OPTIMAPREP
BATCH I UKMPPD 2016
dr. Widya, dr. Yolina, dr. Retno, dr. Yusuf, dr. Reza, dr. Resthie
dr. Cemara, dr. Zanetha
OFFICE ADDRESS:
Jl padang no 5, manggarai, setiabudi, jakarta selatan
(belakang pasaraya manggarai)
Phone number : 021 8317064
pin BB 2A8E2925
WA 081380385694
Medan :
Jl. Setiabudi no. 65 G, medan
Phone number : 061 8229229
Pin BB : 24BF7CD2
Www.Optimaprep.Com
1. Anemia Normositik
1. Anemia
1. Anemia Mikrositik
1. Anemia
Perdarahan kronis
Defisiensi besi
Thalassemia juga
memberi gambaran
mikrositik hipokrom &
retikulositosis, tapi
biasanya disertai
splenomegali.
Pada pasien ini, sudah
jelas terdapat riwayat
perdarahan sehingga
penyebab anemianya
adalah perdarahan kronis
yang sudah menimbulkan
defisiensi besi.
2. Penyakit Ginjal
2. Penyakit Ginjal
Gangguan pada:
2. Penyakit Ginjal
2. Penyakit Ginjal
2. Penyakit Ginjal
2. Penyakit Ginjal
3. SKA
4. Dispepsia
Nyeri epigastrik seperti rasa terbakar atau tidak nyaman
dapat dijumpai pada ulkus duodenum & ulkus gaster.
Ulkus duodenum:
Khasnya, nyeri timbul 90 menit-3 jam setelah makan & nyeri
berkurang dengan antasid atau makanan.
2/3 pasien merasakan nyeri pada malam hari yang membuat
bangun pada malam hari (tengah malam jam 3 pagi).
Ulkus gaster:
Nyeri dipresipitasi oleh makanan.
Mual & turun berat badan lebih sering dijumpai pada ulkus
gaster.
Harrisons principles of internal medicine
4. Dispepsia
Lokasi Nyeri
Nyeri epigastrik
Kembung
Nyeri epigastrik
menjalar ke
punggung
Anamnesis
Pemeriksaan
Fisis
Membaik dgn
makan (ulkus
duodenum),
Memburuk dgn
makan (ulkus
gastrikum)
Tidak spesifik
Pemeriksaan
Penunjang
Diagnosis
Dispepsia
Transaminase,
Serologi HAV,
HBSAg, Anti HBS
Nyeri tekan
USG: hiperekoik
abdomen
dgn acoustic
Berlangsung 30-180 window
menit
Murphy Sign
USG: penebalan
dinding kandung
empedu (double
rims)
Terapi
PPI: omeprazol/
lansoprazol
H. pylori:
klaritromisin+amok
silin+PPI
Pankreatitis
Hepatitis Akut
Resusitasi cairan
Nutrisi enteral
Analgesik
Suportif
Kolelitiasis
Kolesistektomi
Asam
ursodeoksikolat
Kolesistitis
Resusitasi cairan
AB: sefalosporin
gen. 3 +
metronidazol
Kolesistektomi
5. Tuberkulosis
5. Tuberkulosis
5. Tuberkulosis
Lilly LS. Pathophysiology of heart disease. 5th ed. Lipincott Williams & Wilkins; 2011.
Lilly LS. Pathophysiology of heart disease. 5th ed. Lipincott Williams & Wilkins; 2011.
7. GERD
Definition:
a pathologic condition of symptoms & injury to the
esophagus caused by percolation of gastric or
gastroduodenal contents into the esophagus associated
with ineffective clearance & defective gastroesophageal
barrier.
Symptoms:
Heartburn; midline retrosternal burning sensation that
radiates to the throat, occasionally to the intrascapular
region.
Others: regurgitation, dysphagia, regurgitation of excessive
saliva.
GI-Liver secrets
7. GERD
7. GERD
Management:
Aggressive lifestyle modification & pharmacologic therapy.
Surgery is encouraged for the fit patient who requires chronic
high doses of pharmacologic therapy to control GERD or who
dislikes taking medicines.
Endoscopic treatments for GERD are very promising, but
controlled long-term comparative trials with proton pump
inhibitors and/or surgery are lacking.
Konseling dan tes HIV sukarela (KTS-VCT = Voluntary Counseling & Testing)
Tes HIV dan konseling atas inisiatif petugas kesehatan (KTIP PITC =
Provider-Initiated Testing and Counseling)
ibu hamil,
pasien TB,
pasien yang menunjukkan gejala dan tanda klinis diduga terinfeksi HIV (Tabel),
pasien dari kelompok berisiko (pemakai narkoba suntik, PSK, LSL lelaki seks
dengan lelaki),
pasien IMS dan seluruh pasangan seksualnya.
Pada soal ini lebih tepat istilahnya KTIP, tetapi tidak ada di pilihan
jawaban sehingga dipilih VCT.
Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa. Kemenkes 2011.
8. Konseling
& Tes HIV
PPE:
Pruritic papular eruption
VCT - KTS
PITC KTP2
Pasien/Klien
Petugas kesehatan/
Konselor
Tindak lanjut
VCT - KTS
PITC KTP2
9. GI Tract Disorder
Irritable bowel syndrome (IBS) is a functional bowel
disorder characterized by:
abdominal pain or discomfort
altered bowel habits
absence of detectable structural abnormalities.
fulfilled for the last 3 months with symptom onset at least 6 months prior to
diagnosis.
bDiscomfort means an uncomfortable sensation not described as pain.
9. GI tract Disorder
Diagnosis
Characteristic
Crohn disease
Colitis ulcerative
Colon carcinoma
10. Tuberkulosis
a) Pasien TB dengan Hepatitis akut
Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis
ikterik, ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan.
b) Hepatitis Kronis
Pada pasien dengan kecurigaan mempunyai penyakit hati kronis,
pemeriksaan fungsi hati harus dilakukan sebelum memulai
pengobatan.
Apabila hasil pemeriksaan fungsi hati >3 x normal sebelum memulai
pengobatan, paduan OAT berikut ini dapat dipertimbangkan:
2 obat yang hepatotoksik : HRSE / 6 HR atau 9 HRE
1 obat yang hepatotoksik: 2 HES / 10 HE
Tanpa obat yang hepatotoksik: 18-24 SE ditambah salah satu golongan
fluorokuinolon (ciprofloxasin tidak direkomendasikan karena potensimya
sangat lemah).
11. Aspirin
AHA/ACCF Secondary Prevention and Risk Reduction Therapy for
Patients With Coronary and Other Atherosclerotic Vascular Disease: 2011
Update:
Aspirin 75162 mg daily is recommended in all patients with coronary
artery disease unless contraindicated. (Level of Evidence: A)
The Role of Aspirin in the Prevention of Cardiovascular Disease. Clin Med
Res. 2014 Dec; 12(3-4): 147154.
all guidelines are clear that aspirin is inappropriate for patients with
aspirin intolerance and those at increased risk of gastrointestinal
bleeding or hemorrhagic stroke, which is usually evident from a
previous history of such conditions.
These aspirin contraindications are relatively uncommon, however,
and the benefits of CVD risk reduction typically outweigh the bleeding
risks for most patients at high CVD risk.
11. Aspirin
12. Artritis
Osteoarthritis:
Gout arthritis:
Acute gouty arthritis: soft tissue swelling.
Advanced gout: the erosion are slightly
Penipisan kartilago
Sklerosis subkondral/eburnation
12. Artritis, RA
Ciri
OA
RA
Arthritis
Gout
Spondilitis
Ankilosa
Female>male, >50
tahun, obesitas
Female>male
40-70 tahun
Male>female, >30
thn, hiperurisemia
Male>female,
dekade 2-3
gradual
gradual
akut
Variabel
Inflamasi
Patologi
Degenerasi
Pannus
Mikrotophi
Enthesitis
Poli
Poli
Mono-poli
Oligo/poli
Tipe Sendi
Kecil/besar
Kecil
Kecil-besar
Besar
Predileksi
Pinggul, lutut,
punggung, 1st CMC,
DIP, PIP
MCP, PIP,
pergelangan
tangan/kaki, kaki
MTP, kaki,
pergelangan kaki &
tangan
Sacroiliac
Spine
Perifer besar
Bouchards nodes
Heberdens nodes
Kristal urat
En bloc spine
enthesopathy
Osteofit
Osteopenia
erosi
erosi
Erosi
ankilosis
Nodul subkutan,
pulmonari cardiac
splenomegaly
Tophi,
olecranon bursitis,
batu ginjal
Uveitis, IBD,
konjungtivitis, insuf
aorta, psoriasis
Normal
RF +, anti CCP
Asam urat
Prevalens
Awitan
Jumlah Sendi
Temuan Sendi
Perubahan
tulang
Temuan
Extraartikular
Lab
13. Tuberkulosis
Pucat
Lemah
Takikardia
Urin seperti teh
Ikterus
Splenomegali (karena
peningkatan destruksi
eritrosit dengan
kerusakan membran di
limpa)
Pielonefritis
Inflamasi pada ginjal & pelvis renalis
Demam, menggigil, mual, muntah, nyeri pinggang, diare,
Lab: silinder leukosit, hematuria, pyuria, bakteriuria, leukosit esterase +.
Sistitis:
Urethritis:
ISK complicated:
Pielonefritis berat:
Demam tinggi,
rigors,
Mual, muntah,
Nyeri pinggang.
15. Pielonefritis
Indikasi rawat inap:
Tidak bisa menjaga
hidrasi oral & minum
obat,
Keadaan sosial atau
komplians yang tidak
pasti atau komplians,
Diagnosis belum pasti,
Demam tinggi, nyeri
yang berat, & debilitatif.
Comprehensive cllinicall nephrology. 5th ed. 2015
15. Pielonefritis
Untuk pasien dengan respons yang cepat (demam & gejala hilang di awal terapi),
terapi dapat dibatasi selama 7 hari.
Pada beberapa penelitian pemberian golongan -lactam kurang dari 14 hari
berkaitan dengan angka kegagalan yang tinggi.
Satu penelitian menunjukkan keunggulan siprofloksasin selama 7 hari
dibandingkan TMP-SMX selama 14 hari.
Comprehensive cllinicall nephrology. 5th ed. 2015
15. Pielonefritis
Jika Gram negatif
Ceftriaxone
Jika kemungkinan enterococci
ampicillin plus gentamicin,
ampicillin-sulbactam, and
piperacillin-tazobactam
Frekuensi :
frontoparietal (75%)
temporal (10%)
occipital (5%)
tempat lainnya (10%).
75-90% fraktur depres
terbuka.
Pasien pediatrik :
Lokasi : regio frontal dan parietal
1/3 kasus : fraktur depres tertutup
Indikasi Operasi pasien pediatrik
Terdapat bukti-bukti klinis terjadi penetrasi terhadap
duramater.
Defek tulang yang persisten kosmetik.
Terdapat gejala defisit neurologis fokal akibat fraktur
tersebut.
17. ASA
Gambaran Radiologi :
Cupula sign
Foot ball sign
Double wall sign /Rigler sign
Ligamentum falciforum sign
Umbilical sign
Urachus sign
Cupula sign
Cupula sign
Umbilical sign
Urachus sign
Falciform Ligament
Sign
Football sign
19. Lipoma
Sagar J, Kumar V, Shah DK. Meckels diverticulum: a systematic review. J R Soc Med.
2006;99:501-505.
kejadian
Masyarakat,
(Injury
Sosial
Disarter)
worker,
Polisi,
2. Limb saving
Tindakan Operative
Umur
Kelamin
Pekerjaan
Penyakit penyerta
Emergency Orthopaedi
Pengelolaan Fraktur di RS
Prinsip : 4 R
R 1 = Recognizing
= Diagnosa
= Reposisi
fraktur
R 3 = Retaining = Fiksasi /imobilisasi
R 4 = Rehabilitation
Retaining (Imobilisasi)
Isitrahat
Casting / Gips
Sling / Split
Splint/ Pembidaian
Cara Imobilisasi
Casting / Gips
Hemispica gip
Umbrical slab
Retaining (Imobilisasi)
Traksi
Retaining (Imobilisasi)
History of trauma
Symptoms &
signs:
Treatment
Nonoperative
https://www2.aofoundation.org
22. Epididymo-Orchitis
Epididimo orkitis adalah inflamasi akut yang
terjadi pada testis dan epididimis yang
memiliki ciri yaitu nyeri hebat dan terdapatnya
pembengkakan di daerah belakang testis yang
juga disertai skrotum yang bengkak dan
merah.
