Anda di halaman 1dari 274

Cover dalem

Cover dalem

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah


Kisah Para Pendamping PNPM Peduli
Karya: Tim Pendamping PNPM Peduli
Copyright 2014, Kemitraan
xxxiv+ 238 hal; 14 x 21 cm
ISBN: 978-602-1616-05-5
Editor: Luqman Hakim Arifin
Pemindai Aksara: Agus Khudlori
Desain Cover: A. M. Wantoro
Layouter: Erwan Hamdani & Hendrik Ferdiansyah
Kontributor Foto:
Ade Siti Barokah, Alexander Mering, Arul, Benedicta R. Kirana, Bosio,
Budianto, Dano Kafara, Deni Sailana, Dewi Yunita Widiarti, Fitrya
Ardziyani Nuril, Florensius, Hendra, Herry, Hurin In, Idham Malik, IKA,
Kurniawan (Awang), Laurensius Edi, Leonardus, Muhammad Bustom,
Mitra Turatea, Mulyoto, Niksen, Saparuddin, Satrianto, Sena Handoko,
Swara, Weda, Wisnu, Yaury Tetanel, Yopi hardy, Yudith Evametha
Cetakan I, Maret 2014
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi
buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.
Hak cipta dilindungi undang-undang
All rights reserved
Partnership for Governance Reform in Indonesia (Kemitraan)
Jl. Wolter Monginsidi No.3, Kebayoran Baru - Jakarta 12110
Tel : +62-21-72799566 / Fax : +62-21-720 5260
www.kemitraan.or.id

Daftar Isi

Daftar Isi
Pengantar Editor  vii
Pengantar Wicaksono Sarosa xi
Sambutan Sujana Royatxiii
Catatan Kecil Ade Siti Barokah xvii
1. Loncek Baguas 1
2. Permen Persahabatan Buat Si Icang  17
3. Kami Ingin Mengelola Sumber Daya Kami Sendiri
(Kisah Mangku Mirah dari Nusa Ceningan) 35

4. Kunang-kunang Kampung Loncek  51


5. Sekdes Amil, Telur, dan Ayam  65
6. Mas Sayur, Pak Daniel, dan Aku  75
7. Mereka juga Bagian dari Hidupku  87
8. AIDS Bukanlah Akhir dari Segalanya  103
9. Mengangkat Harkat dan Martabat Kaum Waria  115
10. Marni 125
11. Catatan Seorang Fasilitator SAD  135
12. Ayo Menganyam Rotan: Mendulang Rupiah dengan
Merawat Tradisi 147
v

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

13. Pipikoro: Negeri di Pinggir Awan 161


14. Ternak Ayam Milik Sarialang 179
15. Mereka juga Luar Biasa 187
16. Keunikan Kembang Motif dari Lombok 201
17. Minta Pasal Berape? 213
18. Sukarelawan itu Bisa Siapa Saja 221
Tentang Penulis

vi

Daftar Isi

Pengantar Editor

ebagai negara yang terkenal dengan julukan Zamrud


Khatulistiwa, Indonesia ini tentu tidak diragukan lagi
potensi kekayaan alamnya. Tidak hanya kaya akan sumber
daya alam (SDA), tapi juga bahasa, budaya, dan kearifan
lokal. Namun sayang, gerak langkah pembangunan sering
kali tidak seiring sejalan, maksimal, dan mengintegrasikan
berbagai potensi itu.
Kita sering mengukur kemajuan bangsa hanya dengan
pendekatan SDA, tanpa memerhatikan dampak terhadap
lingkungan dan kehidupan sosial budaya, bahkan menjauhkan
dari budaya hidup positif dalam kehidupan sehari-hari.
Kemajuan sering kali diukur dengan pertumbuhan ekonomi
makro, sedang ekonomi mikro cenderung terpinggirkan. Maka
yang terjadi adalah eksploitasi. Yang kaya semakin kaya, yang
miskin semakin miskin. Yang besar semakin meraksasa dan
menggurita, sedang yang kecil semakin tergencet dan mati
sebelum tumbuh berkembang.
Dewasa ini, kita mengagung-agungkan prinsip melakukan
segala sesuatu lebih cepat adalah lebih baik. Akan tetapi,
dalam perlombaan mengejar kecepatan itu, hampir semua
hal dikorbankan, baik pekerjaan, makanan dan kesehatan,

vii

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

komunikasi anak dan orangtua, hingga hubungan baik


antarsesama. Semua menjadi serbainstan dan tergesa-gesa.
Ringkasnya, kini kita tengah memasuki zaman yang
segalanya diinginkan serbakilat dan, kayaknya, serbacepat
-beres. Kita begitu terburu-buru sehingga apa pun yang
memperlambat kita, pastilah dianggap sebagai musuh.
Seakan-akan, sesuatu yang lambat identik dengan kuno atau
ketinggalan zaman.
Carl Honore dalam buku In the Praise of Slow mengungkapkan, betapa sebuah gerakan yang menantang pengultusan
kecepatan telah membuktikan bahwa melakukan sesuatu lebih
lambat sering kali menghasilkan sesuatu yang lebih baik.
Serbacepat tentu tidak salah. Yang salah adalah ketika ada
sebuah proses kehidupan yang memang perlu kelambatan tapi
kemudian dipercepat sehingga prosesnya tidak berlangsung
secara benar dan mendekati sempurna.
Demikian pula dengan pembangunan masyarakat di
Indonesia. Sebenarnya bukan sekadar bagaimana mempercepat pertumbuhannya, tetapi juga harus dipertimbangkan
pemerataannya. Buku yang berada di tangan Anda ini merupakan sedikit dari sekian gerakan dan pergulatan para aktivis
yang berusaha melakukan pemerataan, baik bagi masyarakat
suku pedalaman yang tak tersentuh pembangunan maupun
kaum minoritas yang terdiskriminasi.
Kisah mereka ini kadang begitu heroik, tapi juga kadang
begitu menyentuh. Terkadang lucu, konyol, menggemaskan,
namun terkadang intens dan menegangkan. Tentu, tidak semua
yang dilakukan para aktivis sosial Indonesia ini memberikan
solusi terhadap semua permasalahan yang mereka hadapi di

viii

Pengantar Editor

lapangan. Yang mereka lakukan adalah pemberdayaan potensi


yang dimiliki masyarakat.
Seperti kisah Bu Nelly. Bisa dibilang, dialah satusatunya perempuan yang menguasai seni menganyam rotan
Masyarakat Adat Ngaju. Usianya tak lagi muda, 72 tahun.
Kisah ini dituturkan secara apik oleh Saparuddin Senny
dalam Ayo Menganyam Rotan: Mendulang Rupiah dengan
Merawat Tradisi.
Ada juga kisah lucu Sekdes Amil, yang rajin membuat
surat undangan ke warga setiap kali ada pertemuan di balai
desa. Padahal, sebagian besar warga tidak bisa baca tulis.
Belum lagi teknik aneh-aneh yang dilakukan warga untuk
memelihara ternak mereka. Simak kisahnya dalam Sekdes
Amil, Telur, dan Ayam.
Kalau pun upaya pemberdayaan tidak bisa dilakukan,
minimal kaum muda yang tergabung dalam PNPM Peduli ini
secara tekun dan intens melakukan pendampingan terhadap
mereka-mereka yang terpinggirkan dan terdiskriminasi.
Seperti kisah lucu dan menegangkan Saudari Lisa, dalam
Mengangkat Harkat dan Martabat Kaum Waria, yang ikut
dikejar-kejar Satpol PP. Sebagaimana kita tahu, eksistensi kaum
waria ini masih dipandang sebelah mata di tengah masyarakat.
Tidak hanya itu, Anda juga diajak untuk menyimak kisah
pilu Mai Nia Wati, dalam Mereka juga Bagian dari Hidupku,
seorang PSK yang pindah dari satu kafe ke kafe lainnya, dan
akhirnya terdampar di daerah perbatasan Kupang dan Timor
Leste. Sekali waktu, dia pernah menjalani hidup sebagai
seorang istri dari anggota TNI. Namun, dia dicampakkan
begitu saja bersama anaknyabuah cinta mereka. Bagaimana

ix

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

dia bangkit dan membela hak-hak para wanita tuna susila


yang rentan terhadap tindak kekerasan dan HIV/AIDS?
Inilah kisah mereka yang tak pernah menyerah dan
berpangku tangan dengan keadaan. Mereka ingin mengatakan
kepada kita semua bahwa ada banyak yang bisa kita lakukan
untuk negeri yang kita cintai ini. Semoga bisa menjadi bahan
renungan, dan memberi inspirasi bagi kita semua.

Jakarta, Maret 2014


Luqman Hakim Arifin

Daftar Isi

Pengantar
Oleh
Wicaksono Sarosa
Direktur Eksekutif Kemitraan

ebagaimana tertuang dalam dokumen rencana strategis


(Renstra), Kemitraan melihat pengurangan kemiskinan
sebagai salah satu isu cross-cutting bersama dengan pengarusutamaan gender, anti-korupsi dan desentralisasi. Dengan
demikian, semua program yang dirancang dan dilaksanakan
oleh Kemitraan, hendaknya merujuk pada empat isu lintas
bidang tersebut. Sejalan dengan itu, sejak tahun 2011
Kemitraan menjalankan program PNPM Peduli. PNPM Peduli
adalah program pengentasan kemiskinan oleh pemerintah
yang dijalankan oleh Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) yang
secara khusus ditujukan bagi kelompok masyarakat marjinal
seperti kelompok masyarakat adat (indigenous people/IP),
anak jalanan, perempuan kepala keluarga, perempuan korban
perdagangan manusia, keluarga yang terinfeksi HIV/AIDs dan
bahkan komunitas transgender.
Sesuai dengan khitah Kemitraan yang melihat hakekat
good governance, di mana isu hak asasi manusia dan
keadilan bagi semua adalah syarat mutlak, maka keterlibatan
Kemitraan dalam program PNPM Peduli sangatlah relevan.
Pada dasarnya muara dari good governance adalah peningkatan
xi

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

kesejahteraan serta perlindungan hak dasar bagi semua.


Prinsip ini menekankan pentingnya kesetaraan, keadilan,
dan kesempatan yang sama bagi semua warga negara, tak
terkecuali kelompok-kelompok masyarakat yang selama ini
tidak terjangkau pembangunan. Kelompok-kelompok inilah
yang difasilitasi untuk mengembangkan kemampuannya serta
dibukakan kesempatan untuk mendapatkan akses pelayanan
publik, seperti pendidikan, kesehatan dan sarana usaha.
Buku yang ada di tangan Anda ini adalah kumpulan
kisah yang ditulis oleh para pelaku PNPM Peduli dari manajer
program, fasilitator lapangan, hingga kader masyarakat. Buku
ini bertutur jujur. Tidak hanya menulis kesuksesan, tapi juga
tentang pahit dan getirnya pendampingan. Buku ini akan
membawa kita lebih mengenal siapa sebenarnya masyarakat
marjinal yang didampingi PNPM Peduli, permasalahan
yang dihadapi serta cara-cara yang unik, menarik, inovatif
dan terkadang lucu yang dilakukan para pendamping dan
masyarakat untuk mengatasi masalah. Buku ini juga bercerita tentang berbagai kejadian yang sangat sederhana tetapi
mengajak pembaca untuk berpikir kembali akan kebinekaan
yang ada di Indonesia.
Atas nama Kemitraan, kami menyampaikan terima kasih
kepada para pendamping yang menyediakan waktu untuk
menuliskan pengalaman berharga dari berbagai daerah
sehingga tersusun buku inspiratif Mereka yang Tak Pernah
Menyerah ini, dan juga kepada para mitra kerja PNPM Peduli
yang turut berkontribusi sehingga buku ini dapat diselesaikan.
***

xii

Daftar Isi

Sambutan
Oleh
Sujana Royat
Deputi Penanggulangan Kemiskinan dan
Pemberdayaan Masyarakat
Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat
sebagai Ketua Kelompok Kerja Pengendali
PNPM Mandiri

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.


rogram Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)
Peduli merupakan gagasan yang dikembangkan dan
dilaksanakan bersama oleh Kementerian Koordinator
Kesejahteraan Rakyat dan jaringan organisasi masyarakat
sipil di Indonesia. Program ini bertujuan untuk memastikan
berbagai kelompok yang selama ini termajinalkan dapat
berpartisipasi dan memperoleh manfaat dari program penanggulangan kemiskinan yang diselenggarakan oleh pemerintah.
PNPM Peduli tidak hanya ingin menjawab persoalan
kemiskinan melainkan menyasar pada akar persoalan:

xiii

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

ketidakadilan dan stigma sosial yang memiskinkan kelompok


dan golongan tertentu. Tantangan yang dihadapi dalam
pelaksanaan PNPM Peduli merentang mulai dari persoalan
pengelolaan program hingga operasionalisasi sebuah visi untuk
mendorong terbangunnya kesetaraan sosial. Tidak ada satu
kelompok pun yang boleh dibiarkan miskin hanya karena
stigma sosial, diskriminasi gender, suku, lokasi geografis
maupun paham dan kepercayaannya. Kelompok marjinal yang
menjadi penerima manfaat PNPM Peduli adalah mereka yang
terisolir secara geografis seperti Suku Anak Dalam (SAD)
sekaligus kelompok transgender, anak jalanan, atau penderita
HIV/AIDS yang tinggal tepat di tengah kota. Semua harus
dijangkau dan dibantu memperoleh persamaan hak dan
menjadi lebih sejahtera.
Dengan tantangan geografis, sosial, ekonomi, diskriminasi,
marjinalisasi gender dan politik yang ada, komitmen para
pendamping PNPM Peduli patut mendapat penghargaan yang
tinggi. Para pegiat sosial yang telah menyediakan diri untuk
menjadi pendamping kelompok marjinal ini telah memberi
waktu, tenaga dan pikiran bagi masyarakat terpinggirkan.
Bahkan, sering kali para pendamping ini dengan ikhlas menerima stigma sosial sebagaimana dilekatkan oleh masyarakat
umum kepada kelompok-kelompok yang mereka dampingi.
Mengenal lebih dekat perjuangan, keteguhan komitmen dan
keberanian para pendamping PNPM Peduli sangatlah penting
bagi kita semua sebagai pengingat bahwa masih sangat banyak
orang baik yang mau bekerja demi kaum marjinal di negeri
tercinta ini.
Oleh karena itu, dengan mengucap puji syukur kehadirat
Allah SWT, saya menyambut gembira atas diterbitkannya
xiv

Sambutan

buku Mereka yang Tidak Pernah Menyerah: Kisah Para


Pendamping PNPM Peduli. Pengalaman nyata para aktivis
pendamping sosial yang dikisahkan dalam buku ini sangat
penting untuk dibaca oleh seluruh kalangan terutama bagi
pengambil kebijakan dan para pegiat sosial lain di mana
pun berada. Sebagaimana amal ibadah, setiap kebaikan harus
dicatat dan patut mendapat tempat.
Wassalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh.
***

xv

Catatan Kecil

Catatan Kecil

Melintas Batas,
Meruntuhkan Sekat
Oleh
Ade Siti Barokah
Program Manager PNPM Peduli Kemitraan

Menaklukkan Ketakutan
Dari punggung pegunungan yang berbatu, kami menatap ke
bawah. Ketegangan tergurat dari wajah-wajah mengeras yang
bersimbah keringat. Tampak jalan setapak yang baru saja kami
lalui, berliku-liku di antara tebing terjal dan jurang menganga.
Satu rekan kami masih berjuang keras menaklukkan satu
tikungan tajam menanjak sebelum sampai pada posisi kami.
Bismillah. Bismillah. Bibir kami menggumam.

xvii

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

Rodanya berputar keras. Menggilas batu-batu runcing.


