Anda di halaman 1dari 10

Latar Belakang

Sejak awal era 1970-an, secara perlahan Indonesia mentransformasi


sistem perekonomiannya menjadi neoliberalis sehingga sangat ramah terhadap
investasi asing. Upaya ini tampak jelas setelah dikeluarkannya berbagai kebijakan
deregulasi ekonomi antara 1980 hingga pertengahan 1990-an dimana, pada masa
keemasan tersebut, investor diberikan keleluasaan besar untuk menguasai lahanlahan perkotaan dan mengalihkannya menjadi lahan-lahan industri dan real estate
(khususnya mall, apartemen, dan perkantoran) (Santoso, 2007; Cowherd, 2005).
Hingga kini, jumlah mall telah bertambah pesat di kota-kota yang secara
tradisional merupakan tulang punggung perekonomian nasional, seperti Kota
Bandung. Kota Bandung dikenal dengan kota belanja, dengan mall dan factory
outlet yang banyak tersebar di kota ini. Menurut BAPPEDA (Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah) (2010), tercatat terdapat 37 pusat perbelanjaan atau mall
terbangun di Kota Bandung yang terdiri dari berbagai kelas pusat perbelanjaan.
Jadi, dengan tingkat kependudukan Kota Bandung pada tahun 2010 sebesar
3.174.499 orang yang terbagi diantaranya pada sektor perdagangan 28,16%, pada
sektor jasa 15,92%, serta pada sektor pengguna 40,92% dan lain-lain, sehingga
membantu pertumbuhan mall yang cukup pesat di Kota Bandung baik dari segi
pedagang maupun pengguna.
Akibat banyaknya pembangunan mall yang tidak berada pada lokasi yang
tepat di Kota Bandung, maka berimplikasi dengan muculnya permasalahanpermasalahan

yang

diakibatkan

oleh

pembangunan

mall-mall

tersebut.

Permasalahan-permasalahan yang muncul seperti semakin terbatasnya ruang


publik akibat tidak terdapat adanya pengendalian ruang sehingga banyak terdapat
mall yang jaraknya berdekatan dengan pasar tradisional dan terdapat dua buah
mall yang berada dalam satu WP (Wilayah pengembangan) seperti Ciwalk dan
Paris Van Java, kemacetan, memicu pertumbuhan PKL (Pedagang Kaki Lima) di
sekitar mall, kesenjangan sosial karena mall tidak berfungsi sebagai ruang publik
yang memenuhi tujuan sosial (hanya pengunjung yang memiliki uang yang bisa

1 | Te k n i k E v a l u a s i P e r e n c a n a a n

berbelanja di mall dan kebanyakan pengunjung hanya berjalan-jalan di mall tanpa


berbelanja karena alasan ruang publik yang nyaman pada saat ini hanya mall),
pemborosan energi akibat penggunaan AC dan penerangan di mall dalam skala
besar karena kebanyakan mall di Kota Bandung memiliki konsep one stop
shopping indoor sehingga membutuhkan AC dan penerangan dalam skala dan
mengubah landmark sebuah kota sehingga landmark asli sebuah kota akan
menjadi redup.
Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang diakibatkan oleh
banyaknya pembangunan mall yang tidak berada pada lokasi yang tepat di Kota
Bandung, peran pemerintah sangat dibutuhkan. Pemerintah Kota Bandung telah
membuat kebijakan yang diatur dalam Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2009
Tentang Penataan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Maka
dari itu perlu adanya evaluasi untuk meninjau kembali kebijakan peraturan daerah
tersebut.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam evaluasi lokasi pusat perbelanjaan atau
mall di Kota Bandung adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana lokasi pusat perbelanjaan atau mall di Kota Bandung ?
2. Apa peran Pemerintah Kota Bandung dalam menghadapi permasalahanpermasalahan yang timbul akibat tidak tertatanya pusat perbelanjaan atau
mall di Kota Bandung ?
3. Apakah kebijakan pemerintah Kota Bandung yang terdapat pada PERDA
No. 2 Tahun 2009 Tentang Penataan Pasar Tradisional Pusat Perbelanjaan
dan Toko Modern dalam mengatasi permasalahan yang diakibatkan oleh
banyaknya pembangunan mall yang tidak berada dalam lokasi yang tepat
telah berhasil dilaksanakan ?
4. Apa solusi yang ditawarkan untuk mengatasi permasalahan penataan pusat
perbelanjaaan atau mall di Kota Bandung ?