Cara membedakan orchitis dengan torsio
testis yaitu melalui Prehn Sign yaitu membaik
jika scrotum yang sakit dinaikkan.
Etiologi
Orkitis bisa disebabkan oleh sejumlah bakteri dan virus. Virus yang paling sering
menyebabkan orkitis adalah virus gondong (mumps). Sekitar 15-25% pria yang
mengalami gondongan (parotitis), akan mengalami orkitis ketika masa setelah
pubernya. Orkitis juga ditemukan pada 2-3% pria yang menderita bruselosis.
Orkitis sering dikaitkan dengan infeksi prostat atau epidedemis, serta merupakan
manifestasi dari penyakit menular seksual (gonore atau klamidia).
Faktor resiko untuk orkitis yang tidak berhubungan dengan penyakit menular
seksual adalah:
a.
b.
c.
d.
Sedang untuk faktor resiko orkitis yang berhubungan dengan penyakit menular
seksual antara lain :
a. Berganti-ganti pasangan
b. Riwayat penyakit menular seksual pada pasangan
c. Riwayat gonore atau penyakit menular seksual lainnya
Diagnosis
a. Pembengkakan skrotum
b. Testis yang terkena terasa berat,
membengkak dan teraba lunak
c. Pembengkakan selangkangan pada
testis yang terkena
d. Demam
e. Keluar nanah dari penis
f. Nyeri ketika berkemih / disuria
g. Nyeri saat berhubungan seksual / saat
ejakulasi
h. Nyeri selangkangan
i. Nyeri testis, bias saat mengejan atau
ketika BAB
j. Semen mengandung darah
Tatalaksana
Jika penyebabnya bakteri maka diberikan antibiotik.
Selain itu diberikan obat pereda nyeri dan anti
peradangan.
Tapi jika penyebabnya virus, hanya diberikan obat
anti nyeri.
Penderita sebaiknya menjalani tirah baring.
Skrotumnya diangkat dan dikompres dengan es.
23. BPH
BPH
adalah pertumbuhan
berlebihan dari sel-sel
prostat yang tidak ganas.
Pembesaran prostat jinak
diakibatkan sel-sel prostat
memperbanyak diri
melebihi kondisi normal,
biasanya dialami laki-laki
berusia di atas 50 tahun
yang menyumbat saluran
kemih.
NORMAL
TIDAK NORMAL
PREVALENSI
Angka kejadian BPH di Indonesia yang pasti belum pernah
diteliti.
Penduduk Indonesia yang berusia tua jumlahnya semakin
meningkat, diperkirakan sekitar 5% atau kira-kira 5 juta pria
di Indonesia berusia 60 tahun atau lebih dan 2,5 juta pria
diantaranya menderita gejala saluran kemih bagian bawah
(Lower Urinary Tract Symptoms/LUTS) akibat BPH.
Prevalensi BPH yang bergejala pada pria berusia 40-49
tahun mencapai hampir 15%, usia 50-59 tahun
prevalensinya mencapai hampir 25%, dan pada usia 60
tahun mencapai angka sekitar 43%.
ETIOLOGI
Umur
Pria berumur lebih dari 50 tahun,
kemungkinannya memiliki BPH adalah 50%.
Ketika berusia 8085 tahun, kemungkinan
itu meningkat menjadi 90%.
Faktor Hormonal
Testosteron > hormon pada pria.
Beberapa penelitian menyebutkan karena
adanya peningkatan kadar testosteron pada pria
(namun belum dibuktikan secara ilmiah) .
Teori
dihidrotest
osteron
Ketidaksei
mbangan
antara
estrogentestosteron
Interaksi
stromaepitel
Berkurangnya
kematian sel
prostat
Teori sel
stem
PATOFISIOLOGI
Mekanisme
patofisiologi penyebab
BPH secara jelas
belum diketahui
dengan pasti.
Namun diduga
intaprostatik
dihidrosteron (DHT)
dan 5- reduktase tipe
II ikut terlibat.
Sering kencing
Sulit kencing
Nyeri saat berkemih
Urin berdarah
Nyeri saat ejakulasi
Cairan ejakulasi
berdarah
Gangguan ereksi
Nyeri pinggul atau
punggung
Manifestasi Klinis
Dapat dibagi ke dalam dua kategori :
Obstruktif :
terjadi ketika faktor
dinamik dan atau
faktor statik
mengurangi
pengosongan
kandung kemih.
Iritatif :
hasil dari
obstruksi yang
sudah berjalan
lama pada leher
kandung kemih.
CT Scan:
Tampak ukuran prostat
membesar di atas ramus superior
simfisis pubis.
kemih
masih
Ringan
Sedang
8-19
Parah
20
Terapi Farmakologi
Jika gejala ringan maka pasien cukup dilakukan
watchful waiting (perubahan gaya hidup).
Jika gejala sedang maka pasien diberikan obat
tunggal antagonis adrenergik atau inhibitor 5reductase.
Jika keparahan berlanjut maka obat yang
diberikan bisa dalam bentuk kombinasi keduanya.
Jika gejala parah dan komplikasi BPH, dilakukan
pembedahan.
Menghilangkan gejala
ringan
Menghilangkan gejala
sedang
Watchful
waiting
-adrenergik
antagonis atau
5-
Reductace inhibitor
Jika respon
berlanjut
Jika respon
tidak berlanjut,
operasi
-adrenergik
antagonis dan 5-
Reductace
inhibitor
Jika respon
berlanjut
antagonis adrenergik
Mekanisme kerja : memblok reseptor
adrenergik 1 sehingga mengurangi faktor
dinamis pada BPH dan akhirnya berefek
relaksasi pada otot polos prostat.
inhibitor 5- reductase
Mekanisme kerja dari obat ini adalah
mengurangi
volume
prostat
dengan
menurunkan kadar hormon testosteron.
5-reduktase inhibitor digunakan jika pasien
tidak dapat mentolerir efek samping dari alfa
blocker.
Epidemiologi
Gejala Klinis
Nyeri dan Bengkak pada area yang
terkena
Dapat terjadi gejala sistemik, seperti:
Demam
Anemia
Penurunan berat badan
Elevated WBC & ESR,LDH
Skull(3.8%)
Lokasi
Scapula (3.8%)
T0
T1
T2
T3
N0
N1
Note: Because of the rarity of lymph node involvement in bone sarcomas, the designation
NX may not be appropriate and cases should be considered N0 unless clinical node
involvement is clearly evident.
Distant metastasis (M)
M0
No distant metastasis
M1
Distant metastasis
M1a
Lung
M1b
Stage
IA
IB
IIA
IIB
III
IVA
IVB
Diagnostic Work-Up
Primary
Staging
-Biopsy
-Genetics
-IHC
-Bone Marrow
Imaging
-X-ray
-CT scan
-MRI
-CT Thorax
-Bone scan
-PET scan
Lab Test
- Renal RFT
- Cardiac 2D-ECHO
Imaging
X-RAY
Moth eaten lesion
Lytic or mixed lytic-sclerotic areas
present
Multi-Layered subperiosteal reaction
(onion skinning)
Lifting of perioteum (codmans triangle)
extraosseous involvement
143
MRI
Involvement detected by MRI extends beyond
the anticipated area seen on plain X-ray
Intra-medullary extent
Soft tissue extension
Skip lesions
Relation Adjacent structures, vessels , nerves
Multi-planar
Bone scan:
To detect polyostotic involvement
to detect bone metastasis
CSMMU, Lucknow
PET/PET- CT Scan
newer technique
Under evaluation to detect
CSMMU, Lucknow
Tatalaksana Umum
Induction
Chemotherapy
Local Control
Maintenance
Surgery
Radiotherapy
Chemotherapy
25. Rabies
Rabies adalah penyakit infeksi akut pada Sistem Saraf
Pusat (SSP) yang disebabkan oleh virus rabies, dan
ditularkan melalui gigitan hewan menular rabies
terutama anjing, kucing, kera, dan kelelawar.
Penyakit rabies atau penyakit anjing gila, merupakan
penyakit yang bersifat fatal atau selalu diakhiri
dengan kematian bila tidak ditangani dan diobati
dengan baik.
Telah dilaporkan 98 persen kasus rabies di Indonesia
ditularkan akibat gigitan anjing dan 2 persen akibat
gigitan kucing dan kera.
Gejala Klinis
Stadium Prodromal
Gejala awal berupa demam, malaise, mual, dan rasa nyeri di tenggorokan dalam beberapa hari.
Stadium Sensoris
Penderita merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan pada tempat bekas luka. Kemudian disusul
dengan gejala cemas dan reaksi yang berlebihan terhadap rangsang sensorik.
Stadium Eksitasi
Tonus otot-otot dan aktivitas simpatik menjadi meninggi dengan gejala hiperhidrosis, hipersalivasi,
hiperlakrimasi, dan pupil dilatasi.
Adanya macam-macam fobi, yang sangat terkenal diantaranya ialah hidrofobi.
Kontraksi otot-otot faring dan otot-otot pernapasan dapat ditimbulkan oleh rangsang sensorik
seperti meniupkan udara ke muka penderita atau dengan menjatuhkan sinar ke mata atau dengan
menepuk tangan di dekat telinga penderita.
Pada stadium ini dapat terjadi apnoe, sianosis, konvulsi, dan takikardi.
Gejala-gejala eksitasi ini dapat terus berlangsung sampai penderita meninggal, tetapi pada saat
dekat kematian justru lebih sering terjadi otot-otot melemah, hingga terjadi paresis flaksid otot-otot.
Stadium Paralis
Sebagian besar penderita rabies meninggal dalam stadium eksitasi. Kadang-kadang ditemukan juga
kasus tanpa gejala-gejala eksitasi, melainkan paresis otot-otot yang bersifat progresif. Hal ini karena
gangguan sumsum tulang belakang, yang memperlihatkan gejala paresis otot-otot pernafasan.
Tatalaksana
Setiap ada kasus gigitan hewan menular rabies harus ditangani
dengan cepat dan sesegera mungkin.
Untuk mengurangi/mematikan virus rabies yang masuk pada luka
gigitan, usaha yang paling efektif ialah mencuci luka gigitan dengan
air (sebaiknya air mengalir) dan sabun atau deterjen selama 10-15
menit, kemudian diberi antiseptik (alkohol 70 %, betadine, obat
merah dan lain-lain).
Bila memang perlu sekali untuk dijahit (jahitan situasi), maka diberi
Serum Anti Rabies (SAR) sesuai dengan dosis, yang disuntikan
secara infiltrasi di sekitar luka sebanyak mungkin dan sisanya
disuntikan secara intra muskuler.
Dipertimbangkan perlu tidaknya pemberian serum/vaksin anti
tetanus, antibiotik untuk mencegah infeksi dan pemberian
analgetik.
26. Labiopalatoskizis
Labioskizis: celah pada
bibir
Palatoskizis: celah pada
palatum
Labiopalatoskizis: celah
bibir+palatum
http://emedicine.medscape.com/
Epidemiologi
Sumbing bibir disertai atau tidak disertai
sumbing pada palatum , merupakan kelainan
maksilofasial kongenital yang sering pada
neonatus (80%).
Terjadi pada 1 dari 700-1000 kelahiran.
Sebesar 30-50% disertai kelainan kongenital
yang lain.
Klasifikasi
Suatu klasifikasi membagi strukturstruktur yang terkena menjadi beberapa
bagian berikut:
Palatum primer meliputi bibir, dasar
hidung, alveolus, dan palatum durum
di belahan foramen insisivum.
Palatum sekunder meliputi palatum
durum dan palatum molle posterior
terhadap foramen.
Suatu belahan dapat mengenai salah
satu atau keduanya, palatum primer
dan palatum sekunder dan juga bisa
berupa unilateral atau bilateral.
Terkadang terlihat suatu belahan
submukosa. Dalam kasus ini
mukosanya utuh dengan belahan
mengenai tulang dan jaringan otot
palatum.
Cleft palate
the two plates of the skull that form the hard
palate (roof of the mouth) are not completely
joined
The soft palate is in these cases cleft as well
Cleft lip
formed in the top of the lip
a small gap or an indentation in the lip
(partial or incomplete cleft)
continues into the nose (complete
cleft)
due to the failure of fusion of the
maxillary and medial nasal processes
(formation of the primary palate)
Tatalaksana
Pemberian ASI secara langsung,
dapat dicoba dengan sedikit
menekan payudara.
