1.654148 0.1040
LOG(DAU?) 0.083409 0.016317 5.111623 0.0000
LOG(DAK?) 0.004507 0.003032 1.486652 0.1430
LOG(PAJAK?) 0.050593 0.004802 10.53639 0.0000
INFLASI? 0.000781 0.000575 1.359151 0.1799
INFORMAL? 0.000432 0.000644 0.670940 0.5052
Fixed Effects (Cross)
_NAD--C 0.361026 _BALI--C -0.072740
_SUMUT--C 0.597955 _NTB--C 0.042669
_SUMBAR--C 0.082769 _NTT--C -0.235683
_RIAU--C 0.941071 _KALBAR--C 0.083547
_JAMBI--C -0.432119 _KALTENG--C 1.287603
_SUMSEL--C 0.356572 _KALSEL--C -0.261872
_BENGKULU--C -0.774469 _KALTIM--C -0.407581
_LAMPUNG--C 0.105746 _SULUT--C 0.275612
_BABEL--C -0.450988 _SULTENG--C -0.573811
_JAKARTA--C 1.477231 _SULSEL--C -1.609978

_JABAR--C 1.124096 _SULTRA--C -1.232865


_JATENG--C 0.788870 _GORONTALO--C -0.083098
_JOGJA--C -0.061656 _MALUKU--C -1.174355
_JATIM--C 1.073652 _MALUT--C -1.390093
_BANTEN--C 0.484607 _PAPUA--C -0.321720
Weighted Statistics
R-squared 0.999970 Mean dependent var 24.00987
Adjusted R-squared 0.999950 S.D. dependent var 19.14381
S.E. of regression 0.026782 Sum squared resid 0.038014
F-statistic 25097.26 Durbin-Watson stat 2.421472
Prob(F-statistic) 0.000000 Second-Stage SSR 0.074274
Instrument rank 40.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.999711 Mean dependent var 10.17585
Sum squared resid 0.045777 Durbin-Watson stat 1.652551

148
1.2. Persamaan Struktural II
Dependent Variable: TPT?
Method: Pooled IV/Two-stage Least Squares
Date: 07/30/11 Time: 11:30
Sample (adjusted): 2006 2008
Included observations: 3 after adjustments
Cross-sections included: 30
Total pool (balanced) observations: 90
Instrument list: C LOG(EXPENDITURE?) LOG(DAU?) LOG(DAK?)
LOG(PAJAK?) LOG(PPH?) LOG(UMP?) INFLASI? AMH? HCI?(-1)
INFORMAL?
Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (no d.f. correction)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 203.1702 34.89569 5.822214 0.0000
LOG(PDRB?) -18.97735 4.434818 -4.279173 0.0001
LOG(UMP?) -0.175465 1.649899 -0.106349 0.9157
INFLASI? 0.027905 0.014799 1.885634 0.0645
INFORMAL? -0.011152 0.016960 -0.657535 0.5135
Fixed Effects (Cross)
_NAD--C 7.171148 _BALI--C -6.223042
_SUMUT--C 27.02455 _NTB--C -1.233332
_SUMBAR--C 5.906541 _NTT--C -14.25458
_RIAU--C 23.54479 _KALBAR--C -1.850715
_JAMBI--C -14.03832 _KALTENG--C 22.32836
_SUMSEL--C 14.53015 _KALSEL--C -12.30120
_BENGKULU--C -28.27079 _KALTIM--C -8.817650
_LAMPUNG--C 3.619968 _SULUT--C 12.72021
_BABEL--C -20.77798 _SULTENG--C -20.02378
_JAKARTA--C 51.48206 _SULSEL--C -43.24566
_JABAR--C 49.12065 _SULTRA--C -38.94870
_JATENG--C 33.36311 _GORONTALO--C -10.77731
_JOGJA--C -9.491009 _MALUKU--C -33.76665
_JATIM--C 44.02097 _MALUT--C -46.51009
_BANTEN--C 25.18035 _PAPUA--C -9.482042
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
R-squared 0.965252 Mean dependent var 8.473667
Adjusted R-squared 0.944776 S.D. dependent var 3.167541
S.E. of regression 0.744364 Sum squared resid 31.02834
F-statistic 44.88177 Durbin-Watson stat 2.158733
Prob(F-statistic) 0.000000 Second-Stage SSR 32.53276
Instrument rank 40.000000

149
1.3. Persamaan Struktural III
Dependent Variable: LOG(GINI?)
Method: Pooled IV/Two-stage EGLS (Cross-section weights)
Date: 07/30/11 Time: 11:44
Sample (adjusted): 2006 2008
Included observations: 3 after adjustments
Cross-sections included: 30

Total pool (balanced) observations: 90


Linear estimation after one-step weighting matrix
Instrument list: C LOG(EXPENDITURE?) LOG(DAU?) LOG(DAK?)
LOG(PAJAK?) LOG(PPH?) LOG(UMP?) INFLASI? AMH? HCI?(-1)
INFORMAL?
Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (no d.f. correction)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -13.65637 1.314291 -10.39067 0.0000
LOG(PDRB?) 1.310323 0.171638 7.634215 0.0000
TPT? 0.018237 0.008737 2.087383 0.0416
LOG(UMP?) -0.302721 0.039752 -7.615222 0.0000
LOG(PPH?) -0.022684 0.019568 -1.159218 0.2515
LOG(DAU?) -0.030086 0.032770 -0.918092 0.3627
LOG(DAK?) 0.092078 0.009545 9.646257 0.0000
Fixed Effects (Cross)
_NAD--C -0.547512 _BALI--C 0.190022
_SUMUT--C -1.805872 _NTB--C 0.030141
_SUMBAR--C -0.391521 _NTT--C 0.759031
_RIAU--C -1.530684 _KALBAR--C -0.080827
_JAMBI--C 0.720826 _KALTENG--C -1.822919
_SUMSEL--C -1.020890 _KALSEL--C 0.754985
_BENGKULU--C 1.834214 _KALTIM--C 0.950259
_LAMPUNG--C -0.248899 _SULUT--C -0.653345
_BABEL--C 1.251095 _SULTENG--C 1.254033
_JAKARTA--C -2.869348 _SULSEL--C 3.124696
_JABAR--C -3.226300 _SULTRA--C 2.665226
_JATENG--C -2.537489 _GORONTALO--C 0.778776
_JOGJA--C 0.581558 _MALUKU--C 2.451519
_JATIM--C -3.286869 _MALUT--C 3.068872
_BANTEN--C -1.137874 _PAPUA--C 0.745097
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
Weighted Statistics
R-squared 0.936430 Mean dependent var -1.941436
Adjusted R-squared 0.895227 S.D. dependent var 1.853530
S.E. of regression 0.063713 Sum squared resid 0.219206
F-statistic 20.67733 Durbin-Watson stat 2.636830
Prob(F-statistic) 0.000000 Second-Stage SSR 0.239429
Instrument rank 40.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.746391 Mean dependent var -1.111415
Sum squared resid 0.238655 Durbin-Watson stat 2.652541

150
1.4. Persamaan Struktural IV
Dependent Variable: HCI?
Method: Pooled IV/Two-stage EGLS (Cross-section weights)
Date: 07/30/11 Time: 12:10
Sample (adjusted): 2006 2008
Included observations: 3 after adjustments
Cross-sections included: 30
Total pool (balanced) observations: 90
Linear estimation after one-step weighting matrix
Instrument list: C LOG(EXPENDITURE?) LOG(DAU?) LOG(DAK?)
LOG(PAJAK?) LOG(PPH?) LOG(UMP?) INFLASI? AMH? HCI?(-1)
INFORMAL?
Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (no d.f. correction)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 77.20415 17.99943 4.289255 0.0001
LOG(PDRB?) -1.067156 2.711752 -0.393530 0.6955
TPT? 0.380990 0.037953 10.03850 0.0000
LOG(EXPENDITURE?) -0.186314 0.130611 -1.426488 0.1596
LOG(UMP?) -4.572052 1.863553 -2.453406 0.0175
INFLASI? 0.033628 0.007987 4.210573 0.0001
AMH? -0.317823 0.140893 -2.255779 0.0282
HCI?(-1) 0.476724 0.091698 5.198880 0.0000
Fixed Effects (Cross)