Menukik dan melenting, sebelum tergelincir kembali ke
bawah untuk kesekian kalinya. Saya membekap mulut kuat
-kuat menahan diri agar tidak berteriak. Teriakan tak akan
menolong, nasihat seorang kawan. Yang dibutuhkan hanyalah
pengendalian dan ketenangan. Ketika akhirnya motor butut
itu berhasil melintasi tanjakan, jarak antara roda dengan bibir
jurang hanya selebar lima jari. Tak ada sorak sorai karena
sadar ini belum seberapa. Kami baru seperempat jalan dan
entah masih berapa puluh tanjakan terjal lagi yang harus
ditaklukkan. Satu-satunya cara untuk merayakan kelegaan
adalah dengan rehat sejenak sambil menyiapkan mental untuk
tiga jam penuh perjuangan berikutnya.
Saat menyapu pandang ke sekeliling, mata saya melihat
pemandangan ganjil: sebilah tongkat bambu dipancangkan di
satu titik. Menggantung pada tebing di bawahnya, beberapa
pohon roboh dan patah ujungnya. Tukang ojek yang membawa
saya ikut mengarahkan matanya ke sana dan berkata dengan
suara dalam.
Minggu lalu Bapa Pendeta jatuh di situ.
Allah...
Tak bisa dicegah, mata saya memejam membayangkan
kematian. Kematian yang begitu dekat, lima jari saja jaraknya
dari posisi saya sekarang.
Di ketinggian Pipikoro, Kabupaten Sigi ini, kematian
mengintai di setiap ceruk, tanjakan, tikungan dan sedikit saja
kelalaian. Kematian begitu akrab dengan warga di tiga desa
ini. Saking akrabnya, kematian tak lagi menakutkan.
Kami tidak takut mati akibat jatuh di jurang, kami
hanya takut anak istri kami kelaparan karena kami pulang
xviii

Melintas Batas, Meruntuhkan Sekat

dengan tangan hampa, jawabnya ketika saya menyinggung


tentang risiko pekerjaannya sebagai tukang ojek di kawasan
berbahaya ini. Sebuah logika sederhana yang sulit saya pahami.
Bukankah kalau ia mati, anak istrinya akan kehilangan si
pencari nafkah? Entahlah.
Lalu saya beralih ke rekan fasilitator dan menanyakan
apa yang membuatnya bertahan di tempat terisolir dan
penuh tanjakan maut ini. Ia menjawab, Karena saya tak
tega meninggalkan mereka. Kata-katanya menyusup rongga
telinga dan menampar saya dengan keras.
Itu terjadi pada awal 2012, beberapa minggu setelah saya
nyaris menyerah untuk alasan yang hanya Tuhan dan saya
sendiri yang tahu.

xix

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

Ketika kami akhirnya sampai di desa, langit sudah mulai


gelap. Warga desa menyemut. Tetua adat melantunkan reigo,
nyanyian selamat datang. Bapa Pendeta yang baru memimpin
doa syukur kepada Tuhan karena telah memberkati perjalanan
kami. Saya berusaha keras menegakkan lutut yang masih
gemetar menyalami warga.
Malam itu juga kami berkeliling dari rumah ke rumah
mendengarkan curahan hati warga yang merindukan pendidikan layak untuk anak-anaknya yang putus sekolah. Juga
harapan mereka memiliki bidan yang bersedia tinggal di desa
agar perempuan yang melahirkan tidak berujung kematian.
Tebersit penyesalan, mengapa saya hanya seorang pekerja LSM
dan bukannya dokter atau bidan seperti harapan mereka?
***
Paginya, sambil menghirup udara pegunungan yang bersih
dan segar, saya memeluk bayi mungil sambil berbincang
dengan ibunya. Si ibu bersyukur karena dukun bayi yang
ada di desanya telah mendapat pelatihan beberapa kali dari
PNPM Peduli. Ia paham dokter atau bidan sulit diharapkan
mampu bertahan di desa seperti ini. Karenanya dukun lokal
yang terlatih bisa menjadi alternatif.
Sekarang dukun bayi pakai sarung tangan dan ia punya
alat-alat begini, katanya sambil mengacungkan jempol.
Kalau sakit macam flu, pusing atau batuk, kami tak perlu
turun ke bawah. Cukup ambil obat ke posko. Bapak Budi
usahakan obat-obatan. Posko yang dimaksud adalah sebuah
ruangan sederhana PNPM Peduli yang berfungsi sebagai pusat
layanan masyarakat. Bapak Budi adalah fasilitator program
yang bertugas di desa ini dan menjembatani keperluan warga.
xx

Melintas Batas, Meruntuhkan Sekat

Dari warga lainnya saya juga mendengar bahwa pelatihan


kakao dan usaha perbengkelan yang didanai PNPM Peduli
sudah terasa manfaatnya. Dengan jarak tanam yang tepat
xxi

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

dan cara petik yang benar, buah semakin rimbun. Pemudapemuda yang sebelumnya hanya duduk sepanjang hari, kini
memiliki keterampilan montir dan bisa memperbaiki motor.
Anak-anak dan remaja yang ikut kelompok belajar telah
pintar membaca. Tak peduli di tengah hutan, di ladang kopi
atau sambil berlarian di antara kakao, anak-anak itu mengeja
huruf dan berhitung dengan keras. Suaranya menggema
memenuhi udara.
Saat itu mata saya menangkap beberapa bayangan kecil
di balik rerimbunan kopi. Mereka mengintip saya malu-malu.
Ketika saya menoleh, sekelompok anak-anak berhamburan
sambil terkikik-kikik riuh. Tangan kotornya menggenggam
buku tulis dan pensil. Saya bangkit dan berlari tersengal
mengejar mereka. Dan ketika saya mengarahkan kamera,
serentak anak-anak itu merapat ke dinding sekolah dan
berpose gembira.
Sekolah itu lapuk dengan dinding yang sudah keropos.
Untuk semua kelas, sekolah ini hanya memiliki dua orang
guru honorer. Oh jangan tanya berapa gajinya! Gaji sebulan
keduanya setara dengan harga secangkir hot chocolate, dua
potong cheese cake dan sebotol kecil air mineral di kafe
langgananmu. Sekadar mempertegas, harga untuk cemilan
siangmu setara dengan biaya hidup sebulan ibu guru yang
harus mengajar semua murid dari kelas 1 hingga kelas 6.
Belum termasuk memeriksa pekerjaan rumah (PR) untuk
semua mata pelajaran! Jadi tak perlu heran jika ibu guru
kewalahan mengajari semua anak di desa ini. Akibatnya angka
putus sekolah tinggi. Anak-anak usia sekolah membantu
keluarga bekerja di kebun, atau terpaksa menikah belia. Dari
ujung lensa, saya kembali memandang anak-anak polos yang
xxii

Melintas Batas, Meruntuhkan Sekat

berbaris rapi di sana. Klik. Satu lagi wajah Indonesia terekam


di kamera.
Detik itu juga saya tersadar. Saya memang bukan dokter,
bukan guru. Saya bukan siapa-siapa. Tapi saya tahu cara
mencintai mereka.
Membuka Kotak Pandora
Kami sedang rapat internal di kantor saat itu. Seperti biasa
rapat koordinasi ini dihiasi dengan perdebatan. Ada perbedaan
tentang cara mengukur keberhasilan. Suara saya meninggi,
kolega saya berpaling dengan sebal. Tiba-tiba, rekan kami
Bustom berseru.
Wih hebat, anak rimba juara 7. Matanya menatap layar
ponsel. Tawanya nyaring menyiratkan kebanggaan.
Serentak kami menatap ponsel masing-masing. Adalah
Dewi, rekan kami dari SSS Pundi Jambi yang mengabarkan
berita ini. Pesan pendeknya menyerbu telepon seluler kami.
Untuk sesaat kami terdiam, lalu menggumamkan rasa syukur
kami. Kabar dari Dewi tidak hanya berhasil mendinginkan
ketegangan, tapi juga menjawab beberapa pertanyaan penting kami.
Mungkin pembaca bertanya, apa istimewanya ranking tujuh?
Namanya Doni, tujuh tahun usianya. Setahun sebelumnya
ia hanyalah salah satu anak suku rimba atau Suku Anak Dalam
(SAD) dari Rombong Nusai di Pamenang, Jambi yang ikut
belajar di kebun dalam program PNPM Peduli. Sebagaimana
stigma yang melekat pada SAD, anak-anak yang terlahir dari
komunitas ini pun telah mendapatkan stempel sebagai anak

xxiii

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

yang bodoh dan kotor. Butuh jalan berliku sampai akhirnya


Doni dan kawan-kawan bisa menempuh pendidikan formal.
Salah seorang wali murid SAD mengakui bahwa ia
pernah ditolak mendaftarkan anaknya sekolah bukan karena
tak mampu membayar, tapi karena takut tak bisa mengikuti
pelajaran. Banyak anggota masyarakat yang ketakutan
membayangkan anak-anaknya akan berteman dengan anak
SAD yang berkeliaran dengan cawat dan membawa senjata.
Saya masih mengingat jelas bagaimana diskusi kami
dengan seorang rekan fasilitator program lain di Kantor
Bupati Dharmasraya, Sumatera Barat, beberapa waktu lalu.
Kecurigaan dan ketakutan masih menguasai mereka saat kami
mengusulkan sinergi program.
xxiv

Melintas Batas, Meruntuhkan Sekat

Tapi mereka membawa parang dan laras panjang


kemana-mana! sergahnya berapi-api.
Harus ada program keagamaan dulu, supaya yakin
mereka tak berbahaya.
Beberapa kali mereka mencuri. Banyak sudah yang
tertangkap tangan.
Ngeri. Mereka bersenjata dan kebal hukum. Suara
bersahut-sahutan dari segala arah.
Pendeknya, rekan-rekan kami ini tak siap untuk bekerja
sama, bahkan sebelum tahu rencana kerja sama seperti apa
yang kami usulkan.
Janganlah seperti program yang dulu itu, menambah
beban kerja kami saja, keluhnya tanpa tedeng aling-aling.
Kami tak tahu, program apa yang dimaksudkan itu.
Saya pun hanya bisa tersenyum getir. Stigma itu tidak lagi
imajiner. Ia nyata. Mengakar kuat mencengkeramkan cakar
kecurigaannya bukan hanya pada masyarakat awam, tapi juga
kepada mereka yang mengaku sebagai pelaku pemberdayaan.
Pandong Spenra, rekan kami yang pantang menyerah,
tak pernah takut pada apa pun, dan setiap hari bergumul
dengan masyarakat SAD, matanya merebak merah. Ia menyembunyikan getar kekecewaannya di balik selorohnya di
microphone. Tapi siapa pun tahu, hatinya terluka.
***
Terkenang dalam kunjungan sebelumnya kami menyusuri
hutan, berjalan naik turun bukit berkilo-kilo jauhnya hanya
untuk menemukan sudungrumah warga SAD yang berupa
gubuk sederhana, ternyata telah kosong ditinggal melangun.
Lalu dalam semangat yang tak pernah saya lihat dari fasilitator
xxv

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

mana pun, dengan intuisi tajam tertempa pengalaman, lelaki


ini berhasil menemukan pemukiman baru rombong SAD
yang dicari-carinya. Tentu saja ini tak terjadi sekali dua kali.
Melangun, atau pergi berpindah ke tempat baru akibat
ada anggota keluarga yang meninggal, adalah hal biasa
bagi rombong SAD. Hal biasa pula bagi Pandong untuk
mencarinya. Tak terhitung berapa kilo jarak ditempuh. Tak
terbilang berapa perkebunan dan bukit dijelajahi. Ketika dalam
letihnya ia melihat sudung-sudung baru mereka, lututnya
roboh ke tanah. Teriakan khas dalam bahasa SAD terlepas
spontan. Ia lalu bangkit berputar-putar mencari sinyal dan
ketika mendapatkannya ia berseru di telepon, Aku sudah
ketemu. Siapkan tenda dan alat belajar!
Keesokan harinya, sebuah tenda sederhana terpancang
di antara gubuk-gubuk rombong SAD. Sebilah papan tulis
dengan kapur yang pendek-pendek dikerubuti empat bocah.
Tangan mungil mereka menulis huruf dan angka. Jelek dan
tak beraturan. Tapi siapa sangka, tulisan jelek itu melahirkan
kebahagiaan yang tak tergambarkan. Rasa yang tidak bisa
dipahami hanya dengan membaca tulisan ini. Rasa itu hanya
bisa dirasakan dengan menyaksikan sendiri. Maka nikmat
Tuhan manakah yang kamu dustakan? Setitik air mata saya
jatuh tak terbendung.
Bahagia itu sederhana, nasihat saya pada diri sendiri.
Jangan terlalu lama duduk di belakang meja. Carilah,
temukan mereka.
Maka ketika Dewi mengabarkan Doni masuk sepuluh
besar, hati saya bersorak! Ini bukan prestasi biasa. Ini adalah
kotak pandora yang akan membuka jalan bagi keberhasilan
lainnya. Doni telah berhasil meruntuhkan stigma, melintasi
xxvi

Melintas Batas, Meruntuhkan Sekat

garis batas imajiner yang memisahkan komunitasnya. Bagi


saya, ia adalah guru yang mengajarkan bahwa sekat bisa
dirobohkan, dinding pemisah bisa didaki, dan pembuktian
bisa didapatkan dengan memberinya kesempatan. Semoga 19
penerima beasiswa lain serta anak-anak yang masih belajar di
hutan dan ladang bersama PNPM Peduli segera menemukan
kunci kotak pandoranya.
Biarlah panah-panah itu melesat menemukan mimpinya.
Dimulai dari Percaya dan Berdamai
Ludiro Prajoko, seorang pelatih senior memanggil Lisa dan
memintanya naik ke atas kursi. Lisa adalah rekan kami,
transgender, yang hari itu mengikuti pelatihan fasilitator
dengan 40 fasilitator lainnya dari 15 provinsi.
Dengan tersenyum malu dan gerak gemulai ia menaiki
kursi. Peserta lain bersorak. Ludiro meminta Lisa untuk
menyebutkan nama peserta yang menurutnya paling kuat
dan perkasa. Mendengar itu, refleks Lisa menutup mukanya
dengan telapak tangan. Pipinya merah menahan malu. Ludiro
mengulang lagi memintanya segera mengambil keputusan.
Dalam kebingungan ia menyebutkan nama Zicko, sahabatnya, perempuan kurus tapi gesit dari NTB yang selama
beberapa hari duduk tak jauh darinya. Ludiro memintanya
menyebutkan nama lain. Lisa dengan gamang menyebutkan
tiga nama lain. Ketiganya berperawakan sedang. Peserta lain
semakin riuh.
Ketika empat peserta yang sudah dipilih Lisa maju ke
depan, Ludiro mengeluarkan perintah mengejutkan.
Lisa, tolong menghadap ke depan. Aku akan memintamu untuk menjatuhkan diri ke belakang. Jika kamu
xxvii

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

sudah siap, aku akan memberi aba-aba dan lemparkan


badanmu. Teman-teman terpilih yang menurutmu kuat tadi
akan menangkapmu.
Oh, tidak! Ini terlalu berbahaya.
Lisa meringis memandang teman-temannya. Mereka semua lebih kecil dari dirinya. Meski cantik gemulai, perawakan
Lisa tinggi besar. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tak
berani melemparkan diri ke arah mereka. Oh, bisa-bisa tulang
Zicko patah dibuatnya.
Sudah siap? Ludiro mengintimidasi.
Kali ini ia menatap empat peserta yang ada di bawah
kursi Lisa. Kalian siap?
Setelah berpandangan sejenak, Zicko menjawab Siap.
Suaranya lirih tak meyakinkan.
Kalian yakin?
Lisa menjawab dengan menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Ia menggigit bibirnya nyaris menangis. Jangan,
ia memohon.
Peserta lain mengguman-guman. Konsentrasi terbelah.
Oke. Kalau tidak siap tak apa-apa, Ludiro mengalah.
Tapi Zicko menjawab lantang. Kami sudah siap. Kami
punya strategi, ia meyakinkan Lisa.
Baiklah. Lisa, beri tahu kalau kamu sudah siap menjatuhkan diri.
Lisa mengangguk. Ia merenggangkan kedua tangannya,
mencari-cari cara untuk meringankan tubuhnya. Zicko dan
kawan-kawan mengatur jarak satu sama lain. Ketegangan
menyelimuti seisi kelas. Bagaimana kalau empat orang itu
tak bisa menangkap Lisa? Atau Lisa akan menimbun mereka
dengan tubuh beratnya?
xxviii

