Anda di halaman 1dari 18

HUKUM MEWAKAFKAN POLIS ASURANSI

Jaih Mubarok dan Hasanudin


(BPH DSN-MUI)
Abstract:

Abstrak: Kajian wakaf polis dilakukan dengan tiga domain: 1) domain ilmu
perasuransian; 2)

domain teori wakaf; dan 3) domain teori wasiat. Tiga

domain kajian ini diharapkan dapat membantu mencari solusi atas ide dan
gerakan wakaf polis di Indonesia dari segi syariah. Tiga domain kajian yang
dilakukan dalam rangka mencari kejalasan hukum wakaf polis asuransi dari
segi syariah memperlihatkan setidaknya dua topik, yaitu Pertama, dalam
asuransi terdapat unsur khusus, yaitu kemashlahatan. Kedua, obyek wakaf
harus sudah menjadi milik wakif pada saat akad wakaf diikrarkan/ditulis; dan
musha bih (obyek wasiat) harus sudah menjadi milik Mushi (yang berwasiat)
pada saat akad wasiat diikrarkan/ditulis atau pada saat wasiat nafdaz
(efektif), yaitu Mushi meninggal dunia.
Kata Kunci: Waqaf, asuransi, wasiat, polis, syariah.
pandang;
Kajian

dari

Segi

al-Tamin

yaitu

sudut

pandang

ekonomi, hukum, bisnis, sosial, dan

(Asuransi)

matematika. Rincian sudut pandang

Arti dan Substansi Asuransi

tersebut adalah:

Asuransi dijelaskan oleh para


pakar setidaknya dari lima segi/sudut

1;

Asuransi
ekonomi

dalam

pandangan

merupakan

suatu

metode untuk mengurangi risiko

sosial

dengan cara memindahkan dan

pemindahan

mengkombinasikan

mengumpulkan

ketidakpastian

akan

adanya

Asuransi

dari

hukum

sudut

(anggota)

pertanggungan

5;

risiko

tertanggung

antara
dengan

penanggung.
3;

dari

sudut

pandang

binsis

merupakan

sebuah

perusahaan

yang

(yang

untuk

membayar

Asuransi

dari

sudut

pandang

matematika merupakan aplikasi


matematika

dalam
biaya

dan

faedah pertanggungan risiko.1


Definisi

asuransi

yang

usaha

dikemukakan pakarnya menunjukkan

menerima/menjual

segi-segi dan secara tidak langsung

jasa yang berupa pemindahan

juga menunjukkan instrumen yang

risiko

digunakan

utamanya
dari

pihak

lain,

dan

dalam

perasuransian,

berbagi risiko (sharing of risk) di

hendak

antara

sendiri. Manausia, dalam hidupnya

sejumlah

besar

Operasionalnya,

dicapai

termasuk

asuransi juga diartikan sebagai

dapat

industri

dengan)

(IKNB)

keuangan
yang

nonbank

serta

bisnis

memperoleh keuntungan dengan

nasabahnya.

dari

dalam

lepas

dari

risiko.

tujuan

yang

asuransi

berbisnis
(baca:

Dalam

itu

tidak

melekat

pengertian

kegitannya

yang umum dalam bisnis berbasis

menghimpun dana berupa premi

syariah, terdapat risiko yang bersifat

dari

peserta

diinvestasikan

yang

kemudian

khusus, yaitu risiko syariah (antara

dalam

berbagai

lain pelaku usaha [baca: industri

kegiatan bisnis.
4;

dana

memperhitungkan

Asuransi

dengan

pada masing-masing anggota.

suatu

kontrak/perjanjian

risiko

kerugian yang mungkin terjadi

pandang

merupakan

menerima

berupa premi) dari masyarakat

kerugian keuangan/finansial.
2;

yang

Asuransi
sosial

dari

syariah]
sudut

merupakan

pandang
organisasi

terjebak pada transaksi

yang bersifat maisir, gharar, dan


1Herman Darmawi, Manajemen
Asuransi (Jakarta: Bumi Aksara. 2000),
hlm. 2-3.

riba).2 Risiko ini dapat dikelompokkan

samping itu, asuransi secara bahasa

sebagai

(baca:

dipandang semakna dengan kata al-

hukum[baca:

takafuli (saling menolong [baca: al-

ketentuan

taawuni]) dan al-tadhamun (saling

risiko

hukum

pelanggaran
pelanggaran
syariah])
reputasi

terhadap

dan

sekaligus

(rusaknya

citra

risiko
industri

melindungi/menjamin).
Dalam

fatwa

DSN-MUI,

arti

syariah karena opini publik yang

asuransi secara terminologis adalah

disebabkan pelanggaran syariah). Di

usaha saling melindungi dan tolong-

samping itu, risiko ini lebih bersifat

menolong

operasional

pula

orang/pihak melalui investasi dalam

risiko

bentuk aset dan/atau tabarru yang

sehingga

dikelompokkan

layak

sebagai

di

antara

operasional (karena proses internal,

memberikan

sumber daya insani, dan sistem),

untuk

yang mana pada umumnya tidak

melalui akad/perikatan yang sesuai

dapat diasuransikan.
Asuransi

dalam

pola

sejumlah

menghadapi

pengembalian
risiko

tertentu

dengan syariah,5 yaitu akad yang


Bahasa

Arab

tidak

mengandung

gharar

disebut al-tamin dan al-takaful. Arti

(ketidakjelasan), maysir (perjudian),

al-tamin secara etimologis bersifat

riba, zhulm (aniaya), risywah (suap),

derivatif: aman (al-amnu) percaya

barang haram dan maksiat;6 dan

(al-iman),

akad yang dioperasikan adalah akad

dipercaya

terpercaya/dapat
(al-amin/amanah),

dan

tenang (al-thumaninah); oleh karena


itu, al-tamin secara bahasa berarti
tenang, yakni terhindar dari takut
(ithmaana

wa

lam

yakhaf).

