Anda di halaman 1dari 79

1

digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Impor buah akhir-akhir ini menunjukkan peningkatan bahwa
permintaan pasar belum mampu dipenuhi oleh produksi dalam negeri.
Apabila kondisi ini terus berlangsung, maka Indonesia akan sangat tergantung
dari produk hortikultura impor.

Oleh karena itu, benih bermutu yang

merupakan varietas unggul merupakan kunci utama untuk menghasilkan


produk hortikuktura yang berkualitas. Pepaya sebagai produk hortikultura
merupakan komoditas buah nasional yang diharapkan dapat memenuhi
kebutuhan konsumen dalam negeri.

Rendahnya produksi pepaya saat ini

antara lain disebabkan oleh penggunaan benih yang kurang bermutu,


sedangkan benih hortikultura yang bermutu umumnya adalah benih hibrida
impor dan harganya relatif mahal, sehingga tidak terjangkau oleh kebanyakan
petani (Sujiprihati, 2006).
Indonesia sebagai salah satu negara produsen pepaya terbesar di dunia
ternyata belum mampu menjaga kestabilan peningkatan produksi setiap
tahunnya. Nilai produksi pepaya cenderung fluktuatif. Berdasarkan data
Badan Pusat Statistik (2014), dinyatakan bahwa total produksi buah pepaya
nasional mengalami peningkatan dari tahun 2008, yaitu 717.899 ton menjadi
772.844 ton pada tahun 2009. Produksi buah pepaya mengalami penurunan
produksi pada tahun 2010 menjadi 675.801 ton dan meningkat kembali pada
tahun 2011 menjadi 906.312 ton. Produksi buah pepaya di Indonesia tumbuh
signifikan rata-rata sebesar 8 % selama periode 2008 hingga 2012.
Pepaya (Carica

papaya L.) merupakan salah satu buah tropika

unggulan yang sangat potensial untuk dikembangkan di Indonesia. Hingga


saat ini benih tetap merupakan bahan utama dalam perbanyakan pepaya.
Pengembangan

pepaya

memerlukan

ketersediaan

benih

secara

berkesinambungan, sebab peremajaan tanaman selalu diperlukan untuk


commit
userSaat ini ketersediaan benih pepaya
mendapatkan potensi produksi
yang to
baik.

2
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

yang berkualitas dan bersertifikat masih kurang. Selain untuk kepentingan


komersial, penanganan benih pepaya juga penting untuk pengelolaan plasma
nutfah yang selama ini lebih banyak dikelola secara in situ karena daya
simpan benihnya yang relatif singkat.

Pepaya umumnya diperbanyak

dengan cara generatif menggunakan biji. Selain itu dapat juga dilakukan
dengan cara vegetatif, namun cara ini jarang digunakan. Kelemahan cara
vegetatif seperti stek dan cangkok membutuhkan tanaman induk yang banyak
untuk perbanyakan masal. Ketersediaan benih dengan mutu dan jumlah yang
mencukupi menjadi prioritas dalam perluasan areal tanaman pepaya untuk
memenuhi permintaan pasar yang cenderung meningkat (Wulandari, 2009).
Menurut Sadjad (1993) benih berkualitas adalah benih yang menjamin mutu
fisik, mutu genetik, dan mutu fisiologis. Untuk menduga mutu fisiologis dari
suatu benih dapat diketahui melalui kadar air benih, pendugaan viabilitas
melalui tolok ukur daya berkecambah, pendugaan vigor benih melalui tolok
ukur indeks vigor, kecepatan tumbuh, daya hantar listrik dan tetrazolium.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor
48/Permentan/SR.120/8/2012 Tentang Produksi, Sertifikasi Dan Pengawasan
Peredaran Benih Hortikultura pada Pasal 48, untuk mengetahui mutu fisik,
fisiologi dan/atau status kesehatan benih yang berbentuk biji dilakukan
pengujian mutu benih di laboratorium. Pengujian mutu benih di laboratorium
dilakukan terhadap contoh benih yang mewakili kelompok benih. Referensi
pengujian mutu benih dan pengambilan contoh benih mengacu pada
ketentuan International Seed Testing Association (ISTA) Rules. Pengujian
laboratorium dinyatakan lulus apabila memenuhi standar mutu atau
persyaratan teknis minimal uji laboratorium. Sampai dengan saat ini
pengujian mutu benih

pepaya belum tercakup dalam ISTA Rules 2014

sebagai acuan dalam pengujian mutu benih.


Dalam

pengujian mutu benih,

setiap produsen

benih

selalu

menginginkan agar benihnya dapat segera dipasarkan sesuai dengan Undangundang No.12 tahun 1992, benih dapat diedarkan apabila telah dipasang label.
commit to user

3
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

Data pada label tersebut harus sesuai dengan hasil pengujian laboratorium.
Dengan demikian durasi pengujian mempengaruhi waktu peredaran benih.
Industri benih dan petani membutuhkan informasi faktor mutu yang
lain, bukan hanya persentase perkecambahan. Pengujian vigor benih dapat
mengidentifikasi lot benih yang dapat mempertahankan kualitasnya selama
penyimpanan jangka panjang. Juga dapat membantu perusahaan benih dalam
menetapkan level minimal kualitas benih untuk benih yang dipasarkan. Saat
ini

industri benih telah memasukkan pengujian vigor benih ke dalam

pengawasan kualitas benih, penerimaan informasi yang sama juga harus


diperoleh oleh konsumen benih (McDonald, 1995).
Uji tetrazolium digunakan untuk mengontrol mutu benih dari berbagai
spesies tanaman karena memungkinkan untuk evaluasi viabilitas secara cepat,
jika benih harus segera ditabur setelah dipanen ataupun pada benih yang
memiliki dormansi yang cukup lama. Biji pepaya yang baru dipanen yang
menunjukkan dormansi dapat membuat uji perkecambahan kurang efektif
untuk evaluasi secara cepat. Oleh karena itu, pengembangan metode yang
lebih

efisien,

seperti

permasalahan-permasalan

uji

tetrazolium

diatas,

maka

sangat
salah

diperlukan.
satu

langkah

Melihat
untuk

mempercepat proses sertifikasi dapat ditempuh dengan penggunaan metode


uji tetrazolium sebagai metode pengujian viabilitas benih. Penentuan
viabilitas benih pepaya berdasarkan pola pewarnaan dengan tetrazolium telah
dilakukan sebelumnya oleh Shid dan Kuo (1999) dengan menghasilkan 12
(dua belas) pola topografi pewarnaan. Pada penelitian ini dilakukan
pengembangan metode pada uji TZ dan DB serta menggunakan beberapa
tolok ukur vigor untuk menentukan tingkat viabilitas dan tingkat vigor benih
pepaya.
Penelitian dilakukan dalam 4 (empat) tahap percobaan yaitu
pengembangan metode pengujian daya berkecambah dan pengujian
tetrazolium (percobaan pendahuluan), penentuan pola topografi pewarnaan
TZ sebagai totok ukur viabilitas (percobaan 1) dan selanjutnya sebagai tolok
commit
to user 2) dan berdasarkan pengamatan
ukur vigor baik secara laboratoris
(percobaan

4
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

di media tanam (percobaan 3). Pengujian TZ akan menghasilkan beberapa


pola topografi dan intensitas pewarnaan.

Setiap pola mempunyai

kemungkinan untuk menjadi pola yang menunjukkan viabilitas benih,


meskipun mempunyai intensitas warna yang berbeda. Oleh karena itu, pada
penelitian ini dilakukan identifikasi dan penentuan pola topografi pewarnaan
uji TZ. Pola-pola yang diperoleh dikorelasikan dengan hasil pengujian daya
berkecambah sebagai tolok ukur viabilitas dan pengujian indeks vigor,
kecepatan tumbuh, laju pertumbuhan kecambah serta accelerated ageing
sebagai tolok ukur vigor. Korelasi dilakukan baik terhadap uji viabilitas
maupun uji vigor karena akan dilihat perbedaan pola topografi
uji TZ pada
topografi

pewarnaan

kedua tolok ukur tersebut. Setelah diperoleh suatu pola

pewarnaan

uji

TZ,

pertumbuhan di media tanam.

dilakukan

korelasi

dengan

performa

Hal ini untuk membuktikan bahwa pola

topografi pewarnaan pada uji TZ yang diperoleh sebagai tolok ukur vigor
mempunyai korelasi yang tinggi dengan performa pertumbuhan di lapang
sebagai suatu persyaratan yang harus dipenuhi oleh pengujian vigor.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan dalam penelitian
ini difokuskan pada pengembangan metode uji TZ untuk menentukan tingkat
viabilitas dan tingkat vigor benih pepaya. Untuk mendapatkan hasil yang
akurat dalam memberikan solusi yang tepat, maka permasalahan tersebut
dapat dirinci sebagai berikut :
1. Apakah pola topografi pewarnaan TZ dapat menentukan viabilitas benih
2. Apakah pola topografi pewarnaan TZ dapat menentukan vigor benih
secara laboratoris
3. Apakah pola topografi pewarnaan TZ sebagai tolok ukur vigor benih dapat
digunakan untuk pendugaan pertumbuhan tanaman.
commit to user

5
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

C. Tujuan
Mengingat perlunya mempercepat proses sertifikasi benih pepaya,
maka tujuan penelitian ini adalah :
1. Membuat klasifikasi pola topografi pewarnaan TZ untuk menentukan
viabilitas benih.
2. Membuat klasifikasi pola topografi pewarnaan TZ untuk menentukan
tingkat vigor benih secara laboratoris.
3. Mengevaluasi pola topografi pewarnaan TZ sebagai tolok ukur vigor benih
yang dapat digunakan untuk pendugaan pertumbuhan tanaman di media
tanam.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memecahkan
permasalahan

tersebut dengan diperolehnya suatu pola topografi uji TZ

sebagai tolok ukur vigor benih pepaya sehingga dapat digunakan sebagai
metode pengujian rutin di laboratorium benih dalam proses sertifikasi benih.
Uji TZ sebagai tolok ukur vigor benih diharapkan dapat digunakan untuk
pendugaan performa pertumbuhan benih di lapang sehingga perhitungan
kebutuhan benih dapat lebih tepat dan menekan kerugian akibat buruknya
performa tanaman.

commit to user

6
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pepaya
Pepaya (Carica papaya L) merupakan tanaman buah, berupa herba
dari famili caricaceae yang berasal dari Amerika Tengah dan Hindia Barat,
bahkan kawasan sekitar Meksiko dan Costa Rica. Tanaman pepaya banyak
ditanam baik di daerah tropis maupun subtropis, di daerah basah dan kering,
atau di daerah dataran rendah dan pegunungan (Soedarya, 2009). Suhu
optimum untuk pertumbuhan pepaya berkisar antara 22-26C dengan curah
hujan 1000-2000 mm/tahun. Pepaya dapat ditanam di dataran rendah sampai
dataran tinggi, dengan pH tanah sekitar 6-7 (netral). Kondisi pertanaman
dengan drainase yang buruk dapat menyebabkan kematian, karena tanaman
pepaya tidak dapat tumbuh pada kondisi tanah yang tergenang (Fardilawati,
2008). Syarat tumbuh yang tidak terpenuhi akan menyebabkan penurunan
produksi secara kualitas maupun kuantitas.
Biji pepaya berbentuk agak bulat dengan bobot dan ukuran yang
berbeda antar varietas. Bagian biji terdiri dari embrio, endosperm, endotesta
dan aril benih yang disebut sarkotesta (Suwarno, 1984). Endotesta atau kulit
biji berwarna coklat-kehitaman hingga hitam dan memiliki alur sepanjang
permukaan benih. Sarkotesta adalah bagian selaput lunak berwarna bening
yang melapisi biji. Sarkotesta harus dihilangkan untuk mempercepat proses
perkecambahan. Sari (2005) menyatakan sarkotesta yang tetap dipertahankan
dalam proses pengeringan benih akan menyebabkan benih mengalami
hambatan dalam berkecambah, karena adanya senyawa fenolik Phydroxybenzoic acid yang terkandung dalam sarkotesta dan struktur testa
yang menjadi masif.
Pada saat ini program pemuliaan tanaman pepaya di Pusat Kajian
Buah-Buahan

Tropika

(PKBT)

IPB

telah

menghasilkan

beberapa

varietas/genotipe pepaya unggulan. Hasilnya antara lain adalah pepaya


user
unggul IPB 1 (Arum Bogor),commit
Prima,toIPB
3 (Carisya), IPB 4 (Carlia), IPB 5,

7
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

IPB 6 (Sukma), IPB 8, IPB 9 (Callina), dan IPB 10 (Wulung Bogor). Salah
satu jenis pepaya yang saat ini mulai banyak dikebunkan adalah jenis Pepaya
Callina. Pepaya Callina yang merupakan buah lokal asli Indonesia
merupakan petemuan Prof Dr Ir Sriani Sujiprihati MS dari Institut Pertanian
Bogor. Kini banyak ditanam para petani di berbagai daerah karena berbagai
keunggulannya dan tingginya permintaan pasar.

Pepaya berukuran kecil

dengan bobot rata-rata 1,3 kg per buah ini banyak dijual di supermarketsupermarket, dan di label dengan nama pepaya california.
Pepaya california dengan ukuran antara 0,8 2 kg/buah, berkulit tebal,
berbentuk lonjong buah matang berwarna kuning, rasanya manis, daging buah
kenyal dan tebal.

Pepaya california termasuk jenis unggul dan berumur

genjah, batangnya lebih pendek dibanding jenis pepaya lain, tinggi tanaman
sekitar 2 meter dan sudah bisa dipanen setelah berumur 7 hingga 9 bulan.
Pohonnya dapat berbuah hingga umur empat tahun. Dalam satu bulan bisa
dipanen sampai empat kali. Sekali panen, setiap pohon Pepaya california
dapat menghsilkan 10 hingga 20 buah. Dengan sekali panen setiap minggu
bisa mencapai 2 ton per hektar (Isnawan, 2014).
Benih pepaya yang diproses dari buah masak pohon akan memiliki
viabilitas dan vigor yang tinggi. Benih pepaya yang berasal dari buah matang
atau buah lewat matang adalah yang paling tepat untuk perbanyakan
(Sangakkara, 1995). Sementara Lubangaol (2008) menyatakan bahwa benih
yang berasal dari buah pepaya mengkal yang telah diperam selama 0 hari
memiliki viabilitas dan vigor benih yang rendah. Pemeraman buah pepaya
mengkal dapat meningkatkan viabilitas dan vigor benih. Pemeraman buah
pepaya mengkal selama 4 dan 7 hari menghasilkan viabilitas dan vigor yang
sama baiknya dengan benih yang berasal dari buah pepaya matang pohon
dengan semburat kuning 80 - 85 %.
B. Daya Berkecambah
Benih

dari

beberapa spesies tanaman memiliki kemampuan


commit
to usernamun ada pula spesies yang
berkecambah segera setelah
fertilisasi,

8
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

memerlukan periode istirahat atau perkembangan pasca panen sebelum


terjadinya perkecambahan. Selama periode istirahat benih berada pada tahap
tidak aktif dan mempunyai kecepatan metabolisme yang rendah. Kondisi
benih tersebut dikatakan dalam tahap istirahat atau dorman. Akhir periode
istirahat embrio diakhiri dengan perkecambahan.

Perkecambahan adalah

proses perubahan bentuk dari embrio benih menjadi tanaman yang dapat
melakukan fotosintesis sendiri (ISTA , 2014).
Daya berkecambah adalah kemampuan benih untuk berkecambah dan
berproduksi normal dalam kondisi optimum, dengan kriteria kecambah
normal yaitu akar primer dan hipokotil tumbuh lurus dan panjang, daun
pertama tumbuh normal serta tidak ada akar sekunder. Pengamatan pertama
perkecambahan benih pepaya pada hari ke-14 dan pengamatan akhir pada
hari ke-21 (Sari, 2005).
Perkecambahan yang terjadi pada benih dipengaruhi oleh faktor yang
bersifat eksternal maupun internal. Faktor eksternal meliputu faktor
lingkungan perkecambahan, sedangkan faktir internal berhubungan dengan
apa yang dialami benih selama pembentukannya. Faktor-faktor utama adalah
air, kondisi udara, suhu dan cahaya. Faktor-faktor lain yang berpengaruh
adalah defisiensi kimia, kondisi cuaca selama perkecambahan benih,
ketidakmasakan benih (immaturity), kerusakan mekanis, kerusakan akibat
panas, pengaruh bahan kimia, serangga dan tungau, penyakit tanaman dan
periode hidup benih (seed longevity) (BBPPMBTPH, 2012).
Diketahui bahwa perlakuan priming dapat memberikan pengaruh
positif pada benih. Priming merupakan salah satu teknik sederhana yang
dapat meningkatkan vigor dan terjadinya

perkecambahan, sehingga

meningkatkan efisiensi tanaman di lapang. Beberapa laporan menunjukkan


bahwa priming menyebabkan transkripsi DNA dan sintesis RNA dan protein
terjadi lebih awal yang dapat memperbaiki bagian benih yang mengalami
kerusakan dan mengurangi metabolisme eksudat (Entesari et. al., 2013).
Khan (2007) menyatakan bahwa perlakuan priming pada benih dapat
commit
to user kondisi stres lingkungan dan
meningkatkan respon fisiologi
dibawah

9
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

meningkatkan toleransi benih terhadap stres lingkungan. Erinnovita et al.


