Cover dalem
Daftar Isi
Daftar Isi
Pengantar Editor vii
Pengantar Wicaksono Sarosa xi
Sambutan Sujana Royatxiii
Catatan Kecil Ade Siti Barokah xvii
1. Loncek Baguas 1
2. Permen Persahabatan Buat Si Icang 17
3. Kami Ingin Mengelola Sumber Daya Kami Sendiri
(Kisah Mangku Mirah dari Nusa Ceningan) 35
vi
Daftar Isi
Pengantar Editor
vii
viii
Pengantar Editor
ix
Daftar Isi
Pengantar
Oleh
Wicaksono Sarosa
Direktur Eksekutif Kemitraan
xii
Daftar Isi
Sambutan
Oleh
Sujana Royat
Deputi Penanggulangan Kemiskinan dan
Pemberdayaan Masyarakat
Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat
sebagai Ketua Kelompok Kerja Pengendali
PNPM Mandiri
xiii
Sambutan
xv
Catatan Kecil
Catatan Kecil
Melintas Batas,
Meruntuhkan Sekat
Oleh
Ade Siti Barokah
Program Manager PNPM Peduli Kemitraan
Menaklukkan Ketakutan
Dari punggung pegunungan yang berbatu, kami menatap ke
bawah. Ketegangan tergurat dari wajah-wajah mengeras yang
bersimbah keringat. Tampak jalan setapak yang baru saja kami
lalui, berliku-liku di antara tebing terjal dan jurang menganga.
Satu rekan kami masih berjuang keras menaklukkan satu
tikungan tajam menanjak sebelum sampai pada posisi kami.
Bismillah. Bismillah. Bibir kami menggumam.
xvii
xix
dan cara petik yang benar, buah semakin rimbun. Pemudapemuda yang sebelumnya hanya duduk sepanjang hari, kini
memiliki keterampilan montir dan bisa memperbaiki motor.
Anak-anak dan remaja yang ikut kelompok belajar telah
pintar membaca. Tak peduli di tengah hutan, di ladang kopi
atau sambil berlarian di antara kakao, anak-anak itu mengeja
huruf dan berhitung dengan keras. Suaranya menggema
memenuhi udara.
Saat itu mata saya menangkap beberapa bayangan kecil
di balik rerimbunan kopi. Mereka mengintip saya malu-malu.
Ketika saya menoleh, sekelompok anak-anak berhamburan
sambil terkikik-kikik riuh. Tangan kotornya menggenggam
buku tulis dan pensil. Saya bangkit dan berlari tersengal
mengejar mereka. Dan ketika saya mengarahkan kamera,
serentak anak-anak itu merapat ke dinding sekolah dan
berpose gembira.
Sekolah itu lapuk dengan dinding yang sudah keropos.
Untuk semua kelas, sekolah ini hanya memiliki dua orang
guru honorer. Oh jangan tanya berapa gajinya! Gaji sebulan
keduanya setara dengan harga secangkir hot chocolate, dua
potong cheese cake dan sebotol kecil air mineral di kafe
langgananmu. Sekadar mempertegas, harga untuk cemilan
siangmu setara dengan biaya hidup sebulan ibu guru yang
harus mengajar semua murid dari kelas 1 hingga kelas 6.
Belum termasuk memeriksa pekerjaan rumah (PR) untuk
semua mata pelajaran! Jadi tak perlu heran jika ibu guru
kewalahan mengajari semua anak di desa ini. Akibatnya angka
putus sekolah tinggi. Anak-anak usia sekolah membantu
keluarga bekerja di kebun, atau terpaksa menikah belia. Dari
ujung lensa, saya kembali memandang anak-anak polos yang
xxii
xxiii
xxix
xxx
Pada akhirnya diskusi-diskusi panjang kami tetap menyisakan pertanyaan yang tak memuaskan. Namun sebagaimana
kata-kata filsuf Descartes, Cogito Ergo sum, aku berpikir
maka aku ada, kami menganggap pertanyaan kami adalah
proses menjadi ada. Berpikirlah, maka kamu ada. Bertanyalah,
maka kamu akan menemukan jawabnya. Kami menjadikan
pertanyaan-pertanyaan ini sebagai pengingat bahwa kami
harus selalu melakukan perbaikan. Di sisi lain, kami juga
belajar satu hal bahwa memperdebatkan definisi semata tidak
akan membawa perubahan.
Maka di penghujung 2013, dalam perdebatan panjang
kami memilih untuk melanjutkan langkah, menuntaskan kerja.
Di Balik Garis Batas
Namanya boleh apa saja, definisinya bisa berbeda-beda, tapi
bagi kami mereka adalah komunitas luar biasa yang di balik
keterbatasannya telah mengajarkan banyak hal. Betul, dalam
program ini kami disapa dengan nama indah fasilitator atau
pendamping, namun sejatinya kedewasaan kami bertumbuh
bersama mereka. Kreatifitas kami tergali karena kebersahajaan
mereka. Pun kemampuan dan keterampilan kami berkembang
sejalan dengan tantangan yang kami hadapi bersama mereka.
