Teori Etos
Teori Etos
DISUSUN OLEH:
DIKETAHUI OLEH:
DEKAN FAKULTAS PSIKOLOGI USU
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
DAFTAR ISI
SAMPUL DEPAN ....
DAFTAR ISI.
ii
KATA PENGANTAR ..
iii
1
1
3
3
4
4
4
6
9
12
12
16
19
22
24
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, nikmat, serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan karya tulis ini. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan
dalam penulisan makalah ini, karena itu penulis berharap mendapat masukan dari
para pembaca untuk penyempurnaan tulisan ini.
Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada
Rektor Universitas Sumatera Utara dan Dekan Fakultas Psikologi Universitas
Sumatera Utara yang telah memberi penulis kesempatan untuk mengabdikan diri di
lingkungan Universitas Sumatera Utara. Penulis juga mengucapkan terimakasih
kepada para mahasiswa dan rekan-rekan sejawat di tempat penulis bekerja atas
dukungan dan hangatnya persaudaraan.
Secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Iskandar
yang senantiasa mengingatkan dan memberi motivasi kepada penulis untuk segera
menyelesaikan karya tulis ini, semoga Allah SWT membalas dengan yang lebih baik
atas budi baik dan ketulusan yang telah diberikan. Akhir kata penulis berharap
semoga tulisan ini bermanfaat dan dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi
semua pihak. Amin!
iii
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
LANDASAN TEORI
1.
the disposition,
membedakannya dari orang atau kelompok lain; nilai atau jiwa yang mendasari;
adat-istiadat. Makna berikutnya yaitu 2.The governing or central principles in a
movement, work of art, mode of expression, or the like; Prinsip utama atau
pengendali dalam suatu pergerakan, pekerjaan seni, bentuk ekspresi, atau
sejenisnya. Dari sini dapat kita peroleh pengertian bahwa etos merupakan
seperangkat pemahaman dan keyakinan terhadap nilai-nilai yang secara mendasar
mempengaruhi kehidupan, menjadi prinsip-prinsip pergerakan, dan cara
berekspresi yang khas pada sekelompok orang dengan budaya serta keyakinan
yang sama.
Menurut Anoraga (1992) Etos Kerja merupakan suatu pandangan dan sikap
suatu bangsa atau umat terhadap kerja. Bila individu-individu dalam komunitas
memandang kerja sebagai suatu hal yang luhur bagi eksistensi manusia, maka
Etos Kerjanya akan cenderung tinggi. Sebaliknya sikap dan pandangan terhadap
kerja sebagai sesuatu yang bernilai rendah bagi kehidupan, maka Etos Kerja
dengan sendirinya akan rendah.
Dalam situs resmi kementerian KUKM, Etos Kerja diartikan sebagai sikap
mental yang mencerminkan kebenaran dan kesungguhan serta rasa tanggung
jawab untuk meningkatkan produktivitas (www.depkop.go.id). Pada Webster's
Online Dictionary, Work Ethic diartikan sebagai; Earnestness or fervor in
working, morale with regard to the tasks at hand; kesungguhan atau semangat
dalam bekerja, suatu pandangan moral pada pekerjaan yang dilakoni. Dari
rumusan ini kita dapat melihat bagaimana Etos Kerja dipandang dari sisi
praktisnya yaitu sikap yang mengarah pada penghargaan terhadap kerja dan upaya
peningkatan produktivitas.
Dalam rumusan Jansen Sinamo (2005), Etos Kerja adalah seperangkat
perilaku positif yang berakar pada keyakinan fundamental yang disertai komitmen
total pada paradigma kerja yang integral. Menurutnya, jika seseorang, suatu
organisasi, atau suatu komunitas menganut paradigma kerja, mempercayai, dan
berkomitmen pada paradigma kerja tersebut, semua itu akan melahirkan sikap dan
perilaku kerja mereka yang khas. Itulah yang akan menjadi Etos Kerja dan
budaya. Sinamo (2005) memandang bahwa Etos Kerja merupakan fondasi dari
sukses yang sejati dan otentik. Pandangan ini dipengaruhi oleh kajiannya terhadap
studi-studi sosiologi sejak zaman Max Weber di awal abad ke-20 dan penulisanpenulisan manajemen dua puluh tahun belakangan ini yang semuanya bermuara
pada satu kesimpulan utama; bahwa keberhasilan di berbagai wilayah kehidupan
ditentukan oleh perilaku manusia, terutama perilaku kerja. Sebagian orang
menyebut perilaku kerja ini sebagai motivasi, kebiasaan (habit) dan budaya kerja.