Di

2Lihat antara lain Rafiq Yunus al-Mishri,


Buhuts fi al-Iqtishad al-Islami
(Damaskus: Dar al-Maktabi. 2009), hlm.
103-105; dan 113-120.
3Lihat BSMR, Workbook: Tingkat 1
(Jakarta: BSMR. 2008), hlm. 3-34.
4Ali Muhy al-Din al-Qurah Daghi, alTamin al-Islami: Dirasah Fiqhiyyah
Tashiliyyah muqaranat(an) bi al-Tamin
al-Tijari maa Tathbiqat al-Amaliyyah

tabarru

dan

akad

tijarah/muawadhat.
Secara

substantif,

pegaturan

asuransi baik yang dilakukan dalam


KUH Perdata maupun dalam syariah
(Beirut: Syirkar Dar al-Bsyair alIslamiyyah. 2005), hlm. 15.
5Fatwa DSN-MUI Nomor: 21/DSNMUI/X/2001 tentang Pedoman Umum
Asuransi Syariah, ketentuan umum,
angka 1.
6Fatwa DSN-MUI Nomor: 21/DSNMUI/X/2001 tentang Pedoman Umum
Asuransi Syariah, ketentuan umum,
angka 2.

(hukum tidak tertulis yang berupa

meskipun secara substansi

fatwa DSN), dan dari lima sudut

mengerucut pada persoalan yang

pandang asuransi (yaitu dari sudut

relatif sama, yaitu kemungkinan

pandang ekonomi,

terjadinya beban keuangan karena

sosial,

dan

hukum, bisnis,

matematika),

terlihat

bahwa asuransi tidak lepas dari risiko


yang

risiko tertentu.
1;

dijamin/dipertanggungkan.

Nitisusastro
asuransi
transfer

menegaskan

identik
risiko

dari

timbulnya kerugian (risk is the


chance of loss);8 dalam statistik,

bahwa

dengan
pihak

Risiko merupakan kesempatan

ihwal

kata chance (kesempatan)

yang

diartikan sebagai sesuatu yang

memiliki harta benda (property) dan

menunjukkan tingkat probabilitas

tanggungjawab kepada pihak ketiga

(kebolehjadian) akan terjadinya

(liability), kepada pihak lain (insurer)

peristiwa tertentu; oleh karena

yang bidang usahanya bergerak di

itu, chance of loss diartikan

bidang

sebagai kemungkinan akan

pengelolaan

perusahaan
itu,

secara

risiko,

yaitu

asuransi. Oleh karena


konseptual

ulama

menjelaskan asuransi dihubungkan


dengan mashlahat (baca: manfaat)
yang

berupa

upaya

menangani/menanggulangi/
mengurangi

risiko

yang

mungkin

terjadi di masa yang akan datang.


Risiko dan Motivasi Berasuransi
Risiko (risk) dapat dimasukkan
sebagai inti pembahasan asuransi.
Oleh karena itu, pakar hukum bisnis
dan pakar ilmu bisnis menjelaskan
risiko dari berbagai pendekatan
7Mulyadi Nisusastro, Asuransi dan Usaha
Perasuransian di Indonesia (Bandung:
CV ALFABETA. 2013), hlm. 43.

terjadinya kerugian;
2;

Risiko merupakan ketidakpastian


(risk is uncertainty); dan

8Menurut Agus Prawoto (1995) dalam


bukunya, Hukum Asuransi dan
Kesehatan Perusahaan Asuarnsi, risiko
dalam industri asuransi diartikan dengan
arti yang sangat khusus dan sederhana;
risiko adalah uncertainty of financial loss
(kerugian yang tidak pasti); dengan
demikian, risiko, tegas Wardana, risiko
mempunyai dua unsur; yaitu
ketidakpastian dan kerugian
(uncertainty and loss). Lihat Kun Wahyu
Wardana, Hukum Asuransi: Proteksi
Kecelekaan Transportasi (Bandung: CV
Mandar Maju. 2009), hlm. 15-16. Risiko
juga didefinisikan sebagai kemungkinan
timbulnya kerugian (risk is the
probability of loss). Ferdinand Silalahi,
Manajemen Risiko dan Asuransi
(Jakarta: PT Gramedia Putra Utama.
1997), hlm. 4-6.

3;

Risiko merupakan penyimpangan

menjelaskan bahwa risiko adalah: 1)

hasil aktual dari hasil yang

suatu kerugian yang tidak dapat

diharapkan (risk is dispersion of

diduga terlebih dahulu; dan 2)

actual from expected result). Dari

ketidakpastian yang dihadapi

tiga definisi tersebut, Silalahi

seseorang mengenai masa yang

menegaskan bahwa risiko adalah

akan datang.10 Di samping itu,

kemungkinan terjadinya akibat

Hartono pun mengutif pendapat H.

buruk/kerugian yang tidak

Gunanto yang menyatakan bahwa

diinginkan atau tidak terduga

risiko dalam ilmu asuransi dibedakan

yang antara lain disebabkan oleh

menjadi beberapa arti, yang intinya

jangka (baca: tenggat) waktu

adalah kemungkinan terjadinya

dan/atau keterbatasan informasi.

