Anda di halaman 1dari 17

Tugas Psikologi Agama

Meringkas buku Prof. Jalaluddin bab


Agama dan kesehatan mental
Oleh
M faridus sholihin
17201153097

Agama Dan Kesehatan Mental


Di zaman kuno penyakit yang diderita manusia sering dikaitkan
dengan gejala-gejala spiritual. Seorang penderita sakit
dihubungkan dengan adanya gangguan dari roh jahat oleh
semacam makhluk halus. Karenanya, penderita selalu
berhubungan dengan para dukun yang dianggap mampu
berkonmunikasi dengan makhluk halus dan mampu menahan
ganngguannya. Pengobatan penyakit dikaitkan dengan gejala
rohani manusia.

Sejak munculnya psikoanalisis, para psikoanalis mencoba


menyembuhkan penyakit mental dengan menggunakan metode
hipnosa. Metode ini mula-mula dikembangkan oleh Prof. Charcot
dan Prof. Breuer dalam penyembuhan penderita histeria, yang
kemudian dilanjutkan oleh Sigmund Freud. Menurut Sigmund Freud,
penyakit mental disebabkan oleh gejala tertekan yang berada pada
lapisan ketaksadaran jiwa manusia. Dengan menyadarkan kembali
gejala tersebut. maka pasien dapat disembuhkan.
Ternyata agama dapat memberi dampak yang cukup berarti
dalam kehidupan manusia, termasuk terhadap kesehatan. Bahkan
menurut Mc guire agama sebagai sistem nilai berpengaruh dalam
kehidupan masyarakat modern dan berperan dalam membuat
perubahan sosial. Layaknya dengan institusi sosial lainya, agama
memiliki peran yang demikian besarnya dalam perubahan social.
Sementara itu, agama menunjukan kemampuan adaptasi dan vital
dalam berbagai segi kehidupan social , hingga perubahanperubahan dalam struktur social dalam skala besar tak jarang
berakar dari pemahaman dalam agama (Mc Guire,1981:255).
A. Manusia dan agama
Manusia memang makhluk yang serba unik. Dengan keunikan
yang dimilikinya, manusia merupakan makhluk yang rumit dan
misterius, ungkap murthada muthahari. Untuk memahami
manusia dibutuhakan penjelasan dan intrepretasi yang lebih
banyak dibandingkan dengan yang dibutuhkan oleh selain
manusia. Tidak ada makhluk di dunia ini yang lebih membutuhkan
penjelasan dan intrepretasi selain manusia. (muthahari,1998:29)
Kajian mengenai manusia memang belum tuntas.Bahkan
mungkin tak bakal tuntas. Kendati demikian manusia adalah
makhluk multidimensi.

Manusia bukan hanya makhluk dalam tampilan fisik materiil,


tetapi mental, dan spiritual. Konsep Emotional Quotient yang
dikembangkan oleh Stephen R. Covey, serta kecerdasan spiritual
(SQ) yang merupakan temuan terkini secara ilmiah oleh Danah
Zohar dan Ian Marshall (Ary Ginanjar Agustian, 2001: 36-37),
setidaknya mengindikasikan akan adanya "ranah baru yang belum
tersentuh oleh kajian sebelumnya.
Danah Zohar dan Ian Marshall berhasil menyingkap "selubung
tabir" khazanah kekayaan manusia di luar dimensi intelektualitas
dan litas, yakni dimensi spiritualitas. Dimensi yang juga memiliki
potensi dalam menentukan kecerdasan dan kualitas sumter daya
manusia. Selanjutnya dua temuan ahli psikologi/syaraf, Michael Per.
singer (I990.an), dan ahli syaraf V.S. Ramachandran (1997)
mengenai eksistensi God-Spot dalam otak manusia (Ary Ginanjar
Agustian: xxxvii), seakan turut memperlebar teAukanya "tabir
rahasia yang menyagkut hubungan manusia dengan agama.
Dalam pandangan Abul A'la al-Maududi, sebenarnya hubungan
itu tidak hanya sebatas eksistensi God-Spot dalam otak, melainkan
seluruh tubuh manusia itu sendiri. Al-Maududi melihat hubungan itu
berdasarkan fitrah,menyatu dalam diri manusia itu sendiri.
Ketundukan kepada undang-undang fitrah dan mematuhi karena
nalurinya (Abul Ala al-Maududi: 10).
Hubungan manusia dan agama tampaknya merupakan
hubungan yang bersifat kodrati. Agama itu sendiri menyatu dalam
penciptaan manusia. Terwujud dalam bentuk ketundukan, kerinduan
ibadah, serta sifat-sifat luhur. Manakala dalam menjalankan
kehidupannya, manusia menyimpang dari nilai-nilai fitrah-nya,
maka secara psikologis ia akan merasa adanya semacam hukuman
moral. Lalu spontan akan muncul rasa bersalah atau rasa berdosa

