Anda di halaman 1dari 15

Suplemen 1

PAJAK DAERAH DI INDONESIA:


MASA LALU, KINI, DAN MASA
DEPAN
Untuk lebih mengenal pajak daerah yang telah berlaku di Indonesia selama ini, bab
ini menyajikan sekilas tentang pelaksanaan pajak daerah di Indonesia.
Pajak Daerah Sebelum Masa Otonomi Daerah
Pada awal masa kemerdekaan, undang-undang tentang pajak termasuk pengaturan
pajak daerah dan retribusi masih mengikuti peraturan peninggalan Belanda dan
Jepang. Pada masa itu pajak daerah dan retribusi daerah diatur dengan UU No. 22
Tahun 1948. Pajak daerah (termasuk juga retribusi) disebutkan dalam penjelasan
pasal 37 UU No. 22 Tahun 1948 termasuk sumber-sumber dari pendapatan daerah
bersama dengan hasil perusahaan daerah, pajak negara yang diserahkan kepada
daerah, dan sumber penerimaan lain-lain seperti pinjaman, subsidi, dan penjualan
barang milik daerah.
Yang dimaksud dengan pajak daerah menurut UU No. 22 Tahun 1948 adalah
pajak yang tidak atau belum diatur oleh pemerintah (dalam hal ini yang dimaksud
dengan pemerintah yang disebut disini adalah pemerintah pusat). Sedangkan yang
dimaksud dengan retribusi ialah pemungutan pendapatan oleh daerah sebagai
pengganti diensten yang diberikan oleh daerah kepada siapa saja yang
membutuhkan diensten itu, misalnya bea pasar, air minum, tambangan, uang
sekolah, pemakaian tempat pemandian, lapangan olah raga, serta bea pemeriksaan
susu, daging, hewan, dan lain-lain. Kewenangan untuk menentukan pajak daerah
tidak diberikan kepada semua pemerintah daerah. Hanya pemerintah daerah tertentu
yang sesuai dengan undang-undang saja yang dapat membuat peraturan tentang
pemungutan pajak daerah. Tujuan dikeluarkannya undang-undang yang berisi
peraturan-peraturan umum tentang pemerintah daerah yang dapat membuat
peraturan tentang pemungutan pajak daerah adalah untuk pelaksanaan prinsip
keseragaman dan menjaga agar beban pajak suatu daerah menjadi lebih besar dari
daerah lainnya.
Pada masa sistem pemerintahan berbentuk federal yaitu pada masa Republik
Indonesia Serikat tahun 1950 peraturan tentang pajak daerah berubah seiring
dengan berubahnya undang-undang yang mengatur tentang pemerintah daerah.

262

Keuangan Daerah: Perspektif Desentralisasi Fiskal


dan Pengelolaan APBD di Indonesia

Tetapi, karena negara Republik Indonesia Serikat hanya berumur empat setengah
bulan, segala undang-undang dan peraturan yang mengatur tentang pemerintah
daerah dalam bentuk federal ini tidak sempat dilaksanakan. Selanjutnya, dengan
terbitnya UU No. 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik
Indonesia Serikat menjadi UUDS, maka peraturan tentang pajak daerah dan retribusi
daerah kembali diatur oleh pasal 37 UU No. 22 Tahun 1948.
UU No. 22 Tahun 1948 kemudian diganti dengan UU No. 32 Tahun 1956 tentang
Perimbangan Keuangan antara Negara dan Daerah-daerah dan UU No. 1 tahun
1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini sebenarnya
telah mengubah sistem pemerintahan menjadi desentralistik dengan pemberian
kewenangan daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri.
Pengaturan tentang pajak daerah pada masa ini diatur dengan UU Darurat (Drt)
No. 1 Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah. Menurut UU Drt No. 1
Tahun 1957 pada pasal 2, pajak daerah didefinisikan sebagai pungutan daerah
menurut peraturan pajak yang ditetapkan oleh daerah untuk pembiayaan rumah
tangganya sebagai badan hukum publik. Objek pajak daerah ditetapkan pada pasal
13 UU Drt No. 1 Tahun 1957 yaitu adalah pajak-pajak yang belum ditetapkan oleh
negara. Terhadap pajak-pajak yang telah dikenakan oleh negara tidak dapat
dikenakan lagi oleh daerah, akan tetapi dimungkinkan melalui pemungutan opsen
yang diperuntukkan untuk daerah. Mengenai wewenang penetapan pajak daerah,
disebutkan secara tegas dalam UU Drt No. 1 Tahun 1957 bahwa peraturan daerah
tentang pajak daerah tidak dapat berlaku sebelum mendapatkan pengesahan
Presiden.
Pada UU Drt No. 1 Tahun 1957, ditentukan 4 macam jenis pajak daerah untuk
daerah Tingkat I, yaitu:
a. Pajak atas ijin menangkap ikan di perairan umum di dalam wilayahnya;
b. Pajak sekolah yang semata-mata diperuntukkan untukmembiayai pembangunan
rumah-rumah sekolah rakyat, yang menjadi beban pemerintah daerah;
c. Opsen atas pokok pajak kekayaan;
d. Opsen atas pajak penjualan bensin.
Untuk daerah selain daerah Tingkat I pajak yang diperbolehkan adalah:
a. Pajak atas pertunjukkan dan keramaian umum;
b. Pajak atas reklame sepanjang tidak diadakan dengan memuatnya dalam majalah
atau warta lain;
c. Pajak anjing;
d. Pajak atas ijin penjualan atau pembuatan petasan dan kembang api;
e. Pajak atas ijin penjualan minuman yang mengandung alkohol;
f. Pajak atas kendaraan bermotor;
g. Pajak atas ijin menyelengarakan perjudian;
h. Pajak atas tenda kemewahan mengenai luas dan penghiasan kuburan;
i. Pajak karena berdiam di suatu daerah lebih dari 120 hari dalam suatu tahun
pajak, kecuali untuk perawatan di dalam rumah sakit atau sanatorium dan juga
atas penyediaan rumah lengkap dengan perabotnya untuk diri sendiri atau
keluarganya selama lebih dari 120 hari dari suatu tahun pajak, semua itu tanpa

