Evaluasi Biakan Urin Pada Penderita BPH Setelah Pemasangan Kateter Menetap: Pertama Kali Dan Berulang
Evaluasi Biakan Urin Pada Penderita BPH Setelah Pemasangan Kateter Menetap: Pertama Kali Dan Berulang
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1.
2.1.1. GINJAL
Ginjal adalah sepasang organ yang terletak pada retroperitoneum
diselubungi fasia gerota dan sejumlah lemak. Di dorsal; iga terbawah,
kuadratus lumborum, dan muskulus psoas berada proksimal didekatnya.
Hubungan ventral dari ginjal kanan termasuk adrenal, lambung lien,
pankreas, kolon dan ileum.
Arteri renalis keluar dari aorta dan hampir dua pertiga dari ginjal
hanya mempunyai sistem perdarahan yang tunggal. Arteri renalis terbagi
menjadi lima cabang besar, yang merupakan end arteri yang mensuplai
segmen ginjal. Penyumbatan dari cabang arteri renalis akan menyebabkan
infark segmen ginjal. Vena renalis mengosongkan isinya kedalam vena cava
inferior. Saluran limfe ginjal bermuara pada hilar trunk, dan kapsular
limfatik
pada
nodus
periaorta
infradiafragmatik.
Persarafan
ginjal
mengandung vasomotor dan serat nyeri yang menerima konstribusi dari
segmen T4-T12. pelvis ginjal terletak dorsal dari pembuluh darah ginjal dan
mempunyai epitel transisional (Purnomo,2000).
2.1.2. URETER
Ureter terdiri dari otot yang memanjang membentuk tabung dan
berjalan melalui retroperitoneum dan menghubungkan pelvis ginjal dengan
kandung kemih. Panjang normal ureter pada dewasa adalah 2830 cm dan
diameternya sekitar 5 mm. Ureter menyalurkan urine dari ginjal menuju
kandung kemih dengan peristaltik aktif.
Suplai darah dari ureter berasal dari ginjal, aorta, iliaka, mesenterik,
gonad, vasal, arteri vesikalis. Serat nyeri menghantarkan rangsangan
kepada segmen T12-L1.
Ureter dapat mengalami deviasi medial pada
fibrosis retroperitoneal dan deviasi lateral oleh tumor retroperitoneal atau
aneurisma aorta (Hargreave,1995; Purnomo,2000).
Gbr 1-3 :
C. PERSYARAFAN
Kandung kemih disarafi oleh serabut simpatis yang berasal dari
thorakal 11 - lumbal 2, dan serabut para simpatis yang berasal dari sakral
2-4. Serabut simpatis eferen mensarafi otot polos bladder neck dan spingter
eksterna, dimana stimulasinya menyebabkan bladder outlet menutup
sewaktu terjadi ejakulasi. Sedangkan serabut simpatis aferen yang berasal
dari fundus kandung kemih adalah untuk membawa rangsang nyeri. Serabut
para simpatis eferen adalah saraf kandung kemih yang paling penting,
bertanggung jawab terhadap kontraksi otot-otot detrusor kandung kemih,
saraf ini sering mengalami cedera pada penderita trauma tulang belakang
yang menyebabkan retensi urine. Serabut para simpatis aferen membawa
rangsang distensi (Bahnson,1992; Turek,1993).
Muskulus spingter levetor ani eksternus disarafi oleh serabut
pudendal yang bersifat volunter (somatic motor), yang juga berasal dari
segmen sakral 2-3. Jika saraf ini dirangsang akan menghambat proses
berkemih oleh karena spingter eksterna berkontraksi. Dari dua jenis
reseptor adrenergik, beta reseptor terutama dijumpai pada fundus kandung
kemih, sedangkan alfa reseptor pada bladder neck dan uretra proksimal.
Gbr 1-4 :
posterior
prostat
terdapat
vesikula seminalis, vas deferen, fasia
denonvilliers dan rectum. Fasia denonvilliers berasal dari fusi tonjolan dua
lapisan peritoneum, fasia ini cukup keras dan biasanya dapat menahan
invasi karsinoma prostat ke rectum sampai suatu stadium lanjut. Pada
bagian posterior ini, prostat dimasuki oleh ductus ejakulatorius yang
berjalan secara oblique dan bermuara pada veromentanum didasar uretra
prostatika persis dibagian proksimal spingter eksterna. Pada permukaan
superior, prostat melekat pada bladder outlet dan spingter interna
sedangkan dibagian inferiornya terdapat diafragama urogenitalis yang
dibentuk oleh lapisan kuat fasia pelvis, dan perineal membungkus otot
levator ani yang tebal. Diafragma urogenital ini pada wanita lebih lemah
oleh karena ototnya lebih sedikit dan fasia lebih sedikit ( Weineth,1992).
