Anda di halaman 1dari 28

Tugas

GANGGUAN PREFERENSI SEKSUAL

Oleh
Misbahri, S.Ked
Tuko Gustari Lisa, S.Ked
Dede Yola, S.Ked
Suci Aryanti, S.Ked

Pembimbing:
dr.Maisarah, SpKJ

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RUMAH SAKIT JIWA TAMPAN
PEKANBARU
11 JULI 13 AGUISTUS 2016
BAB I
PENDAHULUAN

Seksualitas bagi manusia adalah pembentukan ikatan, untuk mengekspresikan


dan meningkatkan cinta antara dua orang, dan untuk mendapatkan keturunan.
Seksualitas bukan hanya berkaitan dengan jenis kelamin fisik, koitus atau non koitus,
dan sesuatu yang kurang dari tiap aspek perilaku diarahkan untuk mendapatkan
kesenangan. Normalnya seksualitas adalah

hasrat, perilaku yang menimbulkan

kenikmatan pada dirinya dan pasangannya, dan stimulasi organ seks primer termasuk
koitus tanpa disertai rasa bersalah, atau kecemasan, dan tidak kompulsif. Pada
beberapa konteks seks diluar pernikahan, masturbasi, dan bebagai bentuk stimulasi
seksual terhadap organ selain seksual primer mungkin masih dalam batas normal.1,2
Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder edisi
keempat (DSM-IV) diklasifikasi menjadi tiga garis besar yaitu Disfungsi seksual,
Parafilia dan Gangguan Identitas Gender. Parafilia adalah perangsangan seksual
terhadap stimulus yang menyimpang. Parafilia yang pada PPDGJ disebut sebagai
gangguan preferensi seksual (F65).

3,4

Parafilia atau gangguan preferensi seksual

merupakan istilah untuk segala sesuatu mengenai kebiasaan seksual, gairah seksual,
atau kepuasan terhadap perilaku seksual yang tidak lazim dan ekstrim khususnya
pada stimulasi atau tindakan seksual yang menyimpang dari kebiasaan seksual
normal.Individu seperti ini mampu mendapatkan pengalaman dalam kenikmatan
seksual, namun mereka tidak memiliki respon terhadap stimulasi yang secara normal
dapat menimbulkan gairah seksual.1
Parafilia atau gangguan preferensi seksual digunakan orang untuk melepaskan
kecemasan atau frustrasi mereka. Biasanya tindakan ini diikuti dengan gairah dan
orgasme dan dicapai dengan masturbasi dan fantasi. Gangguan ini kurang dikenali
oleh masyarakat dan sering sulit untuk diobati. Hal ini karena orang yang memiliki
gangguan ini menyembunyikan masalah mereka disebabkan oleh perasaan rasa
bersalah, malu dan sering tidak bekerjasama dengan profesi medis. Parafilia dapat
merupakan parafilia dengan kebiasaan mendekati normal sampai kebiasaan yang
merusak atau menyakiti diri sendiri ataupun diri sendiri dan pasangan, dan pada

akhirnya menjadi kebiasaan yang dianggap merusak dan mengancam komunitas yang
lebih luas.1,2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI GANGGUAN PREFERENSI SEKSUAL ATAU PARAFILIA


Gangguan preferensi seksual atau parafilia adalah sekelompok gangguan yang
mencakup ketertarikan seksual terhadap objek yang tidak wajar atau aktivitas seksual
yang tidak pada umumnya. Parafilia (paraphilia) berasal dari bahasa Yunani yaitu para
yang artinya "pada sisi lain", dan philos artinya "mencintai". Parafilia adalah
gangguan seksual yang ditandai oleh khayalan seksual yang khusus dan desakan serta
praktek seksual yang kuat, biasanya berulang kali dan menakutkan.5
B. KLASIFIKASI
Parafilia Menurut Diagnostic And Statistical Manual Of Mental Disorder
Edisi Revisi IV (DSM-IV-TR) 1,3