_NAD--C 6.240490 _BALI--C -6.225421


_SUMUT--C 1.171119 _NTB--C 0.320414
_SUMBAR--C -1.262725 _NTT--C 4.491539
_RIAU--C -0.073447 _KALBAR--C -3.473747
_JAMBI--C -2.578338 _KALTENG--C 0.149699
_SUMSEL--C 2.975648 _KALSEL--C -4.190051
_BENGKULU--C 2.031464 _KALTIM--C -3.686229
_LAMPUNG--C 2.724127 _SULUT--C -1.198317
_BABEL--C -3.602966 _SULTENG--C 2.371130
_JAKARTA--C -1.017833 _SULSEL--C -6.849015
_JABAR--C -1.004941 _SULTRA--C -0.400951
_JATENG--C 1.932717 _GORONTALO--C 4.204270
_JOGJA--C -1.042319 _MALUKU--C 4.876217
_JATIM--C 1.389065 _MALUT--C -4.100136
_BANTEN--C -4.691358 _PAPUA--C 10.51990
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
Weighted Statistics
R-squared 0.998559 Mean dependent var 31.98488
Adjusted R-squared 0.997580 S.D. dependent var 25.25027
S.E. of regression 0.900468 Sum squared resid 42.97470
F-statistic 843.3270 Durbin-Watson stat 2.619161
Prob(F-statistic) 0.000000 Second-Stage SSR 51.95972
Instrument rank 40.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.992131 Mean dependent var 16.90800
Sum squared resid 47.43778 Durbin-Watson stat 2.230026

151
1.5. Persamaan Struktural V
Dependent Variable: LOG(KONSUMSI?)
Method: Pooled IV/Two-stage EGLS (Cross-section weights)
Date: 07/30/11 Time: 12:29
Sample (adjusted): 2006 2008
Included observations: 3 after adjustments
Cross-sections included: 30
Total pool (balanced) observations: 90
Linear estimation after one-step weighting matrix
Instrument list: C LOG(EXPENDITURE?) LOG(DAU?) LOG(DAK?)
LOG(PAJAK?) LOG(PPH?) LOG(UMP?) INFLASI? AMH? HCI?(-1)
INFORMAL?
Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (no d.f. correction)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 16.02230 0.056784 282.1600 0.0000
HCI? -0.023743 0.000492 -48.26955 0.0000
LOG(GINI?) -0.037457 0.006448 -5.808811 0.0000
INFLASI? -0.001322 0.000249 -5.316485 0.0000
LOG(UMP?) 0.168581 0.012652 13.32470 0.0000
LOG(PPH?) -0.016434 0.003077 -5.341199 0.0000
Fixed Effects (Cross)
_NAD--C -0.054937 _BALI--C -0.367240
_SUMUT--C 1.355050 _NTB--C 0.164691
_SUMBAR--C 0.101961 _NTT--C -0.363840
_RIAU--C 0.584463 _KALBAR--C -0.326664
_JAMBI--C -0.467709 _KALTENG--C -0.077893
_SUMSEL--C 0.917894 _KALSEL--C -1.070270
_BENGKULU--C -1.046764 _KALTIM--C -0.700256
_LAMPUNG--C 0.393123 _SULUT--C 0.332955
_BABEL--C -1.354584 _SULTENG--C -0.878502
_JAKARTA--C 2.224501 _SULSEL--C -2.207772
_JABAR--C 2.540921 _SULTRA--C -1.578640
_JATENG--C 2.140336 _GORONTALO--C -0.367785
_JOGJA--C -0.442773 _MALUKU--C -1.361040
_JATIM--C 2.846916 _MALUT--C -2.133424
_BANTEN--C 0.881073 _PAPUA--C 0.316207
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)

Weighted Statistics
R-squared 0.999990 Mean dependent var 71.88518
Adjusted R-squared 0.999984 S.D. dependent var 203.5407
S.E. of regression 0.031146 Sum squared resid 0.053355
F-statistic 122288.0 Durbin-Watson stat 2.336123
Prob(F-statistic) 0.000000 Second-Stage SSR 0.070237
Instrument rank 40.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.999594 Mean dependent var 16.44430
Sum squared resid 0.059434 Durbin-Watson stat 2.270673

152
Lampiran 2. Hasil Estimasi Model Persamaan Reduced Form
2.1. Persamaan Reduced I
Dependent Variable: LOG(PDRB?)
Method: Pooled Least Squares
Date: 07/30/11 Time: 06:10
Sample (adjusted): 2006 2008
Included observations: 3 after adjustments
Cross-sections included: 30
Total pool (balanced) observations: 90
White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 7.285466 0.453664 16.05915 0.0000
LOG(EXPENDITURE?) -0.007394 0.005239 -1.411129 0.1644
LOG(DAU?) 0.058078 0.014230 4.081394 0.0002
LOG(DAK?) -0.006500 0.000835 -7.788731 0.0000
LOG(PAJAK?) 0.067969 0.004750 14.30866 0.0000
LOG(PPH?) -0.024766 0.009137 -2.710703 0.0092
LOG(UMP?) 0.335243 0.119270 2.810794 0.0070
INFLASI? 0.000618 0.000673 0.919632 0.3622
AMH? -0.013522 0.008176 -1.653931 0.1044
HCI?(-1) 0.006012 0.006936 0.866752 0.3902
INFORMAL? 0.000292 0.000370 0.789221 0.4337
Fixed Effects (Cross)
_NAD--C 0.150253 _BALI--C -0.146046
_SUMUT--C 1.252661 _NTB--C -0.189100
_SUMBAR--C 0.245768 _NTT--C -0.593000
_RIAU--C 1.292197 _KALBAR--C -0.004020
_JAMBI--C -0.503454 _KALTENG--C 1.423012
_SUMSEL--C 0.758327 _KALSEL--C -0.566271
_BENGKULU--C -1.261322 _KALTIM--C -0.585067
_LAMPUNG--C 0.237058 _SULUT--C 0.556141
_BABEL--C -0.924538 _SULTENG--C -0.986588
_JAKARTA--C 2.580831 _SULSEL--C -2.564366
_JABAR--C 2.380668 _SULTRA--C -1.984255
_JATENG--C 1.682255 _GORONTALO--C -0.378260
_JOGJA--C -0.315864 _MALUKU--C -1.912380
_JATIM--C 2.302308 _MALUT--C -2.166344
_BANTEN--C 0.962634 _PAPUA--C -0.743240
R-squared 0.999753 Mean dependent var 10.17585
Adjusted R-squared 0.999560 S.D. dependent var 1.333677
S.E. of regression 0.027978 Akaike info criterion -4.013695
Sum squared resid 0.039138 Schwarz criterion -2.902668
Log likelihood 220.6163 Hannan-Quinn criter. -3.565663
F-statistic 5184.254 Durbin-Watson stat 2.204343
Prob(F-statistic) 0.000000

153
2.2. Persamaan Reduced II
Dependent Variable: TPT?
Method: Pooled Least Squares
Date: 07/30/11 Time: 06:34
Sample (adjusted): 2006 2008
Included observations: 3 after adjustments
Cross-sections included: 30
Total pool (balanced) observations: 90

Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (d.f. corrected)


Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 103.8880 23.85516 4.354950 0.0001
LOG(EXPENDITURE?) -0.765999 0.154457 -4.959300 0.0000
LOG(DAU?) -1.815072 0.373567 -4.858761 0.0000
LOG(DAK?) -1.649230 0.191941 -8.592403 0.0000
LOG(PAJAK?) -0.173907 1.433008 -0.121358 0.9039
LOG(PPH?) 0.561297 0.790541 0.710017 0.4810
LOG(UMP?) -4.669848 1.176899 -3.967928 0.0002
INFLASI? -0.008713 0.023438 -0.371765 0.7116
AMH? 0.253548 0.162037 1.564752 0.1239
HCI?(-1) -0.432929 0.152070 -2.846902 0.0064
INFORMAL? -0.085676 0.017672 -4.848211 0.0000
Fixed Effects (Cross)
_NAD--C 9.354741 _BALI--C -9.259378
_SUMUT--C 2.441758 _NTB--C 5.558065
_SUMBAR--C 0.242691 _NTT--C 3.707529
_RIAU--C -4.690861 _KALBAR--C -1.358267
_JAMBI--C -6.507008 _KALTENG--C -5.487450
_SUMSEL--C 0.978168 _KALSEL--C -4.807610
_BENGKULU--C -1.972790 _KALTIM--C -2.271524
_LAMPUNG--C 1.374413 _SULUT--C -1.067711
_BABEL--C -9.106525 _SULTENG--C 1.555963
_JAKARTA--C -11.45777 _SULSEL--C 5.573606
_JABAR--C 3.132270 _SULTRA--C 1.336188
_JATENG--C 5.450298 _GORONTALO--C -1.350791
_JOGJA--C -4.724953 _MALUKU--C 8.887171
_JATIM--C 3.994756 _MALUT--C -5.968960
_BANTEN--C 0.287206 _PAPUA--C 16.15678
Cross-section fixed (dummy variables)
R-squared 0.976477 Mean dependent var 8.473667
Adjusted R-squared 0.958129 S.D. dependent var 3.167541
S.E. of regression 0.648153 Akaike info criterion 2.271721
Sum squared resid 21.00508 Schwarz criterion 3.382747
Log likelihood -62.22743 Hannan-Quinn criter. 2.719752
F-statistic 53.22033 Durbin-Watson stat 2.384401
Prob(F-statistic) 0.000000

