Peran Pertumbuhan Ekonomi Dan Intervensi Pemerintah Di Bidang Fiskal Terhadap
Peran Pertumbuhan Ekonomi Dan Intervensi Pemerintah Di Bidang Fiskal Terhadap
survey/observasi di tiap negara (time series), Simon Kuznets menemukan relasi antara
kesenjangan pendapatan dan tingkat perdapatan per kapita berbentuk U terbalik. Dimana pada
awalnya pertumbuhan ekonomi akan menyebabkan kesenjangan distribusi pendapatan, dan
kemudian seiring berjalan waktu pertumbuhan akan menyebabkan pemerataan (Tambunan,
2009).
Todaro (2003) menjelaskan bahwa saat ini, terutama di negara berkembang,
kesejahteraan ekonomi yang dicapai melalui pertumbuhan tidak lagi memadai. Diperlukan
pertumbuhan ekonomi yang lebih berkualitas, yaitu pertumbuhan yang berorientasi pada
pemerataan (growth with equity). Pengalaman di banyak negara berkembang menunjukkan
bahwa pembangunan yang memprioritaskan pada pertumbuhan sering meninggalkan ruang
bagi perbaikan distribusi kesejahteraan. Pada dasarnya ada tidaknya ketimpangan pendapatan
pada sebuah negara tergantung karakteristik ekonomi yang dimilikinya. Bagaimana cara
distribusinya, bagaimana cara memperoleh pertumbuhannya, merupakan hal-hal yang dapat
menyebabkan pembagian kue ekonomi itu tidak merata. Meier (1978) dalam Rindayanti
(2009) mendefinisikan pembangunan ekonomi sebagai suatu proses yang dapat menyebabkan
terjadinya peningkatan pendapatan riil per kapita tanpa menyebabkan terjadinya peningkatan
kesenjangan distribusi pendapatan dan peningkatan jumlah penduduk miskin.
Pemerataan hasil-hasil pembangunan biasanya dikaitkan dengan ketimpangan. Pada
dasarnya ketimpangan distribusi pendapatan hanya merupakan sebagian kecil saja dari
ketimpangan. Ada banyak ketimpangan lain yang juga tak kalah penting dengan ketimpangan
distribusi pendapatan, diantaranya: ketimpangan gender, kekuasaan, status, kondisi kerja, dll.
Ada beberapa alasan ketimpangan menjadi suatu hal yang perlu diperhatikan. Ketimpangan
pendapatan yang ekstrem akan menyebabkan inefisiensi ekonomi. Sebagian penyebabnya
adalah pada tingkat pendapatan rata-rata berapapun, ketimpangan yang semakin tinggi akan
menyebabkan semakin kecilnya bagian populasi yang memenuhi syarat untuk mendapatkan
pinjaman atau sumber kredit yang lain. Lebih lanjut, dengan tingkat ketimpangan yang tinggi,
tingkat tabungan secara keseluruhan cenderung rendah. Hal ini dikarenakan, tingkat tabungan
marjinal tertinggi biasanya ditemukan pada kelas menengah ke bawah. Sedangkan kelas atas
sebagian besar dari pendapatannya justru disimpan di luar negeri dalam bentuk pelarian
modal (capital flight) dan konsumsi dilakukan pada barang-barang mewah import. Sehingga
ketimpangan pendapatan akan menyebabkan konsumsi terhadap produk domestik menurun
(Todaro, 2003).
Peranan Pemerintah
Adam Smith, seorang ahli ekonomi aliran klasik yang mengagungkan mekanisme
pasar bebas, menyatakan bahwa ada invisible hands dalam mengatur pembagian sumber daya,
dan oleh karenanya peran pemerintah menjadi sangat dibatasi karena akan mengganggu
proses ini. Konsep invisible hands kemudian direpresentasikan sebagai mekanisme pasar
melalui harga sebagai instrument utamanya. Adapun fungsi pemerintah menurut Smith hanya:
untuk memelihara keamanan, untuk menyelenggarakan peradilan, untuk menyediakan barang
yang tidak disediakan oleh pihak swasta (seperti: jalan, jembatan, irigasi, dll). Namun, dalam
masa sekarang ini, prinsip kebebasan ekonomi dalam praktiknya sulit terealisasi. Adanya
prinsip memaksimumkan kepuasan dari masing-masing individu menyebabkan perbenturan
kepentingan, pasar tidak selalu mampu menciptakan kondisi keseimbangan (market failure).
Depresi di Amerika tahun 1930-an merupakan contoh nyata kegagalan mekanisme pasar
dalam mengatasai pengangguran. Untuk itulah, menurut Keyness dibutuhkan intervensi
pemerintah untuk mempengaruhi tingkat output dan kesempatan kerja (Pracoyo, 2007).
Dalam sistem perekonomian modern, peranan pemerintah dapat dibagi dalam
beberapa bagian, yaitu : alokasi, distribusi dan stabilisasi (Dumairy, 1999). Peranan alokasi
oleh pemerintah ini sangat dibutuhkan terutama dalam hal penyediaan barang-barang yang
tidak dapat disediakan oleh swasta yaitu barang-barang yang bersifat umum atau disebut juga
barang publik. Karena dalam sistem perekonomian suatu negara, tidak semua barang dapat
disediakan oleh swasta dan dapat diperoleh melalui sistem pasar. Dalam hal seperti ini maka
pemerintah harus bisa menyediakan apa yang disebut dengan barang publik tadi. Sedangkan
barang yang dapat diperoleh melalui sistem pasar, yaitu melalui transaksi antara penjual dan
pembeli disebut barang swasta. Tidak dapat tersedianya barang publik oleh sistem atau
mekanisme pasar ini merupakan kegagalan pasar (market failure).
Konsekuensi dari peranan alokasi pemerintah adalah sumber pendapatan. Menurut UU
22/1999 dan UU 25/1999, sumber pendapatan daerah terdiri atas Pendapatan asli daerah
(PAD), dana perimbangan dan dana-dana lain yang sah. Pendapatan asli daerah terdiri atas
pajak daerah, retribusi daerah, hasil kekayaan daerah dan lain-lain yang merupakan hasil
pendapatan dari daerah itu sendiri. Pajak daerah merupakan pungutan yang dilakukan
pemerintah daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pajak daerah ini
dapat dibedakan dalam dua kategori yaitu pajak daerah yang ditetapkan oleh peraturan daerah
dan pajak negara yang pengelolaan dan penggunaannya diserahkan kepada daerah.
Penerimaan pajak daerah antara lain pajak kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan
bermotor, pajak bahan bakar kendaraan bermotor, dan lain-lain.
Berbeda dengan pendapatan asli daerah (PAD), dana perimbangan merupakan dana
yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai
kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana perimbangan terdiri dari
bagi hasil pajak/bukan pajak, dana alokasi umum (DAU), dan dana alokasi khusus (DAK).
DAU merupakan transfer dana dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang
dimaksudkan untuk menutup kesenjangan fiskal (fiscal gap) dan pemerataan kemampuan
fiskal antar daerah dalam rangka membantu kemandirian pemerintah daerah menjalankan
fungsi dan tugasnya melayani masyarakat. DAK merupakan dana yang disediakan kepada
daerah untuk memenuhi kebutuhan khusus. Ada tiga kriteria dari kebutuhan khusus seperti
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu: kebutuhan tidak dapat
diperhitungkan dengan menggunakan rumus dana alokasi umum, kebutuhan merupakan
komitmen atau prioritas nasional, dan kebutuhan untuk membiayai kegiatan reboisasi dan
penghijauan oleh daerah penghasil. Dengan demikian DAKpada dasarnya merupakan transfer
yang bersifat spesifik untuk tujuan-tujuan yang sudah digariskan.
Peran berikutnya yang dilakukan oleh pemerintah adalah peran distribusi. Peranan
distribusi dijalankan pemerintah dengan bertujuan untuk mendistribusikan pendapatan. Salah
satu instrumen yang dapat dilakukan pemerintah adalah pajak penghasilan (PPh). PPh
merupakan pendapatan bagi hasil dari pajak penghasilan terutang oleh wajib pajak orang
pribadi dalam negeri berdasarkan ketentuan pasal 25 dan pasal 29 Undang-Undang tentang
pajak penghasilan. Termasuk pendapatan bagi hasil dari pajak atas penghasilan berupa gaji,
upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lainnya sehubungan dengan pekerjaan atau
jabatan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi berdasarkan
ketentuan pasal 21 Undang-Undang tentang pajak penghasilan yang berlaku.
Penetapan upah minimum provinsi (UMP) juga merupakan upaya pemerintah yang
bertujuan mengurangi ketimpangan distribusi pendapatan. Hal ini termasuk dalam dasar
pertimbangan dari penetapan upah yang tertuang pada pasal 94 UU No. 13 tahun 2003
tentang ketenagakerjaan, selain agar upah tidak melorot dibawah kehidupan minimum untuk
pengentasan kemiskinan. Peranan pemerintah yang lain adalah sebagai alat stabilisasi
perekonomian. Peranan stabilisasi pemerintah dibutuhkan jika terjadi gangguan dalam
stabilitas perekonomian, seperti: terjadi deflasi, inflasi, penurunan permintaan/penawaran
suatu barang, yang nantinya masalah-masalah tersebut akan mengakibatkan timbulnya
masalah yang lain secara berturut-turut, seperti pengangguran, stagflasi, dan lain-lain.
Dalam menjalankan perekonomian dibutuhkan inflasi yang rendah dan relatif stabil.
Inflasi yang rendah dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi. Kenaikan harga lebih cepat
sedikit dibandingkan biaya produksi, sehingga produsen akan memperoleh keuntungan dan
menimbulkan gairah untuk berproduksi. Namun Inflasi yang tinggi, yang menyebabkan harga
naik cepat menyebabkan permintaan agregat menurun, sehingga produksi turut berkurang dan
akan menciptakan pengangguran.
Peran lain yang dapat dilakukan pemerintah yang termasuk dalam penelitian ini
adalah pada bidang pendidikan dan ketenagakerjaan. Pada bidang pendidikan, keterwakilan
intervensi pemerintah dapat terwakili oleh angka melek huruf (AMH). Target pemerintah
pada AMH, menunjukkan campur tangan pemerintah dalam bidang pendidikan tersebut.
Kemampuan membaca merupakan akar dari pengetahuan dan pemikiran manusia. Melek
huruf dapat dimaknai sebagai kemampuan untuk menjalin hubungan dengan orang lain
melalui pembicaraan, membaca, dan menulis, yang diaplikasikan pada kemampuan untuk
memanfaatkan media massa dan berbagai teknologi informasi. Tujuan dari melek huruf
adalah peningkatan taraf kehidupan masyarakat, keikutsertaan publik, penyelesaian masalah
kemanusiaan, dan perluasan kapasitas individu dan sosial masyarakat. Konsep tentang melek
huruf menunjukkan adanya hubungan antara tingkat kemampuan baca tulis dan partisipasi
sekolah dengan kemiskinan. Sedangkan intervensi pemerintah di bidang ketenagakerjaan
adalah pengembangan sektor informal menjadi sektor formal dalam upaya mengurangi
pekerja di sektor informal.
B. Kerangka Pikir dan Model Penelitian
Penelitian ini difokuskan pada telaah terhadap peran pertumbuhan ekonomi terhadap
permasalahan makroekonomi seperti: kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan distribusi
pendapatan. Berbeda dengan penelitian sebelumnya yang memodelkan dan menganalisis
hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan saja, studi ini juga memperhitungkan
hubungan antara pertumbuhan ekonomi terhadap pengangguran serta peran tidak langsung
dari pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan. Di
samping itu, untuk memperluas dan memperkaya cakupan analisis terkait pertumbuhan
ekonomi dengan permasalahan yang terjadi, sejumlah variabel lain terutama intervensi
pemerintah seperti pengeluaran pemerintah untuk kesehatan dan pendidikan, pajak daerah,
DAU, DAK, pajak penghasilan, penetapan UMP, pengendalian tingkat inflasi, angka melek
huruf dan proporsi orang yang bekerja di sektor informal serta kondisi kemiskinan awal
dijadikan sebagai variabel eksogen. Secara ringkas, kerangka pikir mengenai keterkaitan antar
variabel dalam penelitian ini tersaji melalui bagan berikut:
BAB III
METODOLOGI
3.1. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini berisikan tentang keterkaitan beberapa permasalahan
makroekonomi yaitu pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran, tingkat
ketimpangan distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan. Penelitian ini juga
mengamati bagaimana peran pemerintah dalam menanggulangi permasalahanpermasalahan
makroekonomi tersebut.
Penelitian ini menggunakan data cross section dari 30 provinsi, dimana
Provinsi Kepulauan Riau, Sulawesi Barat dan Papua Barat tergabung pada
provinsi asalnya yaitu Provinsi Riau, Sulawesi Selatan dan Papua. Provinsiprovinsi
tersebut diamati selama kurun waktu 4 tahun dalam periode 2005 2008.
Penelitian ini diharapkan mampu menjawab bagaimana keterkaitan antara
permasalahan makroekonomi dan bagaimana intervensi pemerintah turut andil
dalam permasalahan ini.
3.2. Metode Pengumpulan Data
Semua data yang digunakan dalam penelitian ini, kecuali upah minimum
provinsi (UMP) dan pengeluaran pemerintah menurut fungsi kesehatan dan
pendidikan merupakan data sekunder yang bersumber dari BPS. Secara lengkap,
penjelasan mengenai data yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Data PDB Nasional dan PDRB provinsi atas dasar harga konstan tahun 2000.
Dalam penelitian ini, dari data PDRB setiap provinsi dilakukan penghitungan
untuk memperoleh pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi (Growth)
38
pada tahun tertentu merupakan persentase perubahan dari PDRB tahun
tertentu terhadap PDRB tahun sebelumnya.
______,
= ____,______,___
____,___
_100% (1)
dimana : i = provinsi (Aceh, Sumatera Utara,, Papua)
t = tahun (2005, 2006, 2007, 2008)
2. Data persentase penduduk miskin (Head Count Index)
Sumber data: publikasi BPS Data dan Informasi Kemiskinan ; Buku 1:
Propinsi (berbagai tahun)
3. Data tingkat pengangguran terbuka (TPT)
Sumber data: publikasi BPS Indikator Kesejahteraan Rakyat (berbagai
tahun)
4. Data distribusi pendapatan didekati dengan menggunakan gini ratio index
BPS melakukan penghitungan distribusi pendapatan menggunakan proxy
pengeluaran yang datanya diperoleh dari SUSENAS modul konsumsi pada
tahun 2005 dan 2007. Untuk melengkapi data, peneliti melakukan
penghitungan menggunakan raw data SUSENAS kor dengan menggunakan
rumus penghitungan sebagai berikut :
____ = 1 (___( !,_ + #,(__$))) &_
(2)
Dimana : Gini = Gini ratio index untuk mewakili distribusi pendapatan
__ _ = Persentase penduduk kelompok ke-i
!,_ = Persentase kumulatif pendapatan kelompok ke-i
i = 1, 2, 3, , n
5. Data upah minimum propinsi (UMP)
x 100 % (3)
Dimana : i = provinsi (Aceh, Sumatera Utara, , Papua )
t = tahun (2005, 2006, 2007, 2008 )
Sumber data : BPS
Data yang digunakan untuk analisis inferensia merupakan data panel yang
mencakup 30 provinsi dalam periode tahun 2005-2008. Pengolahan data-data
tersebut dilakukan dengan menggunakan sejumlah program, yakni: Microsoft
Excel 2007, Arc View 3.3 dan Eviews 6.0. Kegiatan pengolahan data dengan
menggunakan Microsoft Excel 2007 mencakup penghitungan pertumbuhan
ekonomi, distribusi pendapatan (gini ratio index) dan inflasi serta pembuatan tabel
dan grafik untuk kepentingan analisis deskriptif. Selain penyajian tabel dan grafik,
penelitian ini juga menggunakan peta yang dibuat dengan menggunakan bantuan
Arc View 3.3. Sedangkan pengolahan data dengan menggunakan Eviews 6.0
digunakan untuk mengestimasi parameter-parameter model regresi dan statistikstatistik
yang digunakan untuk kepentingan analisis inferensia serta uji-uji formal
menyangkut pemilihan metode estimasi serta spesifikasi model terbaik.
3.3. Metode Analisis
Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif pada penelitian ini meliputi penyajian melalui tabel,
grafik, peta, dan sebagainya. Analisis deskriptif dilakukan pada penelitian ini
bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai tingkat kemiskinan,
45
biasa, proses estimasi secara terpisah untuk setiap unit cross section dapat
dilakukan.
Berdasarkan asumsi struktur matriks varians-kovarians residualnya, pada
model common effects, ada 4 metode estimasi yang dapat digunakan, yakni:
1) Ordinary Least Square (OLS), jika struktur matriks varians-kovarians
residualnya diasumsikan bersifat homoskedastik dan tidak ada cross
sectional correlation.
2) Generalized Least Square (GLS)/ Weighted Least Square (WLS):
Cross Sectional Weight, jika struktur matriks varians-kovarians
residualnya diasumsikan bersifat heteroskedatik dan tidak ada cross
sectional correlation.