Ekshibisionisme

Sadisme Seksual

Fetishisme

Voyeurisme

Froteurisme

Fetishisme Transvestik

Pedofilia

Parafilia

Masokisme Seksual

Lain

yang

Tidak

Ditentukan (NOS : Not Oherwise


Specified) contoh: Zoofilia

F65. Gangguan Preferensi Seksual Menurut Pedoman Penggolongan dan


Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia Edisi III (PPDGJ III)4

F65.0 Fetihisme

F65.5 Sadomasokisme

F65.1 Tranvetisme Fetihistik

F65.6 Gangguan Preeferensi Seksual

F65.2 Ekshibisionisme

F65.3 Voyeurisme

F65.4 Pedofilia

Multipel

F65.8

Gangguan

Preferensi

Seksual

Lainya

F65.9 Gangguan Preferensi Seksual YTT

C. EPIDEMIOLOGI

Parafilia dipratekkan oleh sejumlah kecil populasi. Tetapi, sifat gangguan


yang berulang menyebabkan tingginya frekuensi kerusakan akibat tindakan
parafilia. Di antara kasus parafilia yang dikenali secara hukum, pedofilia adalah
jauh lebih sering dibandingkan yang lainnya. Voyeurisme memiliki resiko yang
tidak besar. 20% wanita dewasa telah menjadi sasaran orang dengan
ekshibisionisme dan voyeurisme. Masokisme seksual dan sadisme seksual
kurang terwakili dalam perkiraan prevalensi yang ada. Zoofilia merupakan kasus
yang jarang. 1
Menurut definisinya, parafilia adalah kondisi yang terjadi pada laki-laki.
Lebih dari 80% penderita parafilia memiliki onset sebelum usia 18 tahun. Pasien
parafilia umunya memiliki 3 sampai 5 parafilia baik yang bersamaan atau pada
saat terpisah. Kejadian perilaku parafilia memuncak pada usia antara 15 dan 25
tahun, dan selanjutnya menurun. Parafilia jarang terjadi pada pria umur 50 tahun,
kecuali mereka tinggal dalam isolasi atau teman yang senasib.1
D. ETIOPATOFISIOLOGI
Faktor Psikososial1,6
Dalam model psikoanalitik klasik, seseorang dengan parafilia adalah
orang yang gagal untuk menyelesaikan proses perkembangan normal ke arah
penyesuaian heteroseksual, tetapi model tersebut telah dimodifikasi oleh
pendekatan psikoanalitik. Kegagalan menyelesaikan krisis oedipus dengan
mengidentifikasi aggressor ayah (untuk laki-laki) atau aggressor ibu (untuk
perempuan) menimbulkan baik identifikasi yang tidak sesuai dengan orang tua
dengan jenis kelamin berlawanan atau pilihan objek yang tidak tepat untuk
penyaluran libido.
Apa yang membedakan satu parafilia dengan parafilia lainnya adalah
metode yang dipilih oleh seseorang (biasanya laki-laki) untuk mengatasi
kecemasan yang disebabkan oleh: (1) kastrasi oleh ayah dan (2) perpisahan
dengan ibu. Bagaimanapun kacaunya manifestasi, perilaku yang dihasilkan
memberikan jalan keluar untuk dorongan seksual dan agresif yang seharusnya
telah disalurkan kedalam perilaku seksual yang tepat.
5

Teori lain mengaitkan timbulnya parafilia dengan pengalaman diri yang


mengondisikan atau mensosialisasikan anak melakukan tindakan parafilia. Awitan
tindakan parafilia dapat terjadi akibat orang meniru perilaku mereka berdasarkan
perilaku orang lain yang melakukan tindakan parafilia, meniru perilaku seksual
yang digambarkan media, atau mengingat kembali peristiwa yang memberatkan
secara emosional di masa lalu. Teori pembelajaran menunjukkan bahwa karena
mengkhayalkan minat parafilia dimulai pada usia dini dan karena khayalan serta
pikiran pribadi tidak diceritakan kepada orang lain, penggunaan dan
penyalahgunaan khayalan dan dorongan parafilia terus berlangsung tanpa
hambatan sampai usia tua.2
Faktor Biologis1,2,5
Beberapa studi mengidentifikasi temuan organik abnormal pada orang
dengan parafilia. Di antara pasien yang dirujuk ke pusat medis besar, yang
memiliki temuan organik positif mencakup 74 % pasien dengan kadar hormon
abnormal, 27 % dengan tanda neurologi yang ringan atau berat, 24 % dengan
kelainan kromosom, 9 % dengan kejang, 9 % dengan disleksia, 4 % dengan EEG
abnormal, 4 % dengan gangguan jiwa berat, 4 % dengan cacat mental. Tes
psikofisiologis telah dikembangkan untuk mengukur ukuran volume metrik penis
sebagai repon stimulasi parafilia dan non parafilia. Prosedur dapat digunakan
dalam diagnosis dan pengobatan, tetapi memiliki keabsahan diagnostik yang
diragukan karena beberapa laki-laki dapat menekan respon erektilnya.
Karena sebagian besar orang yang mengidap parafilia adalah laki-laki,
terdapat spekulasi bahwa androgen berperan dalam gangguan ini. Berkaitan
dengan perbedaan dalam otak, suatu disfungsi pada lobus temporalis dapat
memiliki relevansi dengan sejumlah kecil kasus eksibisionisme.
Teori Behavioural (Kelakuan atau Perilaku)5
Berdasarkan teori ini, parafilia disebabkan oleh proses conditioning. Jika
objek nonseksual dipakai sering dan diulang-ulang untuk aktivitas seksual maka
akan mengakibatkan objek tersebut menjadi sexually arousing. Tidak harus

dengan adanya dorongan positif tapi bisa disebabkan oleh dorongan negatif.
Misalnya jika anak laki-laki suka membanggakan penisnya ketika ereksi maka
ibunya akan memarahinya, akibat dari itu, anak merasa bersalah dan malu dengan
kelakuan seksual normal. Pedofilia, ekshibisionisme dan vouyerisme merupakan
akibat dari perilaku yang beresiko dilakukan secara berulang-ulang. Conditioning
bukan satu-satunya hal yang berperan pada perkembangan parafilia. Hal yang
juga berpengaruh adalah kepercayaan diri yang rendah. Ini sering dijumpai pada
pasien parafilia.
Teori Dawkin dan Darwin (Teori Transmisi Gen)6
Parafilia dipengaruhi oleh lingkungan dan genetik. Anak yang aktif secara
seksual pada usia muda akan cenderung aktif secara seksual pada remaja. Hal ini
dipengaruhi oleh DNA dan akan diturunkan kepada anak- anaknya. Pada parafilia
atau gangguan preferensi seksual terjadi gangguan hasrat untuk mencapai
orgasmenya. Siklus respon seksual normal sebagai berikut: 1
Fase 1 (hasrat/desire)
Fase ini ditandai oleh khayalan seksual dan hasrat untuk melakukan aktivitas
seksual.
Fase 2 (dorongan atau gairah seksual)
Fase ini disebabkan oleh stimuli psikologis (khayalan atau objek yang dicinta)
atau stimuli fisiologis (membelai atau mencium) atau kombinasi, terdiri atas
perasaan senang yang subjektif. Selama fase ini, terjadi pembendungan pembuluh
darah penis menimbulkan ereksi pada laki-laki dan lubrikasi vagina pada wanita,
ukuran testis membesar, saluran vagina kontriksi serta laju denyut jantung,
pernapasan, tekanan darah meningkat.
Fase 3(orgasme)
Terdiri dari memuncaknya kesenangan seksual dengan pelepasan ketegangan
seksual serta kontraksi ritmik otot perineum dan organ reproduksi pelvis.
Perasaan subjektif ejakulasi yang tidak dapat ditahan mencetuskan orgasme pada