Sinamo (2005) lebih memilih menggunakan istilah etos karena menemukan
bahwa kata etos mengandung pengertian tidak saja sebagai perilaku khas dari
sebuah organisasi atau komunitas tetapi juga mencakup motivasi yang
menggerakkan mereka, karakteristik utama, spirit dasar, pikiran dasar, kode etik,
kode moral, kode perilaku, sikap-sikap, aspirasi-aspirasi, keyakinan-keyakinan,
prinsip-prinsip, dan standar-standar.
Melalui berbagai pengertian diatas baik secara etimologis maupun praktis
dapat disimpulkan bahwa Etos Kerja merupakan seperangkat sikap atau
pandangan mendasar yang dipegang sekelompok manusia untuk menilai bekerja
sebagai suatu hal yang positif bagi peningkatan kualitas kehidupan sehingga
mempengaruhi perilaku kerjanya.
sebagai Catur Dharma Mahardika (bahasa Sanskerta) yang berarti Empat Darma
Keberhasilan Utama, yaitu:
1. Mencetak prestasi dengan motivasi superior.
2. Membangun masa depan dengan kepemimpinan visioner.
3. Menciptakan nilai baru dengan inovasi kreatif.
4. Meningkatkan mutu dengan keunggulan insani.
Keempat darma ini kemudian dirumuskan pada delapan aspek Etos Kerja
sebagai berikut:
1. Kerja adalah rahmat; karena kerja merupakan pemberian dari Yang Maha
Kuasa, maka individu harus dapat bekerja dengan tulus dan penuh syukur.
2. Kerja adalah amanah; kerja merupakan titipan berharga yang dipercayakan
pada kita sehingga secara moral kita harus bekerja dengan benar dan
penuh tanggung jawab.
3. Kerja adalah panggilan; kerja merupakan suatu dharma yang sesuai
dengan panggilan jiwa kita sehingga kita mampu bekerja dengan penuh
integritas.
4. Kerja adalah aktualisasi; pekerjaan adalah sarana bagi kita untuk mencapai
hakikat manusia yang tertinggi sehingga kita akan bekerja keras dengan
penuh semangat
5. Kerja adalah ibadah; bekerja merupakan bentuk bakti dan ketaqwaan
kepada Sang Khalik, sehingga melalui pekerjaan individu mengarahkan
dirinya pada tujuan agung Sang Pencipta dalam pengabdian.
6. Kerja adalah seni; kerja dapat mendatangkan kesenangan dan kegairahan
kerja sehingga lahirlah daya cipta, kreasi baru, dan gagasan inovatif.
7. Kerja adalah kehormatan; pekerjaan dapat membangkitkan harga diri
sehingga harus dilakukan dengan tekun dan penuh keunggulan.
8. Kerja adalah Pelayanan; manusia bekerja bukan hanya untuk memenuhi
kebutuhannya sendiri saja tetapi untuk melayani sehingga harus bekerja
dengan sempurna dan penuh kerendahan hati.
dipandang
sebagai
suatu
penghambat
dalam
memperoleh
kesenangan,
4. Kerja dilakukan sebagai bentuk keterpaksaan,
5. Kerja dihayati hanya sebagai bentuk rutinitas hidup.
Dari berbagai aspek yang ditampilkan ketiga tokoh diatas, dapat dilihat
bahwa aspek-aspek yang diusulkan oleh dua tokoh berikutnya telah termuat dalam
beberapa aspek Etos Kerja yang dikemukakan oleh Sinamo, sehingga penulisan
ini mendasari pemahamannya pada delapan aspek Etos Kerja yang dikemukakan
oleh Sinamo sebagai indikator terhadap Etos Kerja.
