Anda di halaman 1dari 28

HUBUNGAN ANTARA ORGANIZATION-BASED SELF-ESTEEM

DENGAN ETOS KERJA

DISUSUN OLEH:

Ferry Novliadi, S.Psi, M.Si


NIP. 132 316 960

DIKETAHUI OLEH:
DEKAN FAKULTAS PSIKOLOGI USU

Prof. dr. Chairul Yoel, Sp.A(K)


NIP. 140 080 762

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009

Hubungan Antara Organization-Based Self-Esteem Dengan Etos Kerja, 2009


USU e-Repository 2009

DAFTAR ISI
SAMPUL DEPAN ....

DAFTAR ISI.

ii

KATA PENGANTAR ..

iii

BAB I. PENDAHULUAN ....................................................................................


I.A. LATAR BELAKANG .........................................................................
I.B. TUJUAN PENULISAN .......................................................................
I.C. MANFAAT PENULISAN ...................................................................

1
1
3
3

BAB II. LANDASAN TEORI .............................................................................


II.A. ETOS KERJA .....................................................................................
II.A.1. Pengertian Etos Kerja .....................................................................
II.A.2. Aspek-aspek Etos Kerja .................................................................
II.A.3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Etos Kerja ..........................

4
4
4
6
9

II.B. ORGANIZATION-BASED SELF-ESTEEM ..................................


II.B.1. Pengertian Organization-Based Self-Esteem ..
II.B.2. Aspek-aspek Organization-Based Self-Esteem ...

12
12
16

II.C. HUBUNGAN ANTARA ORGANIZATION-BASED SELF-ESTEEM


DAN ETOS KERJA ..

19

BAB III. KESIMPULAN DAN SARAN ............................

22

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................

24

Hubungan Antara Organization-Based Self-Esteem Dengan Etos Kerja, 2009


USU e-Repository 2009

ii

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, nikmat, serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan karya tulis ini. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan
dalam penulisan makalah ini, karena itu penulis berharap mendapat masukan dari
para pembaca untuk penyempurnaan tulisan ini.
Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada
Rektor Universitas Sumatera Utara dan Dekan Fakultas Psikologi Universitas
Sumatera Utara yang telah memberi penulis kesempatan untuk mengabdikan diri di
lingkungan Universitas Sumatera Utara. Penulis juga mengucapkan terimakasih
kepada para mahasiswa dan rekan-rekan sejawat di tempat penulis bekerja atas
dukungan dan hangatnya persaudaraan.
Secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Iskandar
yang senantiasa mengingatkan dan memberi motivasi kepada penulis untuk segera
menyelesaikan karya tulis ini, semoga Allah SWT membalas dengan yang lebih baik
atas budi baik dan ketulusan yang telah diberikan. Akhir kata penulis berharap
semoga tulisan ini bermanfaat dan dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi
semua pihak. Amin!

Medan, 01 Februari 2009

Ferry Novliadi, S.Psi, M.Si


NIP. 132 316 960

Hubungan Antara Organization-Based Self-Esteem Dengan Etos Kerja, 2009


USU e-Repository 2009

iii

BAB I
PENDAHULUAN

I.A. LATAR BELAKANG


Dalam era globalisasi, persaingan kerja yang semakin meningkat memaksa
setiap orang untuk menguasai keahlian dan kemampuan tertentu (Wills, 1993).
Untuk dapat menjawab tantangan ini diperlukan adanya dedikasi, kerja keras dan
kejujuran dalam bekerja. Menurut Anoraga (1992) manusia yang berhasil harus
memiliki pandangan dan sikap yang menghargai kerja sebagai sesuatu yang luhur
untuk eksistensi manusia. Suatu pandangan dan sikap demikian dikenal dengan
istilah Etos Kerja. Dewasa ini Etos Kerja merupakan topik yang kembali hangat.
Telah sekian lama Indonesia selalu berkutat dengan masalah korupsi, jam karet,
asal kerja, semrawut dan predikat negatif lainnya. Berbeda dengan kondisi di
negara Jepang, yang menjadikan kerja sebagai sesuatu yang sangat mulia, dan
kualitas kerja merupakan nilai-nilai penting yang didasari spiritualitas agama
(Anoraga, 1992).
Suatu opini untuk menggambarkan kondisi Etos Kerja bangsa kita saat ini
dinyatakan oleh Muhtadi (2005) bahwa kondisi masyarakat kita kurang memiliki
Etos Kerja. Secara khusus Muhtadi menyoroti kondisi perguruan tinggi dan
sekolah di Indonesia. Sebagai lingkungan organisasi yang berfokus pada tujuan
utama mendidik serta mengembangkan ilmu pengetahuan, perguruan-perguruan
tinggi dan sekolah-sekolah sering ditemui sebagai organisasi yang kurang efektif
dalam mencapai sasarannya karena kinerja individu-individu yang terlibat
didalamnya tidak didukung oleh Etos Kerja yang baik. Sepertinya Etos Kerja di
Indonesia relatif masih belum tinggi. Untuk dapat meningkatkan Etos Kerja ini,
diperlukan adanya suatu sikap yang menilai tinggi pada kerja keras dan sungguhsungguh. Karena itu perlu ditemukan suatu dorongan yang tepat untuk
memotivasi dan merubah sikap rakyat kita. Nilai-nilai sikap dan faktor motivasi
yang baik menurut Anoraga (1992) bukan bersumber dari luar diri, tetapi yang
tertanam/terinternalisasi dalam diri sendiri, yang sering disebut dengan motivasi
intrinsik.

Hubungan Antara Organization-Based Self-Esteem Dengan Etos Kerja, 2009


USU e-Repository 2009

Manusia merupakan mahluk sosial yang bekerja bukan hanya untuk


memenuhi kebutuhan diri sendiri saja, tetapi juga untuk melayani sesama. Melalui
pekerjaan, kita bekerjasama dan melayani teman sekerja, memenuhi kebutuhan
keluarga, mengabdi kepada masyarakat, bangsa dan negara (Anoraga, 1992).
Untuk mempermudah tercapainya berbagai tujuan ini di dalam masyarakat, maka
manusia berkumpul untuk bekerja secara bersama-sama dan terbentuklah berbagai
organisasi. Setiap organisasi diatur dan dikelola oleh manusia. Tanpa adanya
manusia yang mengelola dan bekerja, suatu organisasi tidak dapat eksis di tengahtengah masyarakat (Cascio, 2003). Setiap organisasi memiliki tujuan bersama
yang tertuang dalam visi dan misi organisasi. Untuk mencapai tujuan ini
organisasi menerapkan filosofi, kebijakan, serta target. Filosofi, target, dan
kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh organisasi dibuat agar dapat
mensejajarkan arah pencapaian, tujuan, dan nilai-nilai yang terdapat dalam
individu sebagai anggota organisasi dengan tujuan organisasi itu sendiri. Hal ini
dikenal dengan istilah penjajaran/alignment (Wills, 1993). Proses penjajaran ini
tentunya akan mempengaruhi individu dalam memberikan penilaian terhadap
dirinya sendiri, karena apa yang ditanamkan oleh organisasi pada individu
merupakan suatu harapan yang bernilai ideal atas dirinya.
Suatu keyakinan nilai diri sendiri yang didasarkan pada evaluasi diri secara
keseluruhan dikenal dengan istilah harga diri atau self-esteem. Nilai yang dimiliki
oleh seorang individu atas dirinya sebagai anggota organisasi yang bertindak
dalam konteks organisasi disebut harga diri berbasis organisasi/OrganizationBased Self-esteem; selanjutnya disingkat dengan OBSE. Individu dengan nilai
OBSE yang tinggi cenderung memandang diri mereka sendiri sebagai seorang
yang penting, berharga, berpengaruh, dan berarti dalam konteks organisasi yang
mempekerjakannya. Dari beberapa aspek yang dipengaruhi OBSE, salah satunya
adalah motivasi intrinsik (Kreitner & Kinicki, 2000). Faktor yang terakhir ini
seperti yang dinyatakan Anoraga (1992) merupakan elemen yang penting dalam
mengembangkan Etos Kerja. Penulisan membuktikan bahwa tidak selamanya selfesteem yang tinggi itu memberikan indikasi yang positif. Pada penulisan
Baumeister dkk. (1996) ditemukan bahwa perilaku agresif dapat muncul ketika