Bila anak sukar mengisap
sebaiknya gunakan botol peras
(squeeze bottles).
Jika anak tidak mau, berikan
dengan cangkir dan sendok.
Okulator untuk menutup
sementara celah palatum
Tindakan bedah, dengan kerja
sama yang baik antara ahli bedah,
ortodontis, dokter anak, dokter
THT, serta ahli wicara. (terapi
tergantun kebutuhan pasien).
Syarat palatoplasti
Palatoskizis ini biasanya ditutup
pada umur 9-12 bulan menjelang
anak belajar bicara, yang penting
dalam operasi ini adalah harus
memperbaiki lebih dulu bagian
belakangnya agar anak bisa
dioperasi umur 2 tahun.
Untuk mencapai kesempurnaan
suara, operasi dapat saja dilakukan
berulang-ulang
http://www.scribd.com/doc/55885689/labio-gnato-palatoschisis
Algoritme
Algorithm for the management of a young patient with the finding of a breast mass. Adapted with permission from Morrow M, Wong
S, Venta L. The evaluation of breast masses in women younger than forty years of age. Surgery 1998;124:63441.
RR
2
3-5
First child
2-3
Breast feeding
none vs 4 children
2.5
Mammography
Menarche
<11 vs >15
1.5
Ultrasonography
Number of child
Alcohol
none vs 3
2 drinks vs none
1.5
1.5
Screening Tests
Breast self examination
(BSE)
http://www.cancer.org/healthy/informationforhealthcarepr
ofessionals/cancer_statistic_2009_slides_rev.ppt
http://reference.medscape.com/features/slideshow/mammogram#13
http://www.cancer.org/cancer/breastcancer/moreinformation/breastc
ancerearlydetection/breast-cancer-early-detection-acs-recs
The BSE recommendation has shifted to include a new concept called "breast selfawareness (BSA) in women aged 20 years and older in which they have an
"understanding [of] the normal appearance and feel of their breasts, but without a
specific interval or systematic examination technique."[Women should report any
changes in their breasts to their healthcare providers
Sa-Da-Ri
Biopsi Payudara
Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB)
Langkah awal pemeriksaan massa payudara,
menggunakan jarum 22G-25G untuk aspirasi
cairan kista atau mengambil sampel padat
jaringan untuk pemeriksaan sitologi.
Dapat digunakan bersama pemeriksaan USG atau
Stereotactic untuk massa yang sulit diidentifikasi.
Jika sampel adekuat, sensitifitas FNAB tinggi untuk
keganasan (98-99%), PPV (99%), NPV (86-99%)
Bergantung pada keahlian pemeriksa.
http://www.aafp.org/
Core-Needle Biopsy
Prosedur mirip FNAB, jaringan
yang diambil lebih banyak,
jarum yang digunakan 14G18G.
Sediaan histologik
Memerlukan lokal anestesi.
Digunakan bersamaan USG
atau stereostatic imaging pada
massa yang sulit di palpasi.
Sensitivitas USG guided CNB
99% pada massa yang dapat
dipalpasi, 93% pada massa
yang non-palpable.
Exicional Biopsy
Gold standard evaluasi
massa di payudara.
Langkah diagnostik dan
terapetik.
Dilakukan di ruang operasi
dengan lokal atau general
anestesi.
Dilakukan bila secara klinis
meyakinkan jinak.
Insisi biopsy dilakukan jika
hasil CNB negatif dan
massa berukuran besar.
http://www.aafp.org/
Klasifikasi
Fraktur simple
Fraktur multiple
Menurut posisi :
Anterior
Lateral
Posterior
Ada beberapa kasus timbul fraktur campuran, seperti pada kasus Flail chest,
dimana pada keadaan ini terdapat fraktur segmental, 2 costa atau lebih yang
letaknya berurutan
Patofisiologi
Costae tulang pipih dan memiliki sifat yang lentur. Pada anak costae
masih sangat lentur sehingga sangat jarang dijumpai fraktur iga pada anak.
Costae merupakan salah satu komponen pembentuk rongga dada yang
berfungsi memberikan perlindungan terhadap organ di dalamnya dan
yang lebih penting adalah mempertahankan fungsi ventilasi paru.
Fraktur costae dapat terjadi akibat trauma yang datangnya dari arah
depan, samping, ataupun dari belakang.
Costae, tulang yang sangat dekat dengan kulit dan tidak banyak memiliki
pelindung akibatnya trauma dada trauma costae.
Iga 1 3 paling jarang fraktur, karena dilindungi oleh struktur tulang
dari bahu, tulang skapula, humerus, klavikula, dan seluruh otot-otot. Jika
fraktur kemungkinan cedera pembuluh darah besar.
Iga 4 9 paling sering fraktur, kemungkinan cedera jantung dan paru
Iga 10 12 agak jarang fraktur, karena costae 10-12 ini mobil, Jika
fraktur kemungkinan cedera organ intraabdomen.
Fraktur iga
Terjadi pendorongan ujung-ujung
fraktur masuk ke rongga pleura
Kerusakan struktur &
jaringan
Stimulasi saraf
Pneumothoraks
Nyeri dada
Gerakan dinding dada
terhambat/asimetris
Gangguan ventilasi
Sesak nafas
Hemotoraks
X-Rays
Rontgen thorax anteroposterior dan lateral dapat
membantu diagnosis hematothoraks dan
pneumothoraks ataupun contusio pulmonum,
mengetahui jenis dan letak fraktur costae.
Foto oblique membantu diagnosis fraktur multiple
pada orang dewasa. Pemeriksaan Rontgen toraks
harus dilakukan untuk menyingkirkan cedera toraks
lain, namun tidak perlu untuk identifikasi fraktur iga
Tatalaksana
1. Fraktur 1-2 iga tanpa adanya penyulit/kelainan lain :
konservatif (analgetika)rawat jalan
2. Fraktur >2 iga : waspadai kelainan lain (edema paru,
hematotoraks, pneumotoraks)
3. Penatalaksanaan pada fraktur iga multipel tanpa penyulit
pneumotoraks, hematotoraks, atau kerusakan organ
intratoraks lain, adalah: analgetik yang adekuat (oral/ iv /
intercostal block), bronchial toilet, cek Lab berkala : Hb, Ht,
Leko, Tromb, dan analisa gas darah, cek Foto Ro berkala
OBSERVASI
medicalexhibits.com
31. Glaukoma
Glaukoma adalah penyakit saraf mata yang
berhubungan dengan peningkatan tekanan bola
mata (TIO Normal : 10-24mmHg)
Ditandai : meningkatnya tekanan intraokuler
yang disertai oleh pencekungan diskus optikus
dan pengecilan lapangan pandang
TIO tidak harus selalu tinggi, Tetapi TIO relatif
tinggi untuk individu tersebut.
Vaughn DG, Oftalmologi Umum, ed.14
Jenis Glaukoma :
Primer yaitu timbul pada mata yang mempunyai bakat bawaan, biasanya
bilateral dan diturunkan.
Sekunder yang merupakan penyulit penyakit mata lainnya (ada penyebabnya)
biasanya Unilateral
Jenis Glaukoma
Causes
Etiology
Clinical
Acute Glaucoma
Pupilllary block
Open-angle
(chronic) glaucoma
Unknown
Congenital
glaucoma
abnormal eye
development,
congenital infection
Secondary
glaucoma
Drugs (corticosteroids)
Eye diseases (uveitis,
cataract)
Systemic diseases
Trauma
Absolute glaucoma
http://emedicine.medscape.com/article/1206147
Diagnostic tests
Tonometry
Ophthalmoscopy
Perimetry
Gonioscopy
TONOMETRY
Digital tonometry
Indentation tonometry
Shiotz tonometer
Applanation tonometry
Goldmann tonometer
Perkins tonometer
Pneumatic tonometer
Pulse air tonometer
Tono-pen
Advanced Changes:
Notch/Thinning of
neuroretinal rim
Pallor of neuroretinal rim
Superficial disc haemorrhages
Cupping of disc
Bayonetting Sign
Lamellar Dot Sign
Glaucomatous optic atrophy:
Neural disc is destroyed
Optic nerve head appears
white and deeply excavated
Bayonetting sign
GONIOSCOPY
Open Angle
Closed Angle
VISUAL FIELD
Traquair, in his classic thesis, described Visual field as
A hill of island in a sea of darkness. It is the part of
environment that is visible to the steadily fixing eye.
The island represents the perceived field of vision, and
the sea of darkness is the surrounding areas that are
not seen.
In the light-adapted state, the island of vision has a
steep central peak that corresponds to the fovea, the
area of greatest retinal sensitivity.
Deviation of the hill from normal is visual field defect.
Illustrated Automated Static Perimetry , Detection of glaucoma field
defects with Humphrey Filed Analyser , Dr G.R Reddy
32. DAKRIOSISTITIS
Partial or complete obstruction of the nasolacrimal duct
with inflammation due to infection (Staphylococcus aureus
or Streptococcus B-hemolyticus), tumor, foreign bodies,
after trauma or due to granulomatous diseases.
Clinical features : epiphora, acute, unilateral, painful
inflammation of lacrimal sac, pus from lacrimal punctum,
fever, general malaise, pain radiates to forehead and teeth
Diagnosis : Anel test(+) :not dacryocystitis, probably skin
abcess; (-) or regurgitation (+) : dacryocystitis. Swab and
culture
Treatment : Systemic and topical antibiotic, irrigation of
lacrimal sac, Dacryocystorhinotomy
Uji Anel
Evaluasi Sistem Lakrimal-Drainase Lakrimal :
Uji Anel : Dengan melakukan uji anel, dapat diketahui apakah fungsi dari
bagian eksresi baik atau tidak.
Cara melakukan uji anel :
Lebarkan pungtum lakrimal dengan dilator pungtum
Isi spuit dengan larutan garam fisiologis. Gunakan jarum lurus atau bengkok
tetapi tidak tajam
Masukkan jarum ke dalam pungtum lakrimal dan suntikkan cairan melalui
pungtum lakrimal ke dalam saluran eksresi , ke rongga hidung
Uji anel (+): terasa asin di tenggorok atau ada cairan yang masuk hidung.
Uji anel (-) jika tidak terasa asinberarti ada kelainan di dalam saluran
eksresi.
Jika cairan keluar dari pungtum lakrimal superior, berarti ada obstruksi di
duktus nasolakrimalis. Jika cairan keluar lagi melalui pungtum lakrimal
inferior berarti obstruksi terdapat di ujung nasal kanalikuli lakrimal
inferior, maka coba lakukan uji anel pungtum lakrimal superior.
