Anda di halaman 1dari 541

PEMBAHASAN TO 5

OPTIMAPREP
BATCH I UKMPPD 2016
dr. Widya, dr. Yolina, dr. Retno, dr. Yusuf, dr. Reza, dr. Resthie
dr. Cemara, dr. Zanetha

OFFICE ADDRESS:
Jl padang no 5, manggarai, setiabudi, jakarta selatan
(belakang pasaraya manggarai)
Phone number : 021 8317064
pin BB 2A8E2925
WA 081380385694

Medan :
Jl. Setiabudi no. 65 G, medan
Phone number : 061 8229229
Pin BB : 24BF7CD2
Www.Optimaprep.Com

Ilmu Penyakit Dalam

1. Anemia Normositik

Wintrobe Clinical Hematology. 13 ed.

1. Anemia

Hoffbrand essential hematology.

1. Anemia Mikrositik

Wintrobe Clinical Hematology. 13 ed.

1. Anemia
Perdarahan kronis

Retikulositosis, normositik normokrom,


besi terbuang ke luar tubuh

Defisiensi besi

Anemia mikrositik hipokrom

Thalassemia juga
memberi gambaran
mikrositik hipokrom &
retikulositosis, tapi
biasanya disertai
splenomegali.
Pada pasien ini, sudah
jelas terdapat riwayat
perdarahan sehingga
penyebab anemianya
adalah perdarahan kronis
yang sudah menimbulkan
defisiensi besi.

2. Penyakit Ginjal

Kidney International Supplements (2012) 2, 812; doi:10.1038/kisup.2012.7

2. Penyakit Ginjal

Gangguan pada:

2. Penyakit Ginjal

2. Penyakit Ginjal

2. Penyakit Ginjal

Kidney International Supplements (2012) 2, 812; doi:10.1038/kisup.2012.7

2. Penyakit Ginjal

3. SKA

4. Dispepsia
Nyeri epigastrik seperti rasa terbakar atau tidak nyaman
dapat dijumpai pada ulkus duodenum & ulkus gaster.
Ulkus duodenum:
Khasnya, nyeri timbul 90 menit-3 jam setelah makan & nyeri
berkurang dengan antasid atau makanan.
2/3 pasien merasakan nyeri pada malam hari yang membuat
bangun pada malam hari (tengah malam jam 3 pagi).

Ulkus gaster:
Nyeri dipresipitasi oleh makanan.
Mual & turun berat badan lebih sering dijumpai pada ulkus
gaster.
Harrisons principles of internal medicine

4. Dispepsia

Lokasi Nyeri
Nyeri epigastrik
Kembung

Nyeri epigastrik
menjalar ke
punggung

Anamnesis

Pemeriksaan
Fisis

Membaik dgn
makan (ulkus
duodenum),
Memburuk dgn
makan (ulkus
gastrikum)

Tidak spesifik

Gejala: mual &


muntah, Demam
Penyebab: alkohol
(30%), batu
empedu (35%)

Nyeri tekan &


defans, perdarahan
retroperitoneal
(Cullen:
periumbilikal, Gray
Turner: pinggang),
Hipotensi
Ikterus,
Hepatomegali

Nyeri kanan atas/ Prodromal


epigastrium
(demam, malaise,
mual) kuning.
Nyeri kanan atas/ Risk: Female, Fat,
epigastrium
Fourty, Hamil
Prepitasi makanan
berlemak, Mual,
TIDAK Demam
Nyeri epigastrik/
Mual/muntah,
kanan atas
Demam
menjalar ke bahu/
punggung

Pemeriksaan
Penunjang

Diagnosis

Urea breath test


(+): H. pylori
Endoskopi:
eritema (gastritis
akut)
atropi (gastritis
kronik)
luka sd submukosa
(ulkus)
Peningkatan enzim
amylase & lipase di
darah

Dispepsia

Transaminase,
Serologi HAV,
HBSAg, Anti HBS
Nyeri tekan
USG: hiperekoik
abdomen
dgn acoustic
Berlangsung 30-180 window
menit
Murphy Sign

USG: penebalan
dinding kandung
empedu (double
rims)

Terapi
PPI: omeprazol/
lansoprazol
H. pylori:
klaritromisin+amok
silin+PPI

Pankreatitis

Hepatitis Akut

Resusitasi cairan
Nutrisi enteral
Analgesik

Suportif

Kolelitiasis

Kolesistektomi
Asam
ursodeoksikolat

Kolesistitis

Resusitasi cairan
AB: sefalosporin
gen. 3 +
metronidazol
Kolesistektomi

5. Tuberkulosis

5. Tuberkulosis

5. Tuberkulosis

6. Penyakit katup Jantung

6. Penyakit katup Jantung

Lilly LS. Pathophysiology of heart disease. 5th ed. Lipincott Williams & Wilkins; 2011.

6. Penyakit katup Jantung

Lilly LS. Pathophysiology of heart disease. 5th ed. Lipincott Williams & Wilkins; 2011.

6. Penyakit katup Jantung


Mitral regurgitasi akut
Normal left atrium size and compliance High
left atrium pressure High pulmonary venous
pressure Pulmonary congestion and edema

Mitral regurgitasi kronik:


Increased left atrium size and compliance More
normal left atrium and pulmonary venous
pressures, but lower forward cardiac output.

6. Penyakit katup Jantung


Gejala klinis mitral regurgitasi/insufisiensi:
MR akut: gejala edema paru
MR kronik: gejala penurunan curah jantung
lemah dan cepat lelah, terutama saat aktivitas.
MR berat/sudah disfungsi ventrikel kiri: dispnea,
orthopnea, dan/atau paroxysmal nocturnal
dyspnea.
MR kronik yang berat: gejala gagal jantung kanan
edema perifer

7. GERD
Definition:
a pathologic condition of symptoms & injury to the
esophagus caused by percolation of gastric or
gastroduodenal contents into the esophagus associated
with ineffective clearance & defective gastroesophageal
barrier.

Symptoms:
Heartburn; midline retrosternal burning sensation that
radiates to the throat, occasionally to the intrascapular
region.
Others: regurgitation, dysphagia, regurgitation of excessive
saliva.
GI-Liver secrets

7. GERD

7. GERD

Management:
Aggressive lifestyle modification & pharmacologic therapy.
Surgery is encouraged for the fit patient who requires chronic
high doses of pharmacologic therapy to control GERD or who
dislikes taking medicines.
Endoscopic treatments for GERD are very promising, but
controlled long-term comparative trials with proton pump
inhibitors and/or surgery are lacking.

8. Konseling & Tes HIV


Terdapat dua macam pendekatan untuk tes HIV
1.
2.

Konseling dan tes HIV sukarela (KTS-VCT = Voluntary Counseling & Testing)
Tes HIV dan konseling atas inisiatif petugas kesehatan (KTIP PITC =
Provider-Initiated Testing and Counseling)

KTIP merupakan kebijakan pemerintah untuk dilaksanakan di layanan


kesehatan yang berarti semua petugas kesehatan harus menganjurkan tes
HIV setidaknya pada:

ibu hamil,
pasien TB,
pasien yang menunjukkan gejala dan tanda klinis diduga terinfeksi HIV (Tabel),
pasien dari kelompok berisiko (pemakai narkoba suntik, PSK, LSL lelaki seks
dengan lelaki),
pasien IMS dan seluruh pasangan seksualnya.

Pada soal ini lebih tepat istilahnya KTIP, tetapi tidak ada di pilihan
jawaban sehingga dipilih VCT.
Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa. Kemenkes 2011.

8. Konseling
& Tes HIV

Gejala dan tanda klinis


diduga terinfeksi HIV

PPE:
Pruritic papular eruption

8. Konseling & Tes HIV


Tolok
Perbandingan

VCT - KTS

PITC KTP2

Pasien/Klien

o Datang ke klinik khusus


o Datang ke klinik karena penyakit
untuk konseling dan testing
terkait HIV misalnya pasien
HIV
TB/suspek TB
o Berharap dapat
o Tidak bertujuan tes HIV
pemeriksaan
o Tes HIV diprakarsai oleh petugas
o Pada umumnya asimtomatis
kesehatan berdasarkan indikasi

Petugas kesehatan/
Konselor

o Konselor terlatih baik


petugas kesehatan maupun
bukan petugas kesehatan

o Petugas kesehatan yang dilatih


untuk memberikan konseling dan
edukasi

Penekanan pada pencegahan


Penekanan pada diagnosis HIV untuk
penularan HIV melalui
penatalaksanaan yang tepat bagi TBTujuan utama Konseling pengkajian faktor risiko,
HIV nya dan rujukan ke PDP
dan tes HIV
pengurangan risiko, perubahan
perilaku dan tes HIV serta
peningkatan kualitas hidup

8. Konseling & Tes HIV


Tolok
Perbandingan

Pertemuan Pra tes

Tindak lanjut

VCT - KTS

PITC KTP2

o Konseling berfokus klien


o Petugas kesehatan
o Secara individual
memprakarsai tes HIV kepada
o Kedua hasil baik positif
pasien yang terindikasi
maupun negative samao Diskusi dibatasi tentang
sama pentingnya untuk
perlunya menjalani tes HIV
diketahui pasien karena
o Perhatian khusus untuk yang
pentingnya upaya
hasilnya HIV positif dengan
pencegahan dan
fokus pada perawatan medis
peningkatan kualitas hidup
dan upaya pencegahan
o Klien dengan hasil HIV
positif dirujuk ke layanan
PDP dan dukungan lain
yang ada di masyarakat

o Perawatan pasien HIV positif


berkoordinasi dengan petugas
TB dan rujukan ke layanan
dukungan lain yang ada di
masyarakat

9. GI Tract Disorder
Irritable bowel syndrome (IBS) is a functional bowel
disorder characterized by:
abdominal pain or discomfort
altered bowel habits
absence of detectable structural abnormalities.

Most studies show a female predominance.


No clear diagnostic markers exist for IBS, thus the diagnosis
of the disorder is based on clinical presentation.

22. GI Tract Disease


aCriteria

fulfilled for the last 3 months with symptom onset at least 6 months prior to
diagnosis.
bDiscomfort means an uncomfortable sensation not described as pain.

9. GI tract Disorder
Diagnosis

Characteristic

Crohn disease

diarrhea; abdominal pain that is usually insidious in the right lower


quadrant, triggered or aggravated frequently after meals; weight
loss; & an association with a tender, inflammatory mass in the
right lower quadrant. The diarrhea is usually nonbloody.

Colitis ulcerative

diarrhea, with or without blood in the stool. If inflammation is


confined to the rectum (proctitis), blood may be seen on the
surface of the stool; other symptoms include tenesmus, urgency,
rectal pain, and passage of mucus, without diarrhea.

Colon carcinoma

Lesions of the right colon commonly ulcerate, leading to chronic,


insidious blood loss without a change in the appearance of the
stool anemia of iron deficiency fatigue, palpitations, & even
angina pectoris.
Since stool becomes more formed as it passes into the transverse
& descending colon, tumors arising there tend to impede the
passage of stool, resulting in the development of abdominal
cramping, occasional obstruction, & even perforation.

10. Tuberkulosis
a) Pasien TB dengan Hepatitis akut
Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis
ikterik, ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan.

b) Hepatitis Kronis
Pada pasien dengan kecurigaan mempunyai penyakit hati kronis,
pemeriksaan fungsi hati harus dilakukan sebelum memulai
pengobatan.
Apabila hasil pemeriksaan fungsi hati >3 x normal sebelum memulai
pengobatan, paduan OAT berikut ini dapat dipertimbangkan:
2 obat yang hepatotoksik : HRSE / 6 HR atau 9 HRE
1 obat yang hepatotoksik: 2 HES / 10 HE
Tanpa obat yang hepatotoksik: 18-24 SE ditambah salah satu golongan
fluorokuinolon (ciprofloxasin tidak direkomendasikan karena potensimya
sangat lemah).

11. Aspirin
AHA/ACCF Secondary Prevention and Risk Reduction Therapy for
Patients With Coronary and Other Atherosclerotic Vascular Disease: 2011
Update:
Aspirin 75162 mg daily is recommended in all patients with coronary
artery disease unless contraindicated. (Level of Evidence: A)
The Role of Aspirin in the Prevention of Cardiovascular Disease. Clin Med
Res. 2014 Dec; 12(3-4): 147154.
all guidelines are clear that aspirin is inappropriate for patients with
aspirin intolerance and those at increased risk of gastrointestinal
bleeding or hemorrhagic stroke, which is usually evident from a
previous history of such conditions.
These aspirin contraindications are relatively uncommon, however,
and the benefits of CVD risk reduction typically outweigh the bleeding
risks for most patients at high CVD risk.

11. Aspirin

12. Artritis

Osteoarthritis:

Penyempitan celah sendi (panah putih),


Penipisan kartilago
Osteofit/spur (mata panah),
Kista subkondral,
Sklerosis subkondral/eburnation (panah
hitam).

Gout arthritis:
Acute gouty arthritis: soft tissue swelling.
Advanced gout: the erosion are slightly

removed from the joint space, have a


rounded or oval shape, & are
characterized by a hypertrophic calcified
"overhanging edge." The joint space may
be preserved or show osteoarthritic type
narrowing.

Current diagnosis & treatment in rheumatology. 2nd ed. McGraw-Hill; 2007.


Harrisons principles of internal medicine. 18th ed. McGraw-Hill; 2011.

Heberdens & Bouchards nodes

Penyempitan celah sendi

Penipisan kartilago

Osteofit (spur formation)

Sklerosis subkondral/eburnation

Harrisons principles of internal medicine.

12. Artritis, RA

Current diagnosis & treatment in rheumatology. 2nd ed. McGraw-Hill; 2007.


Harrisons principles of internal medicine. 18th ed. McGraw-Hill; 2011.

Ciri

OA

RA

Arthritis

Gout

Spondilitis
Ankilosa

Female>male, >50
tahun, obesitas

Female>male
40-70 tahun

Male>female, >30
thn, hiperurisemia

Male>female,
dekade 2-3

gradual

gradual

akut

Variabel

Inflamasi

Patologi

Degenerasi

Pannus

Mikrotophi

Enthesitis

Poli

Poli

Mono-poli

Oligo/poli

Tipe Sendi

Kecil/besar

Kecil

Kecil-besar

Besar

Predileksi

Pinggul, lutut,
punggung, 1st CMC,
DIP, PIP

MCP, PIP,
pergelangan
tangan/kaki, kaki

MTP, kaki,
pergelangan kaki &
tangan

Sacroiliac
Spine
Perifer besar

Bouchards nodes
Heberdens nodes

Ulnar dev, Swan


neck, Boutonniere

Kristal urat

En bloc spine
enthesopathy

Osteofit

Osteopenia
erosi

erosi

Erosi
ankilosis

Nodul subkutan,
pulmonari cardiac
splenomegaly

Tophi,
olecranon bursitis,
batu ginjal

Uveitis, IBD,
konjungtivitis, insuf
aorta, psoriasis

Normal

RF +, anti CCP

Asam urat

Prevalens
Awitan

Jumlah Sendi

Temuan Sendi
Perubahan
tulang
Temuan
Extraartikular
Lab

13. Tuberkulosis

14. Anemia Normositik

Wintrobe Clinical Hematology. 13 ed.

Gejala & tanda:

Pucat
Lemah
Takikardia
Urin seperti teh
Ikterus
Splenomegali (karena
peningkatan destruksi
eritrosit dengan
kerusakan membran di
limpa)

Tidak adanya protein membran (CD55 & CD 59), mengakibatkan


komplemen dapat menempel ke eritrosit hemolisis intravaskular
(eritrosit pecah di pembuluh darah) tidak ada splenomegali karena
proses destruksi eritrosit dominan di pembuluh darah.

15. Infeksi Saluran Kemih

Pielonefritis
Inflamasi pada ginjal & pelvis renalis
Demam, menggigil, mual, muntah, nyeri pinggang, diare,
Lab: silinder leukosit, hematuria, pyuria, bakteriuria, leukosit esterase +.

Sistitis:

Urethritis:

Inflamasi pada kandung kemih


Disuria, frekuensi, urgensi, nyeri suprapubik, urin berbau,
Lab: pyuria, hematuria, leukosit esterase (+) nitrit +/-.
Inflammation pada uretra
Disuria, frekuensi, pyuria, duh tubuh.
Lab: pyuria, hematuria, leukosit esterase (+), nitrit (-).

ISK complicated:

Terdapat faktor anatomi, fungsional, farmakologi yang menjadi predisposisi


infeksi persisten, rekuren, atau gagal pengobatan
Contoh: ISK pada pembesaran prostat atau obstruksi lain yang memerlukan
kateter, infeksi oleh bakteri multiresisten.

Harrisons principles of internal medicine. 18th ed. McGraw-Hill; 2011.

15. Infeksi Saluran Kemih


Pielonefritis ringan:
Demam ringan dengan/tanpa nyeri CVA.

Pielonefritis berat:

Demam tinggi,
rigors,
Mual, muntah,
Nyeri pinggang.

Gejala umumnya akut, gejala sistitis bisa ada/tidak.

Demam adalah tanda utama yang membedakan


pielonefritis dari sistitis.
Harrisons principles of internal medicine. 18th ed. McGraw-Hill; 2012.

15. Pielonefritis
Indikasi rawat inap:
Tidak bisa menjaga
hidrasi oral & minum
obat,
Keadaan sosial atau
komplians yang tidak
pasti atau komplians,
Diagnosis belum pasti,
Demam tinggi, nyeri
yang berat, & debilitatif.
Comprehensive cllinicall nephrology. 5th ed. 2015

15. Pielonefritis

Untuk pasien dengan respons yang cepat (demam & gejala hilang di awal terapi),
terapi dapat dibatasi selama 7 hari.
Pada beberapa penelitian pemberian golongan -lactam kurang dari 14 hari
berkaitan dengan angka kegagalan yang tinggi.
Satu penelitian menunjukkan keunggulan siprofloksasin selama 7 hari
dibandingkan TMP-SMX selama 14 hari.
Comprehensive cllinicall nephrology. 5th ed. 2015

15. Pielonefritis
Jika Gram negatif
Ceftriaxone
Jika kemungkinan enterococci
ampicillin plus gentamicin,
ampicillin-sulbactam, and
piperacillin-tazobactam

Jika prevalensi kuman resisten


TMP-SMX tinggi, maka jangan
digunakan sebagai terapi
empirik.
Terapi parenterall dapat
diswitch menjadi terapi oral
setelah 24-48 jam bebas
demam (Sanford guide).
Comprehensive cllinicall nephrology. 5th ed. 2015

ILMU BEDAH DAN ANASTESIOLOGI

16. Tulang Kepala

Menutupi otak yang bentuknya ireguler


Tempat dari beberapa indera tubuh
Tempat masuknya dunia luar ke dalam saluran pernafasan & pencernaan.
Calvaria dan tulang wajah.
Calvaria : os. frontal, parietal, temporal, sphenoid, dan occipital.
Tulang wajah : os nasal, maksila, mandibula, zygomatik.
Fraktur kalvaria trauma kepala.
Diskontinuitas tulang kalvaria.
Fraktur kalvaria :
fraktur linier
fraktur depres
fraktur diastase
fraktur basis

Penegakan Diagnosa Fraktur Tulang Kepala

Adanya riwayat trauma


Adanya jejas pada kepala
Adanya hematoma
Foto rontgen kepala
Fraktur basis kranii :
Ecchymosis Palpebra (racoon eyes)
Ecchymosis Mastoid (battle sign)
Halo sign positif.

Fraktur Linier pada Regio Temporoparietal

Fraktur Depres Kepala


Benturan energi tinggi pada area yang kecil di
kepala.
Fragmen fraktur tulang kepala terdorong ke arah
intrakranial, dengan kedalaman bervariasi.
Fraktur depres tertutup = simple depressed
fracture.
Fraktur depres terbuka = compound depressed
fracture.
Foto rontgen kepala : double contour

Frekuensi :
frontoparietal (75%)
temporal (10%)
occipital (5%)
tempat lainnya (10%).
75-90% fraktur depres
terbuka.

Bone Scan pada CT-Scan Kepala : Fraktur Depres


Temporoparietal Kiri.

Manajemen Fraktur Depres


Fraktur depres terbuka harus dilakukan
operasi craniectomy debridement.
Fragmen tulang kepala dapat dikembalikan
kembali :
Luka relatif bersih, tidak terlalu kotor
Waktu kurang dari 24 jam.

Indikasi operasi fraktur depres tertutup


memperbaiki defisit neurologis
mengurangi insidensi kejang (epilepsi traumatik)
kosmetik.

Indikasi Operasi Elevasi


Fraktur Depres Pada Dewasa
Fraktur depress > 8-10 mm (melewati 2 tabula)
Defisit neurologis.
Kebocoran cairan cerebrospinal laserasi
duramater.
Fraktur depres terbuka craniectomy debridement.
Konservatif : fraktur depres regio sinus venosus
dural, terlebih jika pasien tidak mengalami defisit
neurologis.
Risiko yang lebih besar.
Keahlian Ahli BedahSaraf.

Pasien pediatrik :
Lokasi : regio frontal dan parietal
1/3 kasus : fraktur depres tertutup
Indikasi Operasi pasien pediatrik
Terdapat bukti-bukti klinis terjadi penetrasi terhadap
duramater.
Defek tulang yang persisten kosmetik.
Terdapat gejala defisit neurologis fokal akibat fraktur
tersebut.

Fraktur Bola Ping-Pong


Terjadi pada area fokal tulang kepala seperti bola
pingpong yang pecah.
Bayi baru lahir karena plastisitas dari tulang kepala.
Konservatif : defek tulang akan terkoreksi seiring
dengan pertumbuhan dari tulang kepala.

Fraktur Bola Ping-Pong

Perhatian Khusus Cedera Kepala Pada


Pediatrik
Bayi : kepala relatif ukurannya lebih besar
dibandingkan dengan badannya salah satu
sumber perdarahan, syok hemoragik.
Pada bayi lebih mudah terjadi peningkatan tekanan
intrakranial sehingga terjadi penurunan tekanan
perfusi otak kerusakan otak iskemik.
Pada anak-anak dan bayi, tulang tengkorak masih
lebih lunak dibandingkan dengan orang dewasa
fraktur depres bola ping-pong.

17. ASA

Udara bebas intraperitoneum atau ekstraluminer


Causa :
- Robeknya dinding saluran cerna (trauma, iatrogenik, kelainan di
saluran cerna),
- Tidakan melalui permukaan peritoneal (transperitoneal
manipulasi, endoscopic biopsy, abdominal needle biopsy)
- Intraperitoneal ( gas forming peritonitis, ruptur abses )

Gambaran Radiologi :
Cupula sign
Foot ball sign
Double wall sign /Rigler sign
Ligamentum falciforum sign
Umbilical sign
Urachus sign

Biasanya menggunakan 2 proyeksi foto :


- FPA supine
- X Torak erect atau left lateral decubitus

Cupula sign
Cupula sign

Air on both sides of bowel wall


Riglers Sign

Free Intraperitoneal Air

Umbilical sign

Urachus sign

Falciform Ligament
Sign

Football sign

19. Lipoma

20. Divertikulum Meckel


Divertikulum Meckel merupakan malformasi kongenital dari
traktus gastrointestinal yang paling sering ditemukan, yaitu
sekitar 2%-4% dari populasi.
Divertikulum Meckel merupakan suatu keadaan malformasi
dari traktus gastrointestinaldengan adanya persistensi dari
duktus vitello-intestinal/ omphalomesenterik yang gagal
mengalami penutupan dan absorpsi.
Komplikasi yang dapat ditimbulkan adalah adanya ulkus,
pendarahan, obstruksi usus kecil, divertikulitis, dan perforasi.
Dari beberapa komplikasi tersebut, pendarahan merupakan
komplikasi yang tersering terjadi yaitu sebanyak 20-30%
Sagar J, Kumar V, Shah DK. Meckels diverticulum: a systematic review. J R Soc Med.
2006;99:501-505.

Divertikulum Meckel adalah kelainan bawaan yang mengikuti rule of two


(kelainan bawaan serba dua), yaitu :
Kelainan kongenital yang paling sering terjadi dengan prevalensi 2%
populasi
Perbandingan kejadian antara laki-laki dan perempuan adalah 2 : 1
Ditemukan 2 kaki (sekitar 60 cm) dari valvula ileosekal (valvula Bauhini)
Di dalamnya mungkin terdapat dua jenis jaringan heteropik, yaitu mukosa
lambung dan jaringan pankreas
Dua penyakit dapat timbul di dalamnya,yaitu divertikulitis dan tukak
peptik
Dua penyulit yang dapat terjadi, yaitu perforasi pada divertikulitis akut
atau tukak peptik dan perdarahan tukak peptik
Sebagian besar pasien menunjukkan gejala-gejala divertikulum Meckel
pada usia di bawah 2 tahun.

Sagar J, Kumar V, Shah DK. Meckels diverticulum: a systematic review. J R Soc Med.
2006;99:501-505.

Gambaran Klinis dan Komplikasi


Kebanyakan dari pasien yang menderita Divertikulum
Meckel tidak menunjukkan gejala, dan kelainan ini
lebih sering ditemukan secara isidental pada
pemeriksaan barium maupun laparotomi.
Gejala yang timbul pada kelainan ini lebih cenderung
akibat dari komplikasi yang timbul.
Komplikasi: Obstruksi usus (35%), pendarahan (32%)
brick red/ current jelly stool, diverticulitis (22%),
kelainan umbilikus (10%), Hernia liitre, dan
neoplasma.

Jenis-jenis kelainan tubulus


omphalomesenterik.
a. Fistula umbilikoileal,
b. Sinus duktus omphalomesenterik,
c. Kista duktus omphalomesenterik,
d. Pita fibrosis,
e. Divertikulum Meckel dengan paten pita
fibrosis,
f. Divertikulum Meckel dengan obliterasi
penuh

Pemeriksaan penunjang imaging.


A. Studi barium dengan gambaran lipatan triradiate,
B. Technetium-99m-labeled RBC Study menunjukkan adanya perdarahan kuadran kanan bawah,
C. Angiografi dengan gambaran arteri vitellointestinal,
D. Skintigrafi Tc-99m pertechnetate dengan gambaran fokus small uptake atau hotspot,
E. Enteroklisis dengan gambaran kelainan pengisian elongasi tubulus,
F. CT-scan dengan gambaran divertikulum distended fluid-filled dengan leher pendek,
G. CT-scan pelvis dengan gambaran Divertikulum Meckel berupa blind ending segmen tubulus
usus,
H. USG transverse abdomen kanan bawah dengan gambaran target-like mass dengan sentral
hipoechogendari inti lemak mesenteric yang dikelilingi oleh dinding divertikulum dan usus,
I. USG longitudinal pelvis dengan gambaran blind-ending dan kista seperti tubulus berisikan
echo internal dengan debris,
J. CT-scan dengan gambaranenterolit pada leher divertikulum.

21. Penanganan Fraktur


1. Tempat

kejadian

Masyarakat,

(Injury

Sosial

Disarter)

worker,

Polisi,

petugas medis dll


2. Pra Hospital (Transportation)
3. Hospital Emergency Room, Operating
Room, ICU, Ward Care

4. Rehabilitasi Physical, Psycological

Tujuan Penanganan Fraktur


1. Life saving Prioritas utama

2. Limb saving

Penanganan Nyeri (Relieve pain)

Mengembalikan fungsi (Restore optimum function)

Tindakan Non Operatif

Tindakan Operative

Yang Mempengaruhi Penanganan

Umur

Kelamin

Pekerjaan

Keadaan Fraktur Patologis non Patologis

Penyakit penyerta

Emergency Orthopaedi

Jika tak ditolong segera bisa terjadi


1. Fraktur terbuka

Fraktur disertai hancurnya jaringan (Major crush


injury)

Fraktur dengan amputasi

2. Fraktur dengan ggn neurovaskuler (Compartmen


Syndrome)
3. Dislokasi sendi

Pertolongan Pertama (First Aid)


Life Saving ABCD
Obstructed Airway

Shock : Perdarahan Interna /External


Balut tekan, IV fluid
Limb Saving
Reliave pain Splint & analgetic
Pergerakan fragmen fr
Spasme otot
Udema yang progresif.
Transportasi penderita Dont do harm

Pengelolaan Fraktur di RS
Prinsip : 4 R
R 1 = Recognizing

Anamnesa, PE, Penunjang


R 2 = Reduction

= Diagnosa
= Reposisi

Mengembalikan posisi fraktur keposisi sebelum

fraktur
R 3 = Retaining = Fiksasi /imobilisasi

Mempertahankan hasil fragmen yg direposisi

R 4 = Rehabilitation

Mengembalikan fungsi kesemula

Retaining (Imobilisasi)

Mempertahankan hasil reposisi sampai tulang


menyambung

Kenapa ssd reposisi harus retaining


Manusia bersifat dinamis
Adanya tarikan tarikan otot
Agar penyembuhan lebih cepat
Menghilangkan nyeri

Cara Retaining (Imobilisasi)

Isitrahat

Pasang splint / Sling

Casting / Gips

Traksi Kulit atau tulang

Fiksasi pakai inplant

Sling / Split

Sling : Mis Arm Sling

Splint/ Pembidaian

Cara Imobilisasi

Casting / Gips

Hemispica gip

Long Leg Gip

Below knee cast

Umbrical slab

Retaining (Imobilisasi)
Traksi

Cara imobilisasi dengan menarik


bahagian proksimal dan distal

secara terus menerus.


