Anda di halaman 1dari 6

Social Security:

Di Indonesia disebut sebagai jaminan hari tua yang menyediakan pendapatan


pendukung (support income) bagi para orang tua. Dana social security
diperoleh dari premi yang dibayarkan para pekerja berupa pajak FICA yang
besarnya 6,2% dan kepada majikan 6,2%. Apabila majikan berperan sebagai
pekerja juga, maka pajak yang dibayarkan sebesar 12,4%.
Social security adalah bentuk redistribution income dari antar generasi. Dalam
suatu tulisan dibuat simulasi redistribution income yang melibatkan 3
generasi. Dari tulisan ini dapat diambil kesimpulan: pertama pensiunan
generasi paling awal adalah sebagai pemenang utama karena mereka telah
bekerja selama 24 tahun tanpa membayar premi dan pada saat pensiun
mereka mendapat social security. Pendanaan social security bukan hanya
tergantung dari jumlah populasi orang bekerja dan jumlah gaji mereka,
melainkan juga peningkatan tarif pajak. Pada awal social security dilakukan,
pajak hanya dikenakan 2%, sedangkan sekarang sudah mencapai 12,4%.
Berikut ini adalah contoh-contoh redistribution income dalam social
security.:
a) Wanita akan memperoleh jumlah benefit yang lebih besar dibanding pria,
karena wanita umumnya hidup lebih lama dibanding pria
b) Pasangan yang menikah akan memperoleh jumlah benefit yang lebih besar
dibanding yang tidak menikah karena pasangan dari pekerja tadi memperoleh
50% benefit.
c) Pasangan yang kedua-duanya bekerja semua akan memperoleh benefit
yang lebih kecil dibanding yang hanya salah satu saja yang bekerja karena
kedua pasangan yang bekerja akan membayar premi yang lebih besar
sedangkan benefit yang nanti diperoleh tetap sama dengan yang pasangan
yang salah satunya saja yang bekerja.
d) Benefit yang diperoleh orang miskin dibanding yang kaya secara hitungan
ukuran pendapatan memang lebih besar dibanding orang miskin, namun
dalam hal pendapatan keseluruhan, lebih besar yang diperoleh orang kaya
karena umur mereka lebih panjang dibanding orang miskin sehingga
memperoleh aliran dana lebih banyak
Alasan kenapa pemerintah terlibat dalam social security:
a) Adanya kegagalan pasar dalam pasar anuitas. Anuitas murni adalah
apabila seseorang menabung dan terkumpul dalam jumlah tertentu, kemudian
dana tersebut diberikan kepada nasabah secara bertahap sampai dana yang
terkumpul tersebut habis. Dalam kenyataannya, anuitas ini menghadapi
ketidakpastian umur nasabah. Bila nasabah meninggal lebih awal, maka ada
kemungkinan dana yang diterima lebih sedikit dari jumlah yang terkumpul.