Hartono mengutif pendapat


Robert Riegel dan kawan-kawan yang
9Salim menjelaskan bahwa risiko adalah

ketidaktentuan (uncertainty) yang


mungkin melahirkan kerugian (loss).
Ketidaktentuan dibedakan menjadi tiga:
1) ketidaktentuan ekonomi (economic
uncertainty); yaitu kejadian yang timbul
karena perubahan sikap konsumen yang
disebabkan oleh perubahan selera,
minat konsumen, perubahan harga,
teknologi, atau didapatnya penemuan
baru; 2) ketidaktentuan yang
disebabkan oleh alam (uncertainty of
nature), misalnya kebakaran, badai,
topan, dan banjir; dan 3) ketidaktentuan
yang disebabkan oleh perilaku manusia
(human uncertainty), umpamanya
perang, pencurian, perampokan, dan
pembunuhan. Salim juga menegaskan
bahwa hanya ketidaktentuan karena
alam dan manusia yang bisa
diasuransikan, sedangkan
ketidaktentuan ekonomi tidak bisa
diasuransikan karena bersifat spekulatif
dan sulit diukur keparahannya
(severity). Lihat H. Abbas Salim,
Asuransi dan Manajemen Risiko (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada. 2005), hlm. 4.

kerugian atau bahaya: 1) pada benda


yang menjadi obyek bahaya, dan 2)
pada orang yang menjadi sasaran
pertanggungan. Oleh karena itu,
Hartono menegaskan bahwa risiko
adalah kemungkinan terjadinya
kerugian atau batalnya
seluruh/sebagian suatu keuntungan
yang semula diharapkan karena
suatu kejadian di luar kuasa manusia
atau karena perbuatan manusia lain.
Dengan definisi tersebut, Hartono
juga menambahkan bahwa unsur
risiko ada dua, yaitu ketidakpastian
dan kerugian.11
Dalam ilmu syariah dijelaskan
bahwa rukun asuransi (arkan aqd al10Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi
dan Perusahaan Asuransi (Jakarta: Sinar
Grafika. 2008), hlm. 70.
11Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi
dan Perusahaan Asuransi (Jakarta: Sinar
Grafika. 2008), hlm. 71.

tamin) adalah: 1) pihak-pihak yang

dialihkan antara lain dengan cara

berakad; 2) shighat (pernyataan

diasuransikan.13

kesanggupan untuk melakukan

Dari segi motivasinya,

asuransi [ijab] dan pernyataan

orang/pelaku usaha/perusahaan

penerimaan dari pihak lain [qabul]);

yang mengasuransikan suatu risiko

dan 3) mahal al-aqd (maqud alaih,

kepada perusahaan asuransi adalah

obyek akad). Obyek akadnya

untuk mengalihkan risiko (transfer of

mencakup tiga hal: 1) al-khathr

risk) atau membagi risiko dengan

(risiko [bahaya yang

pihak lain (share of risk). Oleh karena

dipertanggungkan]), 2) al-qisth

itu, tujuannya tidak untuk

(premi [premi pertanggungan]), dan

memperoleh keuntungan yang

3) mablagh (manfaat asuransi

kemudian diwakafkan (manfaat

[sejumlah ganti rugi

asuransi [mablagh] dijadikan obyek

pertanggungan]).

12

Untuk meraih kemashlahatan,

wakaf [mauquf bih]). Kemashlahatan


asuransi berarti terhindarnya peserta

manusia/pelaku usaha/perusahaan

asuransi dari kemungkinan

tidak dapat melepaskan diri dari

memperoleh kesulitan keuangan

risiko. Oleh karena itu, risiko perlu

karena even (kejadian) risiko

dianalisis dan dicarikan solusinya

tertentu.

untuk: 1) memperkecil risiko, 2)


mengalihkan risiko, 3) mengontrol

Prisnsip Perjanjian Asuransi dan

risiko, dan 4) pendanaan/

Sifat Pertanggungan

penyediaan dana risiko. Mengalihkan

Dalam pertaanggungan terdapat

risiko sebagai dijelaskan Irham Fahmi

dasar-dasar perjanjian yang harus

adalah risiko yang mungkin terjadi

diperhatikan, yaitu:
1.

12Ali Muhy al-Din al-Qurah Daghi, alTamin al-Islami: Dirasah Fiqhiyyah


Tashiliyyah muqaranat(an) bi al-Tamin
al-Tijari maa Tathbiqat al-Amaliyyah
(Beirut: Syirkar Dar al-Bsyair alIslamiyyah. 2005), hlm. 31-44; dan lihat
Muhammad Firdaus NH, dkk
(penyunting), Sistem Operasional
Asuransi Syariah (Jakarta: RENAISAN.
2005), hlm. 17.

Meeting of mind; perjanjian


asuransi yang dibuat harus
didasarkan atas persesuaian
paham di antara pihak-pihak
yang membuatnya. Benda yang

13Irham Fahmi, Manajemen Risiko: Teori,


Kasus, dan Solusi (Bandung: CV
ALFABETA. 2013), hlm. 6-7.

2.

dipertanggungkan harus

kepentingan umum, b) moral,

dicantumkan dalam polis

dan c) undang-undang.

asuransi dengan jelas/detail;

Sifat pertanggungan; asuransi

misalnya benda yang

mempunyai beberapa sifat dalam

diasuransikan adalah sebuah

pertanggungan, yaitu:

kapal serta muatannya;

1. Contribution contracts; yaitu

Cakap hukum; pihak-pihak

jumlah uang yang harus

yang membuat perjanjian

dibayarkan dalam perjanjian

asuransi harus cakap/mampu

asuransi tidak boleh sama

untuk melakukan perbuatan

besarnya dengan uang yang akan

hukum. Anak kecil, orang gila,

kita terima (misal: pembayaran

dan wanita yang berada dalam

premi tidak sama besarnya

masa pernikahan tidak boleh

dengan uang yang diterima

membuat perjanjian asuransi,

kembali apabila terjadi

kecuali wanita tersebut

penggantian kerugian/claim);

mendapat izin dari suaminya;


3.