laki-laki. Kemudian diikuti pengeluran semen. Biasanya disertai dengan


kesadaran berkabut.
Fase 4 (resolusi)
Resolusi terjadi mengempisnya pembuluh darah genitalia yang membuat tubuh
kembali istirahat. Jika orgasme terjadi maka resolusi terjadi cepat ditandai dengan
perasaan senang, relaksasi menyeluruh dan relaksasi otot. Jika tidak terjadi
orgasme resolusi berlansung 2-6 jam dan disertai iritabilitas dan rasa tidak
nyaman.
E. Tanda dan Gejala
1.

Fetishisme (F65.0)7

Fokus seksual pada fetishisme adalah objek yang secara intim terkait
dengan tubuh manusia, seperti: sepatu, sarung tangan, celana dalam dan
stoking.

Kasus fetis tertentu dikaitkan dengan orang yang berhubungan dengan


pasien sejak masa anak-anak, yang memiliki kualitas menjadi orang yang
dicintai, dibutuhkan atau membuat trauma.

Biasanya gangguan mulai saat remaja, walaupun bisa saat kanak-kanak.

Cenderung kronis.

Hampir hanya ditemukan pada laki-laki.

2. Transvestisme fetishistik (F65.1)7

Terdapat khayalan dan dorongan seksual untuk memakai pakaian lawan


jenis sebagai cara untuk merangsang dalam masturbasi atau berhubungan
seksual.

Secara khas dimulai pada masa kanak-kanak atau remaja awal.

Seiring berjalannya waktu, laki-laki dengan gangguan transvestisme


fetishisme ingin berpakaian dan hidup secara permanen sebagai
perempuan. Juga ada perempuan yang menjadi berpakaian dan hidup

secara permanen sebagai laki-laki, tetapi lebih jarang. Orang dengan


kelainan ini desebut fetishisme transvestik desertai disforia gender.
3.

Ekshibisionisme (F65.2)7

Adanya dorongan yang berulang untuk menunjukkan alat kelamin kepada


orang asing atau yang tidak menyangkanya.

Kegairahan didapatkan saat pertunjukan tersebut dan orgasme terjadi


setelah atau saat pertunjukan.

Pada 100% kasus terjadi pada laki-laki.

Bertujuan untuk menegaskan maskulinitas mereka dengan menunjukkan


penis dan melihat reaksi korban, dapat berupa jijik, ketakutan, kaget.

4. Voyeurisme (F65.3)7

Dikenal juga dengan sebutan skopofilia, yaitu preokupasi yang berulang


dengan fantasi atau tindakan berupa mengamati orang yang telanjang atau
sedang mengganti pakaian atau dalam aktivitas seksual.

5. Pedofilia (F65.4)7

Adanya dorongan seksual yang intens dan berulang atau terangsang oleh
anak berusia 13 tahun atau kurang, selama periode waktu sedikitnya 6
bulan.

Orang denga gangguan pedofil sedikitnya berusia 16 tahun dan sedikitnya


berusia 5 tahun lebih tua dari korban.

Melibatkan penyentuhan genital atau seks oral.

Penetrasi vagina atau anus anak jarang terjadi kecuali pada kasus inses.

60% kasus korbannya adalah anak laki-laki.

Kejadian inses berhubungan dengan pedofilia melalui seringnya pemilihan


anak-anak yang belum matang sebagai objek seks, unsur rayuan yang

samar atau terbuka, dan kadang-kadang sifat hubungan dewasa-anak yang


lebih dipilih.
6. Sadomasokisme (F65.5)7

Masokisme seksual memiliki preokupasi berulang terhadap dorongan dan


khayalan seksual yang melibatkan perlakuan dipermalukan, dipukul,
diikat, atau dibuat menderita.

Masokisme lebih lazim pada laki-laki.

Sadisme seksual biasanya timbul sebelum usia 18 tahun, biasanya adalah


laki-laki.

Melakukan apa yang mereka takutkan akan menimpa dirinya kepada


orang orang lain dan mendapatkan kesenangan dengan insting agresifnya.

Sadisme seksual berkaitan dengan pemerkosaan.

7. Gangguan preferensi seksual multipel (F65.6)8

Terdapat lebih dari satu gangguan preferensi seksual yang terjadi pada
satu

orang,

kombinasi

yang

paling

sering

adalah:

fetishisme,

transverstisme dan sadomasokisme.


8. Gangguan preferensi seksual lainnya (F65.8)8

Meliputi kegiatan melakukan panggilan telepon cabul, menggosokmenempel pada orang untuk menstimulasi seksual di tempat umum yang
ramai (frotteurisme), aktivitas seksual dengan binatang, menggunakan
cekikikan atau anoksia untuk mengintensifkan kepuasan seksual

dan

kesukaan terhadap patner dengan cacat baan tertentu seperti tungkai yang
diamputasi.

Menelan urin, melaburkan feses, atau menusuk kulup atau puting susu.