1. Kulit
2. Tulang

Retaining (Imobilisasi)

Fiksasi pakai inplant


Internal fikasasi
Plate/ skrew
Intra medular nail Kuntsher Nail
Ekternal fiksasi

Tibia-fibula Shaft Fracture/ Cruris Fracture


Kruristungkai bawah yang
terdiri dari dua tulang panjang
yaitu tulang tibia dan fibula
Tscherne Classification
0-3
Based on degree of displacement
and comminution
C0simple fracture configuration with
little or no soft tissue injury
C1superficial abrasion, mild to
moderately severe fracture
configuration
C2deep contamination with local skin
or muscle contusion, moderately severe
fracture configuration
C3extensive contusion or crushing of
skin or destruction of muscle, severe
fracture

Clinical Features of Fracture


Fractures of the tibia
and fibula shaft are

the most common


long bone fractures
Caused by direct force
or twisting
Deformity of the
middle third of cruris
Tscherne classification

History of trauma
Symptoms &
signs:

Pain & tenderness


Swelling
Deformity
Crepitus
Loss of function
Abnormal move
N.V. injuries

Tibia-Fibula midshaft fracture


The anterior tibial artery is
particularly vulnerable to
injury as it passes through
a hiatus in the interosseus
membrane.
The peroneal artery has an
anterior communicating
branch to the dorsalis
pedis artery
may therefore be occluded
despite an intact dorsalis
pedis pulse
Regardless, dorsalis pedis
pulse should always be
checked

Treatment
Nonoperative

Fracture reduction followed by


application of a long leg cast with
progressive weight bearing can be
used for isolated, closed, lowenergy fractures with minimal
displacement and comminution.
Gips dipasang sampai diatas lutut,
dengan lutut dalam posisi fleksi 0-5
derajat
After 4 to 6 weeks, the long leg cast
may be exchanged for a patellabearing cast or fracture brace.
Union rates as high as 97%

Kenneth J.; Zuckerman, Joseph D. Handbook of Fractures,


3rd Edition
Lippincott Williams & Wilkins 2006

https://www2.aofoundation.org

Operative fracture management


Tatalaksana operatif menjadi pilihan untuk
fraktur shaft tibia dengan unstable
displacement
Surgical treatment is necessary for open
fractures (wound debridement), compartment
syndromes, and repair of arterial injuries

22. Epididymo-Orchitis
Epididimo orkitis adalah inflamasi akut yang
terjadi pada testis dan epididimis yang
memiliki ciri yaitu nyeri hebat dan terdapatnya
pembengkakan di daerah belakang testis yang
juga disertai skrotum yang bengkak dan
merah.
Cara membedakan orchitis dengan torsio
testis yaitu melalui Prehn Sign yaitu membaik
jika scrotum yang sakit dinaikkan.

Etiologi

Orkitis bisa disebabkan oleh sejumlah bakteri dan virus. Virus yang paling sering
menyebabkan orkitis adalah virus gondong (mumps). Sekitar 15-25% pria yang
mengalami gondongan (parotitis), akan mengalami orkitis ketika masa setelah
pubernya. Orkitis juga ditemukan pada 2-3% pria yang menderita bruselosis.
Orkitis sering dikaitkan dengan infeksi prostat atau epidedemis, serta merupakan
manifestasi dari penyakit menular seksual (gonore atau klamidia).
Faktor resiko untuk orkitis yang tidak berhubungan dengan penyakit menular
seksual adalah:
a.
b.
c.
d.

Imunisasi gondongan yang tidak adekuat


Usia lanjut (lebih dari 45 tahun)
Infeksi saluran kemih berulang
Kelainan saluran kemih

Sedang untuk faktor resiko orkitis yang berhubungan dengan penyakit menular
seksual antara lain :
a. Berganti-ganti pasangan
b. Riwayat penyakit menular seksual pada pasangan
c. Riwayat gonore atau penyakit menular seksual lainnya

Gejala dan Tanda

Diagnosis

a. Pembengkakan skrotum
b. Testis yang terkena terasa berat,
membengkak dan teraba lunak
c. Pembengkakan selangkangan pada
testis yang terkena
d. Demam
e. Keluar nanah dari penis
f. Nyeri ketika berkemih / disuria
g. Nyeri saat berhubungan seksual / saat
ejakulasi
h. Nyeri selangkangan
i. Nyeri testis, bias saat mengejan atau
ketika BAB
j. Semen mengandung darah

Diagnosis ditegakkan berdasarkan


gejala dan hasil pemeriksaan fisik.
Terjadi pembengkakan kelenjar
getah bening di selangkangan dan
di testis yang terkena.
Pemeriksaan lain yang bias
dilakukan adalah :
Analisa air kemih
Pembiakan air kemih
Tes penyaringan untuk klamidia dan
gonore
Pemeriksaan darah lengkap
Pemeriksaan kimia darah

Tatalaksana
Jika penyebabnya bakteri maka diberikan antibiotik.
Selain itu diberikan obat pereda nyeri dan anti
peradangan.
Tapi jika penyebabnya virus, hanya diberikan obat
anti nyeri.
Penderita sebaiknya menjalani tirah baring.
Skrotumnya diangkat dan dikompres dengan es.

23. BPH
BPH
adalah pertumbuhan
berlebihan dari sel-sel
prostat yang tidak ganas.
Pembesaran prostat jinak
diakibatkan sel-sel prostat
memperbanyak diri
melebihi kondisi normal,
biasanya dialami laki-laki
berusia di atas 50 tahun
yang menyumbat saluran
kemih.

NORMAL

TIDAK NORMAL

PREVALENSI
Angka kejadian BPH di Indonesia yang pasti belum pernah
diteliti.
Penduduk Indonesia yang berusia tua jumlahnya semakin
meningkat, diperkirakan sekitar 5% atau kira-kira 5 juta pria
di Indonesia berusia 60 tahun atau lebih dan 2,5 juta pria
diantaranya menderita gejala saluran kemih bagian bawah
(Lower Urinary Tract Symptoms/LUTS) akibat BPH.
Prevalensi BPH yang bergejala pada pria berusia 40-49
tahun mencapai hampir 15%, usia 50-59 tahun
prevalensinya mencapai hampir 25%, dan pada usia 60
tahun mencapai angka sekitar 43%.

ETIOLOGI
Umur
Pria berumur lebih dari 50 tahun,
kemungkinannya memiliki BPH adalah 50%.
Ketika berusia 8085 tahun, kemungkinan
itu meningkat menjadi 90%.

Faktor Hormonal
Testosteron > hormon pada pria.
Beberapa penelitian menyebutkan karena
adanya peningkatan kadar testosteron pada pria
(namun belum dibuktikan secara ilmiah) .

Hipotesis penyebab timbulnya


hiperplasia prostat

Teori
dihidrotest
osteron

Ketidaksei
mbangan
antara
estrogentestosteron

Interaksi
stromaepitel

Berkurangnya
kematian sel
prostat

Teori sel
stem

PATOFISIOLOGI

Kelenjar Prostat terdiri


dari atas 3 jaringan :
Epitel atau
glandular, stromal
atau otot polos, dan
kapsul.
Jaringan stromal
dan kapsul
ditempeli dengan
reseptor adrenergik
1.

Mekanisme
patofisiologi penyebab
BPH secara jelas
belum diketahui
dengan pasti.
Namun diduga
intaprostatik
dihidrosteron (DHT)
dan 5- reduktase tipe
II ikut terlibat.

BPH secara umum


hasil dari faktor statik
(pelebaran prostat
secara berangsurangsur) dan faktor
dinamik (pemaparan
terhadap agen atau
kondisi yang
menyebabkan
konstriksi otot polos
kelenjar.)

TANDA DAN GEJALA

Sering kencing
Sulit kencing
Nyeri saat berkemih
Urin berdarah
Nyeri saat ejakulasi
Cairan ejakulasi
berdarah
Gangguan ereksi
Nyeri pinggul atau
punggung

Tanda klinis terpenting BPH


adalah ditemukannya
pembesaran
konsistensi
kenyal, pool atas tidak teraba
pada
pemeriksaan
colok
dubur/
digital
rectal
examination (DRE). Apabila
teraba indurasi atau terdapat
bagian yang teraba keras,
perlu dipikirkan kemungkinan
prostat stadium 1 dan 2.

Manifestasi Klinis
Dapat dibagi ke dalam dua kategori :
Obstruktif :
terjadi ketika faktor
dinamik dan atau
faktor statik
mengurangi
pengosongan
kandung kemih.

Iritatif :
hasil dari
obstruksi yang
sudah berjalan
lama pada leher
kandung kemih.

Gambaran BNO IVP


Pada BNO IVP dapat ditemukan:

Indentasi caudal buli-buli

Elevasi pada intraureter


menghasilkan bentuk J-ureter
(fish-hook appearance)

Divertikulasi dan trabekulasi


vesika urinaria

Fish Hook appearance(di tandai


dengan anak panah)
Indentasi caudal buli-buli

Pada USG (TRUS, Transrectal


Ultrasound)
Pembesaran kelenjar
pada zona sentral
Nodul hipoechoid atau
campuran echogenic
Kalsifikasi antara zona
sentral
Volume prostat > 30 ml 8

CT Scan:
Tampak ukuran prostat
membesar di atas ramus superior
simfisis pubis.

Derajat BPH, Dibedakan menjadi 4


Stadium :
Stadium 1 :
Obstruktif
tetapi
kandung
mengeluarkan urin sampai habis.

kemih

masih

Stadium 2 : masih tersisa urin 60-150 cc.

Stadium 3 : setiap BAK urin tersisa kira-kira 150 cc.


Stadium 4 :
retensi urin total, buli-buli penuh pasien tampak
kesakitan urin menetes secara periodik.

Kategori Keparahan Penyakit BPH Berdasarkan


Gejala dan Tanda (WHO)
Keparahan
penyakit

Skor gejala AUA


(Asosiasi Urologis
Amerika)

Ringan

Asimtomatik (tanpa gejala)


Kecepatan urinari puncak < 10 mL/s
Volume urine residual setelah
pengosongan 25-50 mL
Peningkatan BUN dan kreatinin
serum

Sedang

8-19

Semua tanda di atas ditambah


obstruktif penghilangan gejala dan
iritatif penghilangan gejala (tanda dari
detrusor yang tidak stabil)

Parah

20

Semua hal di atas ditambah satu atau


lebih komplikasi BPH

Gejala khas dan tanda-tanda

Terapi Farmakologi
Jika gejala ringan maka pasien cukup dilakukan
watchful waiting (perubahan gaya hidup).
Jika gejala sedang maka pasien diberikan obat
tunggal antagonis adrenergik atau inhibitor 5reductase.
Jika keparahan berlanjut maka obat yang
diberikan bisa dalam bentuk kombinasi keduanya.
Jika gejala parah dan komplikasi BPH, dilakukan
pembedahan.

Algoritma manajemen terapi BPH


BPH

Menghilangkan gejala
ringan

Menghilangkan gejala
sedang

Menghilangkan gejala parah


dan komplikasi BPH
Operasi

Watchful
waiting
-adrenergik
antagonis atau
5-
Reductace inhibitor

Jika respon
berlanjut

Jika respon
tidak berlanjut,
operasi

-adrenergik
antagonis dan 5-
Reductace
inhibitor

Jika respon
berlanjut

Jika respon tidak


berlanjut, operasi

antagonis adrenergik
Mekanisme kerja : memblok reseptor
adrenergik 1 sehingga mengurangi faktor
dinamis pada BPH dan akhirnya berefek
relaksasi pada otot polos prostat.

inhibitor 5- reductase
Mekanisme kerja dari obat ini adalah
mengurangi
volume
prostat
dengan
menurunkan kadar hormon testosteron.
5-reduktase inhibitor digunakan jika pasien
tidak dapat mentolerir efek samping dari alfa
blocker.

Terapi Non Farmakologi


Pembatasan Minuman Berkafein
Tidak mengkonsumsi alkohol
Pemantauan beberapa obat seperti diuretik,
dekongestan, antihistamin, antidepresan
Diet rendah lemak
Meningkatkan asupan buah-buahan dan
sayuran
Latihan fisik secara teratur
Tidak merokok

24. Ewings Sarcoma


Ditemukan oleh James Ewing (1921)
Tumor tulang tersering kedua pada anak-anak
Ewings Sarcoma Family of tumors:

Ewings sarcoma (Bone 87%)


Extraosseous Ewings sarcoma (8%)
Peripheral PNET(5%)
Askins tumor

Epidemiologi

Meliputi 2% kejadian kanker malignansi pada anak


Terjadi pada dekade kedua (80% udia 5-25thn)
Laki-laki:Perempuan 1,3:1 <10thn, 1,6:1 >10thn
Jarang pada ras Afro-amerika dan asia
135

Patologi dan sitogenetik


Satu dari sekian banyak tumor
small round blue cell tumors
yang terlihat pada anak-anak.
Tidak berdiferensiasi dengan
baik
Tidak diketahui asalnya,
kemungkinan dari sel
progenitor neural crest
Abnormalitas sitogenetik
t(11;22) (q24;q12) tampak pada
90-95% kasus

Gejala Klinis
Nyeri dan Bengkak pada area yang
terkena
Dapat terjadi gejala sistemik, seperti:

Demam
Anemia
Penurunan berat badan
Elevated WBC & ESR,LDH

Sering kali didiagnosis dalam jangka


waktu paling lama untuk kasus tumor
solid pada anak-anak. (Rata-rata 146
hari)
Fraktur patologis

Skull(3.8%)

Lokasi

Paling sering pada diafisis atau


metadiafisis

Aksis sentral (47%):


pelvis, dinding dada, tulang
belakang, kepala dan leher
Ekstrimitas (53%)
Penyebaran per kontuinutatum ke
jaringan sekitar atau metastasis
secara hematogen.

Scapula (3.8%)

AJCC Staging (7th Ed. 2010) Bone Tumor


Primary tumor (T)
TX

Primary tumor cannot be assessed

T0

No evidence of primary tumor

T1

Tumor 8 cm or less in greatest dimension

T2

Tumor more than 8 cm in greatest dimension

T3

Discontinuous tumors in the primary bone site

Regional lymph nodes (N)


NX

Regional lymph nodes cannot be assessed

N0

No regional lymph node metastasis

N1

Regional lymph node metastasis

Note: Because of the rarity of lymph node involvement in bone sarcomas, the designation
NX may not be appropriate and cases should be considered N0 unless clinical node
involvement is clearly evident.
Distant metastasis (M)
M0

No distant metastasis

M1

Distant metastasis

M1a

Lung

M1b

Other distant sites

Stage
IA
IB

T1 N0 M0 G1,2 low grade, GX


T2 N0 M0 G1,2 low grade, GX

IIA

T3N0 M0 G1,2 low grade, GX


T1 N0 M0 G3, 4 high grade

IIB
III
IVA
IVB

T2 N0 M0 G3, 4 high grade


T3 N0 M0 G3, 4
Any T N0 M1a any G
Any T N1 any M any G
Any T any N M1b any G

Diagnostic Work-Up
Primary

Staging

History & Physical Examination


Histo-pathology

-Biopsy
-Genetics
-IHC

-Bone Marrow

Imaging

-X-ray
-CT scan
-MRI

-CT Thorax
-Bone scan
-PET scan

Lab Test

- Renal RFT
- Cardiac 2D-ECHO

Imaging
X-RAY
Moth eaten lesion
Lytic or mixed lytic-sclerotic areas
present
Multi-Layered subperiosteal reaction
(onion skinning)
Lifting of perioteum (codmans triangle)

CT SCAN: bone destruction best seen


Intramedullary space

extraosseous involvement

143

MRI
Involvement detected by MRI extends beyond
the anticipated area seen on plain X-ray
Intra-medullary extent
Soft tissue extension
Skip lesions
Relation Adjacent structures, vessels , nerves
Multi-planar

Bone scan:
To detect polyostotic involvement
to detect bone metastasis

Bone marrow biopsy

CXR/CT of chest: lung mets

Bone Scan: Ewing Sarcoma of


Left Humerus demonstrates
Intense Uptake

Fig: bone scan shows increased


activity in the distal femur.

CSMMU, Lucknow

Gross Pathology: Ewing Sarcoma of


Metadiaphysis of Proximal Humerus. (Top
arrow) Permeative Marrow Lesion.
(Bottom arrow) Surrounding Soft Tissue
Mass

PET/PET- CT Scan
newer technique
Under evaluation to detect

local and distal extent,


Predictor of outcome and recurrence

CSMMU, Lucknow

Tatalaksana Umum

Induction
Chemotherapy

Local Control

Maintenance

Surgery
Radiotherapy

Chemotherapy

25. Rabies
Rabies adalah penyakit infeksi akut pada Sistem Saraf
Pusat (SSP) yang disebabkan oleh virus rabies, dan
ditularkan melalui gigitan hewan menular rabies
terutama anjing, kucing, kera, dan kelelawar.
Penyakit rabies atau penyakit anjing gila, merupakan
penyakit yang bersifat fatal atau selalu diakhiri
dengan kematian bila tidak ditangani dan diobati
dengan baik.
Telah dilaporkan 98 persen kasus rabies di Indonesia
ditularkan akibat gigitan anjing dan 2 persen akibat
gigitan kucing dan kera.

Gejala Klinis
Stadium Prodromal

Gejala awal berupa demam, malaise, mual, dan rasa nyeri di tenggorokan dalam beberapa hari.

Stadium Sensoris

Penderita merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan pada tempat bekas luka. Kemudian disusul
dengan gejala cemas dan reaksi yang berlebihan terhadap rangsang sensorik.

Stadium Eksitasi

Tonus otot-otot dan aktivitas simpatik menjadi meninggi dengan gejala hiperhidrosis, hipersalivasi,
hiperlakrimasi, dan pupil dilatasi.
Adanya macam-macam fobi, yang sangat terkenal diantaranya ialah hidrofobi.
Kontraksi otot-otot faring dan otot-otot pernapasan dapat ditimbulkan oleh rangsang sensorik
seperti meniupkan udara ke muka penderita atau dengan menjatuhkan sinar ke mata atau dengan
menepuk tangan di dekat telinga penderita.
Pada stadium ini dapat terjadi apnoe, sianosis, konvulsi, dan takikardi.
Gejala-gejala eksitasi ini dapat terus berlangsung sampai penderita meninggal, tetapi pada saat
dekat kematian justru lebih sering terjadi otot-otot melemah, hingga terjadi paresis flaksid otot-otot.

Stadium Paralis

Sebagian besar penderita rabies meninggal dalam stadium eksitasi. Kadang-kadang ditemukan juga
kasus tanpa gejala-gejala eksitasi, melainkan paresis otot-otot yang bersifat progresif. Hal ini karena
gangguan sumsum tulang belakang, yang memperlihatkan gejala paresis otot-otot pernafasan.

Tatalaksana
Setiap ada kasus gigitan hewan menular rabies harus ditangani
dengan cepat dan sesegera mungkin.
Untuk mengurangi/mematikan virus rabies yang masuk pada luka
gigitan, usaha yang paling efektif ialah mencuci luka gigitan dengan
air (sebaiknya air mengalir) dan sabun atau deterjen selama 10-15
menit, kemudian diberi antiseptik (alkohol 70 %, betadine, obat
merah dan lain-lain).
Bila memang perlu sekali untuk dijahit (jahitan situasi), maka diberi
Serum Anti Rabies (SAR) sesuai dengan dosis, yang disuntikan
secara infiltrasi di sekitar luka sebanyak mungkin dan sisanya
disuntikan secara intra muskuler.
Dipertimbangkan perlu tidaknya pemberian serum/vaksin anti
tetanus, antibiotik untuk mencegah infeksi dan pemberian
analgetik.

Bila ada indikasi pengobatan :


1. Terhadap luka resiko rendah diberi Vaksin Anti Rabies (VAR) saja. Yang
termasuk luka yang tidak berbahaya adalah jilatan pada kulit luka,
garukan atau lecet (erosi, ekskoriasi), luka kecil disekitar tangan, badan
dan kaki.
2. Terhadap luka resiko tinggi, selain VAR juga diberi SAR. Yang termasuk
luka berbahaya adalah jilatan/luka pada mukosa, luka diatas daerah bahu
(muka, kepala, leher), luka pada jari tangan/kaki, genetalia, luka yang
lebar/dalam dan luka yang banyak (multipel).
3. Untuk kontak (dengan air liur atau saliva hewan tersangka/hewan rabies
atau penderita rabies), tetapi tidak ada luka, kontak tak langsung, tidak
ada kontak, maka tidak perlu diberikan pengobatan VAR maupun SAR.
4. Sedangkan apabila kontak dengan air liur pada kulit luka yang tidak
berbahaya, maka diberikan VAR atau diberikan kombinasi VAR dan SAR
apabila kontak dengan air liur pada luka berbahaya.

26. Labiopalatoskizis
Labioskizis: celah pada
bibir
Palatoskizis: celah pada
palatum
Labiopalatoskizis: celah
bibir+palatum

http://emedicine.medscape.com/

Epidemiologi
Sumbing bibir disertai atau tidak disertai
sumbing pada palatum , merupakan kelainan
maksilofasial kongenital yang sering pada
neonatus (80%).
Terjadi pada 1 dari 700-1000 kelahiran.
Sebesar 30-50% disertai kelainan kongenital
yang lain.

Klasifikasi
Suatu klasifikasi membagi strukturstruktur yang terkena menjadi beberapa
bagian berikut:
Palatum primer meliputi bibir, dasar
hidung, alveolus, dan palatum durum
di belahan foramen insisivum.
Palatum sekunder meliputi palatum
durum dan palatum molle posterior
terhadap foramen.
Suatu belahan dapat mengenai salah
satu atau keduanya, palatum primer
dan palatum sekunder dan juga bisa
berupa unilateral atau bilateral.
Terkadang terlihat suatu belahan
submukosa. Dalam kasus ini
mukosanya utuh dengan belahan
mengenai tulang dan jaringan otot
palatum.

Tingkat kelainan bibir sumbing bervariasi,


mulai dari yang ringan hingga hingga
yang berat. Beberapa jenis bibir sumbing
yang diketahui :
1. Unilateral Incomplete. Jika celah
sumbing terjadi hanya disalah satu
sisi bibir dan memanjang hingga ke
hidung.
2. Unilateral Complete. Jika celah
sumbing yang terjadi hanya disalah
satu sisi sisi bibir dan memanjang
hingga ke hidung.
3. Bilateral Complete. Jika celah
sumbing terjadi di kedua sisi bibir
dan memnajang hingga ke hidung.

Cleft palate
the two plates of the skull that form the hard
palate (roof of the mouth) are not completely
joined
The soft palate is in these cases cleft as well

Cleft lip
formed in the top of the lip
a small gap or an indentation in the lip
(partial or incomplete cleft)
continues into the nose (complete
cleft)
due to the failure of fusion of the
maxillary and medial nasal processes
(formation of the primary palate)

Tatalaksana
Pemberian ASI secara langsung,
dapat dicoba dengan sedikit
menekan payudara.
Bila anak sukar mengisap
sebaiknya gunakan botol peras
(squeeze bottles).
Jika anak tidak mau, berikan
dengan cangkir dan sendok.
Okulator untuk menutup
sementara celah palatum
Tindakan bedah, dengan kerja
sama yang baik antara ahli bedah,
ortodontis, dokter anak, dokter
THT, serta ahli wicara. (terapi
tergantun kebutuhan pasien).

Syarat labioplasti (rule of ten)

Umur 3 bulan atau > 10 minggu


Berat badan kira-kira 4,5 kg/10 pon
Hemoglobin > 10 gram/dl
Hitung jenis leukosit < 10.000

Syarat palatoplasti
Palatoskizis ini biasanya ditutup
pada umur 9-12 bulan menjelang
anak belajar bicara, yang penting
dalam operasi ini adalah harus
memperbaiki lebih dulu bagian
belakangnya agar anak bisa
dioperasi umur 2 tahun.
Untuk mencapai kesempurnaan
suara, operasi dapat saja dilakukan
berulang-ulang

http://www.scribd.com/doc/55885689/labio-gnato-palatoschisis

27-28. Breast Mass (<40thn)


Massa di payudara pada wanita usia <40thn ke
bawah biasanya bersifat jinak.
Untuk membedakan massa jinak dan ganas sangat
sulit pada populasi ini, berhubungan densitas dan
nodularitas jaringan payudara.
Pemeriksaan mammografi juga sering menunjukan
hasil false-negativeperlu dilakukan biopsy.
Pemilihan teknik biopsi berdasarkan keadaan klinis
pasien.
http://www.aafp.org/

Algoritme

Algorithm for the management of a young patient with the finding of a breast mass. Adapted with permission from Morrow M, Wong
S, Venta L. The evaluation of breast masses in women younger than forty years of age. Surgery 1998;124:63441.

Breast Cancer Screening


High risk
FACTORS

RR

1st degree relatives with BC


1 vs none
2 vs none

2
3-5

First child

age >30 vs <20

2-3

Clinical breast examination


(CBE)

Breast feeding

none vs 4 children

2.5

Mammography

Menarche

<11 vs >15

1.5

Ultrasonography

Number of child
Alcohol

none vs 3
2 drinks vs none

1.5
1.5

Screening Tests
Breast self examination
(BSE)

USPSTF Breast Cancer Screening


Recommendations (2009)
The USPSTF recommends
biennial screening
mammography for women
aged 50 to 74 years.
Grade: B recommendation.
The decision to start regular,
biennial screening
mammography before the age
of 50 years should be an
individual one and take
patient context into account,
including the patient's values
regarding specific benefits
and harms.
Grade: C recommendation.

The USPSTF concludes


that the current evidence
is insufficient to assess
the additional benefits
and harms of screening
mammography in
women 75 years or older.
Grade: I Statement.
The USPSTF recommends
against teaching breast
self-examination (BSE).
Grade: D
recommendation.

Other Groups Recommendations


AAFP (2009) all recommendations in
agreement with new USPSTF guidelines
ACS
Begin annual mammography at 40
CBE q 3 yr 20-40, yearly after 40
BSE option, beginning at 20

http://www.cancer.org/healthy/informationforhealthcarepr
ofessionals/cancer_statistic_2009_slides_rev.ppt

For women who use a step-by-step approach


to breast self-examination (BSE), clinicians
should review the woman's BSE technique
during their physical examination, as well as
discuss the benefits and limitations of BSE.[9

http://reference.medscape.com/features/slideshow/mammogram#13

http://www.cancer.org/cancer/breastcancer/moreinformation/breastc
ancerearlydetection/breast-cancer-early-detection-acs-recs

The BSE recommendation has shifted to include a new concept called "breast selfawareness (BSA) in women aged 20 years and older in which they have an
"understanding [of] the normal appearance and feel of their breasts, but without a
specific interval or systematic examination technique."[Women should report any
changes in their breasts to their healthcare providers

Sa-Da-Ri

Biopsi Payudara
Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB)
Langkah awal pemeriksaan massa payudara,
menggunakan jarum 22G-25G untuk aspirasi
cairan kista atau mengambil sampel padat
jaringan untuk pemeriksaan sitologi.
Dapat digunakan bersama pemeriksaan USG atau
Stereotactic untuk massa yang sulit diidentifikasi.
Jika sampel adekuat, sensitifitas FNAB tinggi untuk
keganasan (98-99%), PPV (99%), NPV (86-99%)
Bergantung pada keahlian pemeriksa.
http://www.aafp.org/

Core-Needle Biopsy
Prosedur mirip FNAB, jaringan
yang diambil lebih banyak,
jarum yang digunakan 14G18G.
Sediaan histologik
Memerlukan lokal anestesi.
Digunakan bersamaan USG
atau stereostatic imaging pada
massa yang sulit di palpasi.
Sensitivitas USG guided CNB
99% pada massa yang dapat
dipalpasi, 93% pada massa
yang non-palpable.

Exicional Biopsy
Gold standard evaluasi
massa di payudara.
Langkah diagnostik dan
terapetik.
Dilakukan di ruang operasi
dengan lokal atau general
anestesi.
Dilakukan bila secara klinis
meyakinkan jinak.
Insisi biopsy dilakukan jika
hasil CNB negatif dan
massa berukuran besar.

http://www.aafp.org/

29. Acute Limb Ischemia

30. Fraktur Costae


Fraktur pada iga (costae) merupakan kelainan tersering yang
diakibatkan trauma tumpul pada dinding dada.
Trauma tajam lebih jarang mengakibatkan fraktur iga, oleh
karena luas permukaan trauma yang sempit, sehingga gaya
trauma dapat melalui sela iga.
Etiologi:
Trauma tumpul penyebab tersering, biasanya akibat kecelakaan
lalulintas, kecelakaan pada pejalan kaki, jatuh dari ketinggian, atau
jatuh pada dasar yang keras atau akibat perkelahian.
Trauma tembus luka tusuk dan luka tembak.

Klasifikasi

Menurut jumlah costa yang mengalami fraktur dapat dibedakan

Fraktur simple
Fraktur multiple

Menurut jumlah fraktur pada setiap costa dapat


Fraktur segmental
Fraktur simple
Fraktur comminutif

Menurut letak fraktur dibedakan :


Superior (costa 1-3 )
Median (costa 4-9)
Inferior (costa 10-12 )

Menurut posisi :

Anterior
Lateral
Posterior

Ada beberapa kasus timbul fraktur campuran, seperti pada kasus Flail chest,
dimana pada keadaan ini terdapat fraktur segmental, 2 costa atau lebih yang
letaknya berurutan

Patofisiologi
Costae tulang pipih dan memiliki sifat yang lentur. Pada anak costae
masih sangat lentur sehingga sangat jarang dijumpai fraktur iga pada anak.
Costae merupakan salah satu komponen pembentuk rongga dada yang
berfungsi memberikan perlindungan terhadap organ di dalamnya dan
yang lebih penting adalah mempertahankan fungsi ventilasi paru.
Fraktur costae dapat terjadi akibat trauma yang datangnya dari arah
depan, samping, ataupun dari belakang.
Costae, tulang yang sangat dekat dengan kulit dan tidak banyak memiliki
pelindung akibatnya trauma dada trauma costae.
Iga 1 3 paling jarang fraktur, karena dilindungi oleh struktur tulang
dari bahu, tulang skapula, humerus, klavikula, dan seluruh otot-otot. Jika
fraktur kemungkinan cedera pembuluh darah besar.
Iga 4 9 paling sering fraktur, kemungkinan cedera jantung dan paru
Iga 10 12 agak jarang fraktur, karena costae 10-12 ini mobil, Jika
fraktur kemungkinan cedera organ intraabdomen.