Hubungan Antara Organization-Based Self-Esteem Dengan Etos Kerja, 2009


USU e-Repository 2009

individu yang self-esteem-nya tinggi dihadapkan pada situasi yang menekan.


Artinya self-esteem yang tinggi menjadi sesuatu yang baik hanya jika dijaga dan
disalurkan dengan cara yang membangun dan etis (Kreitner & Kinicki, 2000).

I.B. TUJUAN PENULISAN


Tujuan penulisan ini adalah untuk menjelaskan hubungan antara
Organization-Based Self-Esteem (OBSE) dengan Etos Kerja.

I.C. MANFAAT PENULISAN


Diharapkan tulisan ini bermanfaat untuk:
1. Memperkuat pemahaman ilmu pengetahuan di bidang Psikologi Industri dan
Organisasi mengenai hubungan Organization-Based Self-Esteem (OBSE)
dengan Etos Kerja.
2. Menjadi bahan masukan dan saran untuk meningkatkan efektifitas organisasi
melalui peningkatan etos kerja karyawan dengan memperhatikan variabel
Organization-Based Self-Esteem (OBSE) sebagai variabel prediktor.

Hubungan Antara Organization-Based Self-Esteem Dengan Etos Kerja, 2009


USU e-Repository 2009

BAB II
LANDASAN TEORI

II.A. ETOS KERJA


II.A.1. Pengertian Etos Kerja
Secara etimologis istilah etos berasal dari bahasa Yunani yang berarti
tempat hidup. Mula-mula tempat hidup dimaknai sebagai adat istiadat atau
kebiasaan. Sejalan dengan waktu, kata etos berevolusi dan berubah makna
menjadi semakin kompleks. Dari kata yang sama muncul pula istilah Ethikos yang
berarti teori kehidupan, yang kemudian menjadi etika. Dalam bahasa Inggris
Etos dapat diterjemahkan menjadi beberapa pengertian antara lain starting point',
'to appear', 'disposition' hingga disimpulkan sebagai 'character'. Dalam bahasa
Indonesia kita dapat menterjemahkannya sebagai sifat dasar, pemunculan atau
disposisi/watak. Aristoteles menggambarkan etos sebagai salah satu dari tiga
mode persuasi selain logos dan pathos dan mengartikannya sebagai kompetensi
moral. Tetapi Aristoteles berusaha memperluas makna istilah ini hingga
keahlian dan pengetahuan tercakup didalamnya. Ia menyatakan bahwa etos
hanya dapat dicapai hanya dengan apa yang dikatakan seorang pembicara, tidak
dengan apa yang dipikirkan orang tentang sifatnya sebelum ia mulai berbicara.
Disini terlihat bahwa etos dikenali berdasarkan sifat-sifat yang dapat terdeteksi
oleh indera. Webster Dictionary mendefinisikan etos sebagai; guiding beliefs of a
person, group or institution; etos adalah keyakinan yang menuntun seseorang,
kelompok atau suatu institusi. A. S. Hornby (1995) dalam The New Oxford
Advances Learners Dictionary mendefinisikan etos sebagai; the characteristic
spirit, moral values, ideas or beliefs of a group, community or culture;
karakteristik rohani, nilai-nilai moral, ide atau keyakinan suatu kelompok,
komunitas, atau budaya. Sedangkan dalam The American Heritage Dictionary of
English Language, etos diartikan dalam dua pemaknaan;

1.

the disposition,

character, or attitude peculiar to a specific people, culture or a group that


distinguishes it from other peoples or group; fundamental values or spirit; mores;
disposisi, karakter, atau sikap khusus orang, budaya atau kelompok yang

Hubungan Antara Organization-Based Self-Esteem Dengan Etos Kerja, 2009


USU e-Repository 2009

membedakannya dari orang atau kelompok lain; nilai atau jiwa yang mendasari;
adat-istiadat. Makna berikutnya yaitu 2.The governing or central principles in a
movement, work of art, mode of expression, or the like; Prinsip utama atau
pengendali dalam suatu pergerakan, pekerjaan seni, bentuk ekspresi, atau
sejenisnya. Dari sini dapat kita peroleh pengertian bahwa etos merupakan
seperangkat pemahaman dan keyakinan terhadap nilai-nilai yang secara mendasar
mempengaruhi kehidupan, menjadi prinsip-prinsip pergerakan, dan cara
berekspresi yang khas pada sekelompok orang dengan budaya serta keyakinan
yang sama.
Menurut Anoraga (1992) Etos Kerja merupakan suatu pandangan dan sikap
suatu bangsa atau umat terhadap kerja. Bila individu-individu dalam komunitas
memandang kerja sebagai suatu hal yang luhur bagi eksistensi manusia, maka
Etos Kerjanya akan cenderung tinggi. Sebaliknya sikap dan pandangan terhadap
kerja sebagai sesuatu yang bernilai rendah bagi kehidupan, maka Etos Kerja
dengan sendirinya akan rendah.
Dalam situs resmi kementerian KUKM, Etos Kerja diartikan sebagai sikap
mental yang mencerminkan kebenaran dan kesungguhan serta rasa tanggung
jawab untuk meningkatkan produktivitas (www.depkop.go.id). Pada Webster's
Online Dictionary, Work Ethic diartikan sebagai; Earnestness or fervor in
working, morale with regard to the tasks at hand; kesungguhan atau semangat
dalam bekerja, suatu pandangan moral pada pekerjaan yang dilakoni. Dari
rumusan ini kita dapat melihat bagaimana Etos Kerja dipandang dari sisi
praktisnya yaitu sikap yang mengarah pada penghargaan terhadap kerja dan upaya
peningkatan produktivitas.
Dalam rumusan Jansen Sinamo (2005), Etos Kerja adalah seperangkat
perilaku positif yang berakar pada keyakinan fundamental yang disertai komitmen
total pada paradigma kerja yang integral. Menurutnya, jika seseorang, suatu
organisasi, atau suatu komunitas menganut paradigma kerja, mempercayai, dan
berkomitmen pada paradigma kerja tersebut, semua itu akan melahirkan sikap dan
perilaku kerja mereka yang khas. Itulah yang akan menjadi Etos Kerja dan
budaya. Sinamo (2005) memandang bahwa Etos Kerja merupakan fondasi dari