(2008) menambahkan bahwa dua perlakuan invigorasi, masing-masing
perlakuan priming dengan pasir dan perlakuan perendaman air merupakan
metode yang efektif dan disarankan untuk memperbaiki perkecambahan
benih kacang panjang pada kondisi cekaman salinitas.
Benih pepaya yang dikeringkan dengan sinar matahari menunjukkan
daya berkecambah yang paling tinggi dalam kondisi gelap dibandingkan
dengan benih lainnya. Hal ini disebabkan karena intensitas cahaya yang
diterima embrio pada saat benih dikeringkan lebih tinggi dibandingkan
perlakuan lainnya, bahkan pada benih yang tidak dikeringkan atau
dikeringkan dengan oven 40oC hampir tak ada cahaya yang mencapai embrio
(Suwarno, 1984).

Metode perkecambahan pada tanaman budidaya dapat

dilihat pada Tabel 1.


Tabel 1. Metode perkecambahan untuk benih tanaman budidaya
Spesies

Alium cepa
Amaranthus
sp.
Capsicum sp.
Oryza sativa

Vigna
unguiculata
Zea mays

Nama
Indonesia

Subtrat

Rincian untuk
Suhu (oC) Evaluasi
I (hari)

Bawang
Bombay
Bayam

TP;BP;S

20; 15

TP

Cabai
Padi

TP;BP;S
TP;BP;S

Kacang
tunggak
Jagung

BP; BS
BP; TPS;S

Petunjuk
tambahan

Evaluasi
Akhir
(hari)
12

20<->30;
20
20<->30
20<->30;
25

4-5

14

7
5

14
14

20<->30;
25
20<->30;
25;20

Prechill,
KNO3
KNO3
Preheat
(50oC),
rendam air
atau KNO3
(24 jam)
-

Prechill

Sumber : ISTA, 2014


Benih yang ditanam adalah produk akhir dari serangkaian langkah
yang meliputi pertumbuhan, panen,

pengeringan, penyimpanan dan

penanaman. Selama tahap ini,


biji mengalami
proses deteriorasi, sehingga
commit
to user

perpustakaan.uns.ac.id

10
digilib.uns.ac.id

pada saat penanaman menyebabkan menurunnya vigor dan angka


perkecambahan (McGee, 1983). Pengujian daya berkecambah merupakan
pengujian yang diterima secara luas oleh industri benih. Pengujian daya
berkecambah dianggap mampu menduga nilai penanaman (planting value)
dan potensi pertanaman di lapang (potensial field stand) dengan
reprodusibilitas yang tinggi. Tingginya reprodusibilitas pada uji daya
berkecambah disebabkan metode yang digunakan memiliki parameter yang
dapat diukur dan distandarisasikan seperti kelembaban, suhu, cahaya, jenis
substrat, periode pengujian dan metode pengamatan. Parameter-parameter
yang diterapkan pada pengujian daya berkecambah berada pada kondisi
optimum sehingga menghasilkan perkecambahan maksimal.

Menurut

definisi ISTA (2004) yang dimaksud dengan daya berkecambah di dalam


pengujian laboratorium adalah muncul dan berkembangnya kecambah sampai
suatu tahap dimana struktur esensialnya mengindikasikan dapat tidaknya
berkembang lebih lanjut menjadi tanaman yang memuaskan pada kondisi
tanah yang sesuai. Pada kenyataaannya kondisi penanaman di lapang lebih
sering tidak seoptimum kondisi di laboratorium sehingga lot benih yang
mempunyai persentase daya berkecambah lebih tinggi dapat memiliki nilai
pemunculan kecambah (field emergence) yang rendah di lapang.
Dalam perdagangan benih, adanya aturan baku merupakan hal penting.
Pembeli dan penjual harus mempunyai interpretasi yang sama tentang mutu
benih.

Dengan alasan untuk mencapai konsistensi keseragaman dalam

pengujian mutu benih, maka pengujian dilakukan pada kondisi optimum


sehingga akan menghasilkan potensi perkecambahan maksimal.

Apabila

pengujian dilakukan sesuai kondisi di lapang, maka konsistensi dan


keseragaman sukar dicapai, meskipun cara pengujian ini berkorelasi lebih
tinggi (Bradford, 2004).
C. Dormansi Benih Pepaya
Peningkatan produksi pepaya harus diawali dengan penyediaan benih
commit
to user
yang bermutu, terjangkau dan
tersedia
dalam jumlah yang cukup. Pepaya

11
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

merupakan tanaman monokotil yang hanya dapat dikembangkan dengan biji,


sehingga diperlukan benih yang bermutu guna menunjang produksi yang baik
dilapangan. Mutu benih tersebut meliputi mutu genetik, fisologis, dan fisik.
Disisi lain benih pepaya memiliki masa dormansi hingga 12-15 hari. Hal ini
disebabkan karena adanya Aril dan senyawa fenolik dalam aril benih.
Konsumsi oksigen yang tinggi oleh senyawa fenolik pada kulit benih selama
proses perkecambahan dapat membatasi suplai oksigen ke dalam embrio, dan
dapat membentuk lapisan yang mengganggu permeabilitas benih, serta
menghambat efektifitas masuknya zat-zat stimulasi perkecambahan sehingga
benih menjadi dorman (Sari, et al.,2005).
Dormansi mempunyai pengaruh yang sangat besar pada hasil
perkecambahan. Dormansi menggambarkan suatu keadaan dimana benih
hidup yang telah masak secara fisiologis gagal berkecambah meskipun dalam
kondisi yang optimum untuk perkecambahannya. Bila diduga benih masih
dorman, maka perlu dilakukan pematahan dormansi.

Jika pada evaluasi

terakhir terdapat 5% atau lebih benih segar, maka benih segar tersebut harus
diverifikasi viabilitasnya atau dilakukan pengujian ulang dengan aplikasi
pematahan dormansi (ISTA, 2014).
Dormansi pada benih bisa berlangsung selama beberapa hari,
semusim, atau bahkan sampai beberapa tahun tergantung pada jenis tanaman
dan tipe dari dormansinya. Pertumbuhan tidak akan terjadi selama benih
belum melalui masa dormansinya, atau sebelum dikenakan suatu perlakuan
khusus terhadap benih tersebut.

Metode untuk mematahkan dormansi

fisiologis dapat dilakukan dengan cara pendinginan pendahuluan (prechilling),


pemanasan pendahuluan (preheating), pre-storage (penyimpanan kering),
cahaya, dibungkus rapat dengan kantong plastik polietilen, perendaman
dengan asam giberelat (GA3), perendaman dengan potassium nitrat (KNO3),
skarifikasi asam dan skarifikasi mekanik (ISTA, 2014).
Dias et al. (2010) menambahkan bahwa benih segar pepaya dapat
mengalami dormansi pascapanen yang dimana akan pecah setelah enam bulan
commit tosenyawa
user
penyimpanan. Adanya kandungan
fenolik yang tinggi pada

12
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

sarkotesta benih pepaya dapat menghalangi benih untuk tumbuh berkecambah.


Pengaruh Giberelin terhadap biji dapat mendorong pemanjangan sel sehingga
radikula dapat menembus endosperm kulit biji atau kulit buah yang
membatasi pertumbuhannya (Salisbury and Ross, 1995).

GA3 dapat

mempercepat perkecambahan biji duku (Pinta et al., 2008) dan bibit kina
(Mayerni, 2008).
D. Uji Tetrazolium
Pengujian tetrazolium adalah suatu pengujian biokemis yang
digunakan untuk membuat penilaian viabilitas benih secara cepat. Pengujian
TZ hanya membutuhkan waktu kurang lebih 22 jam, sehingga dapat
mempercepat proses benih pepaya. Pengujian TZ sudah secara luas dikenal
sebagai metode yang akurat untuk mengestimasi viabilitas benih dan disebut
sebagai uji cepat. Metode ini dikembangkan pertama kali di Jerman pada
awal tahun 1940 oleh Prof. George Lakon yang mencoba membedakan benih
hidup dan mati dengan menggunakan garam Selenium.

Pengujian TZ

merupakan suatu langkah maju dalam teknologi benih. Impian F. Nobbe


untuk dapat mengetahui nilai perkecambahan tanpa harus mengecambahkan
benih telah terwujud melalui uji TZ (ISTA, 2003).

Pengujian ini dapat

digunakan bila benih harus segera ditabur setelah dipanen, atau benih dengan
dormansi cukup lama, maupun benih yang menunjukkan perkecambahan
benih yang lambat, maupun pada kasus diperlukan pendugaan yang sangat
cepat untuk potensi perkecambahan. Selain itu, pengujian tetrazolium dapat
juga digunakan sebagai berikut :
1. Untuk menentukan viabilitas individu pada akhir pengujian daya
berkecambah, khususnya bila benih diduga dormansi;
2. Untuk mendeteksi adanya gejala pertumbuhan kecambah dan berbagai
jenis kerusakan akibat pemanenan dan atau pengolahan benih (kerusakan
yang disebabkan panas, kerusakan mekanis, kerusakan oleh serangga);
3. Untuk mengatasi masalah-masalah yang ditemukan dalam pengujian
commitjika
to user
perkecambahan sebagai contoh
alasan penyebab abnormal tidak jelas

13
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

dan diduga dilakukan perlakuan dengan pestisida dan sebagainya (ISTA,


2014).
Menurut Copeland dan Mc Donald (1995) kelebihan pengujian vigor
dibandingkan pengujian daya berkecambah adalah :
1. Definisi

perkecambahan

benih

menekankan

bahwa

analis

benih

memfokuskan pada struktur esensial yang akan menghasilkan tanaman


normal. Penekanan pada morfolosi kecambah sedikit korelasinya dengan
kecepatan tumbuh, yang merupakan kriteria utama bagi keberhasilan
pertanaman.
2. Metode untuk uji daya berkecambah distandarisasi sehingga hasil uji dapat
diulang di dalam dan diantara laboratorium pengujian benih.

Kondisi

optimum digunakan untuk mendapatkan hasil uji yang seragam. Uji ini
harus dilakukan pada media standar yang steril dalam ruangan lembab
dengan suhu terkontrol, suatu kondisi buatan yang jarang berkorelasi
dengan kondisi lapang.

Pada dasarnya uji daya berkecambah

menunjukkan kemampuan maksimal suatu lot benih untuk menghasilkan


tanaman. Nilai daya berkecambah umumnya lebih besar dari pemunculan
bibit di lapang.
3. Uji daya berkecambah dirancang untuk memberikan hasil penghitungan
pertama dan kedua.

Penghitungan pertama pada dasarnya bertujuan

mengeluarkan benih yang telah berkecambah normal.

Penghitungan

terakhir dirancang untuk memberikan cukup waktu sehingga benih yang


kurang vigor dapat berkecambah dengan normal.

Dengan demukian

persentase perkecambahan merupakan gabungan kecambah kuat dan


lemah.

Kecambah lemah jarang menjadi bibit yang bagus di lapang

karena adanya cekaman lingkungan.


4. Berdasarkan definisi, perkecambahan tidak berskala. Sebutir benih dinilai
germinable atau non-germinable, tidak ada pemisahan kecambah kuat dan
lemah. Benih yang dinilai germinable dapat bervariasi di lapang (robust).
Uji daya berkecambah tidak dapat menduga sifat progesif deteriorasi benih
commit
to user
yang berdampak pada tegakkan
tanaman.

perpustakaan.uns.ac.id

14
digilib.uns.ac.id

Dalam uji TZ, larutan 2,3,5-trifenil tetrazoliumklorida atau bromide


digunakan sebagai indikator sel hidup yang ditandai dengan reaksi reduksi.
Indikator ini diimbibisi oleh benih dan pada jaringan benih akan bereaksi
dengan proses reduksi dalam jaringan hidup (Gambar 1). Indikator tersebut
akan menerima hydrogen dari enzim dehidrogenasi sehingga terbentuk garam
trifenil formazan yang berwarna merah, stabil dan tidak larut air. Letak dan
ukuran daerah yang terwarnai dan juga intensitas pewarnaan (biasa disebut
pola topografi) menentukan klasifikasi benih viable atau nonviable (ISTA,
2004).

Gambar 1. Reaksi tetrazolium dalam jaringan hidup (Franca et al., 1998)


Prosedur pengujian tetrazolium pada benih tanaman budidaya dan
hortikultura dapat dilihat pada Tabel 2. TZ untuk parameter viabilitas suatu
spesies benih, dilakukan dengan melihat hubungan uji TZ dan daya
berkecambah. Pada beberapa penelitian tentang korelasi antara uji TZ dan
daya berkecambah, metode yang digunakan adalah mengelompokkan pola
topografi dalam berbagai kriteria dan diuji dengan mencari koefisien
determinasi dan koefisien korelasi antara hasil uji daya berkecambah dengan
masing-masing pola seperti pada benih kedelai (Marjuni, 1995 dan Dina,
2006), benih sengon dan lamtoro (Karim, 1995), benih cabai (Sunaryati,
1995), benih jagung (Rofiah, 1996), benih padi gogo (Loekman, 1997) dan
kacang

panjang (Muchlis, 1995).

Metode pengujian tetrazolium benih

pepaya dengan benih direndam pada suhu 30oC selama 24 jam lalu dilepaskan
testa dan endospermanya, kemudian direndam dalam 0.5% larutan tetrazolim
o
selama 3 jam pada suhu 37.5 commit
C menghasilkan
to user 12 kategori pewarnaan embrio

15
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

benih pepaya (Shie dan Kuo, 1999). Pola yang memberikan koefisien
determinasi dan koefisien korelasi yang tertinggi (mendekati 1) adalah
kriteria yang dipilih untuk penentuan viabilitas benih.
Tabel 2. Prosedur pengujian tetrazolium pada benih tanaman budidaya dan
hortikultura
No.

Spesies

Pelembaban
Tipe
Waktu
Minimu
m
A
18

Amaranthus
sp

Capsicum sp

Hordeum
vulgare

Oryza sativa

18

Phaseolus

AK

18

18

Persiapan
Sebelum
pewarnaan
Tusuk benih
dekat mikrofil

Pewarnaan
Persentase
Waktu
Larutan
Optimum
(%)
(Jam)
1
20

Potong dengan
irisan kecil
kulit benih di
dekat dasar
benih, hanya
untuk
membuka
rongga embrio
Keluarkan
embrio dengan
skutellumnya

Potong
membujur
melalui embrio
dan
endosperm
-

18

Sumber : ISTA, 2014

commit to user

Persiapan
evaluasi

Jaringan Non
Viabel yang
diperbolehkan

Potong
benih secara
longitudinal

1/3
radikula
diukur
dari
ujung, 1/3 dari
ujung
distal
kotiledon
-

Poting benih
pada sisi
datar
menjadi 2
bagian dan
amati
embrio dan
endosperm
Amati
permukaan
eksternal
embrio dan
bagian
belakang
skutellum
Amati
permukaan
potongan
Kupas kulit
benih untuk
membuka
embrio

Daerah akar
kecuali satu
inisial akar,
1/3 dari ujung
skutellum
2/3 radikula

2/3
radikula
diukur
dari
ujung radikel,

daerah
distal
kotiledon,
distal plumula

16
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

E. Kerangka Berfikir

Proses sertifikasi benih pepaya membutuhkan waktu lama


sedangkan masa simpan benih singkat sehingga
mempengaruhi masa peredaran benih
Pengguna benih memerlukan informasi mutu benih yang cepat dan akurat
berkorelasi tinggi dengan tegakan tanaman di lapang

Penggunaan metode uji tetrazolium sebagai metode uji cepat


viabilitas benih
Klasifikasi Pola topografi pewarnaan TZ sebagai tolok ukur viabilitas
Klasifikasi Pola topografi pewarnaan TZ sebagai tolok ukur vigor
Evaluasi pola topografi pewarnaan TZ sebagai tolok ukur vigor benih yang
dapat digunakan untuk pendugaan pertumbuhan tanaman di media tanam

Pola topografi pewarnaan TZ sebagai tolak ukur vigor yang


berkorelasi dengan pertumbuhan tanaman

Perhitungan kebutuhan benih dapat lebih tepat sehingga


menekan kerugian akibat buruknya performa tanaman
F. Hipotesis
1. Pola topografi pewarnaan TZ berkorelasi dengan tolok ukur viabilitas
2. Pola topografi pewarnaan TZ berkorelasi dengan tolok ukur vigor
3. Pola topografi pewarnaan TZ sebagai tolok ukur viabilitas dan vigor
berkorelasi dengan pertumbuhan tanaman di media tanam

commit to user

17
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat


Penelitian dilakukan pada bulan Agustus hingga Desember 2014 di
Balai Besar Pengembangan Pengujian Mutu Benih Tanaman Pangan dan
Hortikultura (BBPPMBTPH), Cimanggis, Depok, Jawa Barat.
B. Bahan dan Alat
1. Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah benih pepaya yang
berasal dari Pusat Kajian Hortikultura Tropis (PKHT) IPB. Bahan lain
yang digunakan yaitu media perkecambahan yang terdiri dari tanah, pupuk
kandang, kertas CD, larutan GA3, larutan 2,3,5-trifenil tetrazoliumklorida,
plastik.
2. Peralatan yang digunakan yaitu: box plastik untuk perkecambahan, pinset,
termohygrometer, Germinator elektrik, nampan plastik, alat siram
(sprayer), grinding mill, cawan, pencapit, oven, desikator, timbangan
analitik, scapel, kaca pembesar, inkubator, mikroskop.
C. Pelaksanaan Penelitian
Sumber Benih Pepaya dan Mutu Benih pada Awal Penelitian
Benih pepaya varietas Callina yang digunakan merupakan benih baru
panen yang diperoleh dari Pusat Kajian Hortikultura Tropika (PKHT),
Institut Pertanian Bogor, yang berasal dari tiga lokasi panen yang berbeda,
yaitu Ciseeng (Lot A), Rancamaya (Lot B) dan Cicurug (Lot C). Ketiga lot
tersebut dikemas dengan plastik PE 0.08 mm dan disimpan pada ruangan
dengan RH 40-50 % dan suhu 20oC. Hasil uji mutu benih awal yang
dilakukan pada Agustus 2014 menunjukkan lot A memiliki kadar air (KA)
commit
to user lot B memiliki KA 10.5% dan
10.6 % dan berat 1000 butir 1.64
g, sedangkan