Melintas Batas, Meruntuhkan Sekat

Setelah beberapa saat, terdengar suara Lisa. Saya sudah


siap. Ia menanti aba-aba dari Ludiro. Keempat temannya
bersiap mengerahkan seluruh kekuatan untuk menangkapnya.
Tiba-tiba Ludiro berjalan mendekat, meraih tangan Lisa
dan berkata,
Turunlah. Aku tak mungkin memintamu melakukan itu.
Sudah cukup melihat kalian saling memercayai.
Ya Tuhaaaaaaan, Lisa memekik dengan gembira. Untuk
beberapa saat kami terlarut dalam euforia kegembiraan Lisa.
Meski hanya permainan dan berakhir happy ending,
sampai beberapa hari saya tak berhenti memikirkan. Saya
memuji sikab Zicko dan kawan-kawan yang tak gentar.
Kepercayaan yang diberikan Zicko menular kepasa Lisa.
Kepercayaan dirinya tumbuh.
Satu lagi pelajaran berharga: kepercayaan itu pilar utama.
Kepercayaan yang utuh akan melahirkan relasi yang kukuh.
****
Saya teringat pertemuan pertama dengannya. Waktu itu
bersama dengan Kamel saya hadir dalam pertemuan rutin di
rumah kontrakan para transgender. Lisa ada di sana. Meski
tergolong senior dan pengetahuannya cukup luas, ia tak
banyak bicara. Lisa berhati lembut. Ia pemalu, sensitif dan
mudah menangis. Ketika mengenang ayah dan keluarganya,
air matanya bercucuran.
Sama seperti lainnya, ia tak mengharapkan dirinya
menjadi transgender.
Lisa cantik dan gemulai sejak kanak-kanak. Sebelum
menyadari dirinya transgender, ia telah menjadi bahan

xxix

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

ejekan, bahkan korban pelecehan seksual oleh laki-laki


yang dikenalnya.
Diskriminasi dan stigma negatif sudah melekat padanya
sejak kecil. Tembok yang memisahkan dirinya dengan warga
normal lainnya terbangun tinggi, bahkan di tengah-tengah
keluarganya. Berteriak marah hanya membuatnya lelah dan
frustasi, maka ia memilih berdamai dengan dirinya dan
mereka yang mencacinya.
Pada awalnya saya malu dan marah terhadap diri saya.
Tapi akhirnya berdamai. Hanya itu satu-satunya cara untuk
menjaga agar saya tetap waras. Orang lain sudah mengejek dan
menghina saya, masa saya sendiri melakukan hal yang sama?
Jika beberapa kelompok lain membutuhkan pihak lain
untuk meruntuhkan tembok penyekat, bagi Lisa hal itu tak
bisa diterapkan pada kelompoknya. Ia tak bisa meminta pihak
lain untuk meruntuhkan tembok, Lisa sendirilah yang akan
menggali terowongan untuk menjangkau mereka.
Dulu saya marah dipanggil banci. Sekarang saya tersenyum saja. Kenapa marah? Kenyataannya saya memang
banci kok.
Seperti kata pepatah, memikirkan kesialan akan men
datangkan kesialan. Memikirkan kebaikan akan mendatangkan kebaikan. Maka cara kedualah yang dipilih Lisa.
Jika Lisa memilih berdamai, maka PNPM Peduli mem
berinya kepercayaan. Dengan keterampilan dan perlengakapan
yang dimilikinya sekarang, ia menjalankan usahanya dengan
mandiri. Ia juga aktif sebagai pendamping PNPM Peduli.
***

xxx

Melintas Batas, Meruntuhkan Sekat

Sekat Geografis dan Imajiner


Doni dan Lisa adalah contoh kecil. Mereka tergabung dalam
beberapa komunitas yang didampingi mitra PNPM Peduli.
Banyak sebutan yang disandangkan padanya. Ada yang
menyebutnya kelompok marjinal. Yang lain menamainya
kelompok terpinggirkan. Di Eropa, khususnya di Inggris dan
Prancis, mereka diberi label kelompok tereksklusi atau terkucil.
Di Australia (2004) ada Mike Rann; menteri pertama yang
khusus diberi tanggung jawab untuk melindungi kelompok
marjinal dan mempromosikan inklusi sosial.
Tentu saja kelompok ini banyak disebut dalam dokumen
resmi. Tercetak indah dalam program prioritas lembaga atau
partai. Namanya mendadak laris manis berkelimpahan janji-janji menjelang pemilu. Bahkan, tak jarang namanya disebut
bagai mantra: dirapal berulang dengan kalimat yang sama.
Definisinya diulas dan diperdebatkan. Konteksnya diperluas
atau dipersempit, tergantung siapa yang berkepentingan.
Kehadiran mereka bisa menjadi penentu kemenangan, meski
setelah menang tak jarang mereka terlupakan. Wallahu alam.
Diam-diam, kami pun ada dalam pusaran perdebatan itu.
PNPM Peduli, program yang sedang kami jalankan ini
secara khusus ditujukan untuk kelompok marjinal. Begitulah
setidaknya yang tertulis dalam dokumen program. Dalam
berbagai pertemuan internal, selalu muncul pertanyaan retoris
yang menyiratkan kegamangan. Bagaimana kalau kami tak
beda dengan mereka yang mencatut nama kelompok marjinal
untuk kepentingan sendiri? Bagaimana memastikan ketepatan
subjek dampingan kami? Sudah tepatkah pendekatan kami?
Bahkan yang lebih dasar dari itu adalah, siapakah kelompok
marjinal yang kami dampingi ini?
xxxi

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

Pada akhirnya diskusi-diskusi panjang kami tetap menyisakan pertanyaan yang tak memuaskan. Namun sebagaimana
kata-kata filsuf Descartes, Cogito Ergo sum, aku berpikir
maka aku ada, kami menganggap pertanyaan kami adalah
proses menjadi ada. Berpikirlah, maka kamu ada. Bertanyalah,
maka kamu akan menemukan jawabnya. Kami menjadikan
pertanyaan-pertanyaan ini sebagai pengingat bahwa kami
harus selalu melakukan perbaikan. Di sisi lain, kami juga
belajar satu hal bahwa memperdebatkan definisi semata tidak
akan membawa perubahan.
Maka di penghujung 2013, dalam perdebatan panjang
kami memilih untuk melanjutkan langkah, menuntaskan kerja.
Di Balik Garis Batas
Namanya boleh apa saja, definisinya bisa berbeda-beda, tapi
bagi kami mereka adalah komunitas luar biasa yang di balik
keterbatasannya telah mengajarkan banyak hal. Betul, dalam
program ini kami disapa dengan nama indah fasilitator atau
pendamping, namun sejatinya kedewasaan kami bertumbuh
bersama mereka. Kreatifitas kami tergali karena kebersahajaan
mereka. Pun kemampuan dan keterampilan kami berkembang
sejalan dengan tantangan yang kami hadapi bersama mereka.
Tiga tahun memang bukan waktu yang panjang untuk
melihat perubahan besar, namun bukan waktu yang pendek
untuk bisa lebih mengenal mereka. Pelajaran pertama
kami adalah mengubah mindset dari menganggap mereka
marjinal atau terpinggirkan menjadi kelompok potensial
dan kelompok pembawa perubahan. Biarlah istilah-istilah
marjinal dan sejenisnya itu muncul sesekali saja dalam diskusi
atau laporan kami, namun dalam keseharian kami bangga
xxxii

Melintas Batas, Meruntuhkan Sekat

memanggil mereka inaq, temenggung, ki-sanak, mama, bapa,


ananda, kaka atau kaka ipar, sebagaimana orang-orang terdekat
memanggil mereka. Bagi kami, itulah cara paling sederhana
untuk menunjukkan relasi kami yang setara.
Selama bersama mereka kami juga belajar menjadi pendengar yang baik. Tidak benar kalau yang dibutuhkan adalah
selalu jalan mulus untuk menembus hutan dan gunung yang
mengisolasi mereka, jembatan kokoh yang memungkinkan
sepada baru melintas, atau listrik benderang untuk menerangi
gubuk tanpa jendela sebagaimana yang diterima masyarakat
umumnya. Tentu, jika kemewahan fasilitas itu ada, mereka
akan gembira tak kepalang. Namun yang sering dilupakan,
mereka membutuhkan sesuatu yang lebih hakiki: didengar dan
dilibatkan. Diperlakukan sama sebagaimana manusia lainnya.
Cukup lama kelompok-kelompok ini mengalami diskriminasi dan dilukai dengan stigma negatif sebagai orang gunung
(atau orang hutan, yang berkonotasi merendahkan), kotor,
bodoh, pembawa penyakit, sampah masyarakat, kampungan,
kasar, penganut ilmu hitam dan sebagainya yang menyebabkan mereka tidak diterima secara wajar dalam pergaulan
sosial. Mereka hidup mengelompok, tersekat geografis yang
mengisolasi mereka, maupun terhalang garis imajiner akibat
sekat-sekat sosial yang membuat mereka berbeda dengan
kelompok lainnya.
Batas geografis terlihat nyata, menyekat dan mengisolasi
manusia di baliknya. Untuk situasi ekstrem, batas ini menyebabkan seseorang atau sekelompok orang tidak terpenuhi
kebutuhan dasarnya, terabaikan hak-haknya. Ciri-ciri ini bisa
dilihat pada beberapa kelompok dampingan kami, khususnya
yang tinggal di wilayah terisolir seperti masyarakat di tiga
xxxiii

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

desa di Pipikoro (Sulawesi Tengah), masyarakat Tambak Bajai


(Kalimantan Tengah), masyarakat Anggi Gida (Papua Barat)
dan komunitas Suku Anak Dalam dan Suku Bathin IX di
Sumatera Barat dan Jambi. Untuk melintasi batas ini butuh
nyali dan keberanian secara fisik. Butuh terobosan nyata dan
dana yang tidak sedikit.
Di sisi lain, batas imajiner tak terlihat, tapi lebih menindas.
Ia bisa berupa penolakan yang kasat mata, ancaman, pengusiran, penguncilan, atau pun stempel negatif yang dilekatkan
pada mereka. Ciri-ciri ini bisa ditemukan pada kelompok
dampingan kami: komunitas transgender dan anak-anak
jalanan di Jakarta, Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) di
Papua dan NTT, perempuan korban trafficking dan keluarga
TKI di Kalbar dan NTB, maupun anak muda putus sekolah
perambah hutan di Kalimantan Barat. Pendeknya, batas
geografis menciptakan isolasi fisik, sedangkan batas imajiner
menciptakan isolasi sosial.
Keduanya menyuburkan ketimpangan dan ketidakadilan.
Bersama-sama dengan mitra CSO di daerah, kami
berupaya mendekatkan jarak, meleburkan batas, meruntuhkan
sekat serta mengembangkan sikap saling menghargai. Itulah
yang kami pahami dari program inklusi sosial (social inclusion)
melalui PNPM Peduli.
Kisah dari Lapangan
Sambil membaca kisah-kisah ini, saya teringat kembali perjalanan program ini dari awal. Tak selalu mulus tentu saja. Ada
kalanya kita kecewa dan surut langkah, namun kerap pula
kami terpacu dan yakin mampu mengatasinya. Tak terasa tiga
tahun kami melangkah bersama. Seperti kincir angin yang
xxxiv

Melintas Batas, Meruntuhkan Sekat

menghasilkan energi, kadang di atas, kadang di bawah, ada


suka ada duka, di balik tangis dan tawa tersimpan energi
yang sama untuk melahirkan perubahan. Delapan belas kisah
yang terangkum dalam buku ini menyampaikan pesan yang
sama tentang empati dan kepedulian.
Buku ini mengajak kita berkeliling dari pedalaman
Jambi, hingga ketinggian Pegunungan Arfak di Papua. Dari
perkampungan kecil yang terkepung sawit di Kalimantan
Barat, hingga semrawutnya lampu merah di Jatinegara, Jakarta.
Dari perkampungan nelayan di Kupang, NTT hingga negeri
di balik awan Pipikoro, Sulawesi Tengah. Bagi saya kisah
ini istimewa, bukan hanya karena dituturkan langsung oleh
pelakunya, tapi juga menandai babak pertama PNPM Peduli.
Dari kisah-kisah ini saya belajar lebih banyak lagi.
Dari lubuk hati terdalam, izinkan saya menandai lembar
pertamanya dengan ucapan terima kasih dan penghargaan
kepada semua pihak yang mencintai dan merawat program
ini dengan caranya masing-masing.
Semoga kisah dari kawan-kawan ini tidak hanya menginspirasi saya, tapi juga membawa manfaat bagi pembaca.
***

xxxv

1. 1

Loncek Baguas1

Oleh
A. Alexander Mering
Yayasan Pemberdayaan Pefor Nusantara
(YPPN), Pontianak

Dalam sejarah masyarakat Dayak, orang-orang mudalah


yang mesti belajar kepada orang tua. Baru kali pertama
terjadi, ada orang-orang tua yang dengan lapang
dada mau belajar kepada anak-anak mereka sendiri
secara terlembaga.

1 Baguas dalam bahasa Dayak Salako artinya bergoyang, atau bisa juga diartikan bergolak.

Loncek Baguas

iko termangu di bawah pohon nangka. Ternyata kapal


tidak melemparkan apa-apa, walau sekadar sepotong kue
tawar. Padahal, Riko dan enam bocah lainnya telah berteriak
sampai serak meminta hingga bayangan pesawat terbang itu
benar-benar menghilang di balik belantara. Mereka menyebut
pesawat itu kapal terbang.
Kapal minta koeh, kapal minta koeh, kapal minta koeh!
Sebagian bocah-bocah itu masih berteriak, membuat kor
berirama turun-naik. Sesaat kemudian, suara mereka berhenti
berganti suara kelereng yang menggelinding di antara debu
jalan tanah kuning Kampung Loncek.
Tak ada yang peduli tanggal berapa hari itu. Tetua-tetua
kampung tiada yang tahu bahwa 28 Oktober adalah angka
keramat bagi bangsa Indonesia. Lagi pula, apa pentingnya
kampung yang tak tercantum di peta itu bagi negara sebesar Indonesia?
Sebelum tahun 2010, komunitas adat Dayak Salako di
Loncek memang masih terisolir. Paling tinggi, anak-anak
kampung itu sekolah sampai di bangku SMP. Itu pun kalau
orangtuanya punya kolega di kota. Kala itu, jalan satu-satunya
mencapai ke sana hanya melalui jalur sungai. Dibutuhkan
sehari-semalam perjalanan dari Kota Pontianak, Ibu Kota
Kalimantan Barat. Itu pun hanya bisa naik motor kelotok.
Kalau air surut bisa tiga hari tiga malam di perjalanan,
kata Yohanes Aboy, Ketua Umat Katolik di Loncek.
3

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

Secara administratif, Kampung Loncek merupakan bagian


dari Desa Teluk Bakung, Kecamatan Sungai Ambawang,
Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Konon, kampung ini
dibuka oleh Nek Motek dan Timanggong sekitar tahun 1910.
Kedua orang ini mendirikan rumah panjang khas masyarakat
Dayak dan membuka ladang untuk keluarga mereka di
sekitar kaki bukit Loncek. Sesepuh Kampung Loncek, Gaeb,
yakin kalau nenek moyang mereka berasal dari komunitas
Ambawang 40, di sekitar Desa Lingga, Kecamatan Kubu Raya.
Sebagian lagi perantauan dari Banyuke, Kabupaten Landak.
Riko kecewa. Dengan langkah gontai dia beranjak pulang
membawa pertanyaan kecil di kepalanya. Mengapa kapal
terbang tidak lagi menurunkan kue dari langit? Padahal,
ayahnya pernah bercerita, dulu, ada kapal turun di kampung
mereka membagi-bagikan kue untuk anak-anak. Riko hanya
bisa bermimpi, suatu hari nanti, akan naik kapal terbang dan
pulang membawa kue yang banyak.
Lima belas tahun kemudiankarena terlibat dalam
gerakan Orang Muda Putus Sekolah (OMPS) program
PNPM Pedulipemuda kurus berambut keriting itu terpilih
mengikuti pelatihan fasilitator lokal yang diselenggarakan oleh
Kemitraan di Yogyakarta. Inilah untuk pertama kalinya Riko
naik kapal terbang. Meski sudah genap berusia 23 tahun, dia
tak pernah ke mana-mana selain ke Pontianak. Karena itu,
betapa gugup dia ketika pertama kali menginjakkan kaki di
kabin pesawat terbang.
Hmm, begini rasanya menjadi orang Indonesia?
gumamnya perlahan.
***
4

Loncek Baguas

Riko hanya satu dari 200 lebih OMPS di Desa Teluk Bakung
yang menggantungkan hidupnya sebagai perambah hutan.
Kepala Dusun Loncek, Donatus Dino, mengatakan kepadaku,
dari 197 kepala keluarga di sana, 90 persen adalah perambah
hutan. Sedangkan para wanitanya, menyadap karet atau
bekerja sebagai kuli di perkebunan kelapa sawit. Bagi warga
yang memiliki modal dan koneksi, biasanya mempekerjakan
orang-orang dari Kabupaten Sambas untuk menebang kayu
di hutan mereka.
Karena itu, jumlah orang Sambas yang bekerja kayu
di Loncek bisa mencapai ribuan orang, kata Dino. Artinya,
lebih banyak dari warga Loncek sendiri.
Saat ini, hutan yang tersisa tak sampai 7.000 hektar.
Sejak tahun 1980-an, Desa Teluk Bakung dan sekitarnya telah
dipetak-petak oleh sejumlah perusahaan menjadi kawasan
Hak Pengelolaan Hutan (HPH) mereka. Orang kampung
cuma jadi kuli di atas tanahnya sendiri.
Warga kami hanya menebang kayu-kayu sisanya, kata
Valentinus Agip, satu dari sedikit pemuda Desa Teluk Bakung
yang beruntung, karena bisa mengecap pendidikan hingga
bangku kuliah dan menyandang gelar S.Sos. Karena itu pula,
dia terpilih dan menjabat sebagai Kepala Desa Teluk Bakung
sampai sekarang.
Hampir dua jam kami berbincang tentang nasib kampung-kampung di desa yang dipimpinnya, termasuk Kampung
Loncek, tempat program PNPM Peduli dilaksanakan. Sejak
ditetapkannya Desa Teluk Bakung sebagai kawasan Hutan
Produksi (HP) disusul izin pertambangan dan perkebunan
kelapa sawit berskala besar, komunitas masyarakat adat Dayak
Salako yang berada di kawasan itu semakin terjepit.
5

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

Tak hanya kehilangan hak atas tanahnya yang diwarisi


secara turun-temurun, mereka juga kehilangan nilai-nilai
adat budaya serta kearifan lokal di dalamnya. Padahal, nenek
moyang mereka sudah tinggal di kawasan itu jauh sebelum
negara bernama Indonesia ini digagas.
Beberapa warga saya pernah mencoba membuat sertifikat
tanah, tapi ditolak oleh kantor BPN karena masuk dalam
kawasan HP, keluh Agip.
Sekitar Oktober 2011, Riko bersama 15 OMPS lainnya
memproklamirkan terbentuknya sebuah organisasi tani
di Loncek. Saya hadir sebagai fasilitator yang membantu
mengorganisasi ide dan mimpi mereka. Anggotanya adalah
para pemuda yang juga perambah hutan. Semuanya ada 15
orang10 lelaki dan 5 perempuan. Beberapa warga dan
orang tua yang hadir malam itu sangsi pada gerakan Riko
dan rekan-rekannya.
Paling-paling ga angat-angat tahi manok, celetuk seseorang.
Saya menoleh, mencari asal suara yang terdengar samar
antara gaduh mesin jenset yang dipakai untuk penerangan
kami malam itu. Maklumlah, walau Indonesia sudah merdeka
68 tahun, Loncek masih belum dianggap sebagai bagian dari
wilayah yang penting oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Saya hanya mengenal satu dua orang saja di antara
mereka, sejak kunjungan pertama saya tiga minggu lalu ke
kampung ini. Karena itu, kami mulai dengan perkenalan.
Aturannya kami sepakati, yaitu menyebutkan nama dulu,
pendidikan dan terakhir pekerjaan. Saya yang pertama dan
dilanjutkan peserta rapat.