Hubungan Antara Organization-Based Self-Esteem Dengan Etos Kerja, 2009


USU e-Repository 2009

sukses yang sejati dan otentik. Pandangan ini dipengaruhi oleh kajiannya terhadap
studi-studi sosiologi sejak zaman Max Weber di awal abad ke-20 dan penulisanpenulisan manajemen dua puluh tahun belakangan ini yang semuanya bermuara
pada satu kesimpulan utama; bahwa keberhasilan di berbagai wilayah kehidupan
ditentukan oleh perilaku manusia, terutama perilaku kerja. Sebagian orang
menyebut perilaku kerja ini sebagai motivasi, kebiasaan (habit) dan budaya kerja.
Sinamo (2005) lebih memilih menggunakan istilah etos karena menemukan
bahwa kata etos mengandung pengertian tidak saja sebagai perilaku khas dari
sebuah organisasi atau komunitas tetapi juga mencakup motivasi yang
menggerakkan mereka, karakteristik utama, spirit dasar, pikiran dasar, kode etik,
kode moral, kode perilaku, sikap-sikap, aspirasi-aspirasi, keyakinan-keyakinan,
prinsip-prinsip, dan standar-standar.
Melalui berbagai pengertian diatas baik secara etimologis maupun praktis
dapat disimpulkan bahwa Etos Kerja merupakan seperangkat sikap atau
pandangan mendasar yang dipegang sekelompok manusia untuk menilai bekerja
sebagai suatu hal yang positif bagi peningkatan kualitas kehidupan sehingga
mempengaruhi perilaku kerjanya.

II.A.2. Aspek-Aspek Etos Kerja


Menurut Sinamo (2005) setiap manusia memiliki spirit/roh keberhasilan,
yaitu motivasi murni untuk meraih dan menikmati keberhasilan. Roh inilah yang
menjelma menjadi perilaku yang khas seperti kerja keras, disiplin, teliti, tekun,
integritas, rasional, bertanggung jawab dan sebagainya melalui keyakinan,
komitmen, dan penghayatan atas paradigma kerja tertentu. Dengan ini maka orang
berproses menjadi manusia kerja yang positif, kreatif dan produktif. Dari ratusan
teori sukses yang beredar di masyarakat sekarang ini, Sinamo (2005)
menyederhanakannya menjadi empat pilar teori utama. Keempat pilar inilah yang
sesungguhnya bertanggung jawab menopang semua jenis dan sistem keberhasilan
yang berkelanjutan (sustainable success system) pada semua tingkatan. Keempat
elemen itu lalu dia konstruksikan dalam sebuah konsep besar yang disebutnya

Hubungan Antara Organization-Based Self-Esteem Dengan Etos Kerja, 2009


USU e-Repository 2009

sebagai Catur Dharma Mahardika (bahasa Sanskerta) yang berarti Empat Darma
Keberhasilan Utama, yaitu:
1. Mencetak prestasi dengan motivasi superior.
2. Membangun masa depan dengan kepemimpinan visioner.
3. Menciptakan nilai baru dengan inovasi kreatif.
4. Meningkatkan mutu dengan keunggulan insani.
Keempat darma ini kemudian dirumuskan pada delapan aspek Etos Kerja
sebagai berikut:
1. Kerja adalah rahmat; karena kerja merupakan pemberian dari Yang Maha
Kuasa, maka individu harus dapat bekerja dengan tulus dan penuh syukur.
2. Kerja adalah amanah; kerja merupakan titipan berharga yang dipercayakan
pada kita sehingga secara moral kita harus bekerja dengan benar dan
penuh tanggung jawab.
3. Kerja adalah panggilan; kerja merupakan suatu dharma yang sesuai
dengan panggilan jiwa kita sehingga kita mampu bekerja dengan penuh
integritas.
4. Kerja adalah aktualisasi; pekerjaan adalah sarana bagi kita untuk mencapai
hakikat manusia yang tertinggi sehingga kita akan bekerja keras dengan
penuh semangat
5. Kerja adalah ibadah; bekerja merupakan bentuk bakti dan ketaqwaan
kepada Sang Khalik, sehingga melalui pekerjaan individu mengarahkan
dirinya pada tujuan agung Sang Pencipta dalam pengabdian.
6. Kerja adalah seni; kerja dapat mendatangkan kesenangan dan kegairahan
kerja sehingga lahirlah daya cipta, kreasi baru, dan gagasan inovatif.
7. Kerja adalah kehormatan; pekerjaan dapat membangkitkan harga diri
sehingga harus dilakukan dengan tekun dan penuh keunggulan.
8. Kerja adalah Pelayanan; manusia bekerja bukan hanya untuk memenuhi
kebutuhannya sendiri saja tetapi untuk melayani sehingga harus bekerja
dengan sempurna dan penuh kerendahan hati.

Hubungan Antara Organization-Based Self-Esteem Dengan Etos Kerja, 2009


USU e-Repository 2009

Anoraga (1992) juga memaparkan secara eksplisit beberapa sikap yang


seharusnya mendasar bagi seseorang dalam memberi nilai pada kerja, yang
disimpulkan sebagai berikut:
1. Bekerja adalah hakikat kehidupan manusia
2. Pekerjaan adalah suatu berkat Tuhan.
3. Pekerjaan merupakan sumber penghasilan yang halal dan tidak amoral
4. Pekerjaan merupakan suatu kesempatan untuk mengembangkan diri dan
berbakti
5. Pekerjaan merupakan sarana pelayanan dan perwujudan kasih
Dalam penulisannya, Akhmad Kusnan (2004) menyimpulkan pemahaman
bahwa Etos Kerja menggambarkan suatu sikap, maka ia menggunakan lima
indikator untuk mengukur Etos Kerja. Menurutnya Etos Kerja mencerminkan
suatu sikap yang memiliki dua alternatif, positif dan negatif. Suatu individu atau
kelompok masyarakat dapat dikatakan memiliki Etos Kerja yang tinggi, apabila
menunjukkan tanda-tanda sebagai berikut:
1. Mempunyai penilaian yang sangat positif terhadap hasil kerja manusia,
2. Menempatkan pandangan tentang kerja, sebagai suatu hal yang amat luhur
bagi eksistensi manusia,
3. Kerja yang dirasakan sebagai aktivitas yang bermakna bagi kehidupan
manusia,
4. Kerja dihayati sebagai suatu proses yang membutuhkan ketekunan dan
sekaligus sarana yang penting dalam mewujudkan cita-cita,
5. Kerja dilakukan sebagai bentuk ibadah.
Bagi individu atau kelompok masyarakat yang memiliki Etos Kerja yang
rendah, maka akan ditunjukkan ciri-ciri yang sebaliknya (Kusnan, 2004), yaitu;
1. Kerja dirasakan sebagai suatu hal yang membebani diri,
2. Kurang dan bahkan tidak menghargai hasil kerja manusia,
3. Kerja

dipandang

sebagai

suatu

penghambat

dalam

memperoleh

kesenangan,
4. Kerja dilakukan sebagai bentuk keterpaksaan,
5. Kerja dihayati hanya sebagai bentuk rutinitas hidup.

Hubungan Antara Organization-Based Self-Esteem Dengan Etos Kerja, 2009


USU e-Repository 2009

Dari berbagai aspek yang ditampilkan ketiga tokoh diatas, dapat dilihat
bahwa aspek-aspek yang diusulkan oleh dua tokoh berikutnya telah termuat dalam
beberapa aspek Etos Kerja yang dikemukakan oleh Sinamo, sehingga penulisan
ini mendasari pemahamannya pada delapan aspek Etos Kerja yang dikemukakan
oleh Sinamo sebagai indikator terhadap Etos Kerja.