154
2.3. Persamaan Reduced III
Dependent Variable: LOG(GINI?)
Method: Pooled Least Squares
Date: 07/30/11 Time: 10:01
Sample (adjusted): 2006 2008
Included observations: 3 after adjustments
Cross-sections included: 30
Total pool (balanced) observations: 90
Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (no d.f.
correction)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -8.109806 1.869567 -4.337800 0.0001
LOG(EXPENDITURE?) 0.003808 0.026172 0.145503 0.8849
LOG(DAU?) -0.007099 0.030713 -0.231132 0.8182
LOG(DAK?) 0.064772 0.013976 4.634479 0.0000
LOG(PAJAK?) 0.361472 0.058990 6.127722 0.0000
LOG(PPH?) -0.034928 0.014057 -2.484774 0.0164
LOG(UMP?) -0.128939 0.050068 -2.575290 0.0130
INFLASI? 0.003405 0.000977 3.483803 0.0010
AMH? -0.007742 0.007887 -0.981675 0.3310
HCI?(-1) 0.010926 0.006002 1.820497 0.0747
INFORMAL? 0.005682 0.001950 2.913597 0.0053
Fixed Effects (Cross)
_NAD--C -0.245147 _BALI--C -0.229861
_SUMUT--C -0.421460 _NTB--C -0.031177
_SUMBAR--C -0.031404 _NTT--C 0.180852
_RIAU--C -0.020738 _KALBAR--C -0.049770
_JAMBI--C 0.057281 _KALTENG--C 0.182322

_SUMSEL--C -0.236988 _KALSEL--C -0.044198


_BENGKULU--C 0.336959 _KALTIM--C 0.084210
_LAMPUNG--C -0.089955 _SULUT--C 0.404224
_BABEL--C 0.336942 _SULTENG--C 0.159367
_JAKARTA--C -0.124796 _SULSEL--C -0.271842
_JABAR--C -0.647263 _SULTRA--C 0.363793
_JATENG--C -0.820182 _GORONTALO--C 0.762498
_JOGJA--C 0.069148 _MALUKU--C 0.386634
_JATIM--C -0.887777 _MALUT--C 0.783612
_BANTEN--C 0.016935 _PAPUA--C 0.027780
Cross-section fixed (dummy variables)
R-squared 0.811668 Mean dependent var -1.111415
Adjusted R-squared 0.664769 S.D. dependent var 0.102827
S.E. of regression 0.059536 Akaike info criterion -2.503365
Sum squared resid 0.177227 Schwarz criterion -1.392339
Log likelihood 152.6514 Hannan-Quinn criter. -2.055334
F-statistic 5.525350 Durbin-Watson stat 2.795572
Prob(F-statistic) 0.000000

155
2.4. Persamaan Reduced IV
Dependent Variable: HCI?
Method: Pooled EGLS (Cross-section weights)
Date: 07/30/11 Time: 10:10
Sample (adjusted): 2006 2008
Included observations: 3 after adjustments
Cross-sections included: 30
Total pool (balanced) observations: 90
Linear estimation after one-step weighting matrix
Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (no d.f.
correction)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 115.2957 22.59523 5.102658 0.0000
LOG(EXPENDITURE?) -0.388557 0.152026 -2.555858 0.0137
LOG(DAU?) -0.323197 0.260196 -1.242130 0.2200
LOG(DAK?) -0.620395 0.072791 -8.522919 0.0000
LOG(PAJAK?) -1.922230 0.322009 -5.969487 0.0000
LOG(PPH?) 0.181279 0.259586 0.698341 0.4882
LOG(UMP?) -6.370804 0.579522 -10.99321 0.0000
INFLASI? 0.043509 0.005065 8.590052 0.0000
AMH? -0.029176 0.148661 -0.196262 0.8452
HCI?(-1) 0.344204 0.073367 4.691530 0.0000
INFORMAL? -0.010444 0.025102 -0.416077 0.6791
Fixed Effects (Cross)
_NAD--C 8.097929 _BALI--C -5.974444
_SUMUT--C 2.247977 _NTB--C 3.532396
_SUMBAR--C -1.876452 _NTT--C 4.310824
_RIAU--C -2.106927 _KALBAR--C -3.829523
_JAMBI--C -5.092792 _KALTENG--C -5.425939
_SUMSEL--C 2.552237 _KALSEL--C -5.040738
_BENGKULU--C 0.112239 _KALTIM--C -2.400387
_LAMPUNG--C 2.989523 _SULUT--C -4.245818
_BABEL--C -7.135567 _SULTENG--C 1.431642
_JAKARTA--C -2.825231 _SULSEL--C 0.050582
_JABAR--C 1.403936 _SULTRA--C -0.070081
_JATENG--C 5.548487 _GORONTALO--C -0.181407
_JOGJA--C -0.968505 _MALUKU--C 5.545257
_JATIM--C 4.825002 _MALUT--C -8.582428
_BANTEN--C -2.902012 _PAPUA--C 16.01022
Weighted Statistics
R-squared 0.999837 Mean dependent var 45.53765
Adjusted R-squared 0.999710 S.D. dependent var 89.82358
S.E. of regression 0.851103 Sum squared resid 36.21881
F-statistic 7870.479 Durbin-Watson stat 2.525613
Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.992521 Mean dependent var 16.90800

Sum squared resid 45.08236 Durbin-Watson stat 2.306401

156
2.5. Persamaan Reduced V
Dependent Variable: LOG(KONSUMSI?)
Method: Pooled EGLS (Cross-section weights)
Date: 07/30/11 Time: 12:42
Sample (adjusted): 2006 2008
Included observations: 3 after adjustments
Cross-sections included: 30
Total pool (balanced) observations: 90
Linear estimation after one-step weighting matrix
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 13.51693 0.371963 36.33941 0.0000
LOG(EXPENDITURE?) 0.008080 0.004551 1.775501 0.0819
LOG(DAU?) 0.083596 0.013024 6.418488 0.0000
LOG(DAK?) -0.021476 0.008238 -2.607117 0.0120
LOG(PAJAK?) 0.017667 0.013175 1.340943 0.1860
LOG(PPH?) -0.039151 0.007467 -5.242977 0.0000
LOG(UMP?) 0.224892 0.038892 5.782514 0.0000
INFLASI? -0.001478 0.000664 -2.225855 0.0306
AMH? 0.007198 0.003699 1.945946 0.0573
HCI?(-1) -0.010260 0.002494 -4.113619 0.0001
INFORMAL? 0.000959 0.000549 1.746408 0.0869
Fixed Effects (Cross)
_NAD--C -0.245013 _BALI--C -0.162593
_SUMUT--C 1.318147 _NTB--C 0.158052
_SUMBAR--C 0.106303 _NTT--C -0.510872
_RIAU--C 0.687990 _KALBAR--C -0.257291
_JAMBI--C -0.369949 _KALTENG--C -0.033749
_SUMSEL--C 0.872873 _KALSEL--C -0.965155
_BENGKULU--C -1.119908 _KALTIM--C -0.579571
_LAMPUNG--C 0.316900 _SULUT--C 0.352114
_BABEL--C -1.222147 _SULTENG--C -0.981845
_JAKARTA--C 2.393574 _SULSEL--C -2.179469
_JABAR--C 2.574565 _SULTRA--C -1.627380
_JATENG--C 2.060217 _GORONTALO--C -0.439613
_JOGJA--C -0.360433 _MALUKU--C -1.576764
_JATIM--C 2.812051 _MALUT--C -2.072275
_BANTEN--C 1.053742 _PAPUA--C -0.002502
Weighted Statistics
R-squared 0.999987 Mean dependent var 39.66835
Adjusted R-squared 0.999977 S.D. dependent var 43.08690
S.E. of regression 0.023874 Sum squared resid 0.028498
F-statistic 100687.2 Durbin-Watson stat 2.628266
Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.999769 Mean dependent var 16.44430
Sum squared resid 0.033856 Durbin-Watson stat 2.233899