3) Feasible Generalized Least Square (FGLS)/ Seemingly Uncorrelated
Regression (SUR) atau Maximum Likelihood Estimator (MLE), jika
struktur matriks varians-kovarians residualnya diasumsikan bersifat
heteroskedastik dan ada cross sectional correlation.
4) Feasible Generalized Least Square (FGLS) dengan proses
autoregressive (AR) pada error term-nya, jika struktur matriks
varians-kovarians residualnya diasumsikan bersifat heteroskedastik
dan ada korelasi antar waktu pada residualnya.
B. Fixed Effects Model
Model Fixed effects mengasumsikan bahwa terdapat efek yang berbeda
antar individu. Perbedaan itu dapat diakomodasi melalui perbedaan pada
intersepnya. Oleh karena itu, dalam model fixed effects, setiap 5_ merupakan
46
parameter yang tidak diketahui dan akan diestimasi dengan menggunakan teknik
variabel dummy yang dapat ditulis sebagai berikut:
4_
= 5 + _5_ + 6_
7 + 8_
(7)
K
4$
4L
4&
N=K
555
N+K
_0
0_
00
00_
NK
5$
5L
5&
N+Q
6$$ 6L$ 6R$
7R
S+K
8$
8L
8&
N (8)
Teknik seperti diatas dinamakan Least square Dummy Variabel (LSDV).
Selain diterapkan untuk efek tiap individu , LSDV ini juga dapat mengakomodasi
efek waktu yang besifat sistemik. Hal ini dapat dilakukan melalui penambahan
variabel dummy waktu di dalam model.
Berdasarkan asumsi struktur matriks varians-kovarians residualnya, pada
model fixed effects, ada 3 metode estimasi yang dapat digunakan, yakni:
1) Ordinary Least Square (OLS/LSDV), jika struktur matriks varianskovarians
residualnya diasumsikan bersifat homoskedastik dan tidak
ada cross sectional correlation.
2) Weighted Least Square (WLS), jika struktur matriks varians-kovarians
residualnya diasumsikan bersifat heteroskedastik dan tidak ada cross
sectional correlation.
3) Seemingly Uncorrelated Regression (SUR), jika struktur matriks
varians-kovarians residualnya diasumsikan bersifat heteroskedastik
dan ada cross sectional correlation.
C. Random Effects Model
Berbeda dengan fixed effects model, efek spesifik dari masing-masing
individu 5_ diperlakukan sebagai bagian dari komponen error yang bersifat acak
dan tidak berkorelasi dengan variabel penjelas yang teramati (6_ ), model seperti
47
ini dinamakan random effects model (REM). Model ini sering disebut juga dengan
error component model (ECM). Dengan demikian, persamaan model random
effects dapat dituliskan sebagai berikut:
4_
= 5 + 6_
7 + __
_ = Aceh, Sumut,, Papua; (9)
_ = 2005, 2006, 2007, 2008;
Dimana __ = 8_ + U_; V___ ) = 0; V___
L) = WL + WX
L;
VY__ ,_Z
_$[ = 0; _ ]; V_U_8_
) = 0;
V_8_ 8_^) = VY8_ 8Z
[ = VY8_
8Z^[ = 0
Meskipun komponen error it w bersifat homokedastik, nyatanya terdapat
korelasi antara it w dan it s w (equicorrelation), yakni:
____Y__
,___ _$)[ = `a b
`bc`a b (10)
Karena itu, metode OLS tidak bisa digunakan untuk mendapatkan estimator yang
efisien bagi model random effects. Metode yang tepat untuk mengestimasi model
random effects adalah Generalized Least Squares (GLS) dengan asumsi
homokedastik dan tidak ada cross-sectional correlation.
Penyeleksian Model
Dari ketiga model yang telah dibahas sebelumnya, kemudian dipilih yang
mana model yang paling tepat digunakan dalam penelitian. Pemilihan model dapat
dilakukan secara formal maupun informal dengan mempertimbangkan beberapa
hal tertentu.
48
Judge (1980) menyatakan ada perbedaan mendasar untuk menentukan
pilihan antara FEM (Fixed Effects Model) dan ECM (Error Component Model)
antara lain sebagai berikut (Gujarati, 2004):
1) Jika T (jumlah data time series) besar dan N (jumlah unit cross-section)
kecil, perbedaan antara FEM dan ECM adalah sangat tipis. Oleh karena
itu, dapat dilakukan penghitungan secara konvensional. Pada keadaan
ini, FEM mungkin lebih disukai.
2) Ketika N besar dan T kecil, estimasi diperoleh dengan dua metode
dapat berbeda secara signifikan. Pada ECM, 5_ = 5 + U_ , dimana
U_ adalah komponen random cross-section dan pada FEM, 5_
ditetapkan dan tidak acak. Jika kita sangat yakin dan percaya bahwa
individu, ataupun unit cross-section sampel kita adalah tidak acak,
maka FEM lebih cocok digunakan. Jika unit cross-section sampel
adalah random/acak, maka ECM lebih cocok digunakan.
3) Komponen error individu U_ dan satu atau lebih regresor berkorelasi,
estimator yang berasal dari ECM adalah bias, sedangkan yang berasal
dari FEM adalah unbiased.
4) Jika N besar dan T kecil, serta jika asumsi untuk ECM terpenuhi, maka
estimator ECM lebih efisien dibanding estimator FEM.
Secara formal, ada tiga prosedur pengujian yang akan digunakan, yaitu uji
statistik F yang digunakan untuk memilih antara model common effects atau fixed
effects; uji Langrange Multiplier (LM) yang digunakan untuk memilih antara
model common effects atau model random effects; dan uji Hausman yang
digunakan untuk memilih antara model fixed effects atau model random effects.
49
A. Pengujian Signifikansi Model Fixed Effects
Pengujian signifikansi model fixed effects dilakukan dengan uji statistik F.
Uji F digunakan untuk mengetahui apakah teknik regresi data panel dengan fixed
effects lebih baik dari model regresi common effects. Hipotesis null (H0) yang
digunakan adalah model common effects lebih baik, dengan kata lain tidak
terdapat perbedaan antar individu.
Adapun uji F statistiknya adalah sebagai berikut:
__U_d = (ef__efb)/(&_$)
efb/(&h_&_i) ~ (5; (_ 1); (_k _ l)) (11)
dimana n = jumlah individu; T = periode observasi; k = jumlah parameter dalam
model fixed effects; RSS1 merupakan residual sum of squares common effects
model, sedangkan RSS2 merupakan residual sum of squares fixed effects model.
Nilai F hitung akan mengikuti distribusi statistik F dengan derajat bebas
(df) {n-1} dan {nT-n-k}. Jika nilai statistik F hitung lebih besar daripada F tabel
pada tertentu, maka hipotesis null akan ditolak sehingga dapat disimpulkan
teknik regresi data panel dengan fixed effects lebih baik dari model regresi data
1v
L
~ w5,1
2 (12)
dimana n = jumlah individu; T = jumlah periode waktu dan x_
adalah residual
model common effects. LM akan mengikuti distribusi chi-square dengan derajat
bebas (df) sebesar 1. Jika LM lebih besar dari chi-square pada tabel dengan
signifikansi (alpha tertentu), maka hipotesis null akan ditolak, yang berarti model
estimasi yang tepat untuk regresi data panel adalah model random effects daripada
model common effects.
C. Hausman Test
Terkadang kita berhadapan dengan kondisi dimana random effects model
maupun fixed effects model lebih baik dari common effects model. Untuk itu perlu
dilakukan Hausman test dalam menentukan model yang sesuai antara model fixed
effects atau model random effects. Unsur penting metode pemilihan ini adalah
matriks kovarians dari perbedaan vektor y7z
{| 7z
e|}:
._y7z
{| 7z
e|} = ._y7z
{|} + ._y7z
e|} 2_.y7z
{|,7z
e|} (13)
dimana 7z
{|adalah estimator efisien yang dihasilkan dari metode fixed effects
sedangkan 7z
e| adalah estimator yang dihasilkan dari metode random effects.
Hasil metode Hausman adalah bahwa perbedaan kovarians dari estimator
fixed effects model dengan estimator random effects model adalah 0, sehingga
_.y(7z
{| 7z
e|),7z
e|}
= _.y7z
{|,7z
e|}
e|}
._y7z
= 0 (14)
51
_.y7z
{|,7z
e|} = ._y7z
e|} (15)
Kemudian dengan mensubstitusikan persamaan - persamaan tersebut akan
menghasilkan matriks kovarians sebagai berikut:
._y7z
{| 7z
e|} = ._y7z
{|} ._y7z
e|} =. (16)
Selanjutnya mengikuti kriteria Wald, nilai statistik Hausman diatas akan
mengikuti distribusi chi-square sebagai berikut:
. = wL... = y7z
7z
..f}
.
_$y7z
7z
..f} (17)
Statistik uji Hausman di atas mengikuti distribusi chi-square dengan
derajat bebas sebanyak jumlah variabel bebas (k). Hipotesis null pada uji hausman
adalah model random lebih baik. jika nilai statistik Hausman lebih besar daripada
nilai kritis statistik chi-square, maka hipotesis null akan ditolak, yang berarti
model estimasi yang tepat untuk regresi data panel adalah model fixed effects
dibanding model random effects.
Dalam penelitian ini, penentuan apakah fixed effects model atau random
effects model yang akan digunakan selain didasarkan pada sejumlah pertimbangan
yang telah disebutkan, juga akan didasarkan pada kriteria ekonomi (make sense
secara ekonomi). Kesesuaian tanda hasil estimasi koefisien regresi setiap variabel
di dalam model dengan teori dan kewajaran besaran nilai koefisien hasil estimasi
tersebut juga menjadi unsur pertimbangan dalam pemilihan model.
Selanjutnya, untuk model estimasi regresi data panel terpilih, akan
dilakukan pengujian untuk memilih estimator dengan struktur varians-kovarians
dari residual yang lebih baik. Namun, jika terpilih model random effects maka
pengujian untuk memilih struktur varians-kovarians residual yang lebih baik tidak
dilakukan.
52
Strukstur Varians-Kovarians Residual Model Regresi Data Panel
Tahapan selanjutnya setelah menentukan model estimasi adalah memilih
metode estimasi yang tepat sesuai dengan struktur varians-kovarians residual.
Membangun model regresi dengan data panel akan menyebabkan bertambahnya
komponen residual, karena adanya dimensi cross-section dan time-series pada
0 0 L
.
Untuk struktur seperti ini metode estimasi yang digunakan adalah Ordinary Least
Square.
B. Struktur Heteroskedastik dan Tidak Ada Cross-sectional Correlation
Struktur varians-kovarians residual yang bersifat heteroskedastik dan tidak
ada cross-sectional correlation adalah sebagai berikut:
= E.. =
$
L 0 0
0 L
L 0
0 0 .
L
.
Untuk struktur seperti ini metode estimasi yang digunakan adalah Generalized
Least Square (GLS)/Weighted Least Square (WLS) Cross-sectional Weight.
C. Struktur Heteroskedastik dan Ada Cross-sectional Correlation
Struktur varians-kovarians residual yang bersifat heteroskedastik dan ada
cross-sectional correlation adalah sebagai berikut:
= E.. =
$$
L $L
L $.
L$
L LL
L L.
L
.$
L .$
L ..
L
.
Untuk struktur seperti ini metode estimasi yang digunakan adalah Feasible
Generalized Least Square (FGLS)/Seemingly Uncorrelated Regression (SUR):
SUR weight atau Maximum Likelihood Estimator (MLE).
54
D. Struktur Heterokedastik dan Adanya Autokorelasi
Pada model ini terjadi korelasi antar dua residual pada periode waktu yang
berbeda dalam cross-section yang sama (diasumsikan tidak terjadi cross-sectional
correlation). Komponen residual antar waktu diasumsikan mengikuti proses
autoregressive dengan lag 1/AR(1). Struktur matrik varians-kovarians residual
adalah
= E.. =
$
L. 0 0
0 L
L. 0
0 0 .
L.
.
Metode estimasi yang digunakan adalah Feasible Generalized Least Square
(FGLS) dengan proses autoregressive (AR) pada residual (Ekananda, 2004).
Pengujian Asumsi Struktur Varians-kovarians Residual
Adapun untuk penentuan metode estimasinya dilakukan pengujian
Lagrange Multiplier (LM test pada struktur varians-kovarians residual). Pengujian
dilakukan untuk mengetahui apakah struktur varians-kovarians residual memenuhi
asumsi homoskedastik atau struktur heteroskedastik dan tidak ada cross-sectional
correlation. Hipotesis null (H0) yang digunakan adalah struktur varians-kovarians
residual bersifat homoskedastik. Sementara hipotesis alternatifnya (H1) adalah
bahwa struktur varian-kovarian residual bersifat heteroskedastik.
L
22
0
22
1
o`..b
`.b 1v
L
&_
~ w.;&_$
L (18)
dimana T merupakan jumlah periode waktu, n adalah jumlah individu, i2 adalah
varian residual persamaan ke-i pada kondisi homoskedastik, dan 2 adalah Mean
Square Error persamaan sistem pada kondisi homoskedastik.
Statistik uji LM ini mengikuti distribusi statistik chi-square dengan derajat
bebas sebanyak n-1. Jika nilai statistik LM lebih besar dari nilai kritis statistik chisquare,
maka hipotesis null akan ditolak, yang berarti struktur varians-kovarians
residual bersifat heteroskedastik tanpa ada korelasi antar unit. Metode yang dapat
digunakan untuk struktur varians-kovarians residual yang bersifat heteroskedastik
adalah Weighted Least Squares (WLS).
Pemilihan Estimator Struktur Heteroskedastik dan Tidak Ada Cross
Sectional Correlation atau SUR dengan Uji LM.
Pengujian ini dilakukan apabila hasil pengujian LM menunjukkan bahwa
struktur varians-kovarians residual bersifat heteroskedastik. Pada pengujian ini,
hipotesis null yang digunakan adalah bahwa struktur varians-kovarians residual
bersifat heteroskedastik dan tidak ada cross sectional correlation. Sementara
hipotesis alternatifnya adalah bahwa struktur varians-kovarians residual bersifat
heteroskedastik dan ada cross sectional correlation (Seemingly Uncorrelated
Regression/SUR). Statistik uji yang digunakan dirumuskan sebagai berikut:
.. = k __Z
.$
__$ L
Z.$
&_
~ w&(&_$)/L
L (19)
56
dimana n adalah jumlah individu, T adalah jumlah periode waktu __Z
L adalah
residual correlation coefficient antara persamaan ke-i dan ke-j.
Statistik uji LM ini mengikuti distribusi statistik chi-square dengan derajat
bebas sebanyak n(n-1)/2. Jika nilai statistik mn lebih besar dari nilai kritis
statistik chi-square maka hipotesis null akan ditolak, yang berarti struktur varianskovarians
residual bersifat heteroskedastik dan ada cross sectional correlation
(Seemingly Uncorrelated Regression/ SUR).
Model Persamaan Simultan dengan Menggunakan Data Panel
Pada model persamaan tunggal terdapat satu variabel tak bebas Y dan
beberapa variabel bebas X. Dalam model seperti ini penekanan diberikan kepada
peramalan nilai Y ketika nilai X diketahui. Dalam kata lain terdapat hubungan
sebab akibat dari X ke Y. Namun dalam banyak kasus ekonomi, kenyataannya
variabel ekonomi saling mempengaruhi. Ini terjadi jika Y tidak hanya ditentukan
oleh X tetapi beberapa X juga ditentukan oleh Y. Ringkasnya, ada hubungan dua
arah (interdependensi), atau simultan antara sejumlah variabel. Hubungan
simultan yang terjadi berimplikasi pada estimasi setiap persamaan dan
keseluruhan sistem, karena dampak feedback dan dual causality antara sejumlah
variabel di satu sisi dan adanya korelasi residual antar persamaan dan antar
periode waktu di sisi yang lain. Oleh karena itulah, muncul model persamaan
simultan menjadi solusi permasalahan seperti ini.
Dalam penelitian ini, hubungan simultan antara variabel penelitian
.L
didasarkan pada informasi apriori (Gujarati, 2004), yakni teori dan hasil penelitian
empiris. Variabel dalam persamaan simultan dapat dikelompokkan menjadi dua,
57
yaitu : variabel endogen dan variabel eksogen. Variabel endogen merupakan
variabel yang nilainya ditentukan oleh model, sedangkan variabel eksogen
nilainya ditentukan dari luar model. Dalam penelitian ini variabel
kebijakan/intervensi pemerintah merupakan variabel eksogen. Berikut adalah
bentuk umum sistem persamaan simultan dengan menggunakan data panel.
Misalkan sebuah sistem persamaan terdiri dari M persamaan, K variabel
eksogen, N observasi, dan T periode waktu. Dengan struktur data panel, berarti
terdapat sebanyak N observasi untuk setiap persamaan dan M persamaan untuk
setiap periode waktu. Karena itu, setiap periode waktu memiliki jumlah variabel
endogen, eksogen dan observasi yang sama, untuk setiap periode waktu bentuk
struktural setiap persamaan adalah sebagai berikut:
4$$$ + 4LL$+ + 4..$ + _$7$$ + _L7L$+ + _.7.$ + 8$ = 0
4$$L + 4LLL+ + 4..L + _$7$L + _L7LL+ + _.7.L + 8L = 0
$ L
S + .x$ xL x. Q
$$ $L $
L$ LL L
$ L
S = .$ L .
dimana :
setiap vektor y1...yM merepresentasikan N observasi pada M variabel endogen.