2. Contract of adhesion; kontrak

Perjanjian asuransi harus

asuransi dibuat oleh pihak

memuat tujuan tertentu atau

perusahaan, dan tidak bisa tawar-

konsiderasi yang berguna agar

menawar mengenai isi kontrak

perjanjian berlaku. agar

tersebut; hak peserta adalah

perjanjian pertanggungan suatu

menerima isi kontrak (to take it);

milik dapat terlaksana harus


terdapat klausula: a)
perusahaan asuransi akan
membayar kerugian apabila
terjadi kerusakan atas hak milik
seseorang, dan b) tertanggung
akan membayar premi dalam
pertanggungan tersebut; dan isi
kontrak asuransi tidak boleh
bertentangan dengan: a)

H. Abbas Salim, Asuransi dan


Manajemen Risiko (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada. 2005), hlm. 163164. Sedangkan Darmawi menjelaskan
bahwa ketentuan umum kontrak
asuransi adalah: 1) harus ada
persetujuan dari pihak-pihak yang
mengikatkan diri; 2) tujuannya harus
legal/tidak bertentangan dengan politik
pemerintah; 3) kedua belah pihak harus
cakap hukum/kompeten; dan 4) harus
ada imbalan yang dipertukarkan. Lihat
Kun Wahyu Wardana, Hukum Asuransi:
Proteksi Kecelekaan
Transportasi(Bandung: CV Mandar Maju.
2009), hlm. 64-65.

berarti menjadi peserta asuransi,

keuntungan dengan cara curang

atau menolaknya; berarti tidak

dalam asuransi, misalnya

menjadi peserta asuransi;

merusak barang dengan sengaja

3. Unilateral contract; perjanjian

dengan tujuan agar memperoleh

asuransi merupakan kontrak

penggantian yang baru. Sifat

yang unilateral; yaitu perjanjian

kontrak ini melahirkan tiga

berlaku secara unilateral apabila

doktrin berikut: a) doctrine of

tertanggung telah membayar

insurable interest; pembeli

premi, dan perusahaan asuransi

asuransi berhak minta ganti

harus melunasi ganti kerugian

kerugian apabila benar-benar

atau apa yang dijanjikan;

terjadi kerugian; b) doctrine of

4. Syarat kondisi; yaitu apabila

limitation of recovery; terdapat

dalam kontrak terdapat klausula

jumlah maksimum yang dapat

yang menyatakan bahwa

diberikan sebagai penggantian

kerugian harus diberitahukan

kerugian; dan c) doctrine of

kepada pihak perusahaan

subgrogations; hak untuk

asuransi paling lambat satu hari

menagih terhadap pihak ketiga

setelah kejadian, maka pelaporan

dioper oleh perusahaan asuransi;

yang lewat waktu/terlambat akan

dan

mengakibatkan hilangnya hak


penggantian;
5. A contract uberrimac

7. Warranty; jaminan bahwa apa


yang diperjanjikan sekarang
betul-betul dipenuhi pada waktu

fidei/contract of utmost good-

yang akan datang.14

faith; yaitu kontrak harus dibuat

14Abbas Salim, Asuransi dan

secara jujur. Hal ini terutama


harus diperhatikan bagi asuransi
pengangkutan, karena
perusahaan asuransi tidak
mempunyai cukup waktu untuk
meneliti calon pembeli asuransi;
6. Contract of indemnity; yaitu
ketidakbolehan mencari

Manajemen Risiko (Jakarta: PT


RajaGrafindo Persada. 2005), hlm. 164166; dan lihat Kun Wahyu Wardana,
Hukum Asuransi: Proteksi Kecelekaan
Transportasi (Bandung: CV Mandar Maju.
2009), hlm. 66-71. Ali menjelaskan
bahwa ciri-ciri kontrak asuransi adalah:
1) kontrak bersifat untung-untungan; 2)
kontrak bersifat adhesi (tidak ada tawar
menawar isi kontrak, tapi tawarmenawar hanya berupa pilihan untuk
menerima atau menolak bagi calon
peserta); 3) kontrak bersifat

H. Mulyadi Nitisusastro

asuransi, maka tertanggung akan

menegaskan bahwa prinsip

mendapatkan ganti rugi sebesar

perjanjian asuransi adalah: 1) prinip

kerugian yang dideritanya. Ganti rugi

itikad baik (the utmost good faith), 2)

tersebut antara lain berupa: 1)

prinsip adanya kepentingan

membayarkan secara tunai atas

(insurable interest), 3) prinsip ganti

jumlah kerugian yang diderita; 2)

rugi seimbang (principle of

memperbaiki obyek pertanggungan

indemnity), 4) prinsip subrogasi

yang mengalami kerusakan; 3)

(subrogation), 5) prinsip kontribusi

mengganti dengan lain yang

(contribution), dan 5) prinsip

kualitas/kuantitasnya sama; dan/atau

mengikuti nasib penanggung (follow


the fortune of the ceding company).

15

Dalam menguraikan prinsip ganti

4) membangun kembali obyek


pertanggungan yang rusak.16
Terkait dengan motivasi

rugi seimbang (principle of

orang/pihak/perusahaan berasuransi,

indemnity), Nitisusastro menjelaskan

dan prinsip indemnity;

bahwa apabila tertanggung

(ketidakbolehan mencari keuntungan

menderita suatu kerugian financial

dengan cara curang dalam asuransi),

yang disebabkan oleh even (kejadian

yang melahirkan tiga doktrin: 1)

yang benar-benar terjadi atas) risiko

doctrine of insurable interest, 2)

tertentu yang dijamin perusahaan

doctrine of limitation of recovery,

unilateral/sepihak; pertukaran antara


tindakan (yang berupa pembayaran
premi) dengan suatu janji pelaksanaan
(performance); 4) kontrak bersyarat
(conditional); 5) sepenuhnya
berdasarkan kepercayaan (bonafide
contracts, good-faith contracts); 6)
kontrak bersifat pribadi (pilihan bagi
pihak-pihak untuk bersepakat
melakukan kontrak atau tidak); dan 7)
prinsip ganti rugi (principle of
indemnity). Lihat A. Hasymi Ali,
Pengantar Asuransi (Jakarta: Bumi
Aksara. 2002), hlm. 103-109.
15H. Mulyadi Nitisusastro, Asuransi dan
Usaha Perasuransian di Indonesia
(Bandung: CV ALFABETA. 2013), hlm.
67-75.