Tujuan

2 | Te k n i k E v a l u a s i P e r e n c a n a a n

Tujuan dari penulisan paper ini adalah untuk mengevaluasi kebijakan


Pemerintah Kota Bandung dalam mengatasi permasalahan tidak tertatanya pusat
perbelanjaan atau mall yang ada di Kota Bandung.
Sasaran
Adapun sasaran dalam penulisan paper ini adalah :
1. Teridentifikasinya keadaan lokasi pusat perbelanjaan atau mall di Kota
Bandung
2. Mengetahui peran Pemerintah Kota Bandung dalam menghadapi
permasalahan-permasalahan yang timbul akibat tidak tertatanya pusat
perbelanjaan atau mall di Kota Bandung
3. Mengevaluasi kebijakan Pemerintah Kota Bandung yang terdapat pada
PERDA No. 2 Tahun 2009 Tentang Penataan Pasar Tradisional Pusat
Perbelanjaan dan Toko Modern dalam mengatasi permasalahan yang
diakibatkan oleh banyaknya pembangunan mall yang tidak berada dalam
lokasi yang tepat
4. Terumuskan solusi

yang

dijadikan

remondasi

untuk

mengatasi

permasalahan penataan pusat perbelanjaaan atau mall di Kota Bandung


Data dan Fakta
Logika membangun mall di Kota Bandung tidak sama dengan
membangun mall di Singapura, Malaysia dan Hongkong, serta satu Negara Eropa
lainnya. Mallmall di Singapura, Hongkong, Kuala Lumpur dan Hongkong
dibangun pada satu kawasan yang kompak, yang biasanya menjadi daerah tujuan
wisata turis mancanegara, misalnya di sekitar Orchad Road (Singapura), di sekitar
Bukit Bintang, Sungai Wen dan Ampang (Kuala Lumpur), dan di sekitar Kowloon
dan Causeway Bay (Hongkong). Sebagai tujuan wisatawan asing, mall-mall di
Kuala Lumpur, misalnya memberikan kontribusi 20,8% dari total pemasukan
sektor pariwisata. Sementara itu, revenue /pendapatan yang masuk ke Singapura
dari sektor pariwisata adalah USD 5,74 juta, Hongkong adalah USD 10,3 juta dan
Malaysia adalah USD 8,54 juta. Sedangkan Indonesia secara keseluruhan adalah
USD 4,52 juta saja (World Economic Forum/WEF, 2007). Berdasarkan Travel
and Tourism Index yang dikeluarkan oleh WEF (2007), jumlah wisatawan

3 | Te k n i k E v a l u a s i P e r e n c a n a a n

mancanegara yang masuk ke Singapura adalah 7,08 juta selama 2005, sementara
Kuala Lumpur 16,4 juta, dan Hongkong 14,77 juta. Jumlah ini jauh diatas
wisatawan mancanegara yang masuk ke Indonesia (total 5,2 juta) pada tahun yang
sama. Bagi Singapura, Hongkong dan Malaysia, mall-mall menjadi bagian yang
tidak terpisahkan dari atraksi wisata kota. Namun ada kemiripan dengan kasus
Kota Bandung dimana mall merupakan investasi untuk menarik konsumsi produkproduk retail, hanya sumbernya saja yang berbeda. Sementara itu, perspektif Lyon
(Perancis) terhadap mall sama sekali berbeda dari kasus-kasus kota Asia, karena
pembangunan kotanya banyak dipengaruhi oleh pemikiran sosialis, seperti Marx,
Durkheim, Bourdieu, Halbwachs, dan lain-lain. Sementara itu, di Kota Bandung,
mall dibangun untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik yang secara kuantitatif
cukup signifikan besarannya (rasio 1:96.400, jadi 1 buah mall di Kota Bandung
melayani 96.400 pengunjung. Belum terhitung jumlah wisatawan lokal ke Kota
Bandung 10 juta/tahun). Namun sesungguhnya harus dicatat bahwa kemampuan
membeli (purchasing power) masyarakat lokal maupun wisatawan domestik
relatif terbatas, hanya pada kelompok menengah ke atas. Secara geografis, mallmall yang dibangun di Kota Bandung berada di tempat-tempat yang terpisah
cukup jauh satu sama lain, tidak berada dalam satu kawasan yang kompak.
Menurut Paskarina, Mariana, Amoko (2007), Di Kota Bandung, pasar
tradisional yang lokasinya berdekatan dengan mall/hypermarket menjadi makin
sepi pembeli. Hypermart adalah salah satu dari hypermarket yang menyerbu Kota
Bandung. Sebelumnya, di Kota ini sudah masuk hypermarket lainnya, seperti
Carrefour, Giant, Alfa, Makro, Bandung Electronic Center, Cihampelas Walk,
ITC Kebon Kalapa. dan ITC Pasar Baru. Tahun 2006 mulai dibangun empat
mall/hypermarket baru, yaitu Bandung Electronic Mall, Mall Paris Van Java,
Braga City Walk, dan Paskal Hyper Square. Semua pusat perbelanjaan yang
dibangun itu berlokasi di pusat kota, bukan di wilayah Bandung Timur seperti
yang diamanatkan Perda RTRW Kota Bandung.
Akibat dari banyaknya pembangunan mall yang tidak berada dalam
lokasi yang tepat, maka timbul beberapa permasalahan. Permasalahanpermasalahan tersebut seperti semakin terbatasnya ruang publik akibat tidak

