Referat Preferensi Seksual
Referat Preferensi Seksual
Oleh
Misbahri, S.Ked
Tuko Gustari Lisa, S.Ked
Dede Yola, S.Ked
Suci Aryanti, S.Ked
Pembimbing:
dr.Maisarah, SpKJ
kenikmatan pada dirinya dan pasangannya, dan stimulasi organ seks primer termasuk
koitus tanpa disertai rasa bersalah, atau kecemasan, dan tidak kompulsif. Pada
beberapa konteks seks diluar pernikahan, masturbasi, dan bebagai bentuk stimulasi
seksual terhadap organ selain seksual primer mungkin masih dalam batas normal.1,2
Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder edisi
keempat (DSM-IV) diklasifikasi menjadi tiga garis besar yaitu Disfungsi seksual,
Parafilia dan Gangguan Identitas Gender. Parafilia adalah perangsangan seksual
terhadap stimulus yang menyimpang. Parafilia yang pada PPDGJ disebut sebagai
gangguan preferensi seksual (F65).
3,4
merupakan istilah untuk segala sesuatu mengenai kebiasaan seksual, gairah seksual,
atau kepuasan terhadap perilaku seksual yang tidak lazim dan ekstrim khususnya
pada stimulasi atau tindakan seksual yang menyimpang dari kebiasaan seksual
normal.Individu seperti ini mampu mendapatkan pengalaman dalam kenikmatan
seksual, namun mereka tidak memiliki respon terhadap stimulasi yang secara normal
dapat menimbulkan gairah seksual.1
Parafilia atau gangguan preferensi seksual digunakan orang untuk melepaskan
kecemasan atau frustrasi mereka. Biasanya tindakan ini diikuti dengan gairah dan
orgasme dan dicapai dengan masturbasi dan fantasi. Gangguan ini kurang dikenali
oleh masyarakat dan sering sulit untuk diobati. Hal ini karena orang yang memiliki
gangguan ini menyembunyikan masalah mereka disebabkan oleh perasaan rasa
bersalah, malu dan sering tidak bekerjasama dengan profesi medis. Parafilia dapat
merupakan parafilia dengan kebiasaan mendekati normal sampai kebiasaan yang
merusak atau menyakiti diri sendiri ataupun diri sendiri dan pasangan, dan pada
akhirnya menjadi kebiasaan yang dianggap merusak dan mengancam komunitas yang
lebih luas.1,2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Ekshibisionisme
Sadisme Seksual
Fetishisme
Voyeurisme
Froteurisme
Fetishisme Transvestik
Pedofilia
Parafilia
Masokisme Seksual
Lain
yang
Tidak
F65.0 Fetihisme
F65.5 Sadomasokisme
F65.2 Ekshibisionisme
F65.3 Voyeurisme
F65.4 Pedofilia
Multipel
F65.8
Gangguan
Preferensi
Seksual
Lainya
C. EPIDEMIOLOGI
dengan adanya dorongan positif tapi bisa disebabkan oleh dorongan negatif.
Misalnya jika anak laki-laki suka membanggakan penisnya ketika ereksi maka
ibunya akan memarahinya, akibat dari itu, anak merasa bersalah dan malu dengan
kelakuan seksual normal. Pedofilia, ekshibisionisme dan vouyerisme merupakan
akibat dari perilaku yang beresiko dilakukan secara berulang-ulang. Conditioning
bukan satu-satunya hal yang berperan pada perkembangan parafilia. Hal yang
juga berpengaruh adalah kepercayaan diri yang rendah. Ini sering dijumpai pada
pasien parafilia.
Teori Dawkin dan Darwin (Teori Transmisi Gen)6
Parafilia dipengaruhi oleh lingkungan dan genetik. Anak yang aktif secara
seksual pada usia muda akan cenderung aktif secara seksual pada remaja. Hal ini
dipengaruhi oleh DNA dan akan diturunkan kepada anak- anaknya. Pada parafilia
atau gangguan preferensi seksual terjadi gangguan hasrat untuk mencapai
orgasmenya. Siklus respon seksual normal sebagai berikut: 1
Fase 1 (hasrat/desire)
Fase ini ditandai oleh khayalan seksual dan hasrat untuk melakukan aktivitas
seksual.
