Anda di halaman 1dari 27

LIKEN SIMPLEK KRONIK

Fitria
I. DEFINISI
Liken simplek kronik (LSK) adalah peradangan kulit kronis dengan rasa sangat gatal
ditandai dengan kulit menebal dan garis kulit terlihat lebih jelas dengan bentuk sirkumkripta.
Biasa dijumpai pada usia diatas 20 tahun dan sering pada wanita.
II.ETIOPATOGENESIS
Likenifikasi terjadi akibat garukan dan gosokan yang berulang karena adanya pruritus.
Pruritus yang terjadi dapat ditimbulkan oleh pelepasan mediator atau aktivitas enzim proteolitik
akibat penyakit kulit lain seperti dermatitis atopik maupun penyakit sistemik. Beberapa laporan
juga menghubungkan dengan stress emosional dan riwayat atopik.
III.

KRITERIA DIAGNOSIS
A. KLINIS
Penderita mengeluh gatal sekali sampai dapat mengganggu tidur dan biasanya gatal
muncul saat tidak beraktivitas.Lesi biasanya tunggal namun dapat juga lebih dengan daerah
predileksi pada tengkuk, leher bagian lateral, lengan dan tungkai bawah bagian ekstensor,
paha medial, dan genital (vulva, skrotum). Lesi awal berupa papul-papul eritem konfluen
yang selanjutnya karena garukan berulang membentuk plak hiperpigmentasi disertai
likenifikasidan

sering terdapat ekskoriasi dengan skuama yang minimal. Bentuk lesi

biasanya bulat, lonjong atau linear sesuai pola garukan.


B. DIAGNOSIS BANDING
1. Psoriasis vulgaris tipe plak
2. Dermatitis numularis
3. Dermatitis kontak
4. Liken planus
5. Mikosis fungoides stadium awal
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, jika dilakukan pemeriksaan
histopatologi dijumpai hyperplasia epidermis berupa hyperkeratosis, akantosis, jarang

terdapat spongiosis namun rete ridge memanjang dan melebar. Pada dermis terdapat
infiltrasi limfohistiosit disekitar pembuluh darah.
D. PENATALAKSANAAN
- Antihistamin yang mempunyai efek sedatif (hidroksizin, klorpeniramin).
- Steroid topikal potensi kuat, dapat juga dikombinasi dengan preparat tar dan bila perlu
-

ditutup dengan bahan plastik.


Injeksi steroid intralesi (triamsinolon asetonid)..
Edukasi pasien agar tidak terus menggaruk.
konsultasi psikiater bila diperlukan.

V. DAFTAR PUSTAKA
1. Burgin Susan. Lichen simplex. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI. Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine. 8thed. New York: Mc Graw-Hill, 2012: 4: 184-1877.
2. James WD, Berger TG, dan Elston DM. Pruritus and Neurocutaneous Dermatoses. Dalam:
Andrews Diseases of The Skin: Clinical Dermatology. 11th ed. Saunders Elsevier, 2011: 4:
45-61.
3. Jones JB dan Holden CA. Eczema, Lichenification, Prurigo and Erythroderma. Dalam: Burns
T, Breathnach S, Cox N dan Griffiths C. Rooks Textbook of Dermatology. 7 th ed. Blackwell
publishing, 2004: 17: 41-43.

PRURIGO
Fitria
I. DEFINISI
Prurigo adalah dermatosis kronik residif yang mengenai anak dan dewasa muda terutama
pada bagian badan yang tidak tertutup pakaian.Klasifikasi prurigo (KOCSARD 1962) dibagi
2

menjadi prurigo simplek dan dermatosis pruriginosa,yaitu yang sering dijumpai adalah prurigo
hebra. Bentuk prurigo lain yang sering dijumpai adalah prurigo nodularis.
II.ETIOPATOGENESIS
Penyebab pasti belum diketahui, umumnya terdapat riwayat penyakit yang sama dalam
keluarga, dan dihubungkan dengan riwayat atopi. Kulit penderita peka terhadap alergen
lingkungan, gigitan serangga, suhu, infestasi parasit (Ascaris) dan infeksi fokal (tonsil atau
saluran cerna).
III.

KRITERIA DIAGNOSIS
A. KLINIS
Penyakit ini mengenai anak dan dewasa muda dengan gejala sangat gatal dan ditandai
dengan adanya papul-papul miliar bentuk kubah sewarna kulit atau hiperpigmentasi pada
wajah, ekstremitas atas dan bawah terutama bagian ekstensor, tersebar simetris, makin ke
distal makin jelas gejalanya.Garukan berulang menimbulkan erosi, ekskoriasi, krusta,
hiperpigmentasi dan likenifikasi.Kelenjar getah bening regional biasanya membesar (walau
tidak ada infeksi) namun tidak nyeri, tidak ada supurasi, teraba lebih lunak disebut bubo
prurigo.Pada prurigo nodularis, lesi berupa nodus tunggal atau multipel, keras dan berwarna
merah atau kecoklatan, permukaan lesi dapat menjadi verukosa atau fisurasi
B. DIAGNOSIS BANDING
1. Skabies
3