Pajak Daerah di Indonesia: Masa Lalu, Kini, dan Masa Depan

263

bertinggal tetap di daerah itu, dengan ketentuan bahwa mereka yang berdiam di
luar daerahnya guna menjalankan tugas yang diberikan oleh negara atau daerah
tidak boleh dikenakan pajak termaksud;
j. Pajak atas milik berupa bangunan serta halamannya yang berbatasan dengan
jalan umum di darat atau di air, atau yang terletak di sekitarnya dan juga atas
milik berupa tanah kosong yang berbatasan atau yang mempunyai jalan keluar
pada jalan-jalan tersebut; pajak ini dapat dipungut atas dasar sumbangan yang
layak untuk pembiayaan penerangan dan/atau pembangunan air serta kotoran
oleh daerah;
k. Pajak atas milik berupa bangunan serta keturunannya atau tanah kosong yang
terletak dalam bagian tertentu dari daerah, pajak mana dipungut tiap-tiap tahun
untuk paling lama 30 tahun atas dasar sumbangan yang layak guna pembiayaan
yang diselenggarakan oleh atau dengan bantuan daerah dan yang
menguntungkan milik-milik tersebut;
l. Pajak atas milik berupa bangunan serta halamannya yang berbatasan dengan
jalan umum di darat atau air atau denganlapangan, atau pajak atas tanah yang
menurut rencana bangunan daerah yang telah disahkan akan dipergunakan
sebagai tanah bangunan dan terletak dalam lingkungan yang ditentukan oleh
DPRD;
m. Pajak sekolah yang semata-mata diperuntukkan membiayai pembangunan
rumah sekolah rendah untuk pelajaran umum dan pembelian perlengkapan
pertama;
n. Opsen atas pokok pajak daerah tingkat atasan sepanjang kemungkinan
pemungutan opsen itu diberikan dalam peraturan pajak daerah itu.
Peraturan tentang retribusi daerah diatur dengan UU Drt No. 12 Tahun 1957 tentang
peraturan Umum Retribusi Daerah. Definisi retribusi menurut undang-undang ini pada
pasal 2 ayat (1) adalah pungutan daerah sebagai pembayaran pemakaian atau
karena memperoleh jasa pekerjaan, usaha, atau milik daerah bagi yang
berkepentingan atau karena jasa yang diberikan oleh daerah. Lapangan atau objek
yang dapat dikenakan retribusi daerah dalam UU Drt ini adalah:
a. Uang leges;
b. Uang tol bea-jalan, bea pangkalan, dan bea penambangan;
c. Uang sempadan dan ijin bangunan;
d. Retribusi atas pemakaian tanah;
e. Bea penguburan.
Sama dengan pajak daerah, walaupun nilai pungutan retribusi ini ditentukan sendiri
oleh daerah, tetapi tetap harus disahkan oleh Presiden.
Pada tanggal 1 September 1965 terbit UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pokokpokok Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU No. 1 Tahun 1957. Namum UU
ini tidak dilaksanakan sama sekali karena peristiwa G 30 S/PKI. Selama masa UU
No. 18 Tahun 1965, peraturan perundang-undangan mengenai pajak daerah dan
retribusi daerah belum mengalami perubahan, masih menggunakan UU No. 1 Tahun
1957.
Pada masa Orde Baru, otonomi daerah diatur berdasarkan UU No. 5 Tahun 1974
tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah dan UU No. 5 Tahun 1979 tentang

264

Keuangan Daerah: Perspektif Desentralisasi Fiskal


dan Pengelolaan APBD di Indonesia

Pemerintahan Desa. Menurut UU ini terdapat 3 asas penyelenggaraan urusan


pemerintah, yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan pembantuan. Di bidang
pengaturan perpajakan, pemerintah daerah mendapat sedikit kewenangan, yakni
berdasarkan UU No.10 Tahun 1968 tentang Penyerahan Pajak-pajak Negara,
BBNKB, Pajak Bangsa Asing, dan Pajak Radio kepada daerah. Ditambah lagi
dengan dikeluarkannya UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah tanggal 23 Mei 1997. Menurut UU ini, semua peraturan daerah mengenai
pajak daerah dan retribusi daerah harus mendapat pengesahan dari pemerintah
pusat. Objek pajak atau lapangan pajak pada UU ini tidak lebih banyak dibandingkan
dengan yang diatur dalam UU Drt No. 1 Tahun 1957.
Dinyatakan dalam UU No. 18 tahun 1997 bahwa undang-undang darurat yang
selama ini berlaku telah menyebabkan daerah berpeluang untuk memungut banyak
jenis pajak. Bahkan, beberapa diantaranya besarnya biaya administrasi lebih tinggi
jika dibandingkan dengan hasilnya dan atau hasilnya tidak memadai. Di samping itu
terdapat beberapa jenis pajak yang tidak memadai untuk dipungut daerah karena
tumpang tindih dengan pajak lain dalam arti terdapat pajak lain untuk jenis objek yang
sama, menghambat efisiensi alokasi sumber ekonomi, bersifat tidak adil atau tidak
benar-benar bersifat pajak, tetapi bersifat retribusi. Demikian pula halnya dengan
retribusi. Oleh karena itu, berdasarkan UU No.18 Tahun 1997 ini, dinyatakan dengan
tegas bahwa pemerintah daerah provinsi hanya memiliki 3 jenis pajak daerah dan 6
jenis pajak daerah untuk daerah kabupaten (pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No.18 tahun
1997). Meskipun demikian, tetap terbuka peluang untuk daerah tingkat II untuk
memungut pajak daerah di luar itu sesuai dengan ketentuan peraturan pemerintah
(pasal 2 ayat (3)).
Untuk retribusi daerah, pada UU No.18 tahun 1997 dikelompokkan lebih jelas
dibanding sebelumnya, yaitu menjadi retribusi jasa umum, jasa usaha, dan perijinan
tertentu.
Pengaturan tentang pelaksanaan otonomi daerah dimana penyelenggaraan
pemerintahan dilaksanakan secara desentralistik sebenarnya telah ada pada masa
orde baru dengan keluarnya UU No.5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
pemerintahan di daerah. Pada UU ini diatur pelaksanaan otonomi daerah yang nyata
dan bertanggung jawab yang dapat menjamin perkembangan dan pembangunan
daerah dan dilaksanakan bersama-sama dengan dekonsentrasi. Tetapi, sampai
dengan orde baru berakhir pada tahun 1998, sistem penyelenggaraan pemerintahan
tetap dilaksanakan dengan sistem sentralistik dimana semua keputusan untuk daerah
ditentukan oleh pemerintah pusat.
Pajak Daerah Pada Masa Otonomi Daerah
UU No.22 Tahun 1999
Sejalan dengan UU No.22 Tahun 1999, UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah diubah dengan UU No. 34 Tahun 2000 yang dilengkapi

Pajak Daerah di Indonesia: Masa Lalu, Kini, dan Masa Depan

265

dengan PP No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dalam Pelaksanaannya.