Tiga tahun memang bukan waktu yang panjang untuk
melihat perubahan besar, namun bukan waktu yang pendek
untuk bisa lebih mengenal mereka. Pelajaran pertama
kami adalah mengubah mindset dari menganggap mereka
marjinal atau terpinggirkan menjadi kelompok potensial
dan kelompok pembawa perubahan. Biarlah istilah-istilah
marjinal dan sejenisnya itu muncul sesekali saja dalam diskusi
atau laporan kami, namun dalam keseharian kami bangga
xxxii
xxxv
1. 1
Loncek Baguas1
Oleh
A. Alexander Mering
Yayasan Pemberdayaan Pefor Nusantara
(YPPN), Pontianak
1 Baguas dalam bahasa Dayak Salako artinya bergoyang, atau bisa juga diartikan bergolak.
Loncek Baguas
Loncek Baguas
Riko hanya satu dari 200 lebih OMPS di Desa Teluk Bakung
yang menggantungkan hidupnya sebagai perambah hutan.
Kepala Dusun Loncek, Donatus Dino, mengatakan kepadaku,
dari 197 kepala keluarga di sana, 90 persen adalah perambah
hutan. Sedangkan para wanitanya, menyadap karet atau
bekerja sebagai kuli di perkebunan kelapa sawit. Bagi warga
yang memiliki modal dan koneksi, biasanya mempekerjakan
orang-orang dari Kabupaten Sambas untuk menebang kayu
di hutan mereka.
Karena itu, jumlah orang Sambas yang bekerja kayu
di Loncek bisa mencapai ribuan orang, kata Dino. Artinya,
lebih banyak dari warga Loncek sendiri.
Saat ini, hutan yang tersisa tak sampai 7.000 hektar.
Sejak tahun 1980-an, Desa Teluk Bakung dan sekitarnya telah
dipetak-petak oleh sejumlah perusahaan menjadi kawasan
Hak Pengelolaan Hutan (HPH) mereka. Orang kampung
cuma jadi kuli di atas tanahnya sendiri.
Warga kami hanya menebang kayu-kayu sisanya, kata
Valentinus Agip, satu dari sedikit pemuda Desa Teluk Bakung
yang beruntung, karena bisa mengecap pendidikan hingga
bangku kuliah dan menyandang gelar S.Sos. Karena itu pula,
dia terpilih dan menjabat sebagai Kepala Desa Teluk Bakung
sampai sekarang.
Hampir dua jam kami berbincang tentang nasib kampung-kampung di desa yang dipimpinnya, termasuk Kampung
Loncek, tempat program PNPM Peduli dilaksanakan. Sejak
ditetapkannya Desa Teluk Bakung sebagai kawasan Hutan
Produksi (HP) disusul izin pertambangan dan perkebunan
kelapa sawit berskala besar, komunitas masyarakat adat Dayak
Salako yang berada di kawasan itu semakin terjepit.
5
Loncek Baguas
Loncek Baguas
Loncek Baguas
Loncek Baguas
Loncek Baguas
15
1. 2
Permen Persahabatan
Buat Si Icang
Oleh
Saparuddin Senny
Kawal Borneo Community Foundation, Samarinda
17
20
22
Bila sudah berobat lebih dari sekali, mereka biasa berkesimpulan bahwa obat dari dokter tidak manjur. Apalagi bila
harus bolak-balik ke kota memerlukan biaya. Kalau tidak
ada perubahan, kenapa tidak periksa darah saja, Bu? aku
memberi saran ketika bertemu dengan ibu Icang, tapi dia
hanya tersenyum, tersipu-sipu. Kalau mau ke rumah sakit,
kami tidak ada biaya, Pak. Apalagi kalau harus bolak-balik, lanjutnya.
Letak rumah sakit memang cukup jauh untuk ukuran
orangtua Icang yang hanya buruh harian. Sudah beberapa
bulan ini berhenti budidaya rumput laut karena terserang
penyakit. Modal usahanya terpaksa dibelikan sepeda untuk
Icang yang bersekolah di luar kampung. Maklum, belum
ada SMP di kampungnya. Dia dan beberapa anak lain harus
berjalan kaki, namun dengan adanya jembatan yang dibangun
pemerintah setempat sedikit membantu anak sekolah.
***
Pak, bagaimana ini. Kami bingung mengatasi penyakit
Icang. Selang beberapa hari, sakit lagi. Apakah Pak Senny
bisa bantu cari solusi? Begitu kira-kira SMS yang kuterima
dari salah satu ketua kelompok di sana. Kemudian, aku
menelepon tetangga Icang yang biasa menemaninya berobat
ke Puskesmas. Aku berjanji untuk membantu setelah ada
waktu main ke kampung.
Jarak rumahku dan kampung Icang sebenarnya tidak
terlalu jauh, hanya butuh waktu satu jam bila cuaca baik,
namun aku jarang di rumah. Masih keliling di daerah dampingan lainnya yang tersebar di beberapa lokasi di Kalimantan.
23
27
29
protes ketika akan diberi obat lagi dan minta kembali bila
masih sakit. Bu dokter, kami capek kalau harus bolak-balik.
Lagi pula, anak ini harus sekolah.
Setiap periksa selalu diberi obat yang sama, penjelasan
yang tidak memuaskan karena dokternya ganti. Dokter itu
tampak berpikir dan keluar ruangan. Tak lama dia kembali.
Saya rujuk ke poli anak saja ya, Pak. Akhirnya, dia merujuk
juga kasus ini ke rumah sakit. Di sana ada dokter spesialis
anak. Sebenarnya ini yang aku minta sebelumnya, namun
dokter Puskesmas sepertinya masih mau observasi.
Bu, besok perjalanan kita cukup jauh dan pemeriksaan
di rumah sakit butuh waktu satu hari penuh. Saya berharap
bisa jam 07.00 pagi sudah berangkat dari rumah. Aku coba
buat rencana bersama Bu Nasba. Jadi, Icang besok izin lagi
ya, Pak. Minggu lalu, Icang hanya masuk sekolah dua hari.