10
kehidupan yang teracu ke masa depan yang lebih baik. Orientasi ke depan itu
harus diikuti oleh penghargaan yang cukup kepada kompetisi dan pencapaian
(achievement). Orientasi ini akan melahirkan orientasi lain, yaitu semangat
profesionalisme yang menjadi tulang-punggung masyarakat modern.
d. Kondisi Lingkungan/Geografis
Suryawati, Dharmika, Namiartha, Putri dan weda (1997) juga menemukan
adanya indikasi bahwa Etos Kerja dapat muncul dikarenakan faktor kondisi
geografis. Lingkungan alam yang mendukung mempengaruhi manusia yang
berada di dalamnya melakukan usaha untuk dapat mengelola dan mengambil
manfaat, dan bahkan dapat mengundang pendatang untuk turut mencari
penghidupan di lingkungan tersebut.
e. Pendidikan
Etos Kerja tidak dapat dipisahkan dengan kualitas sumber daya manusia.
Peningkatan sumber daya manusia akan membuat seseorang mempunyai Etos
Kerja keras. Meningkatnya kualitas penduduk dapat tercapai apabila ada
pendidikan yang merata dan bermutu, disertai dengan peningkatan dan
perluasan pendidikan, keahlian dan keterampilan, sehingga semakin
meningkat pula aktivitas dan produktivitas masyarakat sebagai pelaku
ekonomi (Rahimah, Fauziah, Suri dan Nasution, 1995).
f. Struktur Ekonomi
Pada penulisan Soewarso, Rahardjo, Subagyo, dan Utomo (1995)
disimpulkan juga bahwa tinggi rendahnya Etos Kerja suatu masyarakat
dipengaruhi oleh ada atau tidaknya struktur ekonomi, yang mampu
memberikan insentif bagi anggota masyarakat untuk bekerja keras dan
menikmati hasil kerja keras mereka dengan penuh.
g. Motivasi Intrinsik individu
Anoraga (1992) mengatakan bahwa Individu yang akan memiliki Etos
Kerja yang tinggi adalah individu yang bermotivasi tinggi. Etos Kerja
merupakan suatu pandangan dan sikap, yang tentunya didasari oleh nilai-nilai
yang diyakini seseorang. Keyakinan inilah yang menjadi suatu motivasi kerja.
Maka Etos Kerja juga dipengaruhi oleh motivasi seseorang.
11
yang
meliputi
pencapaian
sukses/achievement,
tanggung
jawab/responsibility,
kemungkinan
12
sebagai suatu keyakinan nilai diri sendiri yang didasarkan pada evaluasi diri
secara keseluruhan. Rosenberg (dalam Kernis 1995) dan para ahli lainnya telah
membandingkan self-esteem dengan sikap, dan menemukan bahwa self-esteem
memiliki komponen afektif dan kognitif. Komponen kognitif mengacu pada
keyakinan individu tentang keberhargaan dirinya.
Tory Higgins (dalam Deaux, Dane, Wrightsman, 1993) mengajukan dua
tipe diri potensial yang menempati konsep diri kita yaitu Ideal-Self dan OughtSelf. Ideal-self mengacu kepada konsep diri yang ingin dicapai individu,
sedangkan ought-self adalah konsep diri yang sebenarnya hadir. Ketika
kesenjangan antara ideal-self dan ought-self ini terlalu besar, maka akan timbullah
perasaan yang tidak menyenangkan, suatu kondisi yang dihindari oleh setiap
orang. Setiap orang selalu berusaha memperoleh perasaan yang menyenangkan
tentang dirinya. Biasanya tuntutan perasaan positif ini menimbulkan over-estimasi
terhadap evaluasi mengenai nilai-nilai baik seseorang, kemampuannya dalam
mengatasi situasi atau kejadian atau terlalu optimis. Memiliki penilaian yang
akurat tentang diri memang penting, tetapi sepertinya tidak lebih penting daripada
perasaan positif seseorang tentang dirinya (Hogg & Vaughan, 2002). Gambaran
diri yang positif dan self-esteem yang berhubungan dengannya merupakan tujuan
penting untuk kebanyakan orang setiap waktu. Hal ini menunjukkan temuan
Rosenberg mengenai komponen afektif pada self-esteem. Harga diri yang tinggi,
baik yang realistis maupun yang tidak merupakan suatu hal yang menyenangkan,
dan karenanya banyak ahli menganggapnya sebagai tujuan manusia yang utama
(Rosenberg dalam Deaux, Dane, Wrightsman, 1993).