Menurut klassifikasi Lowsley; prostat terdiri dari lima lobus: anterior,
posterior, medial, lateral kanan dan lateral kiri. Sedangkan menurut Mc
Neal, prostat dibagi atas : zona perifer, zona sentral, zona transisional,
segmen anterior dan zona spingter preprostat. Prostat normal terdiri dari 50
lobulus kelenjar. Duktus kelenjar-kelenjar prostat ini lebih kurang 20 buah,
secara terpisah bermuara pada uretra prostatika, dibagian lateral
verumontanum, kelenjar-kelenjar ini dilapisi oleh selapis epitel torak dan
bagian basal terdapat sel-sel kuboid (Nasar,1985; Tanango,1995).
Gbr 1-5:
FISIOLOGI BERKEMIH
polos lainnya otot-otot kandung kemih juga mempunyai sifat elastis bila
diregangkan. Pengosongan kandung kemih melibatkan banyak faktor, tetapi
faktor tekanan intra vesikal yang dihasilkan oleh sensasi rasa penuh adalah
merupakan pertama untuk berkontraksinya kandung kemih secara volunter.
Selama berkemih otot-otot perineal dan muskulus spingter uretra eksternus
mengalami relaksasi, sedangkan muskulus detrusor mengalami kontraksi
yang menyebabkan urin keluar melalui uretra. Pita-pita otot polos yang
terdapat pada sisi uretra tampaknya tidak mempunyai peranan sewaktu
berkemih, dimana fungsi utamanya diduga untuk mencegah refluk semen
kedalam kandung kemih sewaktu ejakulasi (Ganong,1983).
Mekanisme pengeluaran urine secara volunter, mulainya tidak jelas.
Salah satu peristiwa yang mengawalinya adalah relaksasi otot diafragma
pelvis yang menyebabkan tarikan otot-otot detrusor kebawah untuk
memulai
kontraksinya.
Otot-otot
perineal
dan
spingter
eksterna
berkontraksi secara volunter yang mencegah urine masuk kedalam uretra
atau menghentikan aliran saat berkemih telah dimulai. Hal ini diduga
merupakan kemampuan untuk mempertahankan spingter eksterna dalam
keadaan berkontraksi, dimana pada orang dewasa dapat menahan kencing
sampai ada kesempatan untuk berkemih. Setelah berkemih uretra wanita
kosong akibat gravitasi, sedangkan urine yang masih ada dalam uretra lakilaki dikeluarkan oleh beberapa kontraksi muskulus bulbo kavernosus
(Tanagho,1995;Turek,1993).
Pada orang dewasa volume urine normal dalam kandung kemih yang
mengawali reflek kontraksi adalah 300-400 ml. Didalam otak terdapat
daerah perangsangan untuk berkemih di pons dan daerah penghambatan di
mesensefalon. Kandung kemih dapat dibuat berkontraksi walau hanya
mengandung beberapa milliliter urine oleh perangsangan volunter reflek
pengosongan spiral. Kontraksi volunter otot-otot dinding perut juga
membantu pengeluaran urine dengan menaikkan tekanan intra abdomen.
Pada saat kandung kemih berisi 300-400 cc terasa sensasi kencing dan
apabila dikehendaki atas kendali pusat terjadilah proses berkemih yaitu
relaksasi spingter (internus dan eksternus) bersamaan itu terjadi kontraksi
otot detrusor buli-buli. Tekanan uretra posterior turun (spingter) mendekati
0 cmH2O sementara itu tekanan didalam kandung kemih naik sampai 40
cmH2O sehingga urin dipancarkan keluar melalui uretra (Rochani, 2000).
2.2.3. Retensi Urin.
Penyebab retensio urine dapat dibagi menjadi 3 kelompok
(Rochani,2000) :
1.
Supra Vesika
Penyebab supra vesikal adalah hal-hal yang disebabkan karena
persarafan kandung kemih misalnya trauma medula spinalis, atau
kerusakan syaraf-syaraf sympatis dan para sympatis akibat trauma
operasi atau neuropati DM. Obat-obatan anticholinergike, smooth
muscle relaksasi. Symphatikomimetik dapat menyebabkan retensi
urine.
2.
Vesika.
Penyebab vesikal adalah kelainan-kelainan kandung kemih yang
diakibatkan obstruksi lama atau infeksi kronis yang menyebabkan
fibrosis buli-buli sehingga kontraksi buli-buli melemah.