Loncek Baguas

Aku Herpina, hanya tamat SD, sehari-hari menyadap karet.


Saya Emerensiana, saya tak tamat SMP, juga menoreh karet.
Saya mengernyitkan dahi. Dua peserta tadi, memelankan
suara saat menyebutkan profesinya sebagai petani karet. Begitu
juga mereka yang kerjanya merambah hutan. Sedangkan
Petronela Lia dan seorang peserta lain yang bekerja di perkebunan kelapa sawit, tampak lebih percaya diri. Belakangan
saya tahu, mereka memang merasa bangga disebut pegawai
ketimbang petani.
Kade pegawai kan bagaji, kata Lia. Seperti juga rekanrekannya, Lia berhenti sekolah di bangku SMA.
Saya mengernyitkan dahi lagi. Wah, jika mereka sendiri
sudah tak bangga menjadi petani, hanya karena dua kalimat
tadi, bisa gawat ini. Minggu itu juga saya langsung mengajak
mereka diskusi tentang dua terminologi pegawai dan gaji.
Kami mulai membedahnya dengan rumus SWOT analisis.
Setelah semua masukan dicatat di kertas pelano, akhirnya
saya baru paham, kata pegawai bagi mereka hampir seperti
sebuah sugesti. Jika menjadi pegawai, seseorang sudah dianggap sukses. Padahal, kebanyakan dari mereka hanya sebagai
buruh yang bekerja 7 jam dengan upah rata-rata Rp35.000
sehari. Bekerja mulai pukul 07.00-15.00termasuk 1 jam
waktu istirahat.
Tentu, itu tidak termasuk waktu bolak-balik dari kampung
ke kebun sawit yang jaraknya lumayan jauh. Berangkat pukul
06.00 pagi dan baru sampai rumah sekitar pukul 16.00 sore.
Jika ada lembur, upah tadi bisa sedikit bertambah. Ternyata,
itu toh yang mereka pikirkan tentang pegawai dan gaji. Aku
7

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

pun meminta mereka mendefinisikan ulang kata pegawai


dan gaji tadi.
Mereka yang menyadap karet bekerja tak lebih dari 5 jam
sehari, tanpa harus lembur dan tekanan dari majikan, dan
rata-rata petani bisa mengantongi Rp70.000 tiap pagi. Karena
mereka adalah tuan dan bos bagi dirinya sendiri.
Satu hektar kebun karet lokal memproduksi tidak kurang
dari 5-7 kilogram setiap pagi. Sementara harga karet di tingkat
tengkulak kala itu sekitar Rp10.000/kilogram. Kalau dijual
langsung ke pabrik, tentu lebih mahal lagi. Saya katakan,
bayangkan kalau kalian memiliki 2 hektar saja kebun karet
unggul yang disadap setiap hari. Sebagai catatan, produksi
karet unggul per hektar rata-rata 25 kilogram setiap pagi.
Jadi mana yang teman-teman pilih, jadi bos atau kuli?
Bosssss! teriak mereka serentak.
***
Ada dua kubu utama di Loncek, yaitu kelompok yang pro
dan yang kontra perusahaan kelapa sawit. Salah satu yang
kontra adalah Leonardus, ketua Orang Muda Katolik (OMK)
di Loncek dan juga Ketua Kelompok Tani Muda Palambon
Pucuk Baguas (KTM PPB) yang pertama. Leo, begitulah
dia akrab disapa, pernah bercerita kepada saya bahwa dia
dan beberapa pemuda lain pernah membuat aksi penolakan
kepada perusahaan sawit dan nyaris dihukum oleh ketua
adat setempat.
Tanah dan hutan kami tinggal sedikit, semua sudah
diserahkan ke perusahaan, kata Leo gusar. Menurutnya,
kehadiran kebun sawit membuat air sungai di kampung
mereka tercemar, ikan makin sulit didapat, burung dan hewan
8

Loncek Baguas

buruan lain pun hampir punahsusah untuk ditangkap.


Karena itulah, ia dan konco-konconya meradang.
Sikapnya ini menimbulkan ketidakharmonisan hubungan
antara Leonardus Cs dengan beberapa pemuka masyarakat
dan aparat desa setempat yang mereka anggap pro perusahaan kelapa sawit. Seminggu saya berpikir keras, bagaimana
membuat kedua kelompok ini bisa akur. Sebab jika tidak,
bukan saja akan membuat program PNPM Peduli yang saya
jalankan di sana bisa terhambat, tetapi juga bisa menjadi bom
waktu seperti kasus Mesuji di Sumatera Selatan.
Saya katakan kepada mereka, melawan perusahaan sawit
dan ribut dengan aparat desa bukanlah solusi. Bahkan, hanya
akan menghabiskan energi karena mereka sibuk berkelahi.
Kalian harus ingat, perusahaan punya uang, kalian punya
apa? Perusahaan bisa mendatangkan aparat keamanan, apa
kalian mampu membayar pengacara, kalau kalian ditangkap?
Peserta rapat terdiam. Suasana jadi tegang, mungkin
mereka tak setuju yang saya katakan. Tapi kalimat itu sudah
terlanjur terucapkan. Cahaya neon tak bisa menyembunyikan
wajah mereka yang gelisah. Saya pun gelisah, karena tak tahu
bagaimana memecahkan masalah. Peluh mengucur deras
dari balik baju.
Lalu ahe nang diri panjawat, Bang? Tanya Laurensius
Edi pelan, memecah keheningan.
Laurensius Edi adalah teman Leonardus dan juga tuan
rumah tempat kami rapat malam ini. Kelak, Laurensius Edi
menjadi salah satu fasilitator lapangan program PNPM Peduli
yang diselenggarakan oleh Yayasan Pemberdayaan Pefor
Nusantara (YPPN) dan Kemitraan. Dia bertanya dalam dialek
setempat. Maksudnya, Lalu, apa yang bisa kami lakukan?
9

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

Saya beruntung bisa berbahasa Dayak Salako, meski dari suku


Dayak yang berbeda. Dalam percakapan informal sehari-hari
di Loncek, bahasa Salako adalah bahasa utama.
Kalau kalian melihat sawit sebagai ancaman, kalian juga
harus berani melihatnya sebagai peluang. Saya bukan kontra,
apalagi membela perusahaan kelapa sawit. Tapi saya sedang
kehabisan kata-kata saat berhadapan dengan para pemuda
yang berjiwa keras ini.
Di luar dugaan saya, malam itu juga mereka berhasil
menyusun rencana kerja organisasi. Tujuan utamanya adalah
memperkuat basis kampung yang tersisa. Caranya antara lain
dengan membudidayakan karet unggul secara kreatif dan
memetakan tempat-tempat keramat, mendokumentasikan
budaya serta sejarah Kampung Loncek.
Sejak saat itu, saya mendapat tempat di tengah-tengah
mereka. Saya selalu diundang setiap kali ada pertemuan
maupun hajatan para perambah hutan. Setidaknya, sekarang
mereka sudah mulai berpikir tentang masa depan. Karena
itu, saya tak peduli apa kata orang di luar sana tentang
Loncek. Bahkan, pastor yang memberi pelayanan rohani
di sana pernah bilang, Kampung Loncek adalah sarang
judi, warganya biang karaoke dan hiburan yang tidak sehat.
Belakangan, pastor tersebut berbalik bangga dan simpati,
malah turut mempromosikan gerakan orang muda Loncek
dalam khotbah-khotbahnya.
Palinglah bah dua-tiga tahun lagi kami bisa kerja kayu,
setelah itu kami mau kerja apa? kata Sarjono, yang kelak
menggantikan Leonardus dan menjadi ketua KTM PPB
periode kedua dengan gelar Pucuk.
Pucuk! Pucuk! Pucuk!
10

Loncek Baguas

Teriak mereka serentak sambil memukul ubin lantai


sebagai tanda penobatan Sarjono sebagai ketua kelompok.
***
Sekitar Mei 2012 lalu, saya dikejutkan dering telepon saat
tengah tidur nyenyak. Antara sadar dan masih bermimpi
saya meraih ponsel di sudut meja kamar. Maklum saja, ini
pukul 04.00 pagi waktu Washington D.C.
Selamat sore Bang, nian Leo. Ahe kabar kitak? Suara
dari seberang sana menyapa. Saya mengucek-ngucek mata.
Selamat sore, eh selamat pagi. Di sini masih dinihari, hehe..
Gajah, maaf, maaf boh Bang. Kukira waktunya sama man
ka diri. Dalam bahasa Indonesia, artinya kira-kira, Astaga,
maaf ya Bang, aku kira waktunya sama dengan di sini. Dalam
bahasa Salako, kata gajah menyatakan keterkejutan atau kaget,
seperti kata astaga dalam bahasa Indonesia.
Leonardus menelepon dari Bogor. Ia dan lima anggota
KTM PPB lainnya dikirim kantor YPPN selama sepekan
untuk mengikuti pelatihan organic farming di Bina Sarana
Bakti, Cisarua. Saya tersenyum mendengar suara di ujung
sana sedang berebutan ingin bicara. Terasa rindu juga saya
pada kampung halaman, setelah seminggu terdampar di
kota Obama karena mendapat fellowship dari pemerintah
Amerika Serikat untuk International Visitor Leadership
Programme (IVLP).
Kemudian, Laurensius Edi menyampaikan berita yang
membuat mata saya jadi melek sempurna.
Sekitar 40 ibu-ibu WK di kampung telah membentuk
kelompok tani. Mereka terinspirasi oleh kita, Bang.
11

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

Saya tersanjung. Kembang kempis lubang hidung saya,


untung tak ada yang melihat. Edi terus nyerocos, melaporkan
perkembangan terakhir yang terjadi di Loncek dan Kalimantan
Barat. Saya bilang kepada Edi dan Leo agar sekembalinya
dari Bogor untuk segera membantu niat ibu-ibu tersebut.
WK adalah singkatan dari Wanita Katolik, sebuah istilah
untuk organisasi ibu-ibu dan perempuan dalam Gereja
Katolik Roma. Belakangan ibu-ibu tadi menamakan dirinya
Kelompok Tani Burung Arue (KTBA). Akhir November 2012,
jumlah mereka menjadi 60 orang dan terus bertambah. Secara
berkala, tiap minggu mereka bergotong-royong dan belajar
bersama KTM PPB.
Sepulangnya dari Amerika, saya menemui Solastika, ketua
KTBA, perempuan paruh baya yang juga ibu dari Petronela
Lia, anggota KTM PPB. Solastika mengutarakan mengapa
ibu-ibu di kampung itu membentuk kelompok tani.
Kami mulai dengan membuka lahan baru. Setelah itu,
meminta anak-anak kami dari KTM mengajari bagaimana
berkebun karet yang baik dan benar, kata Solas.
Dada saya terasa sesak saat pulang dari rumah Solastika.
Dalam sejarah masyarakat Dayak, orang-orang mudalah
yang mesti belajar kepada orang tua. Baru kali pertama
terjadi, ada orang-orang tua yang dengan lapang dada mau
belajar kepada anak-anak mereka sendiri secara terlembaga.
Belakangan, bapak-bapak juga tak mau ketinggalan. Mereka
membentuk kelompok baru yang diberi nama Kelompok Tani
Sabaya Mao (KTSM).
Sekarang KTM PPB tidak hanya sibuk mengerjakan pekerjaan organisasinya, tetapi juga menjadi fasilitator sekaligus
tutor bagi kelompok tani lain. Meski beberapa anggota ada
12

Loncek Baguas

yang keluar karena menikah atau pindah ke kampung lain,


tetapi partisipan dan volunteer KTM PPB terus bertambah.
Pengurusnya sekarang sudah 25 orang dengan tetap mempertahankan cirinya, yaitu para remaja dan OMPS.
Tak banyak yang saya ajarkan kepada mereka, malah
kami sering belajar bersama pada tiap kesempatan. Bagaimana
melakukan hal-hal sederhana dengan tidak melupakan akar
budaya dan kearifan masyarakat tempat mereka berpijak.
Misalnya, pada program karet unggul, kami tak sekadar asal
menanam dan membudidayakan karet. Tiap bibit diberi label,
berdasarkan tempat asal karet, nama orang yang menanam
dan jenis cloning karet. Misalnya, bibit L-Mering IRR39. Kami
menyebut cara ini sebagai pantak baru.
Pantak adalah semacam prasasti untuk mengabadikan
nama orang-orang yang dianggap berjasa atau terkenal di
masyarakat Dayak Salako. Pantak biasanya terbuat dari kayu
atau batu yang dipahat berbentuk patung seperti totem pada
suku Asmat. Dengan cara ini, KTM PPB berhasil me-mantakan nama orang-orang di batang bibit karet yang mereka
produksi. Selain bertujuan untuk mengabadikan nama orang
yang menanam karet tersebut, cara ini juga bisa memproteksi
bibit buatan mereka agar tidak bisa dipalsukan.
Saat ini, KTM PPB sudah memiliki 1.000 batang bibit
mata entries dan lebih dari 20.000 bibit karet batang bawah
yang sebagian sudah siap diokulasi.
Inisiatif ini akhirnya sampai ke telinga wartawan Media
Indonesia dan kontributor The Jakarta Post. Suatu hari, bersama seorang fotografer dan wartawan lokal, Pontianak Post,
mereka datang ke Loncek. Tapi apa yang terjadi? Rombongan
wartawan itu malah dihukum adat!
13

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

Tapi tentu bukan karena melakukan kesalahan, hukum


adat yang dimaksud adalah penghormatan kepada tetamu
dengan meminta mereka menanam karet di lahan pusat
pembibitan karet KTM PPB. Nama para wartawan serta
fotografer tersebut pun diabadikan menjadi label bibit karet.
Saya juga meminta para wartawan tadi memberi pelatihan
singkat untuk para pemuda kampung. Terutama tentang
teknik penulisan sederhana dan cara mendokumentasikan
tempat-tempat keramat, budaya serta sejarah kampung mereka
yang hampir pupus.
Kami ingin membuat buku Kampung Loncek, pinta saya.
Beberapa hari setelah peristiwa itu, Media Indonesia
menerbitkan dua halaman penuh di rubrik Fokus Nusantara,
cerita tentang gerakan KTM PPB dengan judul Titik Balik
Para Perambah. Sementara itu, The Jakarta Post menurunkan
berita dengan judul Rubber Cultivated to Protect Family Lands.
Pasti berbunga-bungalah hati saya.
Woiiii, diri ada tama koran!
Teriakan Apan pagi itu membuat geger kampung.
Beberapa perambah yang hendak berangkat bekerja turut
berkerumun di rumah Leonardus. Apan bilang, kami semua
masuk koran. Tentu, kami belum melihat korannya. Saya
pun baru mendapat informasi via SMS dari seorang teman
sekantor di Pontianak. Saya langsung menyambar laptop dan
berlari mencari sinyal ke luar rumah, dekat pohon sirsak.
Berharap bisa mengakses kedua situs media besar tersebut.
Selebrasi menanam karet untuk para tetamu KTM PPB
sekarang menjadi semacam ritual baru di Loncek. Siapa saja
yang datang akan dihukum adat menanam karet. Tak terkecuali Kepala Dusun Loncek dan Kepala Desa Teluk Bakung.
14

Loncek Baguas

Kalau pun presiden yang datang, dia juga akan kami


hukum adat menanam karet! begitu sumpah Pucuk dan
Riko kepada saya suatu ketika, selepas hujan, persis saat
peringatan hari Sumpah Pemuda. Bedanya, kalau Sumpah
Pemuda dibacakan tokoh pemuda dan orang-orang terpelajar
di Keramat Raya, Jakarta Pusat, kali ini Sumpah Pucuk
diucapkan dua perambah hutan muda yang putus sekolah
sambil melinting rokok.
***

15

1. 2

Permen Persahabatan
Buat Si Icang

Oleh
Saparuddin Senny
Kawal Borneo Community Foundation, Samarinda

Meskipun obat dokter Puskesmas belum menyembuhkan


sakit kepala dan demam Icang, tapi permen persahabatan
cukup mujarab untuk membuatnya bicara padaku.
Aku lihat dia sudah tidak canggung, begitu datang
langsung duduk di dekatku.