Neisseria gonorrhoeae
Chlamydia trachomatis
Microscopic Findings
Etiology
Chemical
Chlamydia
Bacteria
Virus
Findings
PMNs, few lymphocytes
PMNs, lymphocytes, plasma cells, Leber
cells, intracytoplasmic basophilic
inclusions
PMNs, bacteria
Lymphocytes, plasma cells,
multinucleated giant cells, intranuclear
eosinophilic inclusion
http://80.36.73.149/almacen/medicina/oftalmologia/enciclopedias/duane/pages/v4/v4c006.html
KONJUNGTIVITIS GO
Neisseria gonorrhoeae Gram-negative intracellular
diplococci on Gram stain
Masa inkubasi: 1-7 hari
manifests in the first five days of life
Marked bilateral purulent discharge
local inflammation palpebral edema
Complication diffuse epithelial edema and ulceration,
perforation of the cornea and endophthalmitis kebutaan
Culture Thayer-Martin agar
Topical erythromycin ointment and IV or IM thirdgeneration cephalosporin
Organism
Staphylococcus aureus
Streptococcus
pneumoniae,
Haemophilus spp,
Enterococci
Age of Onset
2-5 days
Clinical Features
Therapy
Neisseria gonorrhoeae #
Infants who are positive
need to be evaluated for
disseminated infections
3 days to 3
weeks
Bilateral, hyperaemic,
chemosis, copious thick
white discharge
Pseudomonas
aeruginosa +
5-18 days
Chlamydia trachomatis *
5-14 days
Herpes simplex
http://www.adhb.govt.nz/newborn/guidelines/infection/neonatalconjunctivitis.htm
34. Uveitis
Classification
Uveitis by location:
Anterior Uveitis
Intermediate Uveitis
Posterior Uveitis
Panuveitis
Uveitis by pathology
Granulomatous
Pathogen induced
Less responsive to topical
treatment
Chronic
Location
Duration
Type
Anterior Uveitis
Acute
Granulomatous
Intermediate Uveitis
Chronic
Non-granulomatous
Nongranulomatous
No pathogen
Responsive to topical
treatment
Posterior Uveitis
Panuveitis
Type
Anterior
uveitis
Primary Site of
Inflammation
Manifestation
Anterior chamber
Iritis/iridocyclitis/anterior
cyclitis
Intermediate
uveitis
Vitreous
Posterior
uveitis
Choroid
Panuveitis
Vitreitis/hyalitis/pars
planitis
Choroiditis/chorioretinitis/
retinochoroiditis/retinitis/n
euroretinitis
All of the above
Non-Infectious Uveitis
ANTERIOR UVEITIS:
Acute nongranulomatous
Iritis and Iridocyclitis
HLA-B27 diseases: Ankylosing
spondylitis, Reactive arthritis
syndrome, Inflammatory bowel
disease, Psoriatic arthritis
Glaucomatocyclitic crisis
Lens associated uveitiis
Postoperative inflammation:
IOL associated
INTERMEDIATE UVEITIS:
Pars Planitis
Multiple Sclerosis
POSTERIOR UVEITIS:
Collagen Vascular Disease: Systemic
Lupus Erythematosus, Polyarteritis
Nodosa and Microscopic
polyangiitis, Wegeners
Granulomatosis
White Dot Syndromes
PANUVEITIS
Sarcoidosis
Sympathetic Ophthalmia
Vogt-Koyanagi-Harada Syndrome
Behcet Disease
Infectious Uveitis
UVEITIS
Radang uvea:
mengenai bagian
depan atau
selaput pelangi
(iris) iritis
mengenai bagian
tengah (badan
silier) siklitis
mengenai
selaput hitam
bagian belakang
mata koroiditis
Biasanya iritis
disertai dengan
siklitis = uveitis
anterior/iridosikl
itis
Anterior Uveitis
Pathophysiology
KP
Hypopyon
Visual Acuity reduced due to:
Corneal oedema
Aqueous flare
Aqueous cells
Cystoid macular oedema (CME)
Anterior Uveitis
Pathophysiology
Deposition of calcium salts in cornea
Band keratopathy
Only after recurrent attacks
Deposition of Macrophages
Mutton Fat KP
Iris nodules
Anterior Uveitis
Pathophysiology
Circumlimbal injection
Due to common blood supply with uveal vessels
UVEITIS
Bersifat idiopatik, ataupun
terkait penyakit autoimun,
atau terkait penyakit sistemik
Biasanya berjalan 6-8 minggu
Dapat kambuh dan atau
menjadi menahun
Gejala akut:
mata sakit
Merah
Fotofobia
penglihatan turun ringan
mata berair
Tanda :
pupil kecil akibat
rangsangan proses radang
pada otot sfingter pupil
edema iris
Terdapat flare atau efek
tindal di dalam bilik mata
depan
Bila sangat akut dapat
terlihat hifema atau
hipopion
Presipitat halus pada
kornea
Radang iris dan badan siliar menyebabkan rusaknya Blood Aqueous Barrier sehingga terjadi
peningkatan protein, fibrin, dan sel-sel radang dalam humor akuos. Pada pemeriksaan biomikroskop
(slit lamp) hal ini tampak sebagai flare, yaitu partikel-partikel kecil dengan gerak Brown (efek tyndall).
Ilmu Penyakit Mata Ed 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2006
Circumlimbal injection
AC flare and cells
Keratic precipitates (KP)
Pupil miosis
Hypopyon
Band Keratopathy
Fibrin in the AC
Cells in the anterior
vitreous
Peripheral Anterior
Synechiae (PAS)
Posterior synechiae
Rubeosis iridis
Mutton fat KP
(granulomatous disease)
Iris nodules
(granulomatous disease)
Anterior Uveitis
Management
Goals of management
Preserve visual acuity
Relieve ocular pain
Eliminate ocular inflammation
Identify the source of inflammation
Prevent formation of synechiae
Control the IOP
Anterior Uveitis
Management
Treatment regimen
Topical Corticosteroid therapy
Reduce inflammation
Reduce exudate leakage
Increase cell wall stability
Inhibit lysozyme release by granulocytes
Inhibit circulation of lymphocytes
Cycloplegia
Relieve pain
Prevent posterior synechiae
Stabilize the blood-aqueous barrier
Anterior Uveitis
Clinical Pearls
Four major complications exist
Cataract
Secondary glaucoma
Band keratopathy
Cystoid macular oedema
Endoftalmitis
Uveitis
Perdarahan vitreous
Hifema
Retinal detachment
Glaukoma
Oftalmia simpatetik
Pemeriksaan Rutin :
Visus : dgn kartu Snellen/chart
projector + pinhole
TIO : dgn tonometer
aplanasi/schiotz/palpasi
Slit lamp : utk melihat segmen
anterior
USG : utk melihat segmen
posterior (jika memungkinkan)
Ro orbita : jika curiga fraktur
dinding orbita/benda asing
Tatalaksana :
Bergantung pada berat trauma,
mulai dari hanya pemberian
antibiotik sistemik dan atau
topikal, perban tekan, hingga
operasi repair
HIFEMA
Definisi:
Perdarahan pada bilik mata
depan
Tampak seperti warna
merah atau genangan
darah pada dasar iris atau
pada kornea
Tujuan terapi:
Mencegah rebleeding
(biasanya dalam 5 hari
pertama)
Mencegah noda darah
pada kornea
Mencegah atrofi saraf
optik
Komplikasi:
Perdarahan ulang
Sinekiae anterior perifer
Atrofi saraf optik
Glaukoma
Tatalaksana:
Hyphema Complication:
Red cell glaucoma
Hyphema (usually traumatic) leads to blockage of the
trabecular mesh- work by red blood cells.
In 10% cases a rebleed may occur, usually at around 5
days.
Treatment
Treatment of hyphema
IOP: topical (e.g., B-blocker, A -agonist, carbonic anhydrase
inhibitor) or systemic (e.g., acetazolamide) agents as
required but avoid topical and systemic carbonic
anyhdrase inhibitors in sickle cell disease/trait.
If medical treatment fails, consider AC paracentesis AC
washout.
2
NEUROLOGI
Epidemiologi
Sebuah studi besar di Amerika memperkirakan bahwa 47%
pasiendengan diabetes terkena neuropati perifer.
Sekitar 7,5% pada pasienyang awal didiagnosis diabetes telah
terkena neuropati.
Lebih dari setengah kasus adalah polineuropati distal simetris.
Sindrom focal seperti carpaltunnel syndrome (14-30%),
radiculopati/ plexopati, dan neuropati cranial sisanya.
Mononeuropati adalah kondisi medis yang ditandai dengan
kehilangan fungsi, seperti pergerakan atau sensasi yang disebabkan
karena kerusakan saraf tunggal atau sekelompok saraf yang
mempersarafi daerah tersebut, mis: CTS.
Polineuropati adalah kelainan fungsi yang berkesinambungan pada
beberapa saraf perifer di seluruh tubuh.
Faktor Resiko
Hiperglikemia
Kerusakan pembuluh darah
Dislipidemia
Hipertensi
Penyakit kardiovaskular
Gaya hidup
238
240
241
Symmetric Polyneuropathy
Bentuk paling lazim dari diabetic neuropathy
Mengenai ekstremitas bawah distal dan tangan
(stocking-glove sensory loss)
Gejala/tanda
Nyeri, rasa terbakar pada feet, leg, hand, arm
Numbness
Tingling
Paresthesia
242
Autonomic neuropathy
Mengenai saraf otonom yang mengendalikan organ internal
Genitouri
kontrol kandung kemih (43-87% DM1, 25% DM-2))
erectile dysfunction (35-90%)
Gastrointestinal
Kesulitan menelan (50%)
Konstipasi
GET turun (40%)
Diare
Kardiovaskular (50%)
HR cepat-tidak teratur
Hipertensi orthosatik
- Disfungsi sudomotor - kulit kaki kering
- Gagal merespons - hipoglikemia
243
Mononeuropathy
Peripheral mononeuropathy
Saraf tunggal rusak karena kompresi atau iskemia
Terjadi pada wrist (carpal tunnel syndrome), elbow, atau
foot (unilateral foot drop)
Gejala
numbness
edema
nyeri
prickling
244
Mononeuropathy, lanjut.
Cranial mononeuropathy
Mempengaruhi saraf III, IV dan VI yang menghubungkan
otak dan kontrol penglihatan, pergerakan mata,
pendengaran, dan rasa
Gejala dan tanda-tanda
Nyeri unilateral dekat mata yang kena
Paralisis otot mata
Penglihatan ganda
245
246
247
Tatalaksana
Strategi pengelolaan pasien DM dengan
keluhan neuropati diabetik dibagimenjadi tiga
bagian:
1. Diagnosis neuropati diabetik sedini mungkin.
2. Kendali glukosa darah
3. Perawatan kaki sebaik- baiknya. Strategi
perawatan kaki dilakukan setelah pengendalian
glukosa darah.
Netter 1997
claw
hand
2006 Moore & Dalley COA
Netter 1997
Diagnosis
Karakteristik
Brown-sequard syndrome
Ganiswarna, S. 1981. Farmakologi dan Terapi, edisi 2 Fakultas Kedokteran UI. Jakarta.
Golongan Hidantoin
Hidantoin merupakan senyawa laktam dari asam ureidoasetat ( 2,4-diokso-imidazolidin ). Bersifat sedatif
lemah, malahan kadang-kadang bersifat stimulan. Salah satu contohnya adalah Fenitoin.
Fenitoin, mula-mula disebut difenil hidantoin, efektif dalam menekan serangan-serangan tonik-klonik dan
parsial dan merupakan suatu obat pilihan untuk terapi pertama terutama dalam mengobati orang dewasa.
Mekanisme kerja : Fenitoin menstabilkan membran sel saraf terhadap depolarisasi dengan cara
mengurangi masuknya ion-ion natrium dalam neuron pada keadaan istirahat atau selama depolarisasi.
Fenitoin juga menekan dan mengurangi influks ion kalsium selama depolarisasi dan menekan
perangsangan sel saraf yang berulang-ulang.
Efek samping : Depresi saraf pusat terjadi terutama dalam serebelum dan sistem vestibular, menyebabkan
nistagmus dan ataksia. Masalah gastrointestinal ( mual, muntah ) sering terjadi. Hiperpelasia gusi bisa
menyebabkan gusi tumbuh dan melampaui gigi terutama pada anak-anak. Perubahan tingkah laku seperti
kebingungan, halusinasi dan mengantuk sering terjadi.
Interaksi obat : Inhibisi metabolisme mikrosomal fenitoin dalam hati disebabkan oleh kloramfenikol,
dikomarol, simetidin, sulfinamid, dan isoniazid. Penurunan konsentrasi fenitoin dalam plasma disebabkan
oleh karbamazepin yang memperkuat fenitoin. Fenitoin menginduksi sistem P-450 yang menyebabkan
peningkatan metabolisme anti epilepsi lain, anti koagulan, kontrasepsi oral : kuinidin, doksisiklin,
siklosporin, mexiletina, metadon, dan levodopa.
Dosis : Permulaan sehari 2-5 mg/kgBB dibagi dalam 2 dosis dan dosis pemeliharaan 2 dd 100-300 mg pada
waktu makan dan minum banyak air. Pada anak-anak 2-16 tahun, permulaan sehari 4-7 mg/BB dibagi
dalam 2 dosis dan dosis pemeliharaan 4-11 mg/BB. Bila dikombinasi dengan fenobarbital dosisnya dapat
diperkecil. Dosis harian rata-rata 200-300 mg.
Ganiswarna, S. 1981. Farmakologi dan Terapi, edisi 2 Fakultas Kedokteran UI. Jakarta.
Golongan Barbiturat
Memiliki sifat anti konvulsi yang baik terlepas dari sifat hipnotiknya. Digunakan
terutama senyawa kerja panjang untuk memberikan jaminan yang lebih kontinu
terhadap serangan grand mal.
Salah Satu Contohnya adalah Fenobarbital
Mekanisme kerja : Fenobarbital memiliki aktivitas anti epilepsi, membatasi
penyebaran lepasan kejang didalam otak dan meningkatkan ambang serangan
epilepsi. Mekanisme kerjanya tidak diketahui tetapi mungkin melibatkan potensiasi
efek inhibisi dari neuron-neuron yang diperantarai oleh GABA ( asam gama
aminobutirat). Untuk mengatasi efek hipnotiknya obat ini dapat dikombinasi
dengan kofein.