Insect bite

3. Liken planus tipe hipertropik

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis.Gambaran histopatologi tidak khas,
sering dijumpai akantosis, hiperkeratosis, edema pada epidermis bagian bawah dan dermis
bagian atas.Bila telah kronik infiltrat kronis (limfohistiosit) ditemukan disekitar pembuluh
darah serta terdapat deposit pigmen di bagian basal.Pada prurigo nodularis dijumpai
penebalan epidermis sehingga tampak hiperkeratosis, hipergranulosis, akantosis yang tak

teratur (hyperplasia psoriasiformis).Penebalan stratum papilaris dermis akibat kumpulan


serabut kolagen kasar dengan arah vertikal.
IV.
PENATALAKSANAAN
-Antihistamin yang mempunyai efek sedatif .
-Antipruritus topikal yaitu sulfur 5-10% dalam bedak kocok/salap, mentol 0,25-1% atau kamper
2-3%.
-Steroid topikal untuk menekan inflamasi.
-Injeksi steroid intralesi pada prurigo nodularis.
-Antibiotik topikal jika terdaapat infeksi sekunder.
-Edukasi pasien agar menghindari gigitan serangga, mencari dan mengobati infeksi fokal dan
memperbaiki hygiene diri serta lingkungan.
V. DAFTAR PUSTAKA
1. Burgin Susan. Prurigo nodularis. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI. Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine. 8thed. New York: Mc Graw-Hill, 2012: 4: 184-187.
2. James WD, Berger TG, dan Elston DM. Pruritus and Neurocutaneous Dermatoses. Dalam:
Andrews Diseases of The Skin: Clinical Dermatology. 11th ed. Saunders Elsevier, 2011: 4:
45-61.
3. Jones JB dan Holden CA. Eczema, Lichenification, Prurigo and Erythroderma. Dalam: Burns
T, Breathnach S, Cox N dan Griffiths C. Rooks Textbook of Dermatology. 7 th ed. Blackwell
publishing, 2004: 17: 44-48.

DERMATITIS SEBOROIK
Fitria
I. DEFINISI
Dermatitis seboroik adalah peradangan kulit kronis dengan predileksi di area kelenjar
seboroik yang aktif (wajah terutama di alis, nasolabial, kepala, retroaurikular, presternal, dan
lipatan kulit).Dandruff/pityriasis sika adalah deskuamasi pada kulit kepala yang merupakan awal
dermatitis seboroik.

II.ETIOPATOGENESIS
Penyebab pasti belum diketahui, dihubungkan dengan kulit di daerah seboroik sebagai
faktor predisposisi, adanya infeksi Pityrosporum ovale, respon emosional terhadap stres atau
kelelahan.variasi suhu dan kelembaban udara yang rendah memperburuk penyakit, abnormalitas
neurotransmitter (obat neuroleptik penyebab Parkinson), diet abnormal (defisiensi zinc, niasin
dan piridoksin), dan insiden lebih tinggi pada penderita AIDS.
III.

KRITERIA DIAGNOSIS
A. KLINIS
Pada bayi (usia 2 minggu-10 minggu) sering muncul lesi di daerah kepala (frontal dan
parietal) disebut cradle cap dengan krusta tebal pecah-pecah dan berminyak tanpa ada
dasar kemerahan dan tidak/kurang gatal. Pada lokasi yang lain lesi tampak kemerahan atau
merah kekuningan yang tertutup dengan skuama berminyak.
Pada dewasa (usia pubertas, 18-40 tahun, usia tua) biasanya gatal pada area seboroik
terdapat makula atau plakat, folikular, perifolikular atau papula eritem atau kekuningan
disertai skuama dan krusta tipis sampai tebal yang kering, basah atau berminyak (gambar
3)Biasanya bersifat kronis residif.
Bila lesi meluas dapat menjadi eritroderma dan dapat menjadi bagian dari sindroma
Leiner bila disertai infeksi berulang dan diare.

B. DIAGNOSIS BANDING
1. Psoriasis vulgaris
2. Kepala: Pityriasis kapitis (ketombe)
3. Daerah fleksural: kandidiasis intertrigo
4. Pada bayi: dermatitis atopik
5. Erupsi obat: metil dopa, chlorpromazine, cimetidine
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, bila diperlukan dapat dilaakukan
pemeriksaan penunjang untuk diagnosis banding.Gambaran histopatologi dijumpai
parakeratosis fokal dengan beberapa netrofil, terdapat akantosis, spongiosis (udem

interseluler).Gambaran yang sangat khas adalah terdapat netrofil pada ujung folikel yang
terbuka dimana terdapat skuama/krusta.
IV.

PENATALAKSANAAN
Umum:
1. Memberikan informasi tentang penyakit bahwa bisa ditekan namun mudah kambuh.
2. Hindari faktor pencetus dan faktor yang memperberat serta perbaiki pola hidup.
3. Sering membersihkan kulit dengan sabun akan mengangkat minyak dan memberi
perbaikan lesi.
Khusus: Terapi farmakologis meliputi preparat anti fungi untuk menurunkan kolonisasi
jamur yang bersifat lipofilik dan preparat anti inflamasi.
1. Kulit kepala
a. Skuama melekat dan tebal: minyak mineral hangat/ minyak zaitun dibiarkan 8-12
jam dilanjutkan dengan shampo anti ketombe (selenium sulfide 2,5%, pyrithion
zinc 1-2%, ketoconazole 2% setiap hari atau selang sehari) atau shampoo tar.
b. Losio kortikosteroid potensi ringanatau krim pimecrolimus 1%.
2. Wajah dan badan
Krim dan shampo ketokonazol 2%, krim hidrokortison 1% atau 2,5%, krim
pimecrolimus 1%, atau salep tacrolimus 0.01 atau 0,03.

Sistemik:
1. Antihistamin
2. Kortikosteroid sistemik hanya pada kasus yang berat atau eritroderma dan dapat
diberikanasam retinoat oral 1mg/kg.
3. Antibiotik yang sesuai bila menjadi sindroma Leiner.
Konsultasi:
1. Bila ada stres ke ahli psikologi/psikiater.
2. Bila ada kelainan sistemik ke dokter spesialis Anak atau penyakit dalam.
V.