Minggu ini, hari Senin dan Selasa sudah digunakan
untuk berobat. Sebenarnya kasihan juga, tapi harus bagaimana
lagi. Kami sudah bertekad, minimal sampai ditangani dokter
spesialis. Dengan harapan, aku tahu penyebab sakit kepala
dan demamnya. Tapi yang paling penting, tahu apa yang
harus dilakukan selanjutnya agar Icang bisa tersenyum, bisa
sekolah seperti anak lainnya.
Meskipun obat dokter Puskesmas belum menyembuhkan
sakit kepala dan demam Icang, tapi permen persahabatan
cukup mujarab untuk membuatnya bicara padaku. Aku lihat
dia sudah tidak canggung, begitu datang langsung duduk di
dekatku. Ketika kutanya tidak perlu menunggu lama untuk
mendapat jawaban, meski dengan suara yang masih lirih.
Hampir tak terdengar.
32
33
1. 3
Oleh
Atiek Kurnianingsih
Yayasan Wisnu, Denpasar
35
39
peta yang kami buat. Maka, tidak hanya sampai pada pelatihan,
pemetaan yang sesungguhnya kemudian juga dilakukan.
Kami mengelilingi wilayah sepanjang 12 kilometer,
langkah demi langkah sambil membawa kompas, meteran,
dan alat tulis, juga arit untuk membuka jalan. Jukung kami
butuhkan untuk mengukur bagian bertebing terjal. Ketika
menyusuri wilayah Ceningan, saya baru menyadari bahwa
kami sangat kaya, mempunyai sumber daya yang berlimpah.
Selama ini, saya dan teman-teman FKNC merasa bahwa
pemerintah selalu menghakimi masyarakat, menganggap
masyarakat tidak mampu mengelola sumber daya yang
dimiliki. Hal ini juga yang melatarbelakangi kesepakatan
kami mendirikan FKNC. Kami ingin membuktikan bahwa
masyarakat mampu mengelola sumber daya mereka untuk
kemandirian. Melalui peta yang kami hasilkan, kami melakukan penyadaran kepada masyarakat Nusa Ceningan, menggali
opini, dan membuat kesepakatan. Masyarakat Ceningan akan
menolak mega proyek pariwisata yang direncanakan.
Dialog dengan pemerintah mulai kami lakukan karena
Pemerintah Daerah Klungkung bersikeras bahwa 90 persen
masyarakat Ceningan sudah setuju untuk menjual tanahnya.
Padahal, kenyataannya, 90 persen masyarakat Ceningan justru
menolak menjual seluruh tanahnya dan hidup dilokalisir pada
satu ruang sempit. Dan akhirnya, kami berhasil menolak mega
proyek tersebut. Ini merupakan proyek pariwisata pertama di
Bali yang berhasil ditolak oleh masyarakat.
Sayangnya, setelah berhasil menolak mega proyek tersebut,
orang-orang yang awalnya aktif dalam FKNC satu per satu
mengundurkan diri. Sampai akhirnya FKNC bubar dengan
sendirinya. Tidak mudah untuk tetap berjuang bersama, jika
40
41
Setelah FKNC dibubarkan pada tahun 2001, saya sendiri mencari jalan dan tujuan hidup saya. Saya terpanggil untuk menjadi
seorang pemangku. Profesi sebagai pemangku sesungguhnya
merupakan profesi yang sangat dekat dengan kehidupan
keseharian masyarakat, karena pemangku melakukan fungsi
sosial sebagai pelayan umat.
Profesi ini sangat menguntungkan saya untuk bisa
mengorganisir dan secara perlahan mengubah cara pandang
masyarakat tentang hidup dan kehidupan. Sebagai seorang
pemangku, saya bisa beradaptasi dengan semua golongan
masyarakat. Hal ini merupakan sebuah keuntungan bagi saya,
yang masih mempercayai bahwa perjuangan belum selesai.
Sampai saat ini, saya masih melihat bahwa pemerintah
belum memerhatikan kesejahteraan rakyat kecil, bahkan
walau hanya mengakui keberadaannya. Saya tidak paham,
apa dasar perhitungan pemerintah menetapkan nilai pajak
sebesar Rp3.000.000 per hektar per tahun untuk semua tanah
di Desa Lembongan.
Tanah pertanian masyarakat, yang sebagian besar tidak
diolah pemiliknya sehingga tidak menghasilkan, dikenakan
nilai pajak yang sama dengan tanah vila dan hotel. Tidak masuk
akal! Saya membayangkan, seandainya kondisi ini terjadi
sepuluh tahun yang lalu, mungkin saya akan melakukan aksi
protes secara frontal kepada Pemerintah Daerah Klungkung.
Inilah salah satu alasan, kemudian secara perlahan masyarakat menjual tanahnya, sedikit demi sedikit. Nilai pajak
tanah sangat tinggi, sementara pendapatan dari rumput laut
hanya cukup untuk pemenuhan kehidupan hidup sehariharitermasuk kesehatan dan sekolah.
42
48
49
1. 4
Kunang-kunang
Kampung Loncek
Oleh
A. Alexander Mering
Yayasan Pemberdayaan Pefor Nusantara
(YPPN), Pontianak
51
53
Aku sudah main judi sejak masih SMP, terutama Kolokkolok. Tapi sekarang sudah tidak lagi.
Kenapa?