17

Permen Persahabatan Buat Si Icang

ejak kutinggalkan rumah, langit gelap pertanda hujan


akan turun. Meski sampai aku tiba di jembatan ini, tak
setetes air pun terjatuh. Itu pertanda baik buatku, tidak perlu
membuka jas hujan di jok motor matik milik istriku, yang
terpaksa kusabotase untuk mengejar waktu. Biasanya aku naik
perahu cess, perahu yang terbuat dari dua lembar papan dan
hanya dapat mengakut maksimal empat orang dewasa. Jika
ombak cukup besar, seluruh penumpang akan basah.
Sejurus kemudian, aku sudah berada di atas kayu bulat
yang didempetkan. Aku harus tergesa-gesa berjalan, bahkan
setengah berlari di tengah-tengah petir dan guntur yang saling
bersahutan. Motor hanya sampai di situ, karena kampung tujuanku dipisahkan oleh sungai dan hutan mangrovesebutan
untuk hutan yang ada di pesisir laut.
Jembatan itu tidak begitu panjang, kira-kira seukuran
lapangan sepak bola. Aku berlari bukan karena takut, tapi
mengejar waktu agar tak kehujanan. Brak! Ups, kakiku
menginjak salah satu kayu yang rapuh dan langsung patah.
Aku jatuh terduduk dengan satu kaki tercelup air laut. Aku
tak dapat langsung berdiri karena pahaku sudah terjepit.
Aku berharap ada orang yang melintas, bukan untuk
minta tolong, tapi sekadar untuk memastikan bahwa aku tidak
sendirian. Aku berhasil menarik kakiku dan berdiri, berniat
melanjutkan perjalanan. Langkah kakiku mulai melambat,
ototku sudah terasa nyeri dan tak dapat mengayuh langkah
19

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

lebih cepat lagi. Nafasku sudah satu-dua, kuputuskan untuk


berjalan santai. Kalau pun harus kehujanan, ya sudahlah.
Beberapa meter melangkah, serasa ada yang mengikutiku.
Aku berhenti dan menoleh ke belakang. Seorang anak muncul
di ujung jembatan. Aku senang karena mendapat teman
seperjalanan. Entah karena sakit atau takut, wajahnya tampak
pucat dan sesekali menarik nafas panjang. Sepertinya dia juga
berlari untuk sampai di jembatan ini, tidak mau kehujanan
seperti diriku.
Aku menunggunya, sudah kupersiapkan kata-kata untuk
menyapanya. Khawatir dia takut karena belum kenal. Hi Dik,
nama kamu siapa? Kamu baru pulang sekolah ya? Tinggal
di mana? Ya. Tiga kalimat itu sudah kususun rapi dan akan
kukatakan ketika dia sampai di dekatku.
Namun, aku kecewa karena tak satu pertanyaanku
terjawab. Dia hanya tertunduk, sambil mempermainkan tali
tas sekolahnya. Anak ini rupanya tipe pemalu atau mungkin
bisu? Ah, Sudahlah. Aku mempersilakan dia berjalan duluan
daripada kehujanan. Di ujung jembatan, dia berbelok ke
arah kampung Salantuko. Ya, satu pertanyaanku terjawab.
Dia tinggal di salah satu lokasi program PNPM Peduli yang
aku fasilitasi di Kalimantan Timur. Namun, aku belum
tahu namanya.
Kami berpisah di persimpangan jalan setapak, karena
aku akan ke kampung sebelah, Loktunggul. Aku langsung
ke sebuah rumah tua, sekretariat kelompok perempuan
yang aku dampingi. Ketua kelompok dan beberapa anggota
lainnya sudah menungguku. Di sela-sela diskusi, aku menceritakan tentang seorang bocah di jembatan tadi. Ternyata,

20

Permen Persahabatan Buat Si Icang

mereka mengenalnya. Anak itu bernama Yusrandani, biasa


dipanggil Icang.
Menurut mereka, sejak kecil dia sakit-sakitan sehingga
berbulan-bulan pernah tidak sekolah. Meski begitu, dia bisa
mengejar dan mengikuti pelajaran yang tertinggal. Aku jadi
ingat, Pak RT pernah menceritakan hal itu tahun lalu. Menurut
Pak RT, kalau sakit, seluruh kaki dan tangannya bersisik.
Sudah bolak-balik ke Puskesmas, tapi tidak sembuh sampai
orangtuanya membawnya ke tempat berobat alternatif.
***
Setelah enam bulan berlalu, kami bertemu kembali di tempat
yang sama. Bedanya, jembatan sudah diganti dengan ulin
empat meter, dia pun sudah memakai sepeda ke sekolah.
Namun tetap dengan muka yang pucat dan tidak mau bicara.
Hai, ketemu lagi. Aku menyapanya dengan percaya diri.
Dia berhenti, menurunkan satu kakinya dari sepeda. Nama
kamu siapa? Baru pulang sekolah, ya?
Karena masih tak mau menjawab, sebagai jurus pamungkas, aku mengeluarkan permen dari tas kecilku. Aku
memang selalu membawa permen bila bepergian ke lapangan.
Aku tidak merokok, jadi bila bertemu orang baru aku tidak
menawarkan rokok, tapi permen. Permen persahabatan.
Dia mengambil satu biji. Ayo ambil saja semua, Dik. Dia
malu-malu dan tetap tertunduk.
Aku masukkan semua permen yang kugenggam ke
saku bajunya. Baju seragam putih dan celana biru tua itu
sudah tampak lusuh dan kotor, mungkin karena terkena
lumpur di jalan. Dia tidak menolak. Artinya, dia menerima
permintaan persahabatanku.
21

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

Karena jembatannya baru, banyak ibu-ibu dan anak


sekolah yang melintas dari kampung sebelah. Aku tambah
penasaran ketika permen yang kusodorkan tak juga dapat
membuatnya bicara. Seorang ibu anggota kelompok yang
kudampingi membantu dengan bahasa Mamuju, Sulawesi
Barat. Anak itu tak juga mengeluarkan suara, hanya mengangguk, tanda dia mau menerima saran ibu tersebut. Agak
lama kami di tempat itu bercakap-cakap, sebelum mereka
melanjutkan perjalanan.
Tujuanku hari ini memang hanya untuk mengambil
gambar jembatan yang baru selesai dibangun pemerintah
setempat, mengganti jembatan titian yang mulai usang dan
rapuh. Ketika kami mau berpisah, aku jadi teringat dengan
kondisi teman baruku itu. Terpaksa aku menahan mereka,
dan berbincang-bincang tentang perkembangannya.
Kebetulan dalam program PNPM Peduli ini kami juga
ada aktivitas memfasilitasi kesehatan dasar bagi masyarakat.
Kami sudah bekerjasama dengan Puskesmas setempat
untuk melatih 12 kader kesehatan. Mereka sudah mulai
membantu pelayanan petugas Puskesmas keliling dua bulan
sekali, bahkan rencana berikutnya mereka akan membantu
sosialisasi Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) kepada
masyarakat setempat.
Menurut Ibu Nasba, kerabat sekaligus tetangga depan
rumah Icang, dia sebenarnya sudah pernah dibawa berobat,
namun tidak banyak perubahan. Hal yang sama juga diungkapkan salah satu ketua kelompok dampinganku, Sebenarnya
kami bingung, Pak. Sudah bolak-balik ke Puskesmas, tapi
tidak ada perubahan.

22

Permen Persahabatan Buat Si Icang

Bila sudah berobat lebih dari sekali, mereka biasa berkesimpulan bahwa obat dari dokter tidak manjur. Apalagi bila
harus bolak-balik ke kota memerlukan biaya. Kalau tidak
ada perubahan, kenapa tidak periksa darah saja, Bu? aku
memberi saran ketika bertemu dengan ibu Icang, tapi dia
hanya tersenyum, tersipu-sipu. Kalau mau ke rumah sakit,
kami tidak ada biaya, Pak. Apalagi kalau harus bolak-balik, lanjutnya.
Letak rumah sakit memang cukup jauh untuk ukuran
orangtua Icang yang hanya buruh harian. Sudah beberapa
bulan ini berhenti budidaya rumput laut karena terserang
penyakit. Modal usahanya terpaksa dibelikan sepeda untuk
Icang yang bersekolah di luar kampung. Maklum, belum
ada SMP di kampungnya. Dia dan beberapa anak lain harus
berjalan kaki, namun dengan adanya jembatan yang dibangun
pemerintah setempat sedikit membantu anak sekolah.
***
Pak, bagaimana ini. Kami bingung mengatasi penyakit
Icang. Selang beberapa hari, sakit lagi. Apakah Pak Senny
bisa bantu cari solusi? Begitu kira-kira SMS yang kuterima
dari salah satu ketua kelompok di sana. Kemudian, aku
menelepon tetangga Icang yang biasa menemaninya berobat
ke Puskesmas. Aku berjanji untuk membantu setelah ada
waktu main ke kampung.
Jarak rumahku dan kampung Icang sebenarnya tidak
terlalu jauh, hanya butuh waktu satu jam bila cuaca baik,
namun aku jarang di rumah. Masih keliling di daerah dampingan lainnya yang tersebar di beberapa lokasi di Kalimantan.

23

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

Sementara itu, aku menghubungi kader kesehatan setempat


dan minta agar Icang bisa diperiksakan saat Puskemas keliling.
Satu bulan kemudian, aku baru punya waktu untuk
membayar janji. Lagi-lagi cuaca tidak bersahabat, sementara
Icang tidak dapat kuhubungi, bahkan melalui tetangganya.
SMS tidak dibalas, telepon tidak diangkat. Aku putuskan untuk
tetap berangkat, aku takut bila ditunda akan timbul masalah.
Lagi pula aku sudah janji akan berkunjung ke rumahnya.
Perjalanan ke rumah Icang sedikit terhambat karena
hujan baru saja reda, jalan sangat becek. Aku harus berhenti
di kampung terdekat untuk shalat Jumat, sekalian istirahat.
Selesai shalat, aku bersiap melanjutkan perjalanan ketika
ponselku berbunyi. Pak, kami sudah di Bontang. Bapak
posisi di mana? Kita ketemu di mana?
SMS dari salah satu kerabat Icang baru masuk. Aku
terpaksa kembali ke kota. Aku minta mereka menungguku
karena sudah terlanjur mau bertemu. Ternyata, dua hari
sebelumnya, Icang sakit lagi dan telah berobat ke dokter
umum di kota, sekalian bertemu saya, hanya saja komunikasi
tidak berjalan baik.
Setelah bertemu dan mendengar cerita orangtuanya,
aku membuat rencana. Seperti biasanya, Icang tetap saja
membisu, tampak lesu, badannya yang kecil, berbeda dengan
teman sebaya yang berumur 12 tahun. Dia hanya menekuk
kedua kakinya ketika kusapa. Sesekali aku mencuri pandang,
namun dia tetap menunduk, tak ada suara. Bagaimana sakit
gatal-gatal di kakinya, Icang? aku memecah keheningan.
Menurut ibunya, dia tidak sekuat anak-anak lain, cepat
capek. Kalau pulang sekolah saya paling kasihan, Pak. Dia
sering ditinggal temannya, dia takut melewati hutan sendirian,
24

Permen Persahabatan Buat Si Icang

papar ibunya. Kadang-kadang menangis sampai di rumah,


bapaknya juga angkat bicara. Kali ini suasana sudah mulai
cair, namun dia tetap diam, dan hanya menggerak-gerakkan
topi di tangannya.
Begini saja, bulan depan kita bawa Icang periksa darah
dulu untuk mengetahui penyebab sakit kepalanya, ucapku.
Rencananya, sambil melakukan komunikasi dengan kader
kesehatan di kampung agar menghubungi pihak Puskesmas
setempat, aku juga berniat untuk mencari informasi lain,
terutama langkah apa yang harus dilakukan untuk mengetahui
penyebab sakit Icang.
***
Waktu yang disepakati tiba. Aku sempat ragu apa yang
kulakukan, tapi karena banyak yang memintaku membantu,
terpaksa masalah ini tidak kuserahkan ke kader kesehatan. Aku
tangani sendiri. Jam 08.00 pagi aku meluncur ke kampung
Icang. Namun, entah mengapa aku tiba-tiba ingin bertemu
dengan wali kelasnya. Aku agak khawatir karena sering tidak
masuk sekolah, dia tidak akan naik kelas.
Sayangnya, aku tidak bisa bertemu dengannya. Bahkan,
Icang pun saat itu tidak masuk sekolah. aku bertemu dengan
guru kimia dan guru konseling. Dari mereka aku mendapat
cerita tentang bagaimana Icang di sekolah. Sebenarnya di
pelajaran kimia dia cukup pintar, bahkan bisa mengejar
ketertinggalan pelajaran.
Akan tetapi, jika Icang 16 kali tidak masuk tanpa
pemberitahuan, maka ia tidak bisa naik kelas. Pada semester
lalu, satu hari sebelum ujian berakhir, dia tidak masuk.
Bahkan sampai penerimaan rapor, dia tidak datang untuk
25

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

mengikuti ujian susulan satu bidang studi. Dia baru ambil


rapor setelah libur selesai, Pak, pangkas salah seorang guru
yang menyertai diskusi kami.
Di luar ruang guru, aku melihat teman-teman Icang
sedang tidak belajar. Menurut para guru, baru saja ada
sosialisasi dari bank BPD. Ini kesempatan untuk mencari
informasi dari teman-teman Icang. Menurut mereka, Icang
memang pendiam, kalau istirahat tidak ikut main seperti
anak-anak lain. Ketika pelajaran olahraga, guru meminta dia
duduk saja. Dia anaknya jarang bicara, Om, entah siapa
namanya berteriak dari belakang. Kalau ke sekolah sering
diantar sama temannya, seorang lainnya menyahut.
Bukannya dia naik sepeda dari rumah? tanyaku. Karena
menurut ibunya, Icang naik sepeda ke sekolah, dan aku juga
pernah bertemu di jembatan. Kita dilarang pakai sepeda
ke sekolah, Om, jelas anak lainnya dari sisi depan. Mereka
menjelaskan kalau Icang menyimpan sepeda di kampung
tetangga, jarak dari sekolah kira-kira 3-4 km.
Jadi selama ini dia harus jalan kaki separuh jalan ke
sekolah, ya? tanyaku. Sebenarnya ada bus jemputan, Om.
Tapi hanya sampai jalan aspal, terus Icang sering terlambat,
jadi jalan kaki deh, sambar temannya yang lain.
Setelah dirasa cukup, aku pun segera ke rumah Icang.
Ketika sampai, aku melihatnya sedang bermain dengan
adiknya yang baru saja pulang sekolah. Di atas pintu aku
melihat papan nama yang bertuliskan KK miskin dan nama
kepala keluarga di bawahnya. Rumahnya seukuran lapangan
voli dengan satu kamar. Tidak ada perabotan di sana. Menurut
ibunya, minggu itu, hanya satu hari Icaang masuk sekolah.
Dia sakit lagi, Pak. Jadi tidak sekolah lagi.
26