Trauma kompresi anteroposterior dari


rongga thorax
Lengkung iga akan lebih melengkung lagi
ke arah lateral
Krepitasi

Fraktur iga
Terjadi pendorongan ujung-ujung
fraktur masuk ke rongga pleura
Kerusakan struktur &
jaringan

Stimulasi saraf

Pneumothoraks

Nyeri dada
Gerakan dinding dada
terhambat/asimetris

Gangguan ventilasi
Sesak nafas

Hemotoraks

X-Rays
Rontgen thorax anteroposterior dan lateral dapat
membantu diagnosis hematothoraks dan
pneumothoraks ataupun contusio pulmonum,
mengetahui jenis dan letak fraktur costae.
Foto oblique membantu diagnosis fraktur multiple
pada orang dewasa. Pemeriksaan Rontgen toraks
harus dilakukan untuk menyingkirkan cedera toraks
lain, namun tidak perlu untuk identifikasi fraktur iga

Gejala dan Tanda

Nyeri tekan, crepitus dan deformitas dinding dada


Adanya gerakan paradoksal
Tandatanda insuffisiensi pernafasan : Cyanosis, tachypnea,
Kadang akan tampak ketakutan dan cemas, karena saat bernafas
bertambah nyeri.
periksa paru dan jantung,dengan memperhatikan adanya tanda-tanda
pergeseran trakea, pemeriksaan ECG, saturasi oksigen
periksa abdomen terutama pada fraktur costa bagian inferior :diafragma,
hati, limpa, ginjal dan usus
periksa tulang rangka: vertebrae, sternum, clavicula, fungsi anggota gerak
nilai status neurologis: plexus bracialis, intercostalis, subclavia.

Tatalaksana
1. Fraktur 1-2 iga tanpa adanya penyulit/kelainan lain :
konservatif (analgetika)rawat jalan
2. Fraktur >2 iga : waspadai kelainan lain (edema paru,
hematotoraks, pneumotoraks)
3. Penatalaksanaan pada fraktur iga multipel tanpa penyulit
pneumotoraks, hematotoraks, atau kerusakan organ
intratoraks lain, adalah: analgetik yang adekuat (oral/ iv /
intercostal block), bronchial toilet, cek Lab berkala : Hb, Ht,
Leko, Tromb, dan analisa gas darah, cek Foto Ro berkala

Fraktur costa posterior

OBSERVASI

medicalexhibits.com

ILMU PENYAKIT MATA

31. Glaukoma
Glaukoma adalah penyakit saraf mata yang
berhubungan dengan peningkatan tekanan bola
mata (TIO Normal : 10-24mmHg)
Ditandai : meningkatnya tekanan intraokuler
yang disertai oleh pencekungan diskus optikus
dan pengecilan lapangan pandang
TIO tidak harus selalu tinggi, Tetapi TIO relatif
tinggi untuk individu tersebut.
Vaughn DG, Oftalmologi Umum, ed.14

Jenis Glaukoma :
Primer yaitu timbul pada mata yang mempunyai bakat bawaan, biasanya
bilateral dan diturunkan.
Sekunder yang merupakan penyulit penyakit mata lainnya (ada penyebabnya)
biasanya Unilateral

Mekanisme : Gangguan aliran keluar humor akueus akibat kelainan sitem


drainase sudut kamera anterior (sudut terbuka) atau gangguan akses
humor akueus ke sistem drainase (sudut tertutup)
Pemeriksaan :
Tonometri : mengukur tekanan Intraokuler (TIO)
Penilaian diskus optikus : pembesaran cekungan diskus optikus dan
pemucatan diskus
Lapang pandang
Gonioskopi : menilai sudut kamera anterior sudut terbuka atau sudut
tertutup

Pengobatan : menurunkan TIO obat-obatan, terapi bedah atau laser

Jenis Glaukoma
Causes

Etiology

Clinical

Acute Glaucoma

Pupilllary block

Acute onset of ocular pain, nausea, headache, vomitting, blurred vision,


haloes (+), palpable increased of IOP(>21 mm Hg), conjunctival injection,
corneal epithelial edema, mid-dilated nonreactive pupil, elderly, suffer
from hyperopia, and have no history of glaucoma

Open-angle
(chronic) glaucoma

Unknown

History of eye pain or redness, Multicolored halos, Headache, IOP steadily


increase, Gonioscopy Open anterior chamber angles, Progressive visual
field loss

Congenital
glaucoma

abnormal eye
development,
congenital infection

present at birth, epiphora, photophobia, and blepharospasm, buphtalmus


(>12 mm)

Secondary
glaucoma

Drugs (corticosteroids)
Eye diseases (uveitis,
cataract)
Systemic diseases
Trauma

Sign and symptoms like the primary one. Loss of vision

Absolute glaucoma

end stage of all types of glaucoma, no vision, absence of pupillary light


reflex and pupillary response, stony appearance. Severe eye pain. The
treatment destructive procedure like cyclocryoapplication,
cyclophotocoagulation,injection of 100% alcohol

http://emedicine.medscape.com/article/1206147

Glaucoma Diagnostic Criterias


Diagnostic criteria
1. Intraocular tension
2. Optic nerve head changes
3. Visual field defects
4. Angle of ant. Chamber

Diagnostic tests
Tonometry
Ophthalmoscopy
Perimetry
Gonioscopy

TONOMETRY
Digital tonometry
Indentation tonometry
Shiotz tonometer

Applanation tonometry
Goldmann tonometer
Perkins tonometer
Pneumatic tonometer
Pulse air tonometer
Tono-pen

OPTIC NERVE HEAD CHANGES


Early Changes
Vertically oval cup
Asymmetry of C:D ratio
between two eyes(>0.2)
Enlarged C:D Ratio (>0.5)
Pallor Areas

Advanced Changes:
Notch/Thinning of
neuroretinal rim
Pallor of neuroretinal rim
Superficial disc haemorrhages
Cupping of disc
Bayonetting Sign
Lamellar Dot Sign
Glaucomatous optic atrophy:
Neural disc is destroyed
Optic nerve head appears
white and deeply excavated

Increased C:D Ratio

Cupping of discs and Bayonetting sign


Thinning of neuroretinal rim

Bayonetting sign

GONIOSCOPY
Open Angle
Closed Angle

VISUAL FIELD
Traquair, in his classic thesis, described Visual field as
A hill of island in a sea of darkness. It is the part of
environment that is visible to the steadily fixing eye.
The island represents the perceived field of vision, and
the sea of darkness is the surrounding areas that are
not seen.
In the light-adapted state, the island of vision has a
steep central peak that corresponds to the fovea, the
area of greatest retinal sensitivity.
Deviation of the hill from normal is visual field defect.
Illustrated Automated Static Perimetry , Detection of glaucoma field
defects with Humphrey Filed Analyser , Dr G.R Reddy

THE NORMAL VISUAL FIELD

32. DAKRIOSISTITIS
Partial or complete obstruction of the nasolacrimal duct
with inflammation due to infection (Staphylococcus aureus
or Streptococcus B-hemolyticus), tumor, foreign bodies,
after trauma or due to granulomatous diseases.
Clinical features : epiphora, acute, unilateral, painful
inflammation of lacrimal sac, pus from lacrimal punctum,
fever, general malaise, pain radiates to forehead and teeth
Diagnosis : Anel test(+) :not dacryocystitis, probably skin
abcess; (-) or regurgitation (+) : dacryocystitis. Swab and
culture
Treatment : Systemic and topical antibiotic, irrigation of
lacrimal sac, Dacryocystorhinotomy

DAKRIOSISTITIS ANATOMI DUKTUS LAKRIMALIS

Uji Anel
Evaluasi Sistem Lakrimal-Drainase Lakrimal :
Uji Anel : Dengan melakukan uji anel, dapat diketahui apakah fungsi dari
bagian eksresi baik atau tidak.
Cara melakukan uji anel :
Lebarkan pungtum lakrimal dengan dilator pungtum
Isi spuit dengan larutan garam fisiologis. Gunakan jarum lurus atau bengkok
tetapi tidak tajam
Masukkan jarum ke dalam pungtum lakrimal dan suntikkan cairan melalui
pungtum lakrimal ke dalam saluran eksresi , ke rongga hidung

Uji anel (+): terasa asin di tenggorok atau ada cairan yang masuk hidung.
Uji anel (-) jika tidak terasa asinberarti ada kelainan di dalam saluran
eksresi.
Jika cairan keluar dari pungtum lakrimal superior, berarti ada obstruksi di
duktus nasolakrimalis. Jika cairan keluar lagi melalui pungtum lakrimal
inferior berarti obstruksi terdapat di ujung nasal kanalikuli lakrimal
inferior, maka coba lakukan uji anel pungtum lakrimal superior.

Atlas of ophthalmology; Pedoman pelayanan medis RS Cicendo

33. KONJUNGTIVITIS NEONATAL


Bacterial conjunctivitis contracted by newborns during delivery
Cause:
Neisseria gonorrhoeae ( inkubasi 2-7 hari)
Chlamydia trachomatis (inkubasi 5-14 hari)
S. Aureus (inkubasi nongonokokal dan nonklamidial 5-14 hari)
Mucopurulent discharge
Chlamydial less inflamed eyelid swelling, chemosis, and
pseudomembrane formation
Complication in chlamydia infection pneumonia (10-20% kasus)
Blindness in chlamydia rare and much slower to manifes than
gonococcal caused by eyelid scarring and pannus
Terapi konj. Klamidial oral erythromycin (50 mg/kg/d divided qid)
for 14 days (because of the significant risk for life-threatening
pneumonia)
http://emedicine.medscape.com/article

Neisseria gonorrhoeae

Chlamydia trachomatis

5 to 12 days after birth


Mucopurulent discharge
less inflamed eyelid swelling,
chemosis, and
pseudomembrane formation
Complication pneumonitis
(range 2 weeks 19 weeks after
delivery)
Blindness rare and much
slower to menifest caused by
eyelid scarring and pannus

manifests in the first five days of life


marked bilateral purulent
discharge
local inflammation palpebral
edema
Complication diffuse epithelial
edema and ulceration, perforation of
the cornea and endophthalmitis
Gram-negative intracellular diplococci
on Gram stain
Culture Thayer-Martin agar

Microscopic Findings
Etiology
Chemical
Chlamydia

Bacteria
Virus

Findings
PMNs, few lymphocytes
PMNs, lymphocytes, plasma cells, Leber
cells, intracytoplasmic basophilic
inclusions
PMNs, bacteria
Lymphocytes, plasma cells,
multinucleated giant cells, intranuclear
eosinophilic inclusion

http://80.36.73.149/almacen/medicina/oftalmologia/enciclopedias/duane/pages/v4/v4c006.html

KONJUNGTIVITIS GO
Neisseria gonorrhoeae Gram-negative intracellular
diplococci on Gram stain
Masa inkubasi: 1-7 hari
manifests in the first five days of life
Marked bilateral purulent discharge
local inflammation palpebral edema
Complication diffuse epithelial edema and ulceration,
perforation of the cornea and endophthalmitis kebutaan
Culture Thayer-Martin agar
Topical erythromycin ointment and IV or IM thirdgeneration cephalosporin

Non-Infectious Nasolacrimal duct obstruction may cause sticky eyes.


Corneal abrasion following trauma at delivery.
Glaucoma (watch for corneal clouding or proptosis, is associated with portwine stains in the ophthalmic
region).
Foreign body.
Infectious
# Uncommon,
potential for serious
consequences - severe
keratitis and
endophthalmitis.
Requires early
recognition and
treatment. Needs
blood and CSF culture.
Consider concomitant
chlamydial infection if
poor response to
cephalosporin.
Parents require
investigation and
screening.
+ Risk of rapid
progression from
purulent discharge to
denuding of corneal
epithelium, and
perforation of cornea.
The anterior chamber
can fill with fibrinous
exudate, iris can
adhere to cornea and
later blood vessel
invasion. The late
ophthalmic
complications can be
followed by
bacteraemia and
septic foci.
* Most common
pathogen, 20-50% of
exposed infants will
develop chlamydia
conjunctivitis, 10-20%
will develop
pneumonia. If relapse
occurs repeat course
of erythromycin for
further 14 days.
Parents require
treatment.

Organism
Staphylococcus aureus
Streptococcus
pneumoniae,
Haemophilus spp,
Enterococci

Age of Onset
2-5 days

Clinical Features

Therapy

Unilateral, crusted purulent


discharge

Topical soframycin drops qds for 5


days

Ceftriaxone 50mg/kg IV/IM as a


single dose (maximum 125mg),
Saline irrigations hourly until exudate
resolves.

Neisseria gonorrhoeae #
Infants who are positive
need to be evaluated for
disseminated infections

3 days to 3
weeks

Bilateral, hyperaemic,
chemosis, copious thick
white discharge

Pseudomonas
aeruginosa +

5-18 days

Oedema and erthyema of lid, IV anti-pseudomonal antibiotics.


purulent discharge.
Topical Gentamicin.

Chlamydia trachomatis *

5-14 days

Unilateral or bilateral, mild


conjunctivitis, copious
purulent discharge.

PO erythromycin 50mg/kg/day x 14d


(qid)Alternative, 5 days Azithromycin
syrup
(= pertussis dosing 10mg/kg/day and
5mg/kg day 2-5)

Conjunctivitis with vesicles


elsewhere
Need ophthalmology review
within 24 hours.

Acyclovir 30mg/kg/day IV tid x 1421d.

Herpes simplex

Topical acyclovir 3% 5 times daily.

http://www.adhb.govt.nz/newborn/guidelines/infection/neonatalconjunctivitis.htm

34. Uveitis
Classification
Uveitis by location:

Anterior Uveitis
Intermediate Uveitis
Posterior Uveitis
Panuveitis

Uveitis by pathology
Granulomatous

Pathogen induced
Less responsive to topical
treatment

Uveitis by time course:


Acute

< 6 weeks duration


May be recurrent

Chronic

> 6 weeks duration


White eye
Mild signs of inflammation
Mild or no symptoms

Location

Duration

Type

Anterior Uveitis

Acute

Granulomatous

Intermediate Uveitis

Chronic

Non-granulomatous

Nongranulomatous

No pathogen
Responsive to topical
treatment

Posterior Uveitis
Panuveitis

Type
Anterior
uveitis

Primary Site of
Inflammation

Manifestation

Anterior chamber

Iritis/iridocyclitis/anterior
cyclitis

Intermediate
uveitis

Vitreous

Posterior
uveitis

Choroid

Panuveitis

Anterior chamber, vitreous,


and/or choroid

Vitreitis/hyalitis/pars
planitis
Choroiditis/chorioretinitis/
retinochoroiditis/retinitis/n
euroretinitis
All of the above

Non-Infectious Uveitis
ANTERIOR UVEITIS:
Acute nongranulomatous
Iritis and Iridocyclitis
HLA-B27 diseases: Ankylosing
spondylitis, Reactive arthritis
syndrome, Inflammatory bowel
disease, Psoriatic arthritis

Glaucomatocyclitic crisis
Lens associated uveitiis
Postoperative inflammation:
IOL associated

Chronic Anterior Uveitis


Juvenile rheumatoid
arthritis
Fuchs heterochromic
iridocyclitis
Idiopathic iridocyclitis

INTERMEDIATE UVEITIS:
Pars Planitis
Multiple Sclerosis
POSTERIOR UVEITIS:
Collagen Vascular Disease: Systemic
Lupus Erythematosus, Polyarteritis
Nodosa and Microscopic
polyangiitis, Wegeners
Granulomatosis
White Dot Syndromes
PANUVEITIS
Sarcoidosis
Sympathetic Ophthalmia
Vogt-Koyanagi-Harada Syndrome
Behcet Disease

Infectious Uveitis

Viral - Herpetic, CMV


Fungal
Protozoal - Toxoplasmosis
Helminthic - Toxocara
Bacterial - Syphilis, Lyme, Tuberculosis, other

UVEITIS
Radang uvea:
mengenai bagian
depan atau
selaput pelangi
(iris) iritis
mengenai bagian
tengah (badan
silier) siklitis
mengenai
selaput hitam
bagian belakang
mata koroiditis
Biasanya iritis
disertai dengan
siklitis = uveitis
anterior/iridosikl
itis

Anterior Uveitis
Pathophysiology

Inflammatory response causes breakdown of the blood-aqueous barrier


Plasma protein -> Flare
Cells are WBC
Fibrin derives from clotting factors
Deposition of cells and proteins

KP
Hypopyon
Visual Acuity reduced due to:

Corneal oedema
Aqueous flare
Aqueous cells
Cystoid macular oedema (CME)

Anterior Uveitis
Pathophysiology
Deposition of calcium salts in cornea
Band keratopathy
Only after recurrent attacks

Inflammation causes iris tissue to become sticky


PAS -> reduced aqueous outflow -> IOP+
Posterior synechiae -> pupil block -> IOP+++

Deposition of Macrophages
Mutton Fat KP
Iris nodules

Anterior Uveitis
Pathophysiology
Circumlimbal injection
Due to common blood supply with uveal vessels

Lack of normal oxygen supply to iris

Vessel growth factors released


Leaky new vessel growth on iris
Rubeosis Iridis
Extension of vessels into AC angle
ACG

UVEITIS
Bersifat idiopatik, ataupun
terkait penyakit autoimun,
atau terkait penyakit sistemik
Biasanya berjalan 6-8 minggu
Dapat kambuh dan atau
menjadi menahun
Gejala akut:

mata sakit
Merah
Fotofobia
penglihatan turun ringan
mata berair

Tanda :
pupil kecil akibat
rangsangan proses radang
pada otot sfingter pupil
edema iris
Terdapat flare atau efek
tindal di dalam bilik mata
depan
Bila sangat akut dapat
terlihat hifema atau
hipopion
Presipitat halus pada
kornea

Radang iris dan badan siliar menyebabkan rusaknya Blood Aqueous Barrier sehingga terjadi
peningkatan protein, fibrin, dan sel-sel radang dalam humor akuos. Pada pemeriksaan biomikroskop
(slit lamp) hal ini tampak sebagai flare, yaitu partikel-partikel kecil dengan gerak Brown (efek tyndall).
Ilmu Penyakit Mata Ed 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2006

Anterior Uveitis Signs - Slit lamp


biomicroscopy

Circumlimbal injection
AC flare and cells
Keratic precipitates (KP)
Pupil miosis
Hypopyon
Band Keratopathy

Fibrin in the AC
Cells in the anterior
vitreous
Peripheral Anterior
Synechiae (PAS)
Posterior synechiae
Rubeosis iridis
Mutton fat KP
(granulomatous disease)
Iris nodules
(granulomatous disease)

Anterior Uveitis
Management
Goals of management
Preserve visual acuity
Relieve ocular pain
Eliminate ocular inflammation
Identify the source of inflammation
Prevent formation of synechiae
Control the IOP

Anterior Uveitis
Management
Treatment regimen
Topical Corticosteroid therapy

Reduce inflammation
Reduce exudate leakage
Increase cell wall stability
Inhibit lysozyme release by granulocytes
Inhibit circulation of lymphocytes

Cycloplegia
Relieve pain
Prevent posterior synechiae
Stabilize the blood-aqueous barrier

Systemic steroid therapy


Systemic NSAID therapy (aspirin, ibuprofen)

Anterior Uveitis
Clinical Pearls
Four major complications exist

Cataract
Secondary glaucoma
Band keratopathy
Cystoid macular oedema

Easy to spot acute by signs & symptoms


Check patients with associated systemic conditions for chronic
condition, which may be asymptomatic
Acute condition is most commonly caused by blunt trauma.
Recurrence in such cases is rare
Any three recurrent acute episodes, with no other explanations,
indicates a systemic cause

35. Trauma Mekanik Bola Mata


Cedera langsung berupa ruda
paksa yang mengenai jaringan
mata.
Beratnya kerusakan jaringan
bergantung dari jenis trauma
serta jaringan yang terkena
Gejala : penurunan tajam
penglihatan; tanda-tanda
trauma pada bola mata
Komplikasi :

Endoftalmitis
Uveitis
Perdarahan vitreous
Hifema
Retinal detachment
Glaukoma
Oftalmia simpatetik

Panduan Tatalaksana Klinik RSCM Kirana, 2012

Pemeriksaan Rutin :
Visus : dgn kartu Snellen/chart
projector + pinhole
TIO : dgn tonometer
aplanasi/schiotz/palpasi
Slit lamp : utk melihat segmen
anterior
USG : utk melihat segmen
posterior (jika memungkinkan)
Ro orbita : jika curiga fraktur
dinding orbita/benda asing

Tatalaksana :
Bergantung pada berat trauma,
mulai dari hanya pemberian
antibiotik sistemik dan atau
topikal, perban tekan, hingga
operasi repair

HIFEMA
Definisi:
Perdarahan pada bilik mata
depan
Tampak seperti warna
merah atau genangan
darah pada dasar iris atau
pada kornea

Halangan pandang parsial


/ komplet
Etiologi: pembedahan
intraokular, trauma
tumpul, trauma laserasi

Tujuan terapi:
Mencegah rebleeding
(biasanya dalam 5 hari
pertama)
Mencegah noda darah
pada kornea
Mencegah atrofi saraf
optik

Komplikasi:

Perdarahan ulang
Sinekiae anterior perifer
Atrofi saraf optik
Glaukoma

Tatalaksana:

Kenali kasus hifema dengan risiko tinggi


bed rest & Elevasi kepala malam hari
Eye patch & eye shield
Mengendalikan peningkatan TIO
Pembedahan bila tak ada perbaikan / terdapat
peningkatan TIO
Hindari Aspirin, antiplatelet, NSAID, warfarin
Steroid topikal (dexamethasone 0.1% atau prednisolone
acetate 1% 4x/hari)
Pertimbangkan siklopegia (atropine 1% 2x/hari, tetapi
masih kontroversial).

Hyphema Complication:
Red cell glaucoma
Hyphema (usually traumatic) leads to blockage of the
trabecular mesh- work by red blood cells.
In 10% cases a rebleed may occur, usually at around 5
days.
Treatment
Treatment of hyphema
IOP: topical (e.g., B-blocker, A -agonist, carbonic anhydrase
inhibitor) or systemic (e.g., acetazolamide) agents as
required but avoid topical and systemic carbonic
anyhdrase inhibitors in sickle cell disease/trait.
If medical treatment fails, consider AC paracentesis AC
washout.
2

NEUROLOGI

36. Neuropati Diabetikum


Neuropati diabetikum merupakan komplikasi yang paling sering
pada diabetes mellitus (DM), sekitar 50% dari pasien dengan DM
tipe 1 dan tipe 2.
Neuropati diabetika perifer meliputi gejala atau tanda- tanda
disfungsi pada saraf perifer pada penderita diabetes mellitus
setelah penyebablainnya disingkirkan.
Neuropati perifer simetrik yang mengenai systemsaraf motorik
serta sensorik ekstremitas bawah yang disebabkan oleh
jejas sel Schwann, degenerasi myelin, dan kerusakan akson saraf.
Neuropati otonom dapat menimbulkan impotensi seksual yang
bersifat fokal (mononeuropati diabetik) paling besar
kemungkinannya disebabkan olehmakroangiopati

Epidemiologi
Sebuah studi besar di Amerika memperkirakan bahwa 47%
pasiendengan diabetes terkena neuropati perifer.
Sekitar 7,5% pada pasienyang awal didiagnosis diabetes telah
terkena neuropati.
Lebih dari setengah kasus adalah polineuropati distal simetris.
Sindrom focal seperti carpaltunnel syndrome (14-30%),
radiculopati/ plexopati, dan neuropati cranial sisanya.
Mononeuropati adalah kondisi medis yang ditandai dengan
kehilangan fungsi, seperti pergerakan atau sensasi yang disebabkan
karena kerusakan saraf tunggal atau sekelompok saraf yang
mempersarafi daerah tersebut, mis: CTS.
Polineuropati adalah kelainan fungsi yang berkesinambungan pada
beberapa saraf perifer di seluruh tubuh.

Faktor Resiko

Hiperglikemia
Kerusakan pembuluh darah
Dislipidemia
Hipertensi
Penyakit kardiovaskular
Gaya hidup

238

Klasifikasi Diabetic Neuropathy


Peripheral simetric distal polyneuropathy (sensoric >>
motoric)
Autonomic neuropathy
Asymetric Mononeuropathy/ Mononeuropathy
(motoric >> sensoric)

240

241

Symmetric Polyneuropathy
Bentuk paling lazim dari diabetic neuropathy
Mengenai ekstremitas bawah distal dan tangan
(stocking-glove sensory loss)
Gejala/tanda
Nyeri, rasa terbakar pada feet, leg, hand, arm
Numbness
Tingling
Paresthesia

242

Autonomic neuropathy
Mengenai saraf otonom yang mengendalikan organ internal
Genitouri
kontrol kandung kemih (43-87% DM1, 25% DM-2))
erectile dysfunction (35-90%)
Gastrointestinal
Kesulitan menelan (50%)
Konstipasi
GET turun (40%)
Diare
Kardiovaskular (50%)
HR cepat-tidak teratur
Hipertensi orthosatik
- Disfungsi sudomotor - kulit kaki kering
- Gagal merespons - hipoglikemia
243

Mononeuropathy
Peripheral mononeuropathy
Saraf tunggal rusak karena kompresi atau iskemia
Terjadi pada wrist (carpal tunnel syndrome), elbow, atau
foot (unilateral foot drop)
Gejala
numbness
edema
nyeri
prickling
244

Mononeuropathy, lanjut.
Cranial mononeuropathy
Mempengaruhi saraf III, IV dan VI yang menghubungkan
otak dan kontrol penglihatan, pergerakan mata,
pendengaran, dan rasa
Gejala dan tanda-tanda
Nyeri unilateral dekat mata yang kena
Paralisis otot mata
Penglihatan ganda

245

246

247

Tatalaksana
Strategi pengelolaan pasien DM dengan
keluhan neuropati diabetik dibagimenjadi tiga
bagian:
1. Diagnosis neuropati diabetik sedini mungkin.
2. Kendali glukosa darah
3. Perawatan kaki sebaik- baiknya. Strategi
perawatan kaki dilakukan setelah pengendalian
glukosa darah.

37. Cedera Pleksus Brakhialis


Pleksus brakhialis
dibentuk oleh radiks C5
T1
Cedera pleksus
Brakhialis dapat dibagi
menjadi cedera pleksus
bagian atas dan bawah

Upper Brachial Plexus Injury Erbs Palsy


Appearance: drooping, wasted shoulder; pronated and
extended limb hangs limply (waiters tip palsy)
Loss of innervation to abductors, flexors, & lateral
rotators of
shoulder and flexors & supinators of
elbow
Loss of sensation to lateral aspect of UE
More common; better prognosis

Bayne & Costas


(1990)

Netter 1997

Lower Brachial Plexus Injury Klumpkes Palsy


Much rarer than UBPIs and Erbs Palsy
Loss of C8 & T1 results in major motor deficits in the
muscles
working the hand: claw hand
Loss of sensation to medial aspect of UE
Sometimes ptosis or full Horners syndrome
Much rarer (1%) but poorer prognosis

claw
hand
2006 Moore & Dalley COA

Netter 1997

Diagnosis

Karakteristik

Brown-sequard syndrome

Akibat hemilesi medulla spinalis. Manifestasi klinisnya


adalah :
1. Kelumpuhan LMN ipsilateral setinggi lesi
2. Defisit sensorik ipsilateral setinggi lesi
3. Kelumpuhan UMN ipsilateral dibawah tingkat lesi
4. Defisit proprioseptif ( getaran, posisi, gerakan )
ipsilateral dibawah lesi
5. Deficit protopatik ( nyeri, suhu, perabaan )
kontralateral dibawah lesi.

Cervical Root syndrome

Cervical Root Syndrome adalah suatu keadaan yang


disebabkan oleh iritasi atau penekanan akar saraf
servikal oleh penonjolan discus invertebralis. Gejalanya
adalah nyeri leher yang menyebar ke bahu, lengan atas
atau lengan bawah, parasthesia, dan kelemahan atau
spasme otot.

Carpal tunnel syndrome

Carpal tunnel syndrome atau CTS (sindrom


terowongan/lorong karpal) adalah kondisi yang
memengaruhi tangan dan jari hingga mengalami sensasi
rasa kesemutan, mati rasa, atau nyeri. Saraf yang
mengalami kelainan adlah nervus medianus.

38. Golongan Suksinimida


Siksinimida berbeda konstitusinya secara kimia dengan definilhidantoin
hanya dengan penggantian gugus NH pada posisi 1 dengan CH2 berbeda
dengan fenitoin, suksinimida hanya berkhasiat pada berbagai epilepsi tipe
petit mal sedangkan gejala grand mal akan lebih diperkuat dengan
pemberian obat ini.
Salah satu contohnya adalah Etoksuksimida
Mekanisme kerja : Etoksuksimida mengurangi perambatan aktivitas listrik
abnormal didalam otak. Ethosuximide bekerja dengan cara menghambat
aliran kalsium ambang-rendah ('arus T'). Merupakan pilihan pertama pada
serangan absence.
Efek samping : Berupa sedasi, antara lain rasa mengantuk dan termenung,
sakit kepala, anoreksia, dan mual, juga bertahap. Leukopemia jarang
terjadi, namun gambaran darah juga fungsi hati dan urin perlu dikontrol
secara teratur.
Dosis : 1-2 dd 250-500 mg sebagai tablet e.c. ( enterik coated ) berhubung
rasanya tidak enak dan bersifat merangsang.

