262
Tetapi, karena negara Republik Indonesia Serikat hanya berumur empat setengah
bulan, segala undang-undang dan peraturan yang mengatur tentang pemerintah
daerah dalam bentuk federal ini tidak sempat dilaksanakan. Selanjutnya, dengan
terbitnya UU No. 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik
Indonesia Serikat menjadi UUDS, maka peraturan tentang pajak daerah dan retribusi
daerah kembali diatur oleh pasal 37 UU No. 22 Tahun 1948.
UU No. 22 Tahun 1948 kemudian diganti dengan UU No. 32 Tahun 1956 tentang
Perimbangan Keuangan antara Negara dan Daerah-daerah dan UU No. 1 tahun
1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini sebenarnya
telah mengubah sistem pemerintahan menjadi desentralistik dengan pemberian
kewenangan daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri.
Pengaturan tentang pajak daerah pada masa ini diatur dengan UU Darurat (Drt)
No. 1 Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah. Menurut UU Drt No. 1
Tahun 1957 pada pasal 2, pajak daerah didefinisikan sebagai pungutan daerah
menurut peraturan pajak yang ditetapkan oleh daerah untuk pembiayaan rumah
tangganya sebagai badan hukum publik. Objek pajak daerah ditetapkan pada pasal
13 UU Drt No. 1 Tahun 1957 yaitu adalah pajak-pajak yang belum ditetapkan oleh
negara. Terhadap pajak-pajak yang telah dikenakan oleh negara tidak dapat
dikenakan lagi oleh daerah, akan tetapi dimungkinkan melalui pemungutan opsen
yang diperuntukkan untuk daerah. Mengenai wewenang penetapan pajak daerah,
disebutkan secara tegas dalam UU Drt No. 1 Tahun 1957 bahwa peraturan daerah
tentang pajak daerah tidak dapat berlaku sebelum mendapatkan pengesahan
Presiden.
Pada UU Drt No. 1 Tahun 1957, ditentukan 4 macam jenis pajak daerah untuk
daerah Tingkat I, yaitu:
a. Pajak atas ijin menangkap ikan di perairan umum di dalam wilayahnya;
b. Pajak sekolah yang semata-mata diperuntukkan untukmembiayai pembangunan
rumah-rumah sekolah rakyat, yang menjadi beban pemerintah daerah;
c. Opsen atas pokok pajak kekayaan;
d. Opsen atas pajak penjualan bensin.
Untuk daerah selain daerah Tingkat I pajak yang diperbolehkan adalah:
a. Pajak atas pertunjukkan dan keramaian umum;
b. Pajak atas reklame sepanjang tidak diadakan dengan memuatnya dalam majalah
atau warta lain;
c. Pajak anjing;
d. Pajak atas ijin penjualan atau pembuatan petasan dan kembang api;
e. Pajak atas ijin penjualan minuman yang mengandung alkohol;
f. Pajak atas kendaraan bermotor;
g. Pajak atas ijin menyelengarakan perjudian;
h. Pajak atas tenda kemewahan mengenai luas dan penghiasan kuburan;
i. Pajak karena berdiam di suatu daerah lebih dari 120 hari dalam suatu tahun
pajak, kecuali untuk perawatan di dalam rumah sakit atau sanatorium dan juga
atas penyediaan rumah lengkap dengan perabotnya untuk diri sendiri atau
keluarganya selama lebih dari 120 hari dari suatu tahun pajak, semua itu tanpa
263
bertinggal tetap di daerah itu, dengan ketentuan bahwa mereka yang berdiam di
luar daerahnya guna menjalankan tugas yang diberikan oleh negara atau daerah
tidak boleh dikenakan pajak termaksud;
j. Pajak atas milik berupa bangunan serta halamannya yang berbatasan dengan
jalan umum di darat atau di air, atau yang terletak di sekitarnya dan juga atas
milik berupa tanah kosong yang berbatasan atau yang mempunyai jalan keluar
pada jalan-jalan tersebut; pajak ini dapat dipungut atas dasar sumbangan yang
layak untuk pembiayaan penerangan dan/atau pembangunan air serta kotoran
oleh daerah;
k. Pajak atas milik berupa bangunan serta keturunannya atau tanah kosong yang
terletak dalam bagian tertentu dari daerah, pajak mana dipungut tiap-tiap tahun
untuk paling lama 30 tahun atas dasar sumbangan yang layak guna pembiayaan
yang diselenggarakan oleh atau dengan bantuan daerah dan yang
menguntungkan milik-milik tersebut;
l. Pajak atas milik berupa bangunan serta halamannya yang berbatasan dengan
jalan umum di darat atau air atau denganlapangan, atau pajak atas tanah yang
menurut rencana bangunan daerah yang telah disahkan akan dipergunakan
sebagai tanah bangunan dan terletak dalam lingkungan yang ditentukan oleh
DPRD;
m. Pajak sekolah yang semata-mata diperuntukkan membiayai pembangunan
rumah sekolah rendah untuk pelajaran umum dan pembelian perlengkapan
pertama;
n. Opsen atas pokok pajak daerah tingkat atasan sepanjang kemungkinan
pemungutan opsen itu diberikan dalam peraturan pajak daerah itu.