4 | Te k n i k E v a l u a s i P e r e n c a n a a n

terdapat adanya pengendalian ruang sehingga banyak terdapat mall yang jaraknya
berdekatan dengan pasar tradisional dan terdapat dua buah mall yang berada
dalam satu WP (Wilayah pengembangan) seperti Ciwalk dan Paris Van Java,
kemacetan, memicu pertumbuhan PKL (Pedagang Kaki Lima) di sekitar mall,
kesenjangan sosial karena mall tidak berfungsi sebagai ruang publik yang
memenuhi tujuan sosial (hanya pengunjung yang memiliki uang yang bisa
berbelanja di mall dan kebanyakan pengunjung hanya berjalan-jalan di mall tanpa
berbelanja karena alasan ruang publik yang nyaman pada saat ini hanya mall),
pemborosan energi akibat penggunaan AC dan penerangan di mall dalam skala
besar karena kebanyakan mall di Kota Bandung memiliki konsep one stop
shopping indoor sehingga membutuhkan AC dan penerangan dalam skala dan
mengubah landmark sebuah kota sehingga landmark asli sebuah kota akan
menjadi redup.
Dalam

menghadapi

permasalahan-permasalahan

tersebut,

peran

Pemerintah sangat diperlukan. Salah satu peran Pemerintah Kota Bandung dalam
menghadapi permasalahan-permasalahan tersebut adalah membuat kebijakan yang
diatur dalam Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2009 Tentang Penataan Pasar
Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Selain itu pula, untuk
menangani permasalahan-permasalahan tersebut, upaya yang telah dilakukan
Pemerintah Kota Bandung adalah melalui pembatasan pusat perdagangan di pusat
Kota, dengan merencanakan pengembangan wilayah Bandung Timur-Tenggara.
Pengembangan kawasan perbatasan dengan Kabupaten Bandung dan Kota Cimahi
distimulasi dengan pusat-pusat belanja lingkungan dan mekanisme insentif berupa
kemudahan perizinan, kemudahan memperoleh lahan dan pembangunan
infrastruktur penunjang pusat belanja (Paskarina, Mariana, Amoko, 2007).

Analisis
Dalam paper ini, analisis yang digunakan adalah evaluasi formal dimana
evaluasi dilakukan atas hasil dari tujuan program kebijakan yang telah

5 | Te k n i k E v a l u a s i P e r e n c a n a a n

diumumkan secara formal oleh pembuat kebijakan dan administrator program,


dalam hal ini adalah evaluasi tentang PERDA Kota Bandung No. 2 Tahun 2009
Tentang Penataan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern.
Asumsi utama dari evaluasi formal adalah bahwa tujuan dan target diumumkan
secara formal adalah merupakan ukuran yang tepat untuk manfaat atau nilai
kebijakan program (Dunn, 2000).
Sesuai dengan tujuan evaluasi, maka kriteria penilaian dalam evaluasi
lokasi pusat perbelanjaan atau mall di Kota Bandung diambil berdasarkan
persyaratan yang berada pada PERDA Kota Bandung No. 2 Tahun 2009 Tentang
Penataan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Kriteria-kriteria
tersebut adalah lokasi, jarak, Izin Usaha Pusat Perbelanjaan (IUPP), pembinaan,
serta kemitraan antara pedagang pasar tradisional dan toko modern. Kriteriakriteria tersebut diambil berdasarkan penilaian akan permasalahan yang masih
belum dapat diatasi oleh kebijakan Pemerintah Kota Bandung, yang dalam hal ini
berbentuk PERDA No. 2 Tahun 2009. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada
tabel evaluasi berikut ini.