Edi tak menjawab. Dia tertawa kecil sambil membuang
pandangannya ke arah kerumunan. Aku ikut menoleh. Dari
pinggir tenda, seorang bocah ceking dan seorang perempuan
masuk gelanggang. Aku taksir umurnya baru 10 tahun. Bocah
itu memasang taruhan uang kertas pecahan seribu ke atas
kanvas Kolok-kolok. Sementara sang perempuan yang ternyata
ibunya bersorak-sorak, memberi dukungan. Alamak!
Entah siapa di masa lalu yang mengajari orang-orang
Dayak ini bermain dadu? Ke mana saja negara ini selama
lebih dari 67 tahun, hingga masih ada ibu-ibu yang mendidik
anaknya bermain judi?
Di lapak judi orang-orang bertemu, di panggung karaoke1
orang-orang berjoget gembira. Para kuli sawit, perambah
hutan, petani karet, anak-anak, dan orang kampung menghayati secuil kebahagiaan menjadi warga negara. Tentu tidak
semua penduduk Loncek setuju pada kondisi ini, banyak yang
hatinya memberontak. Tetapi apalah daya? Bahkan, hukum
adat yang mereka junjung selama ini pun telah dirongrong
oleh pendukungnya sendiri.
Tiba-tiba kepalaku pening. Otakku terasa keram. Ini
pasti bukan karena secangkir bir yang baru saja kutenggak,
tapi oleh realitas masyarakat yang tak pernah diurus serius
oleh republik ini. Syukur-syukur masih ada program seperti
PNPM Peduli, ujarku menghibur diri.
1 Dalam pengertian masyarakat setempat, karaoke yang dimaksud adalah
musik yang dibunyikan dari sebuah tape/sound.
56
59
62
63
64
1. 5
65
69
74
1. 6
75
77
79
80
85
1. 7
87
89
93
ada lelaki yang sudi memanfaatkan jasa kami. Itu pula yang
terjadi padaku.
***
Setelah kontrak kerjaku dengan karaoke dan bar di Kupang
itu habis, aku mencoba mencari pekerjaan lain. Tapi, lagi-lagi
tawaran yang tersedia adalah jenis pekerjaan yang sama, yaitu
menjadi purel di salah satu bar di Kabupaten Belu-Atambua,
sebuah kabupaten di NTT yang berbatasan langsung dengan
negara Timor Leste.
Meski begitu, aku cukup bersyukur, karena di tempat
kerja baru ini aku murni hanya sebagai purel, alias tidak
pernah sampai melayani tamu ke ranjang. Beberapa waktu
kemudian aku diangkat oleh bos pemilik bar itu menjadi
seorang mami dikarenakan hasil kinerjaku dia nilai baik.
Tugasku sebagai mami adalah menjaga dan memenuhi
kebutuhan teman-teman pekerja yang lain, baik itu kebutuhan makan, rekreasi, bahkan sampai pada keamanan dan
kenyamanan mereka. Berbekal pengalaman sebagai purel
selama bertahun-tahun, membuat aku sangat mengerti apa
yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh seorang
mami. Intinya, apa yang tidak enak dan tidak nyaman bagiku
dahulu pasti juga demikian pula buat mereka. Karena itulah
aku selalu mencoba berbuat yang terbaik untuk mereka
dan memperjuangkan hak-hak yang memang sepantasnya
mereka dapatkan.
Namun, baru beberapa lama aku menikmati pekerjaan itu
sebuah godaan datang menerpa. Prinsipku untuk benar-benar
hanya sebagai purel tiba-tiba runtuh ketika berkenalan dengan
seorang laki-laki yang begitu baik. Dia adalah seorang tentara
94
96
97
100
101
102
1. 8
103
107
ini akan tetap ada di samping Kakak dalam kondisi apa pun,
katanya menguatkanku.
Selanjutnya, konselor menganjurkan untuk bertemu
dengan teman-teman lain yang akan melakukan pendampingan lanjutan, yakni mereka yang terinfeksi HIV dan saat
ini menjalani terapi ARV (Anti Retro Viral). ARV adalah
obat untuk menahan laju perkembangan virus sehingga tidak
berkembang. Memang tidak bisa membunuh virus, namun
minimal bisa menekan perkembangannya sehingga kekebalan
tubuh tetap terjaga.
Tanpa pikir panjang, kami langsung mengontak teman
pendamping yang dimaksudkan konselor. Karena suasana
sedikit mencair, sambil bercanda konselor berkata, Kamu
pasti tidak percaya kalau teman pendamping ini terinfeksi
HIV. Dia gemuk sekali dan perutnya juga buncitseperti
orang hamil delapan bulan yang siap melahirkan.
Suasana semakin mencair dengan cerita-cerita di luar
masalah HIV/AIDS. Datanglah pendamping ini, dan benar
saja apa yang disampaikan konselor. Aku tidak percaya kalau
dia positif HIV, karena keadaan teman ini benar-benar gemuk.
Sewaktu bersalaman, tanpa rasa sungkan dan canggung,
dia langsung memelukku. Dia bilang, sejak tahun 2004 telah
terinfeksi HIV, dan tetap sehat karena terapi ARV, sambil
menunjukkan obat ARV yang dia minum. Suasana semakin
mencair. Aku merasa tidak sendirian, bersama dengan
orang-orang yang siap menemani dan mendukungku.
***
Setelah beberapa saat berdiskusi, kami diajak ke tempat mereka
berkumpul. Mereka tergabung dalam sebuah organisasi yang
108
112
114
1. 9
115
117
118
jelas keadilan sosial yang adil dan beradab dan disemboyankan dengan Bhinneka Tungal Ika. Artinya, kita seharusnya
menerima semua perbedaan dan keanekaragaman, baik suku,
budaya, agama, maupun orientasi seks. Namun, pemerintah
belum menjalankan peraturan tersebut dengan utuh sehingga
kesenjangan dan diskriminasi masih kerap terjadi.