dan 3) doctrine of subgrogations,


maka mengasuransikan polis
asuransi tidak sejalan dengan prinsip
ini. Meskipun demikian, prinsip ini
hanya berlaku untuk asuransi
kerugian (terukur jumlah
kerugiannya) sementara untuk
asuransi jiwa (kematian) tidak dapat
diterapkan.
16H. Mulyadi Nitisusastro, Asuransi dan
Usaha Perasuransian di Indonesia
(Bandung: CV ALFABETA. 2013), hlm.
69.

menjelaskan bahwa syarat-syarat


Kajian dari

Segi

Sifat Tamlik-

Wakaf

obyek wakaf adalah:


1;

Teori wakaf mencakup rukun dan

Harta yang diwakafkan harus


harta yang berharga/bernilai

syarat wakaf. Wakaf merupakan

secara syariah (mal

ibadah maliyah yang unik karena

mutaqawwam); oleh karena itu,

rukunnya berbeda dengan ibadah

tidak sah wakaf atas harta yang

maliyah lainnya (antara lain hibah

tidak bernilai secara syariah (

dan hadiah); dalam wakaf terdapat

) antara

lima rukun: 1) waqif (wakif, pihak

lain harta haram dan/atau tidak

yang mewakafkan hartanya); 2)

boleh dimiliki secara individu;

mauquf alaih (nadzir, pihak yang


mengelola dan menginvestasikan

2;

harta yang sudah jelas dan

benda/harta wakaf); 3) mauquf bih

terukur (malum[an]) (

(mauquf, obyek wakaf); dan 4)

;)

shighat (pernyataan kehendak [ijab]


untuk wakaf). Sementara yang

Harta yang diwakafkan harus

3;

Harta yang diwakafkan harus

terakhir, yaitu 5) mauquf lah (pihak

harta yang sudah menjadi milik

penerima manfaat wakaf) pada

wakif yang sempurna (milk[an]

umumnya ulama (jumhur) tidak

tam[an]) pada saat akad wakaf

menjadikannya sebagai rukun.

dilakukan (

Di antara rukun tersebut, rukun


yang relevan (baca: penting) untuk
dikaji adalah mengenai syarat-syarat
mauquf bih (mauquf, obyek wakaf).
Dalam kitab al-Fiqh al-Islami bi alAdillah, wahbah al-Zuhaili

;)
4;

Harta yang diwakafkan harus


harta yang sudah jelas dalam arti
bukan harta yang masih harus
dibagi karena terdapat hak milik
pihak lain (
).

Ali Fikri, al-Muamat al-Madiyah wa alAdabiyah (Mesir: Mushthafa al-Babi alHalabi. 1938), vol. II, hlm. 307; dan
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami bi alAdillah (Damaskus: Dar al-Fikr. 2006),
vol. X, hlm. 7605-7606.

Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami bi alAdillah (Damaskus: Dar al-Fikr. 2006),


vol. X, hlm. 7634-7636.

Dari segi syarat-syarat obyek

2;

Karena manfaat asuransi (yang

wakaf (mauquf bih), terlihat bahwa

tidak terdapat unsur saving)

wakaf polis asuransi yang dilakukan

belum menjadi milik wakif yang

oleh peserta asuransi tidak

sempurna pada saat akad

memenuhi syarat; karena:

dilakukan (baru bersifat potensi),

1;

maka akad wakaf tersebut

Akad wakaf bersifat lazim

termasuk yang tidak diketahui

(terutama dalam pandangan

(tidak jelas/jahalah [gharar]), dan

jumhur ulama) yang berarti

tentu saja tidak dapat diketahui

terjadi kepindahan/pengalihan

kualitas dan kuantitasnya serta

kepemilikan obyek wakaf (intiqal

batas-batasnya (tidak mufarraz);

al-milkiyah) dari milik wakif


menjadi milik umum; oleh karena

3;

Kiranya wakaf polis asuransi yang

itu, merupakan keharusan bagi

bersifat tabungan (unsur saving)

ulama untuk menetapkan syarat

dapat dikategorikan sebagai

bahwa obyek wakaf sudah

wakaf yang terpenuhi syarat-

menjadi milik wakif secara

syarat obyeknya; karena dalam

sempurna pada saat akad wakaf

asuransi tersebut terdapat milik

dilakukan/diikrarkan baik secara

wakif (peserta asuransi) yang

lisan maupun secara tertulis; dan

bersifat sempurna, termasuk

wakif tidak boleh mewakafkan

pertambahannya/ikutannya, yaitu

benda/harta milik orang lain atau

bagi hasil atas usaha yang

barang yang bukan/belum

dilakukan perusahaan.

menjadi miliknya. Dalam asuransi


jiwa misalnya, manfaat asuransi
yang diterima oleh keluarga
(isteri dan anak-anak yang
meninggal) bukan milik yang
meninggal, tetapi milik ahli
warsinya sebagai tirkah/harta
peninggalan; dan

Kajian dari

Segi

Sifat Tamlik-

Wasiat
Kajian mengenai wakaf polis dari
segi wasiat perlu dilakukan karena
ada sebagian pakar yang
mengajukan/mengemukakan konsep
wakaf wasiat. Dalam hukum positif

Indonesia diakui adanya wakaf

penjelasan

wasiat.

dengan pertanyaan: apakah boleh

Salah satu topik fikih muamalah

itu

kemudian

diikuti

wasiat dengan setengah dari harta

yang berhubungan dengan wakaf

yang akan menjadi tirkah? Nabi Saw.

adalah wasiat. Muhammad

bersabda

Mushthafa Syalabi menulis buku

harta dari yang akan ditinggalkan

yang membahas mengenai wakaf

terlalu

dan wasiat. Dalam pengantar buku

sepertiga?

tersebut dijelaskan bahwa materi

berikutnya.

wakaf dan wasiat disajikan pada

sepertiga pun masih terlalu banyak

mahasiswa di Fakultas Hukum

atau terlalu besar. Amir Ibn Said

(kuliyyat al-Huquq) Universitas

kemudian

Iskandariyah.