Kita cenderung menduga bahwa unsur self-esteem yang tinggi akan
menghasilkan perilaku positif, yang menandakan individu yang sehat secara
psikologis. Tetapi banyak studi yang menemukan bahwa tidak selamanya selfesteem yang tinggi menghasilkan individu yang percaya diri dan tidak
menampilkan sikap permusuhan. Baumeister (dalam Hogg & Vaughan, 2002)
menemukan perilaku kekerasan yang dapat dikaitkan dengan harga diri yang
tinggi, dimana ketika individu yang memiliki gambaran diri yang menyenangkan
merasa terancam, individu tersebut cenderung akan menampilkan sikap agresif.
13
Kernis (dalam Hogg & Vaughan, 2002) juga menemukan individu yang arogan,
angkuh dan terlalu asertif diantara orang-orang dengan harga diri yang tinggi.
Rhodewalt (dalam Hogg & Vaughan, 2002) menemukan individu yang pada
dasarnya memiliki harga diri tinggi yang mudah hilang, dikenal dengan individu
narsistik.
Harga diri yang rendah tidak selamanya juga memiliki konsekuensi negatif.
Baumeister (dalam Kernis, 1995) menemukan individu yang self-esteemnya
rendah menampilkan karakter tidak pasti namun netral daripada karakter negatif.
Swann, Pelham, & Krull (dalam Kernis, 1995) menemukan individu dengan selfesteem rendah memiliki strategi pertahanan diri tertentu yang cenderung
berorientasi pada peningkatan diri.
Untuk dapat menjelaskan fenomena yang beragam terkait dengan harga diri
yang tinggi dan rendah seperti yang telah dibahas diatas, Deci & Ryan (dalam
Kernis, 1995) mengajukan dua jenis harga diri yaitu contingent self-esteem dan
true self-esteem. Contingent self-esteem mengacu pada perasaan tentang diri
seseorang yang dihasilkan oleh dan bergantung pada pencapaian harapan
seseorang. Misalnya seseorang merasa dirinya adalah orang yang baik dan
berharga jika ia berhasil menyelesaikan suatu tugas. Jika ia terus dapat
menyelesaikan tugas berikutnya yang serupa, maka ia akan terus memiliki harga
diri yang tinggi. Artinya harga diri ini bersifat labil dan hanya berpusat pada
kepentingan pribadi. True self-esteem bersifat lebih stabil, didasari oleh perasaan
yang kuat tentang diri pribadi. Individu dengan true self-esteem yang tinggi juga
memiliki tujuan dan aspirasi, dan akan merasa senang bila tujuannya tercapai, atau
sedih bila tidak tercapai. Tetapi perasaan mereka sebagai manusia yang berharga
tidak berfluktuasi bergantung pada pencapaian, sehingga mereka tidak merasa
superior ketika berhasil, ataupun tertekan ketika gagal.
Berdasarkan penulisan Baumeister (dalam Hogg & Vaughan, 2002) secara
umum individu dengan karakteristik self-esteem yang tinggi memiliki ciri-ciri:
1. Gigih dan ulet dalam menghadapi masa depan
2. Stabil secara emosi dan afektif
3. Kurang fleksibel dan kurang lunak
14
15
organisasi. Organisasi memiliki tujuan dan cita-cita yang menjiwai setiap aspek
kehidupan organisasi, sehingga secara otomatis mempengaruhi setiap individu
yang ada di dalamnya. Dari pemahaman ini muncullah kajian tentang harga diri
dalam konteks organisasi. Nilai yang dimiliki oleh seorang individu atas dirinya
sebagai anggota organisasi yang bertindak dalam konteks organisasi disebut harga
diri berbasis organisasi atau Organization-based Self-esteem, yang disingkat
dengan OBSE (Kreitner & Kinicki, 2000).