Ganiswarna, S. 1981. Farmakologi dan Terapi, edisi 2 Fakultas Kedokteran UI. Jakarta.

Golongan Hidantoin

Hidantoin merupakan senyawa laktam dari asam ureidoasetat ( 2,4-diokso-imidazolidin ). Bersifat sedatif
lemah, malahan kadang-kadang bersifat stimulan. Salah satu contohnya adalah Fenitoin.
Fenitoin, mula-mula disebut difenil hidantoin, efektif dalam menekan serangan-serangan tonik-klonik dan
parsial dan merupakan suatu obat pilihan untuk terapi pertama terutama dalam mengobati orang dewasa.
Mekanisme kerja : Fenitoin menstabilkan membran sel saraf terhadap depolarisasi dengan cara
mengurangi masuknya ion-ion natrium dalam neuron pada keadaan istirahat atau selama depolarisasi.
Fenitoin juga menekan dan mengurangi influks ion kalsium selama depolarisasi dan menekan
perangsangan sel saraf yang berulang-ulang.
Efek samping : Depresi saraf pusat terjadi terutama dalam serebelum dan sistem vestibular, menyebabkan
nistagmus dan ataksia. Masalah gastrointestinal ( mual, muntah ) sering terjadi. Hiperpelasia gusi bisa
menyebabkan gusi tumbuh dan melampaui gigi terutama pada anak-anak. Perubahan tingkah laku seperti
kebingungan, halusinasi dan mengantuk sering terjadi.
Interaksi obat : Inhibisi metabolisme mikrosomal fenitoin dalam hati disebabkan oleh kloramfenikol,
dikomarol, simetidin, sulfinamid, dan isoniazid. Penurunan konsentrasi fenitoin dalam plasma disebabkan
oleh karbamazepin yang memperkuat fenitoin. Fenitoin menginduksi sistem P-450 yang menyebabkan
peningkatan metabolisme anti epilepsi lain, anti koagulan, kontrasepsi oral : kuinidin, doksisiklin,
siklosporin, mexiletina, metadon, dan levodopa.
Dosis : Permulaan sehari 2-5 mg/kgBB dibagi dalam 2 dosis dan dosis pemeliharaan 2 dd 100-300 mg pada
waktu makan dan minum banyak air. Pada anak-anak 2-16 tahun, permulaan sehari 4-7 mg/BB dibagi
dalam 2 dosis dan dosis pemeliharaan 4-11 mg/BB. Bila dikombinasi dengan fenobarbital dosisnya dapat
diperkecil. Dosis harian rata-rata 200-300 mg.

Ganiswarna, S. 1981. Farmakologi dan Terapi, edisi 2 Fakultas Kedokteran UI. Jakarta.

Golongan Barbiturat

Memiliki sifat anti konvulsi yang baik terlepas dari sifat hipnotiknya. Digunakan
terutama senyawa kerja panjang untuk memberikan jaminan yang lebih kontinu
terhadap serangan grand mal.
Salah Satu Contohnya adalah Fenobarbital
Mekanisme kerja : Fenobarbital memiliki aktivitas anti epilepsi, membatasi
penyebaran lepasan kejang didalam otak dan meningkatkan ambang serangan
epilepsi. Mekanisme kerjanya tidak diketahui tetapi mungkin melibatkan potensiasi
efek inhibisi dari neuron-neuron yang diperantarai oleh GABA ( asam gama
aminobutirat). Untuk mengatasi efek hipnotiknya obat ini dapat dikombinasi
dengan kofein.
Efek samping : Sedasi seperti pusing, mengantuk, ataksia. Nistagmus, vertigo.
Agitasi dan kebingungan terjadi pada dosis tinggi.
Interaksi obat : Bersifat menginduksi enzim, dan antara lain
mempercepat penguraian kalsiferol ( Vitamin D2 ) dengan kemungkinan timbulnya
rachitas ( penyakit inggris pada anak kecil ). Penggunaannya bersama dengan
valproat harus hati-hati, karena kadar darah fenobarbital dapat ditingkatkan.
Dosis : 1-2 dd 30-125 mg, maksimal 400 mg (dalam 2 kali), pada anak-anak 2-12
bulan 4 mg/kgBB sehari, pada status epileptikus, dewasa 200-300 mg.

Karbamazepin

Karbamazepin merupakan turunan dibenzazepin mempunyai sistem cincin yang sama


seperti timoleptika opipramol dan hanya berbeda dari senyawa ini pada subsitituen N.
Disaat ini senyawa ini merupakan salah satu anti epileptika yang terpenting dan paling
banyak digunakan.
Mekanisme kerja : Karbamazepin mengurangi perambatan impuls abnormal didalam
otak dengan cara menghambat kanal natrium, sehingga menghambat timbulnya
potensial kerja yang berulang-ulang didalam fokus epilepsi.
Efek samping : Pemberian kronik karbamazepin dapat menyebabkan stupor, koma dan
depresi pernapasan bersamaan dengan rasa pusing, vertigo, ataksia dan pandangan
kabur. Obat ini bersifat merangsang lambung dan bisa timbul mual dan muntah. Anemia
aplastik, agranulositosis dan trombositopenia telah terjadi pada beberapa penderita.
Interaksi obat : Metabolisme karbamazepin dalam hati dihambat oleh beberapa obat.
Gejala-gejala toksik bisa timbul bila dosis tidak disesuaikan.
Dosis : Permulaan sehari 200-400 mg dibagi dalam beberapa dosis yang berangsurangsur dapat dinaikkan sampai 800-1200 mg dibagi dalam 2-4 dosis. Pada manula
setengah dari sosis ini. Dosis awal bagi anak-anak sampai usia 1 tahun 100 mg sehari,
1-5 tahun 100-200 mg sehari. 5-10 tahun 200-300 mg sehari dengan dosis
pemeliharaan 10-20 mg/kgBB sehari dibagi dalam beberapa dosis.

Golongan Benzodiazepin
Dari senyawa benzodiazepin yang digunakan sebagai anti epileptika
terutama diazepam, dan nitrazepam yang mempunyai kerja mencegah
dan menghilangkan kejang. Snyawa-senyawa ini terutama digunakan pada
epilepsi petit-mal pada bayi dan anak-anak. Senyawa benzodiazepin
terutama berkahasiat untuk absence piknoileptik, serangan mioklonik
astatik dan serangan propulsif.
Mekanisme Kerja : menekan serangan yang berasal dari fokus
epileptogenik dan efektif pada serangan absence dan mioklonik tetapi
terjadi juga toleransi.
Efek samping : Benzodiazepin, yakni mengantuk, termenung-menung,
pusing, dan kelemahan otot.
Dosis : 2-4 dd 2-10 mg dan i.v. 5-10 dengan perlahan-lahan (1-2 menit),
bila perlu diulang setelah 30 menit; pada anak-anak 2-5 mg. Pada status
epilepticus dewasa dan anak diatas usia 5 tahun 10 mg, Pada anak-anak
dibawah 5 tahun 5 mg sekali. Pada konvulsi karena demam: anak-anak
0,25-0,5 mg/kg berat badan bayi dan anak-anak dibawah 5 tahun 5 mg
setelah 5 tahun 10 mg.

Asam Valproat

Asam valproat ( asam dipropil asetat ) terutama amat berkhasiat pada absence piknoleptik,
disamping itu senyawa ini digunakan juga pada serangan grand mal dan mioklonik.
Mekanisme kerja : Asam valproat mengurangi perambatan lepasan listrik abnormal di dalam
otak. Asam valproat bisa memperkuat keja GABA pada sinaps-sinaps inhibisi. Mekanisme
kerjanya diperkirakan berdasarkan hambatan enzim yang menguraikan GABA ( g-aminobutyric acid ) sehingga kadar neurotransmiter ini diotak meningkat.
Efek samping : Keluhan saluran cerna, rambut rontok, gangguan pembekuan darah dan
terutama kerusakan hati.
Interaksi obat : Asam valproat menghambat metabolisme fenobarbital sehingga
meningkatkan kadar barbiturat tersebut dalam sirkulasi. Karena dapat meningkatkan kadar
fenobarbital dan fenitoin di dalam darah, dosisnya harus dikurangi sampai 30-50 % guna
menghindari sedasi berlebih sebaliknya khasiatnya juga dIperkuat oleh anti epileptika
lainnya.
Dosis : Oral semula 3-4 dd 100-150 mg d.c. Dari garam natriumnya tablet ( tablet e.c ) untuk
kemudian berangsur-angsur dalam waktu 2 minggu dinaikkan sampai 2-3 dd 300-500 mg,
maksimal 3 gram sehari. Anak-anak 20-30 mg/kg sehari. Asam bebasnya memberikan kadar
plasma yang 15 % lebih tinggi (lebih kurang sama dengan persentase natrium dalam Navalproat ) tetapi lain daripada itu tidak lebih menguntungkan.

Ganiswarna, S. 1981. Farmakologi dan Terapi, edisi 2 Fakultas Kedokteran UI. Jakarta.

39. Tekanan Intra Kranial


Normal : 4-14 mmHg.
Tekanan intrakranial
diatas 20mmHg :
kerusakan otak.
Doktrin Monro-Kellie.
Isi kavitas kranial : otak,
darah, & cairan
cerebrospinal.

Doktrin Monro-Kellie

Kompliance Otak : Tekanan Intrakranial ~ Volume


Intrakranial.

TTIK kerusakan otak.


Lesi massa fokal pergeseran garis tengah dan
herniasi otak.
4 macam herniasi otak :
1. herniasi subfalcine
2. herniasi uncal
3. herniasi transtentorial
4. herniasi tonsillar

Tekanan perfusi otak : pertukaran oksigen dan nutrisi


dari pembuluh darah ke jaringan otak.
Tekanan Perfusi Otak =
Tekanan Arteri Rata-Rata Tekanan Intrakranial.

Tekanan intrakranial > 30 mmHg


Tekanan arteri rata-rata < 90 mmHg
Tekanan perfusi otak < 50 mmHg

Morbiditas dari penderita.

Herniasi Otak

Types of brain herniation[3]


1) Uncal 2) Central 3)
Cingulate 4) Transcalvarial
5) Upward 6) Tonsillar

PATOFISIOLOGI CEDERA OTAK


Cedera otak primer : iskemia & berbagai perubahan
fisiologis & metabolik akibat langsung trauma.
Cedera otak sekunder dapat terjadi sesaat setelah
trauma terjadi atau sebagai akibat dari cedera otak
primernya tersebut.

Cedera otak primer

Insult sekunder

Cedera otak sekunder.


Mencegah terjadinya cedera otak sekunder.

Pengelolaan peningkatan TIK


Tindakan umum

Elevasi kepala 30

Meningkatkan venous return CBV menurun TIK turun

Hiperventilasi ringan

Menyebabkan PCO2 vasokonstriksi CBV TIK

Pertahankan tekanan perfusi otak


(CPP) > 70 mmHg
(CPP=MAP-ICP)

Pertahankan normovolemia

Tidak perlu dilakukan dehidrasi, karena menyebabkan CPP


hipoperfusi iskemia

Pertahankan normothermia

Suhu dipertahankan 36-37C


Terapi hipothermia (ruangan berAC)
Setiap kenaikan suhu tubuh 1C meningkatkan kebutuhan cairan
10%
PERDOSSI. Trauma Kapitis. 2006

Pencegahan kejang
Diphenil hidantoin loading dose 13-18mg/kgBB
diikuti dosis pemeliharaan 6-8mg/kgBB/hari

Diuretika
Menurunkan produksi CSS
Tidak efektif dalam jangka lama

Kortikosteroid
Tidak dianjurkan untuk cedera otak
Bermanfaat untuk anti edema pada peningkatan TIK
non trauma, misal tumor/abses otak
PERDOSSI. Trauma Kapitis. 2006

Manitol
Osmotik diuresis, bekerja intravaskuler pada BBB
yang utuh
Efek
Dehidrasi (osmotik diuresis)
Rheologis
Antioksidan (free radical scavenger)

Dosis 0,25-1g/kgBB/pemberian, diberikan 46x/hari


Diberikan atas indikasi:
Ada tanda klinis terjadinya herniasi
Klinis & radiologis TIK meningkat

Terapi primer peningkatan TIK


Evakuasi/eksisi massa (hematoma)
Kraniotomi
Memperbaiki BBB
Mengurangi penekanan CBF iskemia

Drainase CSS
Dengan ventrikulostomi
100-200 cc/hari

40. Koma
Koma merupakan penurunan kesadaran yang paling
rendah atau keadaan unarousable unresponsiveness,
yaitu keadaan dimana dengan semua rangsangan,
penderita tidak dapat dibangunkan.
Dalam bidang neurology, koma merupakan kegawat
daruratan medik yang paling sering
ditemukan/dijumpai.
Koma bukanlah suatu penyakit, melainkan suatu
keadaan klinik tertentu yang disebabkan oleh berbagai
faktor serta membutuhkan tindakan penanganan yang
cepat dan tepat, dimana saja dan kapan saja.
Rifat Naghmi, BSo, MD, Coma: quick evaluation and management

Penyebab dapat disingkat SEMENITE


S ; Sirkulasi gangguan pembuluh darah otak
(perdarahan maupun infark)
E ; Ensefalitis akibat infeksi baik oleh bakteri, virus,
jamur, dll
M ; Metabolik akibat gangguan metabolic yang
menekan/mengganggu kinerja otak. (gangguan hepar,
uremia, hipoglikemia, koma diabetikum, dsb).
E ; Elektrolit gangguan keseimbangan elektrolit
(seperti kalium, natrium).
N ; Neoplasma tumor baik primer ataupun sekunder
yang menyebabkan penekanan intracranial. Biasanya
dengan gejala TIK meningkat (papiledema, bradikardi,
muntah). I ; Intoksikasi keracunan.
T ; Trauma kecelakaan.
E ; Epilepsi.
Rifat Naghmi, BSo, MD, Coma: quick evaluation and management

Gambaran Klinis Berdasarkan Letak Lesi

Rifat Naghmi, BSo, MD, Coma: quick evaluation and management

Pola Pernapasan
Biots breathing (aka cluster
respiration)
A respiratory pattern
characterized by periods or
clusters of rapid respirations
of near equal depth or VT
followed by regular periods of
apnea.
Causes:
Biots breathing can be caused by
damage to the medulla oblongata by
stroke (CVA) or trauma,
pressure on the medulla due to uncal
or tentorial herniation
can also be caused by prolonged
opioid abuse.

Cheyne-stokes
Tidal volume waxes and
wanes cyclically with
recurrent periods of
apnea.
Causes include CNS
dysfunction, cardiac
failure with low cardiac
output, sleep, hypoxia,
profound hypocapnia

Apneustic
End-inspiration pause before
expiration.
Reflection of Pontine damage
Central Neurogenic
Exhibits very deep and rapid
respirations
Usually seen with lesions of
the midbrain and upper pons
Respirations are generally
regular and the PaCO2
decrease due to the
hyperventilation

Cluster Breathing
Groups of irregular breathing
with periods of apnea that
occurs at irregular intervals
reflection of lesions in the low
pons or upper medulla
Kussmaul
Deep, rapid respiration with no endexpiratory pause.
Causes profound hypocapnia
Seen in profound metabolic acidosis,
i.e. diabetic ketoacidosis

http://www.georgiahealth.edu/itss/edtoolbo
x/7370/pulmonary/abnormbreathing.swf

PSIKIATRI

41. Gangguan Tidur


Gangguan tidur adalah gangguan utama dari pola
tidur normal yang mengakibatkan tekanan dan
menggangu fungsi di siang hari.
Gangguan tidur non organik mencakup :
Disomnia: kondisi psikogenik primer dengan ciri
gangguan pada jumlah, kualitas atau waktu tidur
insomnia, hipersomnia, gangguan jadwal tidur
Parasomnia: peristiwa episodik abnormal selama
tidur. Pada masa kanak ada hubungan dengan
perkembagan anak, pada orang dewasa berupa
somnabulisme, night terror, nightmare

F51.0 Insomnia non organik


Menurut DSM-IV, insomnia didefinisikan sebagai keluhan
dalam hal kesulitan untuk memulai atau mempertahankan
tidur atau tidur non-restoratif yang berlangsung setidaknya
satu bulan dan menyebabkan gangguan signifikan atau
gangguan dalam fungsi individu.
The International Classification of Diseases mendefinisikan
insomnia sebagai kesulitan memulai atau mempertahankan
tidur yang terjadi minimal 3 malam/minggu selama
minimal satu bulan.
Menurut The International Classification of Sleep Disorders,
insomnia adalah kesulitan tidur yang terjadi hampir setiap
malam, disertai rasa tidak nyaman setelah episode tidur
tersebut.

Kriteria Diagnostik Insomnia NonOrganik berdasarkan PPDGJ


1. Keluhan adanya kesulitan masuk tidur atau
mempertahankan tidur, atau kualitas tidur yang buruk
2. Gangguan minimal terjadi 3 kali dalam seminggu
selama minimal 1 bulan.
3. Adanya preokupasi dengan tidak bisa tidur dan
kekhawatiran yang berlebihan terhadap akibatnya
pada malam hari dan sepanjang siang hari
4. Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan atau kualitas
tidur menyebabkan penderitaan yang cukup berat
dan mempengaruhi fungsi dalam sosial dan pekerjaan

F51.1 Hipersomnia non organik


Hipersomnia adalah bertambahnya waktu tidur
sampai 25% dari pola tidur yang biasa.
Gejala :
a) Rasa kantuk siang hari yang berlebihan atau
adanya serangan tidur dan atau transisi yang
memanjak dari saat mulai bangun hingga sadar
penuh.
b) Terjadi setiap hari, lebih dari 1 bulan atau
berulang dengan kurun waktu lebih pendek.
c) Tidak ada kondisi neurologis atau medis yang
menunjukan gejala rasa kantuk pada siang hari.

F51.2 Gangguan jadwal tidur non


organik
Gangguan ini timbul akibat ketidakcocokan antara
ritme sirkadian normal dan siklus tidur-terjaga
normal yang dituntut oleh lingkungan.
Ditandai dengan :
Pola tidur-jaga dari individu tidak seirama dengan pola
tidur-jaga yang normal bagi masyarakat setempat.
Insomnia pada waktu orang-orang tidur dan
hipersomnia pada waktu kebanyakan orang jaga, yang
dialami hampir setiap hari untuk sedikitnya 1 bulan
atau berulang dengan kurun waktu yang lebih pendek.
Adanya gejala gangguan jiwa lain seperti cemas,
depresi.

F51.3 Somnambulisme (Sleepwalking)


Somnambulisme adalah gangguan tidur sambil berjalan,
yang merupakan gangguan perilaku yang terjadi dalam
tahap mimpi dari tidur.
Penyebab
a) Kurang tidur (sleep deprivation)
b) Jadwal tidur yang tidak teratur/kacau (chaotic sleep
schedules)
c) Demam (fever)
d) Stres atau tekanan (stress)
e) Kekurangan (deficiency) magnesium
f) Intoksikasi obat atau zat kimia

F51.4 Teror tidur (night terrors)

Night terror adalah suatu kondisi terbangun dari sepertiga awal tidur malam,
biasanya diikuti dengan teriakan dan tampakan gejala cemas yang berlebihan,
berlangsung selama 1 10 menit.
Gejala
Dalam episode yang khas, penderita akan terduduk di tempat tidur dengan
kecemasan yang sangat dan tampakan agitasi serta gerakan motorik perseverativ
(seperti menarik selimut), ekspresi ketakutan, pupil dilatasi, keringat yang
berlebihan, merinding, nafas dan detak jantung yang cepat.
Kriteria DSM-IV untuk Night Terror :
Episode berulang dari bangun secara tiba-tiba dari tidur, biasanya berlangsung pada sepertiga
awal tidur dan dimulai dengan teriakan yang panik.
Ketakutan yang sangat dan tanda-tanda sistem autonomik yang meningkat seperti takikardi,
bernafas dengan cepat, dan keringat dalam setiap episode.
Tidak responsif secara relatif terhadap dukungan orang sekitar untuk menenangkan disaat
episode.
Tidak dijumpainya mimpi yang dapat diingat dan timbulnya amnesia terhadap episode.
Episode-episode serangan dapat menyebabkan distress tang tampak secara klinis dan ketidak
seimbangan dalam lingkungan, pekerjaan dan dalam aspek lain.
Gangguan tidak disebabkan oleh efek psikologis suatu zat secara langsung (seperti
penyalahgunaan zat atau untuk medikasi) ataupun dalam suatu kondisi medis umum.

F51.5 Mimpi buruk (nightmare)


Gangguan ini terdiri dari terjaga dari tidur yang berulang
dengan ingatan terperinci yang hidup akan mimpi
menakutkan.
Gambaran klinis berikut adalah esensial untuk diagnosis
secara pasti terhadap mimpi buruk, yaitu:
Terbangun dari tidur malam atau tidur siang berkaitan dengan
mimpi yang menakutkan yang dapat diingat kembali secara
terperinci dan jelas (vivid),
Setelah terbangun dari mimpi yang menakutkan, individu segera
sadar dan mampu mengenali lingkungannya.
Pengalaman mimpi itu dan akibat dari tidur yang terganggu,
menyebabkan penderitaan yang cukup berat bagi individu.

Psikoterapi dan pengobatan perilaku merupakan metode


pengobatan paling efektif.

42. Terapi Depresi


Sasarannya adalah perubahan biologis/efek
berupa mood pasien.
Karena mood pasien dipengaruhi kadar
serotonin dan nor-epinefrin di otak, maka
tujuan pengobatan depresi adalah modulasi
serotonin dan norepinefrin otak dengan agenagen yang sesuai.
Dapat berupa terapi farmakologis dan non
farmakologis.

Terapi Non Farmakologis


PSIKOTERAPI
interpersonal therapy: berfokus pada konteks sosial
depresi dan hub pasien dengan orang lain
cognitive - behavioral therapy : berfokus pada mengoreksi
pikiran negatif, perasaan bersalah yang tidak rasional dan
rasa pesimis pasien

ELECTROCONVULSIVE THERAPY (ECT): aman dan


efektif, namun masih kontroversial
diindikasikan pada :
depresi yang berat diperlukan respons
yang cepat, respon terhadap obat jelek

Terapi Farmakologis

Dosis Obat Antidepresan

43. Gangguan Eliminasi


Secara umum, terdapat 2 jenis gangguan
eliminasi, yaitu:
Enuresis
Enkopresis

PPM IDAI

Enuresis
Definisi:
BAK involunter atau BAK yang tidak disengaja.
anak yang mengompol minimal 2 kali dalam seminggu dalam periode
paling sedikit 3 bulan pada usia 5 tahun atau lebih yang tidak disebabkan
oleh efek obat-obatan

Klasifikasi:
Enuresis primer: anak yang tidak pernah kontinensia selama > 1 tahun.
anak yang belum pernah berhenti mengompol sejak masa bayi

Enuresis sekunder: anak yang mencapai kontinensia selama > 1 thn dan
kemudian mengompol kembali.
anak berusia 5 tahun yang sebelumnya pernah bebas masa mengompol minimal
12 bulan

Nocturnal: episode terjadinya hanya pada malam hari.

Pada umumnya anak berhenti mengompol usia 2,5 tahun. Pada usia 3
tahun 75% anak bebas mengompol di malam dan siang hari. Pada usia
10 tahun masih ada 7% anak mengompol, sedangkan pada usia 15
tahun hanya 1% anak yang mengompol

Kriteria Diagnosis Enuresis (DSM-IV TR)


BAK yang berulang di atas tempat tidur atau pakaian (baik itu yang
involunter atau yang disengaja).
Perilaku ini secara klinis bermakna yang dimanifestasikan oleh
frekuensinya 2x/mgg untuk minimal 3 bulan berturut2, atau terdpt
distress atau hendaya yang secara klinis bermakna dalam fungsi
sosial, akademik (atau pekerjaan) atau area penting lainnya.
Usia kronologis minimal 5 tahun (atau sesuai dengan tahap
perkembangan).
Perilaku ini tidak disebabkan oleh efek fisiologis langsung dari zat
(seperti diuretik) atau suatu GMO (seperti DM, spina bifida, atau
gangguan kejang).
Jenis spesifik: Hanya nocturnal/Hanya diurnal/Nocturnal dan
diurnal.

Diagnosis Banding Enuresis


Infeksi saluran kemih (ISK) banyak pd .
Malformasi anatomis atau lesi obstruksi.
Enuresis yang disengaja berkaitan dengan
masalah psikologis.
Komorbid dengan ADHD.
Enuresis memberi dampak negatif pada citra
diri anak memiliki perasaan yang lebih
negatif tentang gangguan ini.

Tatalaksana Enuresis
Metode yang efektif:
terapi perilaku
Farmakologi (dengan Imipramin)

Psikoterapi: berguna untuk memperbaiki


beberapa masalah perilaku yang terkait
terutama enuresis sekunder biasanya
terjadi setelah kehilangan ortu (meninggal
atau perceraian)

Enkopresis
Definisi:
Pengeluaran feses yang tidak sesuai secara
berulang, biasanya involunter.
Terjadi minimal 1x/bulan, min. 3 bulan.
Usia mental atau usia kronologis 4 tahun.
Eksklusi zat atau kondisi medis sebagai penyebab.

Kriteria Diagnosis Enkopresis (DSM-IV-TR)


Pengeluaran feses pada tempat yang tidak sesuai
yang terjadi berulang (misal pada pakaian atau
lantai) baik itu involunter atau disengaja.
Minimal terjadi 1x/bulan untuk min.3 bulan.
Usia kronologis min.4 tahun (atau sesuai dengan
tahap perkembangan).
Perilaku ini secara eksklusif tidak disebabkan oleh
efek fisiologis langsung dari suatu zat (seperti
laksansia) atau suatu kondisi medis umum,
kecuali melalui suatu mekanisme yang
melibatkan konstipasi.

Diagnosis Banding Enkopresis

Stenosis rektum atau anus


Abnormalitas endokrin
Smooth muscle disease.
Penyakit Hirschsprung.
Anak RM atau PDD.
Anak dengan gangguan pengendalian impuls
atau ADHD tipe inatensi.
Anak yang mengalami stres berat.

44. Classification Psychoactive Drugs


Depressant
Zat yang mensupresi, menghambat dan menurunkan aktivitas CNS.
Yang termasuk dalam golongan ini adalah sedatives/hypnotics, opioids,
and neuroleptics.
Medical uses sedation, sleep induction, hypnosis, and general
anaesthesia.
Contoh:
Alcohol dalam dosis rendah, anaesthetics, sleeping pills, and opioid drugs such
as heroin, morphine, and methadone.
Hipnotik (obat tidur), sedatif (penenang) benzodiazepin

Effects:
Relief of tension, mental stress and anxiety
Warmth, contentment, relaxed detachment from emotional as well as physical
distress
Positive feelings of calmness, relaxation and well being in anxious individual
Relief from pain

Stimulants
Zat yang mengaktivkan dan meningkatkan aktivitas CNS
psychostimulants
Memiliki berbagai efek fisiologis
Perubahan denyut jantung, dilatasi pupil, peningkatan TD, banyak berkeringat,
mual dan muntah.
Menginduksi kewaspadaan, agitasi, dan mempengaruhi penilaian

Penyalahgunaan kronik akan menyebabkan perubahan kepribadian dan


perilaku seperti lebih impulsif, agresif, iritabilitas, dan mudah curiga
Contoh:
Amphetamines, cocaine, caffeine, nicotine, and synthetic appetite
suppressants.

Effects:
feelings of physical and mental well being, exhilaration, euphoria, elevation of
mood
increased alertness, energy and motor activity
postponement of hunger and fatigue

Hallucinogens (psyche delics)


Zat yang merubah dan mempengaruhi persepsi, pikiran, perasaan, dan
orientasi waktu dan tempat.
Menginduksi delusi, halusinasi, dan paranoia.
Adverse effects sering terjadi
Halusinasi yang menakutkan dan tidak menyenangkan (bad trips)
Post-hallucinogen perception disorder or flashbacks
Delusional disorder persepsi bahwa halusinasi yang dialami nyata, setelah
gejala mereda
mood disorder (anxiety, depression, or mania).