6 | Te k n i k E v a l u a s i P e r e n c a n a a n

Tabel Evaluasi
Kriteria
Lokasi

PERDA No.2 Tahun 2009


Hypermarket dan pusat perbelanjaan hanya dapat

berlokasi pada sistem jaringan jalan arteri atau kolektor


Jarak

Hypermarket dan perkulakan berjarak minimal 2,5 km

dari pasar tradisional yang terletak di pinggir


kolektor/arteri

Izin Usaha Pusat

Perbelanjaan (IUPP)

Permintaan IUPP dilengkapi dengan studi kelayakan

Fakta
Terdapat pusat perbelajaan/mall yang
berlokasi bukan pada sistem jaringan
jalan arteri atau kolektor, yaitu BEC
yang berada di Jalan Purnawarman
Terdapat pusat perbelajaan/mall yang
berjarak kurang dari 2,5 km yaitu
Cicadas Mall dan Pasar Cicadas

Terdapat hypermarket yang berada di


Ujung Berung belum memilki Izin
Usaha Pusat perbelanjaan (IUPP)

Belum ada sosialisasi untuk


memberdayakan pusat perbelanjaan dan
toko modern dalam membina pasar
tradisional

Belum adanya kemitraan antara


pedagang tradisional dan pusat
perbelanjaan di Kota Bandung

termasuk analisis mengenai dampak lingkungan,


terutama aspek sosial budaya dan dampaknya bagi
pelaku perdagangan eceran setempat dan pasar
tradisional yang ada

Pembinaan

Dalam rangka pembinaan pusat perbelanjaan dan toko


modern Pemerintah Daerah memberdayakan pusat
perbelanjaan dan toko modern dalam membina pasar

Kemitraan antara pedagang

tradisional
Pusat perbelanjaan dengan luas lantai > 2000 m2

pasar tradisional dan toko

diwajibkan menyediakan ruang tempat bagi usaha kecil

modern

dan usaha informal minimal 10% dari luas lantai efektif


bangunan dan tidak dapat diganti dalam bentuk lain

7 | Te k n i k E v a l u a s i P e r e n c a n a a n

Permasalahan
Kemacetan

Kekumuhan dan terdapat


persaingan antara mall
dengan pasar tradisional
yang mengancam
keberadaan pasar
tradisional
Penurunan pengawasan
Pemerintah Kota Bandung
dalam memberikan Izin
Usaha Pusat Perbelanjaan
(IUPP) sehingga ada
hypermarket yang bisa
membangun walaupun
belum memiliki IUPP
Semakin menjamurnya
PKL di sekitar pusat
perbelanjaan atau mall
sehingga mengganggu lalu
lintas
Semakin menjamurnya
PKL di sekitar pusat
perbelanjaan atau mall
sehingga mengganggu lalu
lintas

Kesimpulan dan Rekomendasi


Dengan demikian, kebijakan ini masih belum bisa mengatasi
permasalahan yang diakibatkan oleh banyaknya pembangunan mall yang tidak
berada dalam lokasi yang tepat. Hal tersebut dapat dilihat dari masih terdapatnya
pusat perbelanjaan/mall yang berlokasi bukan pada sistem jaringan jalan arteri
atau kolektor, yaitu Mall Bandung Electonic Center (BEC) sehingga
menyebabkan kemacetan di sepanjang jalan Purnawarman. Selain itu, masih
terdapat pula pusat perbelanjaan/mall yang berjarak kurang dari 2,5 km yaitu
Cicadas Mall dan Pasar Cicadas sehingga menyebabkan kekumuhan dan terdapat
persaingan antara mall dengan pasar tradisional yang mengancam keberadaan
pasar tradisional. Permasalahan lainnya yang masih belum bisa diatasi oleh
kebijakan ini adalah masih terdapatnya hypermarket yang berada di Ujung Berung
yang belum memiliki Izin Usaha Pusat Perbelanjaan (IUPP) sehingga merupakan
sebuah tantangan bagi Pemerintah Kota Bandung untuk lebih memperketat
pengawsasan bagi pusat perbelanjaan/mall untuk mendirikan bangunan. Dalam
hal pembinaan untuk kemitraan antara pedagang pasar tradisional dan toko
modern pun masih belum ada sosialisasi dari Pemerintah Kota untuk
memberdayakan pusat perbelanjaan dan toko modern dalam membina pasar
tradisional sehingga kemitraan antara pedagang tradisional dan pusat perbelanjaan
di Kota Bandung belum terjalin. Jadi, dapat disimpulkan bahwa kebijakan
Pemerintah Kota Bandung masih belum berhasil dalam mengatasi permasalahan
yang diakibatkan oleh banyaknya pembangunan mall yang tidak berada dalam
lokasi yang tepat.
Rekomendasi yang akan diberikan terkait dengan permasalahan yang
diakibatkan banyaknya pembangunan mall yang tidak berada dalam lokasi yang
tepat adalah berdasarkan atas permasalahan yang mucul dari fakta yang berada di
lapangan. Berikut ini merupakan rekomendasi-rekomendasi untuk mengatasi
permasalahan-permaslahan tersebut.