17

18
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

berat 1000 butir 1.68 g dan lot C memiliki KA 10.1% dan berat 1000 butir
1.66 g (Lampiran 1). Penelitian dilakukan dalam 4 (empat) tahap percobaan
yaitu pengembangan metode pengujian daya berkecambah dan pengujian
tetrazolium (percobaan pendahuluan), penentuan pola topografi pewarnaan
TZ sebagai tolok ukur viabilitas (percobaan 1) dan selanjutnya sebagai tolok
ukur vigor baik secara laboratoris (percobaan 2) dan berdasarkan pengamatan
di media tanam (percobaan 3).
Percobaan Pendahuluan I
Pengembangan metode
pengujian daya berkecambah

Penggunaan media pasir


Petak
utama
:
Perlakuan pendahuluan
(P)
Anak petak : Suhu
perkecambahan (T)

Percobaan Pendahuluan II
Pengembangan metode
pengujian tetrazolium

Penggunaan media kertas


Petak utama : Perlakuan
pendahuluan (P)
Anak petak : Suhu
perkecambahan (T)

Waktu perendaman (t)


dalam larutan TZ:
1. t1 (2 jam)
2. t2 (4 jam)
3. t3 (9 jam)
4. t4 (12 jam)
5. t5 (18 jam)

Pengamatan DB, tinggi kecambah dn BSTT

Pengamatan DB dan TZ

Penentuan waktu pengamatan awal dan


pengamatan akhir pada pengujian daya
berkecambah

Waktu perendaman terbaik

Output :
Metode pengujian daya
berkecambah

Output :
Metode pengujian
tetrazolium

Percobaan 1
commitalur
to user
Gambar 2. Diagram
penelitian pendahuluan

19
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

Percobaan 1

Uji viabilitas :
Uji DB dan TZ

Klasifikasi pola
topografi viabilitas
laboratoris

Percobaan 2

Percobaan 3

Uji vigor :
Uji IV, Kct, AA, LPK, TZ

Pengujian di
media tanam

Klasifikasi pola
topografi vigor
laboratoris

Klasifikasi pola
topografi vigor

Output :
Pola topografi pewarnaan TZ vigor
lebih spesifik dibandingkan viabilitas

Output :
Pola topografi pewarnaan TZ
sebagai tolok ukur vigor yang
berkorelasi dengan pertumbuhan

Output Akhir :
Pola topografi pewarnaan TZ untuk tolok ukur vigor yang
berkorelasi dengan pertumbuhan tanaman

Gambar 3. Diagram alur penelitian uji tetrazolium sebagai tolok ukur vigor
benih pepaya (Carica papaya)

1. Percobaan Pendahuluan I : Pengujian Daya Berkecambah


Tahap I : Pengujian daya berkecambah menggunakan media pasir
Pengujian dilakukan di ruang terkontrol menggunakan unit
percobaan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial, terdiri atas 2 faktor
perlakuan yaitu :
Faktor I adalah perlakuan pendahuluan (P), terdiri atas :
P1 : Tanpa perlakuan pendahuluan
commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

20
digilib.uns.ac.id

P2 : Perendaman dalam air selama 16 jam


P3: Perendaman dalam air selama 16 jam; substrat perkecambahan
dilembabkan dengan 0.05% larutan GA3 (larutan dibuat dengan
mencampurkan 500 mg GA3 dalam 1 liter air) dan dituang dalam media.
Faktor II adalah suhu perkecambahan, terdiri atas :
T1 : Suhu 25 oC (menggunakan germinator kabinet)
T2 : Suhu 20 30oC (menggunakan germinator elektrik)
T3 : Suhu 25 34oC (menggunakan laboratorium rumah kasa)
Pasir yang digunakan dalam percobaan memiliki ukuran partikel
yang seragam yaitu 90% partikel lolos saringan ukuran 0.8 mm, memiliki
nilai pH 6.5 dan nilai konduktivitas 20.3 mS/m. Air yang digunakan
adalah air yang sudah di mineralisasi, bersih, bebas dari senyawa organik
dan anorganik, pH antara 6,0 7,5. Percobaan menggunakan 50 benih
sebanyak 4 ulangan. Pengamatan dan penghitungan kecambah normal
dilakukan pada hari ke- 15 dan ke-30.
Tahap II : Pengujian daya berkecambah menggunakan media kertas CD
Pengujian dilakukan di ruang terkontrol menggunakan unit
percobaan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial, terdiri atas 2 faktor
perlakuan yaitu :
Faktor I adalah perlakuan pendahuluan (D), terdiri atas :
D1 : Tanpa perlakuan pendahuluan
D2 : Perendaman dalam air selama 16 jam
D3 : Perendaman dalam air selama 16 jam; substrat perkecambahan
dilembabkan dengan 0.05% larutan GA3 (larutan dibuat dengan
mencampurkan 500 mg GA3 dalam 1 liter air) dan dituang dalam
media.
Faktor II adalah suhu perkecambahan, terdiri atas :
T1 : Suhu 25 oC (menggunakan germinator kabinet)
T2 : Suhu 20 30oC (menggunakan germinator elektrik)
Kertas yang digunakan dalam percobaan adalah kertas CD,
commit
user
memiliki nilai pH 6.5 dan
nilaitokonduktivitas
333 S/cm. Air yang

21
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

digunakan adalah air yang sudah di mineralisasi, bersih, bebas dari


senyawa organik dan anorganik, pH antara 6,0 7,5. Percobaan
menggunakan 50 benih sebanyak 4 ulangan.

Pengamatan dan

penghitungan kecambah normal dilakukan pada hari ke- 15 dan ke-30.


Tahap III : Penentuan waktu pengamatan pertama dan pengamatan akhir
pengujian daya berkecambah pada media pasir dan media
kertas
Perlakuan tahap I (media pasir) dan tahap II (media kertas) yang
terbaik diuji kembali pada tahap III dengan menggunakan tiga lot benih A,
B dan C. Percobaan menggunakan 50 benih sebanyak 8 ulangan.
Pengamatan dan penghitungan kecambah normal dilakukan pada setiap
hari sampai hari ke-30. Penentuan waktu pengamatan pertama diperoleh
berdasarkan titik maksimum pada kurva hasil pengamatan kecambah
normal tiap hari.

Penentuan waktu pengamatan akhir diperoleh

berdasarkan titik konstan pada kurva hasil akumulasi pengamatan


kecambah normal tiap hari.
Rancangan Percobaan
Pada tahap I dan II digunakan Rancangan Acak Lengkap
menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA) kemudian dilanjutkan
dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) 5%.

2. Percobaan Pendahuluan II : Pengujian Tetrazolium


Pada pengujian TZ, benih dilembabkan dalam air selama 18 jam
pada suhu 20oC. Selanjutnya endosperma dipotong secara longitudinal
untuk mengeluarkan embrio benih, kemudian direndam dalam larutan
tetrazolium klorida 1% pada suhu 30oC selama 2, 4, 9, 12 dan 18 jam pada
kondisi gelap (ISTA, 2014). Pengujian DB dilakukan pada media pasir di
rumah kasa. Kriteria kecambah normal adalah hipokotil lurus dan sehat,
kotiledon telah terbuka sempurna disertai tunas yang sehat. Pengamatan
commit to user

22
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

hitungan pertama dilakukan pada 10 hari setelah tanam (HST) dan


hitungan kedua pada 21 HST.
Rancangan Percobaan
Uji pendahuluan menggunakan Rancangan Acak Lengkap satu
faktor sebanyak 8 (empat) ulangan masing-masing 50 butir. Hasil uji TZ
dianalisis korelasi dengan hasil uji DB. Hasil yang memberikan koefisien
determinasi dan koefisien korelasi yang tertinggi (mendekati 1) adalah
kriteria yang dipilih untuk metode pengujian tetrazolium benih.
3. Percobaan 1 : Uji Viabilitas
Pengujian viabilitas benih menggunakan uji DB dan TZ. Pada
pengujian TZ, benih dilembabkan dalam air selama 18 jam pada suhu
20oC.

Selanjutnya endosperma dipotong secara longitudinal untuk

mengeluarkan

embrio

benih,

kemudian

direndam

dalam

larutan

tetrazolium klorida 1% pada suhu 30oC selama 18 jam pada kondisi gelap.
Uji DB dilakukan pada media pasir di rumah kaca dengan data suhu dan
kelembaban pada Lampiran 2. Kriteria kecambah normal adalah hipokotil
lurus dan sehat, kotiledon telah terbuka sempurna disertai tunas yang sehat.
Pengamatan hitungan pertama dilakukan pada 10 hari setelah tanam (HST)
dan hitungan kedua pada 21 HST. Pengamatan dilakukan dengan
mengelompokkan benih sesuai dengan pola topografi dan pewarnaan yang
terbentuk. Kemudian persentase benih dalam tiap pola dihitung.
Penentuan pola topografi dan pewarnaan TZ untuk tolok ukur
viabilitas benih didasarkan pada perhitungan Root Mean Square (RMS)
antara hasil uji DB dan hasil uji TZ (Kuo et al. 1996 dan Pant et al., 1999),
dimana G adalah persentase hasil uji DB, P adalah persentase hasil uji TZ
dalam suatu pola atau kombinasi beberapa pola dan N adalah jumlah lot
(dalam penelitian ini tiga lot). Indeks angka menunjukan lot (1=lot A,
2=lot B dan 3=lot C). Nilai G dan P merupakan rata-rata dari delapan
ulangan pada suatu lot. commit to user

23
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

Tiga pola topografi dengan nilai RMS terkecil diuji lanjut dengan
analisis regresi dan korelasi untuk menentukan pola topografi yang paling
sesuai dengan sebagai tolok ukur viabilitas benih.

Nilai koefisien

determinasi (R2) dan koefisisen korelasi (r) yang tertinggi digunakan


sebagai kriteria pemilihan pola topografi yang paling sesuai.

Model

persamaan regresi yang digunakan adalah y = a + bx.


Rancangan Percobaan
Untuk pengujian viabilitas benih, digunakan Rancangan Acak
Lengkap dengan satu faktor yaitu lot benih yang terdiri atas tiga taraf
lokasi panen.

Setelah dianalisis sidik ragam (ANOVA) dilakukan uji

lanjut dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT) 5%. Analisis ini
untuk melihat perbedaan DB antar lot.
4. Percobaan 2 : Uji Vigor
Tolok ukur pengujian vigor benih di laboratorium yang digunakan
adalah accelerated aging (AA), indeks vigor (IV), kecepatan tumbuh (Kct)
dan kecepatan tumbuh relatif, laju pertumbuhan kecambah (LPK) dan uji
TZ. Uji AA dilakukan dengan mengecambahkan benih yang telah didera
pada suhu 41oC dan RH tinggi selama 72 jam (ISTA 2004). Nilai IV
adalah persentase kecambah normal pada hitungan pertama dalam DB
(Copeland dan McDonald 1995).

Dalam uji Kct dan Kct relatif

penghitungan kecambah normal dilakukan setiap hari hingga hari ke-21


atau hingga semua kecambah dapat identifikasi sebagai kecambah normal,
abnormal dan mati.
dibagi Kct maksimal.

Nilai Kct relatif (%) dihitung sebagai %N/etmal


Bobot Kering Kecambah Normal (BKKN), yang

ditunjukkan dengan kemampuan mengoptimalkan cadangan makanan


dalam benih ke dalam bentuk akumulasi bobot kering kecambah.
Pengujian dilakukan di commit
akhir pengamatan.
Seluruh kecambah normal
to user

24
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

dicabut, dibungkus dengan aluminium foil dan dikeringkan dalam oven


dengan suhu 60oC selama 3 hari, setelah itu dimasukkan ke dalam
desikator + 30 menit kemudian ditimbang.

Uji LPK (mg/kecambah

normal) dilakukan dengan mengeringkan kecambah normal hasil uji DB


pada 80oC selama 24 jam (Copeland dan McDonald 1995). Pengujianpengujian tersebut menggunakan 50 benih dengan delapan ulangan.
Penentuan pola topografi dan pewarnaan TZ untuk tolok ukur
viabilitas benih didasarkan pada perhitungan Root Mean Square (RMS)
antara tolok ukur vigor dan hasil uji TZ (Kuo et al. 1996 dan Pant et
al.1999), dimana G adalah persentase hasil uji DB, P adalah persentase
hasil uji TZ dalam suatu pola atau kombinasi beberapa pola dan N adalah
jumlah lot (dalam penelitian ini tiga lot). Indeks angka menunjukan lot
(1=lot A, 2=lot B dan 3=lot C). Nilai G dan P merupakan rata-rata dari
delapan ulangan pada suatu lot.

Tiga pola topografi dan pewarnaan dengan nilai RMS terkecil pada
tiap tolok ukur vigor diuji lanjut dengan analisis regresi dan korelasi untuk
menentukan pola yang paling sesuai sebagai tolok ukur vigor benih.
Khusus untuk LPK, BKKN dan Kct tidak dilakukan perhitungan RMS
karena mempunyai satuan yang berbeda sehingga langsung dianalisis
regresi dan korelasi. Analisis regresi dan korelasi dilakukan setelai nilai
LPK dan Kct ditransformasi ke nilai Z baku untuk memperoleh
perbandingan relatifnya. Menurut Walpole (1993) suatu pengamatan x
dari suatu populasi yang mempunyai nilai tengah dan simpangan baku ,
mempunyai nilai Z yang didefinisikan sebagai :
Z=x-

commit to user

25
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

Rancangan Percobaan
Untuk pengujian vigor benih di laboratorium, digunakan Rancangan
Acak Lengkap dengan satu faktor yaitu lot benih yang terdiri atas tiga taraf
umur simpan. Setelah dianalisis sidik ragam (ANOVA) dilakukan uji
lanjut dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT) 5%. Analisis statistik
ini digunakan untuk melihat perbedaan hasil pengujian antar lot.
5. Percobaan 3 : Hubungan antara uji tetrazolium dan pertumbuhan
tanaman pepaya di media tanam
Penanaman dilakukan dengan menanam benih di polybag.
Pengamatan pertumbuhan hingga 8 (delapan) minggu setelah tanam.
Setiap ulangan terdiri dari 10 polybag.

Polybag yang digunakan

berukuran 20 x 20 cm dan diletakkan dibawah naungan plastik bening,


sehingga tidak terpapar hujan. Sebelum digunakan, bagian bawah polybag
tersebut diberi lubang-lubang kecil tempat pembuangan air. Selanjutnya
polybag diisi dengan campuran tanah dan pupuk kandang dengan
perbandingan 1:1 (Jalie, 1998). Benih ditanam sedalam 1/2 cm, satu benih
di tiap polybag.

Selama pengujian tidak dilakukan penyulaman.

Pengamatan dilakukan pada daya tumbuh (DT) minggu ke-2, ke-3 dan ke4, persentase tanaman yang hidup berumur dua bulan (DT total), tinggi
tanaman minggu ke-2, ke-3 dan ke-4. Persentase DT dihitung berdasarkan
jumlah kecambah dengan satu daun trifoliate telah muncul dan terbuka
diatas permukaan tanah.
Setiap fase pertumbuhan yang diamati dianalisis regresi dan korelasi
dengan pola topografi yang merupakan tolok ukur viabilitas dan pola
topografi

yang

merupakan

tolok

ukur

vigor.

Semua

data

ditransformasikan ke nilai Z skor baku, kecuali data DT.


Rancangan Percobaan
Untuk pengujian di polybag digunakan Rancangan Acak Kelompok
Lengkap dengan 3 level faktor yaitu lot benih. Setiap lot terdiri atas 8
commit
to user
(delapan) ulangan sehingga
terdapat
24 satuan percobaan (Lampiran 3).

26
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

Pengamatan dilakukan terhadap tinggi tanaman dan daya tumbuh.


Pengamatan tinggi tanaman dilakukan pada 5 tanaman per ulangan
sehingga terdapat 120 satuan pengamatan. Setelah dianalisis sidik ragam
(ANOVA) dilakukan uji lanjut dengan Duncan Multiple Range Test
(DMRT) 5% untuk melihat perbedaan antar lot.

commit to user

27
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Uji Pendahuluan I : Pengujian Daya Berkecambah
Uji pendahuluan tahap I dilakukan untuk melihat apakah benih yang
akan digunakan dalam percobaan mengalami dormansi atau tidak.

Jika

mengalami dormansi maka dibutuhkan metode untuk pematahan dormansi.