157
Lampiran 3. Pengujian Variabel Endogen
3.1. Konsumsi
Dependent Variable: LOG(PDRB?)
Method: Pooled EGLS (Cross-section weights)
Date: 07/30/11 Time: 10:54
Sample (adjusted): 2006 2008
Included observations: 3 after adjustments
Cross-sections included: 30
Total pool (balanced) observations: 90
Linear estimation after one-step weighting matrix
Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (d.f. corrected)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -3.180956 0.602552 -5.279143 0.0000
LOG(KONSUMSI?) 0.446243 0.048038 9.289332 0.0000
LOGKONS? 0.288158 0.075960 3.793566 0.0004
LOG(EXPENDITURE?) -0.011418 0.003828 -2.982662 0.0043

LOG(DAU?) 0.037820 0.014603 2.589899 0.0124


LOG(DAK?) 0.004955 0.004063 1.219587 0.2281
LOG(PAJAK?) 0.028547 0.007427 3.843754 0.0003
INFLASI? 0.000808 0.000512 1.576202 0.1210
INFORMAL? -0.000363 0.000733 -0.494542 0.6230
Fixed Effects (Cross)
_NAD--C 0.454829 _BALI--C -0.032064
_SUMUT--C 0.205440 _NTB--C 0.040243
_SUMBAR--C 0.025465 _NTT--C -0.037730
_RIAU--C 0.695539 _KALBAR--C 0.167837
_JAMBI--C -0.359513 _KALTENG--C 1.248183
_SUMSEL--C 0.100305 _KALSEL--C -0.000393
_BENGKULU--C -0.440401 _KALTIM--C -0.243773
_LAMPUNG--C 0.034889 _SULUT--C 0.089166
_BABEL--C -0.159923 _SULTENG--C -0.284259
_JAKARTA--C 0.692655 _SULSEL--C -0.890061
_JABAR--C 0.395263 _SULTRA--C -0.730552
_JATENG--C 0.254400 _GORONTALO--C -0.001489
_JOGJA--C 0.054449 _MALUKU--C -0.692178
_JATIM--C 0.332718 _MALUT--C -0.822139
_BANTEN--C 0.121712 _PAPUA--C -0.218619
Weighted Statistics
R-squared 0.999970 Mean dependent var 23.23277
Adjusted R-squared 0.999949 S.D. dependent var 16.02674
S.E. of regression 0.025087 Sum squared resid 0.032727
F-statistic 47609.82 Durbin-Watson stat 2.274597
Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.999711 Mean dependent var 10.17585
Sum squared resid 0.045764 Durbin-Watson stat 1.600435

158
3.2. PDRB
Dependent Variable: TPT?
Method: Pooled Least Squares
Date: 07/30/11 Time: 11:24
Sample (adjusted): 2006 2008
Included observations: 3 after adjustments
Cross-sections included: 30
Total pool (balanced) observations: 90
Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (no d.f. correction)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 203.1709 35.06898 5.793466 0.0000
LOG(PDRB?) -10.50141 1.434234 -7.321968 0.0000
LOGPDRBCAP? -8.476034 5.039020 -1.682080 0.0982
LOG(UMP?) -0.175429 2.085075 -0.084135 0.9333
INFLASI? 0.027905 0.010540 2.647462 0.0106
INFORMAL? -0.011152 0.014826 -0.752162 0.4552
Fixed Effects (Cross)
_NAD--C 7.171168 _BALI--C -6.223050
_SUMUT--C 27.02468 _NTB--C -1.233331
_SUMBAR--C 5.906560 _NTT--C -14.25463
_RIAU--C 23.54490 _KALBAR--C -1.850712
_JAMBI--C -14.03838 _KALTENG--C 22.32849
_SUMSEL--C 14.53022 _KALSEL--C -12.30126
_BENGKULU--C -28.27091 _KALTIM--C -8.817719
_LAMPUNG--C 3.619995 _SULUT--C 12.72025
_BABEL--C -20.77808 _SULTENG--C -20.02388
_JAKARTA--C 51.48230 _SULSEL--C -43.24590
_JABAR--C 49.12089 _SULTRA--C -38.94889
_JATENG--C 33.36330 _GORONTALO--C -10.77736
_JOGJA--C -9.491035 _MALUKU--C -33.76685
_JATIM--C 44.02122 _MALUT--C -46.51032
_BANTEN--C 25.18043 _PAPUA--C -9.482088
R-squared 0.968401 Mean dependent var 8.473667
Adjusted R-squared 0.948867 S.D. dependent var 3.167541
S.E. of regression 0.716260 Akaike info criterion 2.455755

Sum squared resid 28.21658 Schwarz criterion 3.427903


Log likelihood -75.50898 Hannan-Quinn criter. 2.847782
F-statistic 49.57574 Durbin-Watson stat 2.134924
Prob(F-statistic) 0.000000

159
3.3. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)
Dependent Variable: HCI?
Method: Pooled EGLS (Cross-section weights)
Date: 07/30/11 Time: 12:15
Sample (adjusted): 2006 2008
Included observations: 3 after adjustments
Cross-sections included: 30
Total pool (balanced) observations: 90
Linear estimation after one-step weighting matrix
Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (d.f. corrected)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 105.8022 8.626684 12.26453 0.0000
LOG(PDRB?) 5.809458 2.475071 2.347189 0.0228
LOGPDRBCAP? -11.76875 2.108814 -5.580743 0.0000
TPTCAP? 0.184659 0.053501 3.451498 0.0011
TPT? 0.223987 0.082471 2.715958 0.0090
LOG(EXPENDITURE?) -0.209389 0.167318 -1.251439 0.2165
LOG(UMP?) -1.570939 1.172028 -1.340360 0.1861
INFLASI? 0.050044 0.013906 3.598651 0.0007
AMH? -0.313178 0.157515 -1.988248 0.0522
HCI?(-1) 0.542500 0.052336 10.36562 0.0000
Fixed Effects (Cross)
_NAD--C 6.059184 _BALI--C -5.598209
_SUMUT--C 7.340717 _NTB--C -0.057388
_SUMBAR--C -0.115169 _NTT--C 1.719712
_RIAU--C 5.923410 _KALBAR--C -2.808565
_JAMBI--C -5.017457 _KALTENG--C 7.075368
_SUMSEL--C 6.328909 _KALSEL--C -6.765338
_BENGKULU--C -4.464266 _KALTIM--C -6.966385
_LAMPUNG--C 3.994446 _SULUT--C 0.876499
_BABEL--C -8.378027 _SULTENG--C -2.858893
_JAKARTA--C 11.31786 _SULSEL--C -18.57169
_JABAR--C 11.36797 _SULTRA--C -10.33948
_JATENG--C 11.44081 _GORONTALO--C 1.234714
_JOGJA--C -2.072008 _MALUKU--C -5.787398
_JATIM--C 14.21173 _MALUT--C -15.12392
_BANTEN--C -0.311766 _PAPUA--C 6.344637
Weighted Statistics
R-squared 0.999442 Mean dependent var 39.56439
Adjusted R-squared 0.999026 S.D. dependent var 52.62042
S.E. of regression 0.865580 Sum squared resid 38.21062
F-statistic 2402.627 Durbin-Watson stat 2.634377
Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.992677 Mean dependent var 16.90800
Sum squared resid 44.14293 Durbin-Watson stat 2.322061

160
3.4. Gini Ratio
Dependent Variable: LOG(KONSUMSI?)
Method: Pooled EGLS (Cross-section weights)
Date: 07/30/11 Time: 12:31
Sample (adjusted): 2006 2008
Included observations: 3 after adjustments
Cross-sections included: 30
Total pool (balanced) observations: 90
Linear estimation after one-step weighting matrix
Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (no d.f.
correction)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 14.62588 0.071626 204.1990 0.0000
HCI? -0.006350 0.001181 -5.377041 0.0000