10

Masturbasi dengan cara yang lebih ekstrim dan tidak lazim, seperti:
memasukkan benda ke rektum atau uretra penis atau strangulasi diri
parsialis.

Nekrofilia, yaitu perilaku seksual terhadap mayat,

9. Gangguan preferensi seksual YTT (F65.9)7

Disforia pascahubungan seks: Normalnya orang akan merasakan senang dan


relaksasi otot serta psikologis, tetapi pada pasien dengan gangguan ini dapat
merasa depresi, tengang, cemas dan iritabel serta menunjukkan agitasi
psikomotor.

Masalah pasangan: keluhan timbul dari pihak pasangan, bukan dari individu
yang mengalami disfungsi, seperti: seorang pasangan lebih suka
berhubungan di pagi hari tetapi yang lain lebih baik berfungsi pada malam
hari, atau pasangan memiliki frekuensi hasrat yang tidak sama.

Pernikahan tanpa hubungan seksual: tidak pernah melakukan seksual dan


secara khas tidak ada diberikan informasi dan dihalangi mengenai
seksualitasnya.

Masalah citra tubuh: malu dengan tubuhnya, sehingga berhubungan lebih


nyaman dengan keadaan gelap, atau pemcari prosedur operasi yang
sebetulnya tidak diperlukan.

Kecanduan seks: orang yang menghabiskan lebih banyak aktu untuk


aktivitas seks, sering mencoba menghentikan perilaku tersebut tapi tidak
mampu, jika kekurangan atau tidak dapat menunjukkan rasa penderitaan.

F. Diagnosis
1. Fetihisme
Fetishisme adalah kelainan yang dikarakteristikan sebagai dorongan
seksual hebat yang berulang dan secara seksual menimbulkan khayalan yang
dipengaruhi oleh objek yang bukan manusia.(10) Pada fetishisme, dorongan
seksual terfokus pada benda atau bagian tubuh (seperti, sepatu, sarung tangan,

11

celana dalam, atau stoking) yang secara mendalam dihubungkan dengan tubuh
manusia.

Gambar 1. Foot Fetishism


Pedoman Diagnostik Fetihisme menurut PPDGJ III 9

Mengandalkan pada beberapa benda mati (non-living object) sebagai


rangsangan untuk membangkitkan keinginan seksual dan memberikan
kepuasan seksual. Kebanyakan benda tersebut (object fetish) adalah
ekstensi dari tubuh manusia, seperti pakaian atau sepatu.

Diagnosis ditegakkan apabila object fetish benar-benar merupakan sumber


yang utama dari rangsangan seksual atau penting sekali untuk respon
seksual yang memuaskan.

Fantasi fetihistik adalah lazim, tidak menjadi suatu gangguan kecuali


apabila menjurus kepada suatu ritual yang begitu memaksa dan tidak
semestinya sampai menggangu hubungan seksual dan menyebabkan bagi
penderitaan individu.

Fetihisme terbatas hampir hanya pada pria saja

Kriteria Diagnostik Fetihisme menurut DSM-IV10


1. Selama waktu sekurangnya 6 bulan terdapat khayalan yang merangsang
secara seksual, dorongan seksual, atau perilaku yang berulang dan kuat
berupa pemakaian benda-benda mati (misalnya, pakaian dalam wanita)

12

2. Khayalan,

dorongan

seksual,

atau

perilaku

yang

menyebabkan

penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi


sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
Objek fetish bukan perlengkapan pakaian wanita yang digunakan pada crossdressing (berpakaian lawan jenis) seperti pada fetishisme transvestik atau alat-alat
yang dirancang untuk tujuan stimulasi taktil pada genital, misalnya sebuah vibrator.
2. Tranvetisme Fetihistik
Tranvetisme Fetihistik adalah gejala keadaan seseorang yang mencari rangsangan
dan pemuasan sexual dengan memakai pakaian dan berperan sebagai seorang dari sex
yang berlainan.11 Cross dressing tersebut dapat berupa menggunakan salah satu bahan
yang dipakai wanita atau mengenakan pakaian wanita lengkap dan menampilkan diri
sebagai wanita di depan umum. Tujuan orang tersebut adalah untuk mencari kepuasan
seksual. Pria yang mengalami penyakit ini mengadakan masturbasi pada waktu
mengenakan pakaian wanita dan berfantasi mengenai pria lain yang tertarik dengan
pakaiannya. Seorang wanita dikatakan mengalami kelainan ini jika mereka
mengenakan pakaian laki-laki untuk mencari kepuasan seksual.9

Gambar 2. Tranvetisme Fetihistik pada Laki - Laki

13

Pedoman Diagnostik Tranvetisme Fetihistik menurut PPDGJ - III 9

Mengenakan pakaian dari lawan jenis dengan tujuan pokok untuk


mencapai kepuasaan seksual

Gangguan ini harus dibedakan dari fetihisme (F65.0) dimana pakaian


sebagai objek fetish bukan hanya sekedar dipakai, tetapi juga untuk
menciptakan penampilan seorang dari lawan jenis kelaminya. Biasanya
lebih dari satu jenis barang yang dipakai dan seringkali suatu
perlengkapan yang menyeluruh, termasuk rambut palsu dan tat arias
wajah.

Transvetisme fetihistik deibedakan dari trasvetisme transsexual oleh


adanya hubungan yang jelas dengan bangkitnya gairah seksual dan
keinginan/hasrat yang kuat untuk melepaskan baju tersebut apabila
orgasme sudah terjadi dan rangsang seksual menurun

Adanya riwayat transvetisme fetihistik biasanya dilaporkan sebagai suatu


fase awal oleh para penderita transeksualisme dan kemungkinan
merupakan suatu stadium dalam perkembangan transeksualisme.