Setiap vektor 1 k x ...x merepresentasikan N observasi pada K variabel eksogen.
Setiap vektor 1...M merepresentasikan N observasi pada M residual. , dan ,
merupakan parameter struktural dari sistem yang akan diestimasi.
58
Untuk semua (full set) N observasi, struktur di atas dapat dituliskan
menjadi
... + ..22. = .. (20)
dimana
=
x$$ x$
x.$ x.
..2
=
y$$ y$
y.$ x.
..
=
$$ $
.$ .
..
pq,r
b srt_
q
t_
(25)
Dimana x_,
adalah residual dari regresi dengan fixed effects untuk tiap panel i, t
adalah periode waktu, dan N adalah jumlah individu. Nilai statistik dp akan
dibandingkan dengan nilai dU dan dL. Nilai dU adalah batas atas pada tabel Durbin
Watson dan . adalah nilai batas bawah pada tabel Durbin Watson. Keputusan
yang diambil adalah sebagai berikut:
0 < R < .; terjadi autokorelasi positif
. < R < . dan 4 . < R < 4 .; tidak dapat disimpulkan
. < R < 4 .; tidak ada autokorelasi
4 . < R < 4; terjadi autokorelasi negatif
Terdapat kriteria lain yang digunakan untuk menentukan ada tidaknya
korelasi pada residual, yaitu dengan menggunakan koefisien korelasi sampel
berorde satu:
= 2(1 .), dimana . = pp q,rpp q,r__
pp q,r
b (26)
66
Dari persamaan di atas dapat terlihat jika . = 0 maka nilai d=2, maka dari itu
jika tidak terdapat serial korelasi diharapkan d akan bernilai di sekitar 2. Sebagai
rule of thumb, jika nilai d ternyata 2, maka peneliti bisa mengasumsikan bahwa
tidak ada autokorelasi baik positif maupun negatif.
3. Homoskedastisitas
Heteroskedastisitas berarti adanya varians dari error OLS yang tidak
konstan yang disebabkan oleh tingkah laku variabilitas (misalnya: dalam hal
disparitas yang mencolok antar daerah) atau perkembangan ketelitian pencatatan
data (misalnya dengan semakin canggihnya metode pengumpulan data, tingkat
kesalahan pengukuran semakin kecil) atau karena kesalahan spesifikasi
(misspecification). Akibatnya varians koefisien-koefisiennya tidak akurat
(overestimate atau underestimate), sehingga hasil uji-nya tidak reliabel.
Dalam pemodelan regresi dengan data panel, terjadinya pelanggaran
asumsi regresi linier klasik pada residual terutama tidak terpenuhinya asumsi
homoskedastisitas merupakan hal yang sangat sulit dihindari, dan tidak seperti
pada regresi klasik, pelanggaran tersebut dapat diakomodasi untuk menentukan
metode estimasi terbaik bagi spesifikasi model yang digunakan. Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya penentuan metode estimasi yang digunakan tergantung
pada struktur varians-kovarians residual-nya.
4. Non-Multikolinearitas
Multikolinieritas berarti adanya korelasi antar variabel bebas, yang terjadi
karena variabel-variabel bebas tersebut memiliki hubungan pada populasi atau
67
hanya pada sampel. Cara mendeteksi adanya kolinieritas: (Nash dan Bradford,
2001)
- Dengan memeriksa simple pairwise (Pearson) correlation antar variabel
independen. Batas nilai yang disarankan sebagai indikasi kolinieritas serius
berbeda-beda (0,8 menurut Berry dan Felman, 1985; dan 0,9 menurut Griffith
dan Amerhein, 1997). Nash dan Bradford (2001) menyebutkan bahwa suatu
variabel independen berkorelasi tinggi dengan variabel independen lainnya
jika _ lebih dari 0,85.
- Uji formal untuk mendeteksi keberadaan dari multikoliearitas yaitu dengan
melihat nilai Variance Inflation Factor (VIF). Nilai VIF ini
menunjukkan bagaimana varians dari sebuah estimator akan meningkat
akibat adanya multikolinearitas. Nilai VIF diperoleh dengan formula berikut:
i= $
$_e.
(27)
dimana l = 1,2,, _ 1 dan .i
L merupakan koefisien determinasi dari
regresi berganda ketika 6i diregresikan dengan p-2 variabel lainnya dalam
model. Jika nilai VIF lebih dari 10, maka hal tersebut dapat berindikasi
bahwa multikolinearitas bersifat serius dan akan mempengaruhi estimasi
yang menggunakan OLS karena meskipun estimator tetap bersifat unbiased
namun sudah tidak lagi memiliki varians yang minimum. Selain itu,
keberadaan multikolinieritas juga akan membuat estimator bersifat sensitif
untuk perubahan yang kecil pada data, sehingga akan mengakibatkan
kesalahan (missleading) dalam menginterpretasikan suatu model regresi. Cara
mengatasi adanya multikolinieritas antara lain melepas satu atau lebih
68
variabel yang memiliki korelasi yang tinggi, mentransformasi model, atau
b
Hipotesis nol ditolak jika (A_ X&A) > (&ci_$;&h_&_i). Jika keputusan tolak H0
berarti minimal ada satu variabel bebas yang signifikan berpengaruh terhadap
variabel tidak bebasnya. Keputusan ini dapat juga didasarkan pada perbandingan
nilai p-value dengan tingkat signifikansinya (). Hipotesis null ditolak jika nilai pvalue
lebih kecil dari .
C. Uji t
Uji t dilakukan untuk pengujian koefisien regresi secara parsial. Dengan
kata lain pelaksanaannya bertujuan untuk melihat signifikansi dari pengaruh
peubah bebas secara individu terhadap peubah tak bebas dengan menganggap
peubah lain bersifat konstan. Uji ini dilaksanakan dengan membandingkan thitung
dengan t-tabel.
Hipotesis pengujian:
H0: 7_ = 0, tidak ada pengaruh yang signifikan dari peubah bebas tertentu
terhadap peubah tak bebas.
H1: 7_ 0, ada pengaruh yang signifikan dari peubah bebas tertentu
terhadap peubah tak bebas.
Statistik uji yang digunakan adalah statistik uji t-student. Formulanya
sebagai berikut:
_A_
X&A =
7z _
Cx(7z
_)
(31)
7z
_ adalah penduga parameter ke-i dan Cx(7z
_) adalah simpangan baku dari
nilai penduga dari parameter ke-i. Hipotesis nol akan ditolak jika _A_
X&A >
_E
b(&h_&_.) atau _A_
X&A < _E
b(&h_&_.). Keputusan ini dapat juga didasarkan pada
71
perbandingan nilai p-value dengan tingkat signifikansinya (). Hipotesis null
ditolak jika nilai p-value lebih kecil dari nilai . Hal ini berarti secara parsial
variabel bebas ke-i signifikan mempengaruhi variabel tidak bebasnya dengan
tingkat kepercayaan (1 5) . 100%.
Model Penelitian
Untuk menelaah kaitan antara pertumbuhan ekonomi dan permasalahan
makroekonomi di Indonesia digunakan model persamaan simultan. Terdapat lima
persamaan struktural dan lima persamaan reduced yang digunakan dalam
penelitian. Persamaan reduced merupakan regresi dari variabel endogen terhadap
seluruh variabel eksogen dalam sistem. Sedangkan persamaan structural masingmasing
endogen dirumuskan sebagai berikut:
Log(PDRB)(it) = $+11Log(Konsumsi)(it)+ 12Log(Expenditure_EH)(it)+ 13Log(DAU)(it)
+ 14Log(DAK)(it)+ 15Log(pajak)(it)+ 16Inflasi(it)+ 17Informal(it)+ Z(i)
+ $./ (32)
TPT(it) = L+ 21Log(PDRB)(it)+ 22Log(UMP)it)+ 23Inflasi(it) + 24Informal(it)+ Z(i)
+ L./ (33)
Log(Gini)(it) = E+ 31Log(PDRB)(it)+ 32TPT(it)+ 33Log(UMP)it)+ 34Log(PPh)(it)
+35Log(DAU)(it)+ 36Log(DAK)(it)+ Z(i)+ E./ (34)
HCI(it) = E+ 41Log(PDRB)(it)+ 42TPT(it) + 43Log(Expenditure_EH)(it)+44Log(UMP)(it)
72
dimana :
HCI = Head Count Index (%)
Log(PDRB) = Logaritma dari Produk Domestik Bruto
TPT = Tingkat Pengangguran Terbuka (%)
Log(Gini) = Logaritma dari indeks gini ratio
Log(Konsumsi) = Logaritma dari konsumsi rumah tangga/ masyarakat
Log(Expenditure) = Logaritma dari pengeluaran pemerintah fungsi kesehatan
dan pendidikan
Log(DAU) = Logaritma dari dana alokasi umum
Log(DAK) = Logaritma dari dana alokasi khusus
Log(Pajak) = Logaritma dari pajak daerah
Log(PPh) = Logaritma dari pajak penghasilan
Log(UMP) = Logaritma dari upah minimum provinsi
Informal = Proporsi pekerja sektor informal(%)
AMH = Literacy rate, angka melek huruf
Inflasi = Tingkat inflasi (%)
Z = Efek individu
77
Tabel 2. Garis kemiskinan dan persentase penduduk miskin di Indonesia,
tahun 2006
Sumber GK per Hari GK per Bulan Persentase
Penduduk Miskin
(1) (2) (3) (4)
BPS
Rp 5.066,57,_
= Rp 151.997,_ 17,8
= US$ 1.55 PPP
Bank
Dunia
US$ 1 PPP
= Rp 97.218,_ 7,4
= Rp 3.240,60_
US$ 2 PPP
= Rp 194.439,_ 49,0
= Rp 6.481,60_
Po Papua = 35,53
81
Berdasarkan gambar 8, dapat dilihat bahwa pada tahun 2005 terdapat 11
provinsi yang termasuk kelompok provinsi dengan tingkat pengangguran terbuka
lebih dari 12,5 persen. Kesebelas provinsi tersebut adalah Aceh, Sumatera Barat,
Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Sulawesi Utara, Sulawesi
Selatan, Gorontalo, Maluku dan Maluku Utara. Sedangkan berdasarkan Gambar 9,
dapat dilihat bahwa hanya satu provinsi yang memiliki tingkat pengangguran
terbuka yang masih lebih dari 12.5 persen yaitu Provinsi Banten. Hal ini
mengindikasikan bahwa tingkat pengangguran yang tinggi selama periode
penelitian tersebut telah berkurang.
Sumber : BPS (diolah)
Gambar 9. Gambaran Tingkat Pengangguran Terbuka(TPT) di Indonesia
berdasarkan provinsi tahun 2008
Dalam rentang waktu penelitian, Provinsi Gorontalo mencatat penurunan
tingkat pengangguran terbuka paling tinggi jika dibandingkan dengan yang lain.
Tingkat pengangguran terbuka Provinsi Gorontalo yang semula 14 persen pada
TPT Banten = 15,18 %
TPT Gorontalo = 5,65 %
82
tahun 2005 menjadi 5,65 persen pada tahun 2008 atau terjadi penurunan TPT
sebesar 8,35 persen. Hal ini tidak terlepas dari peran sektor pertanian yang
tumbuh dengan sangat luar biasa di Provinsi Gorontalo (Tabel 3). Pertumbuhan
sektor pertanian yang tinggi dapat menyerap jumlah tenaga kerja dalam jumlah
banyak sehingga jumlah pengangguran dapat berkurang. Provinsi Gorontalo dapat
menjadi contoh yang tepat bagi provinsi lain dalam menurunkan tingkat
pengangguran terbukanya lewat pembangunan sektor pertanian.
Tabel 3. Perkembangan PDRB sektor pertanian dan Tingkat Pengangguran
Terbuka (TPT) Provinsi Gorontalo periode 2004 - 2008
Tahun
PDRB pertanian
(juta rupiah)
Pertumbuhan PDRB
pertanian (%)
TPT (%)
(1) (2) (3) (4)
2004 575.307,4
2005 618.182,1 7,5 14,0
2006 667.259,9 7,9 7,6
2007 716.115,4 7,3 7,2
2008 774.000,0 8,1 5,7
bekerja di sektor ini hanya 6 persen dari seluruh penduduk yang bekerja di
Indonesia.
Sumber : BPS (diolah)
Gambar 15. Proporsi
Pengangkutan
dan komunikasi
6%
89
di sektor ini. Sedangkan mayoritas penduduk,
2009, hal. 45), yang dapat menjadi produsen di
dan mereka inilah yang dapat
pasar. Berdasarkan Gambar
Contoh lainnya adalah sektor transportasi
subsektor telepon seluler. Hal yang serupa
sektor transportasi dan komunikasi
hanya segelintir orang yang memiliki kompetensi
di bidang IT dan orang - orang inilah yang dapat
Berdasarkan Gambar 15, pada tahun 2008 penduduk yang
pekerja menurut lapangan usaha utama di Indonesia
Pertanian
40%
Pertambangan
1%
Industri
12%
LGA
0%
Bangunan
5%
Perdagangan
21%
Keuangan
2%
Jasa-jasa
13%
n orang-orang
15, pada tahun
total seluruh
dengan sektor
komunikasi, dimana orang
berperan
, 2008
90
Menurut Todaro (2003, hal. 219), sudah jelas bahwa pembangunan
memerlukan PDB yang tinggi dan pertumbuhan yang cepat. Namun masalah
dasarnya bukan hanya bagaimana menumbuhkan PDB, tetapi siapakah yang
menumbuhkan PDB, sejumlah besar masyarakat yang ada di dalam sebuah negara
ataukah hanya segelintir orang di dalamnya. Jika yang menumbuhkannya
hanyalah orang-orang kaya yang berjumlah sedikit, maka manfaat
pertumbuhannya itu pun hanya dinikmati oleh mereka saja, sehingga kemiskinan
dan ketimpangan pendapatan akan semakin parah. Namun jika pertumbuhan
dihasilkan oleh orang banyak, mereka pulalah yang akan memperoleh manfaat
terbesarnya dan manfaat pertumbuhan ekonomi akan terbagi secara lebih merata.
4.5. Model Persamaan Simultan
Untuk menjawab tujuan penelitian yang kedua yaitu menjelaskan peran
pertumbuhan ekonomi dan intervensi pemerintah terhadap tingkat kemiskinan,
distribusi pendapatan.
Berkurangnya ketimpangan distribusi pendapatan dan persentase
penduduk miskin akibat penurunan TPT, secara tidak langsung akan semakin
mempercepat pertumbuhan ekonomi. Hal ini dikarenakan dengan penurunan
persentase penduduk miskin dan distribusi pendapatan yang lebih merata,
pengeluaran konsumsi masyarakat menjadi meningkat, dimana peningkatan
tersebut secara langsung akan memacu pertumbuhan ekonomi. Dari persamaan
structural I, dengan tingkat keyakinan 95 persen, dapat disimpulkan bahwa setiap
pertumbuhan konsumsi sebesar 1 persen menyebabkan pertumbuhan ekonomi
sebesar 0,42 persen. Menurut Keyness, pengeluaran agregat, dalam hal ini
pengeluaran masyarakat atas barang dan jasa, merupakan faktor utama yang
menentukan tingkat kegiatan ekonomi yang dicapai suatu negara.
Namun sebaliknya, jika persentase penduduk miskin meningkat dan
distribusi pendapatan melebar maka pertumbuhan ekonomi secara tidak langsung
akan terhambat. Dari persamaan structural V, dengan tingkat keyakinan 95
persen dapat disimpulkan bahwa peningkatan Head Count Index (HCI) ataupun
persentase penduduk miskin sebesar 1 persen dapat berdampak negatif pada
pertumbuhan konsumsi rumah tangga sebesar 0,023 persen. Sedangkan dari
persamaan yang sama, setiap pertumbuhan indeks gini ratio sebesar 1 persen
dapat berdampak negatif pada pertumbuhan konsumsi rumah tangga sebesar 0,037
persen. Hasil ini sesuai dengan teori virtuous circle, Soeharsono Sagir dalam
buku Kapita Selekta Ekonomi Indonesia tahun 2009, dimana peningkatan
97
pendapatan penduduk miskin, dalam hal ini penurunan persentase penduduk
miskin dan distribusi pendapatan yang lebih merata akan menyebabkan
peningkatan konsumsi dan secara tidak langsung akan memacu pertumbuhan
ekonomi.
Sumber : Sagir (2009)
Gambar 16. Teori Lingkaran Setan Kemiskinan (Virtuous Circle)
Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi memiliki kaitan yang erat dan
peran yang penting sekali dalam mengatasi permasalahan pengangguran,
kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan. Pertumbuhan ekonomi
harus dipacu terutama pada sektor-sektor tradeable yang dapat menyerap tenaga
kerja yang banyak sehingga menurunkan tingkat pengangguran terbuka.
Penurunan tingkat pengangguran terbuka dapat menyebabkan
pengurangan tingkat kemiskinan dan distribusi pendapatan yang lebih merata.