DAFTAR PUSTAKA

1. Collins CD dan Hivnor Chad. Seborrheic Dermatitis. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz
SI. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 8 thed. New York: Mc Graw-Hill,
2012:22: 259-266.

2. James WD, Berger TG, dan Elston DM.Seborrheic Dermatitis. Dalam: Andrews Diseases of
The Skin: Clinical Dermatology. 11th ed. Saunders Elsevier, 2011: 10: 188-189.
3. Jones JB dan Holden CA. Seborrheic Dermatitis. Dalam: Burns T, Breathnach S, Cox N dan
Griffiths C. Rooks Textbook of Dermatology. 7th ed. Blackwell publishing, 2004: 17: 10-15.

PITYRIASIS ROSEA
Fitria
I. DEFINISI
Pityriasis rosea adalah penyakit erupsi eksantematus akut kulit yang belum diketahui
penyebabnya, dengan lesi yang khas dan dapat sembuh dengan sendirinya dalam waktu 10-12
minggu.
II.ETIOPATOGENESIS
Pityriasis rosea biasanya mengenai umur 10-43 tahun, jarang pada bayi ataupun orang
tua.Penyebabnya dicurigai virus herpes tipe 7.
III.

KRITERIA DIAGNOSIS
7

A. KLINIS
Gejala konstitusi (malaise dan demam) jarang ditemukan, umumnya disertai gatal
ringan. Lesi pertama (herald patch) biasanya terdapat dibadan, soliter, bentuk oval dan
anular dengan sumbu terpanjang searah pelipatan kulit, diameter sekitar 3 cm, tepi meninggi
dengan skuama halus melekat pada tepinya/collarette(gambar 4a). Lesi-lesi lebih kecil
menyusul 4-10 hari kemudian pada badan, paha atas dan lengan atas bagian proksimal.Pada
punggung lesi tersusun sejajar tulang iga sehingga menyerupai pohon cemara terbalik.
B. DIAGNOSIS BANDING
1. Psoriasis vulgaris
2. Dermatitis seboroik
3. Tinea korporis
4. Morbus Hansen
5. Sifilis sekunder
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis serta lokasi yang khas.Gambaran
histopatologi dijumpai parakeratosis setempat atau difus, tidak terdapat stratum granulosum,
akantosis ringan, spongiosis fokal dan kadang terdapat sel diskeratotik.Pada dermis terlihat
udem dengan kolagen yang homogen dan infiltrasi sel mononuclear disekitar pembuluh
darah.
IV.

PENATALAKSANAAN
1. Terapi hanya bersifat simtomatik yaitu antipruritus topikal dan/atau antihistamin.
2. Kortikosteroid topikal diberikan bila perlu, tidak ada kontraindikasi, terutama bila
penyakit telah lebih dari 1 bulan.
3. Dapat membaik dengan fototerapi UVB atau paparan sinar matahari jika terapi dimulai
sejak minggu pertama terjadi erupsi.

V.

DAFTAR PUSTAKA

1. Blauvelt Andrew. Pityriasis Rosea. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI. Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine. 8thed. New York: Mc Graw-Hill, 2012: 42: 458-463.
2. James WD, Berger TG, danElston DM. Pityriasis Rosea. Dalam: Andrews Diseases of The
Skin: Clinical Dermatology. 11th ed. Saunders Elsevier, 2011: 11: 204-205.
3. Jones JB dan Holden CA. Pityriasis Rosea. Dalam: Burns T, Breathnach S, Cox N dan
Griffiths C. Rooks Textbook of Dermatology. 7th ed. Blackwell publishing, 2004: 17: 10-15.

PSORIASIS
Fitria
I. DEFINISI
Psoriasis adalah penyakit peradangan kulit yang kronik residif, ditaandai dengan adanya
plak eritematosa, diatasnya terdapat skuama kasar, transparan, berlapis-lapis, dan bewarna putih
keperakan.
II.ETIOPATOGENESIS
Penyebabnya masih belum diketahui namun ada 3 faktor yang berperan, yaitu:
1. Predisposisi genetic
Psoriasis dipengaruhi oleh faktor genetik yang diturunkan secara autosomal dominan
dengan incomplete penetrance dan berhubungan dengan Human Leucocyte Antigen
(HLA)-B13, B17, Bw57, Cw6, B27 dan Cw2.
2. Faktor imunologik
Defek genetik diekspresikan pada sel

limfosit

T,

sel

langherhans

dan

keratinosit.Pembentukan epidermis (turn over time) lebih cepat pada psoriasis yaitu 3-4
hari sedangkan pada kulit normal 27 hari.
3. Faktor pencetus
Stres emosional, trauma, infeksi (terutama Streptococcus beta haemolyticus), endokrin,
metabolik (hipokalsemia dan dialisis), obat (antimalaria, litium, kortikosteroid, agen
beta-adrenergic blocking), alkohol dan rokok.
III.