II.A.3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Etos Kerja


Etos Kerja dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
a. Agama
Dasar pengkajian kembali makna Etos Kerja di Eropa diawali oleh buah
pikiran Max Weber. Salah satu unsur dasar dari kebudayaan modern, yaitu
rasionalitas (rationality) menurut Weber (1958) lahir dari etika Protestan.
Pada dasarnya agama merupakan suatu sistem nilai. Sistem nilai ini tentunya
akan mempengaruhi atau menentukan pola hidup para penganutnya. Cara
berpikir, bersikap dan bertindak seseorang pastilah diwarnai oleh ajaran
agama yang dianutnya jika ia sungguh-sungguh dalam kehidupan beragama.
Dengan demikian, kalau ajaran agama itu mengandung nilai-nilai yang dapat
memacu pembangunan, jelaslah bahwa agama akan turut menentukan jalannya
pembangunan atau modernisasi. Weber (1958) memperlihatkan bahwa doktrin
predestinasi dalam protestanisme mampu melahirkan etos berpikir rasional,
berdisiplin tinggi, bekerja tekun sistematik, berorientasi sukses (material),
tidak mengumbar kesenangan - namun hemat dan bersahaja (asketik), serta
menabung dan berinvestasi, yang akhirnya menjadi titik tolak berkembangnya
kapitalisme di dunia modern.
Sejak Weber menelurkan karya tulis The Protestant Ethic and the Spirit
of Capitalism (1958), berbagai studi tentang Etos Kerja berbasis agama sudah
banyak dilakukan dengan hasil yang secara umum mengkonfirmasikan adanya
korelasi positif antara sebuah sistem kepercayaan tertentu dan kemajuan
ekonomi, kemakmuran, dan modernitas (Sinamo, 2005). Menurut Rosmiani
(1996) Etos Kerja terkait dengan sikap mental, tekad, disiplin dan semangat
kerja. Sikap ini dibentuk oleh sistem orientasi nilai-nilai budaya, yang

Hubungan Antara Organization-Based Self-Esteem Dengan Etos Kerja, 2009


USU e-Repository 2009

sebagian bersumber dari agama atau sistem kepercayaan/paham teologi


tradisional. Ia menemukan Etos Kerja yang rendah secara tidak langsung
dipengaruhi oleh rendahnya kualitas keagamaan dan orientasi nilai budaya
yang konservatif turut menambah kokohnya tingkat Etos Kerja yang rendah
itu.
b. Budaya
Selain temuan Rosmiani (1996) diatas, Usman Pelly (dalam Rahimah,
1995) mengatakan bahwa sikap mental, tekad, disiplin dan semangat kerja
masyarakat juga disebut sebagai etos budaya dan secara operasional, etos
budaya ini juga disebut sebagai Etos Kerja. Kualitas Etos Kerja ini ditentukan
oleh sistem orientasi nilai budaya masyarakat yang bersangkutan. Masyarakat
yang memiliki sistem nilai budaya maju akan memiliki Etos Kerja yang tinggi
dan sebaliknya, masyarakat yang memiliki sistem nilai budaya yang
konservatif akan memiliki Etos Kerja yang rendah, bahkan bisa sama sekali
tidak memiliki Etos Kerja. Pernyataaan ini juga didukung oleh studi yang
dilakukan Suryawati, Dharmika, Namiartha, Putri dan weda (1997) yang
menyimpulkan bahwa semangat kerja/Etos Kerja sangat ditentukan oleh nilainilai budaya yang ada dan tumbuh pada masyarakat yang bersangkutan. Etos
Kerja juga sangat berpegang teguh pada moral etik dan bahkan Tuhan. Etos
Kerja berdasarkan nilai-nilai budaya dan agama ini menurut mereka diperoleh
secara lisan dan merupakan suatu tradisi yang disebarkan secara turuntemurun.
c. Sosial Politik
Soewarso, Rahardjo, Subagyo, dan Utomo (1995) menemukan bahwa
tinggi rendahnya Etos Kerja suatu masyarakat dipengaruhi oleh ada atau
tidaknya struktur politik yang mendorong masyarakat untuk bekerja keras dan
dapat menikmati hasil kerja keras mereka dengan penuh. KH. Abdurrahman
Wahid (2002) mengatakan bahwa Etos Kerja harus dimulai dengan kesadaran
akan pentingnya arti tanggung jawab kepada masa depan bangsa dan negara.
Dorongan untuk mengatasi kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan
hanya mungkin timbul, jika masyarakat secara keseluruhan memiliki orientasi

Hubungan Antara Organization-Based Self-Esteem Dengan Etos Kerja, 2009


USU e-Repository 2009

10

kehidupan yang teracu ke masa depan yang lebih baik. Orientasi ke depan itu
harus diikuti oleh penghargaan yang cukup kepada kompetisi dan pencapaian
(achievement). Orientasi ini akan melahirkan orientasi lain, yaitu semangat
profesionalisme yang menjadi tulang-punggung masyarakat modern.
d. Kondisi Lingkungan/Geografis
Suryawati, Dharmika, Namiartha, Putri dan weda (1997) juga menemukan
adanya indikasi bahwa Etos Kerja dapat muncul dikarenakan faktor kondisi
geografis. Lingkungan alam yang mendukung mempengaruhi manusia yang
berada di dalamnya melakukan usaha untuk dapat mengelola dan mengambil
manfaat, dan bahkan dapat mengundang pendatang untuk turut mencari
penghidupan di lingkungan tersebut.
e. Pendidikan
Etos Kerja tidak dapat dipisahkan dengan kualitas sumber daya manusia.
Peningkatan sumber daya manusia akan membuat seseorang mempunyai Etos
Kerja keras. Meningkatnya kualitas penduduk dapat tercapai apabila ada
pendidikan yang merata dan bermutu, disertai dengan peningkatan dan
perluasan pendidikan, keahlian dan keterampilan, sehingga semakin
meningkat pula aktivitas dan produktivitas masyarakat sebagai pelaku
ekonomi (Rahimah, Fauziah, Suri dan Nasution, 1995).
f. Struktur Ekonomi
Pada penulisan Soewarso, Rahardjo, Subagyo, dan Utomo (1995)
disimpulkan juga bahwa tinggi rendahnya Etos Kerja suatu masyarakat
dipengaruhi oleh ada atau tidaknya struktur ekonomi, yang mampu
memberikan insentif bagi anggota masyarakat untuk bekerja keras dan
menikmati hasil kerja keras mereka dengan penuh.
g. Motivasi Intrinsik individu
Anoraga (1992) mengatakan bahwa Individu yang akan memiliki Etos
Kerja yang tinggi adalah individu yang bermotivasi tinggi. Etos Kerja
merupakan suatu pandangan dan sikap, yang tentunya didasari oleh nilai-nilai
yang diyakini seseorang. Keyakinan inilah yang menjadi suatu motivasi kerja.
Maka Etos Kerja juga dipengaruhi oleh motivasi seseorang.