Kemudian penurunan persentase penduduk miskin dan distribusi pendapatan yang
lebih merata secara tidak langsung akan berimplikasi terhadap percepatan laju
Economic
Growth
Productive
Capacity
Employment
With Rising
Productivity
Higher income
of the Poor
Higher
Expenditure
Increased
productive
capacity
98
pertumbuhan ekonomi. Hasil ini sesuai dengan penelitian Faisal Basri dalam buku
Lanskap Ekonomi Indonesia tahun 2009. Beliau menyatakan bahwa bagi
negara berkembang yang jutaan penduduknya masih menganggur, sektor
tradeable atau barang lebih menguntungkan untuk dikembangkan, karena dapat
menyerap begitu banyak tenaga kerja dan keuntungannya dapat dinikmati oleh
banyak pihak.
Namun faktanya, seperti yang telah dijelaskan pada analisis deskriptif,
sektor tradeable justru semakin tertekan di Indonesia. Sektor tradeable tumbuh 34 persen per tahun, sedangkan pertumbuhan sektor non-tradeable justru berkisar
antara 8 9 persen per tahun. Menurut Faisal Basri, pertumbuhan ekonomi yang
timpang inilah yang menjadi salah satu penyebab utama, mengapa pengangguran
dan kemiskinan sulit teratasi serta ketimpangan distribusi pendapatan semakin
melebar padahal pertumbuhan ekonomi Indonesia berkisar antara 5-6 persen per
tahun. Penjelasan lebih lanjut mengenai pertumbuhan PDB sektor apa yang harus
dikembangkan akan dijelaskan pada sub bab terakhir pada bab ini.
4.7. Peran Intervensi Pemerintah Terhadap Kemiskinan, Pengangguran dan
Ketimpangan distribusi Pendapatan
Pengeluaran pemerintah menurut fungsi kesehatan dan pendidikan
Dari persamaan structural I dan reduced I, secara statistik tidak dapat
dibuktikan bahwa pengeluaran pemerintah untuk kesehatan dan pendidikan
berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Pada dasarnya, pengeluaran
pemerintah merupakan salah satu instrumen penting bagi pemerintah untuk
mengendalikan tingkat pertumbuhan ekonomi. Peningkatan pengeluaran
99
pemerintah merupakan kebijakan fiskal ekspansi dalam upaya meningkatkan
pertumbuhan ekonomi. Sedangkan penurunan pengeluaran pemerintah merupakan
kebijakan fiskal kontraksi, sebagai upaya menurunkan tingkat pertumbuhan
ekonomi. Namun, pengeluaran kesehatan dan pendidikan berbeda karena tidak
signifikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.
Menurut Todaro (2003), pengeluaran untuk kesehatan dan pendidikan
merupakan investasi modal manusia (human capital investment) dimana
dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi tidak dapat dirasakan pada tahun
tersebut namun pada tahun-tahun yang akan datang. Todaro melakukan ilustrasi
sederhana untuk menjelaskan hubungan antara pengeluaran untuk kesehatan dan
pendidikan terhadap pendapatan. Todaro mengambil contoh pengambilan
keputusan seseorang untuk melanjutkan sekolah. Skema Todaro mengasumsikan
bahwa seseorang bekerja saat lulus sekolah hingga meninggal di usia 66 tahun,
yang merupakan usia harapan hidup penduduk dunia saat itu. Lulusan sekolah
dasar dan sekolah tingkat atas diasumsikan masing-masing mulai bekerja pada
usia 13 dan 17 tahun.
Dari Gambar 17 dapat disimpulkan bahwa bagi seseorang yang
memutuskan untuk melanjutkan sekolah ke tingkat atas akan mengorbankan 4
tahun pendapatan yang diperolehnya kalau bekerja karena memilih untuk
bersekolah. Hal ini merupakan biaya tidak langsung, di samping itu terdapat biaya
langsung berupa uang sekolah, buku-buku dan lain-lain. Namun selama sisa
hidupnya, dia akan memperoleh penghasilan yang lebih besar setiap tahunnya
daripada jika ia bekerja dengan berbekal ijazah SD saja.
100
Sumber : Todaro (2003)
Gambar 17. Trade-off finansial dalam pengambilan keputusan untuk melanjutkan
Sekolah
Hal tersebut jika kita analogikan dengan permasalahan yang ada dapat
menjelaskan hubungan yang cukup unik antara pengeluaran untuk kesehatan dan
pendidikan dengan pertumbuhan ekonomi. Dalam jangka pendek (short term),
pengeluaran pemerintah untuk kesehatan dan pendidikan akan terasa seperti biaya
pemborosan, sehingga dapat menghambat pertumbuhan ekonomi. Namun
dalam jangka panjang (long term), pengeluaran pemerintah untuk kesehatan dan
pendidikan sekarang akan menghasilkan sumber daya manusia Indonesia yang
lebih berkualitas, lebih terampil dan lebih produktif pada masa yang akan datang,
sehingga akan memacu pertumbuhan ekonomi, seperti yang dijelaskan dalam
ilustrasi sederhana dari Todaro tersebut.
Pengeluaran pemerintah untuk kesehatan dan pendidikan penting
keberadaannya bagi sebagian besar penduduk, terutama penduduk miskin di
Indonesia. Pengeluaran pemerintah untuk kesehatan dan pendidikan secara
langsung memang terbukti tidak signifikan menurunkan persentase penduduk
66
13 17
Pendapatan
Biaya Langsung
Manfaat
Umur
Lulusan
Sekolah Atas
Lulusan
Sekolah Dasar
Biaya Tidak Langsung
101
miskin seperti yang terlihat di persamaan structural IV. Namun pengeluaran
pemerintah untuk kesehatan dan pendidikan bagaimanapun tetap diperlukan dan
sangat membantu kaum menengah ke bawah tersebut. Dengan pengeluaran
pemerintah untuk kesehatan dan pendidikan dapat berupa subsidi ataupun bantuan
langsung, pendapatan yang seharusnya digunakan penduduk untuk biaya
kesehatan dan pendidikan dapat mereka simpan ataupun mereka manfaatkan
untuk membuka usaha yang produktif. Hal ini dibuktikan oleh persamaan
reduced II, dimana dengan tingkat keyakinan 95 persen dapat disimpulkan
bahwa pengeluaran pemerintah untuk kesehatan dan pendidikan signifikan
menurunkan persentase pengangguran. Setiap pertumbuhan pengeluaran
pemerintah untuk kesehatan dan pendidikan sebesar 1 persen dapat menurunkan
TPT sebesar 0,77 persen.
Penurunan tingkat pengangguran terbuka berimplikasi terhadap penurunan
persentase penduduk miskin. Dari persamaan reduced IV, dapat disimpulkan
bahwa, dengan tingkat keyakinan 95 persen pengeluaran pemerintah untuk
kesehatan dan pendidikan signifikan dalam menurunkan persentase penduduk
miskin. Setiap pertumbuhan pengeluaran pemerintah untuk kesehatan dan
pendidikan sebesar 1 persen akan menurunkan tingkat kemiskinan (HCI)
Indonesia sebesar 0,39 persen.
Oleh karena pengaruhnya yang positif terhadap penurunan TPT dan
pengentasan kemiskinan, hendaknya pengeluaran pemerintah untuk kesehatan
dan pendidikan lebih ditingkatkan. Tabel 8 menunjukkan proporsi pengeluaran
pemerintah untuk kesehatan dan pendidikan terhadap PDB beberapa negara di
Asia.
102
Tabel 8. Rasio pengeluaran pemerintah untuk kesehatan dan pendidikan
terhadap PDB (%) beberapa negara di Asia tahun 2001 - 2009
Negara 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
Japan 10,6 10,7 10,9 10,8 10,9 10,9 11,0 11,2
Malaysia 8,8 9,4 9,1 7,4 6,8 7,1 7,5 7,8 9,4
Australia 5,2 5,2 5,2 5,3 5,3 5,3 5,1 5,3 5,6
Thailand 5,5 5,9 5,5 5,1 4,6 4,3 4,5 5,0
Singapore 5,4 5,3 5,3 4,4 4,1 3,7 3,7 4,1
Brunei Darussalam 6,0 6,7 8,5 4,3 5,4 4,8 4,4
Sri lanka 3,3 3,8 3,6 3,6 4,4 4,7 4,5 4,0 3,6
Indonesia 3,3 3,3 3,9 3,4 3,3 4,0 4,1 4,1
Phillippines 3,6 3,6 3,3 2,9 2,7 2,7 2,8 2,8 3,4
Bangladesh 3,2 3,0 2,9 2,9 2,7 2,8 2,9 2,7
Kamboja 2,1 2,7 2,5 2,4 2,3 2,4 2,4 2,4
Sumber : ADB Database
Dari Tabel 8 dapat dilihat bahwa pengeluaran pemerintah untuk kesehatan
dan pendidikan Indonesia relatif lebih kecil dibandingkan negara-negara tetangga,
terutama: Singapura, Malaysia, Thailand dan Brunei Darussalam. Proporsi
pengeluaran pemerintah untuk kesehatan dan pendidikan terbesar adalah negara
Jepang. Jepang kemudian juga secara konsisten bertahan dengan pengeluaran
untuk kesehatan dan pendidikan yang lebih dari 10 persen dari PDB-nya tiap
tahun. Indonesia sendiri hanya memiliki proporsi pengeluaran pemerintah untuk
kesehatan dan pendidikan berkisar 3-4 persen dari PDB tiap tahunnya atau berada
pada urutan 8 dari 11 negara pada Tabel 8. Proporsi pengeluaran pemerintah
untuk kesehatan dan pendidikan terhadap PDB Indonesia hanya unggul tipis dari
Filipina, Bangladesh dan Kamboja. Oleh karena itu, pengeluaran pemerintah
untuk kesehatan dan pendidikan Indonesia hendaklah harus ditingkatkan.
103
Sumber : BPS (diolah)
Gambar 18. Rasio pengeluaran pemerintah untuk kesehatan dan pendidikan
terhadap total pendapatan daerah di Indonesia tahun 2008
Permasalahan pengeluaran pemerintah untuk kesehatan dan pendidikan
bukan hanya karena proporsinya yang relatif kecil dibandingkan PDB nasional,
tetapi juga disparitas rasio pengeluaran pemerintah untuk kesehatan dan
pendidikan terhadap total peendapatan daerah (TPD) antar provinsi (Gambar 18).
Rasio pengeluaran pemerintah untuk kesehatan dan pendidikan terhadap total
0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00
Jawa Barat
PAPUA
Bali
Maluku Utara
Sumatera Utara
Bangka Belitung
Sulawesi Selatan
Banten
Sulawesi Utara
Sulawesi Tenggara
D.I. Yogyakarta
Gorontalo
Lampung
Jawa Timur
Nusa Tenggara Barat
Sulawesi Tengah
Kalimantan Barat
Sumatera Selatan
Jawa Tengah
Kalimantan Tengah
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Bengkulu
Sumatera Barat
DKI Jakarta
Jambi
Maluku
RIAU
Aceh
dalam persen
104
pendapatan daerah paling besar adalah Provinsi Aceh yaitu 23,59 persen. Selain
Provinsi Aceh, terdapat beberapa provinsi lainnya yang memiliki rasio antara
pengeluaran pemerintah untuk kesehatan dan pendidikan yang lebih dari 20
persen yaitu Provinsi Riau, DKI Jakarta, Jambi dan Maluku. Hal ini menunjukkan
kepedulian pemerintah provinsi tersebut terhadap kesehatan dan pendidikan
penduduknya atau dengan kata lain terhadap kualitas sumber daya manusianya.
Meskipun demikian, sebagian besar provinsi justru memiliki rasio
pengeluaran pemerintah untuk kesehatan dan pendidikan terhadap total
pendapatan daerah yang lebih kecil dari 20 %. Tentu saja, hal ini memprihatinkan,
mengingat pengeluaran pemerintah untuk kesehatan dan pendidikan sesuai model
yang dibentuk signifikan dalam mengurangi kemiskinan dan pengangguran. Oleh
karena itu, pengeluaran pemerintah untuk kesehatan dan pendidikan khususnya di
provinsi yang memiliki rasio kurang dari 20 % hendaklah ditingkatkan agar
efektif mengurangi penduduk menganggur dan miskin.
Pajak Daerah
Berbicara mengenai sisi pengeluaran tentu tidak bisa dilepaskan dari sisi
pendapatan. Pendapatan yang diterima oleh daerah akan digunakan untuk
pengeluaran-pengeluaran pembangunan, salah satunya pengeluaran krusial yang
telah dibahas sebelumnya, yaitu pengeluaran pemerintah untuk kesehatan dan
pendidikan. Sumber pendapatan daerah menurut UU 22/1999 dan UU 25/1999
dapat dilihat pada Tabel 9.
Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa pendapatan daerah meningkat setiap
tahunnya. Pada tahun 2005 total pendapatan provinsi seluruh Indonesia adalah
105
196,9 triliun rupiah meningkat hingga 375,8 triliun rupiah pada tahun 2008.
Proporsi terbesar dari total pendapatan provinsi seluruh Indonesia dari dana
perimbangan berkisar antara 70 sampai 80 persen tiap tahunnya. Proporsi
pendapatan asli daerah (PAD) antara 15 sampai 20 persen tiap tahunnya,
sedangkan sisanya merupakan pendapatan lain-lain daerah yang disahkan.
), Kedua, pajak
, ntuk
107
kemiskinan signifikan dalam menurunkan persentase penduduk miskin di
Indonesia. Setiap pertumbuhan pajak daerah sebesar 1 persen dapat menurunkan
persentase penduduk miskin di Indonesia sebesar 1,92 persen. Hasil ini sesuai
dengan yang disampaikan Soeharsono Sagir dalam bukunya yang berjudul Kapita
Selekta Ekonomi Indonesia tahun 2009, bahwasanya sebagai salah satu instrumen
kebijakan fiskal, pajak daerah memiliki sasaran spesifik diantaranya pengentasan
kemiskinan dan pengendalian konsumsi atas komoditas yang sifatnya tertiary
class dan nonbasic goods.
Dari persamaan reduced II, dapat disimpulkan bahwa pajak daerah tidak
terbukti signifikan mempengaruhi tingkat pengangguran terbuka. Hal ini
dikarenakan proporsi pajak daerah yang relatif kecil dibandingkan total
pendapatan daerah. Sehingga pajak daerah tidak cukup signifikan bila
diprioritaskan untuk upaya penciptaan lapangan kerja.
Pajak daerah yang tidak signifikan menurunkan tingkat pengangguran
terbuka secara tidak langsung dapat mengakibatkan ketimpangan distribusi
pendapatan melebar. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa ketimpangan
distribusi pendapatan dipengaruhi oleh tingkat pengangguran terbuka. Dari
persamaan reduced III, dapat disimpulkan bahwa dengan tingkat keyakinan 95
persen, pajak daerah terbukti signifikan mempengaruhi ketimpangan distribusi
pendapatan. Setiap pertumbuhan pajak daerah sebesar 1 persen dapat
menyebabkan pertumbuhan Indeks gini ratio sebesar 0,36 persen.
Seperti yang disampaikan sebelumnya, yang menjadi permasalahan adalah
proporsi pajak daerah yang relatif kecil jika dibandingkan total pendapatan
daerah. Oleh karena itu, pajak daerah harus ditingkatkan agar cukup mampu
108
digunakan untuk membiayai pembangunan-pembangunan yang sifatnya menyerap
dan membutuhkan jumlah tenaga kerja yang banyak. Sehingga dengan
peningkatan pajak daerah akan menyebabkan persentase pengangguran berkurang.
Pengaruh DAU dan DAK
Seperti yang telah dibahas sebelumnya (Tabel 9), sebagian besar total
pendapatan provinsi berasal dari dana perimbangan. Dana perimbangan
berkontribusi antara 75 sampai 80 persen terhadap total pendapatan. Hal ini
mengindikasikan bahwa daerah sangat membutuhkan dana perimbangan terkait
dengan terbatasnya kemampuan daerah dalam membiayai pembangunan. Di satu
sisi, dana perimbangan dapat menambah kemampuan daerah untuk membiayai
belanja daerah. Namun di sisi lain, besarnya dana perimbangan menunjukkan
ketergantungan fiskal yang tinggi antara pemerintah daerah terhadap pemerintah
pusat.
Dana perimbangan terdiri atas bagi hasil (bagi hasil pajak ditambah
dengan bagi hasil bukan pajak) antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah,
dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK). Total dana
perimbangan tahun 2008 berjumlah 276,1 triliun rupiah atau 73,5 persen dari total
pendapatan yang diterima seluruh provinsi di Indonesia. Dari Gambar 20 dapat
dilihat 73 persen dana perimbangan berasal dari dana alokasi umum (DAU) dan
dana alokasi khusus (DAK). Sedangkan, kontribusi bagi hasil terhadap total dana
perimbangan hanya 27 persen.
Sumber : BPS (diolah)
65%
109
. imbalance), dimana penggunaannya ditetapkan
fiscal gap), yaitu selisih antara
structural I dapat disimpulkan bahwa dengan tingkat
, pengeluaran pemerintah akan memacu
14%
13%
8%
Bagi Hasil Pajak
Bagi Hasil SDA
DAU
DAK
, formula dengan
), Pertumbuhan DAU
pengeluaran-pengeluaran
luaran
110
sehingga pertumbuhan dari DAU akan sangat sensitif sekali mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi suatu daerah.