KRITERIA DIAGNOSIS
A. KLINIS
Keluhan dirasakan sedikit gatal dan panas selain keluhan kosmetik.Tempat predileksi
adalah daerah yang mudah terkena trauma seperti siku, lutut, sacrum, kepala dan
genetalia.lesi biasanya berupa plak eritematosa dengan ukuran bervariasi dari gutata,
nummular sampai plakat yang tertutup skuama tebal,kasar, kering, transparan dan berlapis
yang bewarna putih keperakan (gambar 6). Psoriasis dapat juga menyerang kuku sehingga
terjadi onikolisis dan onikodistrofi, perubahan warna kuku menjadi keruh, kekuningan dan
10

terdapat cekungan/pitting atau titik-titik punctuate, menebal dan terdapat subungual


hiperkeratosis sehingga kuku terangkat dari dasarnya.Kuku tangan lebih sering terkena
daripada kuku kaki.Mukosa dan sendi-sendi kecil juga dapat terkena.
Berdasarkan bentuk lesinya, psoriasis dapat dibagi menjadi:
1. Psoriasis vulgaris, bentuk tersering dijumpai dan sering disebut tipe plakat.
2. Psoriasis gutata, ukuran lesi kurang dari 1 cm, timbul mendadak dan diseminata,
biasanya muncul setelah terinfeksi terutama oleh Streptococcus pada saluran nafas
atas atau morbili.
3. Psoriasis inversa (fleksural), predileksi didaerah fleksor seperti lipat siku, lipat lutut,
infra mammae dan selangkangan.
4. Psoriasis eksudatif, lesi membasah seperti dermatitis akut namun jarang dijumpai.
5. Psoriasis seboroik (seboriasis), gabungan psoriasis dan dermatitis seboroik dengan
predileksi didaerah seboroik dan skuama agak berminyak dan lunak.
6. Psoriasis arthropatika, lesi psoriasis disertai arthritis kronik pada sendi-sendi kecil
dari tangan dan kaki.
7. Psoriasis pustulosa, terdapat 2 bentuk yaitu lokalisata (palmoplantar/Barber) dan
generalisata akut (von Zumbusch). Tipe Barber bersifat kronik residif, mengenai
telapak tangan dan/atau kaki dengan lesi berupa pustul-pustul kecil steril diatas patch
eritematosa dan disertai rasa gatal. Pada von Zumbusch, gejala awal kulit terasa nyeri
disertai demam, malaise, nausea dan anoreksia. Plak psoriasis yang telah ada semakin
merah dan udem, kulit normal juga menjadi eritematosa kemudian timbul banyak
pustul miliar pada plak tersebut. Pustul-pustul berkonfluensi membentuk lake of
pus.Pemeriksaan laboratorium terdapat leukositosis, kultur pus dari pustul steril.
Kelainan ini dapat menjadi eritroderma.
8. Eritroderma psoriatika, dapat disebabkan oleh pengobatan topikal yang terlalu kuat
atau oleh penyakitnya sendiri yang meluas. Lesi khas biasanya tidak terlihat lagi
karena terdapat eritem dan skuama tebal menyeluruh.

B. DIAGNOSIS BANDING
1. Dermatitis seboroik
2. Tinea korporis
3. Pytiriasis rosea
4. Sifilis stadium II
5. Morbus hansen
11

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis ditegakkan secara klinis dan histopatologi. Ada 3 tanda klinis yang dapat
dijumpai yaitu Karsvlek phenomena/fenomena bercak lilin (bila skuama dikerok akan
terlihat warna keruh seperti kerokan lilin), Auspitz sign (jika kerokan diteruskan akan
terlihat titik perdarahan), Koebner phenomena (pada kulit sehat yang terkena trauma
/goresan akan muncul lesi baru). Gambaran histopatologi dijumpai parakeratosis,
penipisan/hilangnya stratum granulosum, akantosis dan pemanjangan rete ridges dengan
bentuk psoriasiformis.Pada stratum korneum dapat dijumpai kumpulan kecil dari sel-sel
netrofil yang disebut mikro abses Munro.Pada dermis tampak papila dermis memanjang dan
melebar, vasodilatasi di subepidermis, dermis udem disertai infiltrasi sel limfosit dan
monosit.Dapat juga dilakukan pemeriksaan ASTO, asam urat, faktor rheumatoid, kultur dari
usapan tenggorokan untuk infeksi streptokokus beta hemolitikus grup A dan rontgen tulang
sendi.
Berdasarkan Psoriasis Area and Severity Index (PASI), Psoriasis dapat diklasifikasikan
menjadi:
1. Psoriasis ringan: PASI < 8, luas lesi < 5% dari luas permukaan kulit.
2. Psoriasis sedang: PASI 8-12, luas lesi 5-20%.
3. Psoriasis berat: PASI >12, luas lesi > 20%, komplikasi pustular psoriasis, mengenai
telapak tangan dan kaki.
IV.

PENATALAKSANAAN
Non medikamentosa:
1. Penjelasan penyakit dan perjalanan penyakit yang kronik residif, serta kemungkinan
2.
3.
4.
5.

kuku dan sendi dapat terkena.


Jangan menggaruk/trauma untuk mencegah fenomena Koebner.
Hindari faktor pencetus seperti stres, rokok, alkohol, infeksi, dan obat tertentu.
Pengobatan ditujukan untuk mencegah keparahan dan meningkatkan kualitas hidup.
Anjuran berobat teratur dan diperhatikan komplikasi dan perjalanan penyakitnya yang

berat.
6. Setiap kunjungan harus dilakukan pengukuran skor PASI
Medikamentosa:
1. Topikal: psoriasis ringan dapat diberikan emolien, salep campuran asidum salisikum
dan tar (LCD 5%), krim/salap antralin 0,2-0,8%, kortikosteroid poten/super poten atau

12

salep kalsipotriol. Pada psoriasis pustulosa lokalisata terkadang dapat diatasi dengan
kortikosteroid poten. Psoriasis ringan sangat responsif terhadap kortikosteroid topikal.
2. Fototerapi/fotokemoterapi:pada pasien yang resisten terhadap terapi topikal atau
psoriasis derajat sedang/berat. Fototerapi dapat menggunakan Narrow Band UVB atau
Broad Band UVB. Fotokemoterapi memakai psoralen oral atau topikal dengan UVA
(PUVA).
3. Sistemik: diberikan pada psoriasis yang berat seperti psoriasis pustulosa generalisata
dengan obat pilihan berupa retinoid (tigason/neotigason), metotreksat, siklosporin;
psoriasis yang tidak responsif dengan fototerapi/fotokemoterapi; dan bila ASTO (+)
diberi penisilin V oral 4x250mg/hari selama 1 bulan.
4. Terapi rotasi: untuk menghindari efek samping obat/tindakan dan untuk mengontrol
penyakit tersebut.
5. Psikoterapi: konsultasi dengan psikolog atau psikiater pada pasien dengan stres psikis.
6. Konsultasi ke bagian Rheumatologi untuk psoriasis arthropati.