LOGGINI? 0.146471 0.059360 2.467491 0.0168


LOG(GINI?) -0.036555 0.040165 -0.910123 0.3668
INFLASI? -0.001844 0.000212 -8.703451 0.0000
LOG(UMP?) 0.360215 0.019319 18.64610 0.0000
LOG(PPH?) -0.014896 0.007840 -1.900005 0.0628
Fixed Effects (Cross)
_NAD--C -0.242905 _BALI--C -0.169045
_SUMUT--C 1.382453 _NTB--C 0.025053
_SUMBAR--C 0.185240 _NTT--C -0.538024
_RIAU--C 0.668331 _KALBAR--C -0.223126
_JAMBI--C -0.331153 _KALTENG--C 0.059172
_SUMSEL--C 0.879033 _KALSEL--C -0.908254
_BENGKULU--C -1.117282 _KALTIM--C -0.623823
_LAMPUNG--C 0.322627 _SULUT--C 0.413246
_BABEL--C -1.216337 _SULTENG--C -0.947207
_JAKARTA--C 2.362359 _SULSEL--C -2.166935
_JABAR--C 2.634370 _SULTRA--C -1.654310
_JATENG--C 2.131785 _GORONTALO--C -0.527953
_JOGJA--C -0.447124 _MALUKU--C -1.590968
_JATIM--C 2.867413 _MALUT--C -2.029984
_BANTEN--C 0.971800 _PAPUA--C -0.168451
Weighted Statistics
R-squared 0.999936 Mean dependent var 29.04801
Adjusted R-squared 0.999895 S.D. dependent var 22.89684
S.E. of regression 0.027135 Sum squared resid 0.039760
F-statistic 24164.08 Durbin-Watson stat 2.484583
Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.999692 Mean dependent var 16.44430
Sum squared resid 0.045189 Durbin-Watson stat 2.330747

161
3.5. Tingkat Kemiskinan (HCI)
Dependent Variable: LOG(KONSUMSI?)
Method: Pooled EGLS (Cross-section weights)
Date: 07/30/11 Time: 12:32
Sample (adjusted): 2006 2008
Included observations: 3 after adjustments
Cross-sections included: 30
Total pool (balanced) observations: 90
Linear estimation after one-step weighting matrix
Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (no d.f.
correction)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 15.80040 0.165764 95.31888 0.0000
HCI? -0.003255 0.001107 -2.940376 0.0048
HCICAP? -0.019619 0.001655 -11.85289 0.0000
LOG(GINI?) -0.055662 0.017867 -3.115287 0.0029
INFLASI? -0.001385 0.000294 -4.708293 0.0000
LOG(UMP?) 0.204462 0.025947 7.880048 0.0000
LOG(PPH?) -0.018923 0.004094 -4.622398 0.0000
Fixed Effects (Cross)
_NAD--C -0.077638 _BALI--C -0.355163
_SUMUT--C 1.353557 _NTB--C 0.158238
_SUMBAR--C 0.101435 _NTT--C -0.371177
_RIAU--C 0.588565 _KALBAR--C -0.320593
_JAMBI--C -0.464579 _KALTENG--C -0.077442
_SUMSEL--C 0.916218 _KALSEL--C -1.067189
_BENGKULU--C -1.049735 _KALTIM--C -0.693739
_LAMPUNG--C 0.395989 _SULUT--C 0.329920
_BABEL--C -1.357381 _SULTENG--C -0.885724
_JAKARTA--C 2.235777 _SULSEL--C -2.204697
_JABAR--C 2.559634 _SULTRA--C -1.582449
_JATENG--C 2.148920 _GORONTALO--C -0.377641
_JOGJA--C -0.433985 _MALUKU--C -1.377043
_JATIM--C 2.863605 _MALUT--C -2.132233
_BANTEN--C 0.889460 _PAPUA--C 0.287090

Weighted Statistics
R-squared 0.999986 Mean dependent var 37.70169
Adjusted R-squared 0.999976 S.D. dependent var 41.59136
S.E. of regression 0.026413 Sum squared resid 0.037672
F-statistic 107281.8 Durbin-Watson stat 2.407388
Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.999711 Mean dependent var 16.44430
Sum squared resid 0.042313 Durbin-Watson stat 2.230290

162
Lampiran 4. Pengujian Simultanitas Hausmann
4.1. Persamaan Struktural I
Dependent Variable: LOG(PDRB?)
Method: Pooled EGLS (Cross-section weights)
Date: 07/30/11 Time: 10:58
Sample (adjusted): 2006 2008
Included observations: 3 after adjustments
Cross-sections included: 30
Total pool (balanced) observations: 90
Linear estimation after one-step weighting matrix
Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (d.f. corrected)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -3.180956 0.602552 -5.279143 0.0000
RESIDKONS? 0.446243 0.048038 9.289332 0.0000
LOGKONS? 0.734401 0.056493 12.99987 0.0000
LOG(EXPENDITURE?) -0.011418 0.003828 -2.982662 0.0043
LOG(DAU?) 0.037820 0.014603 2.589899 0.0124
LOG(DAK?) 0.004955 0.004063 1.219587 0.2281
LOG(PAJAK?) 0.028547 0.007427 3.843754 0.0003
INFLASI? 0.000808 0.000512 1.576202 0.1210
INFORMAL? -0.000363 0.000733 -0.494542 0.6230
Fixed Effects (Cross)
_NAD--C 0.454829 _BALI--C -0.032064
_SUMUT--C 0.205440 _NTB--C 0.040243
_SUMBAR--C 0.025465 _NTT--C -0.037730
_RIAU--C 0.695539 _KALBAR--C 0.167837
_JAMBI--C -0.359513 _KALTENG--C 1.248183
_SUMSEL--C 0.100305 _KALSEL--C -0.000393
_BENGKULU--C -0.440401 _KALTIM--C -0.243773
_LAMPUNG--C 0.034889 _SULUT--C 0.089166
_BABEL--C -0.159923 _SULTENG--C -0.284259
_JAKARTA--C 0.692655 _SULSEL--C -0.890061
_JABAR--C 0.395263 _SULTRA--C -0.730552
_JATENG--C 0.254400 _GORONTALO--C -0.001489
_JOGJA--C 0.054449 _MALUKU--C -0.692178
_JATIM--C 0.332718 _MALUT--C -0.822139
_BANTEN--C 0.121712 _PAPUA--C -0.218619
Weighted Statistics
R-squared 0.999970 Mean dependent var 23.23277
Adjusted R-squared 0.999949 S.D. dependent var 16.02674
S.E. of regression 0.025087 Sum squared resid 0.032727
F-statistic 47609.82 Durbin-Watson stat 2.274597
Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.999711 Mean dependent var 10.17585
Sum squared resid 0.045764 Durbin-Watson stat 1.600435

163
4.2. Persamaan Struktural II
Dependent Variable: TPT?
Method: Pooled Least Squares
Date: 07/30/11 Time: 11:27
Sample (adjusted): 2006 2008
Included observations: 3 after adjustments
Cross-sections included: 30
Total pool (balanced) observations: 90

Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (no d.f.


correction)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 203.1709 35.06898 5.793466 0.0000
RESIDLPDRB? -10.50141 1.434234 -7.321968 0.0000
LOGPDRBCAP? -18.97745 4.772672 -3.976274 0.0002
LOG(UMP?) -0.175429 2.085075 -0.084135 0.9333
INFLASI? 0.027905 0.010540 2.647462 0.0106
INFORMAL? -0.011152 0.014826 -0.752162 0.4552
Fixed Effects (Cross)
_NAD--C 7.171168 _BALI--C -6.223050
_SUMUT--C 27.02468 _NTB--C -1.233331
_SUMBAR--C 5.906560 _NTT--C -14.25463
_RIAU--C 23.54490 _KALBAR--C -1.850712
_JAMBI--C -14.03838 _KALTENG--C 22.32849
_SUMSEL--C 14.53022 _KALSEL--C -12.30126
_BENGKULU--C -28.27091 _KALTIM--C -8.817719
_LAMPUNG--C 3.619995 _SULUT--C 12.72025
_BABEL--C -20.77808 _SULTENG--C -20.02388
_JAKARTA--C 51.48230 _SULSEL--C -43.24590
_JABAR--C 49.12089 _SULTRA--C -38.94889
_JATENG--C 33.36330 _GORONTALO--C -10.77736
_JOGJA--C -9.491035 _MALUKU--C -33.76685
_JATIM--C 44.02122 _MALUT--C -46.51032
_BANTEN--C 25.18043 _PAPUA--C -9.482088
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
R-squared 0.968401 Mean dependent var 8.473667
Adjusted R-squared 0.948867 S.D. dependent var 3.167541
S.E. of regression 0.716260 Akaike info criterion 2.455755
Sum squared resid 28.21658 Schwarz criterion 3.427903
Log likelihood -75.50898 Hannan-Quinn criter. 2.847782
F-statistic 49.57574 Durbin-Watson stat 2.134924
Prob(F-statistic) 0.000000