Keleluasaan dan kewengangan daerah dalam memungut pajak dan retribusi yang
diatur dengan UU No. 18 Tahun 1997 mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
diubah dengan UU No. 34 Tahun 2000 sebagai berikut.
a. Ditetapkannya jenis pajak daerah dan retribusi daerah yaitu 4 jenis pajak provinsi
(yaitu pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air; bea balik nama
kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air; pajak bahan bakar kendaraan
bermotor; dan pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air
permukaan (Pasal 2 ayat (1) UU No. 34 Tahun 2000) dan 7 jenis pajak
kabupaten/kota (yaitu pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame,
pajak penerangan jalan, pajak pengambilan bahan galian golongan c, dan pajak
parkir (Pasal 2 ayat (1) UU No.34 Tahun 2000), dan 3 golongan retribusi sesuai
dengan jenis pelayanan yang diberikan (tiga golongan retribusi adalah: retribusi
jasa umum, retribusi jasa usaha, dan retribusi perizinan tertentu (Pasal 18 ayat
(1) UU No. 34 Tahun 2000).
b. Tarif pajak provinsi diatur secara seragam dengan pertimbangan untuk
mengurangi mobilitas objek pajak, sedangkan untuk pajak daerah
kabupaten/kota dapat bervariasi hingga pada tarif maksimal yang ditetapkan
dalam undang-undang.
c. Kewenangan daerah kabupaten/kota untuk memungut jenis pajak dan retribusi
baru selain ditetapkan dalam undang-undang atau peraturan pemerintah yang
memenuhi kriteria-kriteria tertentu yang telah ditetapkan dalam undang-undang.
d. Sistem pengawasan pemungutan pajak dan retribusi yang semula dilakukan
secara preventif di mana perda yang mengatur pungutan tersebut harus
mendapat pengesahan dari pusat, diubah menjadi sistem pengawasan yang
represif (pengawasan terhadap perda-perda sesuai yang diamanatkan dalam
pasal 5A dan pasal 25A UU No. 34 Tahun 2000 tersebut adalah bersifat represif
dimana pemerintah daerah berkewajiban untuk menyampaikan perda kepada
pemerintah pusat selambat-lambatnya 15 hari sejak ditetapkan, dan pemerintah
pusat dapat membatalkan perda yang bertentangan dengan kepentingan umum
dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dalam waktu satu
bulan setelah perda diterima).
Meskipun pemerintah daerah diberi kewenangan yang begitu luas, tetapi untuk
menghindari hal-hal yang dikhawatirkan tidak sejalan dengan semangat otonomi
daerah, maka di dalam UU No. 34 Tahun 2000 ini tetap diatur mengenai
pengawasan yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat (pasal 5A dan 25A).
Peraturan daerah dapat dibatalkan apabila bertentangan dengan kepentingan umum
dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Kepentingan umum yang
dimaksud adalah kepentingan bersama yang lebih luas antara pemerintah dan
masyarakat dengan memperhatikan ketentraman, kestabilan politik, ekonomi, sosial,
budaya, pertahanan, dan keamanan (pasal 2 ayat (4) huruf c). Peraturan perundangundangan yang lebih tinggi adalah perturan perundang-undangan di atas peraturan
daerah sebagaimana ditentukan dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Apabila bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan yang
lebih tinggi maka perda tersebut melalui rekomendasi Menteri Keuangan dapat
dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri (pasal 5A dan 25A juncto pasal 80 ayat (2) PP
No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan Pasal 17 ayat (2) PP No. 66 Tahun

266

Keuangan Daerah: Perspektif Desentralisasi Fiskal


dan Pengelolaan APBD di Indonesia

2001 tentang Retribusi Daerah). Pengawasan ini bersifat represif, yaitu pemerintah
daerah berkewajiban untuk menyampaikan peraturan daerah kepada pemerintah
pusat selambat-lambatnya 15 hari sejak ditetapkan dan pemerintah pusat dapat
membatalkan peraturan daerah yang tidak layak dalam waktu 1 bulan setelah
diterimanya.
Pada pelaksanaan pengawasan atas perda tentang pajak daerah dan retribusi
daerah sebagai pelaksanaan UU No. 34 Tahun 2000, selain tanggapan dari
pemerintah daerah yang telah mengirimkan perdanya dengan persentase 70% dari
keseluruhan provinsi dan 77% keseluruhan kabupaten/kota, Menteri Keuangan
melalui Instruksi Menteri Keuangan No. 2/IMK/2002 melakukan pemantauan dengan
mencari informasi sejak masih dalam bentuk raperda melalui jajaran Departemen
Keuangan di daerah.
Dari perda-perda tentang pajak daerah dan retribusi daerah yang masuk untuk
ditelaah, kemudian dikelompokkan menjadi 5 kelompok yaitu:
1. Peraturan daerah tentang pajakd an retribusi yang telah sesuai dengan jenisjenis pajak dan retribusi sebagaimana tercantum dalam peraturan perundangundangan;
2. Peraturan daerah tentang jenis-jenis pajak dan retribusi baru (di luar yang
tercantum dalam peraturan perundang-undangan);
3. Peraturan daerah tentang sumbangan;
4. Peraturan daerah yang bersifat pengaturan tetapi di dalamnya tercantum pula
pungutan-pungutan yang mirip pungutan pajak dan atau retribusi;
5. Peraturan daerah yang bersifat pengaturan yang didalamnya juga memuat
pungutan, tetapi pungutan tersebut berkaitan dengan jasa di bidang
kepelabuhan.
Peraturan daerah yang masuk kelompok pertama pada dasarnya disetujui untuk
diberlakukan sepanjang judul dan materi/substansi yang diatur di dalamnya sudah
sesuai dengan yang ditentukan dan diatur dalam perundang-undangan. Akan tetapi,
apabila dari kelompok ini terdapat perda yang judulnya sesuai dengan yang
tercantum dalam perundang-undangan tetapi substansi/materi yang ada di dalamnya
mengatur hal-hal yang menyimpang atau tidak sesuai dengan pengaturan dalam
perundang-undangan, maka terhadap perda yang demikian ditindaklanjuti dengan
meminta kepada Pemda yang bersangkutan untuk merevisi peraturan daerah
tersebut. Penilaian terhadap peraturan daerah kelompok pertama seperti tersebut di
atas, demikian pula penilaian terhadap kelompok lainnya dilakukan melalui penelitan
peraturan daerah satu persatu masing-masing dikaji secara mendalam dihubungkan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dari sektior terkait. Khusus
peraturan daerah tentang ke pelabuhan untuk sementara tidak dimasukkan ke dalam
matriks rekapitulasi peraturan daerah karena Menteri Perhubungan sudah
merekomendasikan pembatalan peraturan daerah tersebut kepada Menteri dalam
Negeri (hasil penelitian peneliti pada Direktorat Pendapatan Daerah, Direktorat
Jenderal Perimbangan Keuangan Pemeritah Pusat dan Daerah).
Peraturan daerah yang termasuk ke dalam matriks rekapitulasi peraturan daerah
yang dipertimbangkan untuk dibatalkan beserta alasan pembatalannya merupakan