Peraturan tentang retribusi daerah diatur dengan UU Drt No. 12 Tahun 1957 tentang
peraturan Umum Retribusi Daerah. Definisi retribusi menurut undang-undang ini pada
pasal 2 ayat (1) adalah pungutan daerah sebagai pembayaran pemakaian atau
karena memperoleh jasa pekerjaan, usaha, atau milik daerah bagi yang
berkepentingan atau karena jasa yang diberikan oleh daerah. Lapangan atau objek
yang dapat dikenakan retribusi daerah dalam UU Drt ini adalah:
a. Uang leges;
b. Uang tol bea-jalan, bea pangkalan, dan bea penambangan;
c. Uang sempadan dan ijin bangunan;
d. Retribusi atas pemakaian tanah;
e. Bea penguburan.
Sama dengan pajak daerah, walaupun nilai pungutan retribusi ini ditentukan sendiri
oleh daerah, tetapi tetap harus disahkan oleh Presiden.
Pada tanggal 1 September 1965 terbit UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pokokpokok Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU No. 1 Tahun 1957. Namum UU
ini tidak dilaksanakan sama sekali karena peristiwa G 30 S/PKI. Selama masa UU
No. 18 Tahun 1965, peraturan perundang-undangan mengenai pajak daerah dan
retribusi daerah belum mengalami perubahan, masih menggunakan UU No. 1 Tahun
1957.
Pada masa Orde Baru, otonomi daerah diatur berdasarkan UU No. 5 Tahun 1974
tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah dan UU No. 5 Tahun 1979 tentang
264
265
266
2001 tentang Retribusi Daerah). Pengawasan ini bersifat represif, yaitu pemerintah
daerah berkewajiban untuk menyampaikan peraturan daerah kepada pemerintah
pusat selambat-lambatnya 15 hari sejak ditetapkan dan pemerintah pusat dapat
membatalkan peraturan daerah yang tidak layak dalam waktu 1 bulan setelah
diterimanya.
Pada pelaksanaan pengawasan atas perda tentang pajak daerah dan retribusi
daerah sebagai pelaksanaan UU No. 34 Tahun 2000, selain tanggapan dari
pemerintah daerah yang telah mengirimkan perdanya dengan persentase 70% dari
keseluruhan provinsi dan 77% keseluruhan kabupaten/kota, Menteri Keuangan
melalui Instruksi Menteri Keuangan No. 2/IMK/2002 melakukan pemantauan dengan
mencari informasi sejak masih dalam bentuk raperda melalui jajaran Departemen
Keuangan di daerah.
Dari perda-perda tentang pajak daerah dan retribusi daerah yang masuk untuk
ditelaah, kemudian dikelompokkan menjadi 5 kelompok yaitu:
1. Peraturan daerah tentang pajakd an retribusi yang telah sesuai dengan jenisjenis pajak dan retribusi sebagaimana tercantum dalam peraturan perundangundangan;
2. Peraturan daerah tentang jenis-jenis pajak dan retribusi baru (di luar yang
tercantum dalam peraturan perundang-undangan);
3. Peraturan daerah tentang sumbangan;
4. Peraturan daerah yang bersifat pengaturan tetapi di dalamnya tercantum pula
pungutan-pungutan yang mirip pungutan pajak dan atau retribusi;
5. Peraturan daerah yang bersifat pengaturan yang didalamnya juga memuat
pungutan, tetapi pungutan tersebut berkaitan dengan jasa di bidang
kepelabuhan.