Effects:
Perubahan mood, perasaan, dan pikiranmind expansion
Meningkatkan kepekaan sensorismore vivid sense of sight, smell, taste and
hearing
dissociation of body and mind

Contoh:

Mescaline (the hallucinogenic substance of the peyote cactus)


Ketamine
LSD
psilocybin (the hallucinogenic substance of the psilocybe mushroom)
phencyclidine (PCP)
marijuana and hashish

45. Gangguan Kepribadian

ILMU PENYAKIT KULIT DAN


KELAMIN

46. Seabathers Eruption


Ruam yang muncul saat berenang di laut akibat tersengat larva makhluk
laut

Etiologi
Ubur-ubur, anemon laut

Gejala dan Tanda


Ruam (muncul beberapa menit-12 jam setelah berenang di laut)
Vesikel berbagai ukuran atau ruam dengan tepi meninggi, teraba keras/lunak,
sangat merah dan gatal
Dapat timbul mual, muntah, sakit kepala, malaise, konjungtivitis, urethritis, demam

Terapi

Hindari menggosok kulit larva yang tertinggal di kulit dapat menyengat


Segera ganti pakaian larva dapat tinggal di pakaian renang
Mandi dengan air bersih gosok dengan sabun kuat-kuat
gunakan salep steroid, atau minum antihistamin
Gunakan ice pack untuk mengurangi nyeri
Kortikosteroid topikal
http://www.webmd.com/skin-problems-and-treatments/tc/seabathers-eruption-topic-overview?page=2

Swimmers Itch
Disebut juga dermatitis serkarial ruam kulit
akibat reaksi alergi yang dicetuskan oleh larva
parasit schistosoma
Gejala dan Tanda
Rasa terbakar, gatal, bintil merah, vesikel kemerahan
dalam waktu beberapa menit-beberapa hari setelah
berenang di air tawar bertahan selama satu
minggu

Terapi
Krim steroid, kompres dingin, pasta baking soda,
losion anti gatal
http://www.cdc.gov/parasites/swimmersitch/faqs.html

47. Filariasis
Penyakit yang disebabkan cacing Filariidae, dibagi menjadi 3 berdasarkan
habitat cacing dewasa di hospes:
Kutaneus: Loa loa, Onchocerca volvulus, Mansonella streptocerca
Limfatik: Wuchereria bancroftii, Brugia malayi, Brugia timori
Kavitas tubuh: Mansonella perstans, Mansonella ozzardi

Fase gejala filariasis limfatik:


Mikrofilaremia asimtomatik
Adenolimfangitis akut: limfadenopati yang nyeri, limfangitis retrograde,
demam, tropical pulmonary eosinophilia (batuk, mengi, anoreksia, malaise,
sesak)
Limfedema ireversibel kronik

Grading limfedema (WHO, 1992):


Grade 1 - Pitting edema reversible with limb elevation
Grade 2 - Nonpitting edema irreversible with limb elevation
Grade 3 - Severe swelling with sclerosis and skin changes

Wayangankar S. Filariasis. http://emedicine.medscape.com/article/217776-overview


WHO. World Health Organization global programme to eliminate lymphatic filariasis. WHO Press; 2010.

Panjang: lebar kepala sama


Wuchereria bancroftii Inti teratur
Tidak terdapat inti di ekor

Brugia malayi

Brugia timori

Perbandingan panjang:lebar
kepala 2:1
Inti tidak teratur
Inti di ekor 2-5 buah

Perbandingan panjang:lebar
kepala 3:1
Inti tidak teratur
Inti di ekor 5-8 buah

Filariasis: Pemeriksaan & Tatalaksana


Pemeriksaan penunjang:

Deteksi mikrofilaria di darah


Deteksi mikrofilaria di kiluria dan cairan hidrokel
Antibodi filaria, eosinofilia
Biopsi KGB

Pengobatan:
Tirah baring, elevasi tungkai, kompres
Antihelmintik (ivermectin, DEC, albendazole)
DEC 6 mg/kgBB/hari selama 12 hari untuk terapi perorangan, dosis tunggal/tahun
selama 4-6 tahun untuk terapi massal
Ivermectin 150-200 mcg/kg single dose
Albendazol 400 mg dosis tunggal (harus dikombinasikan dengan ivermectin atau DEC)

Suportif
Pengobatan massal dengan albendazole + ivermectin (untuk endemik
Onchocerca volvulus) atau albendazole + DEC (untuk nonendemik Onchocerca
volvulus) guna mencegah transmisi
Bedah (untuk kasus hidrokel/elefantiasis skrotal)
Diet rendah lemak dalam kasus kiluria
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs102/en/

48. Kandidiasis
Kutis
53

49. Terapi Infeksi Cacing: Albendazole


Terapi cacing gelang, cacing cambuk, cacing kremi, cacing tambang

Cara kerja : membunuh cacing, menghancurkan telur dan larva cacing


dengan jalan menghambat pengambilan glukosa oleh cacing sehingga
produksi ATP (adenosine tri phosphate) sebagai sumber energi untuk
mempertahankan hidup cacing berkurang kematian cacing
Kontra Indikasi:
Ibu hamil (teratogenik), menyusui
Gangguan fungsi hati & ginjal, anak < 2 tahun
Dosis sediaan : 400 mg per tablet
Dewasa dan anak diatas 2 tahun : 400 mg sehari sebagai dosis tunggal
Tablet dapat dikunyah, ditelan atau digerus lalu dicampur dengan
makanan
Efek samping : perasaan kurang nyaman pada saluran cerna dan sakit
kepala, mulut terasa kering

Terapi Infeksi Cacing: Pirantel Pamoat


Indikasi: cacing tambang, cacing gelang, dan cacing kremi
Cara kerja: Melumpuhkan cacing mudah keluar bersama tinja
Dapat diminum dalam keadaan perut kosong, atau diminum
bersama makanan, susu, atau jus
Dosis: Tunggal, sekali minum 10 mg/kg BB, tidak boleh
melebihi 1 gram
Jika berat badan 50 kg, dosisnya menjadi 500 mg
Bentuk sediaannya adalah 125 mg per tablet, 250 mg per
tablet, dan 250 mg per ml sirup

Terapi Infeksi Cacing: Prazikuantel


Indikasi: Cacing pita, kista hidatid
Cara Kerja: Meningkatkan permeabilitas membrane sel
trematoda dan cestoda terhadap kalsium, yang
menyebabkan paralisis, pelepasan, dan kematian (Katzung,
2010)

Dosis: Dosis tunggal prazikuantel sebesar 5 10 mg/ kg


Efek samping: Nyeri kepala, pusing, mengantuk dan
kelelahan, efek lainnya meliputi mual, muntah, nyeri
abdomen, feses yang lembek, pruritus, urtikaria, artalgia,
myalgia, dan demam berderajat rendah

50. Pioderma: Erisipelas


Penyakit infeksi akut oleh
Streptococcus beta hemolyticus,
menyerang epidermis dan dermis
Gejala: eritema berwarna merah
cerah, berbatas tegas. Predileksi:
tungkai bawah
Gejala konstitusi: demam, malaise
Terdapat keterlibatan limfatik dan
juga limfadenopati, jika sering residif
dapat menjadi elefantiasis
Pengobatan: elevasi tungkai,
antibiotik sistemik, diuretik (bila
edema)
Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.

Pioderma: Selulitis
Disebabkan oleh
staphylococcus atau
streptococcus, atau
infeksi jamur (jarang)
Gejala dan tanda
Infiltrat difus kemerahan
dengan batas tidak tegas

Terapi
Flucloxacillin, eritromisin,
clarithromycin

Pioderma: Selulitis vs Erisipelas


Penyakit

Keterangan

Erisipelas

-Infeksi akut oleh Streptococcus


-Eritema merah cerah, batas tegas, pinggirnya meninggi, tanda
inflamasi (+)
-Predileksi: tungkai bawah
-Lab: leukositosis
-Jika sering residif dapat terjadi elefantiasis

Selulitis

-Infeksi akut terutama oleh Staphylococcus


-Infiltrat difus (batas tidak tegas) di subkutan, tanda inflamasi (+)
-Predileksi: tungkai bawah
-Lab: leukositosis

Djuanda A., Hamzah M., Aisah S., 2008, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 5. Jakarta: FKUI Hal 58-61

ILMU KESEHATAN ANAK

51. Intoleransi Laktosa


Laktosa diproduksi oleh kelenjar payudara dengan kadar
yang bervariasi diantara mamalia.
Susu sapi mengandung 4% laktosa, sedangkan ASI
mengandung 7% laktosa.
Laktosa adalah disakarida yang terdiri dari komponen
glukosa dan galaktosa.
Manusia normal tidak dapat menyerap laktosa, oleh karena
itu laktosa harus dipecah dulu menjadi komponenkomponennya.
Hidrolisis laktosa memerlukan enzim laktase yang terdapat
di brush border sel epitel usus halus.
Tidak terdapatnya atau berkurangnya aktivitas laktase akan
menyebabkan terjadinya malabsorpsi laktosa.

Laktosa
Laktosa merupakan golongan gula disakarida
yang tersusun dari galaktosa dan glukosa

Defisiensi Laktase
Defisiensi laktase dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu defisiensi
laktase primer dan defisiensi laktase sekunder
Terdapat 3 bentuk defisiensi laktase primer, yaitu
Developmental lactase deficiency
Terdapat pada bayi prematur dengan usia kehamilan 26-32 minggu. Kelainan
ini terjadi karena aktivitas laktase belum optimal.
Congenital lactase deficiency
Kelainan dasarnya adalah tidak terdapatnya enzim laktase pada brush border
epitel usus halus. Kelainan ini jarang ditemukan dan menetap seumur hidup
Genetical lactase deficiency
Kelainan ini timbul secara perlahan-lahan sejak anak berusia 2-5 tahun hingga
dewasa. Kelainan ini umumnya terjadi pada ras yang tidak mengkonsumsi susu
secara rutin dan diturunkan secara autosomal resesif

Defisiensi laktase sekunder


Akibat penyakit gastrointestinal yang menyebabkan kerusakan mukosa usus
halus, seperti infeksi saluran cerna.
umumnya bersifat sementara dan aktivitas laktase akan normal kembali
setelah penyakit dasarnya disembuhkan.

Patogenesis
Laktosa tidak dapat diabsorpsi sebagai disakarida,
tetapi harus dihidrolisis menjadi glukosa dan galaktosa
dengan bantuan enzim laktase di usus halus.
Bila aktivitas laktase turun atau tidak ada laktosa
tidak diabsorpsi dan mencapai usus bagian distal atau
kolon tekanan osmotik meningkat menarik air
dan elektrolit sehingga akan memperbesar volume di
dalam lumen usus diare osmotik
Keadaan ini akan merangsang peristaltik usus halus
sehingga waktu singgah dipercepat dan mengganggu
penyerapan.

Patogenesis
Di kolon, laktosa akan difermentasi oleh bakteri kolon
menghasilkan asam laktat dan asam lemak rantai pendek lainnya
seperti asam asetat, asam butirat, dan asam propionat
Fenomena ini menerangkan feses yang cair, asam, berbusa dan
kemerahan pada kulit di sekitar dubur (eritema natum).
Fermentasi laktosa oleh bakteri di kolon menghasilkan beberapa
gas seperti hidrogen, metan dan karbondioksida distensi
abdomen, nyeri perut, dan flatus.
Selanjutnya, 80% dari gas tersebut akan dikeluarkan melalui rektum
dan sisanya akan berdifusi ke dalam sistem portal dan dikeluarkan
melalui sistem pernapasan.
Feses sering mengapung karena kandungan gas yg tinggi dan juga
berbau busuk.

Gejala Klinis
Intoleransi laktosa dapat bersifat
asimtomatis atau
memperlihatkan berbagai gejala
klinis
Berat atau ringan gejala klinis
yang diperlihatkan tergantung
dari aktivitas laktase di dalam
usus halus, jumlah laktosa, cara
mengkonsumsi laktosa, waktu
pengosongan lambung, waktu
singgah usus, flora kolon, dan
sensitifitas kolon terhadap
asidifikasi.

Gejala klinis yang diperlihatkan


dapat berupa rasa mual, muntah,
sakit perut, kembung dan sering
flatus.
Rasa mual dan muntah
merupakan gejala yang paling
sering ditemukan
Pada uji toleransi laktosa rasa
penuh di perut dan mual timbul
dalam waktu 30 menit,
sedangkan nyeri perut, flatus dan
diare timbul dalam waktu 1-2 jam
setelah mengkonsumsi larutan
laktosa

Pemeriksaan Penunjang
Analisis tinja
Metode klini test
Kromatografi tinja
pH tinja tinja bersifat asam

Uji toleransi laktosa


Pemeriksaan radiologis lactosa-barium meal
Ekskresi galaktos pada urin
Uji hidrogen napas metode pilihan pada intoleransi
laktosa karena bersifat noninvasif, memiliki sensitivitas
dan efektivitas yang tinggi
Biopsi usus dan pengukuran aktivitas laktase

52. Campylobacter Jejuni Infection


Gram-negative spiral shaped
bacteria
The incubation period is 1-7 days
Transmission
fecal-oral,
person-to-person sexual contact
unpasteurized raw milk and
poultry ingestion
waterborne (ie, through
contaminated water supplies)

Most human infections result from


the consumption of improperly
cooked or contaminated foodstuffs.

Campylobacter Jejuni Infection


Manifestation

Treatment

Rehidration
Antibiotics indication:

The symptoms and severity of the


gastroenteritis produced can vary.
A brief prodrome of fever, headache,
and myalgias lasting up to 24 hours is
followed by crampy abdominal pain,
fever as high as 40C, and watery,
frequently bloody, bowel movements
per day.
Vomitting can occur
Fever (90% of patients) may be low or
high grade and can persist for a week.
Tenesmus (25% of patients)
In some cases, acute abdominal pain is
the only symptom, with pain typically in
the right lower quadrant.

High fever
Bloody diarrhea
Excessive bowel movements (ie, >8
stools per day)
Worsening symptoms
Failure of symptoms to improve
Persistence of symptoms for longer
than 1 week

PregnancyMedication:
DOC: Azithromycin or erythromycin
Ciprofloxacin and tetracycline are
alternatives but should be avoided in
young children.
Clindamycin is another therapeutic
alternative.

53. Etiologi Diare pada Anak


Viruses (75-90% of cases)
Rotavirus
Penyebab tersering gastroenteritis virus pada
anak
Outbreak pada musim gugur-dingin
Puncak insidens: usia 6-24 bulan
Durasi 5-7 hari

Norovirus (Norwalk Virus)

Most common cause of Gastroenteritis in adults


Winter outbreaks
Affects all ages
Typical duration 2-5 days
Common outbreaks via Foodborne Illness in
Nursing Home, dormitories, cruise ships

Astrovirus
Winter outbreaks
Affects all ages
Typical duration 3 days

Adenovirus
Summer outbreaks
Typicall affects children
Typical duration 6-9 days

Bacteria (10-20% of cases, especially


inflammatory Diarrhea)
Escherichia coli
Accounts for 10% of Bacterial
diarrhea
Fever in 20% of cases
Bloody EIEC, EHEC, EAEC
Nonbloody ETEC, EPEC

Campylobacter jejuni
Fever in 80% of cases
Bloody Diarrhea with Fecal
Leukocytes

Salmonella
Bloody Diarrhea

Shigella
High fever (and Febrile Seizures)
Bloody Diarrhea

Yersinia enterocolitica
Clostridium difficile

Diarrheagenic Escherichia coli


E. coli species are members of the Enterobacteriaceae family.
Characteristic: oxidase-positive, facultatively anaerobic, gram-negative
bacilli. Fermentation of lactose(+).
Five groups of diarrheagenic E. coli
(1) enterotoxigenic E. coli (ETEC) produce secretory enterotoxins;
(2) enteroinvasive E. coli (EIEC) are capable of invading intestinal epithelial
cells and causing a dysenteric illness;
(3) enteropathogenic E. coli (EPEC) are defined by their pattern of adherence
to tissue culture cells and their ability to produce a characteristic alteration in
the microvillus membrane, the attaching and effacing lesion;
(4) shigatoxin-producing E. coli (STEC), also known as enterohemorrhagic E.
coli (EHEC), Shiga-like toxin-producing E. coli (SLT-EC) and verotoxin-producing
E. coli (VTEC) produce Shiga toxins (Stx) and cause diarrhea, hemorrhagic
colitis, and hemolytic-uremic syndrome (HUS);
(5) enteroaggregative E. coli (EAggEC) adhere in vitro to HEp-2 cells in a
characteristic aggregative manner and are associated with persistent diarrhea
in children
Behrman: Nelson Textbook of Pediatrics, 17th ed

Diarrheagenic Escherichia coli


Noninflammatory Diarrheas
Enterotoxigenic E. coli (ETEC)

Rapid onset of watery, nonbloody diarrhea of considerable


volume, accompanied by little or no fever. Diarrhea and
other symptoms cease spontaneously after 24 to 72 hours

Inflammatory Diarrheas
Enteroinvasive E. coli (EIEC)

Present most commonly as watery diarrhea. Minority of


patients experience a dysentery syndrome, with fever,
systemic toxicity, crampy abdominal pain, tenesmus, and
urgency

Enteropathogenic E. coli (EPEC)

Profuse watery, nonbloody diarrhea with mucus, vomiting


and low-grade fever. Chronic diarrhea and malnutrition can
occur. Usually at < 2 y.o, esp <6 mo (at weaning period)

Shigatoxin-producing E. coli
(STEC)/EHEC

Symptoms ranging from mild diarrhea to severe


hemorrhagic colitis and hemolytic-uremic syndrome in all
ages

Enteroaggregative E. coli (EAggEC)

Watery, mucoid, secretory diarrhea with low-grade fever


and little or no vomiting. One third of patients have grossly
bloody stools. The watery diarrhea usually persist 14 days

Diarrheagenic Escherichia coli

54. Ikterus yang Berhubungan dengan ASI


Breast Feeding Jaundice (BFJ)

Disebabkan oleh kurangnya asupan


ASI sehingga sirkulasi enterohepatik
meningkat (pada hari ke-2 atau 3 saat
ASI belum banyak)
Timbul pada hari ke-2 atau ke-3
Penyebab: asupan ASI kurang
cairan & kalori kurang penurunan
frekuensi gerakan usus ekskresi
bilirubin menurun

Breast Milk Jaundice (BMJ)


Berhubungan dengan pemberian
ASI dari ibu tertentu dan
bergantung pada kemampuan
bayi mengkonjugasi bilirubin
indirek
Kadar bilirubin meningkat pada
hari 4-7
Dapat berlangsung 3-12 minggu
tanpa penyabab ikterus lainnya
Penyebab: 3 hipotesis
Inhibisi glukuronil transferase oleh
hasil metabolisme progesteron
yang ada dalam ASI
Inhibisi glukuronil transferase oleh
asam lemak bebas
Peningkatan sirkulasi enterohepatik

Indikator

BFJ

BMJ

Awitan

Usia 2-5 hari

Usia 5-10 hari

Lama

10 hari

>30 hari

Volume ASI

asupan ASI kurang cairan &


kalori kurang penurunan
frekuensi gerakan usus
ekskresi bilirubin menurun

Tidak tergantung dari volume ASI

BAB

Tertunda atau jarang

Normal

Kadar Bilirubin

Tertinggi 15 mg/dl

Bisa mencapai >20 mg/dl

Pengobatan

Tidak ada, sangat jarang


fototerapi Teruskan ASI
disertai monitor dan evaluasi
pemberian ASI

Fototerapi, Hentikan ASI jika kadar


bilirubin > 16 mg/dl selama lebih
dari 24 jam (untuk diagnostik)
AAP merekomendasikan
pemberian ASI terus menerus dan
tidak menghentikan
Gartner & Auerbach
merekomendasikan penghentian
ASI pada sebagian kasus

For healthy term infants with breast milk or breastfeeding


jaundice and with bilirubin levels of 12 mg/dL to 17 mg/dL, the
following options are acceptable: Increase breastfeeding to 8-12
times per day and recheck the serum bilirubin level in 12-24
hours.
Temporary interruption of breastfeeding is rarely needed and is
not recommended unless serum bilirubin levels reach 20 mg/dL.
For infants with serum bilirubin levels from 17-25 mg/dL, add
phototherapy to any of the previously stated treatment options.

The most rapid way to reduce the bilirubin level is to interrupt


breastfeeding for 24 hours, feed with formula, and use
phototherapy; however, in most infants, interrupting
breastfeeding is not necessary or advisable

Breast Milk Jaundice Treatment & Management. Medscape.com

55. Gagal Jantung Pada Anak

Ada 3 jenis obat yang digunakan untuk terapi gagal jantung:


- Inotropik untuk meningkatkan kontraktilitas jantung
- Diuretik untuk mengurangi preload/ volume diastolik akhir
- Vasodilator untuk mengurangi afterload atau tahanan yang dialami saat ejeksi
ventrikel

56. Leukemia

Leukemia
Jenis leukemia yang paling sering terjadi pada
anak-anak adalah Acute Lymphoblastic
Leukemia (ALL) dan Acute Myelogenous
Leukemia (AML)
ALL merupakan keganasan yg paling sering
ditemui pada anak-anak (1/4 total kasus
keganasan pediatrik)
Puncak insidens ALL usia 2-5 tahun

Clinical Manifestation
More common in AML
Leukostasis (when blas count >50.000/uL): occluded
microcirculationheadache, blurred vision, TIA, CVA, dyspnea,
hypoxia
DIC (promyelocitic subtype)
Leukemic infiltration of skin, gingiva (monocytic subtype)
Chloroma: extramedullary tumor, virtually any location.

More common in ALL


Bone pain, lymphadenopathy, hepatosplenomegaly (also seen in
monocytic AML)
CNS involvement: cranial neuropathies, nausea, vomiting,
headache, anterior mediastinal mass (T-cell ALL)
Tumor lysis syndrome

Leukemia Limfoblastik Akut


Merupakan keganasan yang paling sering ditemukan pada
masa anak, meliputi 25-30% dari seluruh keganasan pada
anak.
Lebih sering pada laki-laki, usia 3-4 tahun
Manifestasi klinis
Penekanan sistem hemopoetik normal, anemia (pucat),
neutropenia (sering demam), trombositopenia (perdarahan)
Infiltrasi jaringan ekstramedular, berupa pembesaran KGB, nyeri
tulang, dan pembesaran hati serta limpa
Penurunan BB, anoreksia, kelemahan umum

Pemeriksaan Penunjang: Gambaran darah tepi dan pungsi


sumsum tulang untuk memastikan diagnosis
Tatalaksana : Kemoterapi dan Pengobatan suportif

FAB (French-American-British) classification of


acute lymphoblastic leukemia
ALL-L1: Small cells with homogeneous nuclear chromatin, a regular
nuclear shape, small or no nucleoli, scanty cytoplasm, and mild to
moderate basophilia Jenis ALL yang paling sering ditemukan
ALL-L2: Large, heterogeneous cells with variable nuclear chromatin,
an irregular nuclear shape, 1 or more nucleoli, a variable amount of
cytoplasm, and variable basophilia
ALL-L3: Large, homogeneous cells with fine, stippled chromatin;
regular nuclei; prominent nucleoli; and abundant, deeply basophilic
cytoplasm. The most distinguishing feature is prominent
cytoplasmic vacuolation

ALL

AML

epidemiologi ALL merupakan keganasan yg paling


sering ditemui pada anak-anak (1/4
total kasus keganasan pediatrik)
Puncak insidens usia 2-5 tahun

15% dari leukemia pada pediatri, juga


ditemukan pada dewasa

etiologi

Penyebab tidak diketahui

Cause unknown. Risk factors: benzene


exposure, radiation exposure, prior
treatment with alkylating agents

Gejala dan
tanda

Gejala dan tanda sesuai dengan


infiltrasi sumsum tulang dan/atau
gejala ekstrameduler: konjungtiva
pucat, petekie dan memar akibat
trombositopenia; limfadenopati,
hepatosplenomegali.Terkadang ada
keterlibatan SSP (papil edem, canial
nerve palsy); unilateral painless
testicular enlargement.

Pucat, mudah lelah, memar, peteki,


epistaksis, demam, hiperplasia gingiva,
chloroma, hepatosplenomegali

Lab

Anemia, Trombositopenia,
Leukopeni/Hiperleukositosis/normal,
Dominasi Limfosit, Sel Blas (+)

Trombositopenia,
leukopenia/leukositosis, primitif
granulocyte/monocyte, auer rods (hin,
needle-shaped, eosinophilic cytoplasmic
inclusions)

Terapi

kemoterapi

kemoterapi

57. Acetaminophen Toxicity

Acute overdose is usually


considered to be a single ingestion
(therapeutic range in blood 1030g/ml)
Generally, 7.5 gm in an adult or 150
mg/kg in a child are the lowest
threshold capable of toxicity
NAPQI (N-acetyl-p-benzoquinone
imine)-derived toxicity
Liver begins in zone 3
(centrilobular)
Renal Acute Tubular Necrosis

Multiorgan failure
Heart, kidney

Phase 1 0-24 hours


Nausea, vomiting

Phase 2 24-72 hours


RUQ pain, elevated liver
enzymes, prolonged PT

Phase 3 72-96 hours


Hepatic necrosis,
encephalopathy,
coagulopathy, ATN

Phase 4 4 days- 2 weeks


If damage is not irreversible,
complete resolution of
hepatic dysfunction will occur

Lab Values
Measure

Indicative of Toxicity

Serum Creatinine (SrCr)

Elevated over 3.4 mg/dL

Creatinine Clearance (CrCl)

Lowered

International Normalized Ratio (INR) Elevated


Prothrombin Time (PT)

Elevated over 100 seconds

Aspartate Aminotransferase (AST)

Elevated

Alanine Transaminase (ALT)

Elevated

Billirubin

Elevated over 18 mg/dL

Acetaminophen (APAP)

An APAP level 4 hours post


ingestion >150 mcg/ml
(9993mol/L

O'Malley, Gerald F. "Acetaminophen Poisoning: Poisoning: Merck Manual Professional." Merck & Co., Inc. Merck & Co. Web. 08 Oct. 2010.
http://www.merck.com/mmpe/sec21/ch326/ch326c.html>.
Schaefer, Jeffrey P. "Acetaminophen Intoxication." Dr. Jeffrey P Schaefer, 14 Oct. 2007. Web. 10 Oct. 2010.

GI Decontamination
Very rapid GI
absorption
Activated Charcoal
(AC)
Very early
presentation
Dont give AC to
unconscious patient
Effective if
administered in 1 hour
Co-ingestants
Adsorbs to NAC

N-Acetylcysteine therapy
Prevents toxicity by limiting
NAPQI formation
Increases capacity to detoxify
formed NAPQI
Treatment instituted within 6 to
8 hours after an acute ingestion
Late NAC therapy
Decreased hepatotoxicity when
treatment begins 16-24 hours
post ingestion

If IV NAC begun after onset of


fulminant hepatic failure
decreased need for
vasopressors, and decreased
incidence of cerebral edema
and death

O
H

C
N

Urine

Overdose!
O
UDP-glucuronosyltransferase

CH 3

C
N

CH 3

<5%

Acetaminophen

O C6H 8O6

OH

O
O

CytoP450

CH 3

C
N

CH 3

SG

OH

C
N

CH 3

Acetaminophen glutathione conjugate

O SO3

Acetaminophen sulfate

NAPQI
O
N-acetylparabenzoquinoneimine

Binding to cellular proteins


leading to hepatic and renal
injury

58. FOOD POISONING

Causative
Agents

Source and Clinical Features

Staphylococci

B cereus

C perfringens

Improperly stored foods with


high salt or sugar content favors
growth of staphylococci.
Intense vomiting and watery
diarrhea start 1-4 h after
ingestion and last as long as
24-48 h

Pathogenesis

Enterotoxin acts on
receptors in the gut that
transmit impulses to
the medullary centers

Diagnosis and
Treatment

Symptomatic
treatment

Contaminated fried rice (emetic)


Meatballs (diarrheal)
Emetic: Duration is 9 h, vomiting

and cramps
Diarrheal: Lasts for 24 h
Mainly vomiting after 1-6 h and
mainly diarrhea after 8-16 h after
ingestion; lasts as long as 1 d

Emetic enterotoxin (short


incubation and duration) Poorly understood
Diarrheal enterotoxin (long
Symptomatic
incubation and duration) treatment
Increasing intestinal
secretion by activation of
adenylate cyclase in
intestinal epithelium

Inadequately cooked meat,


poultry, or legumes
Acute onset of abdominal
cramps with diarrhea starts 824 h after ingestion.
Vomiting is rare. It lasts less
than 1 d.
Enteritis necroticans associated
with C perfringens type C in
improperly cooked pork (40%
mortality)

Enterotoxin produced in
the gut, and food causes
hypersecretion in the
small intestine

Culture of
clostridia in food
and stool
Symptomatic
treatment

Causative
Agents

C botulinum

Enterotoxic E coli
(eg, traveler's
diarrhea)

Diagnosis and
Treatment
Toxin present in
Canned foods (eg, smoked fish,
Toxin absorbed
food, serum, and
mushrooms, vegetables, honey)
from the gut
stool.
Descending weakness and paralysis
blocks the release Respiratory
start 1-4 d after ingestion, followed
of acetylcholine in
support
by constipation.
the neuromuscular Intravenous
Mortality is high
junction
trivalent antitoxin
from CDC
Contaminated water and food (eg,
Enterotoxin
salad, cheese, meat)
causes
Acute-onset watery diarrhea starts
hypersecretion in
Supportive
24-48 h after ingestion
small and large
treatment
Concomitant vomiting and
intestine via
No antibiotics
abdominal cramps may be present.
guanylate cyclase
It lasts for 1-2 d
activation

Source and Clinical Features

Improperly cooked hamburger meat


and previously spinach
Most common isolate pathogen in
bloody diarrhea starts 3-4 d after
Enterohemorrhagi
ingestion
c E coli (eg, E coli
Usually progresses from watery to
O157:H7)
bloody diarrhea. It lasts for 3-8 d
May be complicated by hemolyticuremic syndrome or thrombotic
thrombocytopenic purpura

Pathogenesis

Cytotoxin results
in endothelial
Diagnosis with
damage and leads
stool culture
to platelet
Supportive
aggregation and
treatment
microvascular
No antibiotics
fibrin thrombi

Causative
Agents

Source and Clinical Features

Enteroinvasive
E coli

Enteroaggregat
ive E coli

Contaminated imported
cheese
Usually watery diarrhea
(some may present with
dysentery)
Implicated in traveler's
diarrhea in developing
countries
Can cause bloody diarrhea

Pathogenesis

V cholera

C jejuni

Enterotoxin
produces secretion
Shigalike toxin
facilitates invasion

Bacteria clump on
the cell surfaces

Contaminated water and food


Large amount of nonbloody
diarrhea starts 8-24 h after

ingestion. It lasts for 3-5 d

Enterotoxin causes
hypersecretion in
small intestine
Infective dose
usually is 107 -109
organisms

Domestic animals, cattle,


chickens
Fecal-oral transmission in
humans

Foul-smelling watery diarrhea


followed by bloody diarrhea
Abdominal pain and fever
also may be present; it starts
1-3 d after exposure and
recovery is in 5-8 d

Uncertain about
endotoxin
production and
invasion

Diagnosis and Treatment

Supportive treatment
No antibiotics

Ciprofloxacin may shorten


duration and eradicate the
organism

Positive stool culture finding


Prompt replacement of fluids
and electrolytes (oral
rehydration solution)
Tetracycline (or
fluoroquinolones) shortens
the duration of symptoms and
excretion of Vibrio

Culture in special media at


42C
Erythromycin for invasive
disease (fever)

Causative
Agents

Source and Clinical Features

Pathogenesis

Shigella

Salmonella

Yersinia

Potato, egg salad, lettuce,


vegetables, milk, ice cream,
and water

Abrupt onset of bloody diarrhea,


cramps, tenesmus, and fever

starts 12-30 h after ingestion.