Bila nasabah hidup lebih lama, ada kemungkinan dana yang diterima lebih
banyak dari yang terkumpul
b) Adverse selection juga dapat menyebabkan kegagalan pasar, dimana
pihak yang menjaminkan lebih mengetahui keadaan dirinya dibanding
perusahaan asuransi, sehingga pihak asuransi enggan menjual anuitas
disebabkan ketakutan apabila yang membeli asuransi mereka adalah orang
yang memiliki kemungkinan hidup panjang.
c) Paternalism, yaitu pemerintah yakin bahwa masyarakatnya pasti tidak mau
menabung untuk pensiun mereka.
Langkah yang dicoba dalam mengamankan Social Security:
a) Menaikkan tarif pajak: apabila pajak dinaikkan dari 12,4 % menjadi 14,9%,
ini dapat mengatasi masalah keuangan sampai 75 tahun ke depan. Apabila
ditambah lagi 3,9%, maka ini akan mengatasai masalah keuangan
selamanya.
b) Memperluas jenis penghasilan yang dikenakan pajak: yaitu para pekerja
dari state dan local government agar dimasukkan juga ke dalam sistem Social
Security
c) Menaikkan tahun pensiun:
d) Menurunkan jumlah benefits yang diterima para pensiunan
e) Mengurangi jumlah benefits yang diterima para pensiunan dari kelompok
penerima pendapatan
kenapa pemerintah terlibat dalam social security:
a) menginvetasikan dana pensiun ke dalam pasar modal : pasar modal
adalah pasar berisiko, semakin besar risiko, makin besar pula kemungkinan
untung yang dapat diperoleh. Dana social security umumnya berasal dari
anak muda yang masih jauh untuk menerima pengembalian, oleh karena itu
sangat cocok dengan karateristik pasar modal yaitu investasi jangka panjang.
Permasalahannya dengan langkah ini adalah (1) dana ini ternyata juga
digunakan politisi untuk membiayai proyek pemerintah lainnya; (2)
jumlah dana yang besar yang dimiliiki pemerintah ini apabila
dimasukkan dalam pasar modal dapat membuat pengaruh besar
terhadap pasar modal, dan akan terjadi politik dalam pasar modal karena
keputusan dana tersebut tetap saja dipegang oleh politisi. Artinya, apabila ada
politisi yang senang rokok, maka akan digunakan
untuk membeli saham rokok sehingga harga saham rokok naik
b) privatization: yaitu dana tiap-tiap orang dibuatkan akunnya sehingga
dapat dikendalikan sendiri-sendiri. Permasalahannya dengan langkah ini
adalah dana untuk mendanai para pensiunan tidak ada karena dana dari para
pekerja sekarang telah dikunci untuk para pekerja tersebut masing-masing.

Tax Incidence:
merupakan respon dari pasar atas pengenaan pajak terhadap pihak tertentu
(produsen atau konsumen) dan respon ini berupa siapa yang harus
menanggung pajak pada akhirnya. Dampak ekonomi dari tax incidence dapat
digambarkan dalam 3 aturan, yaitu
a) Pihak yang menurut UU dikenakan pajak tidak memperlihatkan siapa yang
sebenarnya menanggung pajak. Pihak yang menurut UU dikenakan pajak
adalah pihak yang harus menyetorkan pajak ke pemerintah, misalnya suatu
pajak menurut UU dikenakan kepada produsen bensin, maka pihak yang
harus menyetorkan pajak adalah para produsen bensin paling awal. Ketika
pajak ini dikenakan pada pasar kompetitif, pasar akan merespon pajak
tersebut melalui pembentukan harga pasar baru. Berdasarkan harga pasar
baru akan terlihat beban pajak yang harus ditanggung konsumen dan
produsen.
b) Sisi pasar yang terkena pajak tidak menentukan distribusi beban pajak
tersebut. Distribusi beban pajak tetap meskipun sisi pasar yang terkena pajak
diubah. Para pakar ekonomi membuktikannya dengan memperhatikan gross
price dan after-tax prices. Gross price adalah harga yang diterima atau
dibayar oleh pihak yang tidak menyetorkan pajak ke pemerintah (bukan
statutory incidence) sedangkan after-tax prices adalah harga yang diterima
atau dibayar oleh pihak yang menyetorkan pajak ke pemerintah. Dalam
contoh, ketika statutory incidence adalah produsen maka gross price yang
terjadi (yang diterima konsumen) adalah $1,8, sedangkan after tax price
(yang diterima/diperoleh produsen) adalah $1,3 yaitu $1,8 pajak $0,5.
Ketika statutory incidence adalah konsumen maka gross price yang terjadi
(yang diterima produsen) adalah $1,3, sedangkan after tax price (yang
diterima/diperoleh konsumen) juga $1,8 yaitu $1,3 + pajak $0,5. Terlihat
bahwa harga yang diterima konsumen tetap sama, yaitu $1,8, yang
menunjukkan distribusi beban pajak tidak berubah baik ketika statutory
incidence pihak produsen maupun ketika statutory incidence pihak konsumen.
c) Pihak yang memiliki permintaan atau penawaran bersifat inelastis akan
menanggung pajak, pihak yang memiliki permintaan atau penawaran bersifat
elastis akan terhindar pajak. Permintaan suatu barang adalah elastis jika
elastisitas harganya lebih besar dari 1, biasanya pada barang-barang yang
banyak atau mudah untuk mendapatkan subtitusinya. Restauran cepat saji
menyajikan barang yang memiliki elastisitas besar, oleh karena itu apabila
dikenakan pajak, pihak restauran akan menyerap pajak tersebut seluruhnya
dan konsummen dapat terhindar pajak (karena permintaan konsumen
terhadap makanan cepat saji adalah elastis). Bila tetap alihkan pajak kepada
konsumen, maka konsumen akan dapat menggantinya dengan makanan lain
karena substitusi makanan junk food sangat banyak dan mudah diperoleh.
Untuk barang yang memiliki elastisitas inelastis, misalnya insulin, apabila
barang tersebut dikenakan pajak, maka mudah saja bagi produsen untuk
menggeser pajaknya ke konsumen karena permintaan insulin bersifat

