Soegiono Soetomo
Program Doktor Teknik Arsitektur dan Perkotaan
Universitas Diponegoro
soetomo_mpwk@yahoo.fr
ugi_s@yahoo.com
Poernomosidhi Poerwo
Program Doktor Teknik Arsitektur dan Perkotaan
Universitas Diponegoro
ps_poerwo@yahoo.com
Bambang Riyanto
Program Doktor Teknik Sipil
Universitas Diponegoro
bbriyanto@yahoo.com
Abstract
This paper presents the concept of a simple model to investigate the effects of land use change to
accessibility. The proposed model consists of three interrelated stages submodel. The application of the
model in the case of Semarang showed that residential area is most dominant zone forming the structure of
urban space, followed by the commercial and industrial zones. Related to the price of land, there is a
difference in the land use and accessibility changes at 2 different time periods. Changes in the structure of
space associated with an increase in land prices could affect the accessibility of the zone due to the potential
zone with high urban land price change. The concept of this model can be used as a theoretical basis for
urban planners in Indonesia and is expected to be to be used as a tool to make a decision for the sustainable
planning policy makers a road network in urban areas in developing countries such as Indonesia.
Keywords: land use, accessibility, the structure of urban space.
Abstrak
Makalah ini mengetengahkan sebuah konsep model sederhana untuk menyelidiki pengaruh perubahan tata
guna lahan terhadap aksesibilitas. Model yang diusulkan terdiri atas 3 tahapan submodel yang saling
berkaitan. Penerapan model pada kasus Kota Semarang menunjukkan bahwa kawasan perumahan merupakan
kawasan yang paling dominan sebagai pembentuk struktur ruang kota, disusul oleh kawasan perdagangan
dan kawasan industri. Terkait dengan harga lahan, terjadi perbedaan perubahan tata guna lahan dan
perubahan aksesibilitas pada 2 kurun waktu yang berbeda. Perubahan struktur ruang yang terkait dengan
harga lahan dapat mempengaruhi peningkatan aksesibilitas yang disebabkan adanya potensi zona yang
mengalami kenaikan harga lahan perkotaan yang cukup tinggi. Konsep model ini dapat digunakan sebagai
teori dasar bagi perencana kota di Indonesia dan diharapkan dapat menjadi salah satu tolok ukur penentu
kebijakan perencanaan berkelanjutan suatu jaringan jalan di wilayah perkotaan di negara berkembang seperti
di Indonesia.
Kata-kata Kunci: tata guna lahan, aksesibilitas, struktur ruang kota.
153
PENDAHULUAN
Pertambahan penduduk di perkotaan menyebabkan berkembangnya wilayah
perkotaan yang berdampak terhadap perubahan struktur ruang. Ruang terbuka yang semula
merupakan lahan pertanian, lahan konservasi alam, dan resapan air tanah, serta daerah
sabuk hijau menjadi lahan aktivitas yang difungsikan untuk kegiatan industri, perdagangan,
dan perumahan. Pertumbuhan penduduk yang tinggal di kawasan Kota Semarang dalam
kurun waktu 1998-2008 telah mengalami pertambahan yang disebabkan oleh: (1)
pertumbuhan alami 10,0 %-15,0 %, (2) migrasi penduduk dari desa ke kota 25,0 %-30,0 %
terhadap pertumbuhan penduduk perkotaan, dan (3) transformasi perubahan wilayah dari
perdesaan menjadi perkotaan sekitar 30,0%-35,0% (ADB, 2000). Pergerakan demografi ini
berdampak melebarnya daerah pinggiran. Permasalahan utama di perkotaan adalah
pertumbuhan penduduk yang sulit dikendalikan, sehingga berdampak terhadap perubahan
fungsi-fungsi lahan yang sangat ditentukan oleh tingkat aksesibilitas dan mobilitas.