Rekapitulasi hasil analisis ragam percobaan pengaruh perlakuan pendahuluan
(P) dan suhu perkecambahan (T) serta interaksinya (DxT) terhadap daya
berkecambah, tinggi kecambah dan benih segar tidak tumbuh pada media
pasir terlihat pada Tabel 3. Perlakuan pendahuluan (P) berpengaruh sangat
nyata pada tolok ukur daya berkecambah (DB), tinggi kecambah (TK) dan
benih segar tidak tumbuh (BSTT). Pada perlakuan suhu perkecambahan (T)
berpengaruh sangat nyata pada tolok ukur daya berkecambah (DB), tinggi
tanaman (TT) dan benih segar tidak tumbuh (BSTT).
Tabel 3. Rekapitulasi analisis ragam pengaruh perlakuan pendahuluan, suhu
perkecambahan dan interaksinya terhadap tolok ukur DB, tinggi
kecambah dan benih segar tidak tumbuh (BSTT) pada media pasir
Tolok ukur
P

Perlakuan
T
Interaksi
P*T
**
**

KK
(%)

Daya Berkecambah

**

12.10

Tinggi Kecambah

**

**

tn

19.58

Benih Segar Tidak Tumbuh

**

**

**

13.98

Keterangan : tn = tidak pengaruh nyata, **= berpengaruh sangat nyata pada uji
DMRT 1%

Interaksi perlakuan antara perlakuan pendahuluan (D) dan suhu


perkecambahan (T) berpengaruh sangat nyata pada tolok ukur daya
berkecambah (DB) dan benih segar tidak tumbuh (BSTT). Pada tolok ukur
tinggi kecambah tidak berpengaruh nyata (Tabel 4.).
commit to user
27

28
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

Tabel 4. Pengaruh interaksi perlakuan pendahuluan (P) dan suhu


perkecambahan (T) terhadap DB dan benih segar tidak tumbuh
(BSTT) pada media pasir
Tolok
Ukur

DB
(%)

BSTT
(%)

Perlakuan Pendahuluan

Suhu Perkecambahan (T)


25 C 25 <=> 30oC 25 34oC
(T1)
(T2)
(T3)
o

Tanpa Perlakuan (P1)

5,0d

77.5ab

85.0a

Perendaman air 24 jam (P2)

7.0d

73.0b

73.0b

Perendaman air 24 jam +


media dilembabkan dengan
GA3 0.05% (P3)
Tanpa Perlakuan (P1)

29.5c

85.0a

80.5ab

91.0d

13.5b

1.0 a

Perendaman air 24 jam (P2)

87.0d

9.5 b

2.0 a

Perendaman air 24 jam +


media dilembabkan dengan
GA3 0.05% (P3)

61.0c

3.0 a

2.0 a

Keterangan : Nilai pada masing-masing tolok ukur pada kolom dan baris yang
berbeda yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji
DMRT 1%

Metode perkecambahan terbaik dengan media pasir pada Tabel 5.


adalah benih yang ditumbuhkan pada suhu 25-34oC (T3), tanpa perlakuan (P1)
dan pada suhu 25 <=> 30oC (T2), dengan perlakuan pendahuluan
perendaman air 24 jam + media dilembabkan dengan GA3 0.05% (P3).
Dengan metode tersebut benih menghasilkan persentase daya berkecambah
tertinggi dan persentase BSTT rendah.

Benih yang digunakan tidak

mengalami masa dormansi karena benih tanpa perlakuan pada suhu 25-34oC
dapat tumbuh maksimum dengan peresentase BSTT terendah. Sedangkan
untuk benih pepaya yang mengalami mengalami dormansi dapat dilakukan
validasi metode dengan menggunakan metode perkecambahan suhu 25 <=>
30oC (T2), dengan perlakuan pendahuluan perendaman air 24 jam + media
dilembabkan dengan GA3 0.05% (P3).

commit to user

29
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

Tabel 5. Pengaruh tunggal perlakuan pendahuluan dan suhu perkecambahan


terhadap tolok ukur DB, TK dan BSTT benih pepaya pada media
pasir
Perlakuan
DB (%)

Tolok Ukur
TK (cm)

BSTT
(%)

Perlakuan pendahuluan
Tanpa perlakuan

55.83b

4.44b

35.17b

Perendaman air 24 jam

51.00b

4.66b

32.83b

Perendaman air 24 jam + media


dilembabkan dengan GA3 0.05%
Suhu Perkecambahan

65.00a

10.17a

22.00a

Suhu 25oC

13.83b

4.68b

79.67c

Suhu 25 <=> 30oC

78.50a

7.34a

8.67b

Suhu 25 34oC

79.50a

7.25a

1.67a

Keterangan : Nilai pada masing-masing tolok ukur pada kolom dan baris yang
berbeda yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji
DMRT 1%

Hasil penelitian menunjukan perlakuan perendaman air 24 jam +


media dilembabkan dengan GA3 0.05% dapat meningkatkan nilai DB dan
TK dan menurunkan jumlah BSTT. Menurut Subedi dan Bhattarai (2003)
GA3 mempercepat hidrolisis pati menjadi gula larut dengan meningkatkan
enzim hidrolitik seperti amilase -, -amilase, pada proses perkecambahan.
Daya berkecambah yang dihasilkan benih pepaya pada suhu 25
34oC dan suhu 20 30oC lebih tinggi dibandingkan pada suhu 25oC.
Kecepatan perkecambahan benih tergantung dari suhu melalui kecepatan
penyerapan air, kecepatan difusi gas untuk respirasi dan kecepatan reaksi
kimia yang terlibat dalam metabolisme benih. Pada suhu rendah, kecepatan
perkecambahan akan rendah dan meningkat apabila terjadi kenaikan suhu
sampai batas tertentu.

Bila melewati batas tertentu perkecambahan akan

terhambat (BPMBTPH, 2012). Pada penelitian ini perkecambahan benih


commit to user

30
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

pepaya dengan media pasir optimum pada suhu 25 34oC dan suhu 20
30oC.
Tinggi kecambah yang dihasilkan dengan perlakuan perendaman
benih selama 24 jam dan media perkecambahan yang dilembabkan dengan
larutan GA3 0.05% lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa perlakuan dan
dengan perendaman benih selama 24 jam. Meningkatnya kandungan
giberelin biasanya didahului oleh menurunnya kandungan inhibitor. Diduga
perlakuan suhu pada benih yang digunakan untuk mengatasi dormansi
menyebabkan bertambahnya level promotor endogenus pada benih, dan
mengurangi level inhibitor (BBPPMBTPH, 2012).
Tabel 6. Rekapitulasi analisis ragam pengaruh perlakuan pendahuluan, suhu
perkecambahan dan interaksinya terhadap tolok ukur DB, tinggi
tanaman dan benih segar tidak tumbuh (BSTT) pada media kertas
Tolok ukur
P

Perlakuan
T

Daya Berkecambah

**

Tinggi Kecambah
Benih
Segar
Tumbuh

Tidak

KK
(%)

**

Interaksi
P*T
**

17.44

**

**

tn

24.73

**

**

**

21.41

Keterangan : tn = tidak pengaruh nyata, **= berpengaruh sangat nyata pada uji
DMRT 1%

Rekapitulasi hasil analisis ragam percobaan pengaruh perlakuan


pendahuluan (P) dan suhu perkecambahan (T) serta interaksinya (DxT)
terhadap daya berkecambah, tinggi kecambah dan benih segar tidak tumbuh
pada media kertas terlihat pada Tabel 6. Perlakuan pendahuluan (P)
berpengaruh sangat nyata pada tolok ukur daya berkecambah (DB), tinggi
kecambah (TK) dan benih segar tidak tumbuh (BSTT). Pada perlakuan suhu
perkecambahan (T) berpengaruh sangat nyata pada tolok ukur daya
berkecambah (DB), tinggi tanaman (TT) dan benih segar tidak tumbuh
(BSTT).

commit to user

31
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

Interaksi perlakuan antara perlakuan pendahuluan (P) dan suhu


perkecambahan (T) berpengaruh sangat nyata pada tolok ukur daya
berkecambah (DB) dan benih segar tidak tumbuh (BSTT). Pada tolok ukur
tinggi kecambah tidak berpengaruh nyata.

Metode perkecambahan terbaik

dengan media kertas pada Tabel 7. adalah benih yang ditumbuhkan pada
suhu 25 <=> 30oC (T3), Perendaman air 24 jam + media dilembabkan dengan
GA3 0.05% (P3). Dengan metode tersebut benih menghasilkan persentase
daya berkecambah tertinggi (84%) dan persentase BSTT terendah (0%).
Tabel 7. Pengaruh interaksi perlakuan pendahuluan (P) dan suhu
perkecambahan (T) terhadap DB dan benih segar tidak tumbuh
(BSTT) pada media kertas

Tolok Ukur

Perlakuan Pendahuluan
Tanpa Perlakuan (P1)

DB (%)

BSTT (%)

Suhu Perkecambahan (T)


25oC
25 <=> 30oC
(T1)
(T2)
1.0 c
29.5 b

Perendaman air 24 jam (P2)

6.5 c

40.0 b

Perendaman air 24 jam +


media dilembabkan dengan
GA 0.05% (P3)
Tanpa Perlakuan (P1)

79.5 a

84.0 a

48

32.25c

Perendaman air 24 jam (P2)

45.25d

27.75b

Perendaman air 24 jam +


media dilembabkan dengan
GA 0.05% (P3)

0.75 a

Keterangan : Nilai pada masing-masing tolok ukur pada kolom dan baris yang
berbeda yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji
DMRT 1%

Hasil percobaan menunjukkan bahwa pengaruh tunggal perlakuan


perendaman air 24 jam + media kertas dilembabkan dengan GA3 0.05%
dapat meningkatkan nilai DB dan menurunkan jumlah BSTT.

Pengaruh

tunggal perlakuan suhu 25 <=> 30oC dengan menggunakan media kertas


dapat meningkatkan nilai DB dan TK serta menurunkan jumlah BSTT (Tabel
8.). Nerson (2007) menyatakan
bahwa
commit
to suhu
user yang tepat kemungkinan menjadi

32
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

faktor yang paling penting, tetapi perubahan komposisi gas, potensial air dan
hormon juga termasuk faktor yang mengatur perkecambahan.
Tabel 8. Pengaruh tunggal perlakuan pendahuluan dan suhu perkecambahan
terhadap tolok ukur DB, TK dan BSTT benih pepaya pada media
kertas
Perlakuan

Tolok Ukur
DB (%)

TK (cm)

BSTT (%)

Tanpa perlakuan

15.25c

3.33c

35.17b

Perendaman air 24 jam

23.25b

5.99a

32.83b

Perendaman air 24 jam + media


dilembabkan dengan GA3 0.05%
Suhu Perkecambahan

82.25a

5.74a

22.00a

Suhu 25oC

29.00b

2.45b

79.67c

Suhu 25 <=> 30oC

51.50a

7.58a

8.67b

Perlakuan pendahuluan

Keterangan : Nilai pada masing-masing tolok ukur pada kolom dan baris yang
berbeda yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji
DMRT 1%

Pengamatan pertama daya berkecambah ke tiga lot benih A, B dan C


dengan media pasir memperoleh kurva dengan titik maksimum yaitu pada
hari ke-10 (Gambar 4.). Pengamatan akhir daya berkecambah ke tiga lot
benih A, B dan C dengan media pasir memperoleh kurva dengan titik konstan
yaitu pada hari ke-21 (Gambar 5.).

commit to user

33
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

Gambar 4. Grafik perhitungan pengamatan pertama pengujian daya berkecambah


pada media pasir

Gambar 5. Grafik perhitungan pengamatan akhir pengujian daya berkecambah


pada media pasir

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

34
digilib.uns.ac.id

Gambar 6. Grafik perhitungan pengamatan pertama pengujian daya


berkecambah pada media kertas

Gambar 7. Grafik perhitungan pengamatan akhir pengujian daya


berkecambah pada media kertas
Pengamatan pertama daya berkecambah ke tiga lot benih A, B dan C
dengan media kertas memperoleh beberapa kurva rata-rata dengan titik
maksimum yaitu pada hari ke-18 dan pada hari ke-21 (Gambar 6.). Grafik
yang naik turun menggambarkan kemampuan daya kecambah benih yang
tidak seragam, hal ini kemungkinan dapat disebabkan oleh media kertas yang
kurang optimal untuk pertumbuhan benih pepaya. Pengamatan akhir daya
commit to user

35
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

berkecambah ke tiga lot benih A, B dan C dengan kertas memperoleh kurva


dengan titik konstan yaitu pada hari ke-30 (Gambar 7.).
Berdasarkan hasil yang diperoleh pada uji pendahuluan I untuk
pengujian daya berkecambah diperoleh bahwa benih pada lot A, B dan C
tidak mengalami dormansi, sehingga pada tahap selanjutnya untuk uji daya
berkecambah menggunakan metode dengan media pasir, pada suhu 25-34oC
(T3), tanpa perlakuan (P1).

Pengamatan pertama pada hari ke-10 dan

pengamatan akhir pada hari ke-21.


B. Uji Pendahuluan II : Pengujian Tetrazolium
Evaluasi awal terhadap mutu fisiologi benih dilakukan melalui
pengujian daya berkecambah (Tabel 9), benih diseleksi ke dalam tiga tingkat
viabilitas : tinggi (Lot B), sedang (Lot C) dan rendah (Lot A).
Tabel 9. Data rata-rata hasil pengujian daya berkecambah dan kadar air tiga
lot benih pepaya
Lot Benih

Daya Berkecambah (%)

Kadar Air (%)

80.5 ab

10.6

88 a

10.5

83.5b

10.1

Keterangan : Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata pada DMRT 5%.

Kadar air lot benih yang digunakan dalam penelitian menyajikan nilai
yang hampir sama, variasi yang diperoleh dari 10.1 sampai 10.6 (Tabel 9).
Hal tersebut sangat penting dalam pelaksanan pengujian ini untuk
standarisasi evaluasi dan pencapaian hasil yang konsisten. Pada Tabel 11
disajikan hasil uji tetrazolium pada tiga lot benih pepaya dengan berbagai
waktu perendaman dalam larutan tetrazolim.
Dalam penelitian diperoleh bahwa prosedur pewarnaan dengan
perendaman dalam larutan tetrazolium
pada konsentrasi 1% selama 18 jam
commit to user

36
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

mampu menyortir lot benih sama seperti hasil yang diperoleh dalam uji daya
berkecambah, datanya disajikan pada Tabel 10, mengklasifikasi lot 1, sebagai
benih berkualitas tinggi; lot 2 pada kualitas menengah; dan lot 3 sebagai
benih kualitas terendah. Metode tersebut memungkinkan untuk dilakukan dan
hasil akhir untuk viabilitas benih dapat diperoleh sekitar 40 jam. Hasil ini
dibutuhkan, ketika kontrol internal kualitas benih suatu perusahaan
membutuhkan respons yang cepat mengenai status lot benih secara benar,
untuk memberikan hasil yang tepat.
Tabel 10. Viabilitas dengan uji tetrazolium pada tiga lot benih pepaya pada
berbagai waktu perendaman dalam larutan tetrazolim
Lama Perendaman
2 jam
LOT

4 jam

9 jam

12 jam

18 jam

Uji Tetrazolium (%)

46.00b

50.00b

62.50c

78.50b

82.00c

60.75a

64.50a

75.75a

84.50a

90.00a

61.00a

62.75a

69.25b

80.00b

85.50b

CV(%)

14.78

13.05

9.18

5.40

5.32

`Keterangan : Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata pada uji DMRT 5%

Pada Tabel 11, diperlihatkan koefisien korelasi antara data yang


diperoleh pada uji perkecambahan benih dan dalam uji viabilitas benih
dengan

menggunakan

metode

tetrazolium,

yang

bertujuan

untuk

penyempurnaan analisis data. Pewarnaan dengan perendaman dalam larutan


garam tetrazolium selama 18 jam, konsentrasi 1% telah menghasilkan
korelasi tertinggi mendekati 1, yaitu 0.916 (statistik signifikan pada
probabilitas 1%), sehingga metode tersebut yang digunakan untuk pengujian
tetrazolium pada tahap percobaan selanjutnya.
commit to user

37
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

Tabel 11. Koefisien korelasi antara data rata-rata yang diperoleh dari
pengujian daya berkecambah dan pengujian viabilitas
menggunakan metode tetrazolium pada tiga lot benih A, B dan C
pada berbagai waktu perendaman
Waktu Perendaman

R2

2 jam

0.249

0.442*

4 jam

0.349

0.495*

9 jam

0.646

0.786**

12 jam

0.769

0.833**

18 jam

0.888

0.916**

Keterangan : R2 : koefisien determinasi, r : koefisien korelasi, *= berpengaruh nyata


pada uji DMRT 5% , **= berpengaruh sangat nyata pada uji DMRT
1%

Waktu

pewarnaan tidak mutlak harus dilaksanakan, karena dapat

beragam sesuai dengan kondisi benihnya.

Pengalaman menunjukkan

evaluasi dapat dipercepat atau diperlambat.

Waktu pewarnaan mungkin

diperpanjang

jika benih

belum

terwarnai

dengan

sempurna

untuk

membuktikan apakah pewarnaan yang kurang dari sebagaimana mestinya


disebabkan oleh lambatnya penyerapan garam tetrazolium atau merupakan
indikasi kekurangan/kerusakan didalam benih.

Namun pewarnaan yang

berlebihan harus dihindari karena hal ini dapat menyamarkan perbedaan pola
pewarnaan yang disebabkan benih lemah dan kerusakan spesifik seperti
akibat pembekuan (ISTA, 2014).
C. Percobaan I : Uji Viabilitas
Pada tahap uji viabilitas menghasilkan 12 (dua belas) pola topografi
dan pewarnaan TZ yang dibedakan berdasarkan daerah yang terwarnai pada
radikula dan kotiledon, di mana pola topografi benih viabel dan nonviabel
ditampilkan (Gambar 8.).

Setelah semua lot benih melalui pewarnaan,

dengan mengacu pada referensi ISTA (2014) untuk menentukan prinsipcommit


to user ini dirangkum ke dalam 12 pola
prinsip klasifikasi, dalam hasil
penelitian

38
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

topografi dan pewarnaan TZ. Pola diurutkan berdasarkan kemungkinan pola


tersebut menjadi pola viable. Pola 1-3 yang diperoleh pada penelitian ini
adalah viable karena area pada radikula hampir terwarnai seluruhnya dan
bagian kotiledon hampir terwarnai seluruhnya.
Pewarnaan embrio benih pepaya dengan tetrazolium memberikan pola
topografi yang berbeda, pola pewarnaan embrio jenis pertama seluruh embrio
yang berwarna merah cerah seragam. Pola 2 seluruh embrio berwarna merah
seragam. Pola 3 Embrio berwarna gradasi merah cerah merah muda. Dari
ketiga pola 1, 2 dan 3 terkadang pada ujung radikula (kurang dari 1/3)
berwarna sangat merah sangat muda atau tidak ada pewarnaan. Mernurut
evaluasi dalam pedoman ISTA hal tersebut tidak mempengaruhi dan tidak
diklasifikasikan secara terpisah. Pola 4 seluruh jaringan embrio berwarna
merah terang transparan.