Kriteria Diagnostik Fetishisme Transvestik menurut DSM-IV 10


a. Selama waktu sekurangnya 6 bulan, pada laki-laki heteroseksual, terdapat
khayalan yang merangsang secara seksual, dorongan seksual, atau
perilaku yang berulang dan kuat berupa cross dressing.
b. Khayalan, dorongan seksual, atau perilaku menyebabkan penderitaan yang
bermakna secara klinis dan gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau
fungsi penting lainnya.
3. Ekshibisionisme
Eksibisionisme adalah dorongan berulang untuk menunjukkan alat
kelamin pada orang asing atau pada orang yang tidak menyangkanya.
Kegairahan seksual terjadi pada saat antisipasi terhadap pertunjukan tersebut,
dan orgasme didapatkan melalui masturbasi selama atau setelah peristiwa.12

14

Pedoman Diagnostik Ekhibisionisme menurut PPDGJ-III 9

Kecenderungan yang berulang atau menetap untuk memamerkan alat


kelamin kepada asing (biasanya lawan jenis kelamin) atau kepada orang
banyak di tempat umum, tanpa ajakan atau niat untuk berhubungan lebih
akrab.

Ekshibisionisme hampir sama sekali terbatas pada laki-laki heteroseksual


yang memamerkan pada wanita, remaja atau dewasa, biasanya menghadap
mereka dalam jarak yang aman di tempat umum. Apabila yang
menyaksikan itu terkejut, takut, atau terpesona, kegairahan penderita
menjadi meningkat.

Pada beberapa penderita, ekshibisionisme merupakan satu-satunya


penyaluran seksual, tetapi pada penderita lainnya kebiasaan ini dilanjutkan
bersamaan (stimultaneously) dengan kehidupan seksual yang aktif dalam
suatu jalinan hubungan yang berlangsung lama, walaupun demikian
dorongan menjadi lebih kuat pada saat menghadapi konflik dalam
hubungan tersebut.

Kebanyakan penderita ekshibisionisme mendapatkan kesulitan dalam


mengendalikan dorongan tersebut dan dorongan ini bersifat ego-alien
(suatu benda asing bagi dirinya).

Kriteria Diagnosik Eksibisionisme menurut DSM-IV 10


a. Selama waktu sekurangnya 6 bulan, terdapat khayalan yang merangsang
secara seksual, dorongan seksual, atau perilaku yang berulang dan kuat
berupa memamerkan alat kelaminnya sendiri kepada orang yang tidak
dikenal dan tidak menduga.
b. Khayalan, dorongan seksual, atau perilaku menyebabkan penderitaan yang
bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau
fungsi penting lainnya.
4. Voyeurisme
Voyeurisme adalah preokupasi rekuren dengan khayalan dan tindakan
yang berupa mengamati orang lain yang telanjang atau sedang berdandan atau
15

melakukan aktivitas seksual. Gangguan ini juga dikenal sebagai skopofilia.


Masturbasi sampai orgasme biasanya terjadi selama atau setelah peristiwa. 12
Voyeurisme ini merupakan kegiatan mengintip yang menggairahkan dan
bukan merupakan aktivitas seksual dengan orang yang dilihat.12

Gambar 3. Voyeurisme
Pedoman Diagnostik Voyeurisme menurut PPDGJ-III 9

Kecenderungan yang berulang atau menetap untuk melihat orang yang


sedang berhubungan seksual atau berperilaku intim seperti sedang
menanggalkan pakaian.

Hal ini biasanya menjurus kepada rangsangan seksual dan mastrubasi,


yang dilakukan tanpa orang yang diintip menyadarinya.

Kriteria Diagnostik Voyeuisme menurut DSM-IV 10


a. Selama waktu sekurangnya 6 bulan, terdapat khayalan yang merangsang
secara seksual, dorongan seksual, atau perilaku yang berulang dan kuat

16

berupa mengamati orang telanjang yang tidak menaruh curiga, sedang


membuka pakaian, atau sedang melakukan hubungan seksual.
b. Khayalan, dorongan seksual, atau perilaku menyebabkan penderitaan yang
bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosil, pekerjaan, atau
fingsi penting lainnya.
5. Pedofilia
Pedofilia juga merupakan gangguan psikoseksual, yang mana fantasi
atau tindakan seksual dengan anak-anak prapubertas merupakan cara untuk
mencapai gairah dan kepuasan seksual. Perilaku ini mungkin diarahkan
terhadap anak-anak berjenis kelamin sama atau berbeda dengan pelaku.
Beberapa pedofil tertarik pada anak laki-laki maupun perempuan.Sebagian
pedofil ada yang hanya tertarik pada anak-anak, tapi ada pula yang juga
tertarik dengan orang dewasa dan anak-anak.11,12

Gambar 4. Pedofilia
Pedoman Diagnostik menurut Pedofilia PPDGJ III 9

Preferensi seksual terhadap anak-anak, biasanya pra-pubertas atau awal


masa pubertas, baik laki-laki maupun perempuan

Pedofilia jarang ditemukan pada perempuan

Preferensi tersebut harus berulang dan menetap

Termasuk : laki-laki dewasa yang mempunyai preferensi partner seksual


dewasa, tetapi karena mengalami frustasi yang kronis untuk mencapai
hubungan seksual yang diharapkan, maka kebiasaanya beralih kepada
anak-anak sebagai pengganti.