8 | Te k n i k E v a l u a s i P e r e n c a n a a n

1. Pemerintah Kota Bandung harus memperketat pengawasan dalam


perizinan pembuatan Izin Usaha Pusat Perbelanjaan (IUPP) bagi
pengembang yang akan mendirikan mall/pusat perbelanjaan baru
sehingga secara

langsung, dengan

ketatnya

pengawasan dalam

pembuatan perizinan IUPP tersebut bisa mengatasi laju naiknya


pertumbuhan mall di Kota Bandung yang merupakan penyebab dari
berbagai permasalahan lainnya, seperti kemacetan, dan memunculkan
PKL.
2. Pemerintah Kota Bandung harus mengadakan sosialisasi untuk
mengadakan kemitraan antara PKL dengan mall/pusat perbelanjaan.
Dimana setiap mall/pusat perbelanjaan harus menyediakan minimal 10%
dari luas lantainya untuk tempat bagi PKL-PKL yang berada di sekitar
mall tersebut. Jika perlu, berikan insentif penurunan pajak bangunan bagi
pusat perbelanjaan/mall yang melakukan kejasama dengan PKL.
Sehingga dapat meminimalkan jumlah PKL yang mengganggu lalu
lintas.
3. Membuat pusat perbelanjaan/mall sebagai ruang publik yang berfungsi
sosial, sehingga tidak ada lagi kesenjangan sosial dimana hanya
masyarakat yang mampu saja yang bisa berbelanja ke mall dan
masyarakat yang tidak mampu hanya bisa berbelanja ke pasar tradisional.
4. Pemerintah harus membuat untuk setiap mall/pusat perbelanjaan di Kota
Bandung memiliki konsep community mall seperti yang berada di Siam
Community Mall, Thailand dan untuk Kota Bandung, seperti Riau
Junction, jadi di dalam sebuah mall harus terdapat supermarket, beberapa
restoran dan kedai minum, food court, daya servis pendukung, ruang
publik, Ruang Terbuka Hijau (RTH), tempat bermain, ATM, dan tempat
parkir. Sehingga mall tidak hanya sebagai tempat berbelanja saja,
melainkan sebagai tempat yang nyaman juga untuk berekreasi bagi
masyarakat yang tinggal di perkotaan.

Daftar Pustaka

9 | Te k n i k E v a l u a s i P e r e n c a n a a n

Atmawidjaja, Endra Saleh. 2009. Masihkah Kota-Kota Indonesia Butuh


Mall?

http://bulletin.penataanruang.net/index.asp?

mod=_fullart&idart=126 (tanggal akses 17 April 2013)


Dunn, William. 2000. Analisis Kebijakan Publik Edisi Kedua. Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press
Paskarina, Caroline, Dede Mariana dan Tjipto Amoko. 2007. Evaluasi
Kebijakan

Pengelolaan

Pasar

di

Kota

Bandung.

http://resources.unpad.ac.id/unpadcontent/uploads/publikasi_dosen/EVALUASI%20KEBIJAKAN
%20PENGELOLAAN%20PASAR.PDF (tanggal akses 23 April
2013)
Rahadi, R. Aswin dan Aliya Widyarini Hapsariniaty. 2012. Study
Mengenai Konsep Community Malls di Kota Bangkok, Thailand
dan

Bandung,

Indonesia.

http://temuilmiah.iplbi.or.id/wp-

content/uploads/2012/10/TI2012-02-p017-020-Studi-mengenaiKonsep-Community-Malls-di-Kota-Bangkok-Thailand-danBandung-Indonesia.pdf (tanggal akses 23 April 2013)


Republik Indonesia. 2009. PERDA No. 2 Tahun 2009 Tentang Penataan
Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern.
http://www.bandung.go.id/?fa=sitedownload.category&id=16
(tanggal akses 16 April 2013)
Setianingsih, Yati. 2011. Pasar Tradisional-Modern Harus Saling
Melengkapi.

http://www.inilah.com/read/detail/1359472/pasar-

tradisional-modern-harus-saling-melengkapi (tanggal akses 17


April 2013)

10 | Te k n i k E v a l u a s i P e r e n c a n a a n

Anda mungkin juga menyukai