164
4.3. Persamaan Struktural III
Dependent Variable: LOG(GINI?)
Method: Pooled Least Squares
Date: 07/30/11 Time: 11:56
Sample (adjusted): 2006 2008
Included observations: 3 after adjustments
Cross-sections included: 30
Total pool (balanced) observations: 90
White cross-section standard errors & covariance (no d.f. correction)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -14.19897 4.846987 -2.929443 0.0050
RESIDLPDRB? -1.086601 0.515115 -2.109436 0.0397
LOG(PDRB?) 1.543485 0.415848 3.711654 0.0005
RESIDTPT? 0.006154 0.031233 0.197037 0.8446
TPT? 0.002038 0.020480 0.099493 0.9211
LOG(UMP?) -0.372436 0.019152 -19.44629 0.0000
LOG(PPH?) -0.007421 0.023016 -0.322434 0.7484
LOG(DAU?) -0.081598 0.004571 -17.85139 0.0000
LOG(DAK?) 0.069828 0.026183 2.666942 0.0102
Fixed Effects (Cross)
_NAD--C -0.532794 _BALI--C 0.121440
_SUMUT--C -2.033306 _NTB--C 0.003225
_SUMBAR--C -0.379283 _NTT--C 0.837787
_RIAU--C -1.854793 _KALBAR--C -0.090446
_JAMBI--C 0.803258 _KALTENG--C -2.146663
_SUMSEL--C -1.192884 _KALSEL--C 0.885686
_BENGKULU--C 2.085134 _KALTIM--C 1.113092
_LAMPUNG--C -0.315168 _SULUT--C -0.676572
_BABEL--C 1.442592 _SULTENG--C 1.503412
_JAKARTA--C -3.558020 _SULSEL--C 3.775534
_JABAR--C -3.691275 _SULTRA--C 3.119066

_JATENG--C -2.916967 _GORONTALO--C 0.832416


_JOGJA--C 0.557992 _MALUKU--C 2.977943
_JATIM--C -3.835252 _MALUT--C 3.584246
_BANTEN--C -1.280972 _PAPUA--C 0.861571
R-squared 0.776286 Mean dependent var -1.111415
Adjusted R-squared 0.617104 S.D. dependent var 0.102827
S.E. of regression 0.063628 Akaike info criterion -2.375645
Sum squared resid 0.210524 Schwarz criterion -1.320170
Log likelihood 144.9040 Hannan-Quinn criter. -1.950016
F-statistic 4.876734 Durbin-Watson stat 2.640157
Prob(F-statistic) 0.000000

165
4.4. Persamaan Struktural IV
Dependent Variable: HCI?
Method: Pooled EGLS (Cross-section weights)
Date: 07/30/11 Time: 12:18
Sample (adjusted): 2006 2008
Included observations: 3 after adjustments
Cross-sections included: 30
Total pool (balanced) observations: 90
Linear estimation after one-step weighting matrix
Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (d.f. corrected)
WARNING: estimated coefficient covariance matrix is of reduced rank
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 105.8022 8.626684 12.26453 0.0000
RESIDLPDRB? 5.809458 2.475071 2.347189 0.0228
LOGPDRBCAP? -5.959290 0.910780 -6.543058 0.0000
RESIDTPT? -0.184659 0.053501 -3.451498 0.0011
TPT? 0.408646 0.051487 7.936953 0.0000
LOG(EXPENDITURE?) -0.209389 0.167318 -1.251439 0.2165
LOG(UMP?) -1.570939 1.172028 -1.340360 0.1861
INFLASI? 0.050044 0.013906 3.598651 0.0007
AMH? -0.313178 0.157515 -1.988248 0.0522
HCI?(-1) 0.542500 0.052336 10.36562 0.0000
Fixed Effects (Cross)
_NAD--C 6.059184 _BALI--C -5.598209
_SUMUT--C 7.340717 _NTB--C -0.057388
_SUMBAR--C -0.115169 _NTT--C 1.719712
_RIAU--C 5.923410 _KALBAR--C -2.808565
_JAMBI--C -5.017457 _KALTENG--C 7.075368
_SUMSEL--C 6.328909 _KALSEL--C -6.765338
_BENGKULU--C -4.464266 _KALTIM--C -6.966385
_LAMPUNG--C 3.994446 _SULUT--C 0.876499
_BABEL--C -8.378027 _SULTENG--C -2.858893
_JAKARTA--C 11.31786 _SULSEL--C -18.57169
_JABAR--C 11.36797 _SULTRA--C -10.33948
_JATENG--C 11.44081 _GORONTALO--C 1.234714
_JOGJA--C -2.072008 _MALUKU--C -5.787398
_JATIM--C 14.21173 _MALUT--C -15.12392
_BANTEN--C -0.311766 _PAPUA--C 6.344637
Weighted Statistics
R-squared 0.999442 Mean dependent var 39.56439
Adjusted R-squared 0.999026 S.D. dependent var 52.62042
S.E. of regression 0.865580 Sum squared resid 38.21062
F-statistic 2402.627 Durbin-Watson stat 2.634377
Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.992677 Mean dependent var 16.90800
Sum squared resid 44.14293 Durbin-Watson stat 2.322061

166
4.5. Persamaan Struktural V
Dependent Variable: LOG(KONSUMSI?)
Method: Pooled IV/Two-stage EGLS (Cross-section weights)
Date: 09/08/11 Time: 09:59
Sample (adjusted): 2006 2008
Included observations: 3 after adjustments

Cross-sections included: 30
Total pool (balanced) observations: 90
Linear estimation after one-step weighting matrix
Instrument list: C LOG(EXPENDITURE?) LOG(DAU?) LOG(DAK?)
LOG(PAJAK?) LOG(PPH?) LOG(UMP?) INFLASI? AMH? HCI?(-1)
INFORMAL?
White cross-section standard errors & covariance (no d.f. correction)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 17.21644 1.240826 13.87499 0.0000
HCICAP? -0.037313 0.010815 -3.450233 0.0011
RESIDHCI? -0.025326 0.012211 -2.073998 0.0430
LOGGINI? -0.302060 0.123807 -2.439768 0.0181
RESIDGINI? 0.341586 0.098694 3.461069 0.0011
INFLASI? -0.002630 0.000923 -2.849194 0.0062
LOG(UMP?) -0.025698 0.106384 -0.241559 0.8101
LOG(PPH?) -0.015590 0.027184 -0.573491 0.5687
Fixed Effects (Cross)
_NAD--C 0.086187 _BALI--C -0.533329
_SUMUT--C 1.335044 _NTB--C 0.274063
_SUMBAR--C 0.032471 _NTT--C -0.220233
_RIAU--C 0.515240 _KALBAR--C -0.420471
_JAMBI--C -0.590136 _KALTENG--C -0.199169
_SUMSEL--C 0.943986 _KALSEL--C -1.201872
_BENGKULU--C -0.982861 _KALTIM--C -0.750591
_LAMPUNG--C 0.456792 _SULUT--C 0.273581
_BABEL--C -1.482239 _SULTENG--C -0.834471
_JAKARTA--C 2.135400 _SULSEL--C -2.236722
_JABAR--C 2.461493 _SULTRA--C -1.509859
_JATENG--C 2.128496 _GORONTALO--C -0.223982
_JOGJA--C -0.426464 _MALUKU--C -1.190880
_JATIM--C 2.809607 _MALUT--C -2.218944
_BANTEN--C 0.832475 _PAPUA--C 0.737389
Weighted Statistics
R-squared 0.999761 Mean dependent var 29.22510
Adjusted R-squared 0.999599 S.D. dependent var 20.35655
S.E. of regression 0.057075 Sum squared resid 0.172649
F-statistic 10791.09 Durbin-Watson stat 2.194208
Prob(F-statistic) 0.000000 Second-Stage SSR 0.098510
Instrument rank 40.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.999468 Mean dependent var 16.44430
Sum squared resid 0.077884 Durbin-Watson stat 2.297662

167
Lampiran 5. Model Kemiskinan
A. Hausman Test (Fixed Effects vs Random Effects)
Correlated Random Effects - Hausman Test
Pool: PROV
Test cross-section random effects
Test Summary
Chi-Sq.
Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.
Cross-section random 147.341397 5 0.0000

H0: model random effects lebih baik dari model fixed effects
H1: model random effects tidak lebih baik dari model fixed effects
Wilayah kritis: 2
(0,05;5) = 11.07
Statistik Uji Hausman= 147.34
Keputusan: H0 ditolak pada taraf nyata 5 persen, model fixed effects.
B. Signifikansi Fixed Effects(Fixed Effects vs Common Effects)
Redundant Fixed Effects Tests
Pool: PROV
Test cross-section fixed effects
Effects Test Statistic d.f. Prob.