Kriteria Diagnostik Pedofilia menurut DSM-IV 10

17

a. Selama waktu sekurangnya 6 bulan, terdapat khayalan yang merangsang


secara seksual, dorongan seksual, atau perilaku yang berulang dan kuat
berupa aktivitas seksual dengan anak prapubertas atau dengan anakanak (biasanya berusia 13 tahun atau kurang)
b. Khayalan, dorongan seksual, atau perilaku menyebabkan penderitaan yang
bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau
fungsi penting lainnya.
c. Orang sekurangnya berusia 16 tahun dan sekurangnya berusia 5 tahun
lebih tua dari anak, atau anak-anak dalam kriteria A.
6. Sadomasokisme
Sadisme seksual adalah preferensi mendapatkan atau meningkatkan kepuasan
seksual dengan cara menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun mental.
Masokhisme seksual yaitu mencapai kepuasan seksual dengan menyakiti diri
sendiri, lebih sering terjadi pada wanita, sedangkan sadisme lebih sering terjadi
pada laki-laki.12

Gambar 5. Sadomasokisme
Kriteria Diagnostik Sadomasokisme menurut PPDGJ-III 9

Preferensi terhadap aktivitas seksual yang melibatkan pengikatan atau


menimbulkan rasa sakit atau penghinaan; (individu yang lebih suka untuk

18

menjadi resipien dari perangsangan demikian disebut masokisme,


sebagai pelaku = sadism)

Seringkali individu mendapatkan rangsangan seksual dari aktivitas


sadistik maupun masokistik.

Kategori ini hanya digunakan apabila sadomasokistik merupakan sumber


rangsangan yang penting pemuasan seksual.

Harus dibedakan dari kebrutalan dalam hubungan seksual atau kemarahan


yang tidak berhubungan dengan erotisme.

Kriteria Diagnostik Untuk Sadisme Seksual menurut DSM-IV 10


a. Selama waktu sekurangnya 6 bulan, terdapat khayalan yang merangsang
secara seksual, dorongan seksual, atau perilaku yang berulang dan kuat
berupa tindakan (nyata atau disimulasi) dimana penderitaan korban secara
fisik atau psikologis (termasuk penghinaan) adalah menggembirakan
pelaku secara seksual.
b. Khayalan, dorongan seksual, atau perilaku menyebabkan penderitaan yang
bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau
fungsi penting lainnya.
Kriteria Diagnostik Untuk Masokisme Seksual menurut DSM-IV 10
a. Selama waktu sekurangnya 6 bulan, terdapat khayalan yang merangsang
secara seksual, dorongan seksual, atau perilaku yang berulang dan kuat
berupa tindakan (nyata, atau disimuasi) sedang dihina, dipukuli, diikat,
atau hal lain yang membuat menderita.
b. Khayalan, dorongan seksual, atau perilaku menyebabkan penderitaan yang
bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau
fungsi penting lainnya.
7. Gangguan Preferensi Seksual Multipel
Kadang kadang lebih dari satu gangguan preferensi seksual yang
terjadi pada seseorang dan tidak satupun lebih diutamakan daripada yang
lainnya. Kombinasi yang paling sering adalah fetihisme, transvestisme dan
sadomasokisme.13
19

8. Gangguan Preferensi Seksual Lainya


Frotteurisme
Frotteurisme

biasanya

ditandai

oleh

seorang

laki-laki

yang

menggosokkan penisnya kepada bokong atau bagian tubuh seorang wanita


yang berpakaian lengkap untuk mencapai orgasme.12
Kriteria diagnostik Frotteurisme menurut DSM-IV 10
a. Selama waktu sekurangnya 6 bulan, terdapat khayalan yang merangsang
secara seksual, dorongan seksual, atau perilaku yang berulang dan kuat
berupa menyentuh atau bersenggolan dengan orang yang tidak
menyetujuinya.
b. Khayalan, dorongan seksual, atau perilaku yang menyebabkan penderitaan
yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial,
pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
Nekrofilia
Nekrofilia adalah obsesi untuk mendapatkan kepuasan seksual dari
mayat. Sebagian besar orang dengan nekrofilia mendapatkan mayat untuk
eksploitasinya dari rumah mati. Beberapa orang diketahui menggali kuburan..
12

Gambar 6. Frotteurisme
Gambar 7. Nekrofilia
20

G. TATALAKSANA
a. Farmakologi
Terapi farmakologi yang dapat digunakan yaitu antipsikotik dan antidepresan.
Antipsikotik dan antidepresan adalah diindikasikan sebagai pengobatan skizofrenia
atau gangguan depresif jika parafilia disertai dengan gangguan-gangguan
tersebut.Antiandrogen, seperti ciproterone acetate di Eropa dan medroxiprogesterone
acetate (Depo-Provera) di Amerika Serikat, telah digunakan secara eksperimental
pada parafilia hiperseksual. Medroxiprogesterone acetate bermanfaat bagi pasien
yang dorongan hiperseksualnya diluar kendali atau berbahaya (sebagai contoh
masturbasi yang hampir terus-menerus, kontak seksual setiap kesempatan, seksualitas
menyerang yang kompulsif). Obat serotonorgik seperti Fluoxetin (prozac) telah
digunakan pada beberapa kasus parafilia dengan keberhasilan yang terbatas.14
b. Non Farmakologi
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengontrol penderita
dari luar, seperti mengurung seorang penderita parafilia yang memiliki potensi untuk
melanggar hukum yang berhubungan dengan tindak seksual. Memberikan nasihat
kepada penderita merupakan salah satu dari kontrol eksternal yang dapat dilakukan
oleh orang-orang di sekitar penderita dan hal ini dapat sangat membantu proses terapi
dari gangguan preferensi seksual.15
1. Terapi Seks dan penurunan keinginan seksual
Adalah pelengkap yang tepat untuk pengobatan pasien yang menderita
disfungsi seksual tertentu dimana mereka mencoba melakukan aktivitas seksual yang
tidak menyimpang dengan pasangannya.1Upaya menurunkan keinginan seseorang
dengan parafilia dapat membantu agar tidak memakan korban terlalu banyak. Hal ini
dapat dilakukan dengan menggunakan selective serotonin reuptake inhibitors atau
SSRIs, dapat menurunkan libido seorang pria, seperti benperidol, thioridazine,
fluphenazine, dan lainnya.1 Efek yang sama dapat diberikan oleh obat anti-androgens,
21