Fase 2 (dorongan atau gairah seksual)
Fase ini disebabkan oleh stimuli psikologis (khayalan atau objek yang dicinta)
atau stimuli fisiologis (membelai atau mencium) atau kombinasi, terdiri atas
perasaan senang yang subjektif. Selama fase ini, terjadi pembendungan pembuluh
darah penis menimbulkan ereksi pada laki-laki dan lubrikasi vagina pada wanita,
ukuran testis membesar, saluran vagina kontriksi serta laju denyut jantung,
pernapasan, tekanan darah meningkat.
Fase 3(orgasme)
Terdiri dari memuncaknya kesenangan seksual dengan pelepasan ketegangan
seksual serta kontraksi ritmik otot perineum dan organ reproduksi pelvis.
Perasaan subjektif ejakulasi yang tidak dapat ditahan mencetuskan orgasme pada
Fetishisme (F65.0)7
Fokus seksual pada fetishisme adalah objek yang secara intim terkait
dengan tubuh manusia, seperti: sepatu, sarung tangan, celana dalam dan
stoking.
Cenderung kronis.
Ekshibisionisme (F65.2)7
4. Voyeurisme (F65.3)7
5. Pedofilia (F65.4)7
Adanya dorongan seksual yang intens dan berulang atau terangsang oleh
anak berusia 13 tahun atau kurang, selama periode waktu sedikitnya 6
bulan.
Penetrasi vagina atau anus anak jarang terjadi kecuali pada kasus inses.
Terdapat lebih dari satu gangguan preferensi seksual yang terjadi pada
satu
orang,
kombinasi
yang
paling
sering
adalah:
fetishisme,
Meliputi kegiatan melakukan panggilan telepon cabul, menggosokmenempel pada orang untuk menstimulasi seksual di tempat umum yang
ramai (frotteurisme), aktivitas seksual dengan binatang, menggunakan
cekikikan atau anoksia untuk mengintensifkan kepuasan seksual
dan
kesukaan terhadap patner dengan cacat baan tertentu seperti tungkai yang
diamputasi.
Menelan urin, melaburkan feses, atau menusuk kulup atau puting susu.
10
Masturbasi dengan cara yang lebih ekstrim dan tidak lazim, seperti:
memasukkan benda ke rektum atau uretra penis atau strangulasi diri
parsialis.
Masalah pasangan: keluhan timbul dari pihak pasangan, bukan dari individu
yang mengalami disfungsi, seperti: seorang pasangan lebih suka
berhubungan di pagi hari tetapi yang lain lebih baik berfungsi pada malam
hari, atau pasangan memiliki frekuensi hasrat yang tidak sama.
F. Diagnosis
1. Fetihisme
Fetishisme adalah kelainan yang dikarakteristikan sebagai dorongan
seksual hebat yang berulang dan secara seksual menimbulkan khayalan yang
dipengaruhi oleh objek yang bukan manusia.(10) Pada fetishisme, dorongan
seksual terfokus pada benda atau bagian tubuh (seperti, sepatu, sarung tangan,
11
celana dalam, atau stoking) yang secara mendalam dihubungkan dengan tubuh
manusia.
12
2. Khayalan,
dorongan
seksual,
atau
perilaku
yang
menyebabkan
13
14
Gambar 3. Voyeurisme
Pedoman Diagnostik Voyeurisme menurut PPDGJ-III 9
16
Gambar 4. Pedofilia
Pedoman Diagnostik menurut Pedofilia PPDGJ III 9
17
Gambar 5. Sadomasokisme
Kriteria Diagnostik Sadomasokisme menurut PPDGJ-III 9
18
biasanya
ditandai
oleh
seorang
laki-laki
yang
Gambar 6. Frotteurisme
Gambar 7. Nekrofilia
20
G. TATALAKSANA
a. Farmakologi
Terapi farmakologi yang dapat digunakan yaitu antipsikotik dan antidepresan.