Cross-section F 5.739439 (29,55) 0.0000


Cross-section Chi-square 125.355176 29 0.0000

H0: model common effects lebih baik dari model fixed effects
H1: model common effects tidak lebih baik dari model fixed effects
Wilayah kritis: 2
(0,05;29) = 42.56
Statistik Uji= 125.35
Keputusan: H0 ditolak pada taraf nyata 5 persen, model fixed effects.
168
C. Persamaan HCI
Dependent Variable: HCI?
Method: Pooled EGLS (Cross-section weights)
Date: 05/16/11 Time: 22:05
Sample (adjusted): 2006 2008
Included observations: 3 after adjustments
Cross-sections included: 30
Total pool (balanced) observations: 90
Linear estimation after one-step weighting matrix
Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (d.f. corrected)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 392.9881 15.05914 26.09632 0.0000
LOG(PDRB1?) -16.40988 1.812781 -9.052325 0.0000
LOG(PDRB2?) 1.937802 0.491501 3.942619 0.0002
LOG(PDRB3?) -1.677270 0.969228 -1.730523 0.0891
LOG(PDRB4?+PDRB5?+PDRB6?+
PDRB7?+PDRB8?+PDRB9?) -7.769045 1.027540 -7.560823 0.0000
HCI?(-1) 0.225281 0.092009 2.448484 0.0176
Fixed Effects (Cross)
_NAD--C 11.77288 _BALI--C -4.760509
_SUMUT--C 35.54878 _NTB--C -7.582858
_SUMBAR--C 6.154308 _NTT--C -2.243147
_RIAU--C 8.632812 _KALBAR--C 3.824584
_JAMBI--C -15.87316 _KALTENG--C -11.53291
_SUMSEL--C 13.91684 _KALSEL--C -9.846062
_BENGKULU--C -18.50078 _KALTIM--C -0.874205
_LAMPUNG--C 20.64111 _SULUT--C -17.69850
_BABEL--C -32.09277 _SULTENG--C -0.447797
_JAKARTA--C -28.50978 _SULSEL--C 15.57857
_JABAR--C 47.34313 _SULTRA--C -13.51525
_JATENG--C 49.14423 _GORONTALO--C -41.61255
_JOGJA--C -3.195746 _MALUKU--C -25.68805
_JATIM--C 59.23592 _MALUT--C -51.96618
_BANTEN--C 8.436313 _PAPUA--C 5.710770
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
Weighted Statistics
R-squared 0.997143 Mean dependent var 26.42413
Adjusted R-squared 0.995377 S.D. dependent var 16.66407
S.E. of regression 0.836893 Sum squared resid 38.52141
F-statistic 564.6218 Durbin-Watson stat 2.257844
Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.992746 Mean dependent var 16.90800
Sum squared resid 43.72837 Durbin-Watson stat 2.180110

169
Lampiran 6. Model Pengangguran
A. Hausman Test (Fixed Effects vs Random Effects)
Correlated Random Effects - Hausman Test
Pool: PROV
Test cross-section random effects
Test Summary
Chi-Sq.
Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.

Cross-section random 323.735047 5 0.0000

H0: model random effects lebih baik dari model fixed effects
H1: model random effects tidak lebih baik dari model fixed effects
Wilayah kritis: 2
(0,05;5) = 11.07
Statistik Uji Hausman= 323.73
Keputusan: H0 ditolak pada taraf nyata 5 persen, model fixed effects.
B. Signifikansi Fixed Effects(Fixed Effects vs Common Effects)
Redundant Fixed Effects Tests
Pool: PROV
Test cross-section fixed effects
Effects Test Statistic d.f. Prob.
Cross-section F 18.276115 (29,55) 0.0000
Cross-section Chi-square 212.786210 29 0.0000

H0: model common effects lebih baik dari model fixed effects
H1: model common effects tidak lebih baik dari model fixed effects
Wilayah kritis: 2
(0,05;29) = 42.56
Statistik Uji= 212.79
Keputusan: H0 ditolak pada taraf nyata 5 persen, model fixed effects.
170
C. Persamaan TPT
Dependent Variable: TPT?
Method: Pooled Least Squares
Date: 09/27/11 Time: 01:20
Sample (adjusted): 2006 2008
Included observations: 3 after adjustments
Cross-sections included: 30
Total pool (balanced) observations: 90
Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (no d.f.
correction)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 415.2177 39.72674 10.45184 0.0000
LOG(PDRB1?) -12.65521 4.335084 -2.919253 0.0051
LOG(PDRB2?) -0.436103 0.374492 -1.164518 0.2492
LOG(PDRB3?) -7.213001 0.620098 -11.63203 0.0000
LOG(PDRB4?+PDRB5?+PDRB6?+PDRB7?+
PDRB8?+PDRB9?) -5.754548 1.145535 -5.023461 0.0000
TPT?(-1) -0.188623 0.074989 -2.515334 0.0148
Fixed Effects (Cross)
_NAD--C 10.93571 _BALI--C -8.718373
_SUMUT--C 42.79367 _NTB--C -18.28686
_SUMBAR--C 11.00849 _NTT--C -35.17915
_RIAU--C 24.31785 _KALBAR--C 3.233471
_JAMBI--C -13.27070 _KALTENG--C -13.42285
_SUMSEL--C 21.09692 _KALSEL--C -0.372339
_BENGKULU--C -38.07859 _KALTIM--C 27.75940
_LAMPUNG--C 13.06309 _SULUT--C -12.37905
_BABEL--C -23.71249 _SULTENG--C -13.57124
_JAKARTA--C 5.355250 _SULSEL--C 22.34263
_JABAR--C 68.49256 _SULTRA--C -23.92710
_JATENG--C 51.33608 _GORONTALO--C -62.37727
_JOGJA--C -12.33872 _MALUKU--C -47.90470
_JATIM--C 63.53310 _MALUT--C -56.29130
_BANTEN--C 28.48827 _PAPUA--C -13.92576
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
R-squared 0.977693 Mean dependent var 8.473667
Adjusted R-squared 0.963902 S.D. dependent var 3.167541
S.E. of regression 0.601812 Akaike info criterion 2.107558
Sum squared resid 19.91977 Schwarz criterion 3.079706
Log likelihood -59.84010 Hannan-Quinn criter. 2.499585

F-statistic 70.89837 Durbin-Watson stat 2.267986


Prob(F-statistic) 0.000000

171
Lampiran 7. Model Ketimpangan Distribusi Pendapatan
A. Hausman Test (Fixed Effects vs Random Effects)
Correlated Random Effects - Hausman Test
Pool: PROV
Test cross-section random effects
Test Summary
Chi-Sq.
Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.
Cross-section random 8.368427 4 0.0790

H0: model random effects lebih baik dari model fixed effects
H1: model random effects tidak lebih baik dari model fixed effects
Wilayah kritis: 2
(0,1;4) = 7.78
Statistik Uji Hausman= 8.37
Keputusan: H0 ditolak pada taraf nyata 10 persen, model fixed effects.
B. Signifikansi Fixed Effects(Fixed Effects vs Common Effects)
Redundant Fixed Effects Tests
Pool: PROV
Test cross-section fixed effects
Effects Test Statistic d.f. Prob.
Cross-section F 6.786081 (29,86) 0.0000
Cross-section Chi-square 142.845564 29 0.0000

H0: model common effects lebih baik dari model fixed effects
H1: model common effects tidak lebih baik dari model fixed effects
Wilayah kritis: 2
(0,05;29) = 42.56
Statistik Uji= 142.85
Keputusan: H0 ditolak pada taraf nyata 5 persen, model fixed effects.
172
C. Persamaan GINI
Dependent Variable: LOG(GINI?)
Method: Pooled EGLS (Cross-section weights)
Date: 05/26/11 Time: 22:43
Sample (adjusted): 2005 2008
Included observations: 4 after adjustments
Cross-sections included: 30
Total pool (balanced) observations: 120
Linear estimation after one-step weighting matrix
Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (no d.f.
correction)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -1.978397 0.854104 -2.316341 0.0229
LOG(PDRB1?) -0.230917 0.129281 -1.786168 0.0776
LOG(PDRB2?) 0.120263 0.032417 3.709927 0.0004
LOG(PDRB3?) 0.055459 0.042147 1.315852 0.1917
LOG(PDRB4?+PDRB5?+PDRB6?
+PDRB7?+PDRB8?+PDRB9?) 0.118554 0.081242 1.459268 0.1481
Fixed Effects (Cross)
_NAD--C -0.343152 _BALI--C 0.211490
_SUMUT--C 0.038407 _NTB--C -0.066809
_SUMBAR--C -0.029663 _NTT--C 0.514075
_RIAU--C -0.357853 _KALBAR--C 0.106966
_JAMBI--C -0.079863 _KALTENG--C -0.009256
_SUMSEL--C -0.294457 _KALSEL--C -0.236013
_BENGKULU--C 0.385010 _KALTIM--C -0.530402
_LAMPUNG--C 0.334815 _SULUT--C -0.016365
_BABEL--C -0.239891 _SULTENG--C 0.232083
_JAKARTA--C -1.140076 _SULSEL--C 0.017576