inelastis. Tidak ada barang substitusi dari insulin atau tidak mudah untuk
mendapatkan barang substiutsi tersebut. Untuk penawaran yang bersifat
elastis misalnya adalah pada produsen yang tidak memerlukan setting faktorfaktor produksinya dengan biaya yang besar misalnya para pedagang kaki
lima. Bila para pedagang kaki lima dikenakan pajak, maka para pedagang
tersebut bisa segera mengubah setting faktor-faktor produksinya ke bentuk
lain sehingga terhindar dari terkena pajak. Sebailknya, untuk penawaran yang
bersifat inelastis misalnya adalah pada produsen yang memerlukan setting
faktor-faktor produksinya dengan biaya yang besar, apabila dikenakan pajak,
maka produsen tersebut akan terpaksa menyerap pajak tersebut karena bila
tidak akan mengakibatkan biaya yang lebih besar lagi terkait mengubah
faktor-faktor produksi atau mengurangi jumlah produksinya.

Tax Inefficiencies:
Bila pada tax incidence berfokus perubahan yang terjadi pada harga pasar
sehingga terlihat pihak yang terkena beban pajak pada akhirnya (dengan kata
lain, harga pasar sebagai media menggeser beban pajak kepada pihak lain),
pada tax inefficiencies berfokus pada perubahan yang terjadi pada kuantitas
ekuilibrium yang disebabkan adanya pajak pada suatu barang.
Perubahan kuantitas ini akan menyebabkan dead weight loss (DWL), yaitu
jumlah kuantitas yang tidak jadi di produksi dan akhirnya tidak dapat
dikonsumsi masyarakat untuk memaksimalkan kesejahteraan sosial mereka.
DWL inilah yang disebut sebagai Tax Inefficiencies.
Mengingat kembali peraturan kedua pada tax incidence, bahwa sisi pasar
yang dikenakan pajak tidak mengubah distribusi beban pajak yang terjadi,
dimana harga pasar yang terjadi memang berbeda (pada saat statutory
incidence adalah produsen, maka harga pasar adalah $1,8 sedangkan pada
saat statutory incidence adalah konsumen, maka harga pasar adalah $1,3)
namun kuantitas yang disediakan tetap sama yaitu 90, maka peraturan pada
tax inefficiencies juga sama bahwa sisi pasar yang dikenakan pajak tidak
mengubah besar tax inefficiencies (DWL) yang terjadi.
Besarnya DWL tergantung dari elastisitas. Apabila suatu permintaan bersifat
elasitis, maka besarnya DWL akan lebih besar dibanding pada permintaan
yang bersifat inelasitis ketika dikenakan pajak. Dengan kata lain, makin besar
elastisitas permintaan atau penawaran, makin besar DWL yang dihasilkan
apabila dikenakan pajak.
Dalam formula untuk menentukan besar DWL terlihat bahwa:
a) DWL akan semakin besar seiring semakin besarnya elastisitas
penawaran/permintaan. Makin banyak atau makin mudah diperoleh barang
substitusi, semakin besar DWL yang dihasilkan dengan mengganti barang
yang dikenakan pajak dengan barang substitusi. Artinya, elastisitas yang
diigunakan disini adalah terkait dampak substitusi saja.
b) DWL akan semakin besar seiring semakin besar kenaikan tarif pajak.