Efek samping : Sedasi seperti pusing, mengantuk, ataksia. Nistagmus, vertigo.
Agitasi dan kebingungan terjadi pada dosis tinggi.
Interaksi obat : Bersifat menginduksi enzim, dan antara lain
mempercepat penguraian kalsiferol ( Vitamin D2 ) dengan kemungkinan timbulnya
rachitas ( penyakit inggris pada anak kecil ). Penggunaannya bersama dengan
valproat harus hati-hati, karena kadar darah fenobarbital dapat ditingkatkan.
Dosis : 1-2 dd 30-125 mg, maksimal 400 mg (dalam 2 kali), pada anak-anak 2-12
bulan 4 mg/kgBB sehari, pada status epileptikus, dewasa 200-300 mg.
Karbamazepin
Golongan Benzodiazepin
Dari senyawa benzodiazepin yang digunakan sebagai anti epileptika
terutama diazepam, dan nitrazepam yang mempunyai kerja mencegah
dan menghilangkan kejang. Snyawa-senyawa ini terutama digunakan pada
epilepsi petit-mal pada bayi dan anak-anak. Senyawa benzodiazepin
terutama berkahasiat untuk absence piknoileptik, serangan mioklonik
astatik dan serangan propulsif.
Mekanisme Kerja : menekan serangan yang berasal dari fokus
epileptogenik dan efektif pada serangan absence dan mioklonik tetapi
terjadi juga toleransi.
Efek samping : Benzodiazepin, yakni mengantuk, termenung-menung,
pusing, dan kelemahan otot.
Dosis : 2-4 dd 2-10 mg dan i.v. 5-10 dengan perlahan-lahan (1-2 menit),
bila perlu diulang setelah 30 menit; pada anak-anak 2-5 mg. Pada status
epilepticus dewasa dan anak diatas usia 5 tahun 10 mg, Pada anak-anak
dibawah 5 tahun 5 mg sekali. Pada konvulsi karena demam: anak-anak
0,25-0,5 mg/kg berat badan bayi dan anak-anak dibawah 5 tahun 5 mg
setelah 5 tahun 10 mg.
Asam Valproat
Asam valproat ( asam dipropil asetat ) terutama amat berkhasiat pada absence piknoleptik,
disamping itu senyawa ini digunakan juga pada serangan grand mal dan mioklonik.
Mekanisme kerja : Asam valproat mengurangi perambatan lepasan listrik abnormal di dalam
otak. Asam valproat bisa memperkuat keja GABA pada sinaps-sinaps inhibisi. Mekanisme
kerjanya diperkirakan berdasarkan hambatan enzim yang menguraikan GABA ( g-aminobutyric acid ) sehingga kadar neurotransmiter ini diotak meningkat.
Efek samping : Keluhan saluran cerna, rambut rontok, gangguan pembekuan darah dan
terutama kerusakan hati.
Interaksi obat : Asam valproat menghambat metabolisme fenobarbital sehingga
meningkatkan kadar barbiturat tersebut dalam sirkulasi. Karena dapat meningkatkan kadar
fenobarbital dan fenitoin di dalam darah, dosisnya harus dikurangi sampai 30-50 % guna
menghindari sedasi berlebih sebaliknya khasiatnya juga dIperkuat oleh anti epileptika
lainnya.
Dosis : Oral semula 3-4 dd 100-150 mg d.c. Dari garam natriumnya tablet ( tablet e.c ) untuk
kemudian berangsur-angsur dalam waktu 2 minggu dinaikkan sampai 2-3 dd 300-500 mg,
maksimal 3 gram sehari. Anak-anak 20-30 mg/kg sehari. Asam bebasnya memberikan kadar
plasma yang 15 % lebih tinggi (lebih kurang sama dengan persentase natrium dalam Navalproat ) tetapi lain daripada itu tidak lebih menguntungkan.
Ganiswarna, S. 1981. Farmakologi dan Terapi, edisi 2 Fakultas Kedokteran UI. Jakarta.
Doktrin Monro-Kellie
Herniasi Otak
Insult sekunder
Elevasi kepala 30
Hiperventilasi ringan
Pertahankan normovolemia
Pertahankan normothermia
Pencegahan kejang
Diphenil hidantoin loading dose 13-18mg/kgBB
diikuti dosis pemeliharaan 6-8mg/kgBB/hari
Diuretika
Menurunkan produksi CSS
Tidak efektif dalam jangka lama
Kortikosteroid
Tidak dianjurkan untuk cedera otak
Bermanfaat untuk anti edema pada peningkatan TIK
non trauma, misal tumor/abses otak
PERDOSSI. Trauma Kapitis. 2006
Manitol
Osmotik diuresis, bekerja intravaskuler pada BBB
yang utuh
Efek
Dehidrasi (osmotik diuresis)
Rheologis
Antioksidan (free radical scavenger)
Drainase CSS
Dengan ventrikulostomi
100-200 cc/hari
40. Koma
Koma merupakan penurunan kesadaran yang paling
rendah atau keadaan unarousable unresponsiveness,
yaitu keadaan dimana dengan semua rangsangan,
penderita tidak dapat dibangunkan.
Dalam bidang neurology, koma merupakan kegawat
daruratan medik yang paling sering
ditemukan/dijumpai.
Koma bukanlah suatu penyakit, melainkan suatu
keadaan klinik tertentu yang disebabkan oleh berbagai
faktor serta membutuhkan tindakan penanganan yang
cepat dan tepat, dimana saja dan kapan saja.
Rifat Naghmi, BSo, MD, Coma: quick evaluation and management
Pola Pernapasan
Biots breathing (aka cluster
respiration)
A respiratory pattern
characterized by periods or
clusters of rapid respirations
of near equal depth or VT
followed by regular periods of
apnea.
Causes:
Biots breathing can be caused by
damage to the medulla oblongata by
stroke (CVA) or trauma,
pressure on the medulla due to uncal
or tentorial herniation
can also be caused by prolonged
opioid abuse.
Cheyne-stokes
Tidal volume waxes and
wanes cyclically with
recurrent periods of
apnea.
Causes include CNS
dysfunction, cardiac
failure with low cardiac
output, sleep, hypoxia,
profound hypocapnia
Apneustic
End-inspiration pause before
expiration.
Reflection of Pontine damage
Central Neurogenic
Exhibits very deep and rapid
respirations
Usually seen with lesions of
the midbrain and upper pons
Respirations are generally
regular and the PaCO2
decrease due to the
hyperventilation
Cluster Breathing
Groups of irregular breathing
with periods of apnea that
occurs at irregular intervals
reflection of lesions in the low
pons or upper medulla
Kussmaul
Deep, rapid respiration with no endexpiratory pause.
Causes profound hypocapnia
Seen in profound metabolic acidosis,
i.e. diabetic ketoacidosis
http://www.georgiahealth.edu/itss/edtoolbo
x/7370/pulmonary/abnormbreathing.swf
PSIKIATRI
Night terror adalah suatu kondisi terbangun dari sepertiga awal tidur malam,
biasanya diikuti dengan teriakan dan tampakan gejala cemas yang berlebihan,
berlangsung selama 1 10 menit.
Gejala
Dalam episode yang khas, penderita akan terduduk di tempat tidur dengan
kecemasan yang sangat dan tampakan agitasi serta gerakan motorik perseverativ
(seperti menarik selimut), ekspresi ketakutan, pupil dilatasi, keringat yang
berlebihan, merinding, nafas dan detak jantung yang cepat.
Kriteria DSM-IV untuk Night Terror :
Episode berulang dari bangun secara tiba-tiba dari tidur, biasanya berlangsung pada sepertiga
awal tidur dan dimulai dengan teriakan yang panik.
Ketakutan yang sangat dan tanda-tanda sistem autonomik yang meningkat seperti takikardi,
bernafas dengan cepat, dan keringat dalam setiap episode.
Tidak responsif secara relatif terhadap dukungan orang sekitar untuk menenangkan disaat
episode.
Tidak dijumpainya mimpi yang dapat diingat dan timbulnya amnesia terhadap episode.
Episode-episode serangan dapat menyebabkan distress tang tampak secara klinis dan ketidak
seimbangan dalam lingkungan, pekerjaan dan dalam aspek lain.
Gangguan tidak disebabkan oleh efek psikologis suatu zat secara langsung (seperti
penyalahgunaan zat atau untuk medikasi) ataupun dalam suatu kondisi medis umum.
Terapi Farmakologis
PPM IDAI
Enuresis
Definisi:
BAK involunter atau BAK yang tidak disengaja.
anak yang mengompol minimal 2 kali dalam seminggu dalam periode
paling sedikit 3 bulan pada usia 5 tahun atau lebih yang tidak disebabkan
oleh efek obat-obatan
Klasifikasi:
Enuresis primer: anak yang tidak pernah kontinensia selama > 1 tahun.
anak yang belum pernah berhenti mengompol sejak masa bayi
Enuresis sekunder: anak yang mencapai kontinensia selama > 1 thn dan
kemudian mengompol kembali.
anak berusia 5 tahun yang sebelumnya pernah bebas masa mengompol minimal
12 bulan
Pada umumnya anak berhenti mengompol usia 2,5 tahun. Pada usia 3
tahun 75% anak bebas mengompol di malam dan siang hari. Pada usia
10 tahun masih ada 7% anak mengompol, sedangkan pada usia 15
tahun hanya 1% anak yang mengompol
Tatalaksana Enuresis
Metode yang efektif:
terapi perilaku
Farmakologi (dengan Imipramin)
Enkopresis
Definisi:
Pengeluaran feses yang tidak sesuai secara
berulang, biasanya involunter.
Terjadi minimal 1x/bulan, min. 3 bulan.
Usia mental atau usia kronologis 4 tahun.
Eksklusi zat atau kondisi medis sebagai penyebab.
Effects:
Relief of tension, mental stress and anxiety
Warmth, contentment, relaxed detachment from emotional as well as physical
distress
Positive feelings of calmness, relaxation and well being in anxious individual
Relief from pain
Stimulants
Zat yang mengaktivkan dan meningkatkan aktivitas CNS
psychostimulants
Memiliki berbagai efek fisiologis
Perubahan denyut jantung, dilatasi pupil, peningkatan TD, banyak berkeringat,
mual dan muntah.
Menginduksi kewaspadaan, agitasi, dan mempengaruhi penilaian
Effects:
feelings of physical and mental well being, exhilaration, euphoria, elevation of
mood
increased alertness, energy and motor activity
postponement of hunger and fatigue
Effects:
Perubahan mood, perasaan, dan pikiranmind expansion
Meningkatkan kepekaan sensorismore vivid sense of sight, smell, taste and
hearing
dissociation of body and mind
Contoh:
Etiologi
Ubur-ubur, anemon laut
Terapi
Swimmers Itch
Disebut juga dermatitis serkarial ruam kulit
akibat reaksi alergi yang dicetuskan oleh larva
parasit schistosoma
Gejala dan Tanda
Rasa terbakar, gatal, bintil merah, vesikel kemerahan
dalam waktu beberapa menit-beberapa hari setelah
berenang di air tawar bertahan selama satu
minggu
Terapi
Krim steroid, kompres dingin, pasta baking soda,
losion anti gatal
http://www.cdc.gov/parasites/swimmersitch/faqs.html
47. Filariasis
Penyakit yang disebabkan cacing Filariidae, dibagi menjadi 3 berdasarkan
habitat cacing dewasa di hospes:
Kutaneus: Loa loa, Onchocerca volvulus, Mansonella streptocerca
Limfatik: Wuchereria bancroftii, Brugia malayi, Brugia timori
Kavitas tubuh: Mansonella perstans, Mansonella ozzardi
Brugia malayi
Brugia timori
Perbandingan panjang:lebar
kepala 2:1
Inti tidak teratur
Inti di ekor 2-5 buah
Perbandingan panjang:lebar
kepala 3:1
Inti tidak teratur
Inti di ekor 5-8 buah
Pengobatan:
Tirah baring, elevasi tungkai, kompres
Antihelmintik (ivermectin, DEC, albendazole)
DEC 6 mg/kgBB/hari selama 12 hari untuk terapi perorangan, dosis tunggal/tahun
selama 4-6 tahun untuk terapi massal
Ivermectin 150-200 mcg/kg single dose
Albendazol 400 mg dosis tunggal (harus dikombinasikan dengan ivermectin atau DEC)
Suportif
Pengobatan massal dengan albendazole + ivermectin (untuk endemik
Onchocerca volvulus) atau albendazole + DEC (untuk nonendemik Onchocerca
volvulus) guna mencegah transmisi
Bedah (untuk kasus hidrokel/elefantiasis skrotal)
Diet rendah lemak dalam kasus kiluria
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs102/en/
48. Kandidiasis
Kutis
53
Pioderma: Selulitis
Disebabkan oleh
staphylococcus atau
streptococcus, atau
infeksi jamur (jarang)
Gejala dan tanda
Infiltrat difus kemerahan
dengan batas tidak tegas
Terapi
Flucloxacillin, eritromisin,
clarithromycin
Keterangan
Erisipelas
Selulitis
Djuanda A., Hamzah M., Aisah S., 2008, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 5. Jakarta: FKUI Hal 58-61
Laktosa
Laktosa merupakan golongan gula disakarida
yang tersusun dari galaktosa dan glukosa
Defisiensi Laktase
Defisiensi laktase dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu defisiensi
laktase primer dan defisiensi laktase sekunder
Terdapat 3 bentuk defisiensi laktase primer, yaitu
Developmental lactase deficiency
Terdapat pada bayi prematur dengan usia kehamilan 26-32 minggu. Kelainan
ini terjadi karena aktivitas laktase belum optimal.