Usually self-limited in 3-7 d

Beef, poultry, eggs, and dairy


products
Abrupt onset of moderate-tolarge amount of diarrhea with

low-grade fever; in some cases,


bloody diarrhea
Abdominal pain and vomiting
also present, beginning 6-48 h
after exposure and lasts 7-12 d
Pets; transmission in humans
by fecal-oral route or
contaminated milk or ice cream

Acute abdominal pain, diarrhea,


and fever (enterocolitis)

Incubation period not known


Polyarthritis and erythema
nodosum in children
May mimic appendicitis

Organisms invade
epithelial cells and
produce toxins
Infective dose is 102
-103 organisms
Enterotoxinmediated diarrhea
followed by invasion
(dysentery/colitis)

Diagnosis and Treatment

Invasion but no toxin

production

Gastroenteritis and
mesenteric adenitis
Direct invasion and
enterotoxin

Polymorphonuclear
leukocytes (PMNs), blood,
and mucus in stool
Positive stool culture
Oral rehydration is mainstay
Trimethoprimsulfamethoxazole (TMPSMX) or ampicillin for severe
cases
No opiates

Positive stool culture finding


Antibiotic for systemic
infection

Polymorphonuclear
leukocytes and blood in stool
Positive stool culture finding
No evidence that antibiotics
alter the course but may be
used in severe infections

59. Hipoglikemia pada Neonatus

Hipoglikemia adalah kondisi bayi


dengan kadar glukosa darah <45
mg/dl (2.6 mmol/L), baik bergejala
atau tidak
Hipoglikemia berat (<25 mg/dl) dapat
menyebabkan palsi serebral,
retardasi mental, dan lain-lain
Etiologi

Peningkatan pemakaian glukosa


(hiperinsulin): Neonatus dari ibu DM,
Besar masa kehamilan, eritroblastosis
fetalis
Penurunan produksi/simpanan glukosa:
Prematur, IUGR, asupan tidak adekuat
Peningkatan pemakaian glukosa: stres
perinatal (sepsis, syok, asfiksia,
hipotermia), defek metabolisme
karbohidrat, defisiensi endokrin, dsb

Pedoman Pelayanan Medis IDAI 2010

Insulin dalam aliran darah fetus


tidak bergantung dari insulin ibu,
tetapi dihasilkan sendiri oleh
pankreas bayi
Pada Ibu DM terjadi hiperglikemia
dalam peredaran darah
uteroplasental bayi
mengatasinya melalui hiperplasia
sel B langerhans yang
menghasilkan insulin insulin
tinggi
Begitu lahir, aliran glukosa yang
menyebabkan hiperglikemia tidak
ada, sedangkan insulin bayi tetap
tinggi hipoglikemia

Diagnosis
Anamnesis: tremor, iritabilitas, kejang/koma, letargi/apatis, sulit menyusui,
apneu, sianosis, menangis lemah/melengking
PF: BBL >4000 gram, lemas/letargi/kejang beberapa saat sesudah lahir
Penunjang: Pemeriksaan glukosa darah baik strip maupun darah vena, reduksi
urin, elektrolit darah

PPM IDAI jilid 1

60. Demam Dengue (DF)


Demam akut 2-7 hari dengan 2 atau lebih
gejala berikut:
Nyeri kepala
Nyeri retroorbita
Myalgia/arthralgia
Ruam
Manifestasi perdarahan
Leukopenia

KLASIFIKASI DBD
Derajat (WHO 1997):
Derajat I : Demam dengan test rumple leed
positif.
Derajat II : Derajat I disertai dengan perdarahan
spontan dikulit atau perdarahan lain.
Derajat III : Ditemukan kegagalan sirkulasi, yaitu
nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun/
hipotensi disertai dengan kulit dingin lembab dan
pasien menjadi gelisah.
Derajat IV : Syock berat dengan nadi yang tidak
teraba dan tekanan darah tidak dapat diukur.

Dengue Hemorrhagic Fever

Pemantauan Rawat

Alur
Perawatan

Pediatric Vital Signs


Age

Heart Rate
(beats/min)

Blood Pressure
(mm Hg)

Respiratory Rate
(breaths/min)

Premature

120-170 *

55-75/35-45

40-70

0-3 mo

100-150 *

65-85/45-55

35-55

3-6 mo

90-120

70-90/50-65

30-45

6-12 mo

80-120

80-100/55-65

25-40

1-3 yr

70-110

90-105/55-70

20-30

3-6 yr

65-110

95-110/60-75

20-25

6-12 yr

60-95

100-120/60/75

14/22

12 > yr

55-85

110-135/65/85

12-18

REFERENCE:Kleigman, R.M., et al. Nelson Textbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia: Saunders, 2011.
* From Dieckmann R, Brownstein D, Gausche-Hill M (eds): Pediatric Education for Prehospital Professionals. Sudbury, Mass, Jones & Bartlett,
American Academy of Pediatrics, 2000, pp 43-45.
From American Heart Association ECC Guidelines, 2000.

In childhood,
hypotension can be
determined
according to two
different definitions:
BP below the 5th
percentile or below
two standard
deviations (SDs) of
the mean for age
and gender

http://web.missouri.edu/~proste/lab/vitals-peds.pdf

Shieh HH, Gilio AE, Barreira ER, Troster EJ, Ventura AMC, Goes PF, Souza DC, Sinimbu Filho JM, Bousso A:
Pediatric hypotension: quantification of the differences between the two current definitions.
Intensive Care Med 2012, 38(Suppl 1):S0662.
doi: 10.1007/s00134-012-2683-0

Hematocrit Range in Pediatric

1Soldin, S.J., Brugnara, C., & Hicks, J.M. (1999). Pediatric reference ranges (3rd ed.). Washington, DC: AACC Press.
http://wps.prenhall.com/wps/media/objects/354/362846/London%20App.%20B.pdf

61. Patogenesis KAD

Diagnostic Criteria and Typical Total Body Deficits of


Water and Electrolytes in Diabetic Ketoacidosis
Diagnostic criteria*
Blood glucose: > 250 mg per dL
(13.9 mmol per L)
pH: <7.3
Serum bicarbonate: < 15 mEq/L
Urinary ketone: 3+
Serum ketone: positive at 1:2
dilutions
Serum osmolality: variable

Typical deficits
Water: 6 L, or 100 mL per kg
body weight
Sodium: 7 to 10 mEq per kg body
weight
Potassium: 3 to 5 mEq per kg
body weight
Phosphate: ~1.0 mmol per kg
body weight

*Not all patients will meet all diagnostic criteria,


depending on hydration status, previous
administration of diabetes treatment and other
factors.
Adapted with permission from Ennis ED, Stahl EJ, Kreisberg RA. Diabetic
ketoacidosis. In: Porte D Jr, Sherwin RS, eds. Ellenberg and Rifkin's Diabetes
mellitus. 5th ed. Stamford, Conn.: Appleton & Lange, 1997;82744.

CLASSIC TRIAD OF DKA

Goals of Treatment KAD


Restore perfusion, which will increase glucose
uptake in the periphery, increase glomerular
filtration, and reverse the progressive acidosis.
Arrest ketogenesis with insulin administration,
which reverses proteolysis and lipolysis while
stimulating glucose uptake and processing,
thereby normalizing blood glucose concentration.
Replace electrolyte losses.
Intervene rapidly when complications,
especially CE, occur.

Prinsip Tatalaksana DKA

62. Enterokolitis Nekrotikans


sindrom nekrosis intestinal akut
pada neonatus yang ditandai oleh
kerusakan intestinal berat akibat
gabungan jejas vaskular, mukosa,
dan metabolik (dan faktor lain
yang belum diketahui) pada usus
yang imatur.
Enterokolitis nekrotikans hampir
selalu terjadi pada bayi prematur.
Insidens pada bayi dengan berat
<1,5 kg sebesar 6-10%.
Insidens meningkat dengan
semakin rendahnya usia gestasi.

Patogenesis EN masih belum


sepenuhnya dimengerti dan
diduga multifaktorial.
Diperkirakan karena iskemia yang
berakibat pada kerusakan
integritas usus.
Pemberian minum secara enteral
akan menjadi substrat untuk
proliferasi bakteri, diikuti oleh
invasi mukosa usus yang telah
rusak oleh bakteri yang
memproduksi gas gas usus
intramural yang dikenal sebagai
pneumatosis intestinalis
mengalami progresivitas menjadi
nekrosis transmural atau gangren
usus perforasi dan peritonitis.

Faktor risiko
Prematuritas.
Pemberian makan enteral. EN jarang ditemukan pada bayi
yang belum pernah diberi minum.
Formula hyperosmolar dapat mengubah permeabilitas mukosa dan
mengakibatkan kerusakan mukosa.
Pemberian ASI terbukti dapat menurunkan kejadian EN.

Mikroorganisme patogen enteral. Patogen bakteri dan virus


yang diduga berperan adalah E. coli, Klebsiella, S. epidermidis,
Clostridium sp. , coronavirus dan rotavirus.
Kejadian hipoksia/iskemia, misalnya asfiksia dan penyakit
jantung bawaan.
Bayi dengan polisitemia, transfusi tukar, dan pertumbuhan
janin terhambat berisiko mengalami iskemia intestinal.
Volume pemberian minum, waktu pemberian minum, dan
peningkatan minum enteral yang cepat.

Manifestasi klinis

Manifestasi sistemik
Distres pernapasan
Apnu dan atau bradikardia
Letargi atau iritabilitas
Instabilitas suhu
Toleransi minum buruk
Hipotensi/syok, hipoperfusi
Asidosis
Oliguria
Manifestasi perdarahan

Manifestasi pada abdomen


Distensi abdomen
Eritema dinding abdomen atau
indurasi
Tinja berdarah, baik samar
maupun perdarahan saluran
cerna masif (hematokesia)
Residu lambung
Muntah (bilier, darah, atau
keduanya)
Ileus (berkurangnya atau
hilangnya bising usus)
Massa abdominal terlokalisir yang
persisten
Asites

Pemeriksaan penunjang
Darah perifer lengkap. Leukosit
bisa normal, meningkat (dengan
pergeseran ke kiri), atau menurun
dan dijumpai tombositopenia
Kultur darah untuk bakteri aerob,
anaerob, dan jamur
Tes darah samar
Analisis gas darah, dapat dijumpai
asidosis metabolik atau campuran
Elektrolit darah, dapat dijumpai
ketidakseimbangan elektrolit,
terutama hipo/
hipernatremia dan hiperkalemia
Kultur tinja

Foto polos abdomen 2


posisi serial:
Foto polos abdomen posisi
supine, dijumpai distribusi
usus abnormal, edema
dinding usus, posisi loop usus
persisten pada foto serial,
massa, pneumatosis
intestinalis (tanda khas EN),
atau gas pada vena porta
Foto polos abdomen posisi
lateral dekubitus atau lateral
untuk mencari
pneumoperitoneum.

Tata laksana umum untuk semua pasien EN:


Puasa dan pemberian
nutrisi parenteral total.
Pasang sonde nasogastrik
untuk dekompresi lambung.
Pemantauan ketat:
Tanda vital
Lingkar perut (ukur setiap 1224 jam), diskolorasi abdomen

Lepas kateter umbilikal (bila


ada).
Antibiotik: ampisilin dan
gentamisin ditambah
dengan metronidazole

Tes darah samar tiap 24 jam


untuk memonitor
perdarahan gastrointestinal.
Jaga keseimbangan cairan
dan elektrolit. Pertahankan
diuresis 1-3 mL/kg/hari.
Periksa darah tepi lengkap
dan elektrolit setiap 24 jam
sampai stabil.
Foto polos abdomen serial
setiap 8-12 jam.
Konsultasi ke departemen
Bedah Anak.

Tata laksana khusus bergantung pada stadium


Enterokolitis nekrotikans
stadium I

Tata laksana umum.


Pemberian minum dapat
dimulai setelah 3 hari
dipuasakan
Antibiotik dapat dihentikan
setelah 3 hari pemberian
dengan syarat kultur
negative dan terdapat
perbaikan klinis.

Enterokolitis nekrotikans
stadium II dan III
Tata laksana umum.
Antibiotik selama 14 hari.
Puasa selama 2 minggu.
Pemberian minum dapat
dimulai 7-10 hari setelah
perbaikan radiologis
pneumatosis.
Ventilasi mekanik bila
dibutuhkan.
Jaga keseimbangan
hemodinamik. Pada EN
stadium III sering dijumpai
hipotensi refrakter.

Tata laksana bedah


Laparatomi eksplorasi dengan reseksi segmen
yang nekrosis dan enterostomi atau
anastomosis primer.
Drainase peritoneal umumnya dilakukan pada
bayi dengan berat <1000 g dan kondisi tidak
stabil.

63. TRANSFUSI DARAH


Darah lengkap (whole blood)
Komponen darah
~ Sel darah merah
~ Leukosit
~ Trombosit
~ Plasma (beku-segar)
~ Kriopresipitat

PRC

PRC

Fresh Frozen Plasma

Cryoprecipitate

Thrombocyte Concentrate

Tatalaksana Hemofilia

64. Ikterus Neonatorum


Ikterus yang berkembang cepat pada hari ke-1
Kemungkinan besar: inkompatibilitas ABO, Rh,
penyakit hemolitik, atau sferositosis. Penyebab
lebih jarang: infeksi kongenital, defisiensi G6PD

Ikterus yang berkembang cepat setelah usia


48 jam
Kemungkinan besar: infeksi, defisiensi G6PD.
Penyebab lebih jarang: inkompatibilitas ABO, Rh,
sferositosis.

Penyebab ikterik ec. Anemia Hemolisis pada


neonatus
Penyakit

Keterangan

Inkompatibilitas ABO

Adanya aglutinin ibu yang bersirkulasi di darah anak


terhadap aglutinogen ABO anak. Ibu dengan golongan darah
O, memproduksi antibodi IgG Anti-A/B terhadap gol. darah
anak (golongan darah A atau B). Biasanya terjadi pada anak
pertama

Inkompatibilitas Rh

Rh+ berarti mempunyai antigen D, sedangkan Rh berarti


tidak memiliki antigen D. Hemolisis terjadi karena adanya
antibodi ibu dgn Rh- yang bersirkulasi di darah anak
terhadap antigen Rh anak (berati anak Rh+). Jarang pada
anak pertama krn antibodi ibu terhadap antigen D anak yg
berhasil melewati plasenta belum banyak.
Ketika ibu Rh - hamil anak kedua dgn rhesus anak Rh +
antibodi yang terbentuk sudah cukup untuk menimbulkan
anemia hemolisis

Inkompatibilitas Rhesus
Faktor Rh: salah satu jenis antigen permukaan
eritrosit
Inkompatibilitas rhesus: kondisi dimana wanita
dengan rhesus (-) terekspos dengan eritrosit Rh (+),
sehingga membentuk antibodi Rh
Ketika ibu Rh (-) hamil dan memiliki janin dengan Rh (+),
terekspos selama perjalanan kehamilan melalui kejadian
aborsi, trauma, prosedure obstetrik invasif, atau kelahiran
normal
Ketika wanita dengan Rh (-) mendapatkan transfusi darah
Rh (+)

Setelah eksposure pertama, ibu akan membentuk IgG maternal


terhadap antigen Rh yang bisa dengan bebas melewati plasenta
hingga membentuk kompleks antigen-antibodi dengan eritrosit
fetus dan akhirnya melisiskan eritrosit tersebut fetal
alloimmune-induced hemolytic anemia.
Ketika wanita gol darah Rh (-) tersensitisasi diperlukan waktu
kira-kira sebulan untuk membentuk antibodi Rh yg bisa
menandingi sirkulasi fetal.
90% kasus sensitisasi terjadi selama proses kelahiran o.k itu
anak pertama Rh (+) tidak terpengaruhi karena waktu pajanan
eritrosit bayi ke ibu hanya sebentar, tidak bisa memproduksi
antibodi scr signifikan

Inkompatibilitas Rhesus
Risiko dan derajat keparahan meningkat seiring dengan
kehamilan janin Rh (+) berikutnya, kehamilan kedua
menghasilkan bayi dengan anemia ringan, sedangkan
kehamilan ketiga dan selanjutnya bisa meninggal in utero
Risiko sensitisasi tergantung pada 3 faktor:
Volume perdarahan transplansental
Tingkat respons imun maternal
Adanya inkompatibilitas ABO pada saat bersamaan
Adanya inkompatibilitas ABO pada saat bersamaan dengan
ketidakcocokan Rh justru mengurangi kejadian inkompatibilitas Rh
karena serum ibu yang mengandung antibodi ABO
menghancurkan eritrosit janin sebelum sensitisasi Rh yg signifikan
sempat terjadi
Untungnya inkompatibilitas ABO biasanya tidak memberikan
sekuele yang parah
http://emedicine.medscape.com/article/797150

Tes Laboratorium
Prenatal emergency care
Tipe Rh ibu
the Rosette screening test
atau the Kleihauer-Betke
acid elution test bisa
mendeteksi
alloimmunization yg
disebabkan oleh fetal
hemorrhage
Amniosentesis/cordosente
sis

Postnatal emergency care


Cek tipe ABO dan Rh,
hematokrit, Hb, serum
bilirubin, apusan darah,
dan direct Coombs test.
direct Coombs test yang
positif menegakkan
diagnosis antibody-induced
hemolytic anemia yang
menandakan adanya
inkompabilitas ABO atau
Rh

http://emedicine.medscape.com/article/797150

Tatalaksana
Jika sang ibu hamil Rh dan belum tersensitisasi,
berikan human anti-D immunoglobulin (Rh IgG atau
RhoGAM)
Jika sang ibu sudah tersensitisasi, pemberian Rh IgG
tidak berguna
Jika bayi telah lahir dan mengalami inkompatibilitas,
transfusi tukar/ foto terapi tergantung dari kadar
bilirubin serum, rendahnya Ht, dan naiknya
reticulocyte count
http://emedicine.medscape.com/article/797150

Inkompatibilitas ABO
Terjadi pada ibu dengan
golongan darah O terhadap
janin dengan golongan
darah A, B, atau AB
Tidak terjadi pada ibu gol A
dan B karena antibodi yg
terbentuk adalah IgM yg tdk
melewati plasenta,
sedangkan 1% ibu gol darah
O yang memiliki titer
antibody IgG terhadap
antigen A dan B, bisa
melewati plasenta

Gejala yang timbul adalah


ikterik, anemia ringan, dan
peningkatan bilirubin
serum.
Lebih sering terjadi pada
bayi dengan gol darah A
dibanding B, tetapi
hemolisis pada gol darah
tipe B biasanya lebih parah.
Inkompatibilitas ABO jarang
sekali menimbulkan hidrops
fetalis dan biasanya tidak
separah inkompatibilitas Rh

Kenapa tidak separah Inkompatibilitas


Rh?
Biasanya antibodi Anti-A dan Anti-B adalah IgM
yang tidak bisa melewati sawar darah plasenta
Karena antigen A dan B diekspresikan secara luas
pada berbagai jaringan fetus, tidak hanya pada
eritrosit, hanya sebagian kecil antibodi ibu yang
berikatan dengan eritrosit.
Eritrosit fetus tampaknya lebih sedikit
mengekspresikan antigen permukaan A dan B
dibanding orang dewasa, sehingga reaksi imun
antara antibody-antigen juga lebih sedikit
hemolisis yang parah jarang ditemukan.

Inkompatibilitas ABO
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah
direct Coombs test.
Pada inkompatibilitas ABO manifestasi yg lebih
dominan adalah hiperbilirubinemia,
dibandingkan anemia, dan apusan darah tepi
memberikan gambaran banyak spherocyte dan
sedikit erythroblasts, sedangkan pada
inkompatibilitas Rh banyak ditemukan eritoblas
dan sedikit spherocyte
Tatalaksana: fototerapi, transfusi tukar

Inkompatibilitas ABO
Inkompatibilitas ABO jarang
sekali menimbulkan hidrops
fetalis dan biasanya tidak
separah inkompatibilitas Rh
Risiko dan derajat keparahan
tidak meningkat di anak
selanjutnya

Inkompatibilitas Rh
Gejala biasanya lebih parah jika
dibandingkan dengan
inkompatibilotas ABO, bahkan
hingga hidrops fetalis
Risiko dan derajat keparahan
meningkat seiring dengan
kehamilan janin Rh (+) berikutnya,
kehamilan kedua menghasilkan bayi
dengan anemia ringan, sedangkan
kehamilan ketiga dan selanjutnya
bisa meninggal in utero

apusan darah tepi memberikan pada inkompatibilitas Rh banyak


gambaran banyak spherocyte ditemukan eritoblas dan sedikit
dan sedikit erythroblasts
spherocyte

65. RADIOLOGI PENYAKIT JANTUNG


BAWAAN

NORMAL
AP VIEW

ASD

VSD

ToF

PDA

The heart is slightly enlarged, the main


pulmonary artery convex, and the aortic arch
prominent above the MPA. There are
increased pulmonary vascular markings

ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

66. KB: Metode IUD


Cara Kerja
Menghambat kemampuan
sperma untuk masuk ke tuba
falopii
Mempengaruhi fertilisasi
sebelum ovum mencapai kavum
uteri
Mencegah implantasi hasil
konsepsi kedalam rahim

Kontra Indikasi

Hamil, kelainan alat kandungan bagian dalam, perdarahan vagina yang tidak
diketahui, sedang menderita infeksi alat genital (vaginitis, servisitis), tiga bulan
terakhir sedang mengalami atau sering menderita PRP atau abortus septik,
penyakit trofoblas yang ganas, diketahui menderita TBC pelvik, kanker alat
genital, ukuran rongga rahim kurang dari 5 cm

EPO. (2008). Alat Kontrasepsi Dalam Rahim atau Intra Uterine Device (IUD). Diambil pada tanggal 20 Mei 2008 dari
http://pikas.bkkbn.go.id/jabar/program_detail.php?prgid=2

Metode IUD: Efek Samping


Kram ketika pemasangan, spotting, haid tidak
nyaman, ekspulsi, salpingitis, radang panggul,
produksi cairan yang berlebihan (Derek, 2005)
Keputihan
Bila disebabkan oleh pemasangan IUD terapi:
preparat anti cholinergic tablet untuk mengurangi
cairan
Bila terdapat perubahan bau, warna akibat IUD usap
vagina untuk mengetahui penyebab terapi sesuai
penyebab
Jamur candida sp: preparat mycostatin selama 6 hari (Badan
Koordinasi Keluarga Berencana, 1999)
Trichomonas vaginalis: metronidazol

67. Antihipertensi dalam Kehamilan


DOC: Metildopa
Tidak mempengaruhi cardiac output atau aliran darah janin dan
ginjal

Labetalol
Dapat digunakan untuk tatalaksana preeklampsia dan hipertensi
kronik pada kehamilan
Digunakan dalam waktu pendek (<6 minggu) pada trimester III

Antagonis kalsium (nifedipine)


Dapat digunakan pada trimester akhir

Hydralazine
Biasanya digunakan untuk terapi kombinasi dengan metildopa
Pemberian IV adalah DOC untuk tatalaksana akut pada hipertensi
berat
http://www.medscape.com/viewarticle/406535_6

Antihipertensi dalam Kehamilan


ACE inhibitor
Penggunaan pada trimester II dan III dapat menimbulkan
IUGR, gagal ginjal, persistent patent ductus arteriosus,
respiratory distress syndrome, fetal hypotensive
syndrome, kematian prepartum

Anti diuretik
Menurunkan volume plasma ibu, gangguan elektrolit

Ca Channel Blocker (Verapamil)


Termasuk kategori C
Penggunaan harus hati-hati bila perfusi uteroplasenta
terganggu

68. Tatalaksana Awal


Perdarahan
Pasca Persalinan

ALGORITMA PENANGANAN PERDARAHAN PASCA PERSALINAN

ALGORITMA PENANGANAN PERDARAHAN PASCA PERSALINAN

HPP: Retensio Plasenta


Plasenta atau bagianbagiannya dapat tetap
berada dalam uterus
setelah bayi lahir.
Sebab: plasenta belum
lepas dari dinding uterus
atau plasenta sudah lepas
tetapi belum dilahirkan
Plasenta belum lepas:
kontraksi kurang kuat atau
plasenta adhesiva (akreta,
inkreta, perkreta)

HPP: Retensio Plasenta


Plasenta belum dilahirkan dalam 30 menit setelah kelahiran
bayi
Tatalaksana
Berikan 20-40 IU oksitosin dalam 1 L larutan NaCl 0,9%/RL dengan kecepatan
60 tpm & 10 IU IM lanjutkan IU dalam 1 L larutan NaCl 0,9%/RL dengan
kecepatan 40 tpm hingga perdarahan berhenti
Lakukan tarikan tali pusat terkendali
Bila tarikan tali pusat terkendali tidak berhasil plasenta manual
Berikan antibiotika profilaksis dosis tunggal (ampisilin 2 g IV DAN
metronidazol 500 mg I V)
Segera atasi atau rujuk ke fasilitas yang lebih lengkap bila terjadi komplikasi
perdarahan hebat atau infeksi

Buku Saku Pelayanan Ibu, WHO

Retensio Plasenta: Manual Plasenta


Lakukan persetujuan tindakan medis (informed consent)
Berikan sedatif diazepam 10 mg IM/IV dan Antibiotika dosis tunggal
(profilaksis):
Ampisilin 2 g IV + metronidazol 500 mg IV, ATAU
Cefazo lin 1 g IV + metronidazol 500 mg IV
Cuci tangan dan pasang sarung tangan panjang steril. u Jepit tali pusat dengan
klem dan tegangkan sejajar dengan lantai
Masukkan tangan dalam posisi obstetri dengan
menelusuri bagian bawah tali pusat seperti gambar

Tangan sebelah dalam menyusuri tali pusat hingga masuk


ke dalam kavum uteri,sedangkan tangan di luar menahan
fundus uteri, untuk mencegah inversio uteri

Buku Saku Pelayanan Ibu, WHO

Retensio Plasenta: Manual Plasenta

Menggunakan lateral jari tangan, disusuri dan dicari pinggir perlekatan (insersi)
plasenta
Tangan obstetri dibuka menjadi seperti memberi salam, lalu jari-jari dirapatkan
Tentukan tempat implantasi plasenta, temukan tepi plasenta yang paling bawah
Gerakkan tangan kanan kekiri dan kanan sambil bergeser kearah kranial hingga
seluruh permukaan plasenta dilepaskan
Jika plasenta tidak dapat dilepaskan dari permukaan uterus, kemungkinan plasenta
akreta. Siapkan laparotomi untuk histerektomi supravaginal
Pegang plasenta dan keluarkan tangan bersama plasenta
Pindahkan tangan luar ke suprasimfisis untuk menahan uterus saat plasenta
dikeluarkan
Eksplorasi untuk memastikan tidak ada bagian plasenta yang masih melekat pada
dinding uterus
Periksa plasenta lengkap atau tidak, bila tidak lengkap, lakukan eksplorasi ke dalam
kavum uteri

Buku Saku Pelayanan Ibu, WHO

Retensio Plasenta: Komplikasi

Inversio Uteri
Syok hipovolemik
Perdarahan post partum
Sepsis purpura
Subinvolusi uteri

http://nationalwomenshealth.adhb.govt.nz/Portals/0/Documents/Policies/Retained%20Placenta%20Management_.pdf

69. Kenaikan BB pada Ibu Hamil


Institute of Medicine Washington DC 1990,
merekomendasikan kenaikan BB selama kehamilan berdasar
BB sebelum hamil sebagai berikut:

Kenaikan berat badan selama Trimester III: 0,25-0,5 kg/minggu

Kehamilan dengan Obesitas


Obesitas dibagi menjadi dua kelas berdasarkan indeks massa tubuh (IMT) :

Kelas I : IMT antara 25,0-29,9


Kelas II : IMT > 30

Tatalaksana Umum
Rujuk ke rumah sakit untuk persalinannya
Berikan informasi pada pasien hamil yang datang dengan obesitas mengenai
risiko komplikasi yang dapat terjadi pada kehamilannya:
DM gestasional, Hipertensi dalam kehamilan, Preeklampsia, Makrosomia, Prematuritas,
Persalinan pervaginam dengan tindakan, KPD, IUGR, plasenta previa, solusio plasenta, SC,
kelainan kongenital

Tatalaksana Khusus
Pemeriksaan laboratorium di trimester I atau kunjungan pertama pada pasien
obesitas kelas III:
TTGO, asam urat, kreatinin, SGOT, SGPT, proteinuria dengan urin 24 jam, EKG

Tidak dianjurkan menurunkan berat badan


Batasan kenaikan berat badan selama hamil < 7 kg
Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu, WHO

Kehamilan dengan Kurang Energi Kronik


Diagnosis
Pemeriksaan lingkar lengan atas <23,5 cm

Tatalaksana
Makanan tambahan pemulihan berbasis makanan
lokal
Diberikan selama 90 hari berturut-turut
Target kenaikan berat badan ibu adalah 12,5-18 kg
selama kehamilan, yaitu
Trimester I: 1,5-2 kg
Trimester II: 4,5-6,5 kg
Trimester III: 6,5-9,5 kg

Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu, WHO

70. Tanda Kehamilan


Tanda Tidak Pasti

Tanda Pasti

Rahim membesar
Tanda Hegar (ismus teraba
lembut)
Tanda Chadwick (kebiruan pada
serviks, vagina, dan vulva)
Tanda Piskacek (pembesaran
uterus kesalah satu arah)
Braxton Hicks (uterus mudah
berkontraksi)
Basal metabolic rate meningkat
Tes HCG positif

Terdengar DJJ
Terasa gerak janin
USG: kantong kehamilan
dengan embrio
Rontgen: rangka janin (>16
minggu)

Tanda Kehamilan: Hartmans Sign


Pada saat terjadi implantasi beberapa wanita mengalami
perdarahan ringan /fleks (biasanya pada 7 hari sebelum
mens berikutnya atau hari ke 21 pada siklus 28 hari).
Perdarahan implantasi juga dinamakan tanda Hartman
(Hartman Sign). Perdarahan bisa berlangsung 1-2 hari.
Biasanya lebih sedikit dibanding darah haid.
Perdarahan implantasi terjadi karena bagian dari trofoblas
embrio (sinsitiotrofoblas) mulai menyerang pembuluh
darah di desidua dan mengambil alih fungsi pembuluh
darah yang nantinya akan berguna bagi tumbuh kembang
janin.