Pajak Daerah di Indonesia: Masa Lalu, Kini, dan Masa Depan

267

peraturan daerah yang direkomendasikan Menteri Keuangan kepada Menteri Dalam


Negeri untuk dibatalkan setelah melalui proses pengkajian yang intensif dan
mendalam. Kegiatan pengkajian dilaksanakan oleh Tim Pengkajian Peraturan Daerah
dan Retribusi daerah yang terdiri atas para aparat baik dalam lingkungan maupun
luar lingkungan Departemen Keuangan.
Keputusan pembatalan peraturan daerah dan keputusan kepala daerah tersebut
diberitahukan kepada daerah yang bersangkutan dengan menyebutkan alasanalasannya. Selambat-lamabtnya satu minggu setelah keputusan pembatalan
peraturan daerah dan keputusan kepala daerah, peraturan daerah dan keputusan
kepala daerah tersebut dibatalkan pelaksanaannya. Daerah yang tidak dapat
menerima keputusan pembatalan peraturan daerah dan keputusan kepala daerah,
dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung setelah mengajukannya
kepada pemerintah (pasal 114 ayat (2)-(40 UU No. 22 Tahun 1999).
Selain pemerintah pusat, pengawasan terhadap perda juga dilakukan oleh DPRD
daerah yang bersangkutan juga oleh masyarakat. Oleh DPRD, pengawasan terhadap
perda dinyatakan dalam UU No. 22 Tahun 1999 bahwa selain bertugas memilih dan
mengangkat/memberhentikan Kepala Daerah, memilih anggota MPR dan Utusan
Daerah, membentuk perda dan menetapkan APBD bersama Kepala Daerah, juga
mempunyai tugas dan wewenang untuk melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan peraturan daerah dan peraturan perundang-undangan lain. Untuk
menjalankan tugas dan wewenangnya tersebut, DPRD mempunyai hak untuk
meminta pertanggungjawaban Gubernur, Bupati, dan Walikota; meminta keterangan
kepada Pemerintah Daerah; mengadakan penyelidikan, perubahan atas Rancangan
Peraturan daerah; dan mengajukan pernyataan pendapat. Selain itu DPRD dalam
melaksanakan tugasnya juga berhak meminta pejabat negara, pejabat pemerintah,
atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan tentang suatu hal yang perlu
ditangani demi kepentingan negara, bangsa, pemerintah, dan pembangunan. Pejabat
negara, pejabat pemerintah, atau warga masyarakat yang menolak permintaan
dimaksud diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun karena
merendahkan martabat dan kehormatan DPRD. Selanjutnya dalam pasal 69 UU No.
22 Tahun 1999 ditentukan bahwa Kepala Daerah menetapkan Peraturan Daerah atas
persetujuan DPRD.
Khusus dalam hal perpajakan daerah dalam UU No. 34 tahun 2000 pasal 4 ayat
(5) dinyatakan bahwa setiap peraturan daerah tentnag pajak dan retribusi terlebih
dahulu harus disosialisasikan sebelum ditetapkan. Mekanisme sosialisasi diserahkan
kepada daerah untuk menetapkannya. Menurut Tjip Ismail dalam buku Pengaturan
Pajak Daerah di Indonesia (PT Yellow Mediatama, Jakarta, h. 146), mekanisme dan
sanksi mengenai sosialisasi peraturan daerah kepada masyarakat sebelum
ditetapkan tersebut harus ditetapkan secara tegas di tingkat peraturan perundangundangan yang lebih tinggi, bahkan di dalam konstitusi, bukan diatur oleh pemeritah
daerah sendiri. Akibat ketentuan pasal 4 ayat (5) UU No. 34 Tahun 2000 tersebut,
hingga saat ini banyak peraturan daerah tentang pajak daerah dan retribusi daerah
yang meresahkan masyarakat karena sebelumnya tidak disosialisasikan.
Sengketa pajak

268

Keuangan Daerah: Perspektif Desentralisasi Fiskal


dan Pengelolaan APBD di Indonesia

UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak menyatakan sengketa pajak