Peraturan daerah yang masuk kelompok pertama pada dasarnya disetujui untuk
diberlakukan sepanjang judul dan materi/substansi yang diatur di dalamnya sudah
sesuai dengan yang ditentukan dan diatur dalam perundang-undangan. Akan tetapi,
apabila dari kelompok ini terdapat perda yang judulnya sesuai dengan yang
tercantum dalam perundang-undangan tetapi substansi/materi yang ada di dalamnya
mengatur hal-hal yang menyimpang atau tidak sesuai dengan pengaturan dalam
perundang-undangan, maka terhadap perda yang demikian ditindaklanjuti dengan
meminta kepada Pemda yang bersangkutan untuk merevisi peraturan daerah
tersebut. Penilaian terhadap peraturan daerah kelompok pertama seperti tersebut di
atas, demikian pula penilaian terhadap kelompok lainnya dilakukan melalui penelitan
peraturan daerah satu persatu masing-masing dikaji secara mendalam dihubungkan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dari sektior terkait. Khusus
peraturan daerah tentang ke pelabuhan untuk sementara tidak dimasukkan ke dalam
matriks rekapitulasi peraturan daerah karena Menteri Perhubungan sudah
merekomendasikan pembatalan peraturan daerah tersebut kepada Menteri dalam
Negeri (hasil penelitian peneliti pada Direktorat Pendapatan Daerah, Direktorat
Jenderal Perimbangan Keuangan Pemeritah Pusat dan Daerah).
Peraturan daerah yang termasuk ke dalam matriks rekapitulasi peraturan daerah
yang dipertimbangkan untuk dibatalkan beserta alasan pembatalannya merupakan
267
268
269
270
Berkaitan dengan pajak daerah dan retribusi daerah, ternyata UU No. 32 Tahun
2004 telah mengatur mekanisme pengiriman dan pengawasannya, yaitu di dalam
pasal 185, pasal 186 dan pasal 189. Dalam UU tersebut pengawasan dilakukan
secara praventif, yaitu setiap rancangan perda pajak dan retribusi sebelum ditetapkan
menjadi perda harus dikoordinasikan terlebih dahulu dengan Menteri Keuangan.
Adapun mekanismenya adalah:
a. Terhadap raperda provinsi, sebelum ditetapkan oleh gubernur, paling lambat 3
hari disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk dievaluasi. Evaluasi
tersebut dikoordinasikan terlebih dahulu dengan Menteri Keuangan untuk
memperoleh persetujuan.
b. Terhadap raperda kabupaten/kota, dalam waktu 3 hari, harus disampaikan
kepada gubernur untuk dievaluasi, dimana dalam evaluasi tersebut gubernur
harus berkoordinasi juga dengan Menteri Keuangan.
271
272
5.
tentang pajak, dan nilai-nilai yang berlaku pada masyarakat di suatu daerah. Oleh
karena dibutuhkan suatu kesepakatan bersama bila dirasakan perlu dalam
pengambilan keputusan perpajakan.
Distorsi terhadap perekonomian: implikasi pajak atau pungutan yang secara
minimal berpengaruh terhadap perekonomian. Pada dasarnya setiap pajak atau
pungutan akan menimbulkan suatu beban, baik bagi konsumen maupun
produsen. Persoalannya, jangan sampai suatu pajak atau pungutan
menimbulkan beban tambahan (extra burden) yang berlebihan yang akan
merugikan masyarakat secara menyeluruh (dead-weight loss).
Kriteria utama yang paling penting dalam menentukan layak tidaknya suatu jenis
pungutan daerah di masa otonomi daerah agar sejalan dengan hakikat otonomi
daerah tersebut adalah bahwa jenis pungutan daerah harus mencerminkan upaya
mensejahterakan masyarakat dan memberikan manfaat bagi masyarakat. Tetapi hal
ini justru tidak secara tegas diatur dalam UU No. 34 Tahun 2000 (Tjip Ismail,
Pengaturan Pajak Daerah di Indonesia, PT Yellow Mediatama, Jakarta, 2005, h. 29).