Hujan mulai reda. Dari balik pintu, tampak Anti dan
Yola memasuki kantor. Seperti biasa, setelah mengucapkan
salam, mereka pun gabung duduk di sebelah kami. Rupanya,
Anti membawa pesan dari mami, sebutan untuk waria senior.
Dia ingin meminta uang yang pernah dia minta dulu, dan
kita pun sepakat waktu pengambilan gambar untuk bikin
film dokumenter.
Ya ntar aja. Rapat mingguan Jumat besok kita bahas,
kata Aliksa.
Masih ada sistem upeti, ya. Zaman sekarang masih ada
pungutan segala, kayak zaman kerajaan saja, Yola menyela.
Ya. Begitulah. Sistem senioritas yang menganut hukum
rimba, siapa yang kuat berkuasa dan menguasai yang muda.
Sedangkan yang muda harus menuruti kemauan seniornya,
meski terkadang dengan terpaksa dan memberatkan. Ke
depan, sistem senioritas seperti itu seharusnya sudah tidak
ada. Tentu, demi kebaikan waria agar bisa berkembang sesuai
dengan kemampuannya, dan tidak ada rasa takut terhadap
siapa pun kalau hendak melakukan kegiatan-kegiatan yang
bersifat positif.
Namun tidak semua mami-mami waria di Jakarta yang
memberlakukan sistem seperti itu, hanya beberapa orang
saja. Masih banyak yang suka saling tolong-menolong, mau
120
123
1. 10
Marni
Oleh
Dewi Yunita Widiarti
SSS Pundi Sumatera, Jambi
125
Marni
Marni
Marni
Marni
Kemudian, aku meminta kesediaannya untuk mengantarkan aku di lain waktu, mendokumentasikan tanaman-tanaman
obat tersebut. Dengan lirih Mak Marni bilang, Hutan kami
sudah habis. Begitu juga tumbuhan obat itu. Mencarinya
sekarang semakin sulit, seperti sulitnya kami mencari hewan
buruan untuk makan. Kami ingin sekali dapat lahan, ingin
menetap di sanaingin membuat kebun para, ingin menanam
sayuran dan ingin kembali menanam tanaman obat. Tapi
pemerintah belum juga menepati janjinya.
Mak Marni dan komunitas SAD lain memang sangat
menginginkan lahan sebagai tempat hidup. Mak Marni merasa
sudah cukup lelah harus terus berpindah dari satu lokasi
ke lokasi lain, sedang mencari kawasan hutan yang masih
menyediakan segala kebutuhan mereka pun sudah semakin
sulit. Hidup menumpang di sekitar kebun sawit yang berstatus
milik perusahaan atau kebun milik orang lain seperti saat ini
dirasakan sangat tidak menenangkan.
Mak Marni takut kalau sewaktu-waktu ia diusir oleh
pemilik lahan. Bagaimana dengan tanaman para yang baru ia
tanam? Bagaimana dengan tanaman terong dan singkong yang
juga baru ia semai? Lalu bagaimana dengan niatnya untuk
mengembangkan lagi tumbuhan obat yang sudah semakin
langka ditemukan? Mak Marni sangat berharap adanya
perubahan. Mak Marni menitip pesan dan harapannya pada
program ini, yang bisa membuat mimpinya menjadi nyata:
sebidang lahan bagi komunitasnya
***
134
1. 11
Catatan Seorang
Fasilitator SAD
Oleh
Hafis Syawir
SSS Pundi Sumatera, Jambi
135
140
142
144
145
1. 12
Ayo Menganyam Rotan:
Mendulang Rupiah dengan
Merawat Tradisi
Oleh
Saparuddin Senny
Kawal Borneo Community Foundation, Samarinda
147
151
153
154
155
Tak terasa, waktu sudah hampir senja. Aku melongok keluar jendela, tapi langit masih saja menitikkan air matanya dan
menutupi dirinya dengan selimut hitam. Sambil menunggu
benar-benar reda, aku pun kembali membuka pembicaraan
dengan Bu Nelly. Apakah ibu pernah mengajak masyarakat
sini untuk menganyam? tanyaku sambil mencari ide soal
apa yang harus kulakukan agar keterampilan menganyam
tak punah di desa ini.
Entah apa yang dipikirkannya, dia sempat termenung
dan terlihat kaget mendengar pertanyaanku. Belum, belum.
Tapi saya mau melatih mereka, jawabnya.
Hanya saja prosesnya agak lama. Mereka tidak mungkin
langsung pintar, imbuhnya sambil berdiri dan memindahkan
air dari baskom ke penampungan yang sudah ia siapkan.
Memangnya sulit ya, Bu? sergahku ingin tahu lebih dalam
soal cara menganyam rotan.
Ya tergantung. Asal mau sabar dan tekun, itu saja
kuncinya. Tapi sebelum membuat, perlu siapkan bahan
berupa rotan. Rotannya harus yang muda, lalu dipotong
sesuai kebutuhan dan diraut menjadi bagian-bagian kecil
menyerupai tali. Lebarnya sekitar satu inci dengan tebal seperti
kertas. Kemudian tali-tali itu harus direndam terlebih dahulu
di lumpur untuk memperoleh bahan yang kuat, paparnya
dengan semangat.