Pola 5 lebih dari 1/3 radikula tidak terwarnai,

kotiledon berwarna merah cerah. Pola 6 Pelukaan pada seluruh embrio yang
berwarna merah muda sangat pucat. Pola 7. seluruh embrio berwarna merah
buram. Pola 8. Radikula tidak terwarnai. Pola 9 kotiledon tidak terwarnai.
Pola 10 bagian dasar radikula dan kotiledon berwarna merah muda pucat.
Pola 11 lebih dari 1/3 kotiledon tidak terwarnai. Pola 12 seluruh embrio tidak
terwarnai, seluruh jaringan embrio berwarna putih, beberapa radikula
berwarna merah muda yang sangat terang.

commit to user

39

Keterangan :

Pola 1

Pola 2

Pola 3

Pola 4

Pola 5

Pola 6

Pola 7

Pola 8

Pola 9

Pola 10

Pola 11

Pola 12

Pola viable 1-3 :


Pola1.Seluruh embrio berwarna merah cerah
Pola2.Seluruh embrio berwarna merah
Pola3.Embrio berwarna gradasi merah cerah
merah muda
termasuk jika kurang dari 1/3 radikula atau jika
kurang dari 1/3 radikula kotiledon tidak terwarnai
Pola nonviable 4-12 :
Pola4.Seluruh embrio berwarna merah terang
tranparan
Pola5.Lebih dari 1/3 radikula tidak terwarnai,
kotiledon berwarna merah cerah
Pola6.Pelukaan lunak berwarna merah muda pucat
Pola7. Seluruh embrio berwarna merah buram
Pola8. Radikula tidak terwarnai
Pola9. Kotiledon tidak terwarnai
Pola10. Bagian dasar radikula dan kotiledon
berwarna merah muda pucat
Pola11.Lebih dari 1/3 kotiledon tidak terwarnai
Pola12.Seluruh Embrio tidak terwarnai

39

Gambar 8. Pola topografi pewarnaan tetrazolium yang terbentuk pada percobaan I uji viabiltas benih pepaya varietas Callina

perpustakaan.uns.ac.id

40
digilib.uns.ac.id

Pola topografi yang diperoleh dalam penelitian memberikan hasil


yang sama pada beberapa pola dalam penelitian yang dilakukan oleh Shie dan
Kuo (1999). Dalam penelitiannya dikemukakan bahwa pola 1, 2 dan 3
merupakan pola yang dianggap viable. Penggunaan uji tetrazolium untuk
menilai viabilitas, benih diklasifikasikan sebagai viable atau nonviable
menurut pola pewarnaan. Embrio tidak harus benar-benar terwarnai untuk
digolongkan sebagai benih viable dan Aturan ISTA memberikan rincian
mengenai dari daerah maksimum jaringan yang tidak terwarnai, lunak atau
nekrotik yang masuk dalam kategori dalam benih viable. Salah satu faktor
yang sangat berpengaruh dalam uji TZ adalah evaluasi pola topografi
perwarnaan untuk menentukan benih viable dan nonviable. Benih viabel
menunjukkan pewarnaan pada seluruh jaringan benih yang diperlukan untuk
perkembangan kecambah yang normal. Daerah tak berwarna dengan luasan
terkecil pada beberapa bagian jaringan dapat diterima, tergantung pada
spesies.

Benih viable menunjukkan adanya aktifitas biokhemis yang

potensial untuk menghasilkan kecambah normal.

Benih nonviable

menunjukkan defisiensi dan atau keabnormalan dari sifat alami yang dapat
menghambat perkembangannya menjadi kecambah normal (ISTA, 2014).
Warna merah pada pola pertama memiliki perbedaan yang tipis dengan pola
7. Pola topografi yang diperoleh dalam percobaan, daerah yang tak terwarnai
dengan luasan kurang dari 1/3 pada bagian jaringan radikula dan kotiledon
dapat diterima sebagai benih viable.
Beberapa pola pewarnaan benih dikategorikan viable bila terwarnai
seluruhnya, kerusakan kecil (kurang dari 50%) pada kotiledon, tetapi bukan
pada bagian penghubung antara kotiledon dan radikula dan bukan pada
daerah satu sisi dengan hilum, kerusakan kecil (kurang dari 50%) pada
radikula, tetapi bukan pada bagian ujung atau pada bagian penghubung antara
kotiledon dan radikula. Bagian dalam kotiledon berwarna merah atau
bergradasi secara teratur dari merah di bagian tepi dan memudar di bagian
tengah (suatu kondisi yang wajar akibat berkurangnya penetrasi larutan
commit
to user
tetrazolium di bagian dalam).
Benih
dikategorikan nonviable bila tidak

41
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

terwarnai seluruhnya, sebagian besar kotiledon tidak terwarnai, sebagian


besar radikula tidak terwarnai, kerusakan lain (spot busuk), bagian luar
berwarna merah, tetapi bagian dalam kotiledon terlihat adanya batas yang
nyata daerah yang tidak terwarnai (spot putih) (Dina, 2006).
Dari dua belas pola topograpi pewarnaan benih pepaya, dapat
dikelompokkan ke dalam 2 (dua) kelompok yaitu benih viable dan benih
nonviable (Gambar 9.) . Benih pepaya dikategorikan viable bila :
1. Terwarnai seluruhnya.
2. Kerusakan kecil (kurang dari 1/3) pada kotiledon, tetapi bukan pada
bagian penghubung antara kotiledon dan radikula.
3. Kerusakan kecil (kurang dari 1/3) pada radikula, tetapi bukan pada
bagian penghubung antara kotiledon dan radikula.
4. Kombinasi 2 dan 3
Sedangkan, benih dikategorikan nonviable bila :
5. Tidak terwarnai seluruhnya
6. Lebih dari 1/3 kotiledon tidak terwarnai
7. Lebih dari 1/3 radikula tidak terwarnai
8. Kombinasi 6 dan 7
9. Kerusakan lain (seperti busuk)
Pengujian TZ memerlukan keahlian dan pelatihan yang intensif.
Keahlian ini dibutuhkan agar dapat mengevaluasi benih dengan tepat dalam
menentukan intensitas warna dan pola pewarnaan yang terbentuk.

ISTA

sebagai organisasi pengujian benih internasional yang menentukan metode


berdasarkan

reprodusibilitas

dan

lebih

ditujukan

untuk

persyaratan

perdagangan, telah menentukan persyaratan dalam evaluasi uji TZ. Namun


pada pelaksanaan pengujian TZ dibutuhkan suatu pengetahuan tentang benih
dan struktur benih, reaksi yang menyebabkan pewarnaan pada benih serta
kemampuan dalam menginterpretasikan pola pewarnaan dan topografi yang
terbentuk. Pada penelitian ini dibutuhkan identifikasi jaringan-jaringan
spesifik yang penting untuk perkembangan kecambah normal. Pada benih
commit to user

42
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

viable, jaringan tersebut harus berespirasi sehingga terwarnai. Bila jaringan


penting tidak terwarnai benih dikelompokkan nonviable.
Persentase lot benih di setiap kategori disajikan pada Tabel 12. Pola 1
merupakan pola mayoritas yang ditemukan pada tiap lot benih yang diuji
yaitu lot A 70%, lot B 76% dan lot C 76%. Pola 2 dan 3 berjumlah 8-12%,
pola 6 dan 7 berjumlah 8-12%, pola 4, 5, 8, 9, 10 dan 12 berjumlah 4-6%.
Jika hanya pola 1 saja yang dijadikan perbandingan sebagai daya
berkecambah, secara subtansial menghasilkan viabilitas yang terlalu rendah.
Sesuai dengan prinsip pedoman metode pewarnaan tetrazolium, jenis pola 5,
6, 8, 9, 10, 11, 12 maka sudah dipastikan sebagai pola nonviable, namun
pola yang lain adalah lebih sulit untuk dievaluasi. Oleh karena itu, nilai yang
dicari adalah perhitungan RMS untuk pola 1,2,3,4,7 yaitu sebanyak 25
kombinasi pola. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 14 pola
kemungkinan benih dianggap viable (Tabel 13.). RMS yang dihasilkan lebih
tinggi dari 10, menunjukkan bahwa perwakilan pola pewarnaan benih
dianggap non-viabel (tidak masuk dalam Tabel 13).
Tabel 12. Persentase masing-masing pola topografi pewarnaan tetrazolium
pada setiap lot benih
Pola

Lot A (%)

Lot B (%)

Lot C (%)

70

76

76

10

11

0commit to user 0

12

43
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

eberapa kombinasi gabungan antar pola yang memberikan RMS terkecil yaitu
antara 1.08 8.57 seperti yang tertera pada Tabel 13. Pada saat persentase
viabilitas tiga kategori dijumlahkan, potensi viabilitas adalah sebanding
dengan daya berkecambah benih di semua lot benih yang digunakan. Tiga
pola dengan RMS terkecil adalah pola 1,2,3 (RMS = 1.08), pola 1,2,4 (RMS
= 1.44), dan pola 1,2,7 (RMS = 2.35).

Pola yang memiliki koefisien

determinasi (R2) dan koefisien korelasi (r) tertinggi adalah kombinasi pola
1,2,3 (R2=0.782 dan r=0.885) (Tabel 14.).

Pola 1,2,3 ini disebut pola

topografi TZ untuk tolok ukur viabilitas benih pepaya.


Tabel 13. Nilai RMS pola viable pada pola topografi pewarnaan tetrazolium
Pola kemungkinan viable

RMS

Pola kemungkinan viable

RMS

1,2,3

1.08

1,3,4

4.62

1,2,4

1.44

1,4,7

4.81

1,2,7

2.35

1,2,4,7

6.33

1,2,3,4

2.95

1,3

6.73

1,2

3.07

1,7

6.84

1,3,7

3.82

1,4

8.11

1,3,4,7

4.19

1,2,3,7

8.57

Berdasarkan hasil perhitungan RMS dan analisis regresi serta korelasi,


pola 1,2,3 adalah pola yang menunjukkan benih viable. Apabila pola lain
ditambahkan pada kombinasi tersebut atau salah satu dari pola 1,2 atau 3
dihilangkan, nilai RMS akan meningkat.

Nilai RMS yang tinggi

menunjukkan terdapat selisih yang tinggi antar jumlah benih viable dan
jumlah kecambah normal yang menyebabkan kesalahan viabilitas benih (Pant
et al. 1999). Nilai koefisien determimasi dan korelasi pola 1,2,3 (0.782 dan
0.885) dan pola 1,2,4 (0.745 dan 0.863) lebih tinggi dari pada pola 1,2,7
(0.547 dan 0.740) (Tabel 14).commit to user

44
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

Tabel 14. Hasil analisis regresi dan korelasi antara uji tetrazolium dan uji
daya berkecambah pada tiga kombinasi dengan nilai RMS
terkecil
Kombinasi Pola

R2

1,2,3

26.23

0.695

0.782

0.885

1,2,4

-14.37

1.181

0.745

0.863

1,2,7

32.81

0.623

0.547

0.740

Keterangan :
a : intersep, b : koefisien regresi r, R2 : koefisien determinasi, r : koefisien korelasi

Koefisien korelasi yang tinggi menunjukkan keeratan hubungan


antara variabel x dan y. Nilai koefisien determinasi tertinggi yang diperoleh
adalah 0.78, hal ini berarti 78% titik-titik pengamatan berada di sekitar garis
regresi (Gambar 9). Ketiga pola viable tersebut mempunyai hubungan yang
signifikan dengan nilai DB. Nilai koefisien korelasi pola 1,2,3 dan pola 1,2,4
mempunyai hubungan yang lebih erat dibandingkan pola 1,2,7.

Nilai

koefisien yang diperoleh adalah 0.88 dan 0.86 yang berarti variabel y
dipengaruhi variabel x sebanyak 88% dan 86%. Nilai RMS pola 1,2,3 dan
pola 1,2,4 mempunyai hubungan yang lebih kecil dibandingkan pola 1,2,7
yang berarti selisih persentase DB dengan jumlah benih pada pola tersebut
lebih rendah dibandingkan selisih DB dengan pola 1,2,7. Evaluasi pewarnaan
TZ menggunakan nilai RMS berhasil dilakukan pada benih Carica papaya
(Shie dan Kuo, 1995), Salvia splendens and S. farinacea (Kuo et al., 1996)
and Dendrocalamus strictus (Pant et al., 1999). Hasil penelitian Aslam, et
al., (2010) menyatakan

adanya korelasi yang erat antara pengujian TZ

dengan pengujian daya berkecambah pada benih Pinus wallichiana dengan


nilai RMS terkecil sebesar 4.69.

commit to user

45
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

Gambar 9. Grafik regresi antara uji tetrazolium dan uji daya berkecambah
pada tiga kombinasi dengan nilai RMS terkecil
Nilai RMS pola viable 1,2,7 memiliki nilai RMS dalam kategori tiga
terendah. Namun demikian, pola 7 tidak dapat dimasukkan sebagai pola
viabel karena kotiledon berwarna tua. Pewarnaan merah tua menunjukkan
kurang hermetis dan penetrasi yang cepat dari larutan tetrazolium melalui
commit to user
tegument dan jaringan sel-sel dengan struktur seminal yang berbeda. Sebagai

46
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

konsekuensi dari hilangnya selektif permeabel, dimana membran sel tidak


lagi menjadi penghalang untuk penetrasi tetrazolium. Hal ini juga
menunjukkan aktivitas pernafasan yang intensif disebabkan oleh terjadinya
deteriorasi (Craviotto et al, 2008). Kebocoran membran tersebut dapat
disebabkan oleh kondisi benih yang sudah menua. Hal tersebut merupakan
kerusakan kritikal sehingga tidak dapat menghasilkan kecambah normal.
Rata-rata kecambah normal (DB) dan benih viable (TZ pada pola
1,2,3,) berturut-turut pada lot A 80.5% dan 82%, lot B 88% dan 88% dan lot
C 83.5% dan 84%. Pada Lot B nilai DB dan benih viable memiliki nilai
yang sama sedangkan pada lot A dan lot C memiliki selisih sebesar 1.5% dan
0.5%. Penentuan pola topografi dengan metode RMS dapat memberikan hasil
analisis yang obyektif (Kuo et al, 1995). Namun jika metode ini digunakan
dalam perhitungan pada benih yang mengalami dormansi maka dapat
memberikan hasil analisis yang salah. Menurut ISTA (2014), viabilitas secara
nyata tidak tergantung pada realisasi perkecambahan.

Namun demikian,

tidak akan ada perbedaan yang nyata antara viabilitas dan persentase
perkecambahan bila : (1) benih tidak dalam kondisi dorman atau tidak
sebagai benih keras atau sudah diberi perlakuan untuk pematahan dormansi
dan kekerasan benih (2) benih tidak terinfeksi atau telah sudah didesinfektan
(3) tidak disemprot sewaktu di lapang ataupun tidak diberi perlakuan bahan
kimia berbahaya selama pengolahan benih, (4) belum difumigasi, (5) belum
mengalami kemunduran selama waktu yang diperlukan untuk pengujian daya
berkecambah, serta (7) benih berkecambah dibawah kondisi optimum.
Pada pola 6 seluruh embrio berwarna merah yang sangat muda,
dominan putih dan pucat. Pola ini menunjukkan kurang sempurnanya
aktivitas metabolik yang berkaitan dengan respirasi sel, kondisi yang tidak
sehat atau kematian jaringan. Pada umumnya disertai dengan kurangnya
turgiditas pada sebagian atau

seluruh jaringan (Craviotto et al, 2008).