3.
Infra Vesikal
Penyebab infra vesikal adalah penyebab mekanik seperti :
A.
Klep uretra posterior kongenital
B.
C.
D.
E.
2.3
2.3.1. Insiden.
Pembesaran prostat jinak (BPH) merupakan penyakit pada laki-laki
usia diatas 50 tahun yang sering dijumpai. Karena letak anatominya yang
mengelilingi uretra, pembesaran dari prostat akan menekan lumen uretra
yang
menyebabkan sumbatan dari aliran kandung kemih. Signifikan
meningkat dengan meningkatnya usia. Pada pria berusia 50 tahun angka
kejadiannya sekitar 50%, dan pada usia 80 tahun sekitar 80%. Sekitar 50%
dari angka tersebut diatas akan menyebabkan gejala dan tanda klinik.
Karena proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan
maka efek perubahan juga terjadi perlahan-lahan (Sjamsuhidajat, 1996).
Di Indonesia BPH merupakan urutan kedua setelah batu saluran
kemih dan diperkirakan ditemukan pada 50% pria berusia diatas 50 tahun
dengan angka harapan hidup rata-rata di Indonesia yang sudah mencapai
65 tahun dan diperkirakan bahwa lebih kurang 5% pria Indonesia sudah
berumur 60 tahun atau lebih.
Kalau dihitung dari seluruh penduduk
Indonesia yang berjumlah 200 juta lebih, kira-kira 100 juta terdiri dari pria,
dan yang berumur 60 tahun atau lebih kira-kira 5 juta, sehingga
diperkirakan ada 2,5 juta laki-laki Indonesia yang menderita BPH.
Dengan semakin membaiknya pembangunan dinegara kita yang akan
memberikan dampak kenaikan umur harapan hidup, maka BPH akan
semakin bertambah. Oleh karena itu BPH harus dapat dideteksi oleh para
dokter, dengan mengenali manifestasi klinik dari BPH dan dapat dikelola
secara rasional sehingga akan memberikan morbiditas dan mortalitas yang
rendah dengan biaya yang optimal (Rahardjo,1997).
2.3.2. Patofisiologi.
Biasanya ditemukan gejala dan tanda obstruksi dan iritasi. Gejala dan
tanda obstruksi jalan kemih berarti penderita harus menunggu pada
permulaan miksi, miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran miksi
menjadi lemah, dan rasa belum puas sehabis miksi. Gejala iritasi
disebabkan karena hipersensitivitas otot detrusor berarti bertambahnya
frekwensi miksi, nokturia, miksi sulit ditahan, dan disuria. Gejala obstruksi
terjadi karena detrusor gagal berkontraksi dengan cukup kuat atau gagal
berkontraksi cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus. Gejala iritasi
terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna pada saat miksi atau
pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada kandung kemih,
sehingga vesika sering berkontraksi meskipun belum penuh. Gejala dan
tanda ini diberi skor untuk menentukan berat keluhan klinik.
Apabila vesika menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urin
sehingga pada akhir miksi masih ditemukan sisa urin didalam kandung
kemih, dan timbul rasa tidak tuntas pada akhir miksi. Jika keadaan ini
berlanjut pada suatu saat akan terjadi kemacatan total, sehingga penderita
tidak mampu lagi miksi. Karena produksi urin terus terjadi maka pada suatu
saat vesika tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan intra
vesika terus meningkat. Apabila tekanan vesika menjadi lebih tinggi dari
10
11
12
13
Gbr. 3-2A :
Gbr. 3-2B :
Karsinoma.
Potongan
horizontal
kelenjar
prostat
normal,
Hipertrofi,
14
15
16
menetap pada tahun 1930. kateter Foley ini sampai saat ini masih dipakai
secara luas di dunia sebagai alat untuk mengeluarkan urin dari buli-buli.
Gbr. 4-3.a :
Menetap
17
2.
3.
4.
5.
18
Gbr 4-4
Kateter Uretra.
Pada Wanita
Tidak seperti pada pria, teknik pemasangan kateter pada wanita
jarang menjumpai kesulitan karena uretra wanita lebih pendek.
Kesulitan yang sering dijumpai adalah pada saat mencari muara
uretra karena terdapat stenosis muara uretra atau tertutupnya muara
uretra oleh tumor uretra/tumor vagina/serviks. Untuk itu mungkin
perlu dilakukan dilatasi dengan busi a boule terlebih dahulu.