Saking asyiknya mendengarkan penjelasan Bu Nelly, saya
sempat tak sadar kalau hujan di luar sudah berhenti. Bu,
hujan sudah berhenti. Saya pamit dulu ya, sergahku. Aku terpaksa mengakhiri perbincangan itu, karena malamnya harus
bertemu dengan ketua kelompok dampinganku, Pak Yarno.
157
Dalam perjalanan, aku masih memikirkan cara melestarikan budaya menganyam rotan ini. Bu Nelly, satu-satunya
orang yang memiliki keterampilan itu sudah tua, setelah dia
bagaimana? Akan hilang tanpa bekas, tinggal cerita. Wah,
gawat nih, kataku dalam hati.
Saat itulah aku teringat akan program pendampingan yang
pernah kami buat bersama Bu Rena di Samarinda. Aku yakin
program tersebut akan sangat baik bila kuterapkan di desa
ini. Sebab, pikirku saat itu, menghidupkan kembali kerajinan
rotan itu selain untuk menjajaki peluang usaha baru sekaligus
bisa melestarikan budaya.
***
Teringat itu, aku pun langsung pulang ke rumah di mana
aku menginap. Aku juga membatalkan bertemu dengan Pak
Yarno demi membicarakan program ini dengan Bu Rena. Aku
langsung ke rumah Bu Rena dan tidak peduli bahwa sore
itu dia sedang sibuk menyiapkan hajatan perkawinan adik
laki-lakinya. Sebab, aku tidak mau kehilangan gagasan ini.
Untunglah, sebelum sampai di rumahnya, aku bertemu
beliau di jalan. Bu Rena mau ke mana? sapaku sambil
berusaha menahannya sejenak untuk berbicara. Mau ke
rumah Bu Nelly. Mau ambil pesanan tas bapak, jawabnya.
Sontak aku pun baru sadar bahwa sebelum berangkat
ke desa, aku sempat minta Bu Rena memesankan tas dari
anyaman rotan untuk oleh-oleh. Padahal, saat di rumah Bu
Nelly tadi, aku melihat ada tas kecil yang sedang ia kerjakan.
Saya baru saja dari rumah Bu Nelly, tapi tasnya belum saya
ambil, kataku.
158
1. 13
Pipikoro: Negeri di
Pinggir Awan
Oleh
Idham Malik
Sulawesi Community Foundation, Makassar
161
hanya satu kilometer dari rumah Pak Marten. Kami menyambangi kediaman Sekcam Pipikoro untuk bertemu Kepala Desa,
Abed Nego. Kata Abed Nego, ia sudah mempersiapkan para
kader di desanya untuk kami wawancarai. Alhamdulillah.
Sekembali dari kediaman Sekcam, kami berangkat ke
Pipikoro. Dia menumpangi kami mobil hingga ke perbatasan
Gimpu, akhir jalan aspal yang bisa dilalui mobil. Kemudian,
perjalanan disambung dengan menumpang ojek menuju
Porelea, yang membutuhkan waktu 1,5 jam. Beberapa kali
kami berhenti di jalan untuk melihat Porelea dari kejauhan,
yang letaknya di atap gunung.
Perjalanan ke desa itu cukup sulit, medan berupa pendakian di lereng-lereng gunung, kadang menuruni lembah dengan
kemiringan curam, membuat tukang ojek memodifikasi
motornya dengan gir yang dirancang khusus. Ongkos ke sana
pun tak murah. Bayangkan, hanya berjarak 24 kilometer, kita
harus merogoh kocek Rp100-150 ribu per orang.
Konon, jalan pendakian ini dulu hanya bisa dilalui dengan
perjalanan setengah hari menaiki kuda. Sekitar tahun 2011,
motor ojek mulai masuk ke desa-desa Pipikoro yang diinisiasi
oleh seorang Komandan Babinsa (Bintara Pembina Desa),
Wempi Gesa Dombu. Pada tahun 2001, ia menghadirkan 12
buah ojek dengan modal Rp80 juta rupiah. Sejak itu, warga
mulai ramai-ramai menukar kudanya dengan motorsatu
motor ditukar dengan empat ekor kuda.
***
Menginjak Porelea, kita seperti menjejak sebuah negeri
yang baru ditemukan. Negeri yang tersembul di atas pasak
bumi. Padahal, jaraknya tak jauh dari pangkal keramaian, 24
164
167
Di Pipikoro ternyata ada kopi yang melalui hasil sortir kelelawar, yang disebut Kopi Toratima. Aroma dan rasa kopi ini
tidak kalah dahsyat dengan Kopi Luwak, asal Gayo Region,
Takengon, Aceh itu. Kopi Toratima biasa dipersembahkan
bagi para tamu adat dan menjadi hidangan utama dalam
upacara-upacara adat. Saya belum mencoba jenis kopi ini,
karena terlambat mengetahui sehingga kurang dieksplorasi.
Menjelang magrib, kami bergerak ke lapangan bola.
Bermain di sini harus mengeluarkan tenaga ekstra, karena
pada kedua ujungnya berupa gundukan dan di tengah berupa
lembah. Setiap kali pemain membawa bola ke gawang, mereka
harus mengangkatnya ke atas lewat tendangan melambung.
Hebatnya, para pemuda Porelea seperti tidak kehabisan tenaga
membawa bola. Inilah hiburan utama mereka sehabis memetik
kopi atau menggarap ladang.
Malam harinya, keluarga besar Pak Abed berkumpul di
depan televisi, hiburan malam mereka menjelang istirahat.