Paling tidak ada lima tolok ukur untuk menilai apakah pajak daerah yang ada
sudah baik, yang salah satu di dalamnya adalah berkaitan dengan asas kemanfaatan
(dalam hal ini adalah daya guna ekonomi). Kelima tolok ukur tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Hasil (yield): memadai tidaknya hasil suatu pajak daerah dalam kaitan dengan
berbagai layanan yang dibiayainya, yakni stabilitas dan mudah tidaknya
memperkirakan besar hasil itu, dan elastisitas hasil pajak terhadap inflasi,
pertumbuhan penduduk dan sebagainya, juga perbandingan hasil pajak dengan
biaya pungut.
2. Keadilan (equity): dasar pajak dan kewajiban membayar harus jelas dan tidak
sewenang-wenang, pajak bersangkutan harus adil secara horizontal, artinya
beban pajak haruslah sama benar antara berbagai kelompok yang berbeda tetapi
dengan kedudukan yang sama, harus adil secara vertikal, artinya kelompok yang
memiliki sumber daya ekonomi yang lebih besar memberikan sumbangan yang
lebih besar daripada kelompok yang tidak banyak memiliki sumber daya
ekonomi, dan pajak itu haruslah adil dari tempat ke tempat, dalam arti hendaknya
tidak ada perbedaan-perbedaan besar dan sewenang-wenang dalam beban
pajak dari satu daerah ke daerah lain, kecuali jika perbedaan ini mencerminkan
perbedaan dalam cara menyediakan layanan masyarakat;
3. Daya guna ekonomi (economic efficiency): pajak hendaknya mendorong (atau
setidak-tidaknya tidak menghambat) penggunaan sumber daya secara berdaya
guna dalam kehidupan ekonomi, mencegah jangan sampai pilihan konsumen
dan pilihan produsen menjadi salah arah atau orang menjadi segan bekerja atau
menabung, dan memperkecil beban lebih pajak;
4. Kemampuan melaksanakan (ability to implement): suatu pajak haruslah dapat
dilaksanakan, dari sudut kemauan politik dan kemampuan tata usaha;
5. Kecocokan sebagai sumber penerimaan daerah (suitable as a local revenue
source): ini berarti haruslah jelas kepada daerah mana suatu pajak harus
dibayarkan dan tempat memungut pajak sedapat mungkin sama dengan tempat
akhir beban pajak; pajak tidak mudah dihindari, dengan cara memindahkan objek
pajak dari satu daerah ke daerah lain; pajak daerah jangan hendaknya
273
274
Republik Ceko
Sistem pemungutan pajak yang berlaku di negara Ceko dipungut di pusat ataupun di
daerah, tetapi otonomi daerah tidak menerapkan otonomi daerah secara murni.
Artinya, baik pusat ataupun daerah melakukan pemungutan pajak sendiri-sendiri.
Akan tetapi, ada beberapa jenis pungutan yang pemungutannya dilakukan baik di
daerah ataupun di pusat. Contohnya pajak domestik atas barang dan jasa.
Sedangkan berbagai jenis pungutan yang berlaku di Republik Ceko, baik pajak
ataupun retribusi dan yang dipungut oleh pusat ataupun daerah.
Mengenai pelayanan masyarakat yang erat sekali kaitannya dengan pungutan
pajak, pelayanan yang disediakan oleh pemerintah kota di Ceko ada yang bersifat
wajib dan adajuga yang bersifat pilihan. Jenis-jenis pelayanan wajib ditetapkan dalam
UU Pemerintah Kota dan dibiayai atas dasar prinsip kebutuhan publik, dan pelayanan
teknis yang dibiayai melalui retribusi. Pelayanan wajib umumnya meliputi perawatan
jalan; administrasi institusi pemerintah kota dalam hal pendidikan; pelayanan sosial
bagi lanjut usia dan orang-orang cacat; pelayanan kesehatan baik melalui rumah
sakit kota maupun dokter swasta; keamanan publikmelalui satuan kepolisian di kotakota besar atau melalui kerja sama dengan pemerintah kota lain; dan pemadam
kebakaran. Pelayanan teknis meliputi pengolahan limbah, sanitasi, transportasi, dan
perawatan taman. Semua jenis pelayanan di atas disediakan oleh badan usaha milik
pemerintah kota bekerja sama dengan sektor swasta yang didasarkan atas kontrak
dan kerja sama dengan pemerintah kota lain.