Pada Pria
Urutan teknik kateterisasi pada pria adalah sebagai berikut :
Desinfeksi pada penis dan daerah di sekitarnya, daerah genitalia
dipersempit dengan kain steril.
Masukkan pelicin/ jelly kedalam uretra 2-3 cc
Kateter dimasukkan kedalam orifisium uretra eksterna.
Pelan-pelan kateter didorong masuk dan kira-kira pada daerah
bulbo-membranasea (yaitu daerah sfingter uretra eksterna) akan
terasa tahanan; dalam hal ini pasien diperintahkan untuk
mengambil nafas dalam supaya sfingter uretra eksterna menjadi
lebih relaks. Kateter terus didorong hingga masuk ke buli-buli
yang ditandai dengan keluarnya urine dari lubang kateter.
Sebaliknya kateter terus didorong masuk ke buli-buli lagi hingga
percabangan kateter menyentuh meatus uretra eksterna.
Balon kateter dikembangkan dengan 5 10 ml air steril.
Jika diperlukan kateter menetap, kateter dihubungkan dengan pipa
penampung (urinbag).
Kateter difiksasi dengan plester di daerah inguinal atau paha
bagian proksimal. Fiksasi kateter yang tidak betul, (yaitu yang
19
20
B.
Gbr. 4-5:
21
22
Gbr. 4-7
23
Gbr. 4-8 :
Kateter difiksasi
pada kulit
Sistostomi Terbuka
Sistostomi terbuka dikerjakan jika terdapat kontraindikasi pada
tindakan sistostomi trokar atau tidak tersedia alat trokar.
Dianjurkan melakukan sistostomi terbuka jika terdapat jaringan
sikatriks/ bekas operasi di suprasimfisis, sehabis mengalami trauma di
daerah panggul yang mencederai uretra atau buli-buli, dan adanya bekuan
darah pada buli-buli yang tidak mungkin dilakukan tindakan peruretra.
Tindakan ini dikerjakan dengan memakai anestesi lokal atau anestesi
umum.
24
Teknik
1.
2.
3.
4.
25
tinggi dari kandung kemih bila taut vesiko-ureter utuh sehingga tidak
terdapat refluks vesiko-ureter (Sjamsuhidajat,1997; Schaeffer,1988).
Kadang ada hubungan kausal yang erat infeksi saluran kemih dengan
urolitiasis dan obstruksi saluran kemih. Lingkungan
statis dan infeksi
memungkinkan terbentuk batu yang juga akan menyebabkan bendungan
dan memudahkan infeksi karena bersifat benda asing. Infeksi biasanya
meluas, misalnya sistitis menyebabkan penyulit berupa prostatitis,
epididimitis,
dan bahkan sampai orkitis. Stasis urine, urolitiasis, dan
infeksi saluran kemih merupakan peristiwa yang saling mempengaruhi.
Secara berantai saling memicu, saling memberatkan dan saling mempersulit
penyembuhan (Sinaga,1996; Purnomo,2000).
Infeksi dari sumber infeksi lain ditubuh secara hematogen jarang
ditemukan. Kadang ada hubungan dengan obstruksi dan stasis. Penyebaran
infeksi limfogen mungkin berasal dari kolon, servik, adneksa atau uretra.
Ekstensi langsung perkontinuitatum dapat berasal dari abses appendiks,
abses panggul, atau proses infeksi panggul yang lain.
Umumnya infeksi dicegah oleh penyaliran arus kemih yang tidak
terganggu. Setiap stasis, gangguan urodinamik, atau hambatan arus
merupakan factor pencetus infeksi. Selain faktor lokal tersebut harus
dipertimbangkan faktor pencetus umum yang disertai dengan diabetes
melitus (dengan atau tanpa neuropatia), penurunan immunitas, supresi
sistem imun, atau malnutrisi.
Biasanya dibedakan antara infeksi saluran kemih atas (seperti
pielonefritis, abses ginjal), Infeksi saluran kemih bawah (seperti sistitis,
atau uretritis), dan infeksi genital (seperti prostatitis, epididimitis, dan
orkitis). Bila ada infeksi saluran kemih setiap penderita yang dikateterisasi
harus dilindungi dengan antibiotik. Kateterisasi atau instrumentasi
endoskopik harus memenuhi syarat antiseptik.
Komplikasi infeksi saluran kemih terdiri atas septisemia dan
urolitiasis. Saluran kemih sering merupakan sumber bakteriemia yang
disebabkan oleh penutupan mendadak oleh batu atau instrumentasi pada
infeksi saluran kemih, seperti pada hipertrofi prostat dengan prostatitis.