Kondisi yang tidak sehat dapat disebabkan oleh serangan hama atau penyakit.
Jumlah pola 6 pada lot A 9%, lot B 5% dan lot C 6%. Perlu pengkajian lebih
commit to user

47
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

lanjut untuk klasifisikasi pola 6 apakah dapat digunakan sebagai indikasi


dalam mendeteksi jumlah benih yang terinfeksi penyakit.
D. Percobaan 2 : Uji Vigor
Istilah vigor dalam viabilitas digunakan untuk menggambarkan
karakteristik

fisiologis

benih

yang

mengontrol

kemampuan

untuk

berkecambah dalam tanah dengan cepat dan mentolerir berbagai faktor


lingkungan yang kebanyakan merupakan faktor negatif. Untuk menentukan
pola topografi dan pewarnaaan yang menunjukkan vigor benih yang kuat
dihitung nilai RMS antara pengujian vigor dilaboratorium yaitu AA, IV dan
Kcr relatif dengan hasil uji TZ. Dari hasil pengujian AA dan IV (Tabel 15.)
terdapat tiga tingkat vigor benih dari tiga lot benih yang digunakan, yaitu lot
B (AA = 90 %, IV = 84.5%) dalam kelompok vigor yang tinggi, lot C (AA =
83%, IV = 79 %) dalam kelompok vigor menengah dan lot A (AA = 77%,
IV= 73%) dalam kelompok vigor yang rendah. Pengujian kecepatan tumbuh
memberikan hasil lot B (Kct relatif = 86.67% dan Kct = 8.601 %N/etmal)
berbeda nyata dengan lot A (Kct relatif = 78.96% dan Kct = 7.895%N/etmal)
dan lot C (Kct relatif = 77.38% dan Kct = 7.814%N/etmal). Lot C tidak
berbeda nyata dengan lot A. Pengujian LPK tidak dapat membedakan ketiga
lot benih yang digunakan. Namun, berat kering rata-rata kecambah normal
lot B (4.469 g) berbeda dengan lot A (3.677 g), tetapi tidak dengan lot C
(4.147 g), dan lot C tidak berbeda dengan lot B.
Berdasarkan Tabel 15, lot B merupakan benih yang memiliki vigor
tinggi karena memiliki hasil tertinggi pada semua indikator vigor benih. Hal
ini sesuai dengan Justice dan Bass (2002) bahwa bobot kering kecambah
normal (BKKN) merupakan salah satu indikator vigor benih, tingginya nilai
BKKN menunjukkan tingginya vigor benih. Sadjad et al. (1999)
mengemukakan bahwa kemampuan berkecambah suatu benih berhubungan
dengan banyaknya cadangan makanan yang dikandungnya. Indeks vigor atau
kecepatan tumbuh merupakan indikasi waktu yang diperlukan benih untuk
commit
to user
tumbuh serempak selama proses
perkecambahan.
Semakin cepat waktu yang

48
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

dibutuhkan maka kemampuan benih untuk tumbuh menjadi tanaman dewasa


semakin baik sehingga dapat diduga potensi hasil (Andi et al., 2012). Pada
lot A dan lot C memiliki kecepatan tumbuh yang lebih rendah menunjukkan
lambatnya pertumbuhan kecambah yang mengindikasikan lemahnya vigor
kekuatan tumbuh.
Tabel 15. Hasil pengujian untuk parameter vigor benih
Tolok ukur

Lot A

Lot B

Lot C

Accelerated ageing (%)

77c

90a

83b

Indeks vigor (%)

73c

84.5a

79b

Kecepatan tumbuh (%N/etmal)

7.895b

8.601a

7.814b

Kecepatan tumbuh relatif (%N/etmal)

78.96b

86.67a

77.38b

Berat kering kecambah normal (g)

3.677b

4.469a

4.147ab

Laju pertumbuhan kecambah (g)

0.092a

0.102a

0.099a

Keterangan : Huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata pada DMRT 5%

Pada pengujian AA, benih didera pada kondisi suhu tinggi (41oC) dan
RH tinggi selama 72 jam. Benih yang bervigor tinggi akan tetap memiliki
nilai perkecambahan yang tinggi setelah didera, sedangkan benih yang
bervigor rendah akan mengalami penurunan hasil nilai perekecambahan yang
didera.
Indeks vigor menunjukkan jumlah kecambah normal pada hitungan
pertama yaitu hari ke-10. Nilai Kct relatif merupakan perbandingan antara
nilai Kct yang diperoleh dengan Kct maksimalnya.

Nilai Kct maksimal

merupakan nilai dugaan, yaitu bila semua benih telah menjadi kecambah
normal pada hari ke-10, karena pada hari ke-8 dan ke-9 telah berkecambah
tetapi belum menjadi kecambah normal. Nilai Kct dengan satuan %N/etmal
menunjukkan jumlah benih yang tumbuh menjadi normal setiap 24 jam.
Pada lot A dengan nilai Kct 7.895%N/etmal berarti untuk mencapai
perkecambahan hingga 100%, lot A membutuhkan waktu 100/7.895 atau 12.7
commit to user

49
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

hari, lot B 11.6 hari dan lot C 12.8 hari. Semakin tinggi nilai Kct semakin
cepat benih tersebut tumbuh menjadi kecambah normal.
Tabel 16. Nilai RMS untuk pola vigor pada pola topografi pewarnaan
tetrazolium 1,2,3,4,7
Pola berkemungkinan vigor

Nilai RMS
IV
5.661

AA
10.023

Kct relatif
8.204

1,2

3.948

3.536

3.013

1,3

6.705

2.923

5.230

1,4

8.089

3.992

6.194

1,7

6.871

3.747

6.236

1,2,3

3.342

6.331

4.495

1,2,4

3.473

5.282

3.412

1,2,7

4.036

6.961

5.884

1,3,4

4.985

2.712

3.651

1,3,7

4.345

4.208

5.109

1,4,7

5.230

3.620

5.012

1,2,3,4

4.750

8.390

6.139

1,2,3,7

10.822

17.596

14.791

1,2,4,7

9.155

15.397

12.533

1,3,4,7

6.466

9.750

9.042

1,2,3,4,7

14.029

21.120

17.796

Hasil perhitungan RMS antara TZ-AA, TZ-IV dan TZ-Kct relatif


memberikan nilai yang berbeda. Namun pada pola 1,2 memberikan nilai
yang hampir sama yaitu 3.948, 3.536 dan 3.013 (Tabel 16.). Nilai RMS TZAA antara 3-14, RMS TZ-IV antara 2-21 dan TZ-Kct relatif antara 3-17.
Nilai RMS yang tinggi menunjukkan selisih antara kedua tolok ukur yang
diuji adalah tinggi.
commit to user

50
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

Tabel 17. Hasil analisis regresi dan korelasi antara hasil uji tetrazolium dan
uji vigor laboratoris
Pola vigor
TZ-AA
1,2
1,2,3
1,2,4
TZ-IV
1,2
1,3
1,3,4
TZ-KCT relatif
1,2
1,2,4
1,3,4
TZ-KCT
1,2
1,2,4
1,3,4
TZ-BKKN
1,2
1,2,3
1,2,3,7
TZ-LPK
1,2
1,3
1,2,3

R2

-34.36
-36.39
-44.43

1.450
1.414
1.534

0.695
0.689
0.701

0.8341
0.8306
0.8374

-55.23
-12.07
-1.723

1.651
1.173
1.012

0.827
0.471
0.349

0.9096
0.6868
0.5909

-13.17
-21.00
31.76

1.160
1.225
0.618

0.574
0.576
0.183

0.7580
0.7592
0.4284

0.546*
0.588*
0.232*

0.7391
0.7668
0.4824

0.811
0.784
0.554

0.9949*
0.9898*
0.7448*

0.678
0.490
0.607

0.8235*
0.7001*
0.7794*

Keterangan : a: intersep, b: koefisien regresi, R2 : koefisien determinasi, r:


koefisien korelasi, *data ditransformasikan ke nilai Z baku

Hubungan yang paling erat antara hasil uji TZ dengan AA, IV dan
Kct relatif dan LPK berbeda-beda sesuai dengan yang ditunjukkan oleh nilai
korelasi yang tinggi (Tabel 17). Kombinasi gabungan pola yang memberikan
nilai R2 dan r tertinggi pada AA adalah pola 1,2,4 (R2=0.701 dan r=0.8374),
2
pada IV pola 1,2 (R2=0.827 dan
r=0.9096),
commit
to userdan Kct relatif pola 1,2 (R =0.576

51
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

dan r=0.7592). Nilai R2 dan r tertinggi pada Kct yang ditransformasikan ke


nilai Z baku adalah pada pola 1,2,4 (R2=0.588 dan r=0.7688) dan LPK pada
pola 1,2 (R2=0.678 dan r=0.8235). Asumsi yang digunakan adalah bila nilai
koefisien determinasi lebih dari 0.3 maka antar variabel mempunyai
hubungan yang signifikan dan bila lebih dari 0.63 maka variabel x dianggap
sebagai alat prediksi terbaik untuk variabel y (Kulik dan Yaklich, 1982).
Nilai koefisien determinasi dan korelasi yang diperoleh signifikan
memperlihatkan adanya hubungan antara variabel yang diuji.
Berdasarkan hasil analisis regresi dan korelasi antara hasil uji
tetrazolium dan uji vigor laboratoris, pola topografi 1,2 merupakan pola yang
mempunyai hubungan signifikan pada setiap parameter uji vigor. Maka pola
yang berkemungkinan besar menjadi tolok ukur vigor adalah pola 1,2 sesuai
dengan Baskin, et al (1986) yang menyatakan hasil pewarnaan TZ pada benih
yang menunjukkan vigor kuat adalah terwarnai sepenuhnya, atau hanya
sebagian kecil

bagian yang tidak terwarnai di bagian kotiledon yang

berlawanan dengan radikula, dengan warna merah yang cerah dan merata,
tidak terlalu gelap, jaringan terlihat kuat dan bagian ujung radikula berwarna
lebih tua dibandingkan kotiledon. Pola-pola lainnya memiliki kelemahan
yang menunjukkan benih bervigor menengah, rendah atau tidak vigor. Pola
1,2 memberikan nilai koefisien determinasi dan korelasi tertinggi pada
analisis TZ-IV dan TZ-BKKN .
E. Percobaan 3 : Hubungan Antara Uji tetrazolium dan pertumbuhan
tanaman pepaya di polybag
Penanaman benih di polybag bertujuan untuk meningkatkan
keseragaman pengaruh kondisi tanah terhadap pertumbuhan benih, sehingga
diharapkan perbedaan pertumbuhan tanaman hanya disebabkan oleh
performa benih itu sendiri. Keuntungan penanaman di polybag antara lain :
hara yang tersedia pada setiap tanaman relatif sama, tidak ada pengaruh aliran
air dan tidak ada pengaruh antar individu akar tanaman (Dina, 2006).
commit todalam
user penelitian disesuaikan dengan
Penggunaan polybag dan naungan

52
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

pembibitan tanaman pepaya yang biasa dilakukan oleh petani.

Masa

pembibitan pepaya umumnya hingga tanaman berumur 2-3 bulan, kemudian


tanaman dipindahkan ke lapangan.
Uji vigor merupakan uji yang berkorelasi dengan pertumbuhan benih
di lapang. Pola vigor yang diperoleh diuji korelasinya dengan pengujian di
media tanam dengan menggunakan lot benih yang sama. Daya tumbuh lot A,
B dan C mengalami peningkatan hingga minggu ke-4. Akan tetapi jumlah
tanaman lot A yang tetap hidup pada minggu ke-8 mengalami penurunan
sebesar 5 %. Diantara ketiga lot, lot B merupakan tanaman yang tertinggi,
berbeda nyata dengan lot A dan lot C. Hal ini dapat dibedakan pada sejak
minggu II.

Tiga tingkat viabiltias dan vigor yang ditunjukkan oleh uji

laboratorium berlanjut sepenuhnya pada pengujian di media tanam. Lot B


tetap menjadi lot yang terbaik pertumbuhannya dilihat dari tinggi tanaman
dan DT (Tabel 18), lot C dalam satu tingkat lebih rendah dibandingkan lot B,
sedangkan lot A berada satu tingkat lebih rendah dari lot C.
Tabel 18. Hasil pengujian vigor bibit dan tanaman di media tanam
Tolok Ukur

Lot A

Lot B

Lot C

Daya tumbuh hari ke-14 (%)

78a

81a

79a

Daya tumbuh hari ke-21 (%)

80a

84a

80a

Daya tumbuh hari ke-28 (%)

80a

88a

81a

Daya tumbuh total (%)

75b

88a

81ab

Tinggi tanaman minggu II (cm)

3.64b

4.32a

3.60b

Tinggi tanaman minggu III (cm)

5.72b

6.38a

5.77b

Tinggi tanaman minggu IV(cm)

7.98b

8.81a

7.64b

Keterangan : Huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata pada uji DMRT 5%. Pengamatan tinggi tanaman
dilakukan pada 5 tanaman secara acak pada tiap ulangan.

commit to user

53
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

Tabel 19. Hasil analisis regresi dan korelasi pola topografi pewarnaan
tetrazolium dengan tolak ukur daya tumbuh
Pola topografi

Lot

Pola 1,2

A
B
C
A
B
C

Pola 1,2,3

Pola 1,2

Pola 1,2,3

Pola 1,2

Pola 1,2,3

Pola 1,2

Pola 1,2,3

A
B
C
A
B
C
A
B
C
A
B
C
A
B
C
A
B
C

a
DT hari ke-14
-70.43
-135.60
-72.41
-195.80
-168.00
-64.35
DT hari ke-21
-173.2000
-108.6000
-51.4500
-216.1000
-155.3000
-51.4500
DT hari ke-28
-173.2000
-51.6600
-141.0000
-216.1000
-44.7600
-88.0000
DT hari ke-56
-178.2000
-70.8800
-51.4500
-198.3000
-44.760
-56.2900

R2

1.843
2.598
1.854
3.3330
2.8480
1.6930

0.4660
0.7750
0.7410
0.6950
0.7860
0.6180

0.5618
0.8808
0.8614
0.8341
0.8868
0.7865

3.2250
2.3030
1.6120
3.6110
2.7320
1.6120

0.5370
0.5480
0.8060
0.7820
0.6500
0.8060

0.7332
0.7405
0.8980
0.8845
0.8064
0.8980

3.2250
1.6660
2.3700
3.6110
1.5110
2.0000

0.5370
0.8090
0.9060
0.7820
0.5610
0.6400

0.7332
0.8997
0.9491
0.8845
0.7493
0.7765

3.2250
1.9110
1.6120
3.3330
1.5110
1.6120

0.6450
0.7640
0.8060
0.8000
0.5610
0.8060

0.8032
0.8745
0.8980
0.8944
0.7570
0.8980

Keterangan : a: intersep, b: koefisien regresi, R2 : koefisien determinasi, r:


koefisien korelasi

commit to user

54
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

Tabel 20. Hasil analisis regresi dan korelasi pola topografi pewarnaan
tetrazolium dengan performa tanaman
Tolok Ukur

Pola 1,2,3 (viabilitas)

Pola 1,2 (vigor)

R2

R2

Tinggi minggu ke-2

0.64

0.8006

0.573

0.7573

Tinggi minggu ke-3

0.823

0.9068

0.715

0.8456

Tinggi minggu ke-4

0.539

0.7348

0.502

0.7090

Keterangan : Seluruh data ditransformasi ke nilai Z baku

Secara keseluruhan, pola 1,2 dan 1,2,3 mempunyai korelasi yang


tinggi dengan tolok vigor bibit yang diamati yaitu DT hari ke-14, ke-21, ke
28 dan ke-56 serta tinggi tanaman minggu ke-14, ke-21 dan ke-28, yang
ditunjukkan dengan tingginya nilai koefisien korelasi (0.56 0.94) seperti
pada Tabel 19 dan 20. Sebagian besar (56-90%) titik pengamatan berada di
sekitar garis linier, hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien determinasi
yang tinggi. Hasil analisis regresi dan korelasi menunjukkan pola 1,2,3 yang
merupakan pola viable berkorelasi lebih erat dengan tolok ukur DT hari ke14 dan ke-21, tinggi tanaman minggu ke-2, ke-3, ke-4 dan ke-8. Sedangkan
pola 1,2 yang menunjukkan vigor berkorelasi lebih erat dengan DT hari ke28 dan ke-56. Seiring dengan pertambahan waktu diperoleh pola 1, 2 sebagai
tolok ukur vigor lebih berkorelasi dengan daya tumbuh dibandingkan dengan
pola 1, 2, 3. diduga merupakan pola uji TZ yang dapat digunakan untuk
menduga field emergence, yaitu dapat menduga pertumbuhan tanaman pada
semua kondisi lingkungan. Pola 1,2,3 dan pola 1,2 dapat digunakan untuk
mengestimasi pertumbuhan tanaman, tetapi pola 1,2 sebagai pola vigor dapat
mengestimasi lebih baik. Menurut Sadjad et al. (1999) vigor menunjukkan
kecepatan yang tinggi dalam proses pertumbuhannya apabila kondisi di
sekelilingnya optimum untuk tumbuh dan proses metabolismenya tidak
terhambat. Vigor benih merupakan salah satu aspek dari mutu fisiologis
commit to user
benih, yang menentukan potensi pemunculan kecambah yang cepat, seragam

55
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

dan perkembangan kecambah normal pada kondisi lapangan yang bervariasi


(Ilyas, 2010). Pola vigor hasil uji TZ dapat digunakan untuk menduga
performa pertumbuhan tanaman kedelai pada tolok ukur daya tumbuh hari
ke-7, dan ke-14, persentase tanaman yang hidup hingga dipanen, tinggi
tanaman minggu ke-2 hingga ke-4, bobot brangkasan, jumlah dan berat
polong serta hasil produksi benih (Dina, 2006).
Pada hari ke-7 daun pada kecambah belum muncul atau terbuka
diatas permukaan tanah, sedangkan pada hari ke-14, sebagian besar daun
trifoliat telah sempurna.

Pengamatan DT pada penelitian ini memiliki

definisi yang sama dengan field emergence pada penelitian Qasim et al (2010)
yaitu jumlah kecambah dengan satu daun trifoliat yang telah muncul dan
terbuka diatas permukaan tanah. Hasil penelitian Qasim et al (2010)
menunjukkan hubungan antara uji TZ dan field emergence adalah positif dan
signifikan (0.609) pada kasus persemaian diakhir masa tanam. Pengujian di
polybag di bawah naungan plastik, meminimalkan deraan cuaca, sehingga
kondisi yang tercipta mendekati kondisi optimum. Suhu lingkungan selama
pengujian berlangsung pada bulan November-Desember berkisar antara 23.2
- 32.10C (Lampiran 8), tidak jauh berbeda dengan pengujian daya
berkecambah di rumah kaca pada suhu 25-34oC. Kondisi penanaman yang
lebih mendekati kondisi rumah kaca, maka pola 1, 2, 3 uji TZ yang menjadi
tolok ukur viabilitas berkorelasi lebih erat dengan tinggi tanaman.
Daya tumbuh lot A dan lot B lebih kecil dibandingkan DB-nya (Lot
A DT 75%, DB 80.5%, Lot C DT 81%, DB 83.5% ), sedangkan DT lot B
sama dengan DB-nya (DT 88%, DB 88%). Dalam keadaan normal, DB selalu
tinggi atau sama dengan pertumbuhan di lapang. DT total pada tanaman lot
A mengalami penurunan sebesar 5%. Hal tersebut terjadi karena tanaman
terserang penyakit sehingga mati. Pada saat penelitian berlangsung hujan
hampir terjadi setiap hari, dengan cuaca yang lembab

memungkinkan

patogen berkembang menyerang tanaman dan menyebabkan tanaman mati.