71. TB dan Kehamilan


Efek Kehamilan pada TB

Efek TB terhadap Kehamilan

Kehamilan dapat menutupi


gejala TB

Penurunan berat badan


yang biasa terjadi pada
penderta TB tertutupi oleh
peningkatan BB selama
kehamilan

Abortus spontan
BBLR
IUGR
Prematuritas
Mortalitas neonatal >>

72. Penatalaksanaan Abortus Imminens


Abortus Imminens

Abortus Insipiens

Pertahankan kehamilan.
Tidak perlu pengobatan khusus.
Jangan melakukan aktivitas fisik
berlebihan atau hubungan
seksual
Jika perdarahan berhenti, pantau
kondisi ibu selanjutnya pada
pemeriksaan antenatal (kadar Hb
dan USG panggul serial setiap 4
minggu)
Jika perdarahan tidak berhenti,
nilai kondisi janin dengan USG.
Nilai kemungkinan adanya
penyebab lain.

Evakuasi isi uterus


Lakukan pemantauan pasca
tindakan/30 menit selama 2 jam.
Bila kondisi ibu baik, pindahkan
ibu ke ruang rawat.
Pemeriksaan PA jaringan
Evaluasi tanda vital, perdarahan
pervaginam, tanda akut
abdomen, dan produksi urin
setiap 6 jam selama 24 jam.
Periksa kadar Hb setelah 24 jam.
Bila hasil pemantauan baik dan
kadar Hb >8 g/dl, ibu dapat
diperbolehkan pulang.

Penatalaksanaan Abortus Imminens

73. Polihidramnion
Volume air ketuban lebih 2000 cc
Muncul sesudah kehamilan lebih 20 minggu
Etiologi
Rh isoimunisasi, DM, gemelli, kelainan kongenital dan idiopatik

Gejala

Sering pada trimester terakhir kehamilan.


Fundus uteri tua kehamilan.
DJJ sulit didengar
Ringan : sesak nafas ringan
Berat : air ketuban > 4000 cc
Dyspnoe & orthopnea,
Oedema pada extremitas bawah

Diagnosis
Palpasi dan USG
Buku Saku Pelayanan Ibu, WHO

Polihidramnion: Tatalaksana

Identifikasi penyebab
Kronik hidramnion : diet protein , cukup istirahat.
Polihidramnion sedang/berat, aterm terminasi.
Penderita di rawat inap, istirahat total dan dimonitor
Jika dyspnoe berat, orthopnea, janin kecil amniosintesis
Amniosintesis, 500 1000 cc/hari diulangi 2 3 hari
Bila perlu dapat dipertimbangkan pemberian tokolitik
Komplikasi :

Kelainan letak janin


partus lama
solusio plasenta
tali pusat menumbung dan
PPH
Prematuritas dan kematian perinatal tinggi
Buku Saku Pelayanan Ibu, WHO

Oligohidramnion
suatu keadaan dimana air ketuban kurang dari
normal, yaitu kurang dari 500 cc (manuaba, 2007)
Etiologi:
Janin: Kelainan kromosom, cacat kongenital,
hambatan pertumbuhan janin dalam rahim,
kehamilan posterm
Ibu: hipertensi, DM, SLE, masalah plasenta, PROM

Komplikasi: menekan organ janin, keguguran,


prematur, IUFD, komplikasi persalinan
Buku Saku Pelayanan Ibu, WHO

Oligohidramnion: Tatalaksana
Tindakan Konservatif
Tirah baring / istirahat yang cukup.
Rehidrasi.
Perbaikan nutrisi.
Pemantauan kesejahteraan janin (hitung
pergerakan janin, NST, Bpp).
Pemeriksaan USG yang umum dari volume cairan
amnion.
Amnion infusion.
Induksi dan kelahiran
Buku Saku Pelayanan Ibu, WHO

74. ISK pada Kehamilan


Patofisiologi (terutama akhir trimester II dan awal trimester III)
Perubahan mekanis dan hormonal urin tertahan di saluran kencing
Peningkatan hormon progesteron menambah besar dan berat rahim
serta mengakibatkan pengenduran otot polos saluran kencing

Etiologi
E. coli (80-90%), klebsiella-enterobacter (5%), proteus mirabilis,
enterococcus, staphylococcus

Gejala dan Tanda


Nyeri suprapubik, disuria, pielonefritis

Komplikasi (terutama bila menginfeksi ginjal)


Prematuritas, anemia, hipertensi, preeklampsi, BBLR

ISK pada Kehamilan: Terapi

75. Intra Abdominal Germ Cell Tumors

76. Partus Prematurus Insipiens


POGI (Semarang, 2008): persalinan preterm
adalah persalinan yang terjadi pada usia
kehamilan 22-37 minggu
(Wibowo, 1997): Kontraksi uterus yang teratur
setelah kehamilan 20 minggu dan sebelum 37
minggu dengan interval kontraksi 5-8 menit atau
kurang + satu atau lebih tanda berikut:
Perubahan serviks yang progresif
Dilatasi serviks 2 cm atau lebih
Penipisan serviks 80 % atau lebih

Faktor Risiko & Diagnosis PPI


Menurut Wijnyosastro (2010) dan Rompas (2004)
Janin & Plasenta

Perdarahan trimester I, perdarahan antepartum, KPD, pertumbuhan


janin terhambat, cacat kongenital, gemeli, polihidramnion

Ibu

DM, preeklampsia, HT, ISK, infeksi dengan demam, kelainan bentuk


uterus, riwayat partus preterm/abortus berulang, inkompetensi
serviks, narkotika, trauma, perokok berat, kelainan imun/rhesus,
serviks terbuka > pada 32 minggu, riwayat konisasi

Kriteria Diagnosis PPI (American College of Obstetricians and Gynecologists, 1997)


1.

Kontraksi yang terjadi dengan frekuensi 4x dalam 20 menit atau 8x dalam 60


menitplus perubahan progresif pada serviks

2.

Dilatasi serviks lebih dari 1 cm

3.

Pendataran serviks > 80%

Tatalaksana PPI: Tokolitik


Obat

Dosis

Efek Samping

Ca antagonis (nifedipin)

10 mg/PO diulang 2-3x/jam, lanjut


per 8 jam hingga kontraksi hilang
Maintenance: 3 x 10 mg

Beta mimetik (terbutalin,


ritrodin, isoksuprin,
salbutamol)

Salbutamol
IV: 20-50 g/menit
PO: 4 mg, 2-4 x/hari (maintenance)
Terbutalin
IV: 10-15 g/menit
Subkutan: 250 g/6 jam
PO: 5-7.5 mg/8 jam (maintenance)

Hiperglikemia,
hipokalemia, hipotensi,
takikardia, iskemi
miokardial, edema
paru

MgSO4

Bolus: 4-6 g/IV selama 20-30 menit


IV: 2-4 g/jam (maintenance)

Edema paru, letargi,


nyeri dada, depresi
napas (ibu & janin)

Penghambat
Prostaglandin
(indometasin, sulindac)

Risiko kardiovaskular

Tatalaksana PPI: Pematangan Paru


Akselerasi pematangan fungsi paru janin
Bila usia kehamilan < 35 minggu
Obat:
Betametason 2 x 12 mg IM, jarak pemberian 24 jam DOC
penelitian terbaru menunjukkan penurunan risiko kematian janin dan
leukomalasia periventricular kistik

Deksametason 4 x 6 mg IM, jarak pemberian 12 jam


Peningkat surfaktan: thyrotropin releasing hormone 200 ug IV ATAU
inositol

Pencegahan infeksi

DOC: eritromisin 3 x 500 mg selama 3 hari


Ampisilin 3 x 500 mg selama 3 hari
Klindamisin
Kontra indikasi: amoksiklaf risiko necrotizing enterocolitis

Komplikasi PPI
Pada Ibu
Endometritis

Pada Janin
HMD, gangguan refleks akibat SSP belum matang,
intoleransi akibat GI belum matang, retinopati,
displasia bronkopulmoner, penyakit jantung,
jaundice, infeksi/septikemia, anemia, gangguan
mental & motorik

77. Hiperplasia Endometrium


Klasifikasi
Menurut WHO dibagi menjadi dua grup:
Pola glandular/stromal architectural, dibagi lagi menjadi tipe
sederhana atau kompleks
Berdasarkan ada/tidaknya inti atipik Risiko Ca endometrium
>>
Etiologi
Paparan estrogen endogen atau
eksogen terus-menerus
Endo estrogen: pada penderita PCOS
Ekso estrogen: pada sulih hormon
(terapi hormone)

Hiperplasia Endometrium
Patogenesis
Paparan Estrogen terus menerus memiliki efek Menstimulasi
the transcription of genes for cyclin D, protooncogenes,
growth factors, dan growth factor receptors

Klinis
Diagnosis hiperplasia endometrium dapat dicurigai pada:
1. Wanita pasca menoupose (50-60 thn) dengan perdarahan
uterus yang banyak, lama, dan sering (< 21 hari) atau
2. Perdarahan uterus yang tidak teratur pada wanita
menopouse, atau menjelang menopouse.
* Setelah disingkirkan adanya keganasan

Perdarahan Uterus Disfungsional


Perdarahan uterus yang abnormal tanpa adanya
kelainan organik, genital, atau ekstragenital
Penegakan Diagnosis
Pasien datang dengan perdarahan uterus yang
abnormal
Timbul paling sering sesaat setelah menarche dan
pada akhir masa reproduktif
20% of cases are adolescents
50% of cases in 40-50 year olds

Perdarahan Uterus Abnormal:


Diagnosis Diferensial
Organik
Penyakit saluran Reproduksi
Penyakit Sistemik
Iatrogenik

Non-Organik
DUB

Semua penyebab organik harus bisa


disingkirkan

Perdarahan Uterus Abnormal: Terapi


Kontrasepsi kombinasi estrogen-progesteron
(20-35 mcg etinil estradiol)
Terapi progestin efektif untuk usia 19-39 tahun
IUD yang mengandung levonogestrel
Bila terapi obat gagal pemeriksaan imaging
atau histeroskopi
Dilatase & kuretase untuk biopsi endometrium
Histerektomi

78. Atonia Uteri


Tahap I : Perdarahan yang tidak banyak
Uterotonika, mengurut rahim (massage)
dan memasang gurita.
Tahap II : Perdarahan belum berhenti &
bertambah banyak Infus dan transfusi
darah lalu dapat lakukan :
Perasat (manuver) Zangemeister.
Perasat (manuver) Fritch.
Kompresi bimanual.
Kompresi aorta.
Tamponade utero-vaginal.
Jepit arteri uterina dengan cara
Henkel.
Tahap III : Belum tertolong
Hilangkan sumber perdarahan dengan 2
cara yaitu meligasi arteri hipogastrika atau
histerektomi.

79. Hipertiroid pada Kehamilan


DOC (PTU dan methimazole)
PTU (utama)
Efek teratogenik <<
Efek samping: Hipotiroid pada janin

Methimazole (jarang digunakan di Indonesia)


efek teratogenik berupa sindrom teratogenik embriopati
metimazole yang ditandai dengan atresi esofagus atau koanal

blocker (propanolol)
Mengurangi gejala akut hipertiroid
Efek samping pada kehamilan akhir: hipoglikemia pada
neonatus, apnea, dan bradikardia yang biasanya bersifat
transien dan tidak lebih dari 48 jam
Dibatasi sesingkat mungkin dan dalam dosis rendah (10-15
mg per hari)
Abalovich M, Amino N, Barbour LA, Cobin RH, Leslie J, Glinoer D, et al. Management of Thyroid Dysfunction during Pregnancy and
Postpartum. J. Endocrinol. Metabolism. 2007; 92(8): S1-S47

Indikasi Pembedahan
Dibutuhkannya obat anti tiroid dosis besar
(PTU >450 mg atau methimazole >300 mg)
Timbul efek samping serius penggunaan obat
anti tiroid
Struma yang menimbulkan gejala disfagia,
atau obstruksi jalan napas
Tidak dapat memenuhi terapi medis (misalnya
pada pasien gangguan jiwa)

Hipertiroid pada Kehamilan: Tatalaksana


Rawat inap dan tirah baring untuk mengontrol kadar hormon tiroid.
PTU 300-450 mg/hari, dibagi dalam 3 dosis. Bila FT4 dan FT3 sudah
normal dosis pemeliharaan 50-300 mg/hari, dalam dosis terbagi.
Larutan yodium (Lugol) 3 tetes dalam segelas air putih diminum
1x/hari selama 1-2 minggu.
Propanolol mengurangi manifestasi simpatetik, 40-80 mg/hari,
dalam 3-4 dosis.
Kontra Indikasi: penyakit paru obstruktif, blokade jantung,
dekomp kordis, DM
Tiroidektomi dapat dipertimbangkan ketika kondisi hipertiroid telah
teratasi lewat pengobatan.
Setelah bayi lahir, periksa kadar hormon tiroidnya untuk
menyingkirkan kemungkinan hipotiroidisme pada bayi akibat
pengobatan selama ibu hamil.

80. Solusio Plasenta dan PEB


Faktor Risiko Solusio Plasenta

Tekanan darah tinggi


Riwayat solusio plasenta di kehamilan sebelumnya
Merokok selama kehamilan
Penggunaan kokain
Skar dari operasi atau fibroid pada perlekatan plasenta
Kecelakaan yang melibatkan uterus
Ketuban pecah dini yang berlangsung > 24 jam

Pada pre eklampsia berat: tekanan darah ibu >>>


perubahan arteriol spiralis kearah degeneratif iskemia
dan spasme arteriol memperberat iskemia solusio
plasenta
https://www.glowm.com/resources/glowm/cd/pages/v2/v2c050.html

IKM & Forensik

81. Prinsip Pelayanan Kedokteran


Keluarga

Holistik
Komprehensif
Terpadu
Berkesinambungan

Danasari. 2008. Standar Kompetensi Dokter Keluarga. PDKI : Jakarta

Pelayanan Kedokteran Keluarga


HOLISTIK
Mencakup seluruh tubuh jasmani dan rohani
pasien (whole body system), nutrisi
Tidak hanya organ oriented
Patient and Family oriented
Memandang manusia sebagai mahluk
biopsikososial pada ekosistemnya.

Pelayanan Kedokteran Keluarga


KOMPREHENSIF (Menyeluruh)
Tidak hanya kuratif saja, tapi pencegahan dan
pemulihan
Health promotion
Spesific protection
Early diagnosis and Prompt treatment
Disability limitation
Rehabilitation
Penatalaksanaan tidak hanya patient oriented,
tapi juga family oriented dan community oriented

Pelayanan Kedokteran Keluarga


BERKESINAMBUNGAN
Tidak sesaat, ada follow upnya dan
perencanaan manajemen pasien
TERPADU / TERINTEGRASI
Memakai seluruh ilmu kedokteran yang telah
di dapat bekerja sama dengan pasien,
keluarga, dokter spesialis atau tenaga
kesehatan lain

82. Surveilans Epidemiologi


Surveilans epidemiologi adalah pengamatan
secara teratur dan terus menerus terhadap
semua aspek penyakit tertentu, baik keadaan
maupun penyebarannya dalam satu kelompok
penduduk tertentu untuk kepentingan
pencegahan dan penanggulangan.
Surveilans memberikan informasi kewaspadaan
dini bagi pengambil keputusan dan manajer
tentang masalah-masalah kesehatan yang perlu
diperhatikan pada suatu populasi.

Jenis Surveilans Berdasarkan Metode


Penyelenggaraan
Surveilans Epidemiologi Rutin Terpadu: penyelenggaraan
Surveilans epidemiologi terhadap beberapa kejadian, permasalahan
dan atau faktor resiko kesehatan.
Surveilans epidemiologi Khusus: penyelenggaraan Surveilans
epidemiologi terhadap satu kejadian, permasalahan , faktor resiko
atau situasi khusus kesehatan.
Surveilans sentinel: penyelenggaraan Surveilans epidemiologi pada
populasi dan wilayah terbatas untuk mendapatkan signal adanya
masalah kesehatan pada suatu populasi atau wilayah yang lebih
luas. Pelaksanaan surveilans sentinel mengambil perwakilan
sampel dari populasi yang diteliti, diperiksa dengan detail.
Studi epidemiologi: penyelenggaraan Surveilans epidemiologi pada
periode tertentu serta populasi atau wilayah tertentu untuk
mengetahui lebih mendalam gambaran epidemiologi penyakit,
permasalahan dan atau faktor resiko kesehatan.

Jenis Surveilans Berdasarkan Aktivitas


Pengumpulan Data
Surveilans aktif: penyelenggaraan Surveilans
epidemilogi dimana unit Surveilans
mengumpulkan data dengan cara mendatangi
unit pelayanan kesehatan, masyarakat atau
sumber data lainnya.
Surveilans Pasif: Penyelenggaraan Surveilans
epidemiologi dimana unit Surveilans
mengumpulkan data dengan cara menerima data
tersebut dari unit pelayanan kesehatan,
masyarakat atau sumber data lainnya.

Jenis Surveilans Berdasarkan Pola


Pelaksanaannya
Pola Kedaruratan: kegiatan Surveilans yang
mengacu pada ketentuan yang berlaku untuk
penanggulangan KLB dan atau wabah dan
atau bencana
Pola Selain Kedaruratan: kegiatan Surveilans
yang mengacu pada ketentuan yang berlaku
untuk keadaan di luar KLB dan atau wabah
dan atau bencana,

83. Metode Promosi Kesehatan Massal


Ceramah umum (public speaking), misalnya pada hari kesehatan
nasional, menteri kesehatan atau pejabat kesehatan lainnya
berpidato dihadapan massa rakyat untuk menyampaikan pesanpesan kesehatan.
Diskusi tentang kesehatan melalui media elektronik, baik siaran TV
maupun radio.
Simulasi, dialog antara pasien dengan dokter atau petugas
kesehatan lainnya tentang suatu penyakit atau masalah kesehatan
disuatu media massa
Film
Tulisan-tulisan dimajalah atau Koran, baik dalam bentuk artikel
maupaun Tanya jawab/ konsultasi tentang kesehatan dan penyakit.
Billboard, yang dipasang dipinggir jalan, spanduk, poster, dsb.
Contoh : Billboard Ayo ke Posyandu.

Metode Promosi Kesehatan untuk Kelompok


(<15 orang)
Diskusi kelompok: dipimpin 1 pemimpin diskusi, pemimpin
memberi pertanyaan atau kasus sehubungan dengan topik
yang dibahas untuk memancing anggota untuk
berpendapat.
Curah Pendapat (Brain Storming): Prinsipnya sama dengan
metode diskusi kelompok. Bedanya, pada permulaannya
pemimpin kelompok memancing dengan satu masalah dan
kemudian tiap peserta memberikan jawaban-jawaban atau
tanggapan (curah pendapat). Sebelum semua peserta
mencurahkan pendapatnya, tidak boleh diberikan
komentar oleh siapapun. Harus setelah semua
mengeluarkan pendapatnya, tiap anggota dapat
mengomentari, dan akhirnya terjadi diskusi.

Metode Promosi Kesehatan untuk Kelompok


(<15 orang)
Bola salju (snowballing): Kelompok dibagi dalam pasanganpasangan (1 pasang 2 orang) kemudian dilontarkan suatu
pertanyaan atau masalah. Setelah lebih kurang 5 menit maka tiap 2
pasang bergabung menjadi 1. Mereka tetap mendiskusikan masalah
tersebut, dan mencari kesimpulannya. Kemudian tiap-tiap pasang
yang sudah beranggotakan 4 orang ini bergabung lagi dengan
pasangan lainnya dst, sampai akhirnya akan terjadi diskusi seluruh
anggota kelompok.
Kelompok kecil (buzz group): Kelompok langsung dibagi menjadi
kelompok-kelompok kecil (buzz group) yang kemudian diberi suatu
permasalahan yang sama atau tidak sama dengan kelompok lain.
Masing-masing kelompok mendiskusikan masalah tersebut.
Selanjutnya hasil dari tiap kelompok didiskusikan kembali dan dicari
kesimpulannya.

Metode Promosi Kesehatan untuk Kelompok


(<15 orang)
Role play: Beberapa anggota kelompok diunjuk sebagai
pemegang peran tertentu untuk memainkan peranan,
misalnya sebagai dokter Puskesmas, sebagai perawat, atau
bidan, dan sebagainya, sedangkan anggota yang lain
sebagai pasien atau anggota masyarakat. Mereka
memperagakan, misalnya bagaimana komunikasi/interaksi
sehari-hari dalam melaksanakan tugas.
Simulation game: Gabungan antara role play dengan
diskusi kelompok. Pesan-pesan kesehatan disajikan dalam
beberapa bentuk permainan seperti permainan monopoli.
Cara memainkannya persis seperti bermain monopoli dan
menggunakan dadu, gaco (petunjuk arah) selain papan
main. Beberapa orang menjadi pemain dan sebagian lagi
berperan sebagai narasumber.

Alat Bantu Promosi Kesehatan


(Menurut Cone of Experience, Edgar Dale)

84. Desain Penelitian


STUDY
DESIGNS

Descriptive

Analytical

Case report (E.g. Cholera)

Observational
1.
2.
3.
4.

Cross-sectional
Cohort
Case-control
Ecological

Experimental
Clinical trial (parc vs.
aspirin in Foresterhill)

Field trial (preventive


programmes )

Case series

Cross-sectional

Desain Cross Sectional


KELEBIHAN:
Mengukur angka
prevalensi
Mudah dan cepat
Sumber daya dan dana
yang efisien karena
pengukuran dilakukan
dalam satu waktu
Kerjasama penelitian
(response rate) dengan
desain ini umumnya
tinggi.

KELEMAHAN:
Sulit membuktikan
hubungan sebab-akibat,
karena kedua variabel
paparan dan outcome
direkam bersamaan.
Desain ini tidak efisien
untuk faktor paparan atau
penyakit (outcome) yang
jarang terjadi.

Desain Case Control


KELEBIHAN:
Dapat membuktikan
hubungan sebab-akibat.
Tidak menghadapi
kendala etik, seperti
halnya penelitian kohort
dan eksperimental.
Waktu tidak lama,
dibandingkan desain
kohort.
Mengukur odds ratio
(OR).

KEKURANGAN:
Pengukuran variabel
secara retrospektif,
sehingga rentan terhadap
recall bias.
Kadang sulit untuk
memilih subyek kontrol
yang memiliki karakter
serupa dengan subyek
kasus (case)nya.

Desain Kohort
KELEBIHAN:
Mengukur angka insidens.
Keseragaman observasi
terhadap faktor risiko dari
waktu ke waktu sampai terjadi
outcome, sehingga merupakan
cara yang paling akurat untuk
membuktikan hubungan
sebab-akibat.
Mengukur Relative Risk (RR).

KEKURANGAN:
Memerlukan waktu penelitian
yang relative cukup lama.
Memerlukan sarana dan
prasarana serta pengolahan
data yang lebih rumit.
Kemungkinan adanya subyek
penelitian yang drop out/ loss
to follow up besar.
Menyangkut masalah etika
karena faktor risiko dari
subyek yang diamati sampai
terjadinya efek, menimbulkan
ketidaknyamanan bagi subyek.

85. Keberhasilan Posyandu (SKDN)


DATA
S

POSYANDU
Jumlah seluruh balita di wilayah posyandu

DESA
Jumlah seluruh balita di
posyandu

Jumlah balita yang memiliki KMS pada bulan ini Jumlah balita yang memiliki
di wilayah kerja posyandu
KMS pada bulan ini di desa

Jumlah balita yang ditimbang bulan ini di Rekapitulasi jumlah balita


wilayah kerja posyandu
yang ditimbang bulan ini dari
seluruh posyandu di desa

N/T

Balita yang ditimbang 2 bulan berturut-turut Rekapitulasi jumlah balita


dan garis pertumbuhannya pada KMS naik (N) yang N atau T dari seluruh
atau tidak naik (T)
posyandu didesa

Keberhasilan Posyandu
Indikatornya adalah:
Peran serta/ partisipasi masyarakat: D/S
Cakupan program: K/S
Cakupan kelangsungan penimbangan: D/K
Cakupan Hasil Penimbangan (N/D)
Pada soal, Tingkat partisipasi masyarakat diukur
dengan menghitung D/S = 495/500 =99%

86. Konsep Kesehatan Masyarakat


Pelayanan kesehatan promotif adalah suatu kegiatan dan/atau
serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan
kegiatan yang bersifat promosi kesehatan.
Pelayanan kesehatan preventif adalah suatu kegiatan pencegahan
terhadap suatu masalah kesehatan/penyakit.
Pelayanan kesehatan kuratif adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian
kegiatan pengobatan yang ditujukan untuk penyembuhan penyakit,
pengurangan penderitaan akibat penyakit, pengendalian penyakit,atau
pengendalian kecacatan agar kualitas penderita dapat terjaga seoptimal
mungkin.
Pelayanan kesehatan rehabilitatif adalah kegiatan dan/atau serangkaian
kegiatan untuk mengembalikan bekas penderita ke dalam masyarakat
sehingga dapat berfungsi lagi sebagai anggota masyarakat yang berguna
untuk dirinya dan masyarakat semaksimal mungkin sesuai dengan
kemampuannya.

Five Level of Prevention


Menurut Leavel and Clark, pencegahan penyakit
terbagi dalam 5 tahapan, yang sering disebut 5 level
of prevention, yaitu:
Health Promotion (Promosi Kesehatan)
Specific Protection (Perlindungan Khusus)
Early Diagnosis and Prompt Treatment (Diagnosis
Dini dan Pengobatan yang Cepat dan Tepat)
Disability Limitation (Pembatasan Kecacatan)
Rehabilitation (Rehabilitasi)

Pencegahan Primer-Sekunder-Tersier

Pencegahan Primer-Sekunder-Tersier

87. Pengukuran Mortality Rate


CRUDE DEATH RATE
CDR adalah angka kematian
kasar atau jumlah seluruh
kematian selama satu tahun
dibagi jumlah penduduk
pada pertengahan tahun

CRUDE DEATH RATE


CDR adalah angka kematian
kasar atau jumlah seluruh
kematian selama satu tahun
dibagi jumlah penduduk
pada pertengahan tahun

Rumus:

Rumus:

Jumlah semua kematian


--------------------------------Jumlah semua penduduk

Jumlah semua kematian


--------------------------------Jumlah semua penduduk

Pengukuran Mortality Rate


CASE FATALITY RATE
CFR adalah persentase angka
kematian oleh sebab penyakit
tertentu, untuk menentukan
kegawatan/ keganasan
penyakit tersebut
Jumlah kematian penyakit x
-----------------------------------Jumlah kasus penyakit x
Pada soal:
CFR = 1/40

MATERNAL MORTALITY RATE


MMR = AKI = Angka kematian
Ibu adalah jumlah kematian
ibu oleh sebab kehamilan/
melahirkan/ nifas (sampai 42
hari post partum) per 100.000
kelahiran hidup
Jumlah kematian Ibu
------------------------------ x 100.000
Jumlah kelahiran hidup

Pengukuran Mortality Rate


INFANT MORTALITY RATE
IMR = AKB = angka
kematian bayi adalah
jumlah kematian bayi
(umur <1tahun) per 1000
kelahiran hidup
Juml kematian bayi
----------------------------- x 1000
Juml kelahiran hidup

NEONATAL MORTALITY
RATE
NMR = AKN = Angka
Kematian Neonatal
adalah jumlah kematian
bayi sampai umur < 4
minggu atau 28 hari per
1000 kelahiran hidup
Jumlah kematian neonatus
------------------------------------ x 1000
Jumlah kelahiran hidup

88. Sasaran Promosi Kesehatan


Sasaran Primer
Sesuai misi pemberdayaan
kelompok masyarakat yang akan diubah perilakunya
Misal : kepala keluarga, ibu hamil/menyusui, anak sekolah

Sasaran Sekunder
Sesuai misi dukungan sosial (bina suasana)
Tokoh masyarakat setempat (formal, maupun informal) dapat digunakan
sebagai jembatan untuk mengefektifkan pelaksanaan promosi kesehatan
terhadap (sasaran primer) Perilakunya selalu menjadi acuan
Misal: Tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama

Sasaran Tersier
Sesuai misi advokasi
pengadaan sarana dan prasarana untuk berperilaku sehat
Misal : Pembuat kebijakan mulai dari pusat sampai ke daerah

http://promkesbangli.blogspot.com/2012/03/sasaran-promosi-kesehatan.html

486

89. Aspek Hukum Rekam Medis

Pasal 46 ayat (1) UU Praktik Kedokteran: setiap dokter atau dokter


gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib membuat rekam
medis.