Bakteriemia dengan bacteria gram negatif mungkin disertai dengan syok
toksik karena toksemia yang sering sukar diatasi. Untuk pencegahannya
mutlak harus mentaati hukum antiseptik kateterisasi.
Prinsip antiseptik pada kateterisasi saluran kemih : (Sjamsuhidajat, 1997)
- Kateter menetap sedapat mungkin tidak dipakai dan hanya dipakai
atas indikasi yang tegas,
- Kateter dipasang dengan memperhatikan syarat dasar aseptik,
- Sebaiknya digunakan sistem penyalir tertutup berkatup searah,
- Penyaliran harus bersifat bebas hambatan dan turun,
- Irigasi yang tidak perlu harus dihindari,
- Penggantian kateter setiap 2-3 minggu,
- Air kemih harus dibiakkan setiap manipulasi pasien,
- Bila ada kolonisasi kemih asimptomatik, diberikan antibiotik sebelum
kateter dicabut
2.5.1. Patogenese Infeksi Saluran Kemih
Infeksi saluran kemih terjadi karena adanya gangguan keseimbangan
antara mikroorganisme penyebab infeksi (uropatogen) sebagai agent
dengan epitel saluran kemih sebagai host. Gangguan keseimbangan ini
disebabkan oleh karena pertahanan tubuh dari host yang menurun ataupun
karena virulensi agent meningkat (Purnomo,2000).
26
27
28
contoh air kemih. Bila pengambilan contoh air kemih dipakai cara air kemih
arus tengah, ini hanya menunjukkan kemungkinan adanya infeksi, hal
tersebut dapat terjadi sebagai kontaminasi akibat cara pengambilan yang
tidak sebagaimana harusnya. Beberapa ahli menyatakan bahwa jumlah
kuman dibawah 100.000 per ml sering terjadi pada penderita infeksi saluran
kemih yang :
- Penderita yang banyak minum
- Penderita dalam pengobatan dengan antibiotik
- Penderita dengan infeksi saluran kemih kronik
Cara pengambilan contoh air kemih yang lazim digunakan adalah cara
pengambilan arus tengah, dimana harus diperhatikan hal-hal sbb:
Sebelum air kemih ditampung dalam wadah steril, terlebih dulu alat kelamin
bagian luar dibersihkan dengan sabun atau antiseptik, bilas dengan air
bersih, lap dengan bahan kering yang steril. Air kemih porsi pertama
dibuang, berkemih yang ditampung, porsi ketiga juga dibuang.
Cara pengambilan contoh air kemih yang lain adalah dengan cara
pengambilan dengan kateter, banyak berguna pada wanita dimana
pencegahan kontaminasi dapat dilakukan lebih baik. Pengambilan dengan
cara kateterisasi sebaiknya dihindari terhadap anak laki-laki karena selain
kateterisasi akan membawa kuman kedalam kandung kemih juga dapat
menimbulkan trauma pada uretra saat pemasangan.
Cara pengambilan terbaik adalah dengan aspirasi supra pubik, dimana
dapat bebas dari kontaminasi kuman saluran kemih, tetapi cara ini sering
mendapat tantangan psikologis dari penderita dan keluarga penderita.
2.5.4. Bakteriuria Pasca Kateterisasi
Infeksi saluran kemih pasca kateterisai merupakan porsi terbesar dari
infeksi nosokomial. Pada penderita hipertropi prostat dengan retensio urine,
pemasangan kateter merupakan suatu pertolongan, selain menghilangkan
rasa nyeri juga mencegah akibat-akibat yang dapat ditimbulkan karena
adanya bendungan air kemih.
Tata cara pemasangan kateter yang atraumatik dengan tindakan
aseptik merupakan syarat mutlak untuk tindakan ini agar infeksi yang
mungkin terjadi dapat dicegah.
Walaupun sedemikian sempurnanya cara pemasangan kateter, infeksi
masih saja terjadi sebesar 2% pada kateterisasi tunggal, 10% pada
kateterisasi
berulang
dan
95-100%
pada
kateterisasi
menetap
(Nichols,1995; Schaeffer,1998).
Infeksi saluran kemih pasca kateterisasi ini terjadi karena kuman
dapat masuk melalui lumen kateter, rongga yang terjadi antara dinding
kateter dengan mukosa uretra serta akibat bentuk muara uretra yang sulit
dicapai antiseptik, sehingga kuman yang berada disini akan terdorong
kedalam kandung kemih yang pada dasarnya adalah steril.
Infeksi kandung kemih dapat menimbulkan akibat lanjutan, bahkan
sampai pyonefrosis yang akan barakhir dengan kegagalan ginjal.