Hubungan DWL dengan sistem pemajakan yang efisien:


a) DWL akan semakin besar ketika sudah terjadi sebelumnya distorsi pasar
pada barang yang dikenakan pajak, yang disebabkan oleh misalnya
ekstrenalitas, persaingan yang tidak sempurna, atau pajak yang sudah ada.
b) Sistem pajak progresif akan membuat DWL lebih besar dibanding sistem
pajak proporsional. Artinya seharusnya pemerintah menciptakan dasar
pemajakan dan yang pihak yang dipajaki yang luas ketimbang hanya
membatasi kepada dasar pemajakan dan pihak yang dipajaki tertentu saja
dengan mengabaikan dasar pemajakan dan pihak yang dipajaki yang lain
c) Pemerintah seharusnya meratakan tarif pajak sepanjang waktu. Artinya
pemerintah sebaiknya untuk memenuhi kebutuhan dananya dengan
menetapkan tarip pajak untuk jangka panjang, bukan untuk jangka pendek.
Contohnya bila pemerintah ingin mendapatkan penerimaan pajak lebih besar
40%, sebaiknya menetapkan tarif pajak 20% untuk tahun pertama dan kedua
ketimbang mengenakan langsung 40% dalam tahun tersebut.

Pemajakan optimal dari komoditas:


Menggunakan Ramsey Rule, berikut adalah yang dapat diambil kesimpulan:
Marginal DWL dibagi Tambahan revenue yang diperoleh pemerintah harus
sama nilainya pada seluruh komoditas yang dikenakan pajak. Artinya, nilai
yang sama ini harus terus dicari sehingga marginal DWL dibagi tambahan
revenue yang diperoleh sama pada semua komoditas. Ramsey rule berbicara
tentang pengenaan pajak terhadap semua tingkat pemajakan yang optimal
ketika berbagai komoditas dikenakan pajak dalam rangka smooting pajak.
Pada prakteknya, tidak dibahas terkait nilai yang sama tersebut nilainya harus
berapa, sehingga Ramsey Rule biasanya digunakan dalam rangka menyusun
ulang tarif pajak sehingga biaya dan benefit dari pemajakan dapat digeser
sedemikian rupa dan diperoleh jumlah pendapatan yang diinginkan dan DWL
yang paling minimal. Terdapat 2 hal yang harus diseimbangkan ketika
menetapkan pajak komoditas yang optimal:
a) Aturan elastisitas: ketika elastisitas permintaan barang tersebut tinggi,
seharusnya barangg tersebut dikenakan tarif rendah, dan sebaliknya.
b) Aturan dasar pemajakan yang luas: adalah lebih efisien bila mengenakan
pajak terhadap sejumlah besar jenis barang sehingga tarif nya lebih rendah
dibanding menngenakan terhadap satu jenis barang dengan tarif yang tinggi
untuk memenuhi target pajak yang ingin dicapai. Dengan kata lain,
seharusnya pemerintah mengenakan pajak dengan menyebarnya kepada
sejumlah besar jenis barang sehingga mendapatkan tarif pajak yang lebih
rendah ketimbang mengenakannya kepada satu jenis barang dan harus
mengenakan pajak yang lebih tinggi disebabkan untuk mengejar target pajak
yang ingin dicapai.
Menyeimbangkan kedua aturan ini, pemerintah seharusnya mengenakan
pajak yang tinggi untuk barang dengan elastisitas yang rendah (inelastis),

namun juga jangan langsung dengan tarif yang sangat tinggi meskipun
barang tersebut memiliki sifat inelastis sempurna, melainkan melakukan
penyebaran pajak kepada barang yang lainnya dalam rangka memperoleh
target penerimaan pajak yang diinginkan.

Anda mungkin juga menyukai