Benih yang memiliki vigor rendah akan berakibat terjadinya
commit penyimpanan
to user
kemunduran yang cepat selama
benih, makin sempitnya

perpustakaan.uns.ac.id

56
digilib.uns.ac.id

keadaan lingkungan dimana benih dapat tumbuh, kecepatan berkecambah


benih menurun, kepekaan akan serangan hama dan penyakit meningkat,
meningkatnya jumlah kecambah abnormal dan rendahnya produksi tanaman
(Sadjad, 1993).
Penggunaan larutan tetrazolium untuk uji viabilitas cepat dapat
digunakan untuk menilai benih viable dan benih nonviable dan dianggap
lebih aman dari pengaruh lingkungan sehingga hasil yang diperoleh dapat
menunjukkan kondisi yang sesungguhnya dari benih yang diuji. Sedangkan
pengujian fisiologis banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan pada saat
perkecambahan seperti media, suhu, serangan hama, penyakit serta kondisi
stress air akan mempengaruhi hasil yang diperoleh.

Apabila faktor

lingkungan yang terdapat pada masing-masing benih beragam akan


mengakibatkan hasil yang beragam (Dermawan, 2007).
Benih lot A, B dan C memiliki masa simpan yang hampir sama,
namun lot benih tersebut dipanen dari lokasi yang berbeda. Benih lot A
dipanen dari lokasi dengan ketinggian 100 dpl, lebih rendah dibandingkan
lokasi panen lot B (400 dpl) dan C (500 dpl). Tanaman pepaya memiliki
adaptasi terhadap lingkungan sehingga pepaya dapat tumbuh mulai 0-1.000 m
dpl bahkan sampai ketinggian 1.500 m dpl, namun idealnya ketinggian tanah
tidak kurang atau lebih antara 600-700 m dpl, umumnya pepaya yang
dihasilkan diatas 700 m dpl buahnya kurang baik demikian

pula yang

ditanam di bawah 600 m dpl (Hamzah, 2009). Produksi buah yang kurang
baik dapat mempengaruhi mutu benih yang dihasilkan, dapat menurunkan
tingkat viabilitas dan vigor benih. Seperti halnya dengan lot A yang memiliki
viabilitas dan vigor paling rendah dibandingkan lot B dan C. Berat 1000 butir
merupakan salah satu tolok ukur mutu benih. Menurut Kartikasari (1999),
pada benih yang berukuran besar tolok ukur viabilitas potensial dan vigor
memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan benih yang berukuran kecil.
Pada pengujian mutu awal benih diperoleh lot A dan lot C memiliki berat
1000 butir lebih rendah dibandingkan lot B, sesuai dengan hasil penelitian
commit to user

57
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

pada uji viabilitas dan vigor yang menunjukkan bahwa viabilitas dan vigor
lot A dan C lebih rendah dengan dari lot B.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh dua belas pola topografi
pada uji TZ. Pola 1, 2, 3 sebagai pola viabilitas dan pola 1, 2 sebagai pola
topografi pewarnaan untuk vigor yang mempunyai korelasi yang tinggi
dengan pertumbuhan tanaman baik secara laboratoris maupun di media
tanam.
2. Pola 1, 2, 3 yaitu seluruh bagian embrio (radikula dan kotiledon) berwarna
merah cerah atau bergradasi merah cerah - merah muda menunjukkan
benih viable, sedangkan pola yang lebih spesifik yaitu pola 1, 2 dimana
pewarnaan pada bagian embrio (radikula dan kotiledon) merah cerah dan
merata.
3. Pola 1,2,3 dan pola 1,2 dapat digunakan untuk mengestimasi pertumbuhan
tanaman di media tanam hingga minggu ke-56.
B. Saran
Agar hasil penelitian ini dapat diterapkan di laboratorium benih,
maka perlu dilakukan beberapa hal, yaitu :
1. Validasi metode dengan melakukan pengujian kembali di laboratorium
dan di lapangan hingga panen dengan menggunakan lot yang lebih banyak
dengan berbagai tingkat vigor pada varietas yang sama atau varietas lain
sehingga didapatkan klasifikasi vigor kuat, sedang, lemah dan tidak vigor.
2. Pengkajian lebih lanjut terhadap pola 6 dalam hubungannya dengan
jumlah benih yang terinfeksi penyakit.

commit to user

58
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

DAFTAR PUSTAKA
57

Andi W.A., A. Purwantoro dan P. Yudono. 2012. Studi Aspek Fisiologis dan
Biokimia Perkecambahan Benih Jagung (Zea mays l.) pada Umur
Penyimpanan Benih yang Berbeda. Vegetalika. Vol 1 (3):1-11.
Aslam, M., Z. A. Reshi, dan T.O. Siddiqi. 2010. Standardization of seed viability
protocol for Pinus wallichiana A.B.Jackson
in Kashmir, India.
International Journal of Pharmaceutical Sciences Review and Research.
Volume 4(3):93-98.
Badan Pusat Statistik. 2014. Produksi Buah-buahan dan Sayuran Tahunan di
Indonesia.
http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=3&tabel
=1&daftar=1&id_subyek=55&no
ab=15. Diakses pada tanggal 16
Juni 2014.
Balai Besar Pengembangan Pengujian Mutu Benih Tanaman Pangan dan
Hortikultura (BBPPMBTPH), 2012. Perkecambahan Benih Prinsip dan
Pengujiannya. BBPPMBTPH. Depok.
Bradford
KJ.
2004.
Seed
Production
and
Quality.
www.ufvjm.edu.br/disciplinas/agr058/files/2013/06/BradfordLivro2004.p
df. Diakses pada tanggal 21 Mei 2014.
Baskin, C. C., N. W. Hopper, G. R. Tupper, dan O. R. Kunze. 1986. Techniques
to evaluate planting seed quality, in J.R. Mauney and J. McD. Stewart
(eds), Cotton Physiology. The Cotton Foundation. Memphis.
Copeland OL, Mc Donald MB. 1995. Seed Science and Technology. New York:
Chapman & Hall, 408 hal.
Craviotto, R.M.,M.A. Perearmau dan C. Gallo. 2008. Topographic Tetrazolium
For Soybean. Centra Regional Santa Fe INTA. Argentina.
Dermawan, M. 2007. Studi Pengujian Tetrazolium Sebagai Peubah Viabilitas
Benih Buncis. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Dias, D. C. F. D. S., W. T. Estanislau, F. L. Finger, E. M. Alvarenga, dan L. A. D.
S. Dias. 2010. Physiological and enzymatic alterations in papaya seed
during storage. Revista Brasileira de Sementes 32 (1): 148-157.
commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

59
digilib.uns.ac.id

Dina, 2006. Uji Tetrazolium secara Kualitatif dan Kuantitatif sebagai Tolok Ukur
Vigor Benih Kedelai (Glycine max L. Merr) serta Hubungannya dengan
Pertumbuhan Tanaman di Lapang. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Entesari, M., F. Sharifzadeh, M. Ahmadzadeh dan M. Farhangfar. 2013. Seed
biopriming with trichoderma species and pseudomonas fluorescent on
growth parameters, enzymes activity58and nutritional status of soybean.
International Journal of Agronomy and Plant Production. Vol.4 (4):610619.
Erinnovita, M. Sari dan D. Guntoro. 2008. Invigorasi Benih untuk Memperbaiki
Perkecambahan Kacang Panjang (Vigna unguiculata Hask.
ssp.sesquipedalis) pada Cekaman Salinitas. Bul. Agron. 36 (3) : 214
220.
Fardilawati, Novita. 2008. Pengaruh perbedaan umur pohon induk terhadap
karakter morfologi dan kualitas buah pepaya (Carica papaya L.). Skripsi.
Departemen Agronomi dan Hortikutura IPB. Bogor.
Franca Neto, J.B., Krzyzanowski, F.C. dan Costa, N.P. da. 1998. The
Tetrazolium Test For Soybean Seeds. Embrapa-CNPSo. Brazil.
Hamzah,
H..
2009.
Syarat
ideal
tumbuh
tanaman
pepaya.
http://blog.agroprima.com/syarat-idealtumbuhtanaman-pepaya/
Diakses pada tanggal 4 Maret 2015.
Ilyas, Satriyas,. 2010. Ilmu dan Teknologi Benih, Teori dan Hasil-hasil Penelitian.
Institut Pertanian Bogor. IPB Press. Bogor.
Isnawan , Y. 2014. Budidaya Pepaya California. UPTB BPKP Kec Montong
Tuban. http://epetani.deptan.go.id/budidaya/budidaya-pepaya-california8475. Diakses pada tanggal 27 Mei 2014.
Justice, O. L. dan L. N. Bass. 2002. Prinsip dan Praktek Penyimpanan Benih.
Rennie Roesli, penerjemah (terjemahan dari : The Principle nad Practises
of Seed Storage). PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
International Seed Testing Association (ISTA). 2003. ISTA Handbook for
Seedling Evaluation. Ed Ke-3. Zurich: International Seed Testing
Association.
. 2004. Seed Science and Technology.
International Rules for Seed Testing. Zurich: Internationnal Seed Testing
Association.
. 2014. International Rules for Seed
commit
to
user
Testing 2014. ISTA, Bassersdorf, Switzerland.

60
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

Jalie, M. B. 1998. Bertanam Pepaya. Penebar Swadaya, Jakarta.


Karim IA. 1995. Studi korelasi criteria pola pewarnaan uji tetrazolium dengan
perkecambahan langsung benih sengon (Paraserianthus talcatasia (L)
Nielsen) dan Lamtoro (Leucaena leucocephala (Linn) de Wit). Skripsi.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Kartikasari, Diah. 1999. Pengaruh Ukuran Benih Terhadap Viabilitas Potensial
dan Vigor pada Tiga Nomor Benih Jambu Mente (Anacardium
occidentale). Skripsi. Institut Pertanian Bogor.
Khan A, Shad Khan Kh, Khan AZ, Marwat KhB, Afzal A, 2008.The role of seed
priming in semi-arid area for mung bean phenology and yield. Pak J Bot.
40(6): 2471-2480.
Kulik, M.M., R.W. Yaklich. 1982. Evaluation of vigor tests in soybean seeds :
relationship of accelerated aging, cold, sand bench, and speed of
germination tests to field performance. Crop Sci 22: 766-770.
Kuo WHJ.Yan AC, Leist N. 1996. Tetrazolium test for the seeds Salvia
splendens and S.farinacea. J Seed Science and Technology 24:17-21.
Loekman H. 1997. Studi metode uji tetrazolium pada benih padi gogo (Oriza
sativa) sebagai tolak ukur viabilitas yang cepat dan tepat. Skripsi. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Lumbangaol, P. 2008. Pengaruh Pemeraman Buah dan Letak Benih dalam Buah
Terhadap Viabilitas Benih Pepaya. Skripsi. Departemen Agronomi dan
Hortikultura IPB. Bagor.
Marjuni S. 1995. Studi keabsahan uji tetrazolium sebagai tolak ukur viabilitas
benih kedelai (Glycine max L.) yang cepat dan tepat. Skripsi. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Mayerni, Reni. 2008. Pengaruh Beberapa Konsentrasi Giberelin terhadap
Pertumbuhan Bibit Kina Succi (Cinchona succirubra Pavon). Jerami Vol
I (1): 46-49.
McDonald, MB. 1995. Standardization of seed vigour tests. Seed Vigour Testing
Seminar. HA van de Venter (ed.). Int. Seed Test Assoc., Copenhagan,
Denmark. SAS. 2001.
McGee, D.C. 1983. Deterioration Mechanisms in Seed.
73(2): 314-315.
commit to user

Phytopathology Vol

perpustakaan.uns.ac.id

61
digilib.uns.ac.id

Muchlis A. 1995. Studi pola pewarnaan uji tetrazolium pada benih kacang
panjang (Arachis hypogeal L.) sebagai tolok ukur viabilitas. Skripsi.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Murni, Pinta., D. P. Harjono dan Harlis. 2008. Pengaruh Asam Giberelat (GA3)
Terhadap Perkecambahan dan Pertumbuhan Vegetatif Duku (Lansium
Dookoo Griff.). Biopecies Vol. 1 (2): 63-66.
Nerson, H. 2007. Seed production and germinability of cucurbit crops. Seed
Science and Biotecnology 1(1) : 1-10.
Pant NC, Purohit M, Lal RB. 1999. Tetrazolium test for the seeds of
Dendrocalanus. J. Seed Science and Tecnology 27:907-910.
Qasim, G., A.U. Malik, M. Sarfraz, M.A. Alias, H.A. Bukhsh and M. Ishaque.
2010. Relationship between laboratory seed quality tests, field emergence
and yield of chickpea. Crop & Environment 2010, 1(1): 31-34.
Rofiah, Siti. 1996. Penentuan tolak ukur viabilitas benih jagung (Zea mays. L.)
dengan iji tetrazolium. Skripsi. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Sadjad, S. 1993. Dari Benih Kepada Benih. PT Grasindo. Jakarta.
Sadjad. S., E. Murniati dan S. Ilyas. 1999. Parameter Pengujian Vigour Benih
dari Komparatif ke Simulatif. PT. Grasindo. Jakarta.
Salisbury, F.B. 1996. Units, Simbols, and Terminology Plant Physiology, A
Reference for Presentation of Research Result in the Plant Sciences.
Oxford University Press. New York.
Sangakkara, U.R. 1995. Influence of seed ripeness, sarcotesta, drying and
storage on germinability of papaya (Carica papaya L.) seed. Pertanika J.
Trop. Agric. Sci. 18 (3): 193-199.
Sari, Maryati., E. Murniati, dan M. R. Suhartanto. 2005. Pengaruh sarcotesta dan
pengeringan benih serta perlakuan pendahuluan terhadap viabilitas dan
dormansi benih pepaya (Carica papaya L.). Bul. Agron. 13(2): 23-30.
Shie, C.H. and W.H.J. Kuo. 1999. Tetrazoloium Test for the Seed of Carica
papaya L. Seed and Nursery (Taiwan) 1: 47-56.
Soedarya, A.P. 2009. Agribisnis Pepaya. Pustaka Grafika.Bandung.
Subedi, C.K. dan Bhattarai, T. 2003. Effect of gibberellic acid on reserve food
mobilization of maize (Zea mays L. var Arun-2) endosperm during
germination. Himalayan commit
JournaltoOfuser
Science Vol. 1 : 99-102.

62
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

Sujiprihati, Sriani., M.R. Suhartanto dan Y.K. Wagiono. 2006. Pengembangan


Tanaman Pepaya Melalui Pemuliaan Partisipatif. Prosiding Seminar
Nasional Hasil Penelitian Pertanian. Faperta UGM, Yogyakarta. Hal
173-181.
Sunaryati, Yuyun. 1995. Hubungan pola pewarnaan garam tetrazolium dengan
viabilitas benih pada dua varietas cabai (Capsicum annuum). Skripsi.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Suwarno, F. C. 1984. Pengaruh cahaya dan perlakuan benih terhadap
perkecambahan benih pepaya (Carica papaya .L). Bul. Agron. XV (3):
49-59.
Walpole RE. 1993. Pengantar Statistika. Edisi ke-3 Bambang Sumantri,
penerjemah; Terjemahan dari Introduction to Statistics. 3 rd edition. PT.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Wulandari, RikaRahmi,. 2009. Pengujian Sifat Benih Pepaya (Carica papaya L.)
dengan Penyimpanan Suhu Dingin. Pemuliaan Tanaman dan Teknologi
Benih. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
.

commit to user

63
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

Lampiran 1. Tabel kondisi awal benih sumber yang digunakan dalam penelitian
Kondisi Benih

Lot A

Lot B

Lot C

Asal

Ciseeng

Rancamaya

Cicurug

Ketinggian Tanah

100 dpl

400 dpl

500 dpl

Panen

19 Agustus 2014

21 Agustus 2014

16 Agustus 2014

Proses

22 Agustus 2014

24 Agustus 2014

20 Agustus 2014

Kadar Air (%)

10.6

10.5

10.1

Berat 1000 btr (g)

16.4

17.1

16.6

Daya Berkecambah (%)