V. DAFTAR PUSTAKA
1. James WD, Berger TG, Elston DM. Psoriasis. Dalam: Andrews Diseases of The Skin:
Clinical Dermatology. 11th ed. Saunders Elsevier, 2011: 10: 190-198.
2. Elder JT dan Gudjonsson JE.Psoriasis. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI. Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine. 8thed. New York: Mc Graw-Hill, 2012: 18:197-231..
3. Griffiths CEM, Camp RDR dan Barker JNWN. Psoriasis. Dalam: Burns T, Breathnach S,
Cox N dan Griffiths C. Rooks Textbook of Dermatology. 7 th ed. Blackwell publishing, 2004:
35: 1-47.

13

PEMFIGOID BULOSA
Fitria
I. DEFINISI
Pemfigoid bulosa (PB) adalah penyakit autoimun kronik yang ditandai oleh adanya bula
subepidermal yang berdinding tegang dan sering mengenai orangtua (60-80 tahun).
II.ETIOPATOGENESIS
Etiologi belum diketahui secara pasti, didapatkan antigen PB (PBAg1 dan PBAg2) yang
merupakan protein pada hemidesmosom sel basal yang diproduksi oleh sel basal dan merupakan
bagian basement membrane zone (BMZ).Fungsi hemidesmosom adalah melekatkan sel-sel basal
dengan membrana basalis.Terbentuknya bula akibat komplemen teraktivasi dan mengeluarkan
enzim yang merusak jaringan sehingga terjadi pemisahan epidermis dan dermis.Autoantibodi

14

pada PB terutama IgG namun terkadang ditemukan IgA.Isotipe IgG adalah IgG1 dan IgG4 tetapi
yang melekat pada komplemen hanya IgG1.
III.

KRITERIA DIAGNOSIS
A. KLINIS
Keadaan umum penderita baik biasanya hanya disertai rasa gatal.Daerah predileksi
adalah aksila, lengan bagian fleksor, abdomen, paha bagian dalam, tungkai bawah.Lesi pada
mukosa hanya 10-35% penderita terutama pada bagian bukal.Kelainan kulit dimulai dengan
papula eritem atau urtika kemudian membentuk bula tegang yang berisi cairan
jernih/hemoragik dengan dasar kulit normal/eritema (gambar 7). Bila bula pecah akan
terbentuk erosi dan krusta.
B. DIAGNOSIS BANDING
1.
2.
3.
4.

Dermatitis herpetiformis (Duhring disease)


Pemfigus vulgaris
Linear IgA dermatosis
Epidermolisis bulosa akuisita

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Selain dari klinis yang telah dijelaskan diatas, pada pemeriksaan penunjang dapat
dijumpai peningkatan serum IgE dan eosinofil darah tepi, secara histopatologi dijumpai bula
subepidermal dengan infiltrasi sel eosinofil, netrofil dan limfosit pada papila
dermis.Imunofluoresensi langsung pada biopsi dari tepi lesi yang aktif menunjukkan adanya
IgG dan C3 di daerah membrana basalis dan tersusun secara linier.
IV.

PENATALAKSANAAN
1. Kortikosteroid oral, prednisone 40-60 mg sehari jika telah tampak perbaikan dapat
diturunkan secara perlahan.
2. Azathioprine diberikan kombinasi dengan kortikosteroid dengan dosis 150mg/hari serta
dosis pemeliharaan 50-100mg.
3. Pada kasus yang ringan dapat diberikan dapson 100-150mg/hari atau kombinasi
tetrasiklin/eritromisin 3x500mg sehari dan niasinamid 3x500mg sehari.
4. Pada kasus yang sangat ringan atau rekurensi local dapat hanya diberikan glukokortikoid
topikal.
15

V. DAFTAR PUSTAKA
1. James WD, Berger TG, Elston DM. Bullous Pemphigoid. Dalam: Andrews Diseases of The
Skin: Clinical Dermatology. 11th ed. Saunders Elsevier, 2011: 21: 455-457.
2. Culton DA, Liu Z, Diaz LA.Bullous Pemphigoid. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI.
Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 8 thed. New York: Mc Graw-Hill, 2012: 56:
608-616.
3. Wojnarowska F, Venning VA dan Burge SM. Immunobullous Diseases. Dalam: Burns T,
Breathnach S, Cox N dan Griffiths C. Rooks Textbook of Dermatology. 7 th ed. Blackwell
publishing, 2004: 41: 25-35.

PEMFIGUS VULGARIS
Fitria
I. DEFINISI
Pemfigus vulgaris (PV) adalah penyakit autoimun kronik yang menyerang kulit dan
mukosa, ditandai dengan adanya bula pada epidermis akibat proses akantolisis.
II.ETIOPATOGENESIS
Penyebab terjadinya PV adalah adanya autoantibodi IgG terhadap antigen transmembran
glikoprotein dengan berat molekul 130 kD yang ada pada permukaan keratinosit.Target
antigennya adalah desmoglein 1 dan 3 yang mengganggu kohesi sel-sel keratinosit sehingga
terjadi akantolisis yang menyebabkan munculnya bula intraepidermalpada kulit dan
mukosa.Pada PV terdapat faktor genetik yang berkaitan dengan HLA-DR4.Pemfigus dapat
menyertai penyakit neoplasma jinak ataupun ganas serta dapat diinduksi oleh obat D-penisilamin
dan kaptopril.