Pertumbuhan ekonomi dapat mengurangi tingkat pengangguran terbuka
dengan signifikan (teori Okuns Law dan persamaaan structural II). Sehingga,
secara tidak langsung pertumbuhan DAU mempengaruhi tingkat pengangguran
terbuka dengan signifikan. Hal ini ditunjukkan oleh persamaan reduced II.
Dengan tingkat keyakinan 95 persen, dapat disimpulkan bahwa setiap
pertumbuhan DAU sebesar 1 persen menyebabkan tingkat pengangguran terbuka
turun sebesar 1,8 persen.
Selain DAU, pemerintah daerah menerima transfer dana dari pemerintah
pusat berupa dana alokasi khusus (DAK). Berbeda dengan DAU, DAK disediakan
kepada daerah untuk memenuhi kebutuhan khusus yang bersifat spesifik untuk
tujuan-tujuan yang sudah digariskan. Berdasarkan tujuannya, DAK dapat
dialokasikan menjadi DAK reboisasi dan DAK non reboisasi. Kegiatan reboisasi
ataupun non reboisasi akan menyerap tenaga kerja, dengan kata lain menyebabkan
pengangguran berkurang. Dari persamaan reduced II, dapat disimpulkan bahwa
dengan tingkat keyakinan 95 persen DAK berpengaruh signifikan terhadap tingkat
pengangguran terbuka. Setiap pertumbuhan DAK sebesar 1 persen dapat
menyebabkan tingkat pengangguran terbuka turun sebesar 1,65 persen.
Berkurangnya tingkat pengangguran terbuka dapat menyebabkan tingkat
kemiskinan turun. Sehingga, secara tidak langsung dapat diyakini bahwa DAK
berpengaruh signifikan terhadap persentase penduduk miskin. Hasil ini
ditunjukkan oleh persamaan reduced IV. Dengan tingkat keyakinan 95 persen
111
dapat disimpulkan bahwa setiap pertumbuhan DAK sebesar 1 persen secara tidak
langsung dapat menyebabkan Head Count Index (HCI) turun 0,62 persen.
Namun demikian, karena sifatnya yang spesifik dan tujuannya yang
bersifat khusus, dana alokasi khusus (DAK) tidak dapat dinikmati oleh sebagian
besar penduduk Indonesia. Hal ini menyebabkan distribusi pendapatan semakin
tidak merata seperti yang ditunjukkan oleh persamaan reduced III. Dengan tingkat
keyakinan 95 persen, dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan DAK sebesar 1
persen dapat menyebabkan pertumbuhan indeks gini ratio sebesar 0,065 persen.
Selain itu, karena memang untuk tujuan yang khusus dan sudah
digariskan, seperti kegiatan reboisasi dan non-reboisasi, pengaruhnya terhadap
pertumbuhan ekonomi tidak signifikan (persamaan structural I). Kegiatan
reboisasi tersebut misalnya. Pengalokasian DAK untuk reboisasi tentu saja
terkesan seperti pemborosan, karena pengaruhnya tidak dapat kita rasakan saat
itu juga (short term). Akibatnya, secara total DAK menyebabkan penurunan
tingkat pertumbuhan ekonomi. Tetapi, pengaruh dari pengalokasian DAK untuk
reboisasi dapat dirasakan nanti (long term), ketika biji yang kita tanam pada saat
reboisasi telah menghasilkan pohon yang kuat yang berdampak pada lingkungan
yang lebih bersih dan nyaman untuk ditinggali.
Pemerintah daerah sebaiknya meningkatkan pengeluaran untuk kesehatan
dan pendidikan supaya menghasilkan SDM yang lebih berkualitas sehingga
pembangunan masa yang akan datang (long term) jauh lebih baik. Konsekuensi
dari peningkatan pengeluaran pemerintah adalah peningkatan sumber pendapatan.
Seperti yang telah dinyatakan sebelumnya, PAD dalam hal ini diwakili oleh pajak
daerah, kontribusinya masih relatif kecil terhadap total pendapatan. Dana
112
perimbangan, yang dalam penelitian ini diwakili oleh DAU dan DAK, terlalu
dominan dalam memacu pertumbuhan ekonomi dan mengurangi pengangguran
karena kontribusinya yang besar terhadap total pendapatan daerah. Hal ini
mengindikasikan kemandirian fiskal yang rendah dari pemerintah daerah.
Menurut Smith dan Uppal dalam Tangkilisan (2005), tingkat kemandirian fiskal
dapat dilihat dari derajat desentralisasi fiskal suatu daerah. Derajat desentralisasi
fiskal dapat diukur salah satunya dari rasio PAD terhadap total pendapatan daerah.
Menurut hasil penelitian tim Fisipol UGM derajat desentralisasi fiskal dengan
menggunakan skala interval dapat ditunjukkan oleh tabel berikut:
Tabel 10. Skala interval derajat desentralisasi fiskal
PAD/TPD (%) Kemampuan Keuangan Daerah
(1) (2)
0 - 10,00 Sangat Kurang
10,01 - 20,00 Kurang
20,01 - 30,00 Cukup
30,01 - 40,00 Sedang
Sumber : Basri (2009) dan IMF Working Paper WP/08/129, Mei 2008
119
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
harus bekerja seperti itu. Berdasarkan data BPS, pada tahun 2006 jumlah orang
yang bekerja di sektor informal adalah 65,78 juta orang atau 68,9 persen dari
jumlah orang yang bekerja. Pada tahun 2007, proporsi orang yang bekerja di
sektor informal dibandingkan jumlah orang yang bekerja meningkat menjadi
69,05 persen atau 69 juta orang (Tabel 14).
Dari persamaan reduced II, dengan tingkat keyakinan 95 persen dapat
disimpulkan bahwa perkembangan sektor informal berpengaruh terhadap tingkat
pengangguran. Setiap peningkatan proporsi pekerja sektor informal sebesar 1
persen akan mengurangi tingkat pengangguran terbuka sebesar 0,086 persen. Bagi
penduduk yang tidak memiliki pekerjaan ataupun bagi yang baru saja kehilangan
125
pekerjaan di sektor formal, beralih profesi menjadi pekerja sektor informal tentu
menjadi salah satu solusi bagi mereka. Mereka akan mengusahakan apa saja guna
mencari sedikit keuntungan ataupun imbalan sekedar untuk menyambung hidup.
Tabel 14. Pengelompokkan pekerja di Indonesia menurut status ketenagakerjaan
tahun 2006 dan 2007
Status Ketenagakerjaan
Jumlah Penduduk
Indonesia (Juta Jiwa)
Persentase Pekerja di
Indonesia (%)
2006 2007 2006 2007
(1) (2) (3) (4) (5)
Sektor Formal 29,67 30,92 31,08 30,94
Majikan 2,85 2,88 2,99 2,88
Pegawai Tetap 26,82 28,04 28,10 28,06
Sektor Informal 65,78 69,00 68,91 69,05
Bekerja Sendiri 19,50 20,32 20,43 20,33
Bekerja Sendiri Plus Asisten Tidak Tetap 19,95 21,02 20,90 21,03
Buruh Musiman Pertanian 5,54 5,92 5,80 5,92
Buruh Musiman Non-pertanian 4,62 4,46 4,84 4,46
Pekerja Tanpa Upah Tetap 16,17 17,28 16,94 17,29
Total 95,46 99,93 100,00 100,00
Sumber : Kuncoro (2010)
Namun, dari persamaan reduced IV, dapat disimpulkan bahwa meskipun
memiliki koefisien negatif yang menunjukkan perkembangan sektor informal
menurunkan kemiskinan, namun pengaruhnya tidak signifikan. Memang ada
beberapa kisah sukses dari orang yang bekerja di sektor informal kemudian dapat
melepaskan diri dari jerat kemiskinan. Tetapi, jumlahnya tidak banyak. Sebagian
besar dari pekerja sektor informal justru menerima imbalan sangat rendah,
sampai-sampai tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan paling mendasar.
Dari Tabel 15 dapat dilihat bahwa upah rata-rata pekerja di sektor informal
sedemikian rendahnya. Selain itu kenyataan lain yang lebih mengiris adalah
pendapatan riil rata-rata pekerja sektor informal kian merosot. Contohnya
pembantu rumah tangga, secara nominal gajinya memang naik tiap tahun, namun
kenaikan itu tidak sebanding dengan kenaikan harga-harga sehingga kenyataannya
126
nilai barang dan jasa yang dibeli dengan pendapatan itu dari tahun ke tahun
semakin sedikit (Basri, 2009).
Tabel 15. Perkembangan upah sektor informal di Indonesia tahun 2004 2008
Periode
Upah Nominal
Rata-rata (Rp)
Pertumbuhan
Nominal Tahunan
(%)
Pertumbuhan Riil
Tahunan (%)
BB* PPR* PRT** BB PPR PRT BB PPR PRT
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
Jan-Jun 2004 26.366 6.351 139.618
Jan-Jun 2005 29.943 6.865 151.043 13,6 8,1 8,2 5,5 0,3 0,5
Jan-Jun 2006 33.831 7.627 160.396 13,0 11,1 6,2 -2,8 -4,4 -8,6
Jan-Jun 2007 35.455 7.907 169.644 4,8 3,7 5,8 -1,3 -2,4 -0,4
Mei 2007 35.608 7.927 170.624
Mei 2008 38.127 8.145 179.616 7,1 2,8 5,3 -3,0 -6,9 -4,6
Keterangan : * = Rata-Rata upah nominal per hari
** = Rata-Rata upah nominal per bulan
BB = Buruh Bangunan
PPR = Perempuan Penata Rambut
PRT = Pembantu Rumah Tangga
Sumber : Basri (2009)
Dengan upah rata-rata para pekerja sektor informal yang rendah,
perkembangan sektor informal selain tidak signifikan menurunkan kemiskinan
menyebabkan distribusi pendapatan semakin timpang. Dari persamaan reduced
III, dengan tingkat keyakinan 95 persen dapat disimpulkan bahwa perkembangan
sektor informal signifikan mempengaruhi ketimpangan distribusi pendapatan.
Peningkatan proporsi pekerja sektor informal sebesar 1 persen menyebabkan
pertumbuhan indeks gini ratio sebesar 0,006 persen.
Selain itu, pengaruh perkembangan sektor informal terhadap pertumbuhan
ekonomi relatif tidak signifikan seperti yang ditunjukkan oleh persamaan reduced
I. Fakta bahwa saat ini hampir 70 persen penduduk bekerja di sektor informal
jelas bukan merupakan kenyataan sosial dan ekonomi yang menggembirakan.
127
Menurut Faisal Basri tahun 2009, semakin kecil sektor informal dalam
perekonomian, dan semakin besar sektor formalnya, maka akan semakin baik
perekonomian yang bersangkutan (hal. 67).
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, perkembangan sektor informal
memang signifikan menurunkan tingkat pengangguran terbuka. Namun,
perkembangan sektor informal memiliki sumbangsih yang kecil terhadap
perekonomian. Selain itu, perkembangan sektor informal tidak signifikan dalam
menurunkan kemiskinan dan justru menyebabkan distribusi pendapatan semakin
tidak merata. Menurut Faisal Basri, banyak alasan untuk memperkecil proporsi
orang yang bekerja di sektor informal, diantaranya imbalan bagi para pekerja
sektor informal sangat rendah dan pekerja sektor informal tidak dilindungi oleh
jaminan sosial apa pun.
Di sinilah pentingnya pemerintah turun tangan mengurangi proporsi orang
yang bekerja di sektor informal. Pengurangan yang dimaksud disini bukanlah
dengan cara melarang ataupun menindas pelakunya, melainkan dengan berusaha
segera mengembangkan sektor informal menjadi sektor formal. Selain alasan yang
Temuan ini relevan dengan berbagai hasil penelitian lain yang juga
menelaah peran pertumbuhan ouput atau pendapatan di sektor pertanian terhadap
pengurangan kemiskinan di perdesaan maupun secara keseluruhan. Hasil
penelitian Sumarto dan Suryahadi (2003) menunjukkan pertumbuhan PDRB
sektor pertanian signifikan dalam menurunkan poverty headcount di wilayah
perdesaan Indonesia, begitupula dengan hasil penelitian Ravallion dan Datt (1996)
dalam Tambunan (2009) yang menunjukkan bahwa pertumbuhan PDB di sektor
primer, khususnya pertanian, jauh lebih efektif terhadap penurunan kemiskinan
dibandingkan sektor lainnya. Bahkan hal ini dinyatakan dengan jelas oleh Mellor
(2000) sebagai berikut: There has been a tendency to generalize that economic
growth reduces poverty when in fact it is the direct and indirect effect or
agricurtural growth that accounts for virtually all the poverty decline (hal. 3).
Meskipun tidak seefektif sektor pertanian, pertumbuhan PDRB sektor
industri pengolahan dan non-tradeable juga terbukti signifikan dalam menurunkan
tingkat kemiskinan. Dari persamaan HCI, setiap pertumbuhan PDRB sektor
industri pengolahan dan non-tradeable masing-masing berkontribusi terhadap
132
penurunan kemiskinan sebesar 1,7 persen dan 7,8 persen. Besarnya kontribusi
sektor non-tradeable dalam menurunkan kemiskinan diduga disebabkan besarnya
kontribusi jasa-jasa terutama dari sektor informal. Hasil penelitian ini relevan
dengan penelitian Hasan dan Quibria (2002) dalam Tambunan (2009) dan ADB
(1997) yang menunjukkan bahwa pertumbuhan PDB di sektor industri pengolahan
mempunyai dampak positif yang sangat besar terhadap peningkatan kesempatan
kerja dan penurunan kemiskinan.
Dari persamaan HCI, dengan tingkat keyakinan 95 persen dapat
disimpulkan bahwa pertumbuhan PDRB sektor pertambangan justru dapat
menyebabkan peningkatan persentase penduduk miskin. Setiap pertumbuhan
PDRB sektor pertambangan sebesar 1 persen menyebabkan peningkatan
persentase penduduk miskin sebesar 1,9 persen dalam kondisi yang lain cateris
paribus.
Dari persamaan GINI, dengan tingkat keyakinan 95 persen dapat
disimpulkan bahwa ada dua sektor yang berpengaruh signifikan terhadap indeks
gini ratio yaitu sektor pertanian dan sektor pertambangan. Sedangkan sektor
industri pengolahan dan non-tradeable secara statistik tidak terbukti signifikan
dalam mempengaruhi indeks gini ratio. Dari persamaan tersebut, dapat dinyatakan
bahwa setiap pertumbuhan PDRB sektor pertanian sebesar 1 persen dapat
menurunkan pertumbuhan indeks gini ratio sebesar 0,23 persen. Sedangkan
pertumbuhan PDRB sektor pertambangan justru dapat menyebabkan distribusi
pendapatan semakin tidak merata. Setiap pertumbuhan PDRB sektor
pertambangan sebesar 1 persen menyebabkan pertumbuhan indeks gini ratio
sebesar 0,12 persen.
133
Setelah kita mengkaji peran pertumbuhan PDRB masing-masing sektor
terhadap kemiskinan, pengangguran dan distribusi pendapatan, kita dapat
memperoleh beberapa kesimpulan yang menarik. Pertumbuhan PDRB sektor
pertambangan secara statistik tidak signifikan dalam menurunkan tingkat
pengangguran terbuka dan justru menyebabkan peningkatan persentase penduduk
miskin dan pertumbuhan indeks gini ratio yang mengindikasikan distribusi
pendapatan semakin timpang (cateris paribus). Pertumbuhan PDRB sektor
industri pengolahan dan non-tradeable meskipun signifikan dalam menurunkan
demikian, karena sifatnya yang spesifik dan tujuannya yang bersifat khusus,
DAK tidak dapat dinikmati seluruh masyarakat Indonesia. Hal ini
menyebabkan pengaruh DAK terhadap tingkat ketimpangan distribusi
pendapatan adalah positif.
11. Pajak penghasilan (PPh) signifikan dalam menciptakan distribusi pendapatan
yang lebih merata, hal ini sesuai dengan tujuan dan sasaran yang ingin
dicapai-nya. Namun demikian, PPh menyebabkan disposable income
berkurang, sehingga konsumsi berkurang dan berimplikasi terhadap
pengurangan pertumbuhan ekonomi.
12. Selain PPh, intervensi pemerintah lainnya yang bertujuan untuk menciptakan
distribusi pendapatan yang lebih merata adalah penetapan Upah Minimum
Provinsi (UMP). Selain signifikan menurunkan tingkat ketimpangan distribusi
pendapatan, UMP signifikan menurunkan HCI. Perbaikan tingkat
kesejahteraan (dalam hal ini HCI dan tingkat ketimpangan distribusi
pendapatan turun) menyebabkan konsumsi meningkat. Peningkatan tersebut
disikapi oleh produsen dengan cara menambah kegiatan produksi. Hal ini
139
menyebabkan terjadinya penyerapan tenaga kerja dan berimplikasi terhadap
berkurangnya TPT.
13. Inflasi menyebabkan peningkatan HCI dan distribusi pendapatan semakin
tidak merata. Selain itu, kenaikan inflasi menyebabkan penurunan daya beli
masyarakat yang berimplikasi terhadap penurunan konsumsi rumah tangga.