Beruntung mereka masih bisa menonton televisi dengan
bantuan paket jenset dan parabola. Tampaknya, masih banyak
rumah di Porelea yang tidak mampu mencicipi televisi.
Ruangan tengah rumah pun bertambah ramai ketika tokoh
adat dan dua kepala dusun datang bertandang.
Tokoh Adat Desa Porelea bernama Marten Ego, malam
itu ia melingkarkan kain menutupi rambut kepalanya. Kami
tak begitu larut dalam perbincangan. Cuma membahas sekilas
hukum adat di Porelea. Hukum adat masih sangat ketat, di
sana tidak ada polisi dan hakim, jadi yang memutuskan
perkara kebanyakan adalah para tetua adat.
Pertemuan adat dilakukan setiap ada persoalan, yang
lazim terjadi adalah kasus hubungan pria dan wanita. Jika
168
173
1. 14
Ternak Ayam
Milik Sarialang
Oleh
Asfriyanto
Mitra Turatea, Jeneponto
179
182
186
1. 15
Oleh
Aprilia Nurhasanah
Majelis Pelayanan Sosial (MPS) PP Muhammadiyah
187
193
196
198
199
200
1. 16
201
204
206
207
211
212
1. 17
213
Berencana Kabupaten Sambas mewakili PKK untuk mengikuti perlombaan penyuluhan tentang kekerasan terhadap
perempuantermasuk trafficking dan cerdas cermat di tingkat
provinsi. Yang sangat mengharukan, ketika mengikuti salah
satu kegiatan, salah satu paralegal mendapatkan hadiah door
price satu unit sepeda motor, yang kini digunakan sebagai
kendaraan operasional paralegal Desa Kubangga.
Keberadaan paralegal di Desa Kubangga sudah dikenal
hingga tingkat kecamatan, hal ini diperjelas dengan Surat
Keputusan yang dikeluarkan oleh Camat Teluk Keramat
tentang sepuluh perempuan yang berasal dari Desa Kubangga
sebagai paralegal (pendamping korban) untuk tindak ke
kerasan terhadap perempuantermasuk trafficking.
***
Ada pengalaman lucu yang dialami Ibu Indrayani yang patut
diceritakan di sini. Suatu hari, dia bersama Wati, salah seorang
paralegal Desa Kubangga, pergi ke bengkel untuk ganti oli
sepeda motor miliknya. Di sana mereka bertemu seorang
polisi yang juga sedang memperbaiki motornya.
Pada awalnya, Ibu Iin (panggilan akrab Indrayani) tidak
mengetahui jika orang yang ngobrol itu adalah seorang polisi.
Polisi itu bertanya, Kerja di mana, Bu? Ibu Iin menjawab,
Jualan pakaian, tapi kami aktif di organisasi. Kemudian ia
bertanya, Organisasi ape jak?
Ibu Iin menjawab, Salah satunya menjadi paralegal. Polisi
itu semakin penasaran dan menanyakan apa itu paralegal.
Setelah dijelaskan, polisi itu pun menjadi paham. Secara tidak
sengaja, Ibu Iin melihat sepeda motor milik si polisi yang
219
220
1. 18
221
227
228
Tentang Penulis
Tentang Penulis
A. Alexander Mering
Adalah seorang jurnalis dan blogger yang
pertama kali mengembangkan metodologi
Jurnalisme Kampung untuk beberapa
program advokasi dan community development di Kalimantan Barat. Karena
ide-ideanya, dia pernah dikirim ke beberapa negara untuk program fellowship, antara lain ke
Amerika Serikat, Filipina, Thailand dan Malaysia. Tahun
2007, Mering bersama empat rekannya mendirikan Koran
Borneo Tribune, di Pontianak, dan antara tahun 2011-2013 dia
menjadi salah satu Manajer Proram di Yayasan Pemberdayaan
Pefor Nusantara (YPPN) untuk PNPM Peduli di Kalimantan
Barat. Inisiator program Border Blogger Movement (BBM)
tahun 2012 ini, pernah menjadi konsultan media lokal
Sarawak, Malaysia. Kini, Mering bekerja untuk program
USAID IFACS, sambil tetap aktif menulis ke beberapa
media di Malaysia. Selain menulis karya-karya jurnalistik,
Mering juga menulis puisi dan cerpen dengan nama samaran
Wisnu Pamungkas. Home page Mering bisa dikunjungi
di www.wisnupamungkas.blogspot.com.
229
Aprilia Nurhasanah
Lahir di Jakarta, 11 April 1993. Bergabung
di MPS Muhammadiyah sejak pertengahan 2012 sebagai tutor bimbingan belajar
untuk anak-anak dan orangtua. Selain aktif
berorganisasi, April (sapaan akrabnya)
saat ini masih tercatat sebagai mahasiswa
tingkat akhir Universitas Azzahra. Selain menulis, ia juga
memiliki hobi desain grafis brosur, banner, dan name card.
Di sela-sela kesibukannya, April juga melakukan usaha kecilkecilan, seperti berjualan pakaian anak dan kue-kue kering.
Asfriyanto
Lahir 34 tahun yang lalu di Inderagiri,
Riau. Ia adalah alumnus Arkeologi
Universitas Hasanuddin 1999. Jeneponto
dan Lembaga Mitra Turatea merupakan
laboratorium sosial dan pemberdayaan
yang penting dalam aktvitas sosial kemasyarakatannya. Saat ini ia bekerja untuk isu-isu pertanian organik, pemetaan partisipatif untuk perlindungan kawasan DAS
dan konservasi tanah, serta pendidikan kritis untuk petani.