16

III.

KRITERIA DIAGNOSIS
A. KLINIS
Gejala klinis ditandai dengan munculnya bula berdinding kendur, awalnya berisi cairan
jernih kemudian dapat menjadi hemoragis atau seropurulen. Bula mudah pecah dengan
meninggalkan erosi dan diikuti oleh pembentukan krusta yang lama menetap, bila sembuh
akan meninggalkan bekas hipo/hiperpigmentasi tanpa jaringan parut. Lesi awal di mukosa
mulut dijumpai pada 60% penderita kemudian meluas ke kepala, muka, leher, ketiak, lipat
paha atau daerah genetalia. Lesi luas akan sering mengalami infeksi sekunder sehingga
muncul bau yang tidak enak.
Tes klinis yang dapat dilakukan adalah Nikolsky sign yaitu dengan penekanan atau
penggosokan pada kulit di sekitar bula akan menyebabkan terbentuknya lesi, epidermis
terlepas karena adanya akantolisis.

B. DIAGNOSIS BANDING
1. Dermatitis herpetiformis
2. Epidermolisis bulosa
3. Nekrolisis epidermal toksik
4. Herpes gestationis
5. Pemfigoid bulosa
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis PV ditegakkan secara klinis dan beberapa pemeriksaan penunjang seperti
Tzank tes, biopsi, dan imunologi. Pada pemeriksaan Tzank tes, lesi diambil dari dasar bula
dan dicat dengan pewarnaan Giemsa sehingga akan terlihat sel akantolitik. Dari gambaran
histopatologik dijumpai adanya bula intraepidermal supra basal dan sel-sel epitel yang
mengalami akantolisis pada dasar bula.Hasil pemeriksaan imunofluoresensi langsung
menunjukkan adanya antibodi interseluler tipe IgG dan C3.
IV.

PENATALAKSANAAN
Topikal:
a. Bila banyak erosi dan ekskoriasi dapat diberikan krim mupirosin 2% dan asam fusidat 25%.
17

b. Untuk membersihkan krusta dapat dilakukan kompres terbuka


Sistemik:
a. Kortikosteroid (prednisone 60-150 mg/hari atau 3 mg/kgBB/hari, pada yang berat
diberikan injeksi deksametason im atau iv). Dosis diturunkan perlahan-lahan sesuai
kemajuan klinis(tidak muncul bula baru dalam bebberapa hari), kemudian dipertahankan
pada dosis pemeliharaan (dosis terendah yang tidak menimbulkan bula baru) diberikan
sekali sehari pada pagi hari.
b. Pemberian kortikosteroid dengan pulsed therapy, metil prednisolon sodium suksinat
250-1000mg iv selama 2-3 jam.
c. Pemberian prednisone > 40 mg/hari sebaiknya diberikan antibiotic profilaksis
mencegah infeksi sekunder.
d. Untuk mengurangi dosis kortikosteroid diberikan obat imunosupresan/sitostatika seperti
metotrexate 25mg/minggu, siklofosfamid 50-100mg/hari, mikofenolat mefetil 2x1gr
sehari atau azathioprine/imuran 50-150mg/hari atau 1-2 mg/kgBB/hari, 2-3 kali 1 tablet,
melalui kerjasama dengan bagian penyakit dalam konsultan hematologi dan diberikan
jika tidak ada kontraindikasi.
Tindak lanjut:
a. Pemantauan keadaan umum, bila dirawat dilakukan setiap hari, jikaberobat jalan
1x/minggu atau tergantung kondisi pasien.
b. Pemantauan IgG dalam serum.
c. Kerjasama dengan bagian penyakit dalam, alergi-imunologi.
V. DAFTAR PUSTAKA
1. James WD, Berger TG, Elston DM. Pemphigus Vulgaris. Dalam: Andrews Diseases of The
Skin: Clinical Dermatology. 11th ed. Saunders Elsevier, 2011: 21: 448-452.
2.. Payne AS dan Stanley JR.Pemphigus. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI. Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine. 8thed. New York: Mc Graw-Hill, 2012: 54: 586-599.
3. Wojnarowska F, Venning VA dan Burge SM. Immunobullous Diseases. Dalam: Burns T,
Breathnach S, Cox N dan Griffiths C. Rooks Textbook of Dermatology. 7 th ed. Blackwell
publishing, 2004: 41: 5-10.

18

DERMATITIS HERPETIFORMIS
Fitria
I. DEFINISI
Dermatitis herpetiformis (DH) adalah penyakit kulit kronis residif disertai rasa sangat gatal
dengan lesi polimorfik terutama berupa vesikel tersusun berkelompok dan simetrik diatas dasar
yang eritem.
II.ETIOPATOGENESIS

19

Penyebab yang pasti belum diketahui, diduga terdapat peranan IgA imunkomplek pada
papila dermis berbentuk granular di kulit sekitar lesi dan kulit normal, juga terdapat komplemen
C3.Sebagai antigen kemungkinan adalah gluten yang masuk ke usus halus dengan sel efektornya
adalah neutrofil. Iodium juga dianggap mempengaruhi remisi dan eksaserbasi
III.