sebagai sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara wajib pajak atau
penanggung pajak dan pejabat pajak yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya
keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada pengadilan pajak
berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk gugatan atas
pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak dengan
Surat Paksa (pasal 1 ayat 5). Menurut R. Santoso Brotodiharjo, sengketa pajak
terjadi karena penghindaran pajak, pengelakan/penyelundupan, pelalaian pajak.
Menurut Mardiasmo (Perpajakan, Andi, Yogyakarta, h. 10) sebenarnya yang
merupakan sengketa pajak adalah hanya pengelakan/penyelundupan dan pelalaian
pajak saja, sedangkan penghindaran pajak pada dasarnya dapat dilakukan oleh wajib
pajak karena tidak bertentangan dengan UU Perpajakan.
Secara umum ada 3 jenis sengketa yang terjadi atas pajak daerah, yaitu :
a. Sengketa regulasi
Sengketa regulasi terjadi apabila perda-perda tentang pajak daerah dan retribusi
daerah yang diterbitkan oleh pemerintah daerah ternyata tidak dapat memenuhi
ketentuan sebagaimana tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
b. Sengketa ketetapan pajak
Dalam menyelesaikan sengketa ketetapan pajak, terdapat dua institusi yang
menanganinya, yaitu Kepala Daerah dan Pengadilan Pajak. Khusus untuk pajak
daerah, keberatan diajukan kepada kepala daerah, yaitu walikota/bupati atau
gubernur, bergantung pada jenis pajak yang ditetapkan berdasarkan
wewenangnya. Batas waktu mengajukan keberatan adalah 3 bulan sejak surat
ketetapan pajak diterima, kecuali apabila wajib pajak dapat menunjukkan bahwa
jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya
(pasal 31 ayat (1) UU No. 14 Tahun 2002). Banding atas keputusan keberatan
permohonannya diajukan dalam waktu 3 bulan sejak keputusan keberatan
diterima. Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai
kekuatan hukum tetap (pasal 77 ayat (1) UU No. 14 Tahun 2002). Namun
demikian pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali
atas putusan pengadilan pajak kepada Mahkamah Agung (pasal 77 ayat (3) UU
No. 14 Tahun 2002). Permohonan peninjauan kembali tersebut hanya dapat
diajukan satu kali kepada Mahkamah Agung melalui pengadilan paajk dengan
tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan pajak
(pasal 77 ayat (3) UU No. 14 Tahun 2002).
c. Sengketa pelaksanaan penagihan pajak.
Disamping permohonan banding, wajib pajak dapat mengajukan gugatan atas
pelaksanaan penagihan kepada pengadilan pajak (pasal 27 UU No. 16 Tahun
2000). Dalam hal wajib pajak merasa keberatan terahdap pelaksanaan
penagihan pajak oleh pemerintah daerah, wajib pajak dapat mengajukan gugatan
pelaksanaan ke pengadilan pajak (pasal 31 ayat (3) UU No. 14 Tahun 2002).
Jangka waktu untuk mengajukan gugatan pelaksanaan penagihan pajak daerah
adalah 14 hari sejak pelaksanaan penagihan (pasal 40 ayat (2) UU No. 14 Tahun
2002).

Pajak Daerah di Indonesia: Masa Lalu, Kini, dan Masa Depan

269

Akan tetapi, paradigma pengaturan dan pengolahan pajak daerah yang


diharapkan sesuai dengan UU No. 22 Tahun 1999 selama ini belum dapat terealisasi
karena ternyata setelah dievaluasi, dalam implementasinya, UU No. 22 Tahun 1999
memiliki beberapa kekurangan sebagai berikut (analisis ini bersumber dari Direktorat
Jenderal Otonomi Daerah, Departemen Dalam Negeri RI).
a. Dalam pengelolaan kewenangan sering memunculkan friksi antartingkat
pemerintah sehingga cenderung mengganggu pelayanan umum;
b. Pembentukan lembaga perangkat daerah sering kurang berorientasi kepada
peningkatan pelayanan, sehingga cenderung banyak struktur dan tidak efisien;
c. Pengelolaan kepegawaian berdasarkan separated system menimbulkan ekses
etnosentrisme dan terbatasnya mobilitas pegawai dalam pengembangan karir;
d. Penggunaan APBD lebih banyak untuk menuntut belanja aparat perangkat
daerah dan DPRD, sehingga peluang untuk pelayanan publik kecil;
e. Hubungan kemitrasejajaran antara kepala daerah dan DPRD kurang dapat
berlangsung dengan baik, karena dalam praktiknya DPRD sering mendominasi
sehingga berpeluang memunculkan ketidakstabilan pemerintah daerah;
f. Pelayanan umum oleh pemerintah daerah cenderung menurun;
g. Timbulnya kebijakan sektoral di daerah yang tidak sejalan dengan semangat
otonomi daerah akibat belum memadainya pedoman yang sangat diperlukan dan
adanya berbagai peraturan perundang-undangan sektoral yang belum
disesuaikan;
h. Adanya keputusan politik yang ada di dalam TAP MPR yang memberi kuasa
kepada kepala daerah untuk membuat perda dalam pelaksanaan otonomi daerah
tanpa menunggu pedoman yang diperlukan, yang berakibat munculnya berbagai
kebijakan daerah yang tidak sejalan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi;
i. SDM belum cukup memadai baik dalam jumlah, kompetensi, maupun dalam
penyebarannya.
UU No.32 Tahun 2004
Pada tanggal 15 Oktober 2004 pemerintah telah menerbitkan UU No 32 Tahun 2004.
UU No. 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah juga digantikan dengan UU No. 33 Tahun 2004. Perubahan
keadaan dan perkembangan politik itu menuntut kedua undang-undang tentang
otonomi daerah tersebut untuk disesuaikan, sehingga terbitlah UU No. 32 Tahun
2004 dan UU No. 33 Tahun 2004. Kedua undang-undang yang berlaku tanggal 15
Oktober 2004 ini disesuaikan dengan perkembangan politik yang terjadi dan bersifat
lebih menegaskan, meluruskan, dan memperbaiki kekurangan-kekurangan dalam
pelaksanaan otonomi daerah, yang didasarkan pada pengalaman selama
pelaksanaan otonomi daerah sebelumnya yang didasarkan pada UU No. 22 Tahun
1999 dan UU No. 25 Tahun 1999.
Apabila sebelumnya otonomi daerah baru diarahkan pada tahap pemberian dan
pelimpahan wewenang, maka dalam UU No. 32 Tahun 2004, otonomi daerah
difokuskan sebagai alat untuk percepatan terwujudnya kesejahteraan. Hal ini tersirat
dalam penjelasan kedua undang-undang tersebut.

270

Keuangan Daerah: Perspektif Desentralisasi Fiskal


dan Pengelolaan APBD di Indonesia

Berkaitan dengan pajak daerah dan retribusi daerah, ternyata UU No. 32 Tahun
2004 telah mengatur mekanisme pengiriman dan pengawasannya, yaitu di dalam
pasal 185, pasal 186 dan pasal 189. Dalam UU tersebut pengawasan dilakukan
secara praventif, yaitu setiap rancangan perda pajak dan retribusi sebelum ditetapkan
menjadi perda harus dikoordinasikan terlebih dahulu dengan Menteri Keuangan.
Adapun mekanismenya adalah:
a. Terhadap raperda provinsi, sebelum ditetapkan oleh gubernur, paling lambat 3
hari disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk dievaluasi. Evaluasi
tersebut dikoordinasikan terlebih dahulu dengan Menteri Keuangan untuk
memperoleh persetujuan.
b. Terhadap raperda kabupaten/kota, dalam waktu 3 hari, harus disampaikan
kepada gubernur untuk dievaluasi, dimana dalam evaluasi tersebut gubernur
harus berkoordinasi juga dengan Menteri Keuangan.