Hal lain yang memperburuk keadaan adalah adanya infeksi yang
asimtomatis sehingga memperlambat pengobatan yang seharusnya didapat.
Tingginya infeksi setelah pemasangan kateter juga sebagai akibat
sulitnya pengontrolan dan perawatan serta penggantian kateter pada
penderita yang memerlukan pemasangan kateter yang lama.
29
30
infeksi saluran kemih adalah Intra Vena Pyelographi (IVP) yang dapat
memberikan gambaran fungsi eksresi, keadaan ureter dan distorsi sistem
pelvio-kalises. Pemeriksaan IVP juga memberikan gambaran tentang
kemungkinan terjadinya pyelonefritis kronis dengan melihat bentuk dan
besar kedua ginjal, adanya gambaran yang asimetri antara kedua ginjal
karena perbedaan bentuk dan ukurannya, kalises yang tumpul, melebar
ataupun terbentuknya jaringan perut. Juga dapat ditemukan adanya
kelainan kongenital, kelainan obstruktif ataupun kelainan anatomis.
Pemeriksaan Ultrasonografi (USG) yang sifatnya tidak invasif, semakin
banyak dipakai untuk pemeriksaan ginjal. Dengan ini dapat dinilai besar
gambaran ginjal, permukaan ginjal, adanya bendungan, kelainan bentuk,
massa, kista, batu dan sebagainya. Demikian juga gambaran kandung
kemih dapat dilihat, namun gambaran ureter tidak dapat dinilai dengan USG
ini (Raharjo, 1997).
Sistoskopi khususnya pada infeksi saluran kemih yang berulang perlu
dilakukan untuk mengetahui kepastian penyebabnya (misalnya infeksi tuberkulosis)
atau untuk mencari faktor predisposisi, seperti adanya batu, hipertrofi prostat,
divertikel dan sebagainya. Bila dijumpai adanya tanda-tanda klinis infeksi saluran
kemih, tetapi pada pemeriksaan laboratorium tidak dijumpai adanya bakteri, maka
dengan adanya lekosit dalam urine masih perlu dipikirkan adanya infeksi. Infeksiinfeksi seperti tuberkulosis, jamur, virus, bakteri aerob, parasit ataupun infeksi
protozoa yang kesemuanya memerlukan suatu pemeriksaan khusus (Weinerth,1992;
Raharjo,1997).
2.5.6. Pengobatan
Pengobatan infeksi saluran kemih bertujuan untuk membebaskan saluran
kemih dari bakteri dan mencegah serta mengendalikan infeksi berulang, sehingga
morbiditasnya dapat dihindarkan atau dikurangi (Raharjo,1997). Dengan demikian
tujuan pengobatan infeksi saluran kemih dapat berupa :
1. Mencegah dan menghilangkan gejala
kematian akibat infeksi saluran kemih.
klinis,
bakteremia
dan
kemih
31
BPH
setelah
pemakaian
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran yang lebih
akurat tentang jenisjenis kuman akibat pemakaian kateter menetap pada
penderita retensi urin karena pembesaran prostat jinak, sehingga
perawatan dan pengobatan penderita pembesaran prostat jinak akan lebih
tepat, akurat dan rasional. Pada akhirnya diharapkan akan dapat menurunkan
angka kejadian infeksi, komplikasi, lama rawatan dan biaya pengobatan
penderita.
BAB IV
METODOLOGI
Penelitian dilakukan secara prospektif dari bulan Agustus
2002 sampat Februari 2003. Penelitian dilaksanakan terhadap
semua penderita laki-laki usia diatas 50 tahun yang menderita
hipertropi
prostat
yang
mengalami
retensi
urin
sehingga
memerlukan
penanganan
kateterisasi
untuk
menanggulangi
emergensi retensi urin.
Kriteria inklusi
Laki-laki menderita BPH
Ke l u h a n r e t e n s i u r i n e
Fo l e y k a t e t e r F r. 1 8
Bebas antibiotik 4 hari
Tidak menderita striktur uretra
32
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Kriteria Eksklusi
Di luar dari kriteria inklusi
Tidak bersedia ikut dalam penelitian
Seperti yang diperlihatkan pada skema alur penelitian (Lampiran 1),
pada setiap penderita retensi urine karena BPH dilakukan pemasangan kateter
uretra menetap dengan foley kateter Fr-18. Populasi sampel dibedakan atas
dua kelompok yaitu:
A
:
y a n g p e r t a m a k a l i m e n g a l a m i p e m a s a n g a n k a t e t e r,
B
:
yang sudah berulang pemasangan kateter karena retensi urin.