namun memiliki efek samping seperti kaki kram, perasaan panas pada tubuh, rambut
rontok, kehilangan mineral tulang, dan kelainan jantung.16
2. Terapi Perilaku
Digunakan untuk memutuskan pola parafilia yang dipelajari. Stimuli yang
menakutkan, seperti kejutan listrik atau bau yang menyengat, telah dipasangkan
dengan impuls tersebut, yang selanjutnya menghilang. Stimuli dapat diberikan oleh
diri sendiri dan digunakan oleh pasien bilamana mereka merasa bahwa mereka akan
bertindak atas dasar impulsnya.13
3. Psikoterapi Berorintasi Tilikan
Merupakan pendekatan yang paling sering digunakan untuk mengobati
parafilia. Pasien memiliki kesempatan untuk mengerti dinamikanya sendiri dan
peristiwa-peristiwa yang menyebabkan perkembangan parafilia. Secara khusus,
mereka menjadi menyadari peristiwa sehari-hari yang menyebabkan mereka
bertindak atas impulsnya (sebagai contohnya, penolakan yang nyata atau
dikhayalkan). Psikoterapi juga memungkinkan pasien meraih kembali harga dirinya
dan memperbaiki kemampuan interpersonal dan menemukan metode yang dapat
diterima untuk mendapatkan kepuasan seksual. Terapi kelompok juga berguna.13
4.

Psikoterapi Dinamik

Merupakan pendekatan yang paling sering digunakan untuk mengobati


parafilia. Pasien memiliki kesempatan untuk mengerti dinamikanya sendiri dan
peristiwa-peristiwa yang menyebabkan perkembangan parafilia. Secara khusus,
mereka menjadi menyadari peristiwa sehari-hari yang menyebabkan mereka
bertindak atas impulsnya (sebagai contohnya, penolakan yang nyata atau
dikhayalkan). Psikoterapi juga memungkinkan pasien meraih kembali harga dirinya
dan memperbaiki kemampuan interpersonal dan menemukan metode yang dapat
diterima untuk mendapatkan kepuasan seksual. Terapi kelompok juga dapat
berguna.14

22

5. Terapi Kebiasaan Kognitif / Cognitive-Behavioral Therapy (CBT)


Mengingat bahwa salah satu dasar dari pendekatan kebiasaan manusia ialah
bahwa manusia memiliki kemampuan untuk belajar dari konsekuensi aksi mereka dan
membuat keputusan sesuai dengan kebiasaan mereka. Beberapa hal yang perlu
ditekankan dalam CBT adalah sebagai berikut.16-18
-

Teknik Mengendalikan Diri


Mengendalikan diri sendiri merupakan suatu aspek yang penting untuk dimiliki

oleh setiap individu. Teknik untuk dapat memperoleh hal tersebut adalah ThoughtShifting dan Thought-Stopping, yang merupakan teknik yang sangat efektif dalam
upaya untuk mengallihkan perhatian penderita saat telah mulai memiliki pikiran,
fantasi, atau keinginan. Teknik ini sangat memerlukan keinginan penderita untuk
sembuh, dimana pada prakteknya saat penderita sedang memiliki pikiran, fantasi, atau
keinginan tersebut, maka penderita mengganti focus atau bahkan menghentikan
pikiran, fantasi, atau keinginan tersebut. Terkadang penderita meminta saran tentang
pemikiran apa yang dapat menjadi alihan dari pemikiran tersebut.
-

Managemen Stress

Stress dapat mengakibatkan munculnya pemikiran, fantasi, dan keinginan


seksual. Maka dari itu sebagai seseorang yang hendak melakukan CBT terhadap
penderita parafilia, juga perlu untuk mengurangi stress dari penderita tersebut dengan
cara mengontrol, meminimalisir, dan menghilangkan stressor.
-

Struktur Ulang Kognitif

Membantu dengan cara mengubah pemikiran irasional dari penderita dan


pemikiran yang kacau melalui pemikiran dan mengeliminasi kebiasaan mental yang
tidak produktif.
-

Teknik Rehabilitatif Sosial

Teknik ini membantu dalam mengembalikan bentuk normal pada sosial dan
interaksi seksual penderita. Hal ini dilakukan dengan cara mempertahankan kebiasaan
seksual yang normal dengan pasangan yang tetap.

23

Edukasi Seksual

Seseorang dengan parafilia memiliki tingkat pengetahuan yang rendah


terhadap seksualitas manusia. Pada umumnya, seorang parafilik memiliki suatu
disfungsi seksual yang tidak mereka pahami.