Pajak Daerah Pada Masa Yang Akan Datang

Berkaitan dengan pembiayaan otonomi daerah (desentralisasi fiskal), UU No. 25


Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
(LN No. 72 Tahun 1999, TLN No. 3848 Tahun 1999) memberikan kewenangan
kepada pemerintah daerah untuk membuat kebijakan di sisi penerimaan (tax policy)
dalam rangka memperkuat kemampuan membiayai program pembangunan dan
penyelengaraan pemerintah daerah melalui peningkatan penerimaan, khususnya
yang berasal dari PAD. Kewenangan meningkatkan PAD (Mangara Tambunan,
PRISM Project, The Asia Foundation, Seminar Domestic Trade Decentralization and
Globalization, Hotel Borobudur, Jakarta 3 April 2001) tersebut dibatasi bahwa
pemerintah daerah dilarang menetapkan peraturan daerah tentang pendapatan yang
menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan yang menghambat mobilitas penduduk, lalu
lintas barang dan jasa antardaerah, dan kegiatan impor/ekspor.
Dalam konteks kebijakan fiskal secara nasional, terdapat perbedaan pandangan
dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal, terutama dalam pengelolaan belanja oleh
pemerintah pusat dan daerah. Alokasi anggaran belanja untuk daerah pada dasarnya
merupakan pencerminan dari kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah
dan desentralisasi fiskal. Kebijaksanaan perimbangan keuanganpusat dan daerah
tersebut dilakukan dengan mengikuti pembagian kewenangan (money follow
function).
Menurut Simanjuntak, tingkat kemandirian daerah di Indonesia di bidang
keuangan barumencapai 30%. Ditinjau dari aspek finansial, rasio untuk dapat
melaksanakan otonomi daerah harus mencapai setidaknya sebesar 60% atau lebih.
(pidato pengukuhan Singgih Riphat sebagai Pejabat Fungsional Ahli Peneliti Utama

Pajak Daerah di Indonesia: Masa Lalu, Kini, dan Masa Depan

271

Bidang Ekonomi dan Keuangan, berjudul Strategi Reposisi BUMN dalam


Menghadapi Pelaksanaan UU Otonomi Daerah, BAKM Departemen Keuangan,
Jakarta, 2000, h.7)
Keneth Davey menyatakan bahwa pemerintah daerah dalam memperoleh
pendapatan dari pajak diperoleh dengan 3 cara, yaitu: Pertama, pembagian hasil
pajak-pajak yang dikenakan dan dipungut oleh pemerintah pusat. Kedua, pemerintah
regional dapat memungut tambahan pajak (opsen, surcharge) di atas suatu pajak
yang dipungut dan dikumpulkan olehpemerintah pusat, contohnya pemerintah daerah
di Swedia menungut opsen atas penghasilan nasional. Di sebagian AS, pemerintah
daerah mengenakan opsen atas pajak penjualan di tingkat negara bagian. Ketiga,
pungutan-pungutan yang dikumpulkan dan ditahan oleh pemerintah regional sendiri.
(Kenneth Davey, Pembiayaan Pemerintah Daerah, UI Press, Jakarta, 1998, h. 29).
Pembagian hasil pajak (tax sharing) dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah telah dilaksanakan, yaitu untuk PPh perseorangan dan PPh pasal 21 (PPh
karyawan) besarnya 20% (pasal 31 huruf (c) UU No. 17 tahun 2000 tentang Pajak
Penghasilan ayat (1) penerimaan negara dari PPH OP Dalam Negeri dan PPh Pasal
21 yang dipotong oleh pemberi kerja dibagi dengan imbangan 80% untuk pemerintah
pusat dan 20% untuk pemerintah daerah tempat wajib pajak terdaftar) dan untuk PBB
besarnya 90%, sedangkan untuk BPHTB ditetapkan besarnya tax sharing sebesar
80%.
Garis pemisah antara retribusi dan pajak tidak selalu jelas. Retribusi mungkin
membebani konsumennya saja, tetapi mungkin pula mempunyai ciri-ciri pajak apabila
variasi dalam tarifnya tidak secara cermat dikaitkan dengan jumlah konsumsi
pelayanannya.
KJ Davey memberikan beberapa kriteria umum tentang perpajakan terutama di
daerah (Raksasa Mahi, tinjauan terhadap UU No. 34 Tahun 2000 secara teori dan
praktek serta arah perubahannya, makalah workshop: Dampak pelaksanaan UU
No.34 Tahun 2000 terhadap dunia usaha/iklim investasi dan arah perubahannya,
Jakarta, 21 Februari 2002):
1. Kecukupan dan elastisitas: penerimaan dari suatu pajak harus menghasilkan
penerimaan yang cukup besar sehingga diharapkan mampu membiayai sebagian
atau keseluruhan biaya pelayanan yang akan dikeluarkan. Sebelum berlakunya
UU No. 18 Tahun 1997, terdapat tendensi bahwa pemerintah daerah banyak
memiliki pajak ataupun retribusi yang perannya sangat kecil dalam menutupi
anggaran pengeluaran;
2. Pemerataan: prinsipnya adalah beban pengeluaran pemerintah daerah haruslah
dipikul oleh semua golongan dalam masyarakat sesuai dengan kekayaan dan
kesanggupannya;
3. Kelayakan administrasi: berbagai jenis pajak ataupun pungutan di daerah sangat
berbeda-beda mengenai jumlah, integritas, dan keputusan yang diperlukan
dalam administrasinya. Untuk itu, diperlukan administrasi perpajakan yang
mudah dan sederhana;
4. Kesepakatan politis: pada lahirnya, keputusan pembebanan pajak sangat
bergantung pada kepekaan masyarakat, pandangan masyarakat secara umum

272

5.

Keuangan Daerah: Perspektif Desentralisasi Fiskal


dan Pengelolaan APBD di Indonesia

tentang pajak, dan nilai-nilai yang berlaku pada masyarakat di suatu daerah. Oleh
karena dibutuhkan suatu kesepakatan bersama bila dirasakan perlu dalam
pengambilan keputusan perpajakan.
Distorsi terhadap perekonomian: implikasi pajak atau pungutan yang secara
minimal berpengaruh terhadap perekonomian. Pada dasarnya setiap pajak atau
pungutan akan menimbulkan suatu beban, baik bagi konsumen maupun
produsen. Persoalannya, jangan sampai suatu pajak atau pungutan
menimbulkan beban tambahan (extra burden) yang berlebihan yang akan
merugikan masyarakat secara menyeluruh (dead-weight loss).