Antipsikotik dan antidepresan adalah diindikasikan sebagai pengobatan skizofrenia
atau gangguan depresif jika parafilia disertai dengan gangguan-gangguan
tersebut.Antiandrogen, seperti ciproterone acetate di Eropa dan medroxiprogesterone
acetate (Depo-Provera) di Amerika Serikat, telah digunakan secara eksperimental
pada parafilia hiperseksual. Medroxiprogesterone acetate bermanfaat bagi pasien
yang dorongan hiperseksualnya diluar kendali atau berbahaya (sebagai contoh
masturbasi yang hampir terus-menerus, kontak seksual setiap kesempatan, seksualitas
menyerang yang kompulsif). Obat serotonorgik seperti Fluoxetin (prozac) telah
digunakan pada beberapa kasus parafilia dengan keberhasilan yang terbatas.14
b. Non Farmakologi
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengontrol penderita
dari luar, seperti mengurung seorang penderita parafilia yang memiliki potensi untuk
melanggar hukum yang berhubungan dengan tindak seksual. Memberikan nasihat
kepada penderita merupakan salah satu dari kontrol eksternal yang dapat dilakukan
oleh orang-orang di sekitar penderita dan hal ini dapat sangat membantu proses terapi
dari gangguan preferensi seksual.15
1. Terapi Seks dan penurunan keinginan seksual
Adalah pelengkap yang tepat untuk pengobatan pasien yang menderita
disfungsi seksual tertentu dimana mereka mencoba melakukan aktivitas seksual yang
tidak menyimpang dengan pasangannya.1Upaya menurunkan keinginan seseorang
dengan parafilia dapat membantu agar tidak memakan korban terlalu banyak. Hal ini
dapat dilakukan dengan menggunakan selective serotonin reuptake inhibitors atau
SSRIs, dapat menurunkan libido seorang pria, seperti benperidol, thioridazine,
fluphenazine, dan lainnya.1 Efek yang sama dapat diberikan oleh obat anti-androgens,
21
namun memiliki efek samping seperti kaki kram, perasaan panas pada tubuh, rambut
rontok, kehilangan mineral tulang, dan kelainan jantung.16
2. Terapi Perilaku
Digunakan untuk memutuskan pola parafilia yang dipelajari. Stimuli yang
menakutkan, seperti kejutan listrik atau bau yang menyengat, telah dipasangkan
dengan impuls tersebut, yang selanjutnya menghilang. Stimuli dapat diberikan oleh
diri sendiri dan digunakan oleh pasien bilamana mereka merasa bahwa mereka akan
bertindak atas dasar impulsnya.13
3. Psikoterapi Berorintasi Tilikan
Merupakan pendekatan yang paling sering digunakan untuk mengobati
parafilia. Pasien memiliki kesempatan untuk mengerti dinamikanya sendiri dan
peristiwa-peristiwa yang menyebabkan perkembangan parafilia. Secara khusus,
mereka menjadi menyadari peristiwa sehari-hari yang menyebabkan mereka
bertindak atas impulsnya (sebagai contohnya, penolakan yang nyata atau
dikhayalkan). Psikoterapi juga memungkinkan pasien meraih kembali harga dirinya
dan memperbaiki kemampuan interpersonal dan menemukan metode yang dapat
diterima untuk mendapatkan kepuasan seksual. Terapi kelompok juga berguna.13
4.
Psikoterapi Dinamik
22
oleh setiap individu. Teknik untuk dapat memperoleh hal tersebut adalah ThoughtShifting dan Thought-Stopping, yang merupakan teknik yang sangat efektif dalam
upaya untuk mengallihkan perhatian penderita saat telah mulai memiliki pikiran,
fantasi, atau keinginan. Teknik ini sangat memerlukan keinginan penderita untuk
sembuh, dimana pada prakteknya saat penderita sedang memiliki pikiran, fantasi, atau
keinginan tersebut, maka penderita mengganti focus atau bahkan menghentikan
pikiran, fantasi, atau keinginan tersebut. Terkadang penderita meminta saran tentang
pemikiran apa yang dapat menjadi alihan dari pemikiran tersebut.
-
Managemen Stress
Teknik ini membantu dalam mengembalikan bentuk normal pada sosial dan
interaksi seksual penderita. Hal ini dilakukan dengan cara mempertahankan kebiasaan
seksual yang normal dengan pasangan yang tetap.