Inflasi merupakan kenaikan harga sejumlah barang di pasaran. Dari sisi
penawaran, kenaikan harga akan memacu produsen meningkatkan
produksinya. Namun, dari sisi permintaan, kenaikan harga justru
menyebabkan konsumen mengurangi konsumsinya. Ambiguitas dari inflasi ini
menyebabkan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi tidak signifikan.
Akibatnya, pengaruh inflasi terhadap TPT juga tidak signifikan.
14. Tingkat pendidikan dalam penelitian ini, diwakili oleh Angka Melek Huruf
(AMH), secara statistik tidak dapat dibuktikan signifikan memengaruhi
tingkat kemiskinan, tingkat pengangguran terbuka dan ketimpangan distribusi
pendapatan di Indonesia.
15. Perkembangan sektor informal menurunkan TPT. Namun demikian, upah
yang diterima di sektor informal tentu tidak banyak. Akibatnya,
perkembangan sektor informal tidak signifikan dalam menurunkan HCI dan
justru mengakibatkan distribusi pendapatan semakin tidak merata. Selain itu,
perkembangan sektor informal memiliki sumbangsih yang kecil terhadap
pertumbuhan ekonomi.
140
5.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian, penulis mengajukan saran
sebagai berikut:
1. Pertumbuhan ekonomi memiliki peran dan keterkaitan penting terhadap
kemiskinan, pengangguran dan dan ketimpangan distribusi pendapatan. Oleh
karena itu, pertumbuhan ekonomi harus dipacu terutama pada sektor-sektor
yang padat karya, lebih spesifik pada sektor pertanian. Adapun upaya yang
dapat dilakukan diantaranya adalah penelitian, penyuluhan dan perbaikan
infrastruktur dasar yang diperlukan dalam pembangunan pertanian, seperti:
pengadaan jalan, jembatan, sistem irigasi dan sebagainya.
2. Setiap intervensi pemerintah memiliki pengaruh yang berbeda terhadap
148
1.2. Persamaan Struktural II
Dependent Variable: TPT?
Method: Pooled IV/Two-stage Least Squares
Date: 07/30/11 Time: 11:30
Sample (adjusted): 2006 2008
Included observations: 3 after adjustments
Cross-sections included: 30
Total pool (balanced) observations: 90
Instrument list: C LOG(EXPENDITURE?) LOG(DAU?) LOG(DAK?)
LOG(PAJAK?) LOG(PPH?) LOG(UMP?) INFLASI? AMH? HCI?(-1)
INFORMAL?
Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (no d.f. correction)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 203.1702 34.89569 5.822214 0.0000
LOG(PDRB?) -18.97735 4.434818 -4.279173 0.0001
LOG(UMP?) -0.175465 1.649899 -0.106349 0.9157
INFLASI? 0.027905 0.014799 1.885634 0.0645
INFORMAL? -0.011152 0.016960 -0.657535 0.5135
Fixed Effects (Cross)
_NAD--C 7.171148 _BALI--C -6.223042
_SUMUT--C 27.02455 _NTB--C -1.233332
_SUMBAR--C 5.906541 _NTT--C -14.25458
_RIAU--C 23.54479 _KALBAR--C -1.850715
_JAMBI--C -14.03832 _KALTENG--C 22.32836
_SUMSEL--C 14.53015 _KALSEL--C -12.30120
_BENGKULU--C -28.27079 _KALTIM--C -8.817650
_LAMPUNG--C 3.619968 _SULUT--C 12.72021
_BABEL--C -20.77798 _SULTENG--C -20.02378
_JAKARTA--C 51.48206 _SULSEL--C -43.24566
_JABAR--C 49.12065 _SULTRA--C -38.94870
_JATENG--C 33.36311 _GORONTALO--C -10.77731
_JOGJA--C -9.491009 _MALUKU--C -33.76665
_JATIM--C 44.02097 _MALUT--C -46.51009
_BANTEN--C 25.18035 _PAPUA--C -9.482042
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
R-squared 0.965252 Mean dependent var 8.473667
Adjusted R-squared 0.944776 S.D. dependent var 3.167541
S.E. of regression 0.744364 Sum squared resid 31.02834
F-statistic 44.88177 Durbin-Watson stat 2.158733
Prob(F-statistic) 0.000000 Second-Stage SSR 32.53276
Instrument rank 40.000000
149
1.3. Persamaan Struktural III
Dependent Variable: LOG(GINI?)
Method: Pooled IV/Two-stage EGLS (Cross-section weights)
Date: 07/30/11 Time: 11:44
Sample (adjusted): 2006 2008
Included observations: 3 after adjustments
Cross-sections included: 30
150
1.4. Persamaan Struktural IV
Dependent Variable: HCI?
Method: Pooled IV/Two-stage EGLS (Cross-section weights)
Date: 07/30/11 Time: 12:10
Sample (adjusted): 2006 2008
Included observations: 3 after adjustments
Cross-sections included: 30
Total pool (balanced) observations: 90
Linear estimation after one-step weighting matrix
Instrument list: C LOG(EXPENDITURE?) LOG(DAU?) LOG(DAK?)
LOG(PAJAK?) LOG(PPH?) LOG(UMP?) INFLASI? AMH? HCI?(-1)
INFORMAL?
Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (no d.f. correction)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 77.20415 17.99943 4.289255 0.0001
LOG(PDRB?) -1.067156 2.711752 -0.393530 0.6955
TPT? 0.380990 0.037953 10.03850 0.0000
LOG(EXPENDITURE?) -0.186314 0.130611 -1.426488 0.1596
LOG(UMP?) -4.572052 1.863553 -2.453406 0.0175
INFLASI? 0.033628 0.007987 4.210573 0.0001
AMH? -0.317823 0.140893 -2.255779 0.0282
HCI?(-1) 0.476724 0.091698 5.198880 0.0000
Fixed Effects (Cross)
151
1.5. Persamaan Struktural V
Dependent Variable: LOG(KONSUMSI?)
Method: Pooled IV/Two-stage EGLS (Cross-section weights)
Date: 07/30/11 Time: 12:29
Sample (adjusted): 2006 2008
Included observations: 3 after adjustments
Cross-sections included: 30
Total pool (balanced) observations: 90
Linear estimation after one-step weighting matrix
Instrument list: C LOG(EXPENDITURE?) LOG(DAU?) LOG(DAK?)
LOG(PAJAK?) LOG(PPH?) LOG(UMP?) INFLASI? AMH? HCI?(-1)
INFORMAL?
Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (no d.f. correction)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 16.02230 0.056784 282.1600 0.0000
HCI? -0.023743 0.000492 -48.26955 0.0000
LOG(GINI?) -0.037457 0.006448 -5.808811 0.0000
INFLASI? -0.001322 0.000249 -5.316485 0.0000
LOG(UMP?) 0.168581 0.012652 13.32470 0.0000
LOG(PPH?) -0.016434 0.003077 -5.341199 0.0000
Fixed Effects (Cross)
_NAD--C -0.054937 _BALI--C -0.367240
_SUMUT--C 1.355050 _NTB--C 0.164691
_SUMBAR--C 0.101961 _NTT--C -0.363840
_RIAU--C 0.584463 _KALBAR--C -0.326664
_JAMBI--C -0.467709 _KALTENG--C -0.077893
_SUMSEL--C 0.917894 _KALSEL--C -1.070270
_BENGKULU--C -1.046764 _KALTIM--C -0.700256
_LAMPUNG--C 0.393123 _SULUT--C 0.332955
_BABEL--C -1.354584 _SULTENG--C -0.878502
_JAKARTA--C 2.224501 _SULSEL--C -2.207772
_JABAR--C 2.540921 _SULTRA--C -1.578640
_JATENG--C 2.140336 _GORONTALO--C -0.367785
_JOGJA--C -0.442773 _MALUKU--C -1.361040
_JATIM--C 2.846916 _MALUT--C -2.133424
_BANTEN--C 0.881073 _PAPUA--C 0.316207
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
Weighted Statistics
R-squared 0.999990 Mean dependent var 71.88518
Adjusted R-squared 0.999984 S.D. dependent var 203.5407
S.E. of regression 0.031146 Sum squared resid 0.053355
F-statistic 122288.0 Durbin-Watson stat 2.336123
Prob(F-statistic) 0.000000 Second-Stage SSR 0.070237
Instrument rank 40.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.999594 Mean dependent var 16.44430
Sum squared resid 0.059434 Durbin-Watson stat 2.270673
152
Lampiran 2. Hasil Estimasi Model Persamaan Reduced Form
2.1. Persamaan Reduced I
Dependent Variable: LOG(PDRB?)
Method: Pooled Least Squares
Date: 07/30/11 Time: 06:10
Sample (adjusted): 2006 2008
Included observations: 3 after adjustments
Cross-sections included: 30
Total pool (balanced) observations: 90
White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 7.285466 0.453664 16.05915 0.0000
LOG(EXPENDITURE?) -0.007394 0.005239 -1.411129 0.1644
LOG(DAU?) 0.058078 0.014230 4.081394 0.0002
LOG(DAK?) -0.006500 0.000835 -7.788731 0.0000
LOG(PAJAK?) 0.067969 0.004750 14.30866 0.0000
LOG(PPH?) -0.024766 0.009137 -2.710703 0.0092
LOG(UMP?) 0.335243 0.119270 2.810794 0.0070
INFLASI? 0.000618 0.000673 0.919632 0.3622
AMH? -0.013522 0.008176 -1.653931 0.1044
HCI?(-1) 0.006012 0.006936 0.866752 0.3902
INFORMAL? 0.000292 0.000370 0.789221 0.4337
Fixed Effects (Cross)
_NAD--C 0.150253 _BALI--C -0.146046
_SUMUT--C 1.252661 _NTB--C -0.189100
_SUMBAR--C 0.245768 _NTT--C -0.593000
_RIAU--C 1.292197 _KALBAR--C -0.004020
_JAMBI--C -0.503454 _KALTENG--C 1.423012
_SUMSEL--C 0.758327 _KALSEL--C -0.566271
_BENGKULU--C -1.261322 _KALTIM--C -0.585067
_LAMPUNG--C 0.237058 _SULUT--C 0.556141
_BABEL--C -0.924538 _SULTENG--C -0.986588
_JAKARTA--C 2.580831 _SULSEL--C -2.564366
_JABAR--C 2.380668 _SULTRA--C -1.984255
_JATENG--C 1.682255 _GORONTALO--C -0.378260
_JOGJA--C -0.315864 _MALUKU--C -1.912380
_JATIM--C 2.302308 _MALUT--C -2.166344
_BANTEN--C 0.962634 _PAPUA--C -0.743240
R-squared 0.999753 Mean dependent var 10.17585
Adjusted R-squared 0.999560 S.D. dependent var 1.333677
S.E. of regression 0.027978 Akaike info criterion -4.013695
Sum squared resid 0.039138 Schwarz criterion -2.902668
Log likelihood 220.6163 Hannan-Quinn criter. -3.565663
F-statistic 5184.254 Durbin-Watson stat 2.204343
Prob(F-statistic) 0.000000
153
2.2. Persamaan Reduced II
Dependent Variable: TPT?
Method: Pooled Least Squares
Date: 07/30/11 Time: 06:34
Sample (adjusted): 2006 2008
Included observations: 3 after adjustments
Cross-sections included: 30
Total pool (balanced) observations: 90
154
2.3. Persamaan Reduced III
Dependent Variable: LOG(GINI?)
Method: Pooled Least Squares
Date: 07/30/11 Time: 10:01
Sample (adjusted): 2006 2008
Included observations: 3 after adjustments
Cross-sections included: 30
Total pool (balanced) observations: 90
Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (no d.f.
correction)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -8.109806 1.869567 -4.337800 0.0001
LOG(EXPENDITURE?) 0.003808 0.026172 0.145503 0.8849
LOG(DAU?) -0.007099 0.030713 -0.231132 0.8182
LOG(DAK?) 0.064772 0.013976 4.634479 0.0000
LOG(PAJAK?) 0.361472 0.058990 6.127722 0.0000
LOG(PPH?) -0.034928 0.014057 -2.484774 0.0164
LOG(UMP?) -0.128939 0.050068 -2.575290 0.0130
INFLASI? 0.003405 0.000977 3.483803 0.0010
AMH? -0.007742 0.007887 -0.981675 0.3310
HCI?(-1) 0.010926 0.006002 1.820497 0.0747
INFORMAL? 0.005682 0.001950 2.913597 0.0053
Fixed Effects (Cross)
_NAD--C -0.245147 _BALI--C -0.229861
_SUMUT--C -0.421460 _NTB--C -0.031177
_SUMBAR--C -0.031404 _NTT--C 0.180852
_RIAU--C -0.020738 _KALBAR--C -0.049770
_JAMBI--C 0.057281 _KALTENG--C 0.182322
155
2.4. Persamaan Reduced IV
Dependent Variable: HCI?
Method: Pooled EGLS (Cross-section weights)
Date: 07/30/11 Time: 10:10
Sample (adjusted): 2006 2008
Included observations: 3 after adjustments
Cross-sections included: 30
Total pool (balanced) observations: 90
Linear estimation after one-step weighting matrix
Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (no d.f.
correction)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 115.2957 22.59523 5.102658 0.0000
LOG(EXPENDITURE?) -0.388557 0.152026 -2.555858 0.0137
LOG(DAU?) -0.323197 0.260196 -1.242130 0.2200
LOG(DAK?) -0.620395 0.072791 -8.522919 0.0000
LOG(PAJAK?) -1.922230 0.322009 -5.969487 0.0000
LOG(PPH?) 0.181279 0.259586 0.698341 0.4882
LOG(UMP?) -6.370804 0.579522 -10.99321 0.0000
INFLASI? 0.043509 0.005065 8.590052 0.0000
AMH? -0.029176 0.148661 -0.196262 0.8452
HCI?(-1) 0.344204 0.073367 4.691530 0.0000
INFORMAL? -0.010444 0.025102 -0.416077 0.6791
Fixed Effects (Cross)
_NAD--C 8.097929 _BALI--C -5.974444
_SUMUT--C 2.247977 _NTB--C 3.532396
_SUMBAR--C -1.876452 _NTT--C 4.310824
_RIAU--C -2.106927 _KALBAR--C -3.829523
_JAMBI--C -5.092792 _KALTENG--C -5.425939
_SUMSEL--C 2.552237 _KALSEL--C -5.040738
_BENGKULU--C 0.112239 _KALTIM--C -2.400387
_LAMPUNG--C 2.989523 _SULUT--C -4.245818
_BABEL--C -7.135567 _SULTENG--C 1.431642
_JAKARTA--C -2.825231 _SULSEL--C 0.050582
_JABAR--C 1.403936 _SULTRA--C -0.070081
_JATENG--C 5.548487 _GORONTALO--C -0.181407
_JOGJA--C -0.968505 _MALUKU--C 5.545257
_JATIM--C 4.825002 _MALUT--C -8.582428
_BANTEN--C -2.902012 _PAPUA--C 16.01022
Weighted Statistics
R-squared 0.999837 Mean dependent var 45.53765
Adjusted R-squared 0.999710 S.D. dependent var 89.82358
S.E. of regression 0.851103 Sum squared resid 36.21881
F-statistic 7870.479 Durbin-Watson stat 2.525613
Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.992521 Mean dependent var 16.90800
156
2.5. Persamaan Reduced V
Dependent Variable: LOG(KONSUMSI?)
Method: Pooled EGLS (Cross-section weights)
Date: 07/30/11 Time: 12:42
Sample (adjusted): 2006 2008
Included observations: 3 after adjustments
Cross-sections included: 30
Total pool (balanced) observations: 90
Linear estimation after one-step weighting matrix
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 13.51693 0.371963 36.33941 0.0000
LOG(EXPENDITURE?) 0.008080 0.004551 1.775501 0.0819
LOG(DAU?) 0.083596 0.013024 6.418488 0.0000
LOG(DAK?) -0.021476 0.008238 -2.607117 0.0120
LOG(PAJAK?) 0.017667 0.013175 1.340943 0.1860
LOG(PPH?) -0.039151 0.007467 -5.242977 0.0000
LOG(UMP?) 0.224892 0.038892 5.782514 0.0000
INFLASI? -0.001478 0.000664 -2.225855 0.0306
AMH? 0.007198 0.003699 1.945946 0.0573
HCI?(-1) -0.010260 0.002494 -4.113619 0.0001
INFORMAL? 0.000959 0.000549 1.746408 0.0869
Fixed Effects (Cross)
_NAD--C -0.245013 _BALI--C -0.162593
_SUMUT--C 1.318147 _NTB--C 0.158052
_SUMBAR--C 0.106303 _NTT--C -0.510872
_RIAU--C 0.687990 _KALBAR--C -0.257291
_JAMBI--C -0.369949 _KALTENG--C -0.033749
_SUMSEL--C 0.872873 _KALSEL--C -0.965155
_BENGKULU--C -1.119908 _KALTIM--C -0.579571
_LAMPUNG--C 0.316900 _SULUT--C 0.352114
_BABEL--C -1.222147 _SULTENG--C -0.981845
_JAKARTA--C 2.393574 _SULSEL--C -2.179469
_JABAR--C 2.574565 _SULTRA--C -1.627380
_JATENG--C 2.060217 _GORONTALO--C -0.439613
_JOGJA--C -0.360433 _MALUKU--C -1.576764
_JATIM--C 2.812051 _MALUT--C -2.072275
_BANTEN--C 1.053742 _PAPUA--C -0.002502
Weighted Statistics
R-squared 0.999987 Mean dependent var 39.66835
Adjusted R-squared 0.999977 S.D. dependent var 43.08690
S.E. of regression 0.023874 Sum squared resid 0.028498
F-statistic 100687.2 Durbin-Watson stat 2.628266
Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.999769 Mean dependent var 16.44430
Sum squared resid 0.033856 Durbin-Watson stat 2.233899
157
Lampiran 3. Pengujian Variabel Endogen
3.1. Konsumsi
Dependent Variable: LOG(PDRB?)