17

adalah

maengenai

jumlah

maksimal harta yang diwasiatkan.


Secara

praktis,

berhubungan

wasiat

dengan

Abu

Saw.

kalau
Said

bersabda:

menjelaskan

bahwa

hartanya;

sejumlah

itu

boleh mereka lakukan.


Dalam Undang-Undang Nomor

pembagian

cara wakaf dengan wasiat: 1) wasiat


cara lisan; dan

2) wasiat untuk

wakaf boleh juga dilakukan secara

dijelaskan bahwa wasiat tidak boleh

tertulis. Wasiat untuk wakaf baik

lebih dari sepertiga (33,3%) dari

dengan cara lisan maupun tertulis

keseluruhan harta yang ditinggalkan

harus disaksikan oleh dua orang

oleh

saksi yang memenuhi syarat; syarat-

meninggal

ahli

untuk wakaf boleh dilakukan dengan

hadis

yang

ulama

sepertiga

41 Tahun 2004 ditetapkan mengenai

Dalam hadis yang diriwayatkan


sejumlah

Bagaimana

Pertanyaan
Nabi

setengah

juga

harta pusaka (al-tirkah, al-mawruts).


oleh

banyak.

wasiat

orang-orang (mukmin) mewasiatkan

Salah satu topik penting dalam


wasiat

bahwa

(sekaligus

pihak yang mewasiatkan). Abu Said

syarat

saksi

wasiat

(bapak dari Amir Ibn Said) ketika

adalah:

sedang sakit menjelaskan kepada

Islam; 3) berakal sehat; dan 4) tidak

1) dewasa;

untuk

wakaf

2) beragama

Nabi Saw. bahwa ia mempunyai anak


perempuan

satu-satunya;

dan

17Muhammad Mushthafa Syalabi,


Muhadharat fi al-Waqf wa al-Washiyyat
(Mesir: Dar al-Talif. 1957).

Abi Abd Allah Muhammad Ibn Ismail Ibn


Ibrahim Ibn al-Mugirah Ibn Bardazabah
al-Bukhari al-Jafi, Shahih al-Bukhari
(Indonesia: Dar Ihya al-Kutub
al-Arabiyyah. 1981), juz III, hlm. 187.

terhalang
hukum.

melakukan

perbauatan

18

wasiat adalah waktu pelaksanaan


wasiat:

Ketentuan
berkenaan

kedua

dengan

yang

wakaf

melalui

Pertama,

wakaf

melalui

wasiat dilaksanakan oleh penerima


wasiat

setelah

pihak

dunia;20

wasiat adalah menyangkut jumlah

mewasiatkan

harta

untuk

kedua, penerima wasiat bertindak

diwakafkan. Dalam UU Nomor 41

sebagai kuasa wakif;21 dan ketiga,

Tahun 2004 ditetapkan bahwa harta

wakaf dengan wasiat dilakukan (ikrar

benda

diwakafkan

dan pendaftarannya) sesuai dengan

dengan wasiat paling banyak 1/3

tata cara perwakafan yang diatur

(satu

dalam

yang

diwasiatkan

wakaf
pertiga)

yang
dari

jumlah

harta

warisan setelah dikurangi dengan


utang

pewasiat,

kecuali

dengan

persetujuan seluruh ahli waris.


Dalam
jumlah

ketentuan

harta

melalui

yang

diwakafkan

diwakafkan

terdapat

yaitu

melalui

peraturan

perundang-

22

Dalam Undang-Undang Nomor


41 Tahun 2004 tentang Wakaf telah

mengenai

wasiat

pengecualian;

19

undangan.

meninggal

yang

diantisipasi mengenai kemungkinan


adanya pengingkaran atau
pembangkangan wasiat yang

harta

yang

dilakukan oleh pihak penerima

wasiat

paling

wasiat. Dalam mengantisiapsi

banyak sepertiga dari jumlah harta

pembangkangan yang dilakukan oleh

warisan, kecuali seluruh ahli waris

penerima wasiat, dalam Undang-

menyetujuinya.

Undang ditetapkan bahwa Peradilan

Maksudnya,

benda yang diwakafkan

harta
melalui

Agama dapat memerintahkan

wasiat boleh lebih dari sepertiga

(memaksa, pen.) pihak penerima

harta

satu

wasiat untuk melaksanakan wasiat

waris

atas permintaan atau paemohonan

syarat,

peninggalan
yaitu

dengan

semua

ahli

menyetujuinya.
Ketentuan
berkenaan

dengan

pihak atau pihak-pihak yang


ketiga
wakaf

yang
melalui

18Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004


tentang Wakaf, pasal 24.
19Undang-Undang Nomor 41 Tahun
2004, pasal 25.