Permen Persahabatan Buat Si Icang

Hari itu, kami sepakat untuk membawa Icang ke rumah


sakit, namun harus meminta surat rujukan dari Puskesmas.
Aku pun mencoba menelepon kepala Puskesmas setempat
untuk memastikan ada dokter di sana. Bapaknya belum
tahu kalau mau dibawa ke kota, berobat, ibunya mencoba
mengingatkan saya. Bapaknya sedang ada urusan di kampung
tetangga. Baik Bu, saya akan telepon bapak dan minta izin.
Setelah nomornya kusimpan di telepon genggamku, aku
langsung menghubunginya.
Tak lama kemudian, Bu Nasba muncul dan sudah siap
berangkat. Ibu Icang tidak ikut karena harus menjaga anak Bu
Nasba. Menurutnya, selama ini Bu Nasba yang selalu mengantar berobat, dan Icang lebih menurut. Kalau sama saya, dia
sering menangis kalau ditanya macam-macam, kata ibunya
ketika kutanya mengapa bukan dia yang menemani anaknya.
***
Tidak perlu antre karena sudah siang dan pengujung lebih
banyak di pagi hari. Setelah mendaftar, kami langsung ke
ruang periksa dokter dan mendapat beberapa penjelasan. Aku
meminta surat rujukan untuk periksa darah guna mengetahui
penyebab sakit kepala Icang. Oh, tidak perlu, Pak. Di sini
sudah ada. Puskesmas ini lengkap, bahkan ada rawat inap
karena sudah 24 jam, sang dokter muda itu menjelaskan.
Kami pun menuju ruang lain untuk mengambil sampel
darah Icang. Tak membutuhkan waktu lama, hanya sekitar
30 menit kami sudah mengetahui hasilnya. Silakan Bapak
menunggu dulu di luar dan hasilnya nanti bisa dibawa ke
dokter untuk konsultasi, demikian petugas laboratorium

27

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

Puskesmas itu memberi arahan. Tidak perlu diminta dua


kali, aku langsung mengajak Icang ke ruang tunggu.
Kesempatan itu aku gunakan untuk mulai menjajaki
keberuntungan bicara dengannya. Ayo, kita duduk di sini
saja. Kita harus menunggu hasil pemeriksaan darah. Kalau
hasilnya sudah ada, dokter akan memberi kita penjelasan
mengapa Icang selalu panas dan sakit kepala, bahkan cepat
capek, lesu dan raut wajah yang selalu nampak murung.
Aku coba memberi penjelasan agar dia juga memiliki
pengetahuan. Aku mengajak dia duduk di sampingku, cukup
dekat untuk bisa mengambil hatinya. Sementara Bu Nasba,
duduk agak jauh untuk memberikan kami kesempatan bicara
dari hati ke hati. Kalau besar, kamu mau jadi apa? aku
membuka percakapan. Aku menunggu, tidak terburu-buru
untuk menanyakan pertanyaan lainnya. Belum ada jawaban,
dia masih tertunduk.
Aku memutar otak, dan mencoba mengganti topik
pembicaraan. Aku memperlihatkan poster yang menempel di
dinding. Saya minta dia melihat dan membaca poster itu. Aku
lihat dia mengangkat wajahnya dan melihat ke arah poster
yang kutunjuk. Aku tahu, dia menyimak dan mendengar,
hanya tidak mau bicara. Kamu suka pelajaran apa? tanyaku
kembali, aku tidak mau menyerah sampai dia mengeluarkan
suaranya. IPA, jawabnya singkat dan hampir tak terdengar.
Yes. Akhirnya dia bicara juga, meskipun hanya singkat.
O, IPA ya. Memangnya cita-cita kamu menjadi apa? aku
mulai percaya dia hanya malu-malu. Guru. Yes. Dia sudah
langsung menjawab pertanyaanku, tanpa harus menunggu
lama. Kamu suka olahraga apa? Kini aku bersemangat,
ini kesempatan, batinku. Bulu tangkis, jawabnya singkat,
28

Permen Persahabatan Buat Si Icang

kali ini suaranya sudah lebih jelas. Memangnya kalau main,


pakai apa? aku menanyakan ini karena tidak ada raket yang
terlihat saat berkunjung ke rumahnya. Pakai kayu. Mm,
aku bergumam.
Aku mendapat ide untuk membuat dia mau bicara
banyak. Pasti dia akan senang kalau aku belikan sepasang
raket. Aku sangat ingin melihatnya tersenyum, ceria seperti
anak lain. Bila pulang sekolah, dia hanya bermain dengan
adiknya di rumah. Sekarang dia punya sepeda, sesekali
main sepeda. Yusrandani. Terdengar panggilan dari dalam
laboratorium, tempat darah Icang diperiksa. Aku beranjak
dan bergegas mengambil secarik kertas yang berisi hasil
pemeriksaan darahnya.
Selanjutnya, kami menemui dokter untuk mendapat
penjelasan. Begini, Pak. Anak ini ada gejala anemia dan
radang. Makanya dia kelihatan lesu. Coba bapak lihat bagian
putih di matanya, tepinya merah. Itu salah satu tanda dia
kurang darah. Sang dokter mulai memberikan penjelasan.
Dia menyebutkan beberapa istilah medis yang tidak kuhapal
tapi paham maksudnya.
Intinya, Icang kurang makan sayur, sehingga disarankan
mengonsumsi sayur yang banyak mengandung zat besi, seperti
kangkung dan bayam. Selama ini dia suka makan mie instan,
pantas saja kena penyakit kulit. Dia alergi dengan makanan
sejenis itu. Sang dokter kemudian menuliskan resep obat
untuk diambil di apotek. Ini obatnya, kalau masih sakit
dalam tiga hari ini, silakan datang kembali. Aku pun pamit
setelah merasa cukup mendapat penjelasan dan berharap
ada perubahan.

29

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

Di luar ruangan, aku bertemu dengan kepala Puskesmas


dan kujelaskan tentang kasus Icang. Dia menyarankan, bila
orangtuanya kesulitan membawa ke Puskesmas agar bisa
membawa periksa saat Pusling, program penjangkauan kepada
masyarakat di lokasi yang jauh atau terisolasi.
Bahkan, saat ini ada bantuan alat dari program PNPM
Peduli kepada kader kesehatan sehingga petugas kesehatan
tidak perlu membawa alat bila melayani masyarakat di kampung. Alat di sana sudah ada. Jadi, kami hanya membawa
obat saja, terang kepala Puskesmas tersebut.
***
Sebenarnya, bukan hanya Icang yang memiliki kasus sakit
kepala. Aku mendapat informasi dari guru Icang, ada anak
dari kampung tetangga yang juga sering mengeluh sakit
kepala. Kalau tidak salah namanya Asril. Informasi tersebut
dibenarkan Bu Nasba. Anak itu bahkan pernah pingsan saat
di laut. Ya, aku bertemu dengannya siang itu, ketika akan
menjemput Icang. Dia mengenakan celana panjang berwarna
biru. Aku bahkan sempat berbincang dengannya. Udeko
massikola ne?
Kebetulan aku bisa bahasa Mamuju, bahasa yang mereka
gunakan sehari-hari. Aku bertanya, kamu tidak sekolah ya?
Dia tidak seperti Icang yang diam seribu bahasa. Temannya
ini lebih komunikatif. Dia mengatakan bahwa dia sudah
berhenti sekolah. Kenapa kamu berhenti sekolah? aku
tertarik mengetahui alasannya. Dia menjelaskan bahwa dia
dinyatakan kangker oleh petugas Puskesmas.
Tentu jawaban yang aneh bagiku. Aku tidak memercayainya begitu saja. Bisa jadi, kasus penyakitnya sama dengan
30

Permen Persahabatan Buat Si Icang

Icang, gejala anemia, sehingga sering pingsan dan cepat


lelah. Kalau dugaanku ini benar, maka menjadi indikator
bahwa Icang dan puluhan anak lainnya di kampung itu perlu
mendapat perhatian khusus.
Kepala Puskesmas setempat yang aku sempat ajak
diskusi kasus ini sepakat, dan untuk itu pelayanan Pusling
di kampung itu ditingkatkan menjadi dua kali sebulan. Aku
juga telah mengomunikasikan hal itu kepada Dinas Kesehatan
dan siap bersinergi dengan program PNPM Peduli untuk
melakukan edukasi PHBS. Bisa jadi, apa yang dialami Icang
yang didiagnosa mengalami gejala anemia dan gatal-gatal ini
karena kurangnya pemahaman PHBS.
Selang lima hari, aku mendapat kabar kalau Icang masih
sakit kepala saat malam. Bahkan, menjelang sore sampai
malam hari demam tinggi. Dia juga mengaku pusing. Aku
putuskan untuk kembali membawanya ke Puskesmas. Cuaca
yang tidak bersahabat menyulitkan rencanaku. Beberapa hari
ini selalu hujan, jalan menuju kampungnya tidak dapat dilalui
kendaraan. Aku berpikir untuk lewat laut, namun gelombang
dan angin kencang juga menjadi penghalang.
Mungkin jalan keluarnya harus jalan kaki. Aku tak ingin
masalah ini tertunda, aku ingin penanganan segera. Tekad
sudah bulat, Bu Nasba akan membantu mengantar sampai
jalan aspal. Ketika aku telepon bapaknya, Icang tidak masuk
sekolah lagi. Aku memastikan agar Icang sudah izin ke sekolah
agar alpa tidak bertambah.
Sesuai jadwal, Icang sudah tiba di Puskesmas sekitar
pukul 09.00. Loket pendaftaran adalah tujuan pertama, baru
kemudian masuk ke ruang dokter. Sayangnya, dokter jaganya
berbeda, jadi harus menjelaskan ulang lagi kasusnya. Aku
31

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

protes ketika akan diberi obat lagi dan minta kembali bila
masih sakit. Bu dokter, kami capek kalau harus bolak-balik.
Lagi pula, anak ini harus sekolah.
Setiap periksa selalu diberi obat yang sama, penjelasan
yang tidak memuaskan karena dokternya ganti. Dokter itu
tampak berpikir dan keluar ruangan. Tak lama dia kembali.
Saya rujuk ke poli anak saja ya, Pak. Akhirnya, dia merujuk
juga kasus ini ke rumah sakit. Di sana ada dokter spesialis
anak. Sebenarnya ini yang aku minta sebelumnya, namun
dokter Puskesmas sepertinya masih mau observasi.
Bu, besok perjalanan kita cukup jauh dan pemeriksaan
di rumah sakit butuh waktu satu hari penuh. Saya berharap
bisa jam 07.00 pagi sudah berangkat dari rumah. Aku coba
buat rencana bersama Bu Nasba. Jadi, Icang besok izin lagi
ya, Pak. Minggu lalu, Icang hanya masuk sekolah dua hari.
Minggu ini, hari Senin dan Selasa sudah digunakan
untuk berobat. Sebenarnya kasihan juga, tapi harus bagaimana
lagi. Kami sudah bertekad, minimal sampai ditangani dokter
spesialis. Dengan harapan, aku tahu penyebab sakit kepala
dan demamnya. Tapi yang paling penting, tahu apa yang
harus dilakukan selanjutnya agar Icang bisa tersenyum, bisa
sekolah seperti anak lainnya.
Meskipun obat dokter Puskesmas belum menyembuhkan
sakit kepala dan demam Icang, tapi permen persahabatan
cukup mujarab untuk membuatnya bicara padaku. Aku lihat
dia sudah tidak canggung, begitu datang langsung duduk di
dekatku. Ketika kutanya tidak perlu menunggu lama untuk
mendapat jawaban, meski dengan suara yang masih lirih.
Hampir tak terdengar.

32

Permen Persahabatan Buat Si Icang

Besok kami akan bersama satu hari penuh di rumah sakit,


aku berharap dokter bisa memberi dia permen yang mujarab,
seperti permen yang kuberikan kepadanya. Ayo Icang, jangan
menyerah, gapai cita-citamu untuk jadi guru IPA!
***

33

1. 3

Kami Ingin Mengelola


Sumber Daya Kami Sendiri
(Kisah Mangku Mirah dari Nusa Ceningan)

Oleh
Atiek Kurnianingsih
Yayasan Wisnu, Denpasar

Mereka akan membangun 16 hotel bintang lima dan dua


lapangan golf. Mereka berjanji akan memberikan jaminan
kesehatan, transportasi gratis, dan pekerjaan. Syaratnya,
kami harus menjual pulau secara keseluruhan.

35

Kami Ingin Mengelola Sumber Daya Kami Sendiri

ama saya Mangku Mirah. Mangku adalah sebutan yang


diberikan orang-orang kepada saya karena saya seorang
pemangku, pemimpin upacara adat dan agama. Sementara
Mirah adalah nama anak pertama saya. Saya berasal dari
Nusa Ceningan, satu pulau kecil di Tenggara Pulau Bali. Setiap
orang di pulau ini, yang sudah menikah dan mempunyai
anak, nama aslinya akan berubah, dan dipanggil seperti nama
anak pertamanya. Bahkan, secara perlahan nama asli orang
itu akan terlupakan.
Awal tahun 1999. Saya mendapatkan peta perencanaan
pengembangan kawasan mega proyek pariwisata Nusa
Ceningan yang dibuat dan dikeluarkan Nusa Penida Devindo
Wisata (NPDW), investor besar yang merupakan gabungan
antara pemerintah daerah, BUMN, dan swasta. Mereka ingin
mengubah wajah Pulau Ceningan menjadi pulau hijau yang
ramah lingkungan. Pertama kali melihat peta tersebut, saya
merasa sangat heran, mengapa orang luar yang tidak memiliki
tanah di Ceningan, bahkan tidak tinggal di dalamnya, bisa
membuat perencanaan atas pulau tersebut, pulau kami.
Nusa atau Pulau Ceningan merupakan bagian dari tiga
pulau di Kecamatan Nusa Penida, yaitu Nusa Ceningan,
Nusa Lembongan, dan Nusa Penida (saya dan masyarakat
nusa lainnya lebih sering menyebut Nusa Penida dengan
Nusa Gede). Nusa Ceningan sendiri merupakan bagian dari
Desa Lembongan, baik secara adat maupun kedinasan. Selat
37

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

Ceningan merupakan penghubung antara Pulau Ceningan dan


Pulau Lembongan. Saat ini, untuk memperlancar kebutuhan
para turis mengunjungi Nusa Lembongan dari Denpasar,
hanya perlu waktu 30 menit menggunakan speed boat.
Tahun 1999, pariwisata mulai menunjukkan perkembangan di Desa Lembongan, dengan beberapa hotel berbintang
yang dimiliki orang luar. Ketika itulah pemerintah daerah
Kabupaten Klungkung datang bersama BTDC di Nusa Dua
dan PT. Puri Loka Asri sebagai investor asing ke Nusa
Ceningan. Mereka mengatakan bahwa Nusa Ceningan akan
diubah menjadi Green Island, satu kawasan pariwisata yang
megah dan mewah.
Mereka datang dengan membawa peta masterplan yang
di dalamnya digambarkan 16 hotel bintang lima dan dua
lapangan golf. Mereka juga menjanjikan bahwa masyarakat
akan mendapat jaminan kesehatan, transportasi gratis, dan
pekerjaan. Syaratnya, kami harus menjual pulau secara
keseluruhan. Rumah penduduk nantinya akan dilokalisir,
hanya boleh tinggal dan berhak mengelola 20 persen dari
total wilayah Nusa Ceningan seluas 300 hektar.
Secara ekonomi tampaknya menyenangkan. Namun,
bagaimana nanti dengan keturunan kami jika hanya boleh
tinggal dan mengelola lahan seluas 60 hektar. Padahal, jumlah
penduduk ketika itu saja sudah lebih dari 1.600 jiwa. Saya
membayangkan, kami akan hidup berdesakan, sekitar 20-30
orang dalam satu hektar, dan menjadi objek tontonan orang-orang yang datang menikmati sumber daya dan keindahan alam
yang kami miliki. Berawal dari keresahan tersebut, saya dan
beberapa orang yang mempunyai keresahan yang sama bersatu
dan mendirikan FKNC, Forum Komunikasi Nusa Ceningan.
38