Method: Pooled EGLS (Cross-section weights)
Date: 07/30/11 Time: 10:54
Sample (adjusted): 2006 2008
Included observations: 3 after adjustments
Cross-sections included: 30
Total pool (balanced) observations: 90
Linear estimation after one-step weighting matrix
Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (d.f. corrected)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -3.180956 0.602552 -5.279143 0.0000
LOG(KONSUMSI?) 0.446243 0.048038 9.289332 0.0000
LOGKONS? 0.288158 0.075960 3.793566 0.0004
LOG(EXPENDITURE?) -0.011418 0.003828 -2.982662 0.0043
158
3.2. PDRB
Dependent Variable: TPT?
Method: Pooled Least Squares
Date: 07/30/11 Time: 11:24
Sample (adjusted): 2006 2008
Included observations: 3 after adjustments
Cross-sections included: 30
Total pool (balanced) observations: 90
Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (no d.f. correction)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 203.1709 35.06898 5.793466 0.0000
LOG(PDRB?) -10.50141 1.434234 -7.321968 0.0000
LOGPDRBCAP? -8.476034 5.039020 -1.682080 0.0982
LOG(UMP?) -0.175429 2.085075 -0.084135 0.9333
INFLASI? 0.027905 0.010540 2.647462 0.0106
INFORMAL? -0.011152 0.014826 -0.752162 0.4552
Fixed Effects (Cross)
_NAD--C 7.171168 _BALI--C -6.223050
_SUMUT--C 27.02468 _NTB--C -1.233331
_SUMBAR--C 5.906560 _NTT--C -14.25463
_RIAU--C 23.54490 _KALBAR--C -1.850712
_JAMBI--C -14.03838 _KALTENG--C 22.32849
_SUMSEL--C 14.53022 _KALSEL--C -12.30126
_BENGKULU--C -28.27091 _KALTIM--C -8.817719
_LAMPUNG--C 3.619995 _SULUT--C 12.72025
_BABEL--C -20.77808 _SULTENG--C -20.02388
_JAKARTA--C 51.48230 _SULSEL--C -43.24590
_JABAR--C 49.12089 _SULTRA--C -38.94889
_JATENG--C 33.36330 _GORONTALO--C -10.77736
_JOGJA--C -9.491035 _MALUKU--C -33.76685
_JATIM--C 44.02122 _MALUT--C -46.51032
_BANTEN--C 25.18043 _PAPUA--C -9.482088
R-squared 0.968401 Mean dependent var 8.473667
Adjusted R-squared 0.948867 S.D. dependent var 3.167541
S.E. of regression 0.716260 Akaike info criterion 2.455755
159
3.3. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)
Dependent Variable: HCI?
Method: Pooled EGLS (Cross-section weights)
Date: 07/30/11 Time: 12:15
Sample (adjusted): 2006 2008
Included observations: 3 after adjustments
Cross-sections included: 30
Total pool (balanced) observations: 90
Linear estimation after one-step weighting matrix
Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (d.f. corrected)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 105.8022 8.626684 12.26453 0.0000
LOG(PDRB?) 5.809458 2.475071 2.347189 0.0228
LOGPDRBCAP? -11.76875 2.108814 -5.580743 0.0000
TPTCAP? 0.184659 0.053501 3.451498 0.0011
TPT? 0.223987 0.082471 2.715958 0.0090
LOG(EXPENDITURE?) -0.209389 0.167318 -1.251439 0.2165
LOG(UMP?) -1.570939 1.172028 -1.340360 0.1861
INFLASI? 0.050044 0.013906 3.598651 0.0007
AMH? -0.313178 0.157515 -1.988248 0.0522
HCI?(-1) 0.542500 0.052336 10.36562 0.0000
Fixed Effects (Cross)
_NAD--C 6.059184 _BALI--C -5.598209
_SUMUT--C 7.340717 _NTB--C -0.057388
_SUMBAR--C -0.115169 _NTT--C 1.719712
_RIAU--C 5.923410 _KALBAR--C -2.808565
_JAMBI--C -5.017457 _KALTENG--C 7.075368
_SUMSEL--C 6.328909 _KALSEL--C -6.765338
_BENGKULU--C -4.464266 _KALTIM--C -6.966385
_LAMPUNG--C 3.994446 _SULUT--C 0.876499
_BABEL--C -8.378027 _SULTENG--C -2.858893
_JAKARTA--C 11.31786 _SULSEL--C -18.57169
_JABAR--C 11.36797 _SULTRA--C -10.33948
_JATENG--C 11.44081 _GORONTALO--C 1.234714
_JOGJA--C -2.072008 _MALUKU--C -5.787398
_JATIM--C 14.21173 _MALUT--C -15.12392
_BANTEN--C -0.311766 _PAPUA--C 6.344637
Weighted Statistics
R-squared 0.999442 Mean dependent var 39.56439
Adjusted R-squared 0.999026 S.D. dependent var 52.62042
S.E. of regression 0.865580 Sum squared resid 38.21062
F-statistic 2402.627 Durbin-Watson stat 2.634377
Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.992677 Mean dependent var 16.90800
Sum squared resid 44.14293 Durbin-Watson stat 2.322061
160
3.4. Gini Ratio
Dependent Variable: LOG(KONSUMSI?)
Method: Pooled EGLS (Cross-section weights)
Date: 07/30/11 Time: 12:31
Sample (adjusted): 2006 2008
Included observations: 3 after adjustments
Cross-sections included: 30
Total pool (balanced) observations: 90
Linear estimation after one-step weighting matrix
Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (no d.f.
correction)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 14.62588 0.071626 204.1990 0.0000
HCI? -0.006350 0.001181 -5.377041 0.0000
161
3.5. Tingkat Kemiskinan (HCI)
Dependent Variable: LOG(KONSUMSI?)
Method: Pooled EGLS (Cross-section weights)
Date: 07/30/11 Time: 12:32
Sample (adjusted): 2006 2008
Included observations: 3 after adjustments
Cross-sections included: 30
Total pool (balanced) observations: 90
Linear estimation after one-step weighting matrix
Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (no d.f.
correction)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 15.80040 0.165764 95.31888 0.0000
HCI? -0.003255 0.001107 -2.940376 0.0048
HCICAP? -0.019619 0.001655 -11.85289 0.0000
LOG(GINI?) -0.055662 0.017867 -3.115287 0.0029
INFLASI? -0.001385 0.000294 -4.708293 0.0000
LOG(UMP?) 0.204462 0.025947 7.880048 0.0000
LOG(PPH?) -0.018923 0.004094 -4.622398 0.0000
Fixed Effects (Cross)
_NAD--C -0.077638 _BALI--C -0.355163
_SUMUT--C 1.353557 _NTB--C 0.158238
_SUMBAR--C 0.101435 _NTT--C -0.371177
_RIAU--C 0.588565 _KALBAR--C -0.320593
_JAMBI--C -0.464579 _KALTENG--C -0.077442
_SUMSEL--C 0.916218 _KALSEL--C -1.067189
_BENGKULU--C -1.049735 _KALTIM--C -0.693739
_LAMPUNG--C 0.395989 _SULUT--C 0.329920
_BABEL--C -1.357381 _SULTENG--C -0.885724
_JAKARTA--C 2.235777 _SULSEL--C -2.204697
_JABAR--C 2.559634 _SULTRA--C -1.582449
_JATENG--C 2.148920 _GORONTALO--C -0.377641
_JOGJA--C -0.433985 _MALUKU--C -1.377043
_JATIM--C 2.863605 _MALUT--C -2.132233
_BANTEN--C 0.889460 _PAPUA--C 0.287090
Weighted Statistics
R-squared 0.999986 Mean dependent var 37.70169
Adjusted R-squared 0.999976 S.D. dependent var 41.59136
S.E. of regression 0.026413 Sum squared resid 0.037672
F-statistic 107281.8 Durbin-Watson stat 2.407388
Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.999711 Mean dependent var 16.44430
Sum squared resid 0.042313 Durbin-Watson stat 2.230290
162
Lampiran 4. Pengujian Simultanitas Hausmann
4.1. Persamaan Struktural I
Dependent Variable: LOG(PDRB?)
Method: Pooled EGLS (Cross-section weights)
Date: 07/30/11 Time: 10:58
Sample (adjusted): 2006 2008
Included observations: 3 after adjustments
Cross-sections included: 30
Total pool (balanced) observations: 90
Linear estimation after one-step weighting matrix
Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (d.f. corrected)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -3.180956 0.602552 -5.279143 0.0000
RESIDKONS? 0.446243 0.048038 9.289332 0.0000
LOGKONS? 0.734401 0.056493 12.99987 0.0000
LOG(EXPENDITURE?) -0.011418 0.003828 -2.982662 0.0043
LOG(DAU?) 0.037820 0.014603 2.589899 0.0124
LOG(DAK?) 0.004955 0.004063 1.219587 0.2281
LOG(PAJAK?) 0.028547 0.007427 3.843754 0.0003
INFLASI? 0.000808 0.000512 1.576202 0.1210
INFORMAL? -0.000363 0.000733 -0.494542 0.6230
Fixed Effects (Cross)
_NAD--C 0.454829 _BALI--C -0.032064
_SUMUT--C 0.205440 _NTB--C 0.040243
_SUMBAR--C 0.025465 _NTT--C -0.037730
_RIAU--C 0.695539 _KALBAR--C 0.167837
_JAMBI--C -0.359513 _KALTENG--C 1.248183
_SUMSEL--C 0.100305 _KALSEL--C -0.000393
_BENGKULU--C -0.440401 _KALTIM--C -0.243773
_LAMPUNG--C 0.034889 _SULUT--C 0.089166
_BABEL--C -0.159923 _SULTENG--C -0.284259
_JAKARTA--C 0.692655 _SULSEL--C -0.890061
_JABAR--C 0.395263 _SULTRA--C -0.730552
_JATENG--C 0.254400 _GORONTALO--C -0.001489
_JOGJA--C 0.054449 _MALUKU--C -0.692178
_JATIM--C 0.332718 _MALUT--C -0.822139
_BANTEN--C 0.121712 _PAPUA--C -0.218619
Weighted Statistics
R-squared 0.999970 Mean dependent var 23.23277
Adjusted R-squared 0.999949 S.D. dependent var 16.02674
S.E. of regression 0.025087 Sum squared resid 0.032727
F-statistic 47609.82 Durbin-Watson stat 2.274597
Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.999711 Mean dependent var 10.17585
Sum squared resid 0.045764 Durbin-Watson stat 1.600435
163
4.2. Persamaan Struktural II
Dependent Variable: TPT?
Method: Pooled Least Squares
Date: 07/30/11 Time: 11:27
Sample (adjusted): 2006 2008
Included observations: 3 after adjustments
Cross-sections included: 30
Total pool (balanced) observations: 90
164
4.3. Persamaan Struktural III
Dependent Variable: LOG(GINI?)
Method: Pooled Least Squares
Date: 07/30/11 Time: 11:56
Sample (adjusted): 2006 2008
Included observations: 3 after adjustments
Cross-sections included: 30
Total pool (balanced) observations: 90
White cross-section standard errors & covariance (no d.f. correction)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -14.19897 4.846987 -2.929443 0.0050
RESIDLPDRB? -1.086601 0.515115 -2.109436 0.0397
LOG(PDRB?) 1.543485 0.415848 3.711654 0.0005
RESIDTPT? 0.006154 0.031233 0.197037 0.8446
TPT? 0.002038 0.020480 0.099493 0.9211
LOG(UMP?) -0.372436 0.019152 -19.44629 0.0000
LOG(PPH?) -0.007421 0.023016 -0.322434 0.7484
LOG(DAU?) -0.081598 0.004571 -17.85139 0.0000
LOG(DAK?) 0.069828 0.026183 2.666942 0.0102
Fixed Effects (Cross)
_NAD--C -0.532794 _BALI--C 0.121440
_SUMUT--C -2.033306 _NTB--C 0.003225
_SUMBAR--C -0.379283 _NTT--C 0.837787
_RIAU--C -1.854793 _KALBAR--C -0.090446
_JAMBI--C 0.803258 _KALTENG--C -2.146663
_SUMSEL--C -1.192884 _KALSEL--C 0.885686
_BENGKULU--C 2.085134 _KALTIM--C 1.113092
_LAMPUNG--C -0.315168 _SULUT--C -0.676572
_BABEL--C 1.442592 _SULTENG--C 1.503412
_JAKARTA--C -3.558020 _SULSEL--C 3.775534
_JABAR--C -3.691275 _SULTRA--C 3.119066
165
4.4. Persamaan Struktural IV
Dependent Variable: HCI?
Method: Pooled EGLS (Cross-section weights)
Date: 07/30/11 Time: 12:18
Sample (adjusted): 2006 2008
Included observations: 3 after adjustments
Cross-sections included: 30
Total pool (balanced) observations: 90
Linear estimation after one-step weighting matrix
Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (d.f. corrected)
WARNING: estimated coefficient covariance matrix is of reduced rank
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 105.8022 8.626684 12.26453 0.0000
RESIDLPDRB? 5.809458 2.475071 2.347189 0.0228
LOGPDRBCAP? -5.959290 0.910780 -6.543058 0.0000
RESIDTPT? -0.184659 0.053501 -3.451498 0.0011
TPT? 0.408646 0.051487 7.936953 0.0000
LOG(EXPENDITURE?) -0.209389 0.167318 -1.251439 0.2165
LOG(UMP?) -1.570939 1.172028 -1.340360 0.1861
INFLASI? 0.050044 0.013906 3.598651 0.0007
AMH? -0.313178 0.157515 -1.988248 0.0522
HCI?(-1) 0.542500 0.052336 10.36562 0.0000
Fixed Effects (Cross)
_NAD--C 6.059184 _BALI--C -5.598209
_SUMUT--C 7.340717 _NTB--C -0.057388
_SUMBAR--C -0.115169 _NTT--C 1.719712
_RIAU--C 5.923410 _KALBAR--C -2.808565
_JAMBI--C -5.017457 _KALTENG--C 7.075368
_SUMSEL--C 6.328909 _KALSEL--C -6.765338
_BENGKULU--C -4.464266 _KALTIM--C -6.966385
_LAMPUNG--C 3.994446 _SULUT--C 0.876499
_BABEL--C -8.378027 _SULTENG--C -2.858893
_JAKARTA--C 11.31786 _SULSEL--C -18.57169
_JABAR--C 11.36797 _SULTRA--C -10.33948
_JATENG--C 11.44081 _GORONTALO--C 1.234714
_JOGJA--C -2.072008 _MALUKU--C -5.787398
_JATIM--C 14.21173 _MALUT--C -15.12392
_BANTEN--C -0.311766 _PAPUA--C 6.344637
Weighted Statistics
R-squared 0.999442 Mean dependent var 39.56439
Adjusted R-squared 0.999026 S.D. dependent var 52.62042
S.E. of regression 0.865580 Sum squared resid 38.21062
F-statistic 2402.627 Durbin-Watson stat 2.634377
Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.992677 Mean dependent var 16.90800
Sum squared resid 44.14293 Durbin-Watson stat 2.322061
166
4.5. Persamaan Struktural V
Dependent Variable: LOG(KONSUMSI?)
Method: Pooled IV/Two-stage EGLS (Cross-section weights)
Date: 09/08/11 Time: 09:59
Sample (adjusted): 2006 2008
Included observations: 3 after adjustments
Cross-sections included: 30
Total pool (balanced) observations: 90
Linear estimation after one-step weighting matrix
Instrument list: C LOG(EXPENDITURE?) LOG(DAU?) LOG(DAK?)
LOG(PAJAK?) LOG(PPH?) LOG(UMP?) INFLASI? AMH? HCI?(-1)
INFORMAL?