Permasalahan yang terjadi di kota-kota besar di negara yang sedang berkembang
adalah terjadinya perubahan struktur ruang yang cepat. Tiga elemen pembentuk struktur
ruang adalah perdagangan, industri, dan perumahan. Ketiga elemen tersebut sangat erat
kaitannya dengan struktur ruang, yaitu: (1) perdagangan umumnya memerlukan lokasi di
pusat kota, (2) industri memerlukan lokasi di pinggiran kota yang memiliki aksesibilitas
tinggi untuk distribusi hasil produksi dan bahan dasar, dan (3) perumahan atau tempat
tinggal memerlukan kenyamanan dalam arti yang luas, termasuk adanya kemudahan akses,
ketenangan, jauh dari kebisingan, dan udara bersih.
Bentuk perkotaan yang tercermin dalam struktur dan pola ruang pada dasarnya
tidak dapat dipisahkan dengan sistem transportasi perkotaan karena keterkaitannya yang
bersifat timbal balik. Sebagai contoh, keterkaitan antara transportasi dengan bentuk
perkotaan dalam pengembangan kota yang berkelanjutan dapat mengurangi dampak
negatif terhadap pencemaran.
Struktur berbagai kota meninggalkan model monosentris dan banyak aktivitas yang
membangkitkan perjalanan telah menyebar dalam kelompok-kelompok di luar area CBD
(Central Business District). Secara tradisional, kota yang monosentris telah menjadi model
yang banyak digunakan untuk menganalisis pola tata ruang kota. Profil kepadatan
menyediakan gambaran distribusi kepadatan berdasarkan jarak dari titik pusat, yang pada
umumnya merupakan pusat CBD.
Aksesibilitas diartikan sebagai konsep
yang menggabungkan atau
mengkombinasikan antara sistem tata guna lahan secara geografis dengan sistem jaringan
transportasi yang menghubungkannya. Perubahan tata guna lahan yang menimbulkan
zona-zona dan jarak geografis di suatu wilayah atau kota akan mudah dihubungkan oleh
penyediaan prasarana atau sarana angkutan (Miro, 2005). Tamin dan Soegondo (1997)
menyatakan bahwa aksesibilitas diartikan sebagai mudahnya suatu lokasi dihubungkan
154
dengan lokasi lainnya lewat jaringan transportasi yang ada, berupa prasarana jalan dan alat
angkut yang bergerak di atasnya.
perdagangan
industri
Harga Lahan
perumahan
0
Jarak Ke Pusat Kota
Gambar 1 Hubungan antara Harga Tanah dan Jarak Pusat Kota
Pembangunan Jaringan Jalan Perkotaan Berdasarkan Kajian Struktur Ruang dan Aksesibilitas Kota (Masrianto, dkk) 155
Model linier hubungan antara harga lahan dan jarak ke CBD untuk ketiga
komponen (perdagangan, industri, dan perumahan) dapat dituliskan sebagai berikut:
(1) perdagangan (T), yT = aT x + bT ;
(2) industri (I), y I = a I x + bI ; dan
(3) perumahan (H), y H = a H x + bH ;
dengan a = gradient dan b = konstan, aT a I a H dan bT bI bH .
Model eksponensial untuk 2 kondisi awal dan akhir dapat ditulis sebagai berikut:
E T , I , H = f ( cT , I , H , d T , I , H )
dengan:
c dan d adalah konstan, E adalah logaritma.
Selanjutnya besaran nilai kawasan dominan PSRK akibat pergeseran model
eksponensial dapat dihitung dari perhitungan matematis sebagai berikut:
( S
T ,I ,H
= 100%)
156
terhadap persamaan non-linier yang terbentuk dari data hasil survei primer, yang
dibedakan menjadi 4 bagian, yaitu: (1) kondisi sebelum (1998) dan sesudah (2008)
gabungan T, I, dan H (Gambar 3), (2) kondisi sebelum dan sesudah gabungan T (tetap), I,
dan H (Gambar 4), (3) kondisi sebelum dan sesudah T, I (tetap), dan H (Gambar 2), dan
(4) kondisi sebelum dan sesudah T, I, dan H(tetap), yang dapat dilihat pada Gambar 3.