Republik Hungaria
Berdasarkan pemungutannya, negara Hungaria dibagi menjadi dua wilayah
pungutan, yaitu pusat dan lokal. Terdapat empat pajak utama yang dipungut oleh
pemerintah pusat yaitu pajak penghasilan perusahaan, pajak penghasilan
perorangan, pajak pertambahan nilai, dan pajak pengalihan properti. Sedangkan
untuk pajak lokal terdapat lima jenis yaitu pajak bisnis, pajak komunal, pajak tanah
kota, pajak bangunan, dan pajak turis.
Peranan pemerintah daerah dalam penyediaan layanan publik berdasarkan UU
Penerintah Daerah yang menyatakan bahwa mereka dapat bertindak secara otonom
dalam permasalahan publik di tingkat daerah termasuk dalam memenuhi kebutuhan
masyarakat melalui pengaturan dan pembiayaan pelayanan publik. Tanggung jawab
ini bisa dialihkan hanya melalui perkecualian dan ditetapkan oleh UU.
Penyediaan layanan masyarakat dilaksanakan dengan prinsip wajib dan pilihan.
Fungsi wajib dikelompokkan menjadi: layanan yang harus diadakan di setiap
pemukiman tanpa memandang jenis dan luasnya, dan yang pembiayaan
pelaksanaannya harus berasal dari anggaran pemerintah pusat.
275
Kerajaan Belanda
Berdasarkan dari pemungutannya, negara Belanda dibagi menjadi lima wilayah
pungutan (yang memegang otoritas) pemungutan, yaitu pusat, status kawasan
industri, provinsi, kotapraja, dan otoritas pengendalian air. Tiap-tiap daerah pungutan
terdapat pungutan pajak penghasilan dan kekayaan, kecuali daerah status kawasan
industri. Pajak ini dibayarkan oleh perorangan. Namun, pungutan untuk pajak atas
produksi impor terdapat pada semua wilayah, pajak ini dibayarkan oleh perusahaan
atau industri. Penerimaan pungutan pusat merupakan peranan yang sangat dominan,
yaitu mencapai sebesar 94.07% pada tahun 1995.
Tujuan perbaikan sistem pajak di Belanda adalah untuk meningkatkan tenaga
kerja dan memperkuat struktur perekonomian dan kekuatan kompetitif di Belanda,
mengurangi beban pajak untuk tenaga kerja, mendorong perkembanagn ekonomi,
mendistribusikan beban pajak secara berkala, memperluas dan memperkuat dasar
pajak dengan mengurangi dan mengubah pemotongan biaya, emansipasi lebih jauh
dan kebebasan ekonomi, dan menyederhanakan sistem pajak.
Kerajaan Malaysia
Pembagian sumber-sumber penerimaan antara pemerintah federal dan pemerintah
negeri diatur dengan konstitusi. Kebanyakan kekuasaan dan tanggung jawab
keuangan berada pada pemerintah federal, begitu juga mengenai sumber-sumebr
penerimaannya. Undang-undang federal memberi kekuasaan istimewa terhadap
pemerintah federal untuk memungut semua pajak dan semua bentuk penerimaan.
Sedangkan pemerintah negeri hanya mempunyai sebagian kecil kekuasaan saja.
Akan tetapi Negeri Sabah dan Sarawak diberi tambahan sumber penerimaan, seperti
impor dan cukai terhadap petroleum dan impor terhadap hasil hutan lainnya.
Pembagian kewenangan dan tanggung jawab serta sumber penerimaan antara
pemerintah federal dan negeri menunjukkan besarnya kekuasaan pemerintah pusat
(pemerintahan masih bersifat sentralistik).
Dikarenakan sistem pemerintahan di Malaysia dibedakan menjadi beberapa level
antara lain pemerintah federal dan pemerintah lokal, dimana terhadap masing-masing
tingkat pemerintahan tersebut diberi kewenangan dalam menggali sumber-sumber
penerimaan, maka pada setiap level pemerintahan tersebut mempunyai sumbersumber penerimaan yang berbeda khususnya pada penerimaan yang berasal dari
pajak.