81%

88%

84%

commit to user

64
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

Lampiran 2. Data suhu dan kelembapan di rumah kasa


NO

TGL

JAM 08.00

JAM 12.00

JAM 16.00

JAM 20.00

JAM 24.00

JAM 04.00

Suhu

Suhu

Suhu

RH

SUHU

RH

SUHU

RH

SUHU

RH

SUHU

RH

SUHU

RH

SUHU

RH

min

maks

rata2

rata2

1 11-Oct-14

25.9

62

34.2

26

32.5

60

29.9

64

26.9

72

24.5

76

24.5

34.2

29.0

60

2 12-Oct-14

29.7

61

34.9

38

31.8

53

29.2

70

26.3

70

25.2

80

25.2

34.9

29.5

62

3 13-Oct-14

29.4

68

34.2

47

32.6

59

27.7

70

27.3

70

24.8

78

24.8

34.2

29.3

65

4 14-Oct-14

27.9

77

34.2

47

32.9

58

28.7

66

26.1

78

25.7

84

25.7

34.2

29.3

68

5 15-Oct-14

28.8

73

34.5

46

29.3

72

26.7

82

25.8

85

24.9

84

24.9

34.5

28.3

74

6 16-Oct-14

28.6

78

34.7

49

32.2

69

28.5

77

26.6

83

25.0

86

25.0

34.7

29.3

74

7 17-Oct-14

28.3

77

34.2

51

31.9

59

28.4

72

26.3

81

24.8

84

24.8

34.2

29.0

71

8 18-Oct-14

30.4

66

34.1

52

33

50

28.3

64

26.2

73

25.0

79

25.0

34.1

29.5

64

9 19-Oct-14

29.5

65

35.5

44

33.6

48

29.4

66

26.4

72

24.9

79

24.9

35.5

29.9

62

10 20-Oct-14

29.1

64

34.4

54

32.3

44

29.0

65

26.6

75

25.1

80

25.1

34.4

29.4

64

11 21-Oct-14

29.5

66

33.1

45

31.6

46

29.0

67

26.7

79

25.0

81

25.0

33.1

29.2

64

12 22-Oct-14

31.3

62

34.1

42

31.6

73

29.2

69

26.6

75

25.0

75

25.0

34.1

29.6

66

13 23-Oct-14

33.4

59

35.7

43

29.4

75

28.3

77

24.3

80

23.7

82

23.7

35.7

29.1

69

14 24-Oct-14

32.9

57

35.9

44

31.7

65

29.5

74

26.6

78

25.0

79

25.0

35.9

30.3

66

15 25-Oct-14

33.8

58

33.8

44

33.8

50

26.0

69

24.8

80

23.9

83

23.9

33.8

29.4

64

16 26-Oct-14

31.0

49

33.8

45

32.3

52

28.1

65

26.3

73

25.2

79

25.2

33.8

29.5

60

17 27-Oct-14

28.1

70

33.1

39

31.3

58

27.0

70

26.3

75

25.3

78

25.3

33.1

28.5

65

18 28-Oct-14

28.7

64

34.7

34

33.9

51

27.6

74

26.2

71

24.9

79

24.9

34.7

29.3

62

19 29-Oct-14

27.6

71

34.9

45

32.6

50

27.6

71

26.7

73

26.2

77

26.2

34.9

29.3

64

20 30-Oct-14

31.0

57

35.1

46

33.6

51

27.9

69

26.2

74

24.2

76

24.2

35.1

29.7

62

21 31-Oct-14

31.5

57

34.2

38

31.8

50

28.2

64

26.1

73

25.3

74

25.3

34.2

29.5

59

25

34

29

65

Rata-Rata

commit to user

65
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

Lampiran 3. Lay out pengujian tanaman lot A, B dan C di polybag


U

II

III

IV

VI

VII

VIII

B1

C2

C3

A4

B5

C6

A7

B8

A1

B2

B3

B4

C5

A6

C7

C8

C1

A2

A3

C4

A5

B6

B7

A8

commit to user

66
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

Lampiran 4. Tabel hasil pengujian daya berkecambah, indeks vigor, accelerated


aging, kecepatan tumbuh dan laju pertumbuhan kecambah tiga lot
benih pepaya Callina sp.
Tolok Ukur
Daya Berkecambah
(%)

Indeks vigor
(%)

Accelerated aging
(%)

Kecepatan Tumbuh
(%N/etmal)

Ulangan
Lot A
1
84
2
82
3
76
4
76
5
76
6
84
7
84
8
82
Rataan
80.5
1
70
2
66
3
72
4
72
5
80
6
68
7
76
8
80
Rataan
73
1
76
2
72
3
76
4
76
5
80
6
76
7
76
8
84
Rataan
77
1
7.710
2
8.057
3
8.042
4
7.851
5
8.242
6
7.929
7
7.626
8
7.709
Rataan
7.896
commit to user

Lot B
94
80
90
90
86
86
90
88
88
80
88
82
90
94
76
80
86
84.5
88
94
90
90
94
86
86
92
90
9.378
8.792
8.628
8.388
8.986
8.363
8.197
8.602
8.667

Lot C
84
80
82
84
80
84
92
82
83.5
80
74
80
74
82
82
84
76
79
80
78
84
78
88
86
90
80
83
6.675
7.815
8.011
8.329
7.353
7.943
8.435
7.346
7.738

67
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

Tolok Ukur
Laju pertumbuhan
kecambah
(g/kecambah)

Ulangan
1
2
3
4
5
6
7
8
Rataan

Lot A
0.075
0.083
0.097
0.097
0.101
0.092
0.093
0.096
0.092

commit to user

Lot B
0.077
0.101
0.090
0.090
0.100
0.113
0.114
0.129
0.102

Lot C
0.068
0.099
0.103
0.101
0.107
0.102
0.099
0.116
0.099

68
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

Lampiran 5. Tabel hasil pengujian daya tumbuh dan tinggi tanaman tiga lot
benih pepaya var. Callina sp.
Tolok Ukur
Daya Tumbuh
hari ke-14
(%)

Daya Tumbuh
hari ke-21
(%)

Daya Tumbuh
hari ke-28
(%)

Daya Tumbuh
total
(%)

Ulangan
Lot A
1
70.0
2
60.0
3
80.0
4
80.0
5
90.0
6
90.0
7
60.0
8
90.0
Rataan
77.5
1
70.0
2
60.0
3
80.0
4
90.0
5
100.0
6
80.0
7
70.0
8
90.0
Rataan
80.0
1
70.0
2
60.0
3
80.0
4
80.0
5
90.0
6
90.0
7
70.0
8
100.0
Rataan
80.0
1
70.0
2
60.0
3
80.0
4
80.0
5
90.0
6
70.0
7
60.0
8
90.0
Rataan
commit to user 75.0

Lot B
80.0
90.0
70.0
90.0
100.0
70.0
70.0
80.0
81.3
80.0
80.0
70.0
90.0
100.0
70.0
80.0
100.0
83.8
90.0
100.0
80.0
90.0
90.0
80.0
80.0
90.0
87.5
90.0
100.0
80.0
90.0
90.0
80.0
80.0
100.0
88.8

Lot C
80.0
70.0
80.0
70.0
80.0
80.0
90.0
80.0
78.8
80.0
70.0
80.0
80.0
80.0
80.0
90.0
80.0
80.0
80.0
70.0
80.0
80.0
80.0
80.0
100.0
80.0
81.3
80.0
70.0
80.0
80.0
80.0
80.0
90.0
80.0
80.0

69
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

Tolok Ukur

Ulangan

Lot A

Lot B

Lot C

Tinggi tanaman

3.60

4.12

3.70

minggu ke-2

3.10

4.46

3.00

(cm)

3.70

4.24

3.80

3.80

4.36

3.70

3.80

4.80

3.70

3.60

4.08

3.80

3.50

4.22

3.90

4.00

4.30

3.20

Rataan

3.64

4.32

3.60

Tinggi tanaman

5.86

6.26

5.94

minggu ke-3

5.13

6.94

5.26

(cm)

5.92

6.32

5.64

5.54

6.88

5.88

6.06

6.98

5.40

5.64

5.58

5.94

5.30

5.68

6.04

6.30

6.40

6.04

Rataan

5.72

6.38

5.77

Tinggi tanaman

8.06

8.64

7.24

minggu ke-4

6.46

9.22

6.86

(cm)

8.10

8.72

7.88

8.12

8.74

7.12

8.26

9.20

7.82

7.82

8.46

8.10

8.44

8.72

8.32

8.54

8.78

7.76

Rataan

7.98

8.81

7.64

commit to user
Keterangan :
Setiap ulangan pada tinggi tanaman merupakan rataaan dari 5 satuan pengamatan

70
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

Lampiran 6. Analisis ragam lot A, B dan C pada beberapa parameter mutu benih

DB
Sumber

db

JK

KT

F hit

P>F

LOT

228.000

114.000

7.389

0.004

Error

21

324.000

15.429

Total

23

552.000

a. R Squared = .413 (Adjusted R Squared = .357)


IV
Sumber

db

JK

KT

F hit

P>F

LOT

529.333

264.667

10.105

0.001

Error

21

550.000

26.190

Total

23

1079.333

a. R Squared = .490 (Adjusted R Squared = .442)


AA
Sumber

db

JK

KT

F hit

P>F

LOT

677.333

338.667

22.795

0.000

Error

21

312.000

14.857

Total

23

989.333

a. R Squared = .685 (Adjusted R Squared = .655)

Kct
Sumber

db

JK

KT

F hit

P>F

LOT

3.947

1.974

11.137

0.001

Error

21

Total

23

3.722
0.177
commit
7.669to user

71
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

LPK
Sumber

db

JK

KT

F hit

P>F

LOT

0.000

0.000

1.216

0.316

Error

21

0.004

0.000

Total

23

0.004

a. R Squared = .104 (Adjusted R Squared = .018)


AA
Sumber

db

JK

KT

F hit

P>F

LOT

677.333

338.667

22.795

0.000

Error

21

312.000

14.857

Total

23

989.333

a. R Squared = .515 (Adjusted R Squared = .469)

commit to user

72
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

Lampiran 7. Analisis ragam lot A, B dan C pada pertumbuhan bibit


Daya tumbuh hari ke-14
Sumber

db

JK

KT

F hit

P>F

Ulangan

850.000

121.429

1.153

0.387

Lot

58.333

29.167

0.277

0.762

Galat

14

1475.000

105.357

Total

23

2383.333

KT

F hit

P>F

a. R Squared = .381 (Adjusted R Squared = -.017)

Daya tumbuh hari ke-21


Sumber

db

JK

Ulangan

1329.167

189.881

2.512

0.068

Lot

75.000

37.500

0.496

0.619

Galat

14

1058.333

75.595

Total

23

2462.500

KT

F hit

P>F

a. R Squared = .570 (Adjusted R Squared = .294)

Daya tumbuh hari ke-28


Sumber

db

JK

Ulangan

362.500

51.786

0.433

0.866

Lot

258.333

129.167

1.080

0.366

Galat

14

1675.000

119.643

Total

23

2295.833

a. R Squared = .270 (Adjusted R Squared = -.199)

commit to user

73
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

Daya Tumbuh Total


Sumber

db

JK

KT

F hit

P>F

Ulangan

195.833

27.976

0.239

0.968

LOT

625.000

312.500

2.665

0.105

Error

14

1641.667

117.262

Total

23

2462.500

a. R Squared = .333 (Adjusted R Squared = -.095)

Lampiran 8. Tabel kondisi klimatologi rata-rata harian di wilayah Cimanggis


selama penelitian berlangsung

Tgl/Bln/
Tahun

1
1-Nov-14
2-Nov-14
3-Nov-14
4-Nov-14
5-Nov-14
6-Nov-14
7-Nov-14
8-Nov-14
9-Nov-14
10-Nov-14
11-Nov-14
12-Nov-14
13-Nov-14
14-Nov-14
15-Nov-14
16-Nov-14
17-Nov-14
18-Nov-14
19-Nov-14
20-Nov-14
21-Nov-14
22-Nov-14
23-Nov-14

Temperatur
maks
min
rata2

Lama
Kecepatan
Penyinaran
angin
matahari
(10 m)

Kelembapan
min maks rata2

Curah
Hujan

(%)

(mm)

(%)

(knot)

7
79
73
69
67
74
72
78
72
74
77
88
72
78
81
74
77
82
77
76
78
81
78
77

8
153
26.5
26.6
92.3
0
1.3
42
15.5
0.7
44.3
28.2
0.5
15.5
1.3
0.1
77.8
0.5
45
0

9
80
98
100
91
76
88
30
73
86
58
38
49
71
48
78
51
38
38
68
80
83
73
71

10
5
5
4
4
6
5
4
3
4
6
4
3
5
4
3
4
4
4
4
4
4
4
3

(oC)

(oC)

(oC)

(%)

2
34.4
34.3
34.2
34.2
33.3
32.6
31.6
34.4
34
32.6
30
32.4
33.2
31.3
33
32
31.2
31
32.8
32.8
32.6
33
32.7

3
21.6
21.6
24
22.6
22.4
22.2
23.2
22.8
23.7
24
22.4
22.8
22
22
21.5
24
23.2
23.1
23.2
22.2
23.8
23.2
23.3

4
28.0
28.0
29.1
28.4
27.9
27.4
27.4
28.6
28.9
28.3
26.2
27.6
27.6
26.7
27.3
28.0
27.2
27.1
28.0
27.5
28.2
28.1
28.0

5
6
60
97
58
88
48
90
50
83
55
92
56
87
69
87
49
94
56
91
61
92
84
92
54
89
64
91
65
96
55
92
57
96
76
88
69
84
59
93
58
98
63
98
59
97
commit to user
59
94

(%)

74
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

24-Nov-14
25-Nov-14
26-Nov-14
27-Nov-14
28-Nov-14
29-Nov-14
30-Nov-14
1-Dec-14
2-Dec-14
1
3-Dec-14
4-Dec-14
5-Dec-14
6-Dec-14
7-Dec-14
8-Dec-14
9-Dec-14
10-Dec-14
11-Dec-14
12-Dec-14
13-Dec-14
14-Dec-14
15-Dec-14
16-Dec-14
17-Dec-14
18-Dec-14
19-Dec-14
20-Dec-14
21-Dec-14
22-Dec-14
23-Dec-14
24-Dec-14
25-Dec-14
26-Dec-14
27-Dec-14
28-Dec-14
29-Dec-14
30-Dec-14
31-Dec-14
Rata-rata

31.8
31.9
32.2
32.6
33.6
32.5
29.9
32.8
31.1
2
30
30.6
30.2
31
30.4
31.8
30.6
32.6
32.4
30
30
32.2
32
33
32.9
33.2
33.4
32.3
32.8
32.2
33.2
33.2
33.6
32.2
27.4
29
31.7
31.8
28.6
32.1

23.6
22.8
23.4
22.6
23.4
23.2
23
24.8
22.8
3
23.5
23
23.4
23
22.6
23.4
24.3
22.4
23.4
23.1
23.6
23.2
23.4
24.2
24.2
24.4
23.2
23.6
23.2
24
22.2
23.6
23
23
23.7
24.6
23.2
23.8
23.4
23.2

27.7
27.4
27.8
27.6
28.5
27.9
26.5
28.8
27.0
4
26.8
26.8
26.8
27.0
26.5
27.6
27.5
27.5
27.9
26.6
26.8
27.7
27.7
28.6
28.6
28.8
28.3
28.0
28.0
28.1
27.7
28.4
28.3
27.6
25.6
26.8
27.5
27.8
26.0
27.6

79
62
62
64
52
61
68
56
63
5
84
66
72
69
67
62
70
58
55
69
75
58
77
57
60
59
55
71
63
62
61
55
58
66
87
72
60
56
86
63

90
93
92
95
93
91
79
85
85
6
90
95
92
96
95
87
91
89
84
95
95
93
90
88
84
89
93
88
90
97
90
88
95
92
97
76
93
89
90
91

commit to user

85
78
77
80
73
76
74
71
74
7
87
81
82
83
81
75
81
74
70
82
85
76
84
73
72
74
74
80
77
80
76
72
77
79
92
74
77
73
88
77

21.3
16.7
3.1
40.4
0.1
20.5
8
1
0.1
2.6
5.4
TTU
3
0.3
1.3
21
7.4
0.2
1.4
46.7
0.2
4
14.4
74.6
12.8
3.1
0.5
19.8

55
64
40
58
68
60
3
31
4
9
18
33
14
36
34
48
38
96
76
13
3
88
51
66
53
81
78
59
74
66
75
88
88
20
0
0
41
21
14
54

5
3
3
5
4
4
6
8
7
10
4
4
3
3
3
5
4
5
6
4
4
3
5
4
5
4
4
5
3
5
5
4
4
4
3
4
3
4
5
4

75
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

Ket : TTU = tidak terukur (terjadi hujan tetapi tidak terukur pada alat penakar hujan /
hujan gerimis)

Lampiran 9. Tabel rekapitulasi nilai peluang nyata hasil analisis ragam lot A, B
dan C pada beberapa parameter mutu benih, pertumbuhan bibit
dan tanaman pada percobaan 1 sampai 3

Parameter
Mutu Benih

Tolok Ukur

Pr>F

KK (%)

Daya berkecambah

0.004**

4.68

Indeks vigor

0.001**

6.49

Accelerated aging

0.000**

4.63

Kecepatan tumbuh

0.001**

5.19

Laju pertumbuhan kecambah

0.316tn

0.00

Pertumbuhan

Daya tumbuh hari ke-14

0.762 tn

12.96

Bibit

Daya tumbuh hari ke-21

0.619 tn

10.70

Daya tumbuh hari-28

0.366 tn

13.19

Daya tumbuh total

0.105 tn

13.33

Pertumbuhan

Tinggi tanaman minggu ke-2

0.000

7.74

Tanaman

Tinggi tanaman minggu ke-3

0.009

6.74

Tinggi tanaman minggu ke-4

0.000

5.41

Keterangan :

commit to user

76
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

Pr>F : peluang nyata, KK : koefisien keragaman; * berbeda nyata; ** sangat berbeda


nyata; tn : tidak berbeda nyata

Lampiran 10. Dokumentasi Penelitian

Benih pepaya Callina sp. yang digunakan dalam penelitian

commit to user

77
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

Kecambah normal pada saat pengamatan pertama pengujian daya berkecambah

Kecambah abnormal pada saat pengamatan akhir pengujian daya berkecambah

Pengujian daya berkecambah di rumah kasa

commit to user

78
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

Pengujian tetrazolium di laboratorium

Pengujian accelerated aging (AA) di laboratorium

commit to user

79
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

Penanaman benih pepaya di media tanam

Daya tumbuh benih pepaya di media tanam

commit to user

Anda mungkin juga menyukai