Congenital lactase deficiency
Kelainan dasarnya adalah tidak terdapatnya enzim laktase pada brush border
epitel usus halus. Kelainan ini jarang ditemukan dan menetap seumur hidup
Genetical lactase deficiency
Kelainan ini timbul secara perlahan-lahan sejak anak berusia 2-5 tahun hingga
dewasa. Kelainan ini umumnya terjadi pada ras yang tidak mengkonsumsi susu
secara rutin dan diturunkan secara autosomal resesif
Patogenesis
Laktosa tidak dapat diabsorpsi sebagai disakarida,
tetapi harus dihidrolisis menjadi glukosa dan galaktosa
dengan bantuan enzim laktase di usus halus.
Bila aktivitas laktase turun atau tidak ada laktosa
tidak diabsorpsi dan mencapai usus bagian distal atau
kolon tekanan osmotik meningkat menarik air
dan elektrolit sehingga akan memperbesar volume di
dalam lumen usus diare osmotik
Keadaan ini akan merangsang peristaltik usus halus
sehingga waktu singgah dipercepat dan mengganggu
penyerapan.
Patogenesis
Di kolon, laktosa akan difermentasi oleh bakteri kolon
menghasilkan asam laktat dan asam lemak rantai pendek lainnya
seperti asam asetat, asam butirat, dan asam propionat
Fenomena ini menerangkan feses yang cair, asam, berbusa dan
kemerahan pada kulit di sekitar dubur (eritema natum).
Fermentasi laktosa oleh bakteri di kolon menghasilkan beberapa
gas seperti hidrogen, metan dan karbondioksida distensi
abdomen, nyeri perut, dan flatus.
Selanjutnya, 80% dari gas tersebut akan dikeluarkan melalui rektum
dan sisanya akan berdifusi ke dalam sistem portal dan dikeluarkan
melalui sistem pernapasan.
Feses sering mengapung karena kandungan gas yg tinggi dan juga
berbau busuk.
Gejala Klinis
Intoleransi laktosa dapat bersifat
asimtomatis atau
memperlihatkan berbagai gejala
klinis
Berat atau ringan gejala klinis
yang diperlihatkan tergantung
dari aktivitas laktase di dalam
usus halus, jumlah laktosa, cara
mengkonsumsi laktosa, waktu
pengosongan lambung, waktu
singgah usus, flora kolon, dan
sensitifitas kolon terhadap
asidifikasi.
Pemeriksaan Penunjang
Analisis tinja
Metode klini test
Kromatografi tinja
pH tinja tinja bersifat asam
Treatment
Rehidration
Antibiotics indication:
High fever
Bloody diarrhea
Excessive bowel movements (ie, >8
stools per day)
Worsening symptoms
Failure of symptoms to improve
Persistence of symptoms for longer
than 1 week
PregnancyMedication:
DOC: Azithromycin or erythromycin
Ciprofloxacin and tetracycline are
alternatives but should be avoided in
young children.
Clindamycin is another therapeutic
alternative.
Astrovirus
Winter outbreaks
Affects all ages
Typical duration 3 days
Adenovirus
Summer outbreaks
Typicall affects children
Typical duration 6-9 days
Campylobacter jejuni
Fever in 80% of cases
Bloody Diarrhea with Fecal
Leukocytes
Salmonella
Bloody Diarrhea
Shigella
High fever (and Febrile Seizures)
Bloody Diarrhea
Yersinia enterocolitica
Clostridium difficile
Inflammatory Diarrheas
Enteroinvasive E. coli (EIEC)
Shigatoxin-producing E. coli
(STEC)/EHEC
Indikator
BFJ
BMJ
Awitan
Lama
10 hari
>30 hari
Volume ASI
BAB
Normal
Kadar Bilirubin
Tertinggi 15 mg/dl
Pengobatan
56. Leukemia
Leukemia
Jenis leukemia yang paling sering terjadi pada
anak-anak adalah Acute Lymphoblastic
Leukemia (ALL) dan Acute Myelogenous
Leukemia (AML)
ALL merupakan keganasan yg paling sering
ditemui pada anak-anak (1/4 total kasus
keganasan pediatrik)
Puncak insidens ALL usia 2-5 tahun
Clinical Manifestation
More common in AML
Leukostasis (when blas count >50.000/uL): occluded
microcirculationheadache, blurred vision, TIA, CVA, dyspnea,
hypoxia
DIC (promyelocitic subtype)
Leukemic infiltration of skin, gingiva (monocytic subtype)
Chloroma: extramedullary tumor, virtually any location.
ALL
AML
etiologi
Gejala dan
tanda
Lab
Anemia, Trombositopenia,
Leukopeni/Hiperleukositosis/normal,
Dominasi Limfosit, Sel Blas (+)
Trombositopenia,
leukopenia/leukositosis, primitif
granulocyte/monocyte, auer rods (hin,
needle-shaped, eosinophilic cytoplasmic
inclusions)
Terapi
kemoterapi
kemoterapi
Multiorgan failure
Heart, kidney
Lab Values
Measure
Indicative of Toxicity
Lowered
Elevated
Elevated
Billirubin
Acetaminophen (APAP)
O'Malley, Gerald F. "Acetaminophen Poisoning: Poisoning: Merck Manual Professional." Merck & Co., Inc. Merck & Co. Web. 08 Oct. 2010.
http://www.merck.com/mmpe/sec21/ch326/ch326c.html>.
Schaefer, Jeffrey P. "Acetaminophen Intoxication." Dr. Jeffrey P Schaefer, 14 Oct. 2007. Web. 10 Oct. 2010.
GI Decontamination
Very rapid GI
absorption
Activated Charcoal
(AC)
Very early
presentation
Dont give AC to
unconscious patient
Effective if
administered in 1 hour
Co-ingestants
Adsorbs to NAC
N-Acetylcysteine therapy
Prevents toxicity by limiting
NAPQI formation
Increases capacity to detoxify
formed NAPQI
Treatment instituted within 6 to
8 hours after an acute ingestion
Late NAC therapy
Decreased hepatotoxicity when
treatment begins 16-24 hours
post ingestion
O
H
C
N
Urine
Overdose!
O
UDP-glucuronosyltransferase
CH 3
C
N
CH 3
<5%
Acetaminophen
O C6H 8O6
OH
O
O
CytoP450
CH 3
C
N
CH 3
SG
OH
C
N
CH 3
O SO3
Acetaminophen sulfate
NAPQI
O
N-acetylparabenzoquinoneimine
Causative
Agents
Staphylococci
B cereus
C perfringens
Pathogenesis
Enterotoxin acts on
receptors in the gut that
transmit impulses to
the medullary centers
Diagnosis and
Treatment
Symptomatic
treatment
and cramps
Diarrheal: Lasts for 24 h
Mainly vomiting after 1-6 h and
mainly diarrhea after 8-16 h after
ingestion; lasts as long as 1 d
Enterotoxin produced in
the gut, and food causes
hypersecretion in the
small intestine
Culture of
clostridia in food
and stool
Symptomatic
treatment
Causative
Agents
C botulinum
Enterotoxic E coli
(eg, traveler's
diarrhea)
Diagnosis and
Treatment
Toxin present in
Canned foods (eg, smoked fish,
Toxin absorbed
food, serum, and
mushrooms, vegetables, honey)
from the gut
stool.
Descending weakness and paralysis
blocks the release Respiratory
start 1-4 d after ingestion, followed
of acetylcholine in
support
by constipation.
the neuromuscular Intravenous
Mortality is high
junction
trivalent antitoxin
from CDC
Contaminated water and food (eg,
Enterotoxin
salad, cheese, meat)
causes
Acute-onset watery diarrhea starts
hypersecretion in
Supportive
24-48 h after ingestion
small and large
treatment
Concomitant vomiting and
intestine via
No antibiotics
abdominal cramps may be present.
guanylate cyclase
It lasts for 1-2 d
activation
Pathogenesis
Cytotoxin results
in endothelial
Diagnosis with
damage and leads
stool culture
to platelet
Supportive
aggregation and
treatment
microvascular
No antibiotics
fibrin thrombi
Causative
Agents
Enteroinvasive
E coli
Enteroaggregat
ive E coli
Contaminated imported
cheese
Usually watery diarrhea
(some may present with
dysentery)
Implicated in traveler's
diarrhea in developing
countries
Can cause bloody diarrhea
Pathogenesis
V cholera
C jejuni
Enterotoxin
produces secretion
Shigalike toxin
facilitates invasion
Bacteria clump on
the cell surfaces
Enterotoxin causes
hypersecretion in
small intestine
Infective dose
usually is 107 -109
organisms
Uncertain about
endotoxin
production and
invasion
Supportive treatment
No antibiotics
Causative
Agents
Pathogenesis
Shigella
Salmonella
Yersinia
Organisms invade
epithelial cells and
produce toxins
Infective dose is 102
-103 organisms
Enterotoxinmediated diarrhea
followed by invasion
(dysentery/colitis)
production
Gastroenteritis and
mesenteric adenitis
Direct invasion and
enterotoxin
Polymorphonuclear
leukocytes (PMNs), blood,
and mucus in stool
Positive stool culture
Oral rehydration is mainstay
Trimethoprimsulfamethoxazole (TMPSMX) or ampicillin for severe
cases
No opiates
Polymorphonuclear
leukocytes and blood in stool
Positive stool culture finding
No evidence that antibiotics
alter the course but may be
used in severe infections
Diagnosis
Anamnesis: tremor, iritabilitas, kejang/koma, letargi/apatis, sulit menyusui,
apneu, sianosis, menangis lemah/melengking
PF: BBL >4000 gram, lemas/letargi/kejang beberapa saat sesudah lahir
Penunjang: Pemeriksaan glukosa darah baik strip maupun darah vena, reduksi
urin, elektrolit darah
KLASIFIKASI DBD
Derajat (WHO 1997):
Derajat I : Demam dengan test rumple leed
positif.
Derajat II : Derajat I disertai dengan perdarahan
spontan dikulit atau perdarahan lain.
Derajat III : Ditemukan kegagalan sirkulasi, yaitu
nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun/
hipotensi disertai dengan kulit dingin lembab dan
pasien menjadi gelisah.
Derajat IV : Syock berat dengan nadi yang tidak
teraba dan tekanan darah tidak dapat diukur.
Pemantauan Rawat
Alur
Perawatan
Heart Rate
(beats/min)
Blood Pressure
(mm Hg)
Respiratory Rate
(breaths/min)
Premature
120-170 *
55-75/35-45
40-70
0-3 mo
100-150 *
65-85/45-55
35-55
3-6 mo
90-120
70-90/50-65
30-45
6-12 mo
80-120
80-100/55-65
25-40
1-3 yr
70-110
90-105/55-70
20-30
3-6 yr
65-110
95-110/60-75
20-25
6-12 yr
60-95
100-120/60/75
14/22
12 > yr
55-85
110-135/65/85
12-18
REFERENCE:Kleigman, R.M., et al. Nelson Textbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia: Saunders, 2011.