20Undang-Undang Nomor 41 Tahun


2004, pasal 26, ayat (1).
21Undang-Undang Nomor 41 Tahun
2004, pasal 26, ayat (2).
22Undang-Undang Nomor 41 Tahun
2004, pasal 26, ayat (3).

berkepentingan.23 Di antara pihak

yang telah diwakafkan, selain empat

yang berkepentingan adalah para

wakaf tersebut, boleh/dapat dijual,

ahli waris, saksi, dan pihak penerima

diwariskan, dan dihibahkan. Benda

peruntukan wakaf. Dalam kitab fikih

wakaf akan berubah menjadi benda

klasik, terminologi wakaf wasiat

waris (tirkah/mauruts) ketika pihak

terlihat bahwa substansinya adalah

yang mewakafkan (wakif) telah

wasiat dari seseorang untuk

meninggal dunia.

berwakaf, di mana akad wakaf akan

Dua argumentasi Abu Hanifah

berlaku efektif (nafadz) apabila Wakif

mengenai kebolehan menjual benda

(Mushi, pewasiat) meninggal dunia.

wakaf adalah: 1) argumen rasional

Hal ini secara tersirat dijelaskan

yang berupa qiyas, yakni Abu

dalam pandangan Abu Hanifah

Hanifah menganalogikan (qiyas)

terkait sifat lazim-nya akad wakaf.

wakaf kepada pinjam (al-ariyah);

Di antara perbedaan pendapat

akad pinjam termasuk ghair lazim

ulama dalam bidang perwakafan

sehingga bendanya masih tetap milik

adalah mengenai kepemilikan dan

pihak yang meminjamkan;24 dan 2)

hukum menjual benda yang telah

argumentasi yang berupa hadis yang

diwakafkan. Menurut Abu Hanifah,

kemudian diriwayatkan oleh Imam al-

benda yang telah diwakafkan masih

Baihaqi yang menyatakan bahwa

tetap milik pihak yang mewakafkan

Nabi Muhammad Saw. pernah

karena akad (transaksi) wakaf

menjual benda wakaf. 25

termasuk akad ghair lazim (tidak


menyebabkan pindahnya
kepemilikan benda wakaf), kecuali
wakaf empat hal: 1) wakaf untuk
masjid, 2) wakaf yang ditetapkan
dengan keputusan hakim, 3) wakaf
wasiat, dan 4) wakaf untuk kuburan
(makam). Oleh karena itu, benda
23Undang-Undang Nomor 41 Tahun
2004, pasal 27.
Penjelasan atas Undang-Undang Nomor
41 Tahun 2004, pasal 27.

Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa


Adillatuh (Beirut: Dar al-Fikr al-Muashir.
1997), vol. X, hlm. 7599-7600; dan Abi
Bakr Muhammad Ibn Ahmad Ibn Abi Sahl
al-Sarkhasi al-Hanafi, Kitab alMabsuth(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
2001), vol. XI, hlm. 23-24.
24Abi Bakr Muhammad Ibn Ahmad Ibn
Abi Sahl al-Sarkhasi al-Hanafi, Kitab alMabsuth (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah. 2001), vol. XI, hlm. 27.
25Abi Bakr Ahmad Ibn al-Husein Ibn Ali
al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra (India:
Mathbaah Dairah al-Maarif alUtsmaniyyah. 1352 H.), vol. VI, hlm.
163.

Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-

3; Harta yang diwasiatkan boleh

Islami wa Adillatuh Penting kiranya

tidak dikuasai pihak yang

untuk dikaji dan dianalisis tentang

berwasiat pada saat akad wasiat

syarat-syarat obyek yang

dilakukan (

diwasiatkan (musha bih); yaitu:

;) antara lain

1; Harta yang diwasiatkan harus

wasiat mengenai piutang yang

harta yang dapat diwaritskan (

pada saat akad dikuasai oleh

;)

pihak yang berutang (Madin).

karena akad wasiat termasuk

Jumhur ulama membolehkan

akad yang bersifat lazim

wasiat atas harta yang dapat

(kepemilikan obyek yang

dimiliki secara mutlak, meskipun

diwasiatkan berpindah, intiqal al-

tidak ada atau tidak dikuasai

milkiyyah); dan bedanya dengan

Mushi pada saat akad wasiat,

hibah, akad hibah bersifat efektif

dengan syarat harta tersebut

(nafadz) pada saat akad

wujud pada saat wasiat efektif

diikrarkan, sedangkan wasiat

(nafadz). Apabila wasiat terkait

efektif apabila Mushi (yang

harta yang bersifat pasti (antara

berwasiat) meninggal dunia; di

lain rumah dan tanaman

samping itu, harta yang dapat

tertentu), maka jumhur ulama

diwasiatkan haruslah harta yang

(selaian Hanafi) mensyaratkan

boleh/menerima untuk dimiliki

wujudnya obyek wasiat pada saat

(qabil[an] li al-tamlik); oleh

akad wasiat efektif, yaitu pada

karena itu, wasiat termasuk batal

saar Mushi meninggal dunia;

apabila menyangkut obyek yang

4; Harta yang diwasiatkan harus

tidak dapat dimiliki, seperti

harta yang sudah menjadi milik

wasiat terkait bangkai dan darah;

Mushi pada saat wasiat

2; Harta yang diwasiatkan harus

diikrarkan/ditulis apabila wasiat

harta berharga secara syariah;

terkait dzat (substansi) harta

yaitu harta yang boleh/dapat

tertentu (

dimanfaatkan secara syariah (

;)karena wasiat merupakan

;)

pernyataan (baca: akad) yang

kepemilikan obyeknya berpindah;

wasiat efektif (yaitu pada saat Mushi

maka merupakan keharusan

meninggal dunia) apabila obyek

bahwa musha bih sudah menjadi

wasiat yang antara lain berupa

milik Mushi pada saat wasiat

piutang (yang obyeknya tidak/belum

diikrarkan/ditulis; wasiat atas

wujud pada saat wasiat

harta milik orang/pihal lain

ditulis/diikrarkan). Ketentuan ini

(bukan milik Mushi), tidaklah sah;

didukung dan terdapat dalam

dan

Undang-Undang tentang Wasiat di

5; Harta wasiat tidak diwasiatkan

Mesir (pasal 10) dan Undang-Undang

untuk digunakan sebagai media

Wasiat di Suria (pasal 216). Terkait

dalam melakukan perbuatan

dengan wakaf polis, terlihat bahwa

maksiat atau diharamkan secara

meskipun diusulkan menggunakan

syariah (

skema wakaf wasiat (baca: berwasiat

;) karena wasiat

untuk wakaf), maka syarat mauquf

termasuk perbuatan yang

bih (obyek wakaf) harus sudah

tergolong tabarru dan kebaikan

menjadi milik Mushi (atau Wakif)

(ihsan), maka tujuan atau

pada saat wasiat ditulis/diikrarkan.

penggunaan obyek wasiat tidak


boleh bertentangan dengan
26

tabarru dan ihsan.