Sampel urin yang diambil untuk kultur adalah urin porsi tengah yang
diperoleh pada saat pemasangan kateter (disebut sampel urin I) dan pada hari
ke 4 pemasangan kateter menetap dengan drainase tertutup tanpa pemberian
antibiotik (disebut sampel urin II ).
Pe m e r i k s a a n d i l a k s a n a k a n d i L a b . M i k r o b i o l o g i F K . U S U
M e d a n , d e n g a n m e d i a i s o l a s i a g a r d a r a h ; a g a r M c C o n k e y, d a n u n t u k
uji-kepekaan digunakan agar Muller Hinton. Adanya bakteruria
bermakna yaitu ditemukan 100.000 cfu kuman
per ml urin atau
lebih.
(Kass.1956)
dengan
X2
Dari 64 kasus penderita retensi urine karena BPH yang datang berobat
ke RSUP H.Adam Malik dan RSUD Pirngadi Medan dan Rumah sakit kami
dtugaskan dari bulan Agustus 2002 sampai dengan Januari 2003, yang
memenuhi kriteria untuk dimasukkan dalam penelitian ada 46 kasus.
Sedangkan 18 kasus lainnya tidak dapat dimasukkan dalam penelitian, hal ini
disebabkan oleh karena:
Dari 46 kasus yang masuk dalam kriteria penelitian ini dibagi dalam dua
kelompok kasus, yaitu :
A). 33 kasus yang memakai kateter pertama kali dan
B). 13 kasus yang memakai kateter berulang.
Kemudian masing-masing kelompok kasus dibagi atas :
33
SELEKSI
<YANG IKUT
PENELITIAN
U M U R
50 54 Tahun
1,56%
55 59 Tahun
6,25%
6,52%
60 64 Tahun
13
20,31%
11
23,91%
65 69 Tahun
23
35,94%
17
36,96%
70 74 Tahun
17
26,56%
10
21,74%
75 79 Tahun
6,25%
8,70%
80 Thn keatas
3,13%
2,17%
T O T A L
64
100 %
46
100 %
Penderita yang
mengalami retensi urin karena menderita Benigna
Prostat Hyperplasi yang memerlukan pemasangan kateter menetap banyak
didapati pada sebaran usia 6569 tahun.
Tabel 2.
TABEL HASIL KULTUR
34
BAKTERIURIA
(+)
BAKTERIURIA
(-)
JUMLAH
29
33
II
21
12
33
TOTAL
25
41
66
X2
= 16,484
Df = 1
P = 0,00004906
BAKTERIURIA
(+)
BAKTERIURIA
(-)
JUMLAH
13
II
12
13
TOTAL
17
26
X2
=6,118
Df = 1
P = 0,0134
35
BAKTERIURIA
(+)
BAKTERIURIA
(-)
JUMLAH
PERTAMA KALI
29
33
BERULANG
13
TOTAL
37
46
X 2 =2,608
Df = 1
P = 0, 1063
II
PADA
PEMAKAIAN
RIWAYAT PAKAI
KATETER
BAKTERIURIA
(+)
BAKTERIURIA
(-)
JUMLAH
PERTAMA KALI
21
12
33
BERULANG
12
13
TOTAL
33
13
46
X2
= 2,499
Df = 1
P = 0,1139
36
KETERANGAN TABEL 7.
Sarim
Marshal
Marshal 2
Harahap
Sinaga
Janes
37
Hakim
Suyusa
Suyusa 2
Schaeffer
: (Campbells Urologi)
kuman yang sering
menyebabkan infeksi saluran kemih. (Schaeffer.1998)
PEMBAHASAN.
Meskipun belum ada penelitian mengenai insiden BPH di Medan kami
telah melakukan penelitian dampak pemakaian kateter pada penderita retensi
urin karena BPH.
Dari hasil data sebaran usia penderita yang terbanyak mendapat
perlakuan pemasangan kateter adalah usia 65-69 tahun (17 dari 46 orang ;
36,96%). Penelitian Marshal, menunjukkan bahwa sebaran usia yang banyak
dilakukan operasi prostatektomi di RSUP. Adam malik dan RSUD. Pirngadi
Medan tahun 1996 adalah usia diatas 70 tahun (48%) (Marshal.1996).
Tampak pada sebaran umur penderita retensii urin karena BPH
cenderung berkurang setelah umur 70 tahun.