(sense of guility )
Psikologi modern tampaknya memberi porsi yang khusus bagi
perilaku keagamaan, walaupun pendekatan psikologis yang
digunakan terbatas pada pengalaman empiris. Psikologi agama
merupakan salah- satu bukti adanya perhatian khusus para ahli
psikologi terhadap peran agama dalam kehidupan kejiwaan
manusia.
Pendapat yang paling ekstrem pun tentang hal itu masih
menunjuk kan betapa agama sudah dinilai sebagai bagian dari
kehidupan pribadi manusia yang erat kaitannya dengan gejalagejala psikologis. Dalam beberapa bukunya, Sigmund Freud yang
dikenal sebagai pengembang psikoanalisis mencoba
mengungkapkan hal itu. Agama menurut Freud tampak dalam
perilaku manusia sebagai simbolisasi dari kebencian terhadap ayah
yang direfleksi dalam bentuk rasa takut kepada Tuhan. Secara
psikologis, agama adalah ilusi manusia. Manusia lari kepada ima
karena rasa ketidakberdayaannya menghadapi bencana. Dengan
demikian, segala bentuk perilaku keagamaan merupakan ciptaan
manusia yang timbul darl dorongan agar dirinya terhindar dari
bahaya dan dajiat membeiikan rasa aman. Untuk keperluan itu
manusia men. ciptakan Tuhan dalam pikirannya (Djamaluddin,
1994:71).
Agama tampaknya memang tak dapat dipisahkan dari kehidupan
manusia. Pengingkaran manusia terhadap agama agaknya
dikarenakan faktor-faktor tertentu baik yang disebabkan oleh
kepribadian maupun lingkungan masing-masing. Namun, untuk
menutupi atau meniadakan sama sekali dorongan dan rasa
keagamaan tampaknya sulit dilakukan. Manusia ternyata memiliki
unsur batin yang cenderung mendorongnya untuk tunduk kepada

Dzat yang gaib. Ketundukan ini merupakan bagian dari fektor intern
manusia yang dalam psikologi kepribadian dinamakan pribadi (self )
ataupun hati nurani (conscience man)
Agama sebagai fitrah manusia telah diinformasikan oleh Alquran:
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah );
tetaplah atas fitrah Allab yang telah menciptakan manusia menurut
fitrah itu. Tidak ada perubaban pada fitrah Allah. (ltulah) agama
yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.(QS
30:30)
B. Agama dan pengaruhnya terhadap kesehatan mental
Kesehatan mental (mental hygiene) adalah ilmu yang meliputl
sistem tentang prinsip-prinsip, peraturan-peraturan serta
prosedur-prosedur untuk mempertinggi kesehatan rohani
(M.Buchori, 1982:13). Orang yang sehat mentalnya ialah orang
yang dalam rohani atau dalam hatinya selalu merasa tenang,
aman, dan tentram. (M.Buchori. 1982:5). Menurut H.C.
Witherington, permasalahan kesehatan mental menyangkut
pengetahuan serta prinsip-prlnsip yang terdapat lapangan
psikologi, kedokteran, psikiatri, biologi, sosiologi, dan agama
(M.Buchori, 1982:5).
Dalam ilmu kedokteran dikenal istilah psikosomatik
(kejiwabadanan). Dimaksudkan dengan istilah tersebut adalah
untuk menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang erat antara
jiwa dan badan. Jika jiwa berada dalam kondisi yang kurang
normal seperti susah, cemas, gelisah, dan sebagainya, maka
badan turut menderita.
jika seseorang berada dalam keadaan normal, seimbang
hormon dan kimiawinya, maka ia akan selalu berada dalam
keadaan aman. Perubahan yang terjadi dalam kejiwaan itu disebut