Hubungan Antara Organization-Based Self-Esteem Dengan Etos Kerja, 2009


USU e-Repository 2009

11

Menurut Herzberg (dalam Siagian, 1995), motivasi yang sesungguhnya


bukan bersumber dari luar diri, tetapi yang tertanam/terinternalisasi dalam diri
sendiri, yang sering disebut dengan motivasi intrinsik. Ia membagi faktor
pendorong manusia untuk melakukan kerja ke dalam dua faktor yaitu faktor
hygiene dan faktor motivator. Faktor hygiene ini merupakan faktor dalam
kerja yang hanya akan berpengaruh bila ia tidak ada, yang akan menyebabkan
ketidakpuasan. Ketidakhadiran faktor ini dapat mencegah timbulnya motivasi,
tetapi ia tidak menyebabkan munculnya motivasi. faktor ini disebut juga faktor
ekstrinsik, yang termasuk diantaranya yaitu gaji, status, keamanan kerja,
kondisi kerja, kebijaksanaan organisasi, hubungan dengan rekan kerja, dan
supervisi. Ketika sebuah organisasi menargetkan kinerja yang lebih tinggi,
tentunya organisasi tersebut perlu memastikan terlebih dahulu bahwa faktor
hygiene tidak menjadi penghalang dalam upaya menghadirkan motivasi
intrinsik.
Faktor yang kedua adalah faktor motivator sesungguhnya, yang mana
ketiadaannya bukan berarti ketidakpuasan, tetapi kehadirannya menimbulkan
rasa puas sebagai manusia. Faktor ini disebut juga faktor intrinsik dalam
pekerjaan,

yang

meliputi

pencapaian

sukses/achievement,

pengakuan/recognition, kemungkinan untuk meningkat dalam jabatan


(Karier)/advancement,

tanggung

jawab/responsibility,

kemungkinan

berkembang/growth possibilities, dan pekerjaan itu sendiri/the work itself.


(Herzberg, dalam Anoraga, 1992) Hal-hal ini sangat diperlukan dalam
meningkatkan performa kerja dan menggerakkan pekerja hingga mencapai
performa yang tertinggi.

II.B. ORGANIZATION-BASED SELF-ESTEEM


II.B.1. Pengertian Organization-Based Self-esteem
Secara sederhana self-esteem diartikan sebagai proses evaluasi diri
seseorang baik dalam cara yang positif maupun negatif (Greenberg, 2005). Hogg
& Vaughan (2002) mendefinisikan self-esteem sebagai evaluasi dan perasaan
tentang diri pribadi. Kreitner & Kinicki (2000) mendefinisikan istilah self-esteem

Hubungan Antara Organization-Based Self-Esteem Dengan Etos Kerja, 2009


USU e-Repository 2009

12

sebagai suatu keyakinan nilai diri sendiri yang didasarkan pada evaluasi diri
secara keseluruhan. Rosenberg (dalam Kernis 1995) dan para ahli lainnya telah
membandingkan self-esteem dengan sikap, dan menemukan bahwa self-esteem
memiliki komponen afektif dan kognitif. Komponen kognitif mengacu pada
keyakinan individu tentang keberhargaan dirinya.
Tory Higgins (dalam Deaux, Dane, Wrightsman, 1993) mengajukan dua
tipe diri potensial yang menempati konsep diri kita yaitu Ideal-Self dan OughtSelf. Ideal-self mengacu kepada konsep diri yang ingin dicapai individu,
sedangkan ought-self adalah konsep diri yang sebenarnya hadir. Ketika
kesenjangan antara ideal-self dan ought-self ini terlalu besar, maka akan timbullah
perasaan yang tidak menyenangkan, suatu kondisi yang dihindari oleh setiap
orang. Setiap orang selalu berusaha memperoleh perasaan yang menyenangkan
tentang dirinya. Biasanya tuntutan perasaan positif ini menimbulkan over-estimasi
terhadap evaluasi mengenai nilai-nilai baik seseorang, kemampuannya dalam
mengatasi situasi atau kejadian atau terlalu optimis. Memiliki penilaian yang
akurat tentang diri memang penting, tetapi sepertinya tidak lebih penting daripada
perasaan positif seseorang tentang dirinya (Hogg & Vaughan, 2002). Gambaran
diri yang positif dan self-esteem yang berhubungan dengannya merupakan tujuan
penting untuk kebanyakan orang setiap waktu. Hal ini menunjukkan temuan
Rosenberg mengenai komponen afektif pada self-esteem. Harga diri yang tinggi,
baik yang realistis maupun yang tidak merupakan suatu hal yang menyenangkan,
dan karenanya banyak ahli menganggapnya sebagai tujuan manusia yang utama
(Rosenberg dalam Deaux, Dane, Wrightsman, 1993).
Kita cenderung menduga bahwa unsur self-esteem yang tinggi akan
menghasilkan perilaku positif, yang menandakan individu yang sehat secara
psikologis. Tetapi banyak studi yang menemukan bahwa tidak selamanya selfesteem yang tinggi menghasilkan individu yang percaya diri dan tidak
menampilkan sikap permusuhan. Baumeister (dalam Hogg & Vaughan, 2002)
menemukan perilaku kekerasan yang dapat dikaitkan dengan harga diri yang
tinggi, dimana ketika individu yang memiliki gambaran diri yang menyenangkan
merasa terancam, individu tersebut cenderung akan menampilkan sikap agresif.

Hubungan Antara Organization-Based Self-Esteem Dengan Etos Kerja, 2009


USU e-Repository 2009

13

Kernis (dalam Hogg & Vaughan, 2002) juga menemukan individu yang arogan,
angkuh dan terlalu asertif diantara orang-orang dengan harga diri yang tinggi.
Rhodewalt (dalam Hogg & Vaughan, 2002) menemukan individu yang pada
dasarnya memiliki harga diri tinggi yang mudah hilang, dikenal dengan individu
narsistik.
Harga diri yang rendah tidak selamanya juga memiliki konsekuensi negatif.
Baumeister (dalam Kernis, 1995) menemukan individu yang self-esteemnya
rendah menampilkan karakter tidak pasti namun netral daripada karakter negatif.
Swann, Pelham, & Krull (dalam Kernis, 1995) menemukan individu dengan selfesteem rendah memiliki strategi pertahanan diri tertentu yang cenderung
berorientasi pada peningkatan diri.
Untuk dapat menjelaskan fenomena yang beragam terkait dengan harga diri
yang tinggi dan rendah seperti yang telah dibahas diatas, Deci & Ryan (dalam
Kernis, 1995) mengajukan dua jenis harga diri yaitu contingent self-esteem dan
true self-esteem. Contingent self-esteem mengacu pada perasaan tentang diri
seseorang yang dihasilkan oleh dan bergantung pada pencapaian harapan
seseorang. Misalnya seseorang merasa dirinya adalah orang yang baik dan
berharga jika ia berhasil menyelesaikan suatu tugas. Jika ia terus dapat
menyelesaikan tugas berikutnya yang serupa, maka ia akan terus memiliki harga
diri yang tinggi. Artinya harga diri ini bersifat labil dan hanya berpusat pada
kepentingan pribadi. True self-esteem bersifat lebih stabil, didasari oleh perasaan
yang kuat tentang diri pribadi. Individu dengan true self-esteem yang tinggi juga
memiliki tujuan dan aspirasi, dan akan merasa senang bila tujuannya tercapai, atau
sedih bila tidak tercapai. Tetapi perasaan mereka sebagai manusia yang berharga
tidak berfluktuasi bergantung pada pencapaian, sehingga mereka tidak merasa
superior ketika berhasil, ataupun tertekan ketika gagal.
Berdasarkan penulisan Baumeister (dalam Hogg & Vaughan, 2002) secara
umum individu dengan karakteristik self-esteem yang tinggi memiliki ciri-ciri:
1. Gigih dan ulet dalam menghadapi masa depan
2. Stabil secara emosi dan afektif
3. Kurang fleksibel dan kurang lunak