230
Tentang Penulis
Atiek Kurnianingsih
Lahir di kota Singaraja, Bali. Menjadi salah
satu staf Yayasan Wisnu sejak tahun 1997.
Mulai berkenalan dengan masyarakat desa
pada tahun 1999, salah satunya dengan
masyarakat Desa Lembongan pada kegiatan pelatihan pemetaan dan pemetaan
wilayah Nusa Ceningan sebagai bagian dari Desa Lembongan.
Sejak saat itu, ia semakin menekuni dan mempunyai banyak
pengalaman berorganisasi dan berhubungan dengan masyarakat desa, terutama masyarakat empat desa yang tergabung
dalam Jaringan Ekowisata Desa.
Walaupun lama belajar di sekolah formal, namun
perkembangan pikiran dan perasaannya banyak dipengaruhi
oleh pendidikan informalnya di desa. Selama 13 tahun ia
melakukan banyak hal bersama masyarakat desa, seperti
pemetaan dan pembuatan rencana kelola ruang wilayah,
melakukan berbagai kegiatan untuk pengembangan ekowisata,
serta menekuni berbagai media pendokumentasian dan penyebarluasan informasi. Berbagai kegiatan yang dilakukannya
bersama masyarakat desa berkaitan dengan pengelolaan
sumber daya komunitas.
231
Tentang Penulis
Hafis Syawir
Lahir di Muara Panas, 25 Februari 1973.
Lulusan Akademi Manajemen Informatika
dan Komputer (STMIK NH) Jambi tahun 1999 ini mulai bergabung sebagai
Fasilitator Wilayah Kabupaten Merangin,
Provinsi Jambi, pada lembaga Pundi
Sumatera sejak tahun 2012 lalu. Kalau diberi dua pilihan antara
menulis atau tidur di sudung (rumah komunitas Suku Anak
Dalam/SAD), ia lebih memilih tidur di sudung karena hanya
ingin merasakan gigitan nyamuk atau gatalnya kepinding saja.
Sedangkan jika menulis, ia mengaku bisa merasakan panas
dingin hingga tulisannya selesai.
233
Idham Malik
Lahir di Maros, tahun 1986. Sarjana
Perikanan Universitas Hasanuddin tahun
2010 ini adalah pekerja sosial yang tertarik
pada isu budaya dan lingkungan (ekologi).
Aktif mengampanyekan peluang masyarakat sekitar hutan untuk mengakses hutan
negara dan tertarik bekerja untuk perbaikan kondisi masyarakat lokal. Saat ini bekerja di Makassar, untuk pengembangan
budidaya perairan yang ramah lingkungan dan bertanggung
jawab. Ia juga begitu mencintai budaya, lingkungan, dan sastra.
Lisa
Lahir di Bengkulu, 13 Oktober 1980. Ia
adalah anak ketiga dari empat bersaudara.
Alumni Jurusan Manajemen Bisnis SMKN
1 Manna Bengkulu Selatan ini memutuskan hijrah ke Bekasi tahun 2002. Lisa
yang aktif di Swara juga dikenal sebagai
Pengusaha Salon. Motto hidupnya: Menjalani hidup seperti
manusia lainnya.Terus berusaha menjadi yang terbaik dan
untuk hidup lebih baik.
234
Tentang Penulis
Meilanny Alfons
Meilanny Alfons lahir di Jayapura
pada tanggal 26 Mei. Dari SD hingga
kuliah diselesaikan di Kota Jayapura.
Lulusan Administrasi Negara Universits
Cenderawasih ini telah bekerja selama kurang lebih 12 tahun pada Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Wanita Gereja Kristen Injili di Tanah
Papua. Bekerja pada bidang umum dan pengembangan
kapasitas lembaga telah memberikan pengalaman dalam
melihat pekerjaan perempuan. Selain pekerjaan rutin di kantor,
ia terlibat juga dalam kegiatan di lapangan.
235
Saparuddin Senny
Bekerja di Kawal Borneo Community
Foundation, Samarinda, yang membantu masyarakat adat dan kelompok
miskin terisolir di dalam dan sekitar
hutan Kalimantan. Sejak menyelesaikan
studi S1 Ilmu Hukum di Universitas
Hasanuddin, Makassar tahun 1998, ia langsung terjun dalam
program pemberdayaan masyarakat. Meski berdomisili di
Bontang, Kalimantan Timur, namun sejak bergabung dengan
PNPM Peduli tahun 2011, ia lebih sering berada di lokasi
program yang tersebar di wilayah Kalimantan Tengah dan
Kalimantan Timur.
236
Tentang Penulis
Yopi Hardi
Dilahirkan pada 19 Mei 1977. Sejak tahun
1998, ia mulai berkecimpung di NGO dan
bergabung dengan Walhi sebagai tenaga
kapanye sampai tahun 2000. Tahun itu
juga, ia bergabung dengan NGO bernama
Koslata yang berkecimpung dalam isu
lingkungan dan pariwisata serta tenaga kerja Indonesia sebagai
fasilitator komunitas, divisi kampanye dan informasi sampai
tahun 2010. Sekarang ia bergabung dengan Samanta. Ia
pernah mengenyam pendidikan di ITN Malang, Jawa Timur
dan Fakultas Hukum Universitas Mataram.
Bagi Yopi, menjadi pengusaha bersama-sama adalah
pilihan hidup, karena dengan menjadi pengusaha bisa menjadi
segalanya dan mengisi hidup dengan belajar apa saja, di mana
saja dan kepada siapa saja.
237