oleh Abd Al-Qadir sebagai spektrum hidup.Dan pergeseran arah


ke kiri atau ke kanan dari pusat spektrum tersebut akan
menimbulkan bahaya. Padahal tanpa diragukan, bila terjadi
perubahan dalam proses pemikiran, akan terjadi perubahan kimia
dan biologi tubuh. Dan besar kecilnya perubahan itu tergantung
dari kemampuan manusia untuk menanggapi pengaruh itu. Kalau
terjadi keseimbangan maka akan kembali menjadi normal. Adapun
terjadinya pergeseran dari kondisi normal ke daerah yang
berbahaya itu, menurut Abd Al-Qadir sangat tergantung dari
derajat keimanan yang tersimpan di dalam diri manusia, di
samping faktor susunan tubuh serta dalam atau dangkalnya rasa
dan kesadaran manusia itu. (Muhammad Mahmud Abd AlQadir,1979).
Penemuan Muhammad Mahmud Abd Al-Qadir seorang ulama
dan ahli biokimia ini, setidak-tidaknya memberi bukti akan
adanya hubungan antara keyakinan agama dengan kesehatan
jiwa. Pengobatan penyakit batin melalui bantuan agama telah
banyak dipraktikkan orang. Dengan adanya gerakan Christian
Science,kenyataan seperti itu diperkuat oleh pengakuan ilmiah
pula. Dalam gerakan ini dilakukan pengobatan pasien melalui
kerja sama antara dokter. psikiater, dan ahli agama (pendeta).
Salah satu cabang ilmu jiwa, yang tergolong dalam psikologi
Humanistika dikenal logoterapi (logos berarti makna dan juga
rohani). logoterapi dilandasi falsafah hidup dan wawasan
mengenai manusia yang mengakui adanya dimensi sosial pada
kehidupan manusia. Kemumdian, logoterapi menitikberatkan pada
pemahaman bahwa dambaan utama manusia yang asasi atau
motif dasar manusia adalah hasrat untuk hidup bermakna. Di
antara hasrat itu terungkap dalam keinginan manusia untuk

memiliki kebebasan dalam menemukan makna hidup. Kebebasan


seperti itu dilakukannya antara lain melalui karya-karya yang
diciptakannya, hal-hal yang dialami dan dihayati (termasuk agama
dan cinta kasih) atau dalam sikap atas keadaan dan penderitaan
yang tak mungkin dielakkan. Adapun makna hidup adalah hal-hal
yang memberikan nilai khusus bagi seseorang, yang bila dipenuhi
akan menjadikan hidupnya berharga dan akhirnya akan
menimbulkan penghayatan bahagia. Dalam logoterapi dikenal dua
peringkat makna hidup, yaitu makna hidup pribadi dan makna
hidup paripurna.
Selanjutnya, logoterapi menunjukkan tiga bidang kegiatan yang
secara potensial memberi peluang kepada seseorang untuk
menemukan makna hidup bagi dirinya sendiri. Ketiga kegiatan itu
adalah:
1. Kegiatan berkarya, bekerja, dan mencipta, serta melaksanakan
dengan sebaik-baiknya tugas dan kewajiban masing-masing.
2. Keyakinan dan penghayatan atas nilai-nilai tertentu (kebenaran,
keindahan, kebajikan, keimanan dan lainnya), dan
3. Sikap tepat yang diambil dalam keadaan dan penderitaan yang
tidak terelakkan lagi.
Dalam menghadapi sikap yang tak terhindarkan lagi pada
kondisi yang ketiga, menurut logoterapi, maka ibadah
merupakan salah-satu cara yang dapat digunakan untuk
membuka pandangan seseorang akan nilai- nilai potensial dan
makna hidup yang terdapat dalam diri dan sekitarnya. (Hanna
Djumhana Bastaman, 1989).
Sayangnya, agama sering dipandang hanya sebagai anutan.
Dianggap sebagai sesuatu yang datang dari luar dan asing.
Padahal, poteninya sudah bersemi dalam batin sebagai fitrah