_JABAR--C -0.175571 _SULTRA--C 0.245975


_JATENG--C -0.029738 _GORONTALO--C 0.523263
_JOGJA--C 0.335777 _MALUKU--C 0.359603
_JATIM--C -0.134181 _MALUT--C 0.170020
_BANTEN--C 0.238025 _PAPUA--C -0.029797
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
Weighted Statistics
R-squared 0.841489 Mean dependent var -1.724167
Adjusted R-squared 0.780665 S.D. dependent var 0.893710
S.E. of regression 0.064817 Sum squared resid 0.361305
F-statistic 13.83482 Durbin-Watson stat 2.663500
Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.712322 Mean dependent var -1.118223
Sum squared resid 0.394222 Durbin-Watson stat 2.410235

173
Lampiran 8. Uji Kenormalan Persamaan Struktural
Residual
Probability Jarque-Berra Statistics
Struktural
12345
RESID_NAD 0.868689 0.841476 0.805122 0.863757 0.839056
RESID_SUMUT 0.769133 0.868815 0.787388 0.813094 0.862828
RESID_SUMBAR 0.815532 0.821468 0.818888 0.770390 0.802670
RESID_RIAU 0.828103 0.838135 0.769196 0.834168 0.849591
RESID_JAMBI 0.779583 0.831131 0.861567 0.826447 0.829657
RESID_SUMSEL 0.797644 0.830343 0.811647 0.848231 0.785621
RESID_BENGKULU 0.768645 0.777849 0.767094 0.845639 0.852657
RESID_LAMPUNG 0.865782 0.772254 0.868810 0.860342 0.858669
RESID_BABEL 0.773479 0.812859 0.767117 0.859467 0.812030
RESID_JAKARTA 0.867938 0.801682 0.800997 0.770198 0.850451
RESID_JABAR 0.796475 0.770254 0.775489 0.769112 0.804147
RESID_JATENG 0.868769 0.863439 0.841363 0.779823 0.840893
RESID_JOGJA 0.778474 0.815096 0.855572 0.864950 0.780066
RESID_JATIM 0.806264 0.779482 0.784722 0.770362 0.854160
RESID_BANTEN 0.766727 0.814444 0.832681 0.798059 0.863806
RESID_BALI 0.820740 0.846650 0.857149 0.779848 0.767963
RESID_NTB 0.772303 0.860966 0.802222 0.868796 0.839655
RESID_NTT 0.809695 0.868807 0.864944 0.785296 0.848321
RESID_KALBAR 0.846619 0.768609 0.799434 0.778119 0.770248
RESID_KALTENG 0.857744 0.818008 0.789460 0.787661 0.801608
RESID_KALSEL 0.867552 0.782528 0.864779 0.823115 0.787812
RESID_KALTIM 0.856281 0.861666 0.767014 0.867200 0.797147
RESID_SULUT 0.767618 0.805927 0.823464 0.816732 0.868812
RESID_SULTENG 0.868716 0.775163 0.830110 0.771866 0.799136
RESID_SULSEL 0.865643 0.775249 0.811813 0.864929 0.845670
RESID_SULTRA 0.779099 0.864982 0.782516 0.779415 0.860584
RESID_GORONTALO 0.857612 0.815304 0.862254 0.810537 0.840363
RESID_MALUKU 0.866835 0.787804 0.779125 0.842254 0.841254
RESID_MALUT 0.771982 0.824487 0.770169 0.774609 0.815361
RESID_PAPUA 0.867384 0.780066 0.868725 0.857862 0.830136

174
Lampiran 9. Uji Kenormalan Persamaan Reduced Form
Residual
Probability Jarque-Berra Statistics
Reduced

12345
RESID_NAD 0.822069 0.784929 0.817057 0.868815 0.862228
RESID_SUMUT 0.859925 0.865187 0.768129 0.788691 0.857577
RESID_SUMBAR 0.771856 0.826616 0.767121 0.853498 0.77736
RESID_RIAU 0.768288 0.868545 0.79832 0.837304 0.767816
RESID_JAMBI 0.868395 0.868037 0.766738 0.801244 0.791035
RESID_SUMSEL 0.850402 0.853456 0.835374 0.780337 0.805513
RESID_BENGKULU 0.856158 0.866585 0.823443 0.76726 0.766873
RESID_LAMPUNG 0.836855 0.851406 0.812356 0.867856 0.766735
RESID_BABEL 0.815499 0.867061 0.769606 0.867859 0.868691
RESID_JAKARTA 0.801806 0.774945 0.766971 0.808409 0.848424
RESID_JABAR 0.776968 0.868658 0.770253 0.850905 0.832457
RESID_JATENG 0.814809 0.797093 0.868488 0.79027 0.867622
RESID_JOGJA 0.846315 0.76697 0.866256 0.827814 0.79358
RESID_JATIM 0.819228 0.77585 0.836934 0.773375 0.859038
RESID_BANTEN 0.846558 0.803343 0.789842 0.847923 0.767412
RESID_BALI 0.830413 0.838988 0.775948 0.774454 0.800706
RESID_NTB 0.8688 0.771319 0.789851 0.835111 0.776175
RESID_NTT 0.821956 0.769455 0.863604 0.795078 0.790171
RESID_KALBAR 0.85629 0.800852 0.786656 0.778775 0.776243
RESID_KALTENG 0.856982 0.769521 0.867066 0.831287 0.767698
RESID_KALSEL 0.844302 0.865648 0.859798 0.766812 0.865216
RESID_KALTIM 0.826299 0.771969 0.796673 0.86875 0.855067
RESID_SULUT 0.767965 0.768889 0.846727 0.830916 0.766817
RESID_SULTENG 0.81051 0.767037 0.854581 0.862997 0.867264
RESID_SULSEL 0.8493 0.793073 0.817797 0.812142 0.868229
RESID_SULTRA 0.82363 0.777348 0.858223 0.79905 0.847713
RESID_GORONTALO 0.861072 0.77979 0.837398 0.787742 0.790576
RESID_MALUKU 0.770867 0.778519 0.86849 0.76743 0.818659
RESID_MALUT 0.801423 0.838363 0.76675 0.78632 0.861009
RESID_PAPUA 0.800738 0.815167 0.823787 0.829366 0.781976

175
Lampiran 10. Uji Kenormalan Persamaan Tunggal
Residual
Probability JB statistics
Gini TPT HCI
RESID_NAD 0.878160 0.861514 0.766728
RESID_SUMUT 0.830500 0.771525 0.835406
RESID_SUMBAR 0.713135 0.817329 0.818023
RESID_RIAU 0.642891 0.766733 0.867159
RESID_JAMBI 0.719323 0.866065 0.854450
RESID_SUMSEL 0.765970 0.766863 0.768861
RESID_BENGKULU 0.815172 0.833500 0.791584
RESID_LAMPUNG 0.835658 0.782154 0.771690
RESID_BABEL 0.734621 0.847669 0.860799
RESID_JAKARTA 0.840595 0.831201 0.772025
RESID_JABAR 0.818135 0.806905 0.831430
RESID_JATENG 0.762611 0.852132 0.796593
RESID_JOGJA 0.872690 0.824252 0.857299
RESID_JATIM 0.881329 0.864796 0.858593
RESID_BANTEN 0.677708 0.766782 0.867325
RESID_BALI 0.622043 0.825112 0.784322

RESID_NTB 0.808076 0.826172 0.868771


RESID_NTT 0.862991 0.868606 0.817653
RESID_KALBAR 0.679593 0.786524 0.772805
RESID_KALTENG 0.784093 0.864457 0.825575
RESID_KALSEL 0.835130 0.810256 0.807940
RESID_KALTIM 0.829774 0.834722 0.827008
RESID_SULUT 0.663186 0.840733 0.863074
RESID_SULTENG 0.696012 0.820262 0.821077
RESID_SULSEL 0.635345 0.860215 0.848165
RESID_SULTRA 0.840944 0.793346 0.793360
RESID_GORONTALO 0.679095 0.825527 0.767643
RESID_MALUKU 0.739379 0.772791 0.867396
RESID_MALUT 0.749848 0.856981 0.804495
RESID_PAPUA 0.683232 0.811124 0.785233

Anda mungkin juga menyukai