23
Edukasi Seksual
24
BAB III.
KESIMPULAN
pemerkosaan). Diagnosis dibuat berdasarkan kriteria diagnostik PPDGJ III dan DSM
IV. Klinisi perlu membedakan suatu parafilia dari coba-coba dimana tindakan
dilakukan untuk mengetahui efek baru dan tidak secara rekuren atau kompulsif. Lima
jenis intervensi psikiatri digunakan untuk mengobati orang dengan parafilia, yaitu
psikoterapi berorientasi tilikan, terapi seks, terapi perilaku, medikamentosa, dan
terapi aversi. Psikoterapi berorientasi tilikanadalah pendekatan yang paling sering
digunakan.
Prognosisnya buruk berhubungan dengan onset usia yang awal, tingginya
frekuensi tindakan, tidak adanya perasaan bersalah atau malu terhadap tindakan
25
tersebut, dan penyalahgunaan zat. Prognosisnya baik jika pasien memiliki riwayat
koitus disamping parafilia, jika pasien memiliki motivasi tinggi untuk berubah, dan
jika pasien datang berobat sendiri, bukan dikirim oleh badan hukum.
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Sadock, BJ. Kaplan & Sadocks. Buku ajar psikiatri klinis. Edisi ke-10. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins. Jakarta : EGC; 2007
2. Bannon, G.E. & Carroll, K.S. Paraphilias (serial online) 2008. Diunduh dari URL:
http://emedicine.medscape.com/article/291419-clinical [diakses 2 Des 2015].
3. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Mannual of Mental
Disorder Ed 4th (DSM-IV). Washington DC: American Psychiatric Association;
2000
4. Maslim, R. Buku Saku: Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan ringkas dari
Pedoman Penggolongan Dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III
(PPDGJ-III),. Edisi 1. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika
Atma Jaya; 2001.
5. Davison, G.C., Neale, J.M., Kring, A.M. Psikologi Abnormal. Edisi ke-9. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada; 2006.
6. Brown,
G.
R.
Paraphilias.
2010.
Diunduh
http://www.merckmanuals.com/professional/sec15/ch203/ch203c.html.
dari
URL:
[diakses
Des 2015].
7. Sadock BJ, Sadock VA. Seksualitas manusia. Dalam: Kaplan & sadoks buku ajar
psikiatri klinis. Ed. 2. Jakarta: EGC; 2014.316-21.
8. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jendral Pelayanan Medik.
Pedoman penggolongan dan diagnosis jiwa di Indonesia III. Cet. 1. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, 1993.283.8.
9. Pedoman Penggolongan Dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III
(PPDGJ-III), Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pelayan Medik,
1993. Cetakan Pertama
10. Diagnostic and Statistical Mannual of Mental Disorder fourth edition (DSM-IV),
American Psychiatric Association, Washington DC.
27
11. Maramis WF, Maramis AA. (2009). Catatan Buku Kedokteran Jiwa. Edisi 2.
Surabaya : Airlangga University Press
12. Sadock, BJ. Kaplan & Sadocks Synopsis Of Psychiatry 10th ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2007.p.705-14
13. Davison, G.C., Neale, J.M., Kring, A.M. Psikologi Abnormal. Edisi ke-9. Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada; 2006. p611-641.
14. Thibaut F, De La Barra F, Gordon H, Cosyns P, Bradford J. The World Federation
of Societies of Biological Psychiatry (WFSBP) Guidelines for the Biological
Treatment of Paraphilias. World J Biol Psychiatry. 2010;11:60455.
15. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadocks Synopsis of Psychiatry: Behavioral
Sciences/Clinical Psychiatry. 10th ed. Philadephia: Lippincott Williams &
Wilkins; 2007. 705 p.
16. Mcmanus M, Hargreaves P, Rainbow L, Alison L. Paraphilia Definition,
Diagnosis, and Treatment. F1000 Prime Rep. 2013;5(36):16.
17. Westheimer R, Lopater S. Human Sexuality: A Psychosocial Perspective. 2nd ed.
Philadephia: Lippincott Williams & Wilkins; 2004. 864 p.
18. Kaplan M, Krueger R. Cognitive-Behavioral Treatment of the Paraphilias. Isr J
28