manusia. Potensi yang ditelantarkan Oleh keangkuhan egoisme


manusia. Jalinan keharmonisan antara kebutuhan fisik dan mental
spiritual terputus. Akibatnya manusia kehilangan kemampuan
untuk mengenal dirinya menyelami potensi diri sebagai makhluk
beragama (homo religious ).
Padahal Sang Maha Pencipta sudah mewanti-wanti akan hal
itu.Seuntai firman mengungkapkan hal itu: "Mereka diliputi
kehinaan dimana saja mereka berada, kecuali jika mereka
berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan
manusia(Q S3:112).Di kala manusia melupakan Sang Maha
Pencipta dan kehilangan God view nya, kehidupan jadi hampa.
Ketenteraman batin tersaput. Hidup tanpa makna.
Menjauhkan diri dari Sang Pencipta, berarti
mengosongkan diri dari nilai-nilai imani. Sungguh
merupakan "kerugian terbesar bagi manusia selaku
makhluk berdimensi spiritual.''mereka itulah orang yang
membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung
peniagaan mereka dan tidaklah mendapat petunjuk.(QS 2:16)
ingatlah, hanya dengan mengingat Allah batin menjadi
tenteram(QS 13:28).
C. Terapi keagamaan
Orang yang tidak merasa tenang, aman sera tenteram dalam
hati nya adalah orang yang sakit rohani atau mentalnya, tulis H.
Carl Witherington (M.Buchori, 1982: 5). Para ahli psikiatri mengakui
bahwa setiap manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan dasar
tertentu yang diperlukan untuk melangsungkan proses kehidupan
secara lancar.

Kebutuhan tersebut dapat berupa kebutuhan

jasmani dan berupa kebutuhan rohani maupun kebutuhan sosial.


Bila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, maka manusia akan

berusaha untuk menyesuaikan diri dengan kenyataan yang


dihadapinya. Kemampuan untuk menyesuaikan diri ini akan
mengembalikan ke kondisi semula, hingga proses kehidupan
terjalan lancar sepertiapa adanya.
Tetapi, dalam kehidupan sehari-hari tak jarang dijumpai bahwa
seseorang tak mampu menahan keinginan bagi terpenuhinya
kebutuhan dirinya. Dalam kondisi seperti itu akan terjadi
pertentangan (konflik) dalam batin. Pertentangan ini akan
menimbulkan ketidakseimbangan dalam kehidupan rohani, yang
dalam kesehatan mental disebut kekusutan rohani. Kekusutan
rohani seperti ini disebut kekusutan fungsional.
Bentuk kekusutan fungsional ini bertingkat, yaitu psychopat,
psycboneurose, dan psikotis. Psychoneurose ditandai bahwa
seorang tidak mengikuti tuntutan-tuntutan masyarakat. Pengidap
psychoneurose menunjukkan perilaku menyimpang. Sedangkan,
penderita psikotis dinilai mengalami kekusutan mental yang
berbahaya sehingga memerlukan perawatan khusus.
Usaha penanggulangan kekusutan rohani atau mental ini
sebenarnya dapat dilakukan sejak dini oleh yang bersangkutan.
Dengan mencari cara yang tepat untuk menyesuaikan diri dengan
memilih norma-norma moral, maka kekusutan mental akan
terselesaikan.
Penyelesaian dengan memilih penyesuaian diri dengan
norma-norma moral yang luhur seperti bekepa dengan jujur,
resignasi, sublimasi, dan kompensasi (M.Buchori, 1982:54). Dalam
konteks ini terlihat hubungan agama sebagai terapi kekusutan
mental. Sebab, nilai-nilai luhur termuat dalam ajaran agama
bagaimanapun dapat digunakan untuk penyesuaian dan
pengendalian diri, hingga terindar dari konflik batin.