Hubungan Antara Organization-Based Self-Esteem Dengan Etos Kerja, 2009


USU e-Repository 2009

14

4. Tidak mudah dibujuk dan dipengaruhi


5. Bereaksi positif pada kehidupan yang menyenangkan dan sukses
6. Memiliki konsep diri yang stabil, teliti, dan konsisten
7. Berorientasi motivasi pada peningkatan diri
Sedangkan individu dengan self-esteem rendah memiliki ciri-ciri:
1. Mudah terluka pada tekanan yang ditemui sehari-hari
2. Mudah berubah dalam afeksi dan suasana hati
3. Fleksibel dan lunak
4. Mudah dibujuk dan dipengaruhi
5. Menginginkan kesuksesan dan persetujuan tetapi ragu-ragu akan
memperolehnya
6. Bereaksi negatif terhadap kehidupan yang menyenangkan dan sukses
7. Memiliki konsep diri yang sederhana dan tidak stabil
8. Orientasi motivasi pada perlindungan diri.
Terdapat beberapa tipe self-esteem yang telah dibahas para ahli, diantaranya
global self-esteem yaitu persepsi individu mengenai keberhargaan dirinya secara
keseluruhan. Kemudian dikenal juga role-based self-esteem, yaitu harga diri
dikaitkan dengan peranan atau posisi seseorang. Ada juga task-based self-esteem
yaitu harga diri yang dikaitkan dengan keberhasilan seseorang dalam
menyelesaikan tugas.
Self-esteem sangat berhubungan dengan identitas sosial seseorang (Hogg &
Vaughan, 2002). Identitas sosial adalah bagian dari konsep diri yang berasal dari
keanggotaan individu dalam kelompok sosial. Ketika individu mengevaluasi
dirinya, ia dipengaruhi oleh prestise dan status dalam suatu kelompok masyarakat
yang dipersepsikannya juga melekat pada dirinya jika ia menganggap dirinya
bagian dari atau berorientasi kepada kelompok masyarakat tertentu. Penilaian ini
juga akan dibandingkan dengan kelompok diluar kelompok masyarakat yang
dipersepsikannya sebagai kelompoknya. Organisasi adalah suatu kelompok
masyarakat yang tentunya dapat memberikan pengaruh bagi seseorang dalam
menilai dirinya. Menjadi bagian dari suatu organisasi maka individu harus tunduk
pada aturan, kebiasaan, norma, serta menyesuaikan diri dengan budaya dan iklim

Hubungan Antara Organization-Based Self-Esteem Dengan Etos Kerja, 2009


USU e-Repository 2009

15

organisasi. Organisasi memiliki tujuan dan cita-cita yang menjiwai setiap aspek
kehidupan organisasi, sehingga secara otomatis mempengaruhi setiap individu
yang ada di dalamnya. Dari pemahaman ini muncullah kajian tentang harga diri
dalam konteks organisasi. Nilai yang dimiliki oleh seorang individu atas dirinya
sebagai anggota organisasi yang bertindak dalam konteks organisasi disebut harga
diri berbasis organisasi atau Organization-based Self-esteem, yang disingkat
dengan OBSE (Kreitner & Kinicki, 2000).
Dalam konteks organisasi, pengaruh self-esteem yang cukup signifikan telah
terlihat melalui berbagai penemuan. Misalnya individu yang memiliki self-esteem
yang tinggi cenderung lebih sukses dalam upaya menemukan pekerjaan,
sedangkan individu dengan self-esteem yang rendah, bila dipekerjakan akan lebih
tertarik pada organisasi yang besar dimana posisi mereka tidak terlalu
diperhatikan. Pekerja dengan self-esteem yang tinggi cenderung secara aktif
berusaha menemukan materi yang dibutuhkan untuk mengatasi masalah
pekerjaan, dan menggunakan kemampuan serta keahlian mereka secara penuh
sehingga hasil kerjanya lebih maksimal. Cukup menarik untuk diperhatikan
bahwa

individu

dengan

self-esteem

rendah kelihatannya

sadar dengan

kemungkinan mereka memberikan hasil yang buruk. Mereka cenderung menilai


dirinya secara negatif (khususnya ketika penilaian terhadap performa mereka
ambigu) dan pada dasarnya bertanggungjawab terhadap hasil buruk tersebut
(Greenberg, 2005).

II.B.2. Aspek-aspek Organization-based Self-esteem


Dalam konteks organisasi, penilaian seseorang terhadap dirinya terkait
dengan bagaimana kondisi organisasi secara struktural, kerumitan pekerjaan yang
dihadapinya, serta adanya penghargaan dari pihak managerial. OBSE cenderung
meningkat ketika individu mempersepsikan bahwa atasan mereka memiliki suatu
kepedulian pada mereka. Nilainya juga lebih tinggi pada organisasi dengan
struktur yang organik (fleksibel) daripada yang kaku (Birokratis). Pekerjaan yang
rumit dan menantang juga mendorong OBSE yang lebih tinggi daripada pekerjaan
yang sederhana, berulang-ulang serta membosankan. Dan faktor-faktor ini juga

Hubungan Antara Organization-Based Self-Esteem Dengan Etos Kerja, 2009


USU e-Repository 2009

16

berhubungan dengan motivasi untuk tugas yang lebih besar (Kreitner & Kinicki,
2000).
Tan Kim Sek (2003) menemukan bahwa metode sosialisasi yang efektif
dapat meningkatkan kompetensi pekerja dalam menyelesaikan tugasnya terkait
dengan peranannya dalam organisasi, yang akan meningkatkan OBSE-nya. Dalam
konteks penulisan ini taktik sosialisasi yang digunakan adalah perencanaan
pengembangan karier, interaksi yang positif dengan rekan kerja, dan interaksi
positif dengan pendatang baru di organisasi. Gardner, Dyne, & Pierce (2004)
menemukan bahwa tingkatan gaji turut mempengaruhi rasa berharga seorang
individu sebagai anggota organisasi, sehingga mereka menyarankan organisasi
mempertimbangkan sistem penggajian berbasis kompetensi. Namun mereka juga
mengindikasikan bahwa sistem penggajian berbasis kompetensi tetap memiliki
resiko dimana individu dengan tingkat gaji yang lebih rendah dapat menganggap
dirinya kurang berkompeten, sehingga berpeluang menjatuhkan self-esteemnya.
Dalam studi replikasinya, Tang & Gilbert (1992) menemukan bahwa OBSE
berhubungan dengan global self-esteem, need for achievement, organizational
citizenship, komitmen organisasi, motivasi untuk meningkatkan potensi dan
pendidikan. Status subyek dalam organisasi tidak berhubungan dengan OBSE.
Intinya, penemuan mereka menampilkan hubungan antara OBSE dengan banyak
variabel yang bernilai intrinsik tentang perasaan subyektif pekerja dalam
organisasi.
Kreitner & Kinicki (2000) menyebutkan ciri-ciri individu dengan nilai
OBSE yang tinggi cenderung memandang diri mereka sendiri sebagai seorang
yang penting, berharga, berpengaruh, dan berarti dalam konteks organisasi yang
mempekerjakannya. Untuk itu mereka menyarankan agar organisasi melakukan
upaya untuk membangun self-esteem karyawan, yaitu dengan;
1. Mendukung dan menunjukkan kepedulian pada persoalan, kepentingan,
status, dan kontribusi individu,
2. Menawarkan pekerjaan yang memiliki variasi otonomi dan tantangan yang
sesuai dengan nilai-nilai keahlian dan kemampuan individu,