Hasil perhitungan gabungan diperoleh dari selisih antara jumlah rata-rata harga
lahan kondisi sesudah (2008) dan sebelum (1998), seperti yang dapat dilihat pada Tabel 1.
y = -37913x + 91645
6.000.000
5.000.000
4.000.000
3.000.000
2.000.000
1.000.000
0
10
12
14
16
18
Gambar 2 Hubungan Jarak ke CBD dan Harga Lahan di Kawasan Perumahan Gabungan
y = -10512x + 2E+06
6.000.000
5.000.000
4.000.000
3.000.000
2.000.000
1.000.000
(1.000.000) 0
10
12
14
16
18
Gambar 3 Hubungan Jarak ke CBD dan Harga Lahan di Kawasan Perdagangan Gabungan
Nilai (selisih) terbesar adalah kawasan perumahan, yaitu sebesar Rp. 491.300,
diikuti kawasan perdagangan, yaitu Rp. 203.077, dan kawasan industry, yaitu Rp. 40.677.
Hasil analisis ini mengindikasikan bahwa pembentuk struktur ruang kota Semarang adalah
kawasan perumahan.
Hasil bangkitan perjalanan dapat dilihat pada Tabel 2, yang merupakan selisih
antara bangkitan sebelum (1998) dan sesudah (2008). Hasil ini mengindikasikan bahwa
Pembangunan Jaringan Jalan Perkotaan Berdasarkan Kajian Struktur Ruang dan Aksesibilitas Kota (Masrianto, dkk) 157
3.500.000
3.000.000
Harga Lahan (Rp.)
2.500.000
2.000.000
1.500.000
1.000.000
500.000
(500.000) 0
10
12
14
16
18
Gambar 5 Hubungan Jarak ke CBD dan Harga Lahan di Kawasan Industri Gabungan
y = 97304e-0.08x
6.000.000
5.000.000
4.000.000
3.000.000
2.000.000
1.000.000
0
10
12
14
16
18
Gambar 6 Hubungan Jarak ke CBD dan Harga Lahan Gabungan 3 (tiga) Kawasan
(perumahan, perdagangan, dan industri)
HI
HI
735,054
243,754
TI
735,054
II
735,054
TI
II
491,300
531,977
203,077
694,377
40,677
158
Semarang Tengah, Semarang Timur, Gajah Mungkur, Banyu Manik, dan Kecamatan Tugu
pada tahun 2008. Kondisi tersebut dapat dilihat dalam Tabel 3 dan Tabel 4.
Nilai konstribusi perjalanan terbesar adalah kawasan perumahan, yaitu sebesar
2.591, diikuti kawasan perdagangan, yaitu 600, dan kawasan industri, yaitu 334. Hasil
analisis tersebut mengindikasikan bahwa kawasan perumahan sebagai penyumbang
konstribusi perjalanan yang paling dominan di kawasan Kota Semarang. Fenomena
tersebut disebabkan harga lahan di kawasan perumahan lebih murah daripada harga lahan
di kawasan industri dan perdagangan, sehingga berdampak terhadap jumlah bangkitan dan
tarikan perjalanan kawasan perumahan, yang jauh lebih besar daripada tarikan perjalanan
kawasan industri dan perdagangan. Hasil penelitian nilai kontribusi perjalanan tersebut
dapat dilihat dalam Tabel 5.