Pendekatan terapi keagamaan ini dapat dirujuk dari informasi


Alquran sendiri sebagai kitab suci. Di antara konsep terapi
gangguan mental ini adalah pernyataan Allah: dalam surat Yunus
dan surat Isra'.
Wahai manusia, sesungguhnya sudah dating dari Tuhanmu
Alquran yang mengandung pengajaran, penawar bagi penyakit
batin (jiwa), tuntutan serta rahmat bagi orang- orang yang
beriman. (QS Yunus: 57).
Dan Kami turunkan Alquran yang menjadi penawar dan rahmat
bagi orang-orangyang beriman. (QS Isra': 82).
Kesehatan mental adalah suatu kondisi batin yang senantiasa
berada dalam keadaan tenang, aman, dan tentram. Upaya untuk
menemukan ketenangan batin dapat dilakukan antara lain melalui
penyesuaian diri secara resignasi (penyerahan diri sepenuhnya
kepada Tuhan). Dalam Alquran petunjuk mengenai penyerahan diri
cukup banyak.

D. MUSIBAH
Musibah merupakan pengalaman yang dirasakan tidak menyenangkan karena dianggap merugikan oleh korban yang terkena
musibah. Berdasarkan asal katanya, musibah berarti lemparan (
arramyah) yang kemudian digunakan dalam makna bahaya,
celaka, atau bencana dan bala. MenurutAl-Qurtubi,musibah adalah
apa saja yang menyakiti dan menimpa diri seseorang, atau
sesuatu yang berbahaya dan menyusahkan manusia, betapapun
kecilnya (EnsiklopediAl-Qur'an, 1997: 283).
Dalam menghadapi musibah, orang-orang memiliki keyakinan

agama terlihat lebih tabah. Mereka lebih mudah menetralisasi


kegoncangan dan konflik yang terjadi dalam batinnya. Keyakinan
dan kepercayaan kepada Tuhan dijadikan sebagai pilihan tempat
terlindung atau sebagai penyalur derita yang dirasakan.
Dalam keadaan yang demikian, Tuhan dianggap sebagai satusatunya "penolong" atau "juru selamat" yang mampu meredam
penderitaan yang mereka alami. Kondisi seperti ini dibuktikan
dalam kasus musibah tsunami di Aceh, Sumatera Utara, ataupun
gempa di Nias. Pasca tsunami terlihat para korban berbondongbondong memenuhi rumah ibadah, ataupun melakukan berbagai
kegiatan keagamaan yang berkaitan dengan upaya mendekatkan
diri kepada Tuhan. Tampilan yang tak jauh berbeda juga terlihat
semasa berkecamuknya tragedi nasional, September 1965.
Sebaliknya orang-orang yang memiliki tingkat keyakinan
agama yang kurang, ataupun tidak memiliki keyakinan agama sama
sekali terkesan sulit menetralisasi kegoncangan jiwanya. Sulit
menemukan jalan ke luar, mudah gelap mata, dan akhirnya
mengambil jalan pintas. Tak jarang korban yang merasa begitu
terhimpit oleh derita itu mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.
Kemampuan menahan derita dalam menghadapi musibah,
tampaknya tidak ada hubungan dengan latar belakang pendidikan.
Bisa saja orang-orang awam lebih mampu menahan diri dan
menerima dengan tulus apa yang dideritanya. Sebaliknya tak
tertutup kemungkinan, orang yang memiliki latar belakang
pendidikan yang tinghi malah terjebak ke perbuatan nekad.
E. KEMATIAN
Kematian adalah sebuah keniscayaan. Tidak perlu diminta. Dia
akan datang sendiri. Tidak perlu mendaftar atau mencalonkan