Hubungan Antara Organization-Based Self-Esteem Dengan Etos Kerja, 2009


USU e-Repository 2009

17

3. Berjuang untuk membangun ikatan antara karyawan dan manajemen


didasari kepercayaan,
4. Menunjukkan keyakinan terhadap kemampuan pengendalian pribadi dan
memberi penghargaan pada keberhasilan.
Greenberg (2005) juga memiliki empat point penting yang disarankannya
untuk meningkatkan self-esteem individu dalam organisasi, yaitu;
1. Buatlah orang merasa berharga; ciptakan kesempatan bagi individu untuk
merasa diterima dengan mencari cara untuk memanfaatkan pengalaman
dan keahlian unik mereka.
2. Buatlah orang merasa kompeten; kenali hal-hal baik yang dilakukan
individu dan pujilah mereka sesuai dengan hal itu.
3. Buatlah orang merasa aman; harga diri karyawan akan lebih meningkat
ketika harapan para manager tersampaikan dengan jelas dan terangterangan pada mereka
4. Buatlah orang merasa mendapatkan wewenang; individu diberikan
kesempatan untuk memutuskan bagaimana mereka akan menyelesaikan
pekerjaan yang menurut mereka baik bagi mereka dan pekerjaannya.
Dari berbagai penulisan dan pendapat diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa OBSE memiliki beberapa aspek (Kreitner & Kinicki, 2000; Greenberg,
2005) yaitu:
1. merasa diterima dalam organisasi
2. merasa aman dalam organisasi
3. merasa berkompeten dalam organisasi
4. merasa berpengaruh dalam organisasi
5. merasa penting bagi organisasi
6. rasa berharga bagi organisasi
7. merasa berkembang dalam organisasi
Aspek-aspek inilah yang akan menjadi indikator OBSE dalam penulisan ini.

Hubungan Antara Organization-Based Self-Esteem Dengan Etos Kerja, 2009


USU e-Repository 2009

18

II.C. HUBUNGAN ANTARA ORGANIZATION-BASED SELF-ESTEEM


(OBSE) DAN ETOS KERJA
Untuk dapat meningkatkan Etos Kerja, diperlukan adanya suatu sikap yang
menilai tinggi pada kerja keras dan sungguh-sungguh. Karena itu perlu ditemukan
suatu dorongan yang tepat untuk memotivasi dan merubah sikap (Anoraga, 1992).
Seperti yang sudah dipaparkan Anoraga sebelumnya bahwa motivasi merupakan
kunci untuk membangun Etos Kerja yang baik. Motivasi kerja adalah sesuatu
yang menimbulkan semangat atau dorongan kerja. kuat lemahnya motivasi kerja
seseorang ikut menentukan besar kecilnya prestasi seorang pekerja.
Tujuan organisasi yang ditanamkan dalam visi, misi, filosofi, dan motto
organisasi merupakan suatu nilai ideal yang harus dicapai individu. Dengan proses
yang tepat organisasi berusaha menanamkan nilai-nilai ini pada para anggotanya.
Nilai ideal yang dipersepsikan oleh anggota akan mempengaruhi penilaiannya
terhadap dirinya, sehingga membentuk OBSE-nya. Nilai-nilai ini ditanamkan oleh
organisasi dengan tujuan utama yaitu kinerja dan kualitas kerja yang meningkat.
Kinerja dan kualitas kerja yang baik dapat dicapai dengan Etos Kerja yang baik,
maka organisasi secara tidak langsung berusaha untuk meningkatkan Etos Kerja
anggotanya.
OBSE mempengaruhi beberapa aspek, antara lain global self-esteem/harga
diri secara keseluruhan, kepuasan secara keseluruhan, perilaku warga negara yang
baik, komitmen dan kepuasan organisasi, prestasi kerja, dan terakhir adalah
motivasi intrinsik (Kreitner & Kinicki, 2000). Menurut Alderfer (dalam Siagian,
1995) dengan teori motivasi ERG-nya, salah satu faktor yang mempengaruhi
motivasi adalah faktor R (Relatedness) yaitu kebutuhan akan pemenuhan rasa
puas dalam berhubungan dengan keluarga, teman, atasan, bawahan dan rekan
sekerja, dimana hal ini melibatkan unsur cinta dan self-esteem.
Dengan

meningkatnya

self-esteem

pekerja

yang

didasarkan

pada

keberadaannya sebagai bagian dari organisasi, maka motivasinya secara intrinsik


dalam bekerja meningkat. Herzberg (dalam Anoraga, 1992) yang melakukan studi
mengenai motivasi kerja menyatakan faktor intrinsik dalam bekerja yang meliputi
pencapaian sukses, pengakuan, kemungkinan untuk meningkat dalam jabatan

Hubungan Antara Organization-Based Self-Esteem Dengan Etos Kerja, 2009


USU e-Repository 2009

19

(karier), tanggung jawab, kemungkinan berkembang, dan pekerjaan itu sendiri.


Dapat dilihat bahwa faktor-faktor intrinsik ini merupakan aspek-aspek yang akan
tergambar pada OBSE. Faktor pengakuan dapat dilihat pada persepsi tentang
seberapa berharga dan pentingnya individu dalam organisasi, apakah ia merasa
diterima sebagai anggota organisasi, dan merasa aman sebagai bagian dari
organisasi.
Berdasarkan pembahasan diatas, maka dapat dilihat bagaimana OBSE
mempengaruhi motivasi intrinsik seseorang untuk bekerja. Ketika OBSE
meningkat, motivasi intrinsik seseorang dalam bekerja turut meningkat, maka
seharusnya Etos Kerjanya akan meningkat juga. Artinya kebutuhan organisasi
untuk mencapai hasil dan kinerja organisasi yang lebih baik dapat dicapai salah
satunya melalui upaya meningkatkan OBSE pekerjanya.
Penelitian lain yang telah dilakukan mengenai OBSE yaitu penelitian
Lanford, Roe, Carson & Carson (1997) pada teknisi unit gawat darurat. Mereka
menemukan peningkatan OBSE berpeluang meningkatkan komitmen terhadap
karier, menurunkan kecenderungan menarik diri dari tugas, dan meningkatkan
kesadaran akan pentingnya kualitas perlakuan. Hal ini merupakan beberapa
indikasi perilaku yang mencerminkan Etos Kerja, seperti yang dikatakan Sinamo
(2005), yaitu bekerja dengan integritas, bekerja dengan penuh tanggung jawab,
bekerja dengan sempurna.
Secara umum dapat dikatakan bahwa bila seseorang merasa berharga dalam
organisasi dikarenakan berbagai faktor, ia akan cenderung memiliki motivasi yang
lebih baik untuk mencapai tujuan yang ditetapkan organisasi tersebut, sehingga
Etos Kerjanya akan lebih baik daripada individu dengan OBSE-nya rendah.