Kami Ingin Mengelola Sumber Daya Kami Sendiri

Ketika itu, terus terang saya sangat membenci setiap


tamu yang datang ke Ceningan. Tamu adalah sebutan yang
kami berikan untuk wisatawan yang datang. Saya merasa
mereka akan mengambil milik saya. Ketika kekesalan saya
memuncak, saya akan melempar mereka dengan apa saja
yang ada di depan saya, kerikil misalnya.
Satu hal yang perlu diingat, waktu itu saya masih mendapat julukan preman, belum menjadi pemangku. Selain itu,
banyak juga yang menganggap saya gila karena ide-ide dan
kegiatan yang saya lakukan. Karena hal itulah saya mendapat
pembenaran untuk bisa melakukan hal-hal yang dianggap
tidak normal, seperti melempar orang luar yang saya pikir
mengganggu kestabilan kehidupan kami di pulau.
***
Pada tahun yang sama, saya kemudian berkenalan dengan
Yayasan Wisnu, yang menurut informasi merupakan organisasi nonpemerintah bergerak di bidang lingkungan. Bersama dua
lembaga lainnya, yaitu Yayasan Manikaya Kauci dan Lembaga
Bantuan Hukum Bali, mereka menawarkan untuk mengadakan pelatihan pemetaan di Desa Lembongan. Berdasarkan
pertimbangan struktural kepemerintahan, pelatihan pemetaan
akhirnya hanya dilakukan di Nusa Ceningan, difasilitasi oleh
Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif.
Ketika pelatihan, baru saya mengetahui bahwa peta bisa
dibuat sendiri oleh masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut.
Metode dan alat yang digunakan sangat sederhana. Artinya,
peta rencana pengembangan pariwisata di Nusa Ceningan
yang dibuat oleh pihak NPDW bisa disandingkan dengan

39

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

peta yang kami buat. Maka, tidak hanya sampai pada pelatihan,
pemetaan yang sesungguhnya kemudian juga dilakukan.
Kami mengelilingi wilayah sepanjang 12 kilometer,
langkah demi langkah sambil membawa kompas, meteran,
dan alat tulis, juga arit untuk membuka jalan. Jukung kami
butuhkan untuk mengukur bagian bertebing terjal. Ketika
menyusuri wilayah Ceningan, saya baru menyadari bahwa
kami sangat kaya, mempunyai sumber daya yang berlimpah.
Selama ini, saya dan teman-teman FKNC merasa bahwa
pemerintah selalu menghakimi masyarakat, menganggap
masyarakat tidak mampu mengelola sumber daya yang
dimiliki. Hal ini juga yang melatarbelakangi kesepakatan
kami mendirikan FKNC. Kami ingin membuktikan bahwa
masyarakat mampu mengelola sumber daya mereka untuk
kemandirian. Melalui peta yang kami hasilkan, kami melakukan penyadaran kepada masyarakat Nusa Ceningan, menggali
opini, dan membuat kesepakatan. Masyarakat Ceningan akan
menolak mega proyek pariwisata yang direncanakan.
Dialog dengan pemerintah mulai kami lakukan karena
Pemerintah Daerah Klungkung bersikeras bahwa 90 persen
masyarakat Ceningan sudah setuju untuk menjual tanahnya.
Padahal, kenyataannya, 90 persen masyarakat Ceningan justru
menolak menjual seluruh tanahnya dan hidup dilokalisir pada
satu ruang sempit. Dan akhirnya, kami berhasil menolak mega
proyek tersebut. Ini merupakan proyek pariwisata pertama di
Bali yang berhasil ditolak oleh masyarakat.
Sayangnya, setelah berhasil menolak mega proyek tersebut,
orang-orang yang awalnya aktif dalam FKNC satu per satu
mengundurkan diri. Sampai akhirnya FKNC bubar dengan
sendirinya. Tidak mudah untuk tetap berjuang bersama, jika
40

Kami Ingin Mengelola Sumber Daya Kami Sendiri

musuh yang dihadapi tidak jelas. Musuh kami yang jelas,


investor mega proyek Green Island sudah berhasil kami
kalahkan, sehingga Pulau Ceningan masih tetap menjadi
milik kami.
Padahal, menurut saya, justru musuh yang tidak tampak
jelas itu yang masih harus tetap dilawan. Perjuangan kami
pada dasarnya belum selesai. Peta wilayah dan tata kelola
ruang Nusa Ceningan yang kami rencanakan, hingga saat
ini belum juga diakui oleh pemerintah daerah.
Artinya, pemerintah belum sepenuhnya mengakui bahwa
masyarakat mampu mengelola sumber daya mereka sendiri.
Masyarakat belum diberikan keleluasaan untuk membuat
perencanaan kelola wilayah berdasarkan kemampuan dirinya
dan daya dukung yang dimiliki.
Contoh lain adalah pengelolaan sarang walet yang ada
di salah satu gua di Ceningan, yaitu Gua Batu Melawang.
Pemerintah selalu menyerahkan pengelolaan kepada pihak
luar, tidak pernah memberikan akses dan kepercayaan pada
masyarakat. Kalaupun ada yang ikut mengelola, dia hanya
sebagai buruh yang harus mengikuti sistem pengelolaan yang
pada dasarnya tidak memerhatikan keberlanjutan sumber
daya itu sendiri.
Saat ini, sangat sedikit burung walet yang bisa kita lihat
di waktu senjawaktu para walet pulang ke sarangnya di
dalam Gua Batu Melawang. Pemetikan sarang walet dilakukan
secara sembarangan, menyebabkan sebagian besar telur dan
anak walet mati karena jatuh atau dibuang ke laut.
***

41

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

Setelah FKNC dibubarkan pada tahun 2001, saya sendiri mencari jalan dan tujuan hidup saya. Saya terpanggil untuk menjadi
seorang pemangku. Profesi sebagai pemangku sesungguhnya
merupakan profesi yang sangat dekat dengan kehidupan
keseharian masyarakat, karena pemangku melakukan fungsi
sosial sebagai pelayan umat.
Profesi ini sangat menguntungkan saya untuk bisa
mengorganisir dan secara perlahan mengubah cara pandang
masyarakat tentang hidup dan kehidupan. Sebagai seorang
pemangku, saya bisa beradaptasi dengan semua golongan
masyarakat. Hal ini merupakan sebuah keuntungan bagi saya,
yang masih mempercayai bahwa perjuangan belum selesai.
Sampai saat ini, saya masih melihat bahwa pemerintah
belum memerhatikan kesejahteraan rakyat kecil, bahkan
walau hanya mengakui keberadaannya. Saya tidak paham,
apa dasar perhitungan pemerintah menetapkan nilai pajak
sebesar Rp3.000.000 per hektar per tahun untuk semua tanah
di Desa Lembongan.
Tanah pertanian masyarakat, yang sebagian besar tidak
diolah pemiliknya sehingga tidak menghasilkan, dikenakan
nilai pajak yang sama dengan tanah vila dan hotel. Tidak masuk
akal! Saya membayangkan, seandainya kondisi ini terjadi
sepuluh tahun yang lalu, mungkin saya akan melakukan aksi
protes secara frontal kepada Pemerintah Daerah Klungkung.
Inilah salah satu alasan, kemudian secara perlahan masyarakat menjual tanahnya, sedikit demi sedikit. Nilai pajak
tanah sangat tinggi, sementara pendapatan dari rumput laut
hanya cukup untuk pemenuhan kehidupan hidup sehariharitermasuk kesehatan dan sekolah.

42

Kami Ingin Mengelola Sumber Daya Kami Sendiri

Alasan lain adalah, karena perkembangan pariwisata yang


sangat pesat, tanah mulai ditawarkan untuk membangun
fasilitas pendukung pariwisata. Harga tanah menjadi sangat
mahal, Rp60 juta untuk satu are100 meter persegi. Are
demi are tanah Nusa Ceningan tidak lagi kami miliki, dan
beralih ke tangan orang luar.
Saya sangat prihatin atas kondisi tersebut. Ditambah
lagi dengan kondisi pertanian darat di desa kami, baik yang
berada di Nusa Lembongan maupun Nusa Ceningan. Sejak
tahun 1984, ketika budidaya rumput laut diperkenalkan,
sebagian besar masyarakat di kedua pulau itu beralih profesi
dari petani darat menjadi petani rumput laut. Bisa dikatakan,
menjadi petani rumput laut jauh lebih mudah dibanding
petani darat. Di samping itu, secara perhitungan ekonomi
hasil yang didapat juga jauh lebih besar.
Namun, kami menjadi sangat tergantung dengan daerah
lain karena hampir semua barang didatangkan dari luar.
Bukan hanya gas dan barang lain yang memang tidak bisa
kami hasilkan sendiri, melainkan juga berbagai jenis sayur
dan bahan makanan pokok. Jika sistem transportasi dengan
Bali daratan mengalami masalah, maka boom! Kami akan
segera mati kelaparan.
Beberapa tahun setelah budidaya rumput laut diperkenalkan, secara fisik desa kami mengalami kemajuan.
Rumah-rumah penduduk yang awalnya dibuat dari tumpukan
batu gamping, diganti dengan batako atau bata merah yang
dianggap lebih permanen. Lantai keramik kemudian menjadi
salah satu indikator atas kesuksesan para petani rumput laut.
Ketika air laut pasang, hampir semua keluarga sibuk
membangun dan memperbaiki rumah. Ketika air laut surut,
43

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

mereka pindah ke laut untuk memasang patok, mengikat


tali-tali atau memanen rumput laut. Tidak ada lagi waktu
untuk bertanam singkong, jagung, atau tanaman lainnya.
Perubahan yang terjadi pada dasarnya bukan hanya
diakibatkan oleh budidaya rumput laut, melainkan juga karena
pemerintah mengeluarkan kebijakan makan nasi beras dan
revolusi hijau. Jawawut, tanaman sejenis jagung sebagai bahan
pangan pokok, tidak ada lagi di desa kami karena masyarakat
mulai mengonsumsi beras.
Karena kami tidak menanam padi, kami harus membeli
beras, kadang kami mencampurnya dengan jagung atau singkong supaya beras yang kami beli tidak terlalu banyak. Namun
akhirnya, kami memakan nasi beras murni. Selain jagung
dan singkong tidak lagi kami tanam, muncul anggapan bahwa
orang yang makan nasi campur adalah orang tidak mampu.
Akibat perubahan tersebut, beberapa jenis tanaman yang
kami miliki berkurang bahkan menghilang. Jenis tanaman
yang hilang diakibatkan juga oleh program penghijauan dari
pemerintah, yang memberikan bibit pohon gamal. Kayu gamal
memang baik digunakan sebagai patok rumput laut, namun
tanaman ini mematikan tanaman lain yang hidup di sekitarnya.
Bahkan, ritual budaya kami juga sempat menghilang.
Sang Hyang Grodog, ritual ucap syukur pada alam atas kelimpahan yang telah kami terima, terakhir dipersembahkan pada
1983. Alasannya, tidak ada lagi waktu untuk mempersiapkan
ritual yang dianggap rumit dan dilakukan setiap tahun. Waktu
yang dimiliki habis digunakan untuk mengejar air surut.
Tantangan terbesar yang saya rasakan dalam mengorganisir adalah bagaimana mengubah pola pikir masyarakat yang
sangat pragmatis dan instan, seperti menjual tanah untuk
44

Kami Ingin Mengelola Sumber Daya Kami Sendiri

mendapatkan uang. Karena tuntutan hidup yang bergerak


begitu cepat, mereka tidak sempat memikirkan hal lain di
luar dirinya. Bekerja hari ini untuk mendapatkan hasil hari
ini, untuk dimakan dan dikeluarkan hari ini. Sebagian besar
hanya untuk memenuhi kebutuhan perut dan egonya.
Langkah yang bisa saya lakukan selama ini adalah melakukan pendekatan personal dari hati ke hati tentang kehidupan
sekitar. Wacana yang saat ini sering dibicarakan adalah musim
hujan yang sangat terlambat, sehingga para petani darat belum
bisa mulai menanam, apalagi panen. Banyak yang mengatakan
bahwa hal ini dikarenakan pemanasan global dan sebagai
dampak perubahan iklim.
Namun menurut saya dan beberapa orang, hal ini
disebabkan oleh perilaku manusia di Bali itu sendiri. Ada
yang mengatakan bahwa pembangunan bandara, jalan bawah
tanah dan jalan layang yang sedang dilakukan menggunakan
laser untuk memecah awan supaya tidak turun hujan.
Untuk itu, saya juga mengajak para pemangku untuk
belajar berorganisasi. Saya mengajak dulu orang-orang
yang seprofesi dengan saya, yang saya anggap senasib dan
sepenanggungan. Kami adalah pelayan yang tidak mendapat
perhatian dari pemerintah, pihak swasta, maupun umat kami
sendiri. Padahal waktu kami banyak kami habiskan untuk
melayani mereka.
***
Saya sangat bersyukur karena mempunyai tanah cukup luas
yang masih bisa ditanami, karena saya sendiri bukan petani
rumput laut. Namun ada rekan saya sesama pemangku, namanya Mangku Pande yang tidak seberuntung saya. Ia kadang
45

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

mengeluh, terutama ketika musim hujan. Baju putih-putih


untuk kegiatan kepemangkuan yang dimiliki sangat terbatas
karena tidak mampu membeli. Menurutnya, bajunya kadang
berbau karena tidak langsung kering ketika dicuci. Ia sempat
mengatakan bahwa sebetulnya ia berharap ada perhatian
khusus dari pemerintah desa terhadap kebutuhan kami.
Nyatanya, harapan tinggal harapan.
Kami sepakat bahwa kami harus bersatu untuk memandirikan kehidupan kami sendiri. Sabha Pinandhita,
kelompok pemangku Desa Lembongan yang terdiri atas 40
orang pemangku kami dirikan pada tahun 2010. Kegiatan
yang kami lakukan adalah memperluas wacana tentang
etika kepemangkuan melalui dharma wacana serta beberapa
pelatihan untuk meningkatkan keterampilan para pemangku
dalam pelayanan, juga meningkatkan pemahaman tentang
banten atau sesaji.
Maka, ketika Yayasan Wisnu mengajak diskusi tentang
proyek PNPM Peduli melalui Yayasan Indonesia untuk
Kemanusiaan, kami menyambut baik hal tersebut. Proyek ini
merupakan bagian dari cita-cita besar masyarakat mampu
mengelola sumber daya yang dimiliki untuk kemandirian.
Kami diberi keleluasaan untuk membuat perencanaan. Konsep
Tegalan Lestari kami pilih untuk kembali menyadarkan
masyarakat Lembongan bahwa kekayaan terbesar ada pada
tanah. Kekayaan ini sudah sangat lama tidak diperhatikan
dan dikelola dengan baik, sehingga tanah kami tidak memberikan hasil.
Selain itu, pada dasarnya bertani (lahan darat) adalah
kegiatan yang sebaiknya dilakukan oleh para pemangku. Dulu,
profesi sebagai pemangku selalu berdampingan dengan
46

Kami Ingin Mengelola Sumber Daya Kami Sendiri

profesi sebagai petani (lahan darat) karena tanah adalah ibu


pertiwi. Mengelola tanah dengan baik artinya menjaga ibu
pertiwi dengan cinta, sehingga alam juga akan memberikan
seluruh kebaikannya.
Di samping itu, secara tradisi, pemenuhan kebutuhan
bahan-bahan upacara berasal dari segala jenis tanaman
yang tumbuh di atas tanah. Terutama di Nusa Ceningan,
setiap jengkal tanah pada dasarnya merupakan tanah untuk
kebutuhan upacara.
Tantangan lain yang saya hadapi dalam pengorganisasian
adalah mengajak para pemangku terlibat aktif. Sebagai satu
profesi yang terkait dengan spiritualitas, sebagian besar
pemangku sudah berusia lanjut. Belum lagi ada beberapa
pemangku yang belum memahami nilai-nilai kehidupan
bahwa mengelola tanah merupakan inti kehidupan itu sendiri.
Ironisnya, ada sebagian yang melihat, baik pemangku
maupun masyarakat umum, bahwa para pemangku tidak
seharusnya bermain-main dengan kotoran sapi. Padahal,
kotoran sapi sebagai bahan kompos merupakan inti pelaksanaan Tegalan Lestari untuk mempertebal lapisan tanah
subur. Inilah yang menyebabkan hanya beberapa pemangku
bisa mengikuti kegiatan secara aktif.
Namun, bagi saya sendiri, kualitas dalam arti paham
atas tujuan setiap kegiatan menjadi lebih penting dibanding
kuantitas. Dalam perjalanannya, ada juga yang tidak berprofesi
sebagai pemangku ikut serta dalam kegiatan. Karena alasan
itulah, mereka yang terlibat aktif dalam proyek kemudian
menamakan kelompoknya sendiri dengan Sekaa Teles,
Kelompok Tegalan Lestari. Kata teles juga diharapkan dapat
memberikan pengaruh positif pada kelembaban tanah
47

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

pertanian yang diolah kelompok, sehingga dapat memberikan


hasil berkualitas secara terus-menerus.
Hampir semua anggota kelompok belum berpengalaman
dalam berorganisasi dan sampai saat ini sedang dalam proses
belajar. Konflik dan saling curiga kadang muncul karena
adanya penafsiran yang berbeda atas satu hal. Terlebih lagi,
apa yang dilakukan merupakan satu hal baru sehingga
menimbulkan penafsiran yang kadang berbeda-beda. Uang
merupakan satu hal yang dapat menyebabkan konflik.
Rasa saling curiga dapat muncul dari uang yang tersedia,
yang didapat dari lembaga donor. Hal sementara yang bisa dilakukan untuk mengatasi konflik adalah dengan memosisikan
masalah tersebut pada posisi yang benar dan sebenarnya. Ke
depan, pencatatan arus keluar masuk uang harus dilakukan
dengan benar dan rapi, untuk kemudian dilaporkan secara
reguler kepada seluruh anggota kelompok.
Saya sangat bersyukur karena saya tidak pernah merasa
bosan dalam melakukan kegiatan pengorganisasian. Hal itu
disebabkan kegiatan yang dilakukan tidak monoton dan
setiap kegiatan mempunyai tantangannya sendiri-sendiri.
Ada banyak kegiatan yang bisa dilakukan dalam upaya
mengelola sumber daya yang ada, mulai dari penyadaran,
peningkatan kapasitas dan keterampilan, hingga kegiatan
pembangunan fisik.
Hal itu yang menyebabkan saya tetap bertahan dalam
aktivitas pengorganisasian. Namun, hal terpenting adalah rasa
empati saya pada para pemangku dan masyarakat Lembongan
karena apa yang mereka alami adalah kehidupan keseharian
saya sendiri. Saya akan tetap memperjuangkan hak masyarakat.