diri. Data setiap makhluk sudah tercatat. Nama, tempat dan


tanggal lahir, Jenis kelamin, bangsa, agama, maupun latar
belakang aktivitas selama hidup. Termasuk hal-hal paling kecil,
maupun niat yang masih tersem. bunyi di dalam hati. Semua
terdata utuh dan lengkap. Lebih lengkap dan akurat daripada data
Badan Pusat Statistik.
Kata mati dan kematian sebenarnya sudah sangat akrab
dengan telinga manusia. Setiap orang pasti akan mengalaminya.
Menjumpai kematian. Namun, manakala masih berada dalam
kenikmatan hidup. manusia sering lengah dan lupa dengan
kematian. Sebaliknya, bila usia semakin sepuh. atau didera sakit,
maka bayang-bayang kematian mulai muncul. Secara psikologis,
turut mempengaruhi sikap dan perilaku manusia.
a. Kematian dalam agama
Setiap agama mengajarkan tentang adanya hari
kebangkitan. Alam baru dalam kehidupan "lain yang
akan dialami oleh manusia mati. Dipercayai bahwa saat
itu manusia akan dihidupkan kembali guna diminta
pertanggungjawabannya. Perbuatan baik akan
memperoleh ganjaran kenikmatan hidup surgawi.
Sebaliknya. perbuatan buruk akan diganjar dengan
hukuman berupa siksaan neraka. Oleh karena itu. hari
kebangkitan ini juga disebut sebagai hari pembalasan.
Penganut agama Samawi seperti Yahudi, Nasrani. dan
Islam memperoleh informasi mengenai Hari Kebangkitan
ini dari Kitab Suci masing-masing. Atas dasar keyakinan
ini pula, maka penganut agama berusaha memenuhi
tuntunan ajaran Kitab Suci masing-masing agar di hari
kebangkitan kelak. mereka akan memperoleh tempat

yang layak.
Diterima oleh Sang Khalik sebagai hamba-Nya yang
berbakti. Memperoleh fasilitas dalam kehidupan surgawi
yang "bergelimang kenikmatan.
Kemudian dalam ajaran Islam, hari kebangkitan
merupakan bagian dari rukun iman. Mengenai Hari
Kebangkitan ini dikemukakan oleh Abul A'la al-Maududi:
Yang wajib kita beriman kepadanya mengenai hari itu,
ialah:
1. Bahwa Allah akan menghapuskan semesta alam ini dan
sekalian makhluk yang ada di dalamnya pada suatu hari
yang dikenal dengan hari kiamat.
2. Kemudian Allah Swt. akan menghidupkan mereka kembali
sekali lagi dan mengumpulkan mereka di hadapan-Nya.
Itu adalah "mahsyar atau "hari kebangkitan."
3. Kemudian segala sesuatu yang diperbuat oleh manusia,
yang baik dan yang buruk dalam kehidupan dunia
mereka, diajukan kepada pengadilan Allah Swt. tanpa
dikurangi dan tanpa dilebihkan.
4. Allah Swt. menimbang bagi tiap-tiap orang dati manusia
akan perbuatannya yang baik dan yang buruk.
Barangsiapa yang lebih berat daun timbangan
perbuatan.perbuatannya yang baik,' maka dia diampuniNya; dan barangsiapa yang lebih berat daun timbangan
perbuatanya yang buruk, maka ia disiksa-Nya.
5. Orang-orang yang diampuni-Nya masuk surga, dan
orang-orang yang disiksa-Nya masuik nerakai" (Abu A'la
AL-Maududi, 1985:93-94)

Dalam hubungan dengan hari kebangkitan ini Alquran


menyatakan Sesungguhnya Kami mengbidupkan orangorang mati dan Kami menuliskan apa yang telab mereka
kerjakan, dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan
segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab indukyang
nyata. (QS 36: 12). Kebangkitan itu sendiri digambarkan
melalui amsal (perumpamaan) oleh Allah, "Dan kamu lihat
bumi ini kering, kemudian apabiia telab Kami turunkan air di
atasnya, biduplab bumi itu dan suburlab dan menumbubkan
berbagai macam tumbuh-tumbubanyangindah" (QS 22:5).
b. Psikologi Kematian
Siklus perjalanan hidup manusia dapat diibaratkan garis sisi
pada sebuah trapezium.Garis sisi kanan yang menanjak,
menggaambarkan masa sejak kelahiran hingga menginjak usia
dewasa.
progresif.