Hubungan Antara Organization-Based Self-Esteem Dengan Etos Kerja, 2009


USU e-Repository 2009

20

Kerangka berfikir dalam penulisan ini digambarkan secara skematis sebagai


berikut:
Gambar 1
Kerangka Berfikir Penulisan

Hubungan Antar Variabel


Universitas Sebagai Organisasi
Proses Alignment dalam
organisasi; proses menanamkan
Filosofi, Visi, Misi, Goal, Policy
Dosen Sebagai salah satu komponen Organisasi
Penilaian individu terhadap pribadi
Harga Diri dikaitkan dengan
keberadaan individu dalam
organisasi (OBSE)

Faktor Intrinsik Dalam Bekerja


yang menimbulkan Motivasi

Etos Kerja

Hubungan Antara Organization-Based Self-Esteem Dengan Etos Kerja, 2009


USU e-Repository 2009

21

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

III. A. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari tulisan ini sebagai berikut:
1. Sesuai dengan landasan teori yang telah dibahas sebelumnya dapat dikatakan
bahwa ketika Organisation-Based Self-Esteem (OBSE) seseorang meningkat,
maka motivasinya untuk mencapai kinerja yang lebih baik di dalam organisasi
tersebut akan meningkat secara intrinsik (kreitner & Kinicki, 2000), sehingga
cara pandangnya terhadap nilai bekerja yang dikenal dengan konsep Etos
Kerja turut meningkat (Anoraga, 1992).
2. Ketika nilai Organisation-Based Self-Esteem (OBSE) seorang individu rendah,
belum tentu nilai Etos Kerjanya harus rendah pula, karena selain faktor OBSE
masih terdapat faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi Etos Kerja
seseorang seperti yang telah dijelaskan pada bab dua, seperti agama,
pendidikan, sosial budaya, struktur ekonomi, dan sebagainya. Kualitas
beragama, unsur sosial budaya, dan kondisi ekonomi misalnya, dapat
mempengaruhi cara pandang seseorang terhadap nilai bekerja.

III. B. Saran
Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan maka diajukan beberapa saran
sebagai berikut:

1. Organisation-Based Self-Esteem (OBSE) karyawan dapat ditingkatkan


misalnya dengan kepedulian pada kepentingan, persoalan, status dan
kontribusi setiap anggota organisasi, ikatan yang didasari kepercayaan
antara rekan kerja dan atasan, serta penghargaan yang tulus pada setiap
keberhasilan individu dalam organisasi.
2. Karena Etos Kerja juga dipengaruhi oleh faktor agama, organisasi perlu
memperhatikan dan mendukung kegiatan-kegiatan keagamaan yang dapat
menghimpun para karyawan, meskipun hal ini bukan menjadi bagian

Hubungan Antara Organization-Based Self-Esteem Dengan Etos Kerja, 2009


USU e-Repository 2009

22

utama dalam agenda kerja organisasi, memelihara pemahaman nilai-nilai


agama dapat membentuk Etos Kerja.
3. Faktor lain yang mempengaruhi Etos Kerja adalah sosial politik, yaitu
bagaimana Etos Kerja dipengaruhi oleh ada atau tidaknya struktur politik
yang mendorong masyarakat untuk bekerja keras dan dapat menikmati
hasil kerja keras mereka dengan penuh. Dalam hal ini organisasi harus
memiliki aturan-aturan dan kebijakan organisasi yang dapat mendukung
suasana yang kondusif bagi peningkatan etos kerja.
4. Struktur ekonomi juga merupakan faktor pendorong Etos Kerja. Gardner,
Dyne, & Pierce (2004) menemukan bahwa tingkatan gaji turut
mempengaruhi rasa berharga seorang individu sebagai anggota organisasi,
sehingga organisasi perlu mempertimbangkan sistem penggajian berbasis
kompetensi agar balas jasa yang diperoleh karyawan sesuai dengan
kualitas kerja yang diharapkan darinya serta dapat memenuhi rasa
keadilan.

Hubungan Antara Organization-Based Self-Esteem Dengan Etos Kerja, 2009


USU e-Repository 2009

23

DAFTAR PUSTAKA

Anoraga, Drs. Pandji. (1992); Psikologi Kerja; PT. Rineka Cipta, Jakarta.
Cascio, Wayne F. (2003); Managing Human Resource; Productivity, Quality of
Work Life, Profits (6th ed.); McGraw Hill/Irwin, New York.
Deaux, Kay.; Dane, Francis C.; Wrightsman, Lawrence S. (1993); Social
Psychology in the 90s (6th Ed); Brooks/Cole Publishing Company,
California.
Donald G. Gardner, Linn Van Dyne, and Jon L. Pierce (2004); The effects of pay
level on organization-based self-esteem and performance: A field study;
Journal of Occupational and Organizational Psychology (2004), 77, 307322,
The British Psychological Society www.bps.org.uk [online : Sunday, October
08, 2006, 5:02:38 PM]
Greenberg, J. (2005). Managing behavior in organizations, Prentice Hall, USA
Hogg, Michael A.; Vaughan, Graham M. (2002); Social Psychology (3rd ed);
Prentice Hall Pearson education limited, Edinburgh.
Hornby, A S., (1995); Oxford Advanced Learners Dictionary of Current
English(5th ed.); Oxford University Press, Great Britain.
Kernis, Michael H., (1995); Efficacy, Agency, and Self Esteem; Plenum Press,
New York, and London.
Kreitner, Robert.; Kinicki, Angelo., (2000); Organizational behavior (8th Ed);
McGraw Hill, New York.
Kusnan, Ahmad (2004); Analisis Sikap Iklim Organisasi, Etos Kerja Dan Disiplin
Kerja Dalam Menentukan Efektifitas Kinerja Organisasi di Garnizun
Tetap III Surabaya; Laporan Penelitian; http://www.damandiri.or.id/
index.php [online : Monday, October 16, 2006, 6:03:24 PM]
Lee, Cynthia., Hui, Chun., (2000), Moderating Effects of Organization-Based
Self-Esteem on Organizational Uncertainty: Employee Response
Relationships; Journal of Management, Vol. 26, No. 2, 215-232
Southern Management Association; http://jom.sagepub.com/ [online
:
Sunday, October 08, 2006, 4:52:02 PM]

Rosmiani, (1996); Etos Kerja Nelayan Muslim Di Desa Paluh Sebaji Deli Serdang
Sumatera Utara; Hubungan Antara Kualitas Keagamaan dengan Etos
Kerja; Thesis; Kerjasama Program Pascasarjana Institut Agama Islam
Negeri Jakarta & Pascasarjana UI Jakarta.

Hubungan Antara Organization-Based Self-Esteem Dengan Etos Kerja, 2009


USU e-Repository 2009

24

Wills, Mike., (1993); Managing The Training Process; putting the basic into
practice; McGraw Hill, Great Britain
Siagian, Prof. Dr. Sondang P., (1995); Teori Motivasi Dan Aplikasinya; PT.
Rineka Cipta, Jakarta
Sinamo, Jansen., (2005); Delapan Etos Kerja Profesional; Navigator Anda
Menuju Sukses; Grafika Mardi Yuana, Bogor.
Tan Kim Sek (2003); Organizational Socializational Tactics And Organizational
Based Self-Esteem; Thesis Submitted In Fulfillment Of The
Requirements For The Degree Of Doctor Of Philosophy.
Tang, Thomas Li-Ping; Gilbert, Pamela Rae. (1992); Organization-Based Self
Esteem among Mental Health Workers: A Replication and Extension;
Research Reports; http://eric.ed.gov/ERICWebPortal/ [online : Wednesday,
October 11, 006, 4:59:48 PM]
Weber, Max. (1958); The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. Translated by
Talcott Parsons. Charles Scribner's Sons, New York.

Hubungan Antara Organization-Based Self-Esteem Dengan Etos Kerja, 2009


USU e-Repository 2009

25

Anda mungkin juga menyukai