KRITERIA DIAGNOSIS
A. KLINIS
Keadaan umum penderita biasanya baik, lesi kulit dapat berupa eritem, papulo-vesikel
atau bula berdinding tebal dan tegang dengan isi cairan awalnya jernih lalu dapat berubah
menjadi purulen (gambar 9). Lesi biasanya tersusun bergerombol dan simetris dengan gejala
yang sangat gatal.Daerah predileksinya adalah punggung, sakrum, bokong, ekstensor lengan
atas, siku dan lutut.Erupsi ringan dapat berupa urtika dan prurigo.Pada kasus lanjut dapat
ditemukan hiperpigmentasi kulit disertai adanya parut.
B. DIAGNOSIS BANDING
1.
2.
3.
4.
5.

Pemvigus vulgaris
Pemfigoid bulosa
Dermatosis IgA linear
Eritema multiforme bulosa
Epidermolisis bulosa

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis DH ditegakkan secara klinis dan beberapa pemeriksaan penunjang.Dari
gambaran histopatologik dijumpai adanya mikroabses neutrofilik di papila dermis kemudian
terbentuk

edema

papilar,

celah

subepidermal

dan

vesikel

multilokular

dan

subepidermal.Terdapat juga eosinofil pada infiltrat dermal dan cairan vesikel, dari hasil p
emeriksaan darah tepi dapat dijumpai hipereosinofilia melebihi 40%.Hasil pemeriksaan
imunofluoresensi ditemukan gambaran IgA berupa granular pada papiladermis dari kulit
normal penderita.
IV.

PENATALAKSANAAN

20

Prinsip terapi mengurangi pruritus dan menekan inflamasi


Topikal:
a. Bila terdapat erosi dan ekskoriasi diberikan krim antibiotic.
Sistemik:
a. Dapson dimulai dengan 200-300 mg atau pada anak dapat 2 mg/kgBB, maksimum
sampai 3x50 mg/hari.
b. Sulfapiridin untuk anak mulai 100 mg/hari, dewasa mulai 200-250 mg dan bisa
mencapai 4 gram sehari.
c. Antihistamin golongan sedatif.
Tindak lanjut:
a. Kontrol teratur setiap bulan 1 bulan untuk penurunan dosis obat dan mencapai dosis
pemeliharaan.
b. Pemantauan efek simpang pemakaian dapson dan sulfapiridin, keduanya menyebabkan
terjadinya methemoglobinemiaatau anemia hemolitik terutama pada pasien dengan
defisiensi G6PD. Harus diperiksa Hb, jumlah leukosit dan hitung jenis sebelum
pengobatan dan 2 minggu sekali.
c. Konsultasi ke bagian gastroenterology bila ada dugaan celiac diseases.
d. Konsultasi untuk diet bebas atau rendah gluten ke ahli gizi. Gluten adalah protein yang
ada dalam gandum kecuali beras dan jagung.

V. DAFTAR PUSTAKA
1. James WD, Berger TG, Elston DM. Dermatitis Herpetiformis. Dalam: Andrews Diseases of
The Skin: Clinical Dermatology. 11th ed. Saunders Elsevier, 2011: 21: 463-465.
2.. Ronaghy A, Katz SI dan Hall RP. Dermatitis Herpetiformis. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA,
Katz SI. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 8thed. New York: Mc Graw-Hill,
2012: 61: 642-649.
3. Wojnarowska F, Venning VA dan Burge SM. Immunobullous Diseases. Dalam: Burns T,
Breathnach S, Cox N dan Griffiths C. Rooks Textbook of Dermatology. 7 th ed. Blackwell
publishing, 2004: 41: 54-59.

21

MILIARIA
Fitria
I. DEFINISI
Miliaria adalah kelainan kulit akibat retensi kelenjar keringat yang ditandai adanya vesikel
milierdengan predileksi pada dahi, leher, badan, tempat tekanan/gesekan pakaian maupun
ekstremitas.
II.ETIOPATOGENESIS
Biasa terjadi pada penderita dengan riwayat hiperphidrosis, berada pada lingkungan yang
panas dan lembab serta pada bayi yang dirawat dalam inkubator.Penyebabnya ada sumbatan
22

keratin pada muara kelenjar keringat dan perforasi sekunder pada bendungan keringat di
epidermis.Kadar garam yang tinggi juga menyebabkan penimbunan cairan diantara sel-sel
epidermis sehingga celah sel melebar (spongiosis).
III.

KRITERIA DIAGNOSIS
B. KLINIS
Terdapat 3 bentuk miliaria sehingga diklasifikasikan menjadi:
1. Miliaria kristalina
Secara klinis terlihat vesikel 1-2 mm tanpa tanda inflamasi, superfisial dan sembuh
dalam beberapa hari dengan deskuamasi halus.Gambaran histopatologik terlihat
gelembung intra/subkorneal.
2. Miliaria rubra
Gejala klinis lebih berat dari miliaria kristalina dan lebih sering dijumpai.Tampak
papul eritem atau papulovesikel ekstrafolikular yang sangat gatal dan pedih (gambar
5).Pada gambaran histopatologik gelembung terjadi pada stratum spinosum sehingga
menyebabkan peradangan pada kulit dan perifer kulit di epidermis.

3. Miliaria profunda
Bentuk ini jarang kecuali didaerah tropis, merupakan kelanjutan dari miliaria rubra,
ditandai dengan papul putih, keras, berukuran 1-3 mm, dapat disertai pustul.Letakretensi
keringat lebih dalam sehingga lebih banyak papul daripada vesikel, tidak gatal dan tidak
ada eritem.Gambaran histopatologik tampak kelenjar ekrin yang pecah pada dermis
bagian atas dengan atau tanpa infiltrasi sel radang.
C. DIAGNOSIS BANDING
1. Morbili
2. Erupsi obat tipe morbiliformis
3. Folikulitis
4. Kandidiasis kutis
5. Transient neonatal pustular melanosis
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis ditegakkan secara klinis, tidak ada pemeriksaan penunjang khusus kecuali
untuk menyingkirkan diagnosis banding.