Pembangunan Jaringan Jalan Perkotaan Berdasarkan Kajian Struktur Ruang dan Aksesibilitas Kota (Masrianto, dkk) 159
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
160
Kontribusi Perjalanan
Kecamatan
Semarang
Tengah
Semarang
Timur
Gayamsari
Semarang
Selatan
Candisari
Gajah
Mungkur
Semarang
Barat
Semarang
Utara
Genuk
Pedurungan
Tembalang
Banyu
Manik
Gunung Pati
Mijen
Ngalijan
Tugu
Lainnya
Perumahan
Perdagangan
Industri
Total
Perumahan
Perdagangan
Industri
80
20
100
175
44
99
100
167
80
15
100
70
13
85
10
100
132
16
100
100
102
100
100
161
95
100
440
23
70
25
100
52
19
60
90
100
30
0
0
10
10
0
100
100
100
180
143
62
90
0
0
30
16
0
100
100
166
100
90
70
45
100
0
0
25
50
0
0
10
5
5
0
100
100
100
100
100
TOTAL:
221
24
60
77
476
2709
0
0
22
86
0
282
0
3
4
9
0
108
Total
219
169
87
155
102
161
463
74
300
159
62
166
221
27
86
172
476
3099
Tabel 4 Proporsi Luas Lahan Terhadap Kontribusi Perjalanan Tahun 2008 (Sesudah)
Zona
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
Kecamatan
Semarang
Tengah
Semarang
Timur
Gayamsari
Semarang
Selatan
Candisari
Gajah
Mungkur
Semarang
Barat
Semarang
Utara
Genuk
Pedurungan
Tembalang
Banyu
Manik
Gunung
Pati
Mijen
Ngalijan
Tugu
Lainnya
Perumahan
% Luas Lahan
Perdagangan Industri
Total
Kontribusi Perjalanan
Perumahan Perdagangan Industri
Total
75
20
100
426
114
28
568
80
15
100
350
66
22
438
75
15
10
100
170
34
23
226
77
15
100
310
32
60
402
100
100
265
265
100
100
418
418
90
100
942
52
52
1047
65
25
10
100
125
48
19
192
55
80
90
30
5
5
15
15
5
100
100
100
269
330
145
147
21
8
73
62
8
489
412
161
90
10
100
388
43
431
85
10
100
306
36
18
360
80
65
40
100
5
25
50
0
15
10
10
0
56
145
178
775
5597
4
56
223
0
882
11
22
45
0
443
70
223
446
775
6923
100
100
100
100
TOTAL:
Pembangunan Jaringan Jalan Perkotaan Berdasarkan Kajian Struktur Ruang dan Aksesibilitas Kota (Masrianto, dkk) 161
Tabel 5 Selisih Proporsi Luas Lahan Tahun 1998 (Sebelum) dan Tahun 2008 (Sesudah)
Zona
Kecamatan
Kec.
Semarang
Tengah
Kec.
Semarang
Timur
Kec.
Gayamsari
Kec.
Semarang
Selatan
Kec.
Candisari
Kec. Gajah
Mungkur
Kec.
Semarang
Barat
Kec.
Semarang
Utara
Kec. Genuk
Kec.
Pedurungan
Kec.
Tembalang
Kec. Banyu
Manik
Kec.
Gunung
Pati
Kec. Mijen
Kec.
Ngalijan
Kec. Tugu
3
4
5
6
7
9
10
11
12
13
14
15
16
Total
162
% Luas Lahan
Perumahan Perdagangan
Industri
Perumahan
Kontribusi Perjalanan
Perdagangan
Industri
Total
-5
251
70
28
349
-19
14
183
64
22
269
-5
100
21
19
140
-8
178
24
44
246
163
163
257
257
-5
502
52
29
583
-5
73
29
15
117
-5
89
57
43
189
-10
187
21
46
254
-10
83
99
-10
10
222
43
165
-15
10
85
36
18
139
-10
32
44
-5
85
34
18
137
-5
101
2591
137
600
36
334
274
3525
1800%
1600%
1400%
y = 16,52x - 8,123
R = 0,584
1200%
Hub.
Kenaikan HL
dgn
Kenaikan
Aksesibilitas
(Perumahan)
1000%
800%
600%
400%
200%
0%
-200% 0%
50%
-400%
100%
150%
200%
Kenaikan Aksesibilitas
Pembangunan Jaringan Jalan Perkotaan Berdasarkan Kajian Struktur Ruang dan Aksesibilitas Kota (Masrianto, dkk) 163
164