Kriteria utama yang paling penting dalam menentukan layak tidaknya suatu jenis
pungutan daerah di masa otonomi daerah agar sejalan dengan hakikat otonomi
daerah tersebut adalah bahwa jenis pungutan daerah harus mencerminkan upaya
mensejahterakan masyarakat dan memberikan manfaat bagi masyarakat. Tetapi hal
ini justru tidak secara tegas diatur dalam UU No. 34 Tahun 2000 (Tjip Ismail,
Pengaturan Pajak Daerah di Indonesia, PT Yellow Mediatama, Jakarta, 2005, h. 29).
Paling tidak ada lima tolok ukur untuk menilai apakah pajak daerah yang ada
sudah baik, yang salah satu di dalamnya adalah berkaitan dengan asas kemanfaatan
(dalam hal ini adalah daya guna ekonomi). Kelima tolok ukur tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Hasil (yield): memadai tidaknya hasil suatu pajak daerah dalam kaitan dengan
berbagai layanan yang dibiayainya, yakni stabilitas dan mudah tidaknya
memperkirakan besar hasil itu, dan elastisitas hasil pajak terhadap inflasi,
pertumbuhan penduduk dan sebagainya, juga perbandingan hasil pajak dengan
biaya pungut.
2. Keadilan (equity): dasar pajak dan kewajiban membayar harus jelas dan tidak
sewenang-wenang, pajak bersangkutan harus adil secara horizontal, artinya
beban pajak haruslah sama benar antara berbagai kelompok yang berbeda tetapi
dengan kedudukan yang sama, harus adil secara vertikal, artinya kelompok yang
memiliki sumber daya ekonomi yang lebih besar memberikan sumbangan yang
lebih besar daripada kelompok yang tidak banyak memiliki sumber daya
ekonomi, dan pajak itu haruslah adil dari tempat ke tempat, dalam arti hendaknya
tidak ada perbedaan-perbedaan besar dan sewenang-wenang dalam beban
pajak dari satu daerah ke daerah lain, kecuali jika perbedaan ini mencerminkan
perbedaan dalam cara menyediakan layanan masyarakat;
3. Daya guna ekonomi (economic efficiency): pajak hendaknya mendorong (atau
setidak-tidaknya tidak menghambat) penggunaan sumber daya secara berdaya
guna dalam kehidupan ekonomi, mencegah jangan sampai pilihan konsumen
dan pilihan produsen menjadi salah arah atau orang menjadi segan bekerja atau
menabung, dan memperkecil beban lebih pajak;
4. Kemampuan melaksanakan (ability to implement): suatu pajak haruslah dapat
dilaksanakan, dari sudut kemauan politik dan kemampuan tata usaha;
5. Kecocokan sebagai sumber penerimaan daerah (suitable as a local revenue
source): ini berarti haruslah jelas kepada daerah mana suatu pajak harus
dibayarkan dan tempat memungut pajak sedapat mungkin sama dengan tempat
akhir beban pajak; pajak tidak mudah dihindari, dengan cara memindahkan objek
pajak dari satu daerah ke daerah lain; pajak daerah jangan hendaknya

Pajak Daerah di Indonesia: Masa Lalu, Kini, dan Masa Depan

273

mempertajam perbedaan-perbedaan antara daerah, dari segi potensi ekonomi


masing-masing; dan pajak hendaknya tidak menimbulkan beban yang lebih besar
dari kemampuan tata usaha pajak daerah. (Nick Devas dkk., Keuangan
Pemerintah Daerah di Indonesia, UI Press, Jakarta, 1989, h. 61)
Khusus untuk kabupaten/kota, kewenangan untuk memungut pajak tambahan
selain ditetapkan dalam undang-undang, harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu
(kriteria yang secara umum diterima), yaitu (Tjip Ismail, Pengaturan Pajak Daerah di
Indonesia, PT Yellow Mediatama, Jakarta, 2005, h. 264):
a. Pajak tersebut harus tepat sebagai pajak daerah. Dasar pengenaan pajak harus
secara jelas berada di dalam, atau timbul dari dalam, lingkungan pemerintah
daerah, dan khususnya berkaitan dengan kegiatan ekonomi dari daerah;
b. Pajak tersebut harus dapat diterima secara politis baik pada tingkat nasional
ataupun daerah;
c. Dasar pengenaan pajak tersebut tidak boleh tumpang tindih dengan dasar
pengenaan pajak Pemerintah Pusat atau daerah lainnya atau tumpang tindih
dengan biaya perijinan yang sebenarnya lebih bersifat pajak (pajak berganda);
d. Perkiraan hasil yang mungkin didapatkan dari sumber pendapatan yang baru
tersebut cukup besar sebagai sumber tambahan pendapatan; perkiraan tersebut
juga harus didasarkan pada elastis tidaknya sumber penerimaan tersebut;
e. Jumlah biaya kotor (termasuk dana transfer dari Pusat untuk membiayai
pengeluaran gaji) untuk pemungutan pajak harus lebih kecil dari hasil
penerimaan pajak tersebut;
f. Pajak tersebut tidak boleh mempengaruhi kebijakan-kebijakan ekonomi nasional;
g. Kecuali untuk alasan tertentu, pajak tersebut tidak boleh mengganggu alokasi
sumber daya ekonomi di dalam lingkungan pemerintah daerah atau di antara
daerah-daerah, atau mengganggu perdagangan di dalam atau antardaerah;
h. Beban pajak harus dapat ditanggung baik oleh mayoritas penduduk yang secara
langsung bertanggung jawab untuk membayarnya ataupun oleh masyarakat yang
akan sangat terpengaruh oleh dampaknya (melalui pengaruhnya pada harga
barang dan jasa terpakai);
i. Pajak tersebut tidak boleh bersifat regresif (beban pajak tersebut tidak boleh
ditanggung sebagian besar oleh masyarakat yang kurang mampu);
j. Pajak tersebut tidak boleh membedakan secara tidak adil di antara kelompokkelompok tertentu dalam masyarakat;
k. Pemerintah daerah harus dapat mengadministrasikan pajak tersebut secara
efektif (yaitu dapat mengidentifikasikan semua, atau sekurang-kurangnya
sebagian besar dari, wajib pajak; menilai kemampuan setiap wajib pajak secara
cepat dan akurat; melaksanakan secara efektif penagihan pendapatan yang
harus dibayar);
l. Pajak tersebut tidak boleh menghambat para wajib pajak untuk melakukan
tindakan yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan pelestarian lingkungan.
Benchmark: Pengaturan Pajak Daerah di Beberapa Negara