24

BAB III.
KESIMPULAN

Gangguan Preferensi seksual atau disebut juga parafilia adalah sekelompok


gangguan yang mencakup ketertarikan seksual terhadap objek yang tidak wajar atau
aktivitas seksual yang tidak pada umumnya. Parafilia yang dialami oleh seseorang
dapat merupakan parafilia dengan kebiasaan mendekati normal sampai kebiasaan
yang merusak atau menyakiti diri sendiri ataupun diri sendiri dan pasangan, dan pada
akhirnya menjadi kebiasaan yang dianggap merusak dan mengancam komunitas yang
lebih luas. Penyebab dari parafilia antara lain adalah faktor psikososial dan faktor
biologi.
Menurut PPDGJ III dibagi menjadi F65.0 Fetihisme, F65.1 Tranvetisme
Fetihistik, F65.2 Ekshibisionisme, F65.3 Veyeurisme, F65.4 Pedofilia, F65.5
Sodomasokisme, F65.6 Gangguan Preeferensi Seksual Multipel, F65.8 Gangguan
Preferensi Seksual Lainya, dan F65.9 Gangguan Preferensi Seksual YTT. Gejala
utama parafilia adalah dorongan, fantasi, dan rangsangan yang berulang-ulang dan
berkaitan dengan : (1) Obyek-obyek bukan manusia (sepatu, baju dalam, bahan kulit
atau karet). (2) Menyakiti diri sendiri atau pasangan. (3) Individu yang tidak
diperbolehkan menurut hukum

(anak-anak, orang yang tidak berdaya atau

pemerkosaan). Diagnosis dibuat berdasarkan kriteria diagnostik PPDGJ III dan DSM
IV. Klinisi perlu membedakan suatu parafilia dari coba-coba dimana tindakan
dilakukan untuk mengetahui efek baru dan tidak secara rekuren atau kompulsif. Lima
jenis intervensi psikiatri digunakan untuk mengobati orang dengan parafilia, yaitu
psikoterapi berorientasi tilikan, terapi seks, terapi perilaku, medikamentosa, dan
terapi aversi. Psikoterapi berorientasi tilikanadalah pendekatan yang paling sering
digunakan.
Prognosisnya buruk berhubungan dengan onset usia yang awal, tingginya
frekuensi tindakan, tidak adanya perasaan bersalah atau malu terhadap tindakan

25

tersebut, dan penyalahgunaan zat. Prognosisnya baik jika pasien memiliki riwayat
koitus disamping parafilia, jika pasien memiliki motivasi tinggi untuk berubah, dan
jika pasien datang berobat sendiri, bukan dikirim oleh badan hukum.

26

DAFTAR PUSTAKA

1. Sadock, BJ. Kaplan & Sadocks. Buku ajar psikiatri klinis. Edisi ke-10. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins. Jakarta : EGC; 2007
2. Bannon, G.E. & Carroll, K.S. Paraphilias (serial online) 2008. Diunduh dari URL:
http://emedicine.medscape.com/article/291419-clinical [diakses 2 Des 2015].
3. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Mannual of Mental
Disorder Ed 4th (DSM-IV). Washington DC: American Psychiatric Association;
2000
4. Maslim, R. Buku Saku: Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan ringkas dari
Pedoman Penggolongan Dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III
(PPDGJ-III),. Edisi 1. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika
Atma Jaya; 2001.
5. Davison, G.C., Neale, J.M., Kring, A.M. Psikologi Abnormal. Edisi ke-9. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada; 2006.
6. Brown,

G.

R.

Paraphilias.

2010.

Diunduh

http://www.merckmanuals.com/professional/sec15/ch203/ch203c.html.

dari

URL:

[diakses

Des 2015].
7. Sadock BJ, Sadock VA. Seksualitas manusia. Dalam: Kaplan & sadoks buku ajar
psikiatri klinis. Ed. 2. Jakarta: EGC; 2014.316-21.
8. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jendral Pelayanan Medik.
Pedoman penggolongan dan diagnosis jiwa di Indonesia III. Cet. 1. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, 1993.283.8.
9. Pedoman Penggolongan Dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III
(PPDGJ-III), Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pelayan Medik,
1993. Cetakan Pertama
10. Diagnostic and Statistical Mannual of Mental Disorder fourth edition (DSM-IV),
American Psychiatric Association, Washington DC.

27

11. Maramis WF, Maramis AA. (2009). Catatan Buku Kedokteran Jiwa. Edisi 2.
Surabaya : Airlangga University Press
12. Sadock, BJ. Kaplan & Sadocks Synopsis Of Psychiatry 10th ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2007.p.705-14
13. Davison, G.C., Neale, J.M., Kring, A.M. Psikologi Abnormal. Edisi ke-9. Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada; 2006. p611-641.
14. Thibaut F, De La Barra F, Gordon H, Cosyns P, Bradford J. The World Federation
of Societies of Biological Psychiatry (WFSBP) Guidelines for the Biological
Treatment of Paraphilias. World J Biol Psychiatry. 2010;11:60455.
15. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadocks Synopsis of Psychiatry: Behavioral
Sciences/Clinical Psychiatry. 10th ed. Philadephia: Lippincott Williams &
Wilkins; 2007. 705 p.
16. Mcmanus M, Hargreaves P, Rainbow L, Alison L. Paraphilia Definition,
Diagnosis, and Treatment. F1000 Prime Rep. 2013;5(36):16.
17. Westheimer R, Lopater S. Human Sexuality: A Psychosocial Perspective. 2nd ed.
Philadephia: Lippincott Williams & Wilkins; 2004. 864 p.
18. Kaplan M, Krueger R. Cognitive-Behavioral Treatment of the Paraphilias. Isr J

Psychiatry Relat Sci. 2012;49(4):2916.

28

Anda mungkin juga menyukai