23

IV.

PENATALAKSANAAN
a. Menghindari banyak keringat, panas dan kelembaban berlebihan.
b. Usahakan regulasi suhu yang baik, pilih lingkungan yang sejuk dan sirkulasi udara
(ventilasi) cukup.
c. Mandi dengan air dingin dan pakai sabun serta gunakan pakaian yang tipis dan
menyerap keringat.
d. Terapi topikal atau sistemik untuk mengurangi pruritus, menekan inflamasi serta
membuka retensi keringat
e. Topikal: liquor faberi, bedak kocok mengandung kalamin dapat ditambahkan
antipruritus (mentol 0,25% atau kamfer) dan resorsin 3% dalam alkohol.
f. Sistemik: antihistamin sedatif (lebih dianjurkan pada infantil dan anak) atau nonsedatif.

V. DAFTAR PUSTAKA
1. James WD, Berger TG, dan Elston DM. Miliaria. Dalam: Andrews Diseases of The Skin:
Clinical Dermatology. 11th ed. Saunders Elsevier, 2011: 3: 19-20.
2. Daili Emmy, Menaldi sri, Wisnu I made. Miliaria. Dalam: Penyakit kulit yang umum di
Indonesia. Medical Multimedia Indonesia, Jakarta: 2005: 103.
3. Jones JB dan Holden CA. Miliaria. Dalam: Burns T, Breathnach S, Cox N dan Griffiths C.
Rooks Textbook of Dermatology. 7th ed. Blackwell publishing, 2004: 45: 15-18.
4. Fealey RD dan Hebert AA.Disorders of the Eccrine Sweat Glands and Sweating. Dalam:
Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 8 thed. New
York: Mc Graw-Hill, 2012: 84: 946-947.

24

HIDRADENITIS SUPPURATIVA
Fitria
I. DEFINISI
Hidradenitis suppurativa (HS) adalah penyakit kulit kronik dan rekuren akibat infeksi
kelenjar apokrin yang biasanya mengenai usia pubertas dan lebih sering pada wanita (2-5:1).
II.ETIOPATOGENESIS
Infeksi HS disebabkan oleh Staphylococcus aureus, biasanya diawali dengan adanya
trauma.Selain itu faktor predisposisi HS adalah faktor genetik, penyakit Crohn perianal,
pioderma gangrenosum, sindrom nefrotik, amiloidosis dan arthropati.Pengaruh hormon
androgen, merokok dan obesitas diyakini dapat memicu terjadinya HS.Mekanisme terjadinya lesi
diawali dengan tertutupnya saluran kelenjar apokrin dan folikel rambut oleh keratin sehingga
menyebabkan dilatasi di daerah tersebut dan bakteri dapat berkembang.Ruptur pada
saluran/kelenjar apokrin menyebabkan inflamasi/infeksi berlangsung lebih lamasehingga terjadi
suppurasi/kerusakan jaringan, ulserasi, fibrosis dan pembentukan sinus.
III.

KRITERIA DIAGNOSIS
A. KLINIS

25

Penyakit ini dapat disertai gejala konstitusi seperti demam,malesedan nyeri


intermiten.Lesi kulit dapat berupa nodul dengan kelima tanda radang, biasanya terdapat
pada aksila, perineum, inguinal, inframamma, bokong, daerah pubis, dada, kulit kepala dan
retroaurikular.Nodul yang ada dapat melunak menjadi abses dan memecah membentuk
fistel.Pada infeksi yang kronis, abses, fistel dan sinus dapat terjadi secara multipel
B. DIAGNOSIS BANDING
1.
2.
3.
4.
5.

Furunkel
Karbunkel
Limfadenitis
Skrofuloderma
Aktinomikosis

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis HS ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan penunjang seperti
pewarnaan gram dan histopatologi dengan gambaran awal terdapat oklusi saluran apokrin
dan folikel rambut dan dilatasi duktus.Pada stadium lanjut terdapat destruksi kelenjar
apokrin/ekrin/pilosebasea, fibrosis dan hiperplasia pseudoepiteliomatosa pada sinus.
IV.

PENATALAKSANAAN
Terapi HS adalah pemakaian antibiotik sistemik yang dikombinasi dengan suntikan

glukokortikoid intralesi, pembedahan, dan isotretinoin oral.Jika telah terbentuk abses maka harus
diinsisi dan bila belum melunak dapat diberikan kompres terbuka.Pada kasus kronik dan residif
biasanya dilakukan eksisi kelenjar apokrin. Prednison 70 mg/hari selama2-3 hari dapat diberikan
jika terdapat nyeri dan inflamasi yang hebat, dan tap off dalam 14 hari.
V. DAFTAR PUSTAKA
1. James WD, Berger TG, Elston DM. Hidradenitis Suppurativa. Dalam: Andrews Diseases of
The Skin: Clinical Dermatology. 11th ed. Saunders Elsevier, 2011: 13: 239-240.
2.. Zouboulis CC dan Tsatsou F. Hidradenitis Suppurativa. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz
SI. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 8 thed. New York: Mc Graw-Hill, 2012:
85: 947-959.

26

3. Hay RJ dan Adriaans BM. Bacterial Infections. Dalam: Burns T, Breathnach S, Cox N dan
Griffiths C. Rooks Textbook of Dermatology. 7th ed. Blackwell publishing, 2004: 27: 82585.

27

Anda mungkin juga menyukai