Masa
Fisik

pertumbuhan
tentu

dan

mengalami

perkembangan
pertumbuhan

yang
hingga

mencapai limit akhir di usia dewasa. Seiring dengan itu


perkembangan mental spiritual juga bergerak pesat.
Proses

pertumbuhan

fisik

yang

demikian

ini

ikut

mendominasi pembentukan sikap mental. Tubuh yang bugar


dan kuat, khususnya di kalangan remaja, menjadikan manusia
bersikap optimistis. Merasa din unggul. Terkadang muncul rasa
percaya diri yang berlebihan. Namun, kecendenrungan sikap
ini lebih terarah kepada hal-hal yang bersifat materi. Belum
banyak

metenyentuh

aspek

spiritual.

Khususnya

yang

berhubungan dengan nilai-nilai agama.


Setelah mencapai tingkat kedewasaan, pertumbuhan fisik
sudah mencapai puncaknya. Ketika itu pertumbuhan bergerak
bagaikan menelusuri garis lurus. Manakala pertumbuhan fisik

sudah

berada

dalam

kemantapan,

maka

perkembangan

mental spiritual pun mulai stabil. Secara berangsur, perhatian


ke arah aspek non-materi mulai menyurut. Usaha untuk
menemukan jati diri mulai jadi perhatian. Hal-hal yang
berhubungan dengan sistem nilai.
kematian juga disikapi manusia mengenai dirinya. Sadar
bahwa suatu saat dirinya juga akan mengalami kematian.
Masing- masing mulai menakar diri. Menginventarisasi semua
aktivitas dan lakon hidup Mengingat kebaikan dan keburukan
yang pernah dilakukan. Khawatir akan balasan yang bakal
diterima di hari kebangkitan. Peraasaan seperti ini sering
"menghantui" manusia. Terjadi semacam kecemasan batin.
lebih-lebih mereka yang sudah menginjak usia lanjut.
Kematian dan hari kebangkitan sebenarnya tak dapat
dipisahkan dalam keyakinan manusia. Kematian sebagai akhir
sebuah kehidupan, serta hari kebangkitan sebagai kondisi
kehidupan abadi.
Tempat manusia berhadapan dengan perhitungan amal
perbuatannya selama hidup di dunia. Bagaimaa manusia
menyikapi semuanya itu, tampaknya sangat tergantung dari
latar belakang keyakinan masing-masing.
nilai-nilai

budaya

ikut

berpengaruh

terhadap

pandangan

manusia dalam menyikapi kematian. Secara materi, memang


kematian tak lebih dari proses kehancuran tubuh. Namun, manusia
bukanlah makhluk fisik yang serba materi. Dalam did manusia terkandung unsur-unsur non-materi, mental spil'itual. Unsur ini ikut
member pengaruh yang cukup dominan dalam kehidupan manusia.
Bahkan saat kondisi fijngsi fisik mulai menurnn, tak jarang nilai-nilai
mental spiritual ikut berperan aktif.

Ketegaran manusia bakal luluh saat menghadapi kematian.


Manusia merasa dirinya lemah, dan sama sekali kehilangan daya.
Saat- saat seperti itu, hanya nilai-nilai fitri manusia muncul seakan
mengadili dirinya.
Fitrah suci manusia yang berintikan kebenaran, kebaikan, dan
'keindahan. Mereka yang ketika hidupnya terbiasa melakukan
perbuatan yang menyalahi fitrah stu akan mengalami kegelisahan
batin. Secarapsikologis, rasa bersalah itu akan mendera dirinya.
Sebaliknya, mereka yang hidup saleh akan menyikapi kematian
dengan suasana batin yang lebih tenang. Kondisi inilah yang
mungkin ingin digambarkan, baik oleh Fabio Giovannini maupun
Akim

Kurosa..

Tetapi,

bagi

penganut

agama,

sikap

dalam

menghadapi kematian lebih banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai


imani. Mereka yang merasa dirinya telah berbuat kebajikan, sesuai
dengan

tuntunan

ajaran

agama,

akan

'lebih

tenang

dalam

menghadapi kematian. Tidak demikian halnya sikap para pendosa


saat menghadapi kematian..

Anda mungkin juga menyukai