Bakteriuria dapat terjadi pada penderita retensi urin karena BPH
sebelum pemasangan kateter, hal ini dapat disebabkan karena terjadi urin
statis yang berlarut-larut, apalagi pada penderita dengan riwayat pernah pakai
kateter berulang. Tabel 2 ditunjukkan bakteriuria sudah terjadi sebelum pakai
kateter pada 4 penderita (12,12%) dari kelompok yang baru pertama kali
pakai keteter, dan 5 penderita (38,46%) dari kelompok yang berulang pakai
kateter.
Sarim dalam penelitiannya; 12 dari 30 penderita (40%) sebelum
dipasang kateter menetap pertama kali telah mengalami bakteriuria. Tanpak
jauh lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian kami.
Tabel 3 dan 4 menunjukkan peningkatan bakteriuria yang bermakna
setelah pemakaian kateter baik pada pemakaian kateter pertama kali atau
berulang. Sesuai dengan literatur bahwa pertumbuhan bakteri sudah terjadi
dalam 24 jam pemakaian kateter menetap, dan terjadi peningkatan bakteriuria
10% setiap harinya pada perawatan tertutup (Schaeffer.1998; Nichols.1995).
Dibandingkan dengan Sarim hasilnya sama, yaitu beda bermakna bakteriuria
pada sebelum dan 4 hari sesudah pakai kateter menetap.
Kuman penyebab bakteriuria karena pemakaian kateter menetap dari
penelitian ini banyak disebabkan oleh E.coli, kemudian dikuti oleh
Staphylococcus aureus, Klebsiella sp, Citrobacter sp, Enterococcus sp dan
Proteus sp. Hasil ini berbeda dengan hasil kepustakaan Barat, dimana di
negara maju infeksi
saluran kemih 80% adalah E.coli, kami memperoleh
sekitar 50% . Dari penelitian lain sebelumnya ada yang melaporkan kuman
penyebab bakteriuria terbanyak bukan oleh E. coli, ini mungkin perbedaan
tempat dan perlakuan terhadap penderita misalnya penderita yang dirawat
inap di rumah sakit penyebab bakteriuria sering oleh kuman nosokomial
(pseudomonas), sedangkan pada penderita rawat jalan sering oleh kuman E.
38
coli (tabel 7). Dan juga kerap kali dengan hyegine dan sanitasi penderita
dalam merawat kebersihan kateter (Schaeffer.1998, Dzen,1996).
Perbedaan terjadi bakreteriuria pada urin I dan urin II antara penderita
yang belum pernah pakai kateter dan penderita yang sudah berulang
pakai kateter tidak tampak bermakna.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN.
1. Akibat pemakaian kateter kejadian bakteriuria makin meningkat, baik
pada pemakaian kateter pertama kali maupun pemakaian kateter
berulang secara bermakna. Walaupun pemasangannya dengan
dengan cara yang aseptik.
2. Peningkatan kejadian bakteriuria pasca pemakaian kateter baik yang
pertama kali maupun dengan pemakaian kateter berulang secara
statistik tidak berbeda bermakna, setelah hari keempat kejadian
bakteriuria mencapai 95-100%
3. Bakteriuria akan lebih cepat terjadi pada perawatan kateter menetap
dengan perawatan terbuka.
4. Kuman penyebab infeksi saluran kemih setelah pemakaian kateter
dengan perawatan tertutup sering disebabkan oleh Escherecia coli,
dapat juga disebabkan oleh Staphilokkkus aureus, Klebsiella,
Citrobachter, Enterobachter, dan Proteus.
SARAN-SARAN.
1. Setiap pemakaian kateter harus diperhatikan kemungkinan terjadi
infeksi, walaupun dilakukan pemasangan kateter secara aseptik
dan atraumatik. Maka pemakaian kateter harus benar-benar atas
indikasi yang benar.
2. Untuk mencegah infeksi saluran kemih pasca kateter menetap,
menggunakan antimikroba yang sesuai dengan kultur dan
sensitivity test, kuman penyebab yang sering E.coli, selain itu
juga dapat disebabkan kuman Proteus, Staphylococcus aureus,
Klebsiella, Enterobachter, Citobachter.
3. Setiap penderita dengan indikasi pemakaian kateter, harus
diantisipasi untuk membuka segera dengan mengobati penyebab
retensi urin.
DAFTAR PUSTAKA
Bahnson R.R ; Physiology Of the Kidney, Ureter and Bladder, in Basic cience
Review For Surgeous, Edited by Simmons R.L and Steed D.L,
W.B.Saundrs Company, 1992: 270-287.
Besimon H ; Surgery of the Prostat, in Urologic Surgery, Mc Graw-Hill, 1991:
260-266.
39
40
41