Dalam konteks organisasi, pengaruh self-esteem yang cukup signifikan telah
terlihat melalui berbagai penemuan. Misalnya individu yang memiliki self-esteem
yang tinggi cenderung lebih sukses dalam upaya menemukan pekerjaan,
sedangkan individu dengan self-esteem yang rendah, bila dipekerjakan akan lebih
tertarik pada organisasi yang besar dimana posisi mereka tidak terlalu
diperhatikan. Pekerja dengan self-esteem yang tinggi cenderung secara aktif
berusaha menemukan materi yang dibutuhkan untuk mengatasi masalah
pekerjaan, dan menggunakan kemampuan serta keahlian mereka secara penuh
sehingga hasil kerjanya lebih maksimal. Cukup menarik untuk diperhatikan
bahwa
individu
dengan
self-esteem
rendah kelihatannya
sadar dengan
16
berhubungan dengan motivasi untuk tugas yang lebih besar (Kreitner & Kinicki,
2000).
Tan Kim Sek (2003) menemukan bahwa metode sosialisasi yang efektif
dapat meningkatkan kompetensi pekerja dalam menyelesaikan tugasnya terkait
dengan peranannya dalam organisasi, yang akan meningkatkan OBSE-nya. Dalam
konteks penulisan ini taktik sosialisasi yang digunakan adalah perencanaan
pengembangan karier, interaksi yang positif dengan rekan kerja, dan interaksi
positif dengan pendatang baru di organisasi. Gardner, Dyne, & Pierce (2004)
menemukan bahwa tingkatan gaji turut mempengaruhi rasa berharga seorang
individu sebagai anggota organisasi, sehingga mereka menyarankan organisasi
mempertimbangkan sistem penggajian berbasis kompetensi. Namun mereka juga
mengindikasikan bahwa sistem penggajian berbasis kompetensi tetap memiliki
resiko dimana individu dengan tingkat gaji yang lebih rendah dapat menganggap
dirinya kurang berkompeten, sehingga berpeluang menjatuhkan self-esteemnya.
Dalam studi replikasinya, Tang & Gilbert (1992) menemukan bahwa OBSE
berhubungan dengan global self-esteem, need for achievement, organizational
citizenship, komitmen organisasi, motivasi untuk meningkatkan potensi dan
pendidikan. Status subyek dalam organisasi tidak berhubungan dengan OBSE.
Intinya, penemuan mereka menampilkan hubungan antara OBSE dengan banyak
variabel yang bernilai intrinsik tentang perasaan subyektif pekerja dalam
organisasi.
Kreitner & Kinicki (2000) menyebutkan ciri-ciri individu dengan nilai
OBSE yang tinggi cenderung memandang diri mereka sendiri sebagai seorang
yang penting, berharga, berpengaruh, dan berarti dalam konteks organisasi yang
mempekerjakannya. Untuk itu mereka menyarankan agar organisasi melakukan
upaya untuk membangun self-esteem karyawan, yaitu dengan;
1. Mendukung dan menunjukkan kepedulian pada persoalan, kepentingan,
status, dan kontribusi individu,
2. Menawarkan pekerjaan yang memiliki variasi otonomi dan tantangan yang
sesuai dengan nilai-nilai keahlian dan kemampuan individu,
17
18
meningkatnya
self-esteem
pekerja
yang
didasarkan
pada
19
20
Etos Kerja
21
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
III. A. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari tulisan ini sebagai berikut:
1. Sesuai dengan landasan teori yang telah dibahas sebelumnya dapat dikatakan
bahwa ketika Organisation-Based Self-Esteem (OBSE) seseorang meningkat,
maka motivasinya untuk mencapai kinerja yang lebih baik di dalam organisasi
tersebut akan meningkat secara intrinsik (kreitner & Kinicki, 2000), sehingga
cara pandangnya terhadap nilai bekerja yang dikenal dengan konsep Etos
Kerja turut meningkat (Anoraga, 1992).