Pasal 47 ayat (1): Dokumen rekam medis sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 46 merupakan milik dokter, dokter gigi, atau sarana
pelayanan kesehatan, sedangkan isi rekam medis merupakan milik
pasien.

Mengenai isi rekam medis diatur lebih khusus dalam Pasal 12 ayat
(2) dan ayat (3) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis: Isi rekam medis
merupakan milik pasien yang dibuat dalam bentuk ringkasan rekam
medis.

Yang Berhak Terhadap Isi Rekam Medis


Pasien
Keluarga pasien
Orang yang diberi kuasa oleh pasien atau
keluarga pasien
Orang yang mendapat persetujuan tertulis
dari pasien atau keluarga pasien

Kerahasiaan Isi Rekam Medis


Semua informasi yang terkandung dalam
rekam medis adalah rahasia. Oleh karena itu,
pemaparan isi rekam medis harus seijin
pasien, kecuali:
Keperluan hukum
Rujukan ke pelayanan lain untuk kepentingan
pasien/keluarganya
Riset/edukasi
Penyakit yang dialami sangat infeksius dan
mengancam nyawa

90. Identifikasi Forensik


Secara garis besar ada dua metode pemeriksaan, yaitu:
Identifikasi primer: identifikasi yang dapat berdiri sendiri tanpa
perlu dibantu oleh kriteria identifikasi lain. Teknik identifikasi primer
yaitu :
Pemeriksaan DNA
Pemeriksaan sidik jari
Pemeriksaan gigi
Pada jenazah yang rusak/busuk untuk menjamin keakuratan dilakukan
dua sampai tiga metode pemeriksaan dengan hasil positif.

Identifikasi sekunder: Pemeriksaan dengan menggunakan data


identifikasi sekunder tidak dapat berdiri sendiri dan perlu didukung
kriteria identifikasi yang lain. Identifikasi sekunder terdiri atas cara
sederhana dan cara ilmiah. Cara sederhana yaitu melihat langsung
ciri seseorang dengan memperhatikan perhiasan, pakaian dan kartu
identitas yang ditemukan. Cara ilmiah yaitu melalui teknik keilmuan
tertentu seperti pemeriksaan medis.

Cara Identifikasi Forensik


Pemeriksaan sidik jari: membandingkan gambaran sidik jari jenazah
dengan data sidik jari antemortem. Pemeriksaan sidik jari merupakan
pemeriksaan yang diakui paling tinggi akurasinya dalam penentuan
identitas seseorang, oleh karena tidak ada dua orang yang memiliki sidik
jari yang sama.
Metode visual: dilakukan dengan cara keluarga/rekan memperhatikan
korban (terutama wajah). Oleh karena metode ini hanya efektif pada
jenazah yang masih utuh (belum membusuk), maka tingkat akurasi dari
pemeriksaan ini kurang baik.
Pemeriksaan dokumen: dilakukan dengan dokumen seperti kartu identitas
(KTP, SIM, kartu golongan darah, paspor dan lain-lain) yang kebetulan
dijumpai dalam saku pakaian yang dikenakan. Namun perlu diingat bahwa
dalam kecelakaan massal, dokumen yang terdapat dalam saku, tas atau
dompet pada jenazah belum tentu milik jenazah yang bersangkutan.

Cara Identifikasi Forensik


Pengamatan pakaian dan perhiasan: dilakukan dengan memeriksa pakaian
dan perhiasan yang dikenakan jenzah. Dari pemeriksaan ini dapat
diketahui merek, ukuran, inisial nama pemilik, badge, yang semuanya
dapat membantu identifikasi walaupun telah terjadi pembusukan pada
jenazah.
Identifikasi medik: dilakukan dengan menggunakan data pemeriksaan fisik
secara keseluruhan, meliputi tinggi dan berat badan, jenis kelamin, warna
rambut, warna tirai mata, adanya luka bekas operasi, tato, cacat atau
kelainan khusus dan sebagainya. Metode ini memiliki akurasi yang tinggi,
oleh karena dilakukan oleh seorang ahli dengan menggunakan berbagai
cara atau modifikasi.
Pemeriksaan gigi: Pemeriksaan ini meliputi pencatatan data gigi yang
dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan manual, sinar x,
cetakan gigi serta rahang. Odontogram memuat data tentang jumlah,
bentuk, susunan, tambalan, protesa gigi dan sebagainya. Bentuk gigi dan
rahang merupakan ciri khusus dari seseorang.

Cara Identifikasi Forensik


Serologi: Pemeriksaan ini bertujuan untuk menentukan golongan
darah yang diambil baik dari tubuh korban atau pelaku, maupun
bercak darah yang terdapat di tempat kejadian perkara. Ada dua
tipe orang dalam menentukan golongan darah, yaitu:
Sekretor : golongan darah dapat ditentukan dari pemeriksaan darah,
air mani dan cairan tubuh.
Non-sekretor : golongan darah hanya dari dapat ditentukan dari
pemeriksaan darah

Metode eksklusi: digunakan pada identifikasi kecelakaan massal


yang melibatkan sejumlah orang yang dapat diketahui identitasnya.
Bila sebagian besar korban telah dipastikan identitasnya dengan
menggunakan metode identifikasi lain, sedangkan identitas sisa
korban tidak dapat ditentukan dengan metode tersebut di atas,
maka sisa diidentifikasi menurut daftar penumpang.

Cara Identifikasi Forensik


Identifikasi kerangka: bertujuan untuk membuktikan bahwa
kerangka tersebut adalah kerangka manusia, ras, jenis
kelamin, perkiraan umur, tinggi badan, ciri-ciri khusus,
deformitas dan bila memungkinkan dapat dilakukan
rekonstruksi wajah. Kemudian dicari pula tanda kekerasan
pada tulang serta keadaan kekeringan tulang untuk
memperkirakan saat kematian.
Pemeriksaan molekuler: memanfaatkan pengetahuan
kedokteran dan biologi pada tingkatan molekul dan DNA.
Pemeriksaan ini biasa dilakukan untuk melengkapi dan
menyempurnakan berbagai pemeriksaan identifikasi
personal pada kasus mayat tak dikenal, kasus pembunuhan,
perkosaan serta berbagai kasus ragu ayah (paternitas).

Odontologi Forensik Identifikasi gigi susu

Identifikasi Gigi Permanen

91. Cadaveric Spasm


Cadaveric spasme atau instantaneous rigor adalah suatu keadaan dimana
terjadi kekakuan pada sekelompok otot dan kadang-kadang pada seluruh
otot, segera setelah terjadi kematian somatis dan tanpa melalui relaksasi
primer.
Berhubungan dengan kehabisan cadangan glikogen dan ATO yang bersifat
setempat pada saat mati klinis karena kelelahan atau emosi yang hebat
sesaat sebelum meninggal
Dapat terjadi pada semua otot di tubuh akan tetapi biasanya pada grup
grup otot tertentu, misalnya otot lengan atas.
Kepentingan medikolegal adalah menunjukan sikap terakhir masa
hidupnya, misalnya tangan menggenggam erat benda yang diraihnya pada
kasus tenggelam ; terjadi sesaat setelah kematian, sebelum onset normal
dari rigor mortis.

Cadaveric Spasme atau Rigor Mortis?


Bedakan rigor mortis dengan cadaveric
spasme.
Rigor mortis baru terjadi pada 2-4 jam pertama,
terjadi secara komplit pada 6-12 jam paska
kematian,dan terutama terlihat jelas pada otot
otot kecil.
Cadavaric spasme segera setelah terjadi kematian
somatis. Dapat terjadi pada semua otot di tubuh
akan tetapi biasanya pada grup grup otot
tertentu.

Bedanya dengan stiffening


Heat stiffening : kekakuan otot akibat koagulasi protein
oleh panas. Otot-otot berwarna merah muda, kaku,
tetapi rapuh (mudah robek)
dapat dijumpai pada korban mati terbakar
pada heat stiffening serabut-serabut ototnya memendek
sehingga menimbulkan flexi leher, siku, paha, dan lutut,
membentuk sikap petinju (pugilistic attitude)

Cold stiffening : kekakuan tubuh akibat lingkungan


dingin, sehingga terjadi pembekuan cairan tubuh,
termasuk cairan sendi, pemadatan jaringan lemak
subkutan dan otot, sehingga bila sendi ditekuk akan
terdengar bunyi pecahnya es dalam rongga sendi.

92. Visum et Repertum


Visum et repertum adalah laporan tertulis
untuk kepentingan peradilan (pro yustisia)
atas permintaan yang berwenang, yang dibuat
oleh dokter, terhadap segala sesuatu yang
dilihat dan ditemukan pada pemeriksaan
barang bukti, berdasarkan sumpah pada
waktu menerima jabatan, serta berdasarkan
pengetahuannya yang sebaik-baiknya..

VeR untuk Korban Hidup


Visum et repertum biasa/tetap. Visum et repertum ini
diberikan kepada pihak peminta (penyidik) untuk
korban yang tidak memerlukan perawatan lebih lanjut.
Visum et repertum sementara. Visum et
repertum sementara diberikan apabila korban
memerlukan perawatan lebih lanjut karena belum
dapat membuat diagnosis dan derajat lukanya. Apabila
sembuh dibuatkan visum et repertum lanjutan.
Visum et repertum lanjutan. Dalam hal ini korban tidak
memerlukan perawatan lebih lanjut karena sudah
sembuh, pindah dirawat dokter lain, atau meninggal
dunia.

Visum et repertum untuk orang mati (jenazah)

Pada pembuatan visum et repertum ini, dalam


hal korban mati maka penyidik mengajukan
permintaan tertulis kepada pihak Kedokteran
Forensik untuk dilakukan bedah mayat
(outopsi).

Jenis VeR lainnya


Visum et repertum Tempat Kejadian Perkara (TKP). Visum
ini dibuat setelah dokter selesai melaksanakan
pemeriksaan di TKP.
Visum et repertum penggalian jenazah. Visum ini dibuat
setelah dokter selesai melaksanakan penggalian jenazah.
Visum et repertum psikiatri yaitu visum pada terdakwa yang
pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan menunjukkan
gejala-gejala penyakit jiwa.
Visum et repertum barang bukti, misalnya visum terhadap
barang bukti yang ditemukan yang ada hubungannya
dengan tindak pidana, contohnya darah, bercak mani,
selongsong peluru, pisau.

93. Luka Tembak


Dalam memberikan pendapat atau kesimpulan dalam
visum et repertum, tidak dibenarkan menggunakan
istilah pistol atau revolver; oleh karena perkataan pistol
mengandung pengertian bahwa senjatanya termasuk
otomatis atau semi otomatis, sedangkan revolver
berarti anak peluru berada dalam silinder yang akan
memutar jika tembakan dilepaskan.
Oleh karena dokter tidak melihat peristiwa
penembakannya, maka yang akan disampaikan adalah;
senjata api kaliber 0,38 dengan alur ke kiri dan
sebagainya.

Luka Tembak Menempel Erat


Luka simetris di tiap sisi
Jejas laras jelas mengelilingi lubang luka
Tidak akan dijumpai kelim jelaga atau kelim
tattoo

Kelim pada Luka Tembak


Kelim tato: akibat butir mesiu; gambaran bintikbintik hitam bercampur perdarahan, tidak dapat
dihapus dengan kain.
Kelim jelaga: akibat asap; gambaran bintik-bintik
hitam yang dapat dihapus dengan kain.
Kelim api: akibat pembakaran dari senjata; luka
bakar terlihat dari kulit dan rambut di sekitar luka
yang terbakar.
Kelim lecet: akibat partikel logam; bentuknya luka
lecet atau luka terbuka yang dangkal

Luka Tembak Masuk vs Keluar


Luka tembak masuk: pada tubuh korban tersebut akan
didapatkan perubahan yang diakibatkan oleh berbagai
unsur atau komponen yang keluar dari laras senjata api
tersebut, seperti anak peluru, butir-butir mesiu yang
tidak terbakar atau sebagian terbakar, asap atau jelaga,
api, partikel logam, minyak pada anak peluru.
Luka tembak keluar: tidak adanya kelim lecet, kelimkelim lain juga tentu tidak ditemukan. Luka tembak
keluar pada umumnya lebih besar dari luka tembak
masuk.

94. Klasifikasi Luka menurut KUHP


Klasifikasi luka dan pasal yang berhubungan:
Luka ringan pasal 352 KUHP = luka derajat satu
Luka sedang pasal 351 (1) atau 353 (1) = luka
derajat dua
Luka berat pasal 90 KUHP

Luka Ringan dan Luka Sedang


Luka derajat satu (pasal 352 KUHP): Luka tersebut
TIDAK menyebabkan penyakit atau halangan
dalam menjalankan pekerjaan
jabatan/pencaharian.
Luka derajat dua (pasal 351(1) KUHP): luka
tersebut TELAH menyebabkan penyakit atau
halangan dalam menjalankan pekerjaan jabatan/
pencaharian untuk SEMENTARA WAKTU.

Luka Ringan dan Luka Sedang


Untuk membedakan luka derajat satu atau dua, maka dilakukan pengujian
dengan beberapa kriteria sbb:
Apakah luka tersebut memerlukan perawatan medis, seperti penjahitan luka,
pemberian infus dsb
Apakah luka atau cedera tersebut menyebabkan terjadinya gangguan fungsi
(fungsiolesa)?
Apakah lokasinya di tempat yang rawan, seperti mulut, hidung, leher,
skrotum?
Apakah lukanya tunggal, sedikit, atau banyak?

Bila luka tersebut mutlak memerlukan perawatan medis, menyebabkan


gangguan fungsi, lokasinya pada lokasi rawan dan jumlah lukanya banyak,
maka lukanya pada umumnya merupakan luka derajat dua. Jika tidak ada
satupun hal tersebut yang terpenuhi maka derajat lukanya adalah satu.
Pembedaan luka derajat satu dan dua pada banyak kasus merupakan hal
yang sulit, sehingga kesimpulan seorang dokter dengan dokter lainnya
kadang berbeda.

Luka Berat
Pasal 90 KUHP menyatakan bahwa luka berat, adalah:
Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan
akan sembuh sama sekali, atau
Yang menimbulkan bahaya maut
Tidak mampu secara terus menerus untuk menjalankan tugas
jabatan atau pekerjaan pencarian
Kehilangan salah satu pancaindera
Mendapat cacat berat
Menderita sakit lumpuh
Terganggunya daya pikir selama lebih dari empat minggu
Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan
Luka yang memenuhi salah satu kriteria pada pasal 90 KUHP
merupakan luka derajat tiga atau luka berat. Jika luka tersebut
tidak memenuhi kriteria tersebut diatas, maka lukanya termasuk
derajat satu atau dua.

95. Tenggelam/ Drowning


Tenggelam merupakan akibat dari terbenamnya
seluruh atau sebagian tubuh ke dalam air, kemudian air
terhisap masuk ke saluran pernafasan sampai alveoli
paru.
Tenggelam merupakan salah satu dari bentuk kematian
akibat anoksia dan masuknya cairan ke dalam saluran
pernafasan yang dapat menyebabkan refleks vagal dan
spasme laring.
Dapat terjadi karena kecelakaan, pembunuhan atau
bunuh diri.

Tipe Tenggelam
Tipe Kering (Dry drowning):
akibat dari reflek vagal yang dapat menyebabkan henti jantung
atau akibat dari spasme laring karena masuknya air secara tibatiba kedalam hidung dan traktus respiratorius bagian atas.
Banyak terjadi pada anak-anak dan dewasa yang banyak
dibawah pengaruh obat-obatan (Hipnotik sedatif) atau alkohol
tidak ada usaha penyelamatan diri saat tenggelam.

Tipe Basah (Wet drowning)


terjadi aspirasi cairan
Aspirasi air sampai paru menyebabkan vasokonstriksi pembuluh
darah paru. Air bergerak dengan cepat ke membran kapiler
alveoli. Surfaktan menjadi rusak sehingga menyebabkan
instabilitas alveoli, ateletaksis dan menurunnya kemampuan
paru untuk mengembang.

Berdasarkan Lokasi Tenggelam


AIR TAWAR
Air dengan cepat diserap
dalam jumlah besar
hemodilusi
hipervolemia dan
hemolisis massif dari selsel darah merah
kalium intrasel akan
dilepas hiperkalemia
fibrilasi ventrikel dan
anoksia yang hebat pada
miokardium.

AIR LAUT
Pertukaran elektrolit dari
air asin ke darah
natrium plasma
meningkat air akan
ditarik dari sirkulasi
hipovolemia dan
hemokonsentrasi
hipoksia dan anoksia

Pemeriksaan Luar Korban Tenggelam


Mayat dalam keadaan basah berlumuran pasir dan
benda-benda asing lainnya yang terdapat di dalam air
laut dan kadang-kadang bercampur Lumpur.
Busa halus putih yang berbentuk jamur (mush roomlike mass).
Masuknya cairan kedalam saluran pernafasan merangsang
terbentuknya mukus, substansi ini ketika bercampur dengan
air dan surfaktan dari paru-paru dan terkocok oleh karena
adanya upaya pernafasan yang hebat. Busa dapat meluas
sampai trakea, bronkus utama dan alveoli.

Cutis anserina pada ekstremitas akibat kontraksi otot


erector pilli yang dapat terjadi karena rangsangan
dinginnya air.

Pemeriksaan Luar Korban Tenggelam


Washer woman hand. Telapak tangan dan kaki
berwarna keputihan dan berkeriput yang
disebabkan karena inhibisi cairan ke dalam cutis
dan biasanya membutuhkan waktu yang lama.
Cadaveric spasme. Merupakan tanda vital yang
terjadi pada waktu korban berusaha
menyelamatkan diri., dengan cara memegang apa
saja yang terdapat dalam air.
Luka lecet akibat gesekan benda-benda dalam air.
Penurunan suhu mayat
Lebam mayat terutama pada kepala dan leher

Pemeriksaan Dalam Korban Tenggelam


Pemeriksaan terutama ditujukan pada sistem pernapasan, busa
halus putih dapat mengisi trakhea dan cabang-cabangnya, air juga
dapat ditemukan, demikian pula halnya dengan benda-benda asing
yang ikut terinhalasi bersama benda air.
Benda asing dalam trakhea dapat tampak secara makroskopis
misalnya pasir, lumpur, binatang air, tumbuhan air dan lain
sebagainya; sedangkan yang tampak secara mikroskopis diantaranya
telur cacing dan diatome (ganggang kersik).
Pleura dapat berwarna kemerahan dan terdapat bintik-bintik
perdarahan. Perdarahan ini dapat terjadi karena adanya kompresi
terhadap septum interalveoli, atau oleh karena terjadinya fase
konvulsi akibat kekurangan oksigen.
Bercak perdarahan yang besar (diameter 3-5 cm), terjadi karena
robeknya partisi inter alveolar, dan sering terlihat di bawah pleura;
bercak ini disebut sebagai bercak Paltauf.
Bercak berwarna biru kemerahan dan banyak terlihat pada bagian
bawah paru-paru, yaitu pada permukaan anterior dan permukaan
antar bagian paru-paru.

Pemeriksaan Dalam Korban Tenggelam


Kongesti pada laring
Emphysema aquosum atau emphysema
hyroaerique yaitu paru-paru tampak pucat
dengan diselingi bercak-bercak merah di antara
daerah yang berwarna kelabu;
Obstruksi pada sirkulasi paru-paru akan
menyebabkan distensi jantung kanan dan
pembuluh vena besar dan keduanya penuh berisi
darah yang merah gelap dan cair, tidak ada
bekuan.

Pemeriksaan Konfirmasi Kasus Tenggelam


Terdapat pemeriksaan khusus pada kasus mati
tenggelam (drowning), yaitu :
Percobaan getah paru (lonset proef)
Pemeriksaan diatome (destruction test)
Pemeriksaan kimia darah (gettler test & Durlacher
test).

Tes getah paru (lonset proef)


Kegunaan melakukan percobaan paru (lonsef proef)
yaitu mencari benda asing (pasir, lumpur, tumbuhan,
telur cacing) dalam getah paru-paru mayat.
Syarat melakukannya adalah paru-paru mayat
harus segar / belum membusuk.
Cara melakukan percobaan getah paru (lonsef proef)
yaitu permukaan paru-paru dikerok (2-3 kali) dengan
menggunakan pisau bersih lalu dicuci dan iris
permukaan paru-paru. Kemudian teteskan diatas objek
gelas. Syarat sediaan harus sedikit mengandung
eritrosit.

Tes Diatom
TES DIATOM
Diatom adalah alga atau ganggang
bersel satu dengan dinding terdiri
dari silikat (SiO2) yang tahan panas
dan asam kuat.

Bila seseorang mati karena


tenggelam maka cairan bersama
diatome akan masuk ke dalam
saluran pernafasan atau pencernaan
kemudian diatome akan masuk
kedalam aliran darah melalui
kerusakan dinding kapiler pada waktu
korban masih hidup dan tersebar
keseluruh jaringan.

4 CARA PEMERIKSAAN DIATOM:


Pemeriksaan mikroskopik langsung.
Pemeriksaan permukaan paru disiram
dengan air bersih iris bagian perifer
ambil sedikit cairan perasan dari
jaringan perifer paru, taruh pada
gelas objek tutup dengan kaca
penutup. Lihat dengan mikroskop.

Pemeriksaan mikroskopik jaringan


dengan metode Weinig dan Pfanz.

Chemical digestion. Jaringan


dihancurkan dengan menggunakan
asam kuat sehingga diharapkan
diatom dapat terpisah dari jaringan
tersebut.

Inseneration. Bahan organik


dihancurkan dengan pemanasan
dalam oven.

Tes Kimia Darah


TEST KIMIA DARAH
Mengetahui ada tidaknya
hemodilusi atau
hemokonsentrasi pada
masing-masing sisi dari
jantung, dengan cara
memeriksa gaya berat spesifik
dari kadar elektrolit antara lain
kadar sodium atau clorida dari
serum masing-masing sisi.
Dianggap reliable jika
dilakukan dalam waktu 24 jam
setelah kematian

Test Gettler: Menunjukan


adanya perbedaan kadar
klorida dari darah yang diambil
dari jantung kanan dan
jantung kiri. Pada korban
tenggelam di air laut kadar
klorida darah pada jantung kiri
lebih tinggi dari jantung kanan.
Tes Durlacher: Penentuan
perbedaan berat plasma
jantung kanan dan kiri. Pada
semua kasus tenggelam berat
jenis plasma jantung kiri lebih
tinggi daripada jantung kanan .

THT-KL

96. Audiologi Dasar


Tes pendengaran kualitatif:
Rinne
Weber
Schwabach
Bing
Tes pendengaran semikuantitatif:
tes bisik
Tes pendengaran kuantitatif
pure tone audiometry
Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.

Audiologi Dasar
Rinne

Weber

Schwabach
Sama dengan
pemeriksa

Diagnosis

Positif

Tidak ada lateralisasi

Negatif

Lateralisasi ke telinga Memanjang


yang sakit

Tuli konduktif

Positif

Lateralisasi ke telinga Memendek


yang sehat

Tuli sensorineural

Tes bisik
Panjang ruangan minimal 6 meter
Nilai normal: 5/6-6/6
Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.

Normal

Audiologi Dasar
Audiometri nada murni:
Ambang Dengar (AD): bunyi nada murni terlemah pada
frekuensi tertentu yang masih dapat didengar oleh telinga
seseorang.
Perhitungan derajat ketulian:
(AD 500 Hz + AD 1000 Hz + AD 2000 Hz + AD 4000 Hz) / 4
Derajat ketulian:
0-25 dB
: normal
>25-40 dB
: tuli ringan
>40-55 dB
: tuli sedang
>55-70 dB
: tuli sedang berat
>70-90 dB
: tuli berat
>90 dB
: tuli sangat berat
Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.

Audiologi Khusus
Evoked response audiometry
Menilai perubahan potensial listrik di otak setelah
pemberian rangsang sensoris berupa bunyi.
Rangsang bunyi akan menempuh perjalanan melalui saraf
ke VIII di koklea (gelombang I), nukleus kokelaris (II),
nukleus olivarius superior (III), lemniskus lateralis (IV),
kolikulus inferior (V), kemudian menuju korteks auditorius
di lobus temporal otak.

Otoacoustic emission
Emisi otoakustik merupakan respons koklea yang
dihasilkan oleh sel-sel rambut luar yang dipancarkan dalam
bentuk energi akustik.

Audiologi Khusus
Audiometri impedans
Memeriksa kelenturan membran timpani dengan tekanan
tertentu pada meatus akustikus eksterna, meliputi
timpanometri, fungsi tuba, & refleks tapedius

Audiometri tutur
Menilai kemampuan pasien dalam pembicaraan sehari-hari
Pasien mengulangi kata-kata yang didengar melalui tape
Jumlah kata yang benar speech discrimination score:

90-100%: normal
75-90%: tuli ringan
60-75%: tuli sedang
50-60%: sukar mengikuti pembicaraan seharihari
<50%: tuli berat

97. Gangguan Pendengaran


Gangguan pendengaran pada lansia, 25-30% terjadi pada usia 65-70
tahun.
Presbikusis: tuli simetris, terutama nada tinggi, karena proses
penuaan.

Sensorik: sel rambut & sel sustentakular berkurang, organ korti rata
Neural:neuron koklea berkurang
Strial: atropi stria vaskularis
Konduktif: membran basilar kaku

97. Gangguan Pendengaran


Cocktail party deafness
Tanda tuli koklear, pasien terganggu oleh suara background
sulit mendengar di lingkungan ramai.
Dijumpai pada presbikusis & noice induced hearing loss.

Presbikusys
Terjadi pada usia >65
tahun.
Bilateral

Noise induced hearing loss


Pajanan bising jangka
panjang cochlear
sensorineural deafness
dengan/tanpa tinnitus.
Bilateral

Circles indicate hearing losses for air


conduction whereas squares indicate
hearing loss for bone conduction.

98. Vesikel di telinga


Herpes zoster oticus/Ramsay Hunt syndrome

Antiviral agents clearly play a role in limiting the severity


and duration of symptoms if given early in the course of the
illness. Early administration (< 72 h) of acyclovir showed an
increased rate of facial nerve function recovery and
prevented further nerve degeneration.
Contemp Clin Dent. 2010 Apr-Jun; 1(2): 127129.

98. Vesikel di
telinga

99. Tonsilektomi
Radang berulang jaringan limfoid terkikis jaringan parut
kripti melebar.
Indikasi tonsilektomi:
Serangan tonsilitis >3 kali/tahun, meski terapi adekuat
Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi & gangguan
pertumbuhan orofasial
Sumbatan jalan napas obstructive sleep apneu, gangguan menelan,
gangguan bicara, cor pulmonal
Rinitis & sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak
hilang dengan pengobatan
Napas bau yang tidak hilang dengan pengobatan
Tonsilitis berulang yang disebabkan Streptokokus beta hemolitikus
grup A
Hipertrofi tonsil yang dicurigai keganasan
Otitis media efusa/otitis media supuratif
Buku ajar THT KL FKUI

99. Tonsilektomi

Current diagnosis & treatment in otolaryngology. 2nd ed. McGraw-Hill.

100. Hidung Tersumbat


Polyp is a white-greyish soft tissue containing fluid within
nasal cavity, which is caused by mucosal inflammation.
Nasal polyps do not occur in children except in the
presence of cystic fibrosis.
Symptoms & signs:
nasal obstruction, nasal discharge, hyposmia, sneezing, pain,
frontal headache.
Rhinoscopy: pale mass at meatus medius, smooth & moist,
pedunculated and move on probing.

Therapy:

Corticosteroid (eosinophilic polyp has good response


compared with neutrophilic polyp)
polipectomy if no improvement.

100. Hidung Tersumbat

100. Rinitis
Diagnosis

Clinical Findings

Rinitis alergi

Riwayat atopi. Gejala: bersin, gatal, rinorea, kongesti. Tanda: mukosa


edema, basah, pucat atau livid, sekret banyak.

Rinitis
vasomotor

Gejala: hidung tersumbar dipengaruhi posisi, rinorea, bersin.


Pemicu: asap/rokok, pedas, dingin, perubahan suhu, lelah, stres.
Tanda: mukosa edema, konka hipertrofi merah gelap.

Rinitis hipertrofi Hipertrofi konka inferior karena inflamasi kronis yang disebabkan
oleh infeksi bakteri, atau dapat juga akrena rinitis alergi & vasomotor.
Gejala: hidung tersumbat, mulut kering, sakit kepala. Sekret banyak
& mukopurulen.
Rinitis atrofi /
ozaena

Disebabkan Klesiella ozaena atau stafilokok, streptokok, P. Aeruginosa


pada pasien ekonomi/higiene kurang. Sekret hijau kental, napas bau,
hidung tersumbat, hiposmia, sefalgia. Rinoskopi: atrofi konka media
& inferior, sekret & krusta hijau.

Rinitis
Hidung tersumbat yang memburuk terkait penggunaan
medikamentosa vasokonstriktor topikal. Perubahan: vasodilatasi, stroma
edema,hipersekresi mukus. Rinoskopi: edema/hipertrofi konka
dengan sekret hidung yang berlebihan.
Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.

Anda mungkin juga menyukai