* From Dieckmann R, Brownstein D, Gausche-Hill M (eds): Pediatric Education for Prehospital Professionals. Sudbury, Mass, Jones & Bartlett,
American Academy of Pediatrics, 2000, pp 43-45.
From American Heart Association ECC Guidelines, 2000.
In childhood,
hypotension can be
determined
according to two
different definitions:
BP below the 5th
percentile or below
two standard
deviations (SDs) of
the mean for age
and gender
http://web.missouri.edu/~proste/lab/vitals-peds.pdf
Shieh HH, Gilio AE, Barreira ER, Troster EJ, Ventura AMC, Goes PF, Souza DC, Sinimbu Filho JM, Bousso A:
Pediatric hypotension: quantification of the differences between the two current definitions.
Intensive Care Med 2012, 38(Suppl 1):S0662.
doi: 10.1007/s00134-012-2683-0
1Soldin, S.J., Brugnara, C., & Hicks, J.M. (1999). Pediatric reference ranges (3rd ed.). Washington, DC: AACC Press.
http://wps.prenhall.com/wps/media/objects/354/362846/London%20App.%20B.pdf
Typical deficits
Water: 6 L, or 100 mL per kg
body weight
Sodium: 7 to 10 mEq per kg body
weight
Potassium: 3 to 5 mEq per kg
body weight
Phosphate: ~1.0 mmol per kg
body weight
Faktor risiko
Prematuritas.
Pemberian makan enteral. EN jarang ditemukan pada bayi
yang belum pernah diberi minum.
Formula hyperosmolar dapat mengubah permeabilitas mukosa dan
mengakibatkan kerusakan mukosa.
Pemberian ASI terbukti dapat menurunkan kejadian EN.
Manifestasi klinis
Manifestasi sistemik
Distres pernapasan
Apnu dan atau bradikardia
Letargi atau iritabilitas
Instabilitas suhu
Toleransi minum buruk
Hipotensi/syok, hipoperfusi
Asidosis
Oliguria
Manifestasi perdarahan
Pemeriksaan penunjang
Darah perifer lengkap. Leukosit
bisa normal, meningkat (dengan
pergeseran ke kiri), atau menurun
dan dijumpai tombositopenia
Kultur darah untuk bakteri aerob,
anaerob, dan jamur
Tes darah samar
Analisis gas darah, dapat dijumpai
asidosis metabolik atau campuran
Elektrolit darah, dapat dijumpai
ketidakseimbangan elektrolit,
terutama hipo/
hipernatremia dan hiperkalemia
Kultur tinja
Enterokolitis nekrotikans
stadium II dan III
Tata laksana umum.
Antibiotik selama 14 hari.
Puasa selama 2 minggu.
Pemberian minum dapat
dimulai 7-10 hari setelah
perbaikan radiologis
pneumatosis.
Ventilasi mekanik bila
dibutuhkan.
Jaga keseimbangan
hemodinamik. Pada EN
stadium III sering dijumpai
hipotensi refrakter.
PRC
PRC
Cryoprecipitate
Thrombocyte Concentrate
Tatalaksana Hemofilia
Keterangan
Inkompatibilitas ABO
Inkompatibilitas Rh
Inkompatibilitas Rhesus
Faktor Rh: salah satu jenis antigen permukaan
eritrosit
Inkompatibilitas rhesus: kondisi dimana wanita
dengan rhesus (-) terekspos dengan eritrosit Rh (+),
sehingga membentuk antibodi Rh
Ketika ibu Rh (-) hamil dan memiliki janin dengan Rh (+),
terekspos selama perjalanan kehamilan melalui kejadian
aborsi, trauma, prosedure obstetrik invasif, atau kelahiran
normal
Ketika wanita dengan Rh (-) mendapatkan transfusi darah
Rh (+)
Inkompatibilitas Rhesus
Risiko dan derajat keparahan meningkat seiring dengan
kehamilan janin Rh (+) berikutnya, kehamilan kedua
menghasilkan bayi dengan anemia ringan, sedangkan
kehamilan ketiga dan selanjutnya bisa meninggal in utero
Risiko sensitisasi tergantung pada 3 faktor:
Volume perdarahan transplansental
Tingkat respons imun maternal
Adanya inkompatibilitas ABO pada saat bersamaan
Adanya inkompatibilitas ABO pada saat bersamaan dengan
ketidakcocokan Rh justru mengurangi kejadian inkompatibilitas Rh
karena serum ibu yang mengandung antibodi ABO
menghancurkan eritrosit janin sebelum sensitisasi Rh yg signifikan
sempat terjadi
Untungnya inkompatibilitas ABO biasanya tidak memberikan
sekuele yang parah
http://emedicine.medscape.com/article/797150
Tes Laboratorium
Prenatal emergency care
Tipe Rh ibu
the Rosette screening test
atau the Kleihauer-Betke
acid elution test bisa
mendeteksi
alloimmunization yg
disebabkan oleh fetal
hemorrhage
Amniosentesis/cordosente
sis
http://emedicine.medscape.com/article/797150
Tatalaksana
Jika sang ibu hamil Rh dan belum tersensitisasi,
berikan human anti-D immunoglobulin (Rh IgG atau
RhoGAM)
Jika sang ibu sudah tersensitisasi, pemberian Rh IgG
tidak berguna
Jika bayi telah lahir dan mengalami inkompatibilitas,
transfusi tukar/ foto terapi tergantung dari kadar
bilirubin serum, rendahnya Ht, dan naiknya
reticulocyte count
http://emedicine.medscape.com/article/797150
Inkompatibilitas ABO
Terjadi pada ibu dengan
golongan darah O terhadap
janin dengan golongan
darah A, B, atau AB
Tidak terjadi pada ibu gol A
dan B karena antibodi yg
terbentuk adalah IgM yg tdk
melewati plasenta,
sedangkan 1% ibu gol darah
O yang memiliki titer
antibody IgG terhadap
antigen A dan B, bisa
melewati plasenta
Inkompatibilitas ABO
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah
direct Coombs test.
Pada inkompatibilitas ABO manifestasi yg lebih
dominan adalah hiperbilirubinemia,
dibandingkan anemia, dan apusan darah tepi
memberikan gambaran banyak spherocyte dan
sedikit erythroblasts, sedangkan pada
inkompatibilitas Rh banyak ditemukan eritoblas
dan sedikit spherocyte
Tatalaksana: fototerapi, transfusi tukar
Inkompatibilitas ABO
Inkompatibilitas ABO jarang
sekali menimbulkan hidrops
fetalis dan biasanya tidak
separah inkompatibilitas Rh
Risiko dan derajat keparahan
tidak meningkat di anak
selanjutnya
Inkompatibilitas Rh
Gejala biasanya lebih parah jika
dibandingkan dengan
inkompatibilotas ABO, bahkan
hingga hidrops fetalis
Risiko dan derajat keparahan
meningkat seiring dengan
kehamilan janin Rh (+) berikutnya,
kehamilan kedua menghasilkan bayi
dengan anemia ringan, sedangkan
kehamilan ketiga dan selanjutnya
bisa meninggal in utero
NORMAL
AP VIEW
ASD
VSD
ToF
PDA
Kontra Indikasi
Hamil, kelainan alat kandungan bagian dalam, perdarahan vagina yang tidak
diketahui, sedang menderita infeksi alat genital (vaginitis, servisitis), tiga bulan
terakhir sedang mengalami atau sering menderita PRP atau abortus septik,
penyakit trofoblas yang ganas, diketahui menderita TBC pelvik, kanker alat
genital, ukuran rongga rahim kurang dari 5 cm
EPO. (2008). Alat Kontrasepsi Dalam Rahim atau Intra Uterine Device (IUD). Diambil pada tanggal 20 Mei 2008 dari
http://pikas.bkkbn.go.id/jabar/program_detail.php?prgid=2
Labetalol
Dapat digunakan untuk tatalaksana preeklampsia dan hipertensi
kronik pada kehamilan
Digunakan dalam waktu pendek (<6 minggu) pada trimester III
Hydralazine
Biasanya digunakan untuk terapi kombinasi dengan metildopa
Pemberian IV adalah DOC untuk tatalaksana akut pada hipertensi
berat
http://www.medscape.com/viewarticle/406535_6
Anti diuretik
Menurunkan volume plasma ibu, gangguan elektrolit
Menggunakan lateral jari tangan, disusuri dan dicari pinggir perlekatan (insersi)
plasenta
Tangan obstetri dibuka menjadi seperti memberi salam, lalu jari-jari dirapatkan
Tentukan tempat implantasi plasenta, temukan tepi plasenta yang paling bawah
Gerakkan tangan kanan kekiri dan kanan sambil bergeser kearah kranial hingga
seluruh permukaan plasenta dilepaskan
Jika plasenta tidak dapat dilepaskan dari permukaan uterus, kemungkinan plasenta
akreta. Siapkan laparotomi untuk histerektomi supravaginal
Pegang plasenta dan keluarkan tangan bersama plasenta
Pindahkan tangan luar ke suprasimfisis untuk menahan uterus saat plasenta
dikeluarkan
Eksplorasi untuk memastikan tidak ada bagian plasenta yang masih melekat pada
dinding uterus
Periksa plasenta lengkap atau tidak, bila tidak lengkap, lakukan eksplorasi ke dalam
kavum uteri
Inversio Uteri
Syok hipovolemik
Perdarahan post partum
Sepsis purpura
Subinvolusi uteri
http://nationalwomenshealth.adhb.govt.nz/Portals/0/Documents/Policies/Retained%20Placenta%20Management_.pdf
Tatalaksana Umum
Rujuk ke rumah sakit untuk persalinannya
Berikan informasi pada pasien hamil yang datang dengan obesitas mengenai
risiko komplikasi yang dapat terjadi pada kehamilannya:
DM gestasional, Hipertensi dalam kehamilan, Preeklampsia, Makrosomia, Prematuritas,
Persalinan pervaginam dengan tindakan, KPD, IUGR, plasenta previa, solusio plasenta, SC,
kelainan kongenital
Tatalaksana Khusus
Pemeriksaan laboratorium di trimester I atau kunjungan pertama pada pasien
obesitas kelas III:
TTGO, asam urat, kreatinin, SGOT, SGPT, proteinuria dengan urin 24 jam, EKG
Tatalaksana
Makanan tambahan pemulihan berbasis makanan
lokal
Diberikan selama 90 hari berturut-turut
Target kenaikan berat badan ibu adalah 12,5-18 kg
selama kehamilan, yaitu
Trimester I: 1,5-2 kg
Trimester II: 4,5-6,5 kg
Trimester III: 6,5-9,5 kg
Tanda Pasti
Rahim membesar
Tanda Hegar (ismus teraba
lembut)
Tanda Chadwick (kebiruan pada
serviks, vagina, dan vulva)
Tanda Piskacek (pembesaran
uterus kesalah satu arah)
Braxton Hicks (uterus mudah
berkontraksi)
Basal metabolic rate meningkat
Tes HCG positif
Terdengar DJJ
Terasa gerak janin
USG: kantong kehamilan
dengan embrio
Rontgen: rangka janin (>16
minggu)
Abortus spontan
BBLR
IUGR
Prematuritas
Mortalitas neonatal >>
Abortus Insipiens
Pertahankan kehamilan.
Tidak perlu pengobatan khusus.
Jangan melakukan aktivitas fisik
berlebihan atau hubungan
seksual
Jika perdarahan berhenti, pantau
kondisi ibu selanjutnya pada
pemeriksaan antenatal (kadar Hb
dan USG panggul serial setiap 4
minggu)
Jika perdarahan tidak berhenti,
nilai kondisi janin dengan USG.
Nilai kemungkinan adanya
penyebab lain.
73. Polihidramnion
Volume air ketuban lebih 2000 cc
Muncul sesudah kehamilan lebih 20 minggu
Etiologi
Rh isoimunisasi, DM, gemelli, kelainan kongenital dan idiopatik
Gejala
Diagnosis
Palpasi dan USG
Buku Saku Pelayanan Ibu, WHO
Polihidramnion: Tatalaksana
Identifikasi penyebab
Kronik hidramnion : diet protein , cukup istirahat.
Polihidramnion sedang/berat, aterm terminasi.