White cross-section standard errors & covariance (no d.f. correction)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 17.21644 1.240826 13.87499 0.0000
HCICAP? -0.037313 0.010815 -3.450233 0.0011
RESIDHCI? -0.025326 0.012211 -2.073998 0.0430
LOGGINI? -0.302060 0.123807 -2.439768 0.0181
RESIDGINI? 0.341586 0.098694 3.461069 0.0011
INFLASI? -0.002630 0.000923 -2.849194 0.0062
LOG(UMP?) -0.025698 0.106384 -0.241559 0.8101
LOG(PPH?) -0.015590 0.027184 -0.573491 0.5687
Fixed Effects (Cross)
_NAD--C 0.086187 _BALI--C -0.533329
_SUMUT--C 1.335044 _NTB--C 0.274063
_SUMBAR--C 0.032471 _NTT--C -0.220233
_RIAU--C 0.515240 _KALBAR--C -0.420471
_JAMBI--C -0.590136 _KALTENG--C -0.199169
_SUMSEL--C 0.943986 _KALSEL--C -1.201872
_BENGKULU--C -0.982861 _KALTIM--C -0.750591
_LAMPUNG--C 0.456792 _SULUT--C 0.273581
_BABEL--C -1.482239 _SULTENG--C -0.834471
_JAKARTA--C 2.135400 _SULSEL--C -2.236722
_JABAR--C 2.461493 _SULTRA--C -1.509859
_JATENG--C 2.128496 _GORONTALO--C -0.223982
_JOGJA--C -0.426464 _MALUKU--C -1.190880
_JATIM--C 2.809607 _MALUT--C -2.218944
_BANTEN--C 0.832475 _PAPUA--C 0.737389
Weighted Statistics
R-squared 0.999761 Mean dependent var 29.22510
Adjusted R-squared 0.999599 S.D. dependent var 20.35655
S.E. of regression 0.057075 Sum squared resid 0.172649
F-statistic 10791.09 Durbin-Watson stat 2.194208
Prob(F-statistic) 0.000000 Second-Stage SSR 0.098510
Instrument rank 40.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.999468 Mean dependent var 16.44430
Sum squared resid 0.077884 Durbin-Watson stat 2.297662
167
Lampiran 5. Model Kemiskinan
A. Hausman Test (Fixed Effects vs Random Effects)
Correlated Random Effects - Hausman Test
Pool: PROV
Test cross-section random effects
Test Summary
Chi-Sq.
Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.
Cross-section random 147.341397 5 0.0000
H0: model random effects lebih baik dari model fixed effects
H1: model random effects tidak lebih baik dari model fixed effects
Wilayah kritis: 2
(0,05;5) = 11.07
Statistik Uji Hausman= 147.34
Keputusan: H0 ditolak pada taraf nyata 5 persen, model fixed effects.
B. Signifikansi Fixed Effects(Fixed Effects vs Common Effects)
Redundant Fixed Effects Tests
Pool: PROV
Test cross-section fixed effects
Effects Test Statistic d.f. Prob.
H0: model common effects lebih baik dari model fixed effects
H1: model common effects tidak lebih baik dari model fixed effects
Wilayah kritis: 2
(0,05;29) = 42.56
Statistik Uji= 125.35
Keputusan: H0 ditolak pada taraf nyata 5 persen, model fixed effects.
168
C. Persamaan HCI
Dependent Variable: HCI?
Method: Pooled EGLS (Cross-section weights)
Date: 05/16/11 Time: 22:05
Sample (adjusted): 2006 2008
Included observations: 3 after adjustments
Cross-sections included: 30
Total pool (balanced) observations: 90
Linear estimation after one-step weighting matrix
Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (d.f. corrected)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 392.9881 15.05914 26.09632 0.0000
LOG(PDRB1?) -16.40988 1.812781 -9.052325 0.0000
LOG(PDRB2?) 1.937802 0.491501 3.942619 0.0002
LOG(PDRB3?) -1.677270 0.969228 -1.730523 0.0891
LOG(PDRB4?+PDRB5?+PDRB6?+
PDRB7?+PDRB8?+PDRB9?) -7.769045 1.027540 -7.560823 0.0000
HCI?(-1) 0.225281 0.092009 2.448484 0.0176
Fixed Effects (Cross)
_NAD--C 11.77288 _BALI--C -4.760509
_SUMUT--C 35.54878 _NTB--C -7.582858
_SUMBAR--C 6.154308 _NTT--C -2.243147
_RIAU--C 8.632812 _KALBAR--C 3.824584
_JAMBI--C -15.87316 _KALTENG--C -11.53291
_SUMSEL--C 13.91684 _KALSEL--C -9.846062
_BENGKULU--C -18.50078 _KALTIM--C -0.874205
_LAMPUNG--C 20.64111 _SULUT--C -17.69850
_BABEL--C -32.09277 _SULTENG--C -0.447797
_JAKARTA--C -28.50978 _SULSEL--C 15.57857
_JABAR--C 47.34313 _SULTRA--C -13.51525
_JATENG--C 49.14423 _GORONTALO--C -41.61255
_JOGJA--C -3.195746 _MALUKU--C -25.68805
_JATIM--C 59.23592 _MALUT--C -51.96618
_BANTEN--C 8.436313 _PAPUA--C 5.710770
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
Weighted Statistics
R-squared 0.997143 Mean dependent var 26.42413
Adjusted R-squared 0.995377 S.D. dependent var 16.66407
S.E. of regression 0.836893 Sum squared resid 38.52141
F-statistic 564.6218 Durbin-Watson stat 2.257844
Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.992746 Mean dependent var 16.90800
Sum squared resid 43.72837 Durbin-Watson stat 2.180110
169
Lampiran 6. Model Pengangguran
A. Hausman Test (Fixed Effects vs Random Effects)
Correlated Random Effects - Hausman Test
Pool: PROV
Test cross-section random effects
Test Summary
Chi-Sq.
Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.
H0: model random effects lebih baik dari model fixed effects
H1: model random effects tidak lebih baik dari model fixed effects
Wilayah kritis: 2
(0,05;5) = 11.07
Statistik Uji Hausman= 323.73
Keputusan: H0 ditolak pada taraf nyata 5 persen, model fixed effects.
B. Signifikansi Fixed Effects(Fixed Effects vs Common Effects)
Redundant Fixed Effects Tests
Pool: PROV
Test cross-section fixed effects
Effects Test Statistic d.f. Prob.
Cross-section F 18.276115 (29,55) 0.0000
Cross-section Chi-square 212.786210 29 0.0000
H0: model common effects lebih baik dari model fixed effects
H1: model common effects tidak lebih baik dari model fixed effects
Wilayah kritis: 2
(0,05;29) = 42.56
Statistik Uji= 212.79
Keputusan: H0 ditolak pada taraf nyata 5 persen, model fixed effects.
170
C. Persamaan TPT
Dependent Variable: TPT?
Method: Pooled Least Squares
Date: 09/27/11 Time: 01:20
Sample (adjusted): 2006 2008
Included observations: 3 after adjustments
Cross-sections included: 30
Total pool (balanced) observations: 90
Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (no d.f.
correction)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 415.2177 39.72674 10.45184 0.0000
LOG(PDRB1?) -12.65521 4.335084 -2.919253 0.0051
LOG(PDRB2?) -0.436103 0.374492 -1.164518 0.2492
LOG(PDRB3?) -7.213001 0.620098 -11.63203 0.0000
LOG(PDRB4?+PDRB5?+PDRB6?+PDRB7?+
PDRB8?+PDRB9?) -5.754548 1.145535 -5.023461 0.0000
TPT?(-1) -0.188623 0.074989 -2.515334 0.0148
Fixed Effects (Cross)
_NAD--C 10.93571 _BALI--C -8.718373
_SUMUT--C 42.79367 _NTB--C -18.28686
_SUMBAR--C 11.00849 _NTT--C -35.17915
_RIAU--C 24.31785 _KALBAR--C 3.233471
_JAMBI--C -13.27070 _KALTENG--C -13.42285
_SUMSEL--C 21.09692 _KALSEL--C -0.372339
_BENGKULU--C -38.07859 _KALTIM--C 27.75940
_LAMPUNG--C 13.06309 _SULUT--C -12.37905
_BABEL--C -23.71249 _SULTENG--C -13.57124
_JAKARTA--C 5.355250 _SULSEL--C 22.34263
_JABAR--C 68.49256 _SULTRA--C -23.92710
_JATENG--C 51.33608 _GORONTALO--C -62.37727
_JOGJA--C -12.33872 _MALUKU--C -47.90470
_JATIM--C 63.53310 _MALUT--C -56.29130
_BANTEN--C 28.48827 _PAPUA--C -13.92576
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
R-squared 0.977693 Mean dependent var 8.473667
Adjusted R-squared 0.963902 S.D. dependent var 3.167541
S.E. of regression 0.601812 Akaike info criterion 2.107558
Sum squared resid 19.91977 Schwarz criterion 3.079706
Log likelihood -59.84010 Hannan-Quinn criter. 2.499585
171
Lampiran 7. Model Ketimpangan Distribusi Pendapatan
A. Hausman Test (Fixed Effects vs Random Effects)
Correlated Random Effects - Hausman Test
Pool: PROV
Test cross-section random effects
Test Summary
Chi-Sq.
Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.
Cross-section random 8.368427 4 0.0790
H0: model random effects lebih baik dari model fixed effects
H1: model random effects tidak lebih baik dari model fixed effects
Wilayah kritis: 2
(0,1;4) = 7.78
Statistik Uji Hausman= 8.37
Keputusan: H0 ditolak pada taraf nyata 10 persen, model fixed effects.
B. Signifikansi Fixed Effects(Fixed Effects vs Common Effects)
Redundant Fixed Effects Tests
Pool: PROV
Test cross-section fixed effects
Effects Test Statistic d.f. Prob.
Cross-section F 6.786081 (29,86) 0.0000
Cross-section Chi-square 142.845564 29 0.0000
H0: model common effects lebih baik dari model fixed effects
H1: model common effects tidak lebih baik dari model fixed effects
Wilayah kritis: 2
(0,05;29) = 42.56
Statistik Uji= 142.85
Keputusan: H0 ditolak pada taraf nyata 5 persen, model fixed effects.
172
C. Persamaan GINI
Dependent Variable: LOG(GINI?)
Method: Pooled EGLS (Cross-section weights)
Date: 05/26/11 Time: 22:43
Sample (adjusted): 2005 2008
Included observations: 4 after adjustments
Cross-sections included: 30
Total pool (balanced) observations: 120
Linear estimation after one-step weighting matrix
Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (no d.f.
correction)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -1.978397 0.854104 -2.316341 0.0229
LOG(PDRB1?) -0.230917 0.129281 -1.786168 0.0776
LOG(PDRB2?) 0.120263 0.032417 3.709927 0.0004
LOG(PDRB3?) 0.055459 0.042147 1.315852 0.1917
LOG(PDRB4?+PDRB5?+PDRB6?
+PDRB7?+PDRB8?+PDRB9?) 0.118554 0.081242 1.459268 0.1481
Fixed Effects (Cross)
_NAD--C -0.343152 _BALI--C 0.211490
_SUMUT--C 0.038407 _NTB--C -0.066809
_SUMBAR--C -0.029663 _NTT--C 0.514075
_RIAU--C -0.357853 _KALBAR--C 0.106966
_JAMBI--C -0.079863 _KALTENG--C -0.009256
_SUMSEL--C -0.294457 _KALSEL--C -0.236013
_BENGKULU--C 0.385010 _KALTIM--C -0.530402
_LAMPUNG--C 0.334815 _SULUT--C -0.016365
_BABEL--C -0.239891 _SULTENG--C 0.232083
_JAKARTA--C -1.140076 _SULSEL--C 0.017576
173
Lampiran 8. Uji Kenormalan Persamaan Struktural
Residual
Probability Jarque-Berra Statistics
Struktural
12345
RESID_NAD 0.868689 0.841476 0.805122 0.863757 0.839056
RESID_SUMUT 0.769133 0.868815 0.787388 0.813094 0.862828
RESID_SUMBAR 0.815532 0.821468 0.818888 0.770390 0.802670
RESID_RIAU 0.828103 0.838135 0.769196 0.834168 0.849591
RESID_JAMBI 0.779583 0.831131 0.861567 0.826447 0.829657
RESID_SUMSEL 0.797644 0.830343 0.811647 0.848231 0.785621
RESID_BENGKULU 0.768645 0.777849 0.767094 0.845639 0.852657
RESID_LAMPUNG 0.865782 0.772254 0.868810 0.860342 0.858669
RESID_BABEL 0.773479 0.812859 0.767117 0.859467 0.812030
RESID_JAKARTA 0.867938 0.801682 0.800997 0.770198 0.850451
RESID_JABAR 0.796475 0.770254 0.775489 0.769112 0.804147
RESID_JATENG 0.868769 0.863439 0.841363 0.779823 0.840893
RESID_JOGJA 0.778474 0.815096 0.855572 0.864950 0.780066
RESID_JATIM 0.806264 0.779482 0.784722 0.770362 0.854160
RESID_BANTEN 0.766727 0.814444 0.832681 0.798059 0.863806
RESID_BALI 0.820740 0.846650 0.857149 0.779848 0.767963
RESID_NTB 0.772303 0.860966 0.802222 0.868796 0.839655
RESID_NTT 0.809695 0.868807 0.864944 0.785296 0.848321
RESID_KALBAR 0.846619 0.768609 0.799434 0.778119 0.770248
RESID_KALTENG 0.857744 0.818008 0.789460 0.787661 0.801608
RESID_KALSEL 0.867552 0.782528 0.864779 0.823115 0.787812
RESID_KALTIM 0.856281 0.861666 0.767014 0.867200 0.797147
RESID_SULUT 0.767618 0.805927 0.823464 0.816732 0.868812
RESID_SULTENG 0.868716 0.775163 0.830110 0.771866 0.799136
RESID_SULSEL 0.865643 0.775249 0.811813 0.864929 0.845670
RESID_SULTRA 0.779099 0.864982 0.782516 0.779415 0.860584
RESID_GORONTALO 0.857612 0.815304 0.862254 0.810537 0.840363
RESID_MALUKU 0.866835 0.787804 0.779125 0.842254 0.841254
RESID_MALUT 0.771982 0.824487 0.770169 0.774609 0.815361
RESID_PAPUA 0.867384 0.780066 0.868725 0.857862 0.830136
174
Lampiran 9. Uji Kenormalan Persamaan Reduced Form
Residual
Probability Jarque-Berra Statistics
Reduced
12345
RESID_NAD 0.822069 0.784929 0.817057 0.868815 0.862228
RESID_SUMUT 0.859925 0.865187 0.768129 0.788691 0.857577
RESID_SUMBAR 0.771856 0.826616 0.767121 0.853498 0.77736
RESID_RIAU 0.768288 0.868545 0.79832 0.837304 0.767816
RESID_JAMBI 0.868395 0.868037 0.766738 0.801244 0.791035
RESID_SUMSEL 0.850402 0.853456 0.835374 0.780337 0.805513
RESID_BENGKULU 0.856158 0.866585 0.823443 0.76726 0.766873
RESID_LAMPUNG 0.836855 0.851406 0.812356 0.867856 0.766735
RESID_BABEL 0.815499 0.867061 0.769606 0.867859 0.868691
RESID_JAKARTA 0.801806 0.774945 0.766971 0.808409 0.848424
RESID_JABAR 0.776968 0.868658 0.770253 0.850905 0.832457
RESID_JATENG 0.814809 0.797093 0.868488 0.79027 0.867622
RESID_JOGJA 0.846315 0.76697 0.866256 0.827814 0.79358
RESID_JATIM 0.819228 0.77585 0.836934 0.773375 0.859038
RESID_BANTEN 0.846558 0.803343 0.789842 0.847923 0.767412
RESID_BALI 0.830413 0.838988 0.775948 0.774454 0.800706
RESID_NTB 0.8688 0.771319 0.789851 0.835111 0.776175
RESID_NTT 0.821956 0.769455 0.863604 0.795078 0.790171
RESID_KALBAR 0.85629 0.800852 0.786656 0.778775 0.776243
RESID_KALTENG 0.856982 0.769521 0.867066 0.831287 0.767698
RESID_KALSEL 0.844302 0.865648 0.859798 0.766812 0.865216
RESID_KALTIM 0.826299 0.771969 0.796673 0.86875 0.855067
RESID_SULUT 0.767965 0.768889 0.846727 0.830916 0.766817
RESID_SULTENG 0.81051 0.767037 0.854581 0.862997 0.867264
RESID_SULSEL 0.8493 0.793073 0.817797 0.812142 0.868229
RESID_SULTRA 0.82363 0.777348 0.858223 0.79905 0.847713
RESID_GORONTALO 0.861072 0.77979 0.837398 0.787742 0.790576
RESID_MALUKU 0.770867 0.778519 0.86849 0.76743 0.818659
RESID_MALUT 0.801423 0.838363 0.76675 0.78632 0.861009
RESID_PAPUA 0.800738 0.815167 0.823787 0.829366 0.781976
175
Lampiran 10. Uji Kenormalan Persamaan Tunggal
Residual
Probability JB statistics
Gini TPT HCI
RESID_NAD 0.878160 0.861514 0.766728
RESID_SUMUT 0.830500 0.771525 0.835406
RESID_SUMBAR 0.713135 0.817329 0.818023
RESID_RIAU 0.642891 0.766733 0.867159
RESID_JAMBI 0.719323 0.866065 0.854450
RESID_SUMSEL 0.765970 0.766863 0.768861
RESID_BENGKULU 0.815172 0.833500 0.791584
RESID_LAMPUNG 0.835658 0.782154 0.771690
RESID_BABEL 0.734621 0.847669 0.860799
RESID_JAKARTA 0.840595 0.831201 0.772025
RESID_JABAR 0.818135 0.806905 0.831430
RESID_JATENG 0.762611 0.852132 0.796593
RESID_JOGJA 0.872690 0.824252 0.857299
RESID_JATIM 0.881329 0.864796 0.858593
RESID_BANTEN 0.677708 0.766782 0.867325
RESID_BALI 0.622043 0.825112 0.784322