274

Keuangan Daerah: Perspektif Desentralisasi Fiskal


dan Pengelolaan APBD di Indonesia

Republik Ceko
Sistem pemungutan pajak yang berlaku di negara Ceko dipungut di pusat ataupun di
daerah, tetapi otonomi daerah tidak menerapkan otonomi daerah secara murni.
Artinya, baik pusat ataupun daerah melakukan pemungutan pajak sendiri-sendiri.
Akan tetapi, ada beberapa jenis pungutan yang pemungutannya dilakukan baik di
daerah ataupun di pusat. Contohnya pajak domestik atas barang dan jasa.
Sedangkan berbagai jenis pungutan yang berlaku di Republik Ceko, baik pajak
ataupun retribusi dan yang dipungut oleh pusat ataupun daerah.
Mengenai pelayanan masyarakat yang erat sekali kaitannya dengan pungutan
pajak, pelayanan yang disediakan oleh pemerintah kota di Ceko ada yang bersifat
wajib dan adajuga yang bersifat pilihan. Jenis-jenis pelayanan wajib ditetapkan dalam
UU Pemerintah Kota dan dibiayai atas dasar prinsip kebutuhan publik, dan pelayanan
teknis yang dibiayai melalui retribusi. Pelayanan wajib umumnya meliputi perawatan
jalan; administrasi institusi pemerintah kota dalam hal pendidikan; pelayanan sosial
bagi lanjut usia dan orang-orang cacat; pelayanan kesehatan baik melalui rumah
sakit kota maupun dokter swasta; keamanan publikmelalui satuan kepolisian di kotakota besar atau melalui kerja sama dengan pemerintah kota lain; dan pemadam
kebakaran. Pelayanan teknis meliputi pengolahan limbah, sanitasi, transportasi, dan
perawatan taman. Semua jenis pelayanan di atas disediakan oleh badan usaha milik
pemerintah kota bekerja sama dengan sektor swasta yang didasarkan atas kontrak
dan kerja sama dengan pemerintah kota lain.
Republik Hungaria
Berdasarkan pemungutannya, negara Hungaria dibagi menjadi dua wilayah
pungutan, yaitu pusat dan lokal. Terdapat empat pajak utama yang dipungut oleh
pemerintah pusat yaitu pajak penghasilan perusahaan, pajak penghasilan
perorangan, pajak pertambahan nilai, dan pajak pengalihan properti. Sedangkan
untuk pajak lokal terdapat lima jenis yaitu pajak bisnis, pajak komunal, pajak tanah
kota, pajak bangunan, dan pajak turis.
Peranan pemerintah daerah dalam penyediaan layanan publik berdasarkan UU
Penerintah Daerah yang menyatakan bahwa mereka dapat bertindak secara otonom
dalam permasalahan publik di tingkat daerah termasuk dalam memenuhi kebutuhan
masyarakat melalui pengaturan dan pembiayaan pelayanan publik. Tanggung jawab
ini bisa dialihkan hanya melalui perkecualian dan ditetapkan oleh UU.
Penyediaan layanan masyarakat dilaksanakan dengan prinsip wajib dan pilihan.
Fungsi wajib dikelompokkan menjadi: layanan yang harus diadakan di setiap
pemukiman tanpa memandang jenis dan luasnya, dan yang pembiayaan
pelaksanaannya harus berasal dari anggaran pemerintah pusat.

Pajak Daerah di Indonesia: Masa Lalu, Kini, dan Masa Depan

275

Kerajaan Belanda
Berdasarkan dari pemungutannya, negara Belanda dibagi menjadi lima wilayah
pungutan (yang memegang otoritas) pemungutan, yaitu pusat, status kawasan
industri, provinsi, kotapraja, dan otoritas pengendalian air. Tiap-tiap daerah pungutan
terdapat pungutan pajak penghasilan dan kekayaan, kecuali daerah status kawasan
industri. Pajak ini dibayarkan oleh perorangan. Namun, pungutan untuk pajak atas
produksi impor terdapat pada semua wilayah, pajak ini dibayarkan oleh perusahaan
atau industri. Penerimaan pungutan pusat merupakan peranan yang sangat dominan,
yaitu mencapai sebesar 94.07% pada tahun 1995.
Tujuan perbaikan sistem pajak di Belanda adalah untuk meningkatkan tenaga
kerja dan memperkuat struktur perekonomian dan kekuatan kompetitif di Belanda,
mengurangi beban pajak untuk tenaga kerja, mendorong perkembanagn ekonomi,
mendistribusikan beban pajak secara berkala, memperluas dan memperkuat dasar
pajak dengan mengurangi dan mengubah pemotongan biaya, emansipasi lebih jauh
dan kebebasan ekonomi, dan menyederhanakan sistem pajak.
Kerajaan Malaysia
Pembagian sumber-sumber penerimaan antara pemerintah federal dan pemerintah
negeri diatur dengan konstitusi. Kebanyakan kekuasaan dan tanggung jawab
keuangan berada pada pemerintah federal, begitu juga mengenai sumber-sumebr
penerimaannya. Undang-undang federal memberi kekuasaan istimewa terhadap
pemerintah federal untuk memungut semua pajak dan semua bentuk penerimaan.
Sedangkan pemerintah negeri hanya mempunyai sebagian kecil kekuasaan saja.
Akan tetapi Negeri Sabah dan Sarawak diberi tambahan sumber penerimaan, seperti
impor dan cukai terhadap petroleum dan impor terhadap hasil hutan lainnya.
Pembagian kewenangan dan tanggung jawab serta sumber penerimaan antara
pemerintah federal dan negeri menunjukkan besarnya kekuasaan pemerintah pusat
(pemerintahan masih bersifat sentralistik).
Dikarenakan sistem pemerintahan di Malaysia dibedakan menjadi beberapa level
antara lain pemerintah federal dan pemerintah lokal, dimana terhadap masing-masing
tingkat pemerintahan tersebut diberi kewenangan dalam menggali sumber-sumber
penerimaan, maka pada setiap level pemerintahan tersebut mempunyai sumbersumber penerimaan yang berbeda khususnya pada penerimaan yang berasal dari
pajak.

Anda mungkin juga menyukai