2. Ketika nilai Organisation-Based Self-Esteem (OBSE) seorang individu rendah,
belum tentu nilai Etos Kerjanya harus rendah pula, karena selain faktor OBSE
masih terdapat faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi Etos Kerja
seseorang seperti yang telah dijelaskan pada bab dua, seperti agama,
pendidikan, sosial budaya, struktur ekonomi, dan sebagainya. Kualitas
beragama, unsur sosial budaya, dan kondisi ekonomi misalnya, dapat
mempengaruhi cara pandang seseorang terhadap nilai bekerja.
III. B. Saran
Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan maka diajukan beberapa saran
sebagai berikut:
22
23
DAFTAR PUSTAKA
Anoraga, Drs. Pandji. (1992); Psikologi Kerja; PT. Rineka Cipta, Jakarta.
Cascio, Wayne F. (2003); Managing Human Resource; Productivity, Quality of
Work Life, Profits (6th ed.); McGraw Hill/Irwin, New York.
Deaux, Kay.; Dane, Francis C.; Wrightsman, Lawrence S. (1993); Social
Psychology in the 90s (6th Ed); Brooks/Cole Publishing Company,
California.
Donald G. Gardner, Linn Van Dyne, and Jon L. Pierce (2004); The effects of pay
level on organization-based self-esteem and performance: A field study;
Journal of Occupational and Organizational Psychology (2004), 77, 307322,
The British Psychological Society www.bps.org.uk [online : Sunday, October
08, 2006, 5:02:38 PM]
Greenberg, J. (2005). Managing behavior in organizations, Prentice Hall, USA
Hogg, Michael A.; Vaughan, Graham M. (2002); Social Psychology (3rd ed);
Prentice Hall Pearson education limited, Edinburgh.
Hornby, A S., (1995); Oxford Advanced Learners Dictionary of Current
English(5th ed.); Oxford University Press, Great Britain.
Kernis, Michael H., (1995); Efficacy, Agency, and Self Esteem; Plenum Press,
New York, and London.
Kreitner, Robert.; Kinicki, Angelo., (2000); Organizational behavior (8th Ed);
McGraw Hill, New York.
Kusnan, Ahmad (2004); Analisis Sikap Iklim Organisasi, Etos Kerja Dan Disiplin
Kerja Dalam Menentukan Efektifitas Kinerja Organisasi di Garnizun
Tetap III Surabaya; Laporan Penelitian; http://www.damandiri.or.id/
index.php [online : Monday, October 16, 2006, 6:03:24 PM]
Lee, Cynthia., Hui, Chun., (2000), Moderating Effects of Organization-Based
Self-Esteem on Organizational Uncertainty: Employee Response
Relationships; Journal of Management, Vol. 26, No. 2, 215-232
Southern Management Association; http://jom.sagepub.com/ [online
:
Sunday, October 08, 2006, 4:52:02 PM]
Rosmiani, (1996); Etos Kerja Nelayan Muslim Di Desa Paluh Sebaji Deli Serdang
Sumatera Utara; Hubungan Antara Kualitas Keagamaan dengan Etos
Kerja; Thesis; Kerjasama Program Pascasarjana Institut Agama Islam
Negeri Jakarta & Pascasarjana UI Jakarta.
24
Wills, Mike., (1993); Managing The Training Process; putting the basic into
practice; McGraw Hill, Great Britain
Siagian, Prof. Dr. Sondang P., (1995); Teori Motivasi Dan Aplikasinya; PT.
Rineka Cipta, Jakarta
Sinamo, Jansen., (2005); Delapan Etos Kerja Profesional; Navigator Anda
Menuju Sukses; Grafika Mardi Yuana, Bogor.
Tan Kim Sek (2003); Organizational Socializational Tactics And Organizational
Based Self-Esteem; Thesis Submitted In Fulfillment Of The
Requirements For The Degree Of Doctor Of Philosophy.
Tang, Thomas Li-Ping; Gilbert, Pamela Rae. (1992); Organization-Based Self
Esteem among Mental Health Workers: A Replication and Extension;
Research Reports; http://eric.ed.gov/ERICWebPortal/ [online : Wednesday,
October 11, 006, 4:59:48 PM]
Weber, Max. (1958); The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. Translated by
Talcott Parsons. Charles Scribner's Sons, New York.
25