Penderita di rawat inap, istirahat total dan dimonitor
Jika dyspnoe berat, orthopnea, janin kecil amniosintesis
Amniosintesis, 500 1000 cc/hari diulangi 2 3 hari
Bila perlu dapat dipertimbangkan pemberian tokolitik
Komplikasi :
Oligohidramnion
suatu keadaan dimana air ketuban kurang dari
normal, yaitu kurang dari 500 cc (manuaba, 2007)
Etiologi:
Janin: Kelainan kromosom, cacat kongenital,
hambatan pertumbuhan janin dalam rahim,
kehamilan posterm
Ibu: hipertensi, DM, SLE, masalah plasenta, PROM
Oligohidramnion: Tatalaksana
Tindakan Konservatif
Tirah baring / istirahat yang cukup.
Rehidrasi.
Perbaikan nutrisi.
Pemantauan kesejahteraan janin (hitung
pergerakan janin, NST, Bpp).
Pemeriksaan USG yang umum dari volume cairan
amnion.
Amnion infusion.
Induksi dan kelahiran
Buku Saku Pelayanan Ibu, WHO
Etiologi
E. coli (80-90%), klebsiella-enterobacter (5%), proteus mirabilis,
enterococcus, staphylococcus
Ibu
2.
3.
Dosis
Efek Samping
Ca antagonis (nifedipin)
Salbutamol
IV: 20-50 g/menit
PO: 4 mg, 2-4 x/hari (maintenance)
Terbutalin
IV: 10-15 g/menit
Subkutan: 250 g/6 jam
PO: 5-7.5 mg/8 jam (maintenance)
Hiperglikemia,
hipokalemia, hipotensi,
takikardia, iskemi
miokardial, edema
paru
MgSO4
Penghambat
Prostaglandin
(indometasin, sulindac)
Risiko kardiovaskular
Pencegahan infeksi
Komplikasi PPI
Pada Ibu
Endometritis
Pada Janin
HMD, gangguan refleks akibat SSP belum matang,
intoleransi akibat GI belum matang, retinopati,
displasia bronkopulmoner, penyakit jantung,
jaundice, infeksi/septikemia, anemia, gangguan
mental & motorik
Hiperplasia Endometrium
Patogenesis
Paparan Estrogen terus menerus memiliki efek Menstimulasi
the transcription of genes for cyclin D, protooncogenes,
growth factors, dan growth factor receptors
Klinis
Diagnosis hiperplasia endometrium dapat dicurigai pada:
1. Wanita pasca menoupose (50-60 thn) dengan perdarahan
uterus yang banyak, lama, dan sering (< 21 hari) atau
2. Perdarahan uterus yang tidak teratur pada wanita
menopouse, atau menjelang menopouse.
* Setelah disingkirkan adanya keganasan
Non-Organik
DUB
blocker (propanolol)
Mengurangi gejala akut hipertiroid
Efek samping pada kehamilan akhir: hipoglikemia pada
neonatus, apnea, dan bradikardia yang biasanya bersifat
transien dan tidak lebih dari 48 jam
Dibatasi sesingkat mungkin dan dalam dosis rendah (10-15
mg per hari)
Abalovich M, Amino N, Barbour LA, Cobin RH, Leslie J, Glinoer D, et al. Management of Thyroid Dysfunction during Pregnancy and
Postpartum. J. Endocrinol. Metabolism. 2007; 92(8): S1-S47
Indikasi Pembedahan
Dibutuhkannya obat anti tiroid dosis besar
(PTU >450 mg atau methimazole >300 mg)
Timbul efek samping serius penggunaan obat
anti tiroid
Struma yang menimbulkan gejala disfagia,
atau obstruksi jalan napas
Tidak dapat memenuhi terapi medis (misalnya
pada pasien gangguan jiwa)
Holistik
Komprehensif
Terpadu
Berkesinambungan
Descriptive
Analytical
Observational
1.
2.
3.
4.
Cross-sectional
Cohort
Case-control
Ecological
Experimental
Clinical trial (parc vs.
aspirin in Foresterhill)
Case series
Cross-sectional
KELEMAHAN:
Sulit membuktikan
hubungan sebab-akibat,
karena kedua variabel
paparan dan outcome
direkam bersamaan.
Desain ini tidak efisien
untuk faktor paparan atau
penyakit (outcome) yang
jarang terjadi.
KEKURANGAN:
Pengukuran variabel
secara retrospektif,
sehingga rentan terhadap
recall bias.
Kadang sulit untuk
memilih subyek kontrol
yang memiliki karakter
serupa dengan subyek
kasus (case)nya.
Desain Kohort
KELEBIHAN:
Mengukur angka insidens.
Keseragaman observasi
terhadap faktor risiko dari
waktu ke waktu sampai terjadi
outcome, sehingga merupakan
cara yang paling akurat untuk
membuktikan hubungan
sebab-akibat.
Mengukur Relative Risk (RR).
KEKURANGAN:
Memerlukan waktu penelitian
yang relative cukup lama.
Memerlukan sarana dan
prasarana serta pengolahan
data yang lebih rumit.
Kemungkinan adanya subyek
penelitian yang drop out/ loss
to follow up besar.
Menyangkut masalah etika
karena faktor risiko dari
subyek yang diamati sampai
terjadinya efek, menimbulkan
ketidaknyamanan bagi subyek.
POSYANDU
Jumlah seluruh balita di wilayah posyandu
DESA
Jumlah seluruh balita di
posyandu
Jumlah balita yang memiliki KMS pada bulan ini Jumlah balita yang memiliki
di wilayah kerja posyandu
KMS pada bulan ini di desa
N/T
Keberhasilan Posyandu
Indikatornya adalah:
Peran serta/ partisipasi masyarakat: D/S
Cakupan program: K/S
Cakupan kelangsungan penimbangan: D/K
Cakupan Hasil Penimbangan (N/D)
Pada soal, Tingkat partisipasi masyarakat diukur
dengan menghitung D/S = 495/500 =99%
Pencegahan Primer-Sekunder-Tersier
Pencegahan Primer-Sekunder-Tersier
Rumus:
Rumus:
NEONATAL MORTALITY
RATE
NMR = AKN = Angka
Kematian Neonatal
adalah jumlah kematian
bayi sampai umur < 4
minggu atau 28 hari per
1000 kelahiran hidup
Jumlah kematian neonatus
------------------------------------ x 1000
Jumlah kelahiran hidup
Sasaran Sekunder
Sesuai misi dukungan sosial (bina suasana)
Tokoh masyarakat setempat (formal, maupun informal) dapat digunakan
sebagai jembatan untuk mengefektifkan pelaksanaan promosi kesehatan
terhadap (sasaran primer) Perilakunya selalu menjadi acuan
Misal: Tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama
Sasaran Tersier
Sesuai misi advokasi
pengadaan sarana dan prasarana untuk berperilaku sehat
Misal : Pembuat kebijakan mulai dari pusat sampai ke daerah
http://promkesbangli.blogspot.com/2012/03/sasaran-promosi-kesehatan.html
486
Mengenai isi rekam medis diatur lebih khusus dalam Pasal 12 ayat
(2) dan ayat (3) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis: Isi rekam medis
merupakan milik pasien yang dibuat dalam bentuk ringkasan rekam
medis.
Luka Berat
Pasal 90 KUHP menyatakan bahwa luka berat, adalah:
Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan
akan sembuh sama sekali, atau
Yang menimbulkan bahaya maut
Tidak mampu secara terus menerus untuk menjalankan tugas
jabatan atau pekerjaan pencarian
Kehilangan salah satu pancaindera
Mendapat cacat berat
Menderita sakit lumpuh
Terganggunya daya pikir selama lebih dari empat minggu
Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan
Luka yang memenuhi salah satu kriteria pada pasal 90 KUHP
merupakan luka derajat tiga atau luka berat. Jika luka tersebut
tidak memenuhi kriteria tersebut diatas, maka lukanya termasuk
derajat satu atau dua.
Tipe Tenggelam
Tipe Kering (Dry drowning):
akibat dari reflek vagal yang dapat menyebabkan henti jantung
atau akibat dari spasme laring karena masuknya air secara tibatiba kedalam hidung dan traktus respiratorius bagian atas.
Banyak terjadi pada anak-anak dan dewasa yang banyak
dibawah pengaruh obat-obatan (Hipnotik sedatif) atau alkohol
tidak ada usaha penyelamatan diri saat tenggelam.
AIR LAUT
Pertukaran elektrolit dari
air asin ke darah
natrium plasma
meningkat air akan
ditarik dari sirkulasi
hipovolemia dan
hemokonsentrasi
hipoksia dan anoksia
Tes Diatom
TES DIATOM
Diatom adalah alga atau ganggang
bersel satu dengan dinding terdiri
dari silikat (SiO2) yang tahan panas
dan asam kuat.
THT-KL
Audiologi Dasar
Rinne
Weber
Schwabach
Sama dengan
pemeriksa
Diagnosis
Positif
Negatif
Tuli konduktif
Positif
Tuli sensorineural
Tes bisik
Panjang ruangan minimal 6 meter
Nilai normal: 5/6-6/6
Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
Normal
Audiologi Dasar
Audiometri nada murni:
Ambang Dengar (AD): bunyi nada murni terlemah pada
frekuensi tertentu yang masih dapat didengar oleh telinga
seseorang.
Perhitungan derajat ketulian:
(AD 500 Hz + AD 1000 Hz + AD 2000 Hz + AD 4000 Hz) / 4
Derajat ketulian:
0-25 dB
: normal
>25-40 dB
: tuli ringan
>40-55 dB
: tuli sedang
>55-70 dB
: tuli sedang berat
>70-90 dB
: tuli berat
>90 dB
: tuli sangat berat
Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
Audiologi Khusus
Evoked response audiometry
Menilai perubahan potensial listrik di otak setelah
pemberian rangsang sensoris berupa bunyi.
Rangsang bunyi akan menempuh perjalanan melalui saraf
ke VIII di koklea (gelombang I), nukleus kokelaris (II),
nukleus olivarius superior (III), lemniskus lateralis (IV),
kolikulus inferior (V), kemudian menuju korteks auditorius
di lobus temporal otak.
Otoacoustic emission
Emisi otoakustik merupakan respons koklea yang
dihasilkan oleh sel-sel rambut luar yang dipancarkan dalam
bentuk energi akustik.
Audiologi Khusus
Audiometri impedans
Memeriksa kelenturan membran timpani dengan tekanan
tertentu pada meatus akustikus eksterna, meliputi
timpanometri, fungsi tuba, & refleks tapedius
Audiometri tutur
Menilai kemampuan pasien dalam pembicaraan sehari-hari
Pasien mengulangi kata-kata yang didengar melalui tape
Jumlah kata yang benar speech discrimination score:
90-100%: normal
75-90%: tuli ringan
60-75%: tuli sedang
50-60%: sukar mengikuti pembicaraan seharihari
<50%: tuli berat
Sensorik: sel rambut & sel sustentakular berkurang, organ korti rata
Neural:neuron koklea berkurang
Strial: atropi stria vaskularis
Konduktif: membran basilar kaku
Presbikusys
Terjadi pada usia >65
tahun.
Bilateral
98. Vesikel di
telinga
99. Tonsilektomi
Radang berulang jaringan limfoid terkikis jaringan parut
kripti melebar.
Indikasi tonsilektomi:
Serangan tonsilitis >3 kali/tahun, meski terapi adekuat
Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi & gangguan
pertumbuhan orofasial
Sumbatan jalan napas obstructive sleep apneu, gangguan menelan,
gangguan bicara, cor pulmonal
Rinitis & sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak
hilang dengan pengobatan
Napas bau yang tidak hilang dengan pengobatan
Tonsilitis berulang yang disebabkan Streptokokus beta hemolitikus
grup A
Hipertrofi tonsil yang dicurigai keganasan
Otitis media efusa/otitis media supuratif
Buku ajar THT KL FKUI
99. Tonsilektomi
Therapy:
100. Rinitis
Diagnosis
Clinical Findings
Rinitis alergi
Rinitis
vasomotor
Rinitis hipertrofi Hipertrofi konka inferior karena inflamasi kronis yang disebabkan
oleh infeksi bakteri, atau dapat juga akrena rinitis alergi & vasomotor.
Gejala: hidung tersumbat, mulut kering, sakit kepala. Sekret banyak
& mukopurulen.
Rinitis atrofi /
ozaena
Rinitis
Hidung tersumbat yang memburuk terkait penggunaan
medikamentosa vasokonstriktor topikal. Perubahan: vasodilatasi, stroma
edema,hipersekresi mukus. Rinoskopi: edema/hipertrofi konka
dengan sekret hidung yang berlebihan.
Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.