Dari ketentuan-ketentuan terkait

Penutup
Tiga domain kajian yang
dilakukan dalam rangka mencari

obyek wasiat yang dijelaskan

kejalasan hukum wakaf polis asuransi

ahlinya, kiranya layak untuk

dari segi syariah memperlihatkan

didiskusikan mengenai harusnya

setidaknya dua topik untuk

obyek wasiat menjadi milik Mushi

didiskusikan lebih lanjut. Pertama,

secara sempurna apabila obyek

dalam asuransi terdapat unsur

tersebut terkait benda (fisik)

khusus, yaitu kemashlahatan (yang

tertentu; dan obyek wasiat harus

diantaranya memenej risiko

sudah menjadi milik Mushi secara

[khathr]), di mana motivasi orang

sempurna (tamm) pada saat akad

ikut serta dalam asuransi adalah

26Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa

untuk membagi risiko (bukan untuk

Adillatuh (Beirut: Dar al-Fikr al-Muashir.


1997), vol. X, hlm. 7478-7483.

mencari kentungan sebagaimana

prinsip indemnity [tidak boleh


mencari keuntungan dalam ikut serta
berasuransi]). Dari segi motivasi,
orang ikut asuransi ingin memenej
risiko keuangan yang mungkin
timbul karena kejadian risiko
tertentu; sementara orang berwakaf,
motivasinya adalah ibadah dengan
cara mengalihkan kepemilikan benda
tertentu (mengeluarkan harta).
Motivasi asuransi dan motivasi wakaf
bersifat berseberangan
(mutadhadah).
Kedua, obyek wakaf harus sudah
menjadi milik wakif pada saat akad
wakaf diikrarkan/ditulis; dan musha
bih (obyek wasiat) harus sudah
menjadi milik Mushi (yang berwasiat)
pada saat akad wasiat
diikrarkan/ditulis atau pada saat
wasiat nafdaz (efektif), yaitu Mushi
meninggal dunia. Dalam hal ini
asuransi yang bersifat saving boleh
dijadikan obyek wakaf; sementara
manpaat polis asuransi belum
menjadi milik peserta apabila belum
terjadi risiko yang diasuransikan. Wa
Allah alam.
Pustaka Acuan
Ali, A. Hasymi. 2002.
Pengantar
Asuransi. Jakarta: Bumi Aksara.

Anonimous. 2008. BSMR,Workbook:


Tingkat 1. Jakarta: BSMR.
Baihaqi, Abi Bakr Ahmad Ibn alHusein Ibn Ali, al-. 1352 H. AlSunan
al-Kubra.
India:
Mathbaah Dairah al-Maarif alUtsmaniyyah.
Daghi, Ali Muhy al-Din al-Qurah.
2005.
Al-Tamin
al-Islami:
Dirasah Fiqhiyyah Tashiliyyah
muqaranat(an) bi al-Tamin alTijari
maa
Tathbiqat
al-Amaliyyah. Beirut: Syirkar
Dar al-Basyair al-Islamiyyah.
Darmawi,
Herman.
2000.
Manajemen Asuransi. Jakarta:
Bumi Aksara.
Fatwa DSN-MUI Nomor: 21/DSNMUI/X/2001 tentang Pedoman
Umum Asuransi Syariah.
Fahmi, Irham. 2013.
Manajemen
Risiko: Teori, Kasus, dan Solusi.
Bandung: CV al-Fabeta.
Hartono, Sri Rejeki. 2008. Hukum
Asuransi
dan
Perusahaan
Asuransi. Jakarta: Sinar Grafika.
Fikri, Ali. 1938.
Al-Muamat alMadiyah wa al-Adabiyah. Mesir:
Mushthafa al-Babi al-Halabi.
Hanafi, Abi Bakr Muhammad Ibn
Ahmad Ibn Abi Sahl al-Sarkhasi,
al-. 2001. Kitab al-Mabsuth.
Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
Jafi, Abi Abd Allah Muhammad Ibn
Ismail Ibn Ibrahim Ibn alMugirah Ibn Bardazabah alBukhari, al-. 1981. Shahih alBukhari. Indonesia: Dar Ihya alKutub al-Arabiyyah.
Mishri,
Rafiq Yunus, al-. 2009.
Buhuts fi al-Iqtishad al-Islami.
Damaskus: Dar al-Maktabi.
NH,
Muhammad
Firdaus,
dkk
(penyunting).
2005.
Sistem

Operasional Asuransi Syariah.


Jakarta: RENAISAN.
Nitisusastro,
H.
Mulyadi.
2013.
Asuransi
dan
Usaha
Perasuransian
di
Indonesia.
Bandung: CV Alfabeta.
Salim, H. Abbas. 2005. Asuransi
dan Manajemen Risiko. Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada.
Silalahi,
Ferdinand.
1997.
Manajemen Risiko dan Asuransi.
Jakarta: PT Gramedia Putra
Utama.

Syalabi,
Muhammad
Mushthafa.
1957. Muhadharat fi al-Waqf wa
al-Washiyyat. Mesir: Dar al-Talif.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun
2004 tentang Wakaf.
Wardana, Kun Wahyu. 2009. Hukum
Asuransi: Proteksi Kecelekaan
Transportasi.
Bandung:
CV
Mandar Maju.
Zuhaili, Wahbah, al-. 2006. Al-Fiqh
al-Islami
bi
al-Adillah.
Damaskus: Dar al-Fikr.

Anda mungkin juga menyukai