48

Kami Ingin Mengelola Sumber Daya Kami Sendiri

Saya pikir, pemerintah sebaiknya memberikan peluang


pada masyarakat untuk membuat perencanaan pengelolaan
sumber daya mereka sendiri. Pemerintah seharusnya hanya
berperan sebagai fasilitator yang memfasilitasi kebutuhan
masyarakat. Peraturan yang dibuat pemerintah seharusnya
berdasarkan pada kebutuhan dan keputusan masyarakat.
***

49

1. 4

Kunang-kunang
Kampung Loncek

Oleh
A. Alexander Mering
Yayasan Pemberdayaan Pefor Nusantara
(YPPN), Pontianak

Untuk membuat orang atau sebuah komunitas berubah


bukanlah semudah memutar dadu. Merekalah yang harus
menemukan jalannya sendiri. Tetapi untuk menemukan
jalan itu, mereka memerlukan informasi dan pengetahuan
yang cukup.

51

Kunang-kunang Kampung Loncek

urnama sudah beranjak dari pucuk nangka, menyisakan


cahaya beberapa ekor kunang-kunang yang tersesat,
berputar-putar di atas kampung tempat sebuah pesta perkawinan berlangsung.
Walau malam sudah larut, tapi hingar-bingar dangdut
koplo diselingi lagu-lagu daerah yang ditabuh dari atas panggung pesta itu tak putus-putusnya mengundang orang datang
dari berbagai pelosok. Tak cuma warga kampung setempat,
tapi juga para kuli perkebunan kelapa sawit dan perambah
hutan sisa belantara dari camp-camp terdekat.
Beberapa lelaki bergerombol duduk bersila di bawah
tenda terpal biru, di sebelah panggung, di antara deretan
warung-warung. Satu dua di antara mereka mencuri pandang
ke arah kami, sesekali dengan tatapan curiga. Mereka mungkin
mengenal Laurensius Edi, tapi pasti mereka tidak mengenalku. Karena baru sebulan ini aku bolak-balik ke Kampung
Loncek, yang terletak di Desa Teluk Bakung, Kecamatan Sei
Ambawang, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat.
Edi berperawakan tinggi, berkulit putih seperti kebanyakan orang Dayak Salako. Dia satu dari sedikit pemuda
Kampung Loncek yang beruntung bisa duduk di bangku
kuliah. Ayahnya pensiunan guru Sekolah Dasar (SD) Negeri
dan harus menghidupi delapan anaknya. Tapi Edi tetap nekat
sekolah, meski harus berjualan sosis goreng dan pakaian bekas.

53

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

Yayasan Pemberdayaan Pefor Nusantara (YPPN)


Pontianak yang melakukan assessment tahun 2011 lalu,
menemukan tak kurang dari 200 remaja putus sekolah di
Desa Teluk Bakung, termasuk di Kampung Loncek.
Orang itu ramai-ramai, sedang apa ya?
Sedang main Kolok-kolok, Bang.
Kolok-kolok adalah jenis permainan judi dengan tiga dadu
dan enam gambar di atas kanvas seukuran kertas manila.
Kepiting, ikan, udang, bulan, tempayan, bunga.
Aku mulai merasa tak nyaman duduk di sini. Tapi
seorang pelayan warung datang, menawarkan bir, arak, dan
kacang. Aku memilih bir. Berharap tubuh bisa lebih hangat
di malam yang sejuk.
Sementara dari atas panggung, tak jauh dari warung,
empat penari berbikini mulai beraksi, meliuk-liuk menirukan
goyangan Trio Macan, mengiringi seorang penyanyi menor
yang tubuhnya mengilap oleh keringat di bawah sinar
lampu panggung.
Iwak peyek, iwak peyek, iwak peyek, nasi jagung. Sampek
tuek, sampek nenek, Trio Macan tetap disanjung.
***
Kepiting, udang, ikan, bulan, tempayan, bunga.
Bandar bertubuh gempal yang duduk bersila di tengah
lapak di samping panggung sibuk menepuk-nepuk kotak
dadu. Saya menoleh.
Saya kupan, Bos, seru pria bersepatu boot hijau. Dia
salah seorang pekerja perkebunan kelapa sawit, tak jauh dari
kampung. Sebab tak banyak orang kampung yang punya
sepatu boot sebagus itu.
54

Kunang-kunang Kampung Loncek

Omon saja, kata yang baju merah. Ia mengambil


segepok uang kertas dari tas pinggangnya yang kumal dan
mencampakkannya ke atas kanvas. Uangnya dilipat dua.
Ayo, siapa lagi? Pasang, pasang, pasang. Kepiting, udang,
ikan, bulan, tempayan, bunga, kata bandar memprovokasi.
Wajahnya juga mengilap-ngilap diterpa lampu neon di
bawah tenda.
Kupan adalah istilah untuk taruhan yang apabila salah
satu gambarnya muncul di dadu, maka si pemasang taruhan
akan dibayar sejumlah pasangannya oleh bandar. Sedangkan
omon, dibayar 5 kali lipat dari besar taruhan.
Di sebelah rombongan Kolok-kolok, ada sekelompok lain
yang sedang asyik bermain Tepo. Di Loncek disebut Kongkok,
permainan judi Cina yang sudah lama di kenal masyarakat
Kalimantan Baratkhususnya di sepanjang pantai timur
provinsi itu.
Main Tepo juga menggunakan dadu, tapi lebih kecil dari
dadu Kolok-kolok yang jumlahnya tiga. Bentuknya kubus yang
di salah satu sisinya bertuliskan huruf kanji warna merah
dan putih.
Mereka bisa membaca huruf kanji, ya?
Tidaklah. Mereka tak membaca.
Lalu, bagaimana mereka main?
O, itu gampang. Mereka hanya perlu mengingat warna
tulisan di dadu itu saja.
Hmm, aku menatap Edi. Mulai berpikir, bagaimana
pemuda itu begitu fasih menceritakan semua jenis permainan judi yang populer di kampung itu. Dia seakan tahu
keherananku dan tak lama kemudian langsung memberi
penjelasan tambahan.
55

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

Aku sudah main judi sejak masih SMP, terutama Kolokkolok. Tapi sekarang sudah tidak lagi.
Kenapa?
Edi tak menjawab. Dia tertawa kecil sambil membuang
pandangannya ke arah kerumunan. Aku ikut menoleh. Dari
pinggir tenda, seorang bocah ceking dan seorang perempuan
masuk gelanggang. Aku taksir umurnya baru 10 tahun. Bocah
itu memasang taruhan uang kertas pecahan seribu ke atas
kanvas Kolok-kolok. Sementara sang perempuan yang ternyata
ibunya bersorak-sorak, memberi dukungan. Alamak!
Entah siapa di masa lalu yang mengajari orang-orang
Dayak ini bermain dadu? Ke mana saja negara ini selama
lebih dari 67 tahun, hingga masih ada ibu-ibu yang mendidik
anaknya bermain judi?
Di lapak judi orang-orang bertemu, di panggung karaoke1
orang-orang berjoget gembira. Para kuli sawit, perambah
hutan, petani karet, anak-anak, dan orang kampung menghayati secuil kebahagiaan menjadi warga negara. Tentu tidak
semua penduduk Loncek setuju pada kondisi ini, banyak yang
hatinya memberontak. Tetapi apalah daya? Bahkan, hukum
adat yang mereka junjung selama ini pun telah dirongrong
oleh pendukungnya sendiri.
Tiba-tiba kepalaku pening. Otakku terasa keram. Ini
pasti bukan karena secangkir bir yang baru saja kutenggak,
tapi oleh realitas masyarakat yang tak pernah diurus serius
oleh republik ini. Syukur-syukur masih ada program seperti
PNPM Peduli, ujarku menghibur diri.
1 Dalam pengertian masyarakat setempat, karaoke yang dimaksud adalah
musik yang dibunyikan dari sebuah tape/sound.

56

Kunang-kunang Kampung Loncek

Seingatku, orang Dayak bukan begini adatnya. Mereka


tak memiliki teknologi menanak arak. Dayak Iban, Jangkang,
Mualang, dan beberapa suku Dayak lain di pedalaman
misalnya, hanya bisa membuat tuak, minuman dari hasil
fermentasi ketan dengan ragi. Ini bermain Tepo?
Mereka tentu tak kenal bangsa Yunani kuno yang memang
gemar melempar dadu. Paling-paling mungkin nenek moyang
mereka berinteraksi dengan orang-orang Cina, penambang
emas dari kelompok Hee Soon maupun Republik Lanfang
sejak 1770 M, sebelum kelompok kecil orang Dayak Salako
masuk ke Sungai Ambawang dan akhirnya menetap di kaki
Bukit Loncek.
Menurut Yohanes Aboy, seorang tokoh masyarakat sekaligus ketua Umat Katolik di Loncek, keterisoliran kampung
ini baru terbuka sekitar tahun 2010, pada saat perkebunan
kelapa sawit milik PT. Palmdale Agro Asia Lestari masuk
dan membuka jalan untuk kebun. Jalan satu-satunya waktu
itu hanya melalui sungai. Setidaknya dibutuhkan waktu sehari-semalam perjalanan naik motor air untuk tiba di Kampung
Loncek dari Kota Pontianak, Ibu Kota Kalimantan Barat.
Secara administratif, kampung Loncek yang terletak di
ujung wilayah Kecamatan Sungai Ambawang, berbatasan
dengan Kecamatan Tayan Hilir, Kabupaten Sanggau. Kata
Gaeb, pemukiman orang Salako di Loncek sudah ada sejak
tahun 1910dibuka dua orang yang bernama Nek Motek
dan Timanggongjauh sebelum Bangsa Indonesia dilahirkan.
Dia adalah salah satu keturunan Nek Motek. Karena itu dia
heran mengapa warga desa di sana tak bisa mensertifikasi
tanah. Menurut Kepala Desa Teluk Bakung, Valentinus Agib,
S.Sos, hal ini karena pemerintah Indonesia menetapkan
57

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

beberapa bagian dari wilayah desanya menjadi kawasan Hutan


Produksi (HP).
Hentakan house music dan dangdut koplo bercampur
ruap bir yang dituang pelayan warung ternyata tak berdaya
mengusir dingin. Aku merapatkan leher jaket, karena embun
sudah mulai turun. Edi nyerocos lagi, dengan ekspresi yang
sukar ditebak.
Sekarang pesta tak pernah digelar sehari. Bahkan ada
yang perayaannya sampai berminggu-minggu lamanya.
Akibatnya tak hanya pekerjaan tertunda, uang yang diperoleh
dari memeras keringat pun tak jarang ludes di lapak dadu.
Mana ada lagi yang ditabung!? kata Edi seperti menggerutu.
Dia mulai tampak gelisah. Aku minta pelayan menuangkan
kami bir lagi.
Edi menenggak bir dingin di cawan yang berpeluh oleh
temperatur malam yang turun tajam.
Menurut dia, pesta di kampungnya dahulu tak begitu,
selalu dirayakan menurut adat yang ketat, baik pada upacara
perkawinan, sunatan kampung, babalak, atau acara pesta
adat lainnya. Tuan rumah biasanya mengundang para penari
topeng, bukannya penari karaoke yang mengumbar syahwat
seperti zaman sekarang. Semangat gotong-royong masih
sangat diutamakan dan adat dijaga dengan taat kala itu.
Seorang lelaki separuh mabuk mampir di warung. Dia
meminjam korek api untuk menyulut rokok. Malam sudah
menjelang pagi. Sebutir embun menggelinding dari tuturan
atap warung lalu jatuh ke mulut cawan. Aku menenggak bir
bercampur embun dari cawan itu. Aku tidak ingin mabuk
dan masih ingin mendengarkan Edi bercerita.
Siapa yang memulai karaoke di kampung ini?
58

Kunang-kunang Kampung Loncek

Saya tak tahu pasti, tapi sejak jaman We Bunga.


Belakangan seakan jadi kebiasaan setiap ada acara pesta.
Seingat saya itu terjadi sejak jalan kampung kami terbuka.
We Bunga adalah sapaan untuk bos kelompok penari
karaoke Citra Dancer yang bermarkas di Pontianak. Kelompok
ini lumayan eksis di sepanjang pesisir Sungai Ambawang dan
sekitarnya, termasuk di Kampung Loncek.
***
Begitulah Loncek dikenal dari luar sana. Bahkan, salah seorang pastor yang bertugas memberi pelayanan di stasi Santo
Kanisius Loncek mengatakan kepada saya bahwa dia begitu
sedih serta kecewa pada fenomena masyarakat di Kampung
Loncek akhir-akhir ini.
Terbentuknya Kelompok Tani Muda Palambon Pucuk
Baguas (KTM PPB) awal Oktober 2011 lalu membuatku
semakin sering datang dan tinggal di Loncek. Bahkan
sekali-kali aku ikut bermalam bersama para perambah hutan
sambil mendiskusikan masa depan kampung mereka. Oh
ya, semua anggota KTM PPB yang lelaki adalah perambah
hutan, sedangkan kaum perempuan adalah buruh perkebunan
sawit dan penyadap karet. Satu lagi, mereka semua remaja
putus sekolah.
Edi dan Leonardus adalah penggerak utama organisasi
ini. Untuk membiayai kuliahnya, Edi bahkan pernah ikut
merambah hutan. Sedangkan Leo adalah ketua Orang Muda
Katolik (OMK) Loncek. Pada periode pertama program PNPM
Peduli, Leo terpilih menjadi ketua KTM PPB. Sedangkan Edi
menjadi fasilitator lokal program PNPM Peduli dan mendapat

59

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

pelatihan fasilitator di Yogyakarta yang diselenggarakan


oleh Kemitraan.
***
Suatu sore, pertengahan 2012 lalu, Edi datang menghampiriku
sambil senyum semringah. Di tangannya ada sebuah buku
kecil warna hijau muda, motif Dayak.
Apa itu, Di?
Buku tabungan CU bang. KTM PPB sudah punya
tabungan sekarang, jawab Edi sambil menyodorkan buku
tabungan tersebut.
CU adalah singkatan dari Credit Union, sebuah lembaga
keuangan mikro yang populer di Kalimantan Barat. Para
anggota KTM PPB rupanya menabung di CU Pancur Kasih,
salah satu koperasi simpan pinjam terbesar di Kalimantan
Barat. Kini Pancur Kasih kata Yati Lantok, memiliki anggota
lebih dari 110.358 orang dengan total aset Rp1,2 triliun per
bulan Mei 2012. Yati adalah Ketua Pengurus CU Pancur
Kasih Pontianak. Selain CU Pancur Kasih, ada CU besar di
Kalimantan Barat, antara lain CU Keling Kumang dan CU
Lantang Tipo.
Sejak program PNPM Peduli berjalan di Kampung
Loncek, Edi berhenti berjualan daging anjing, sosis goreng
dan lelong (pakaian bekas) dari rumah ke rumah. Dia cukup
sibuk sebagai guru honorer di sebuah SMA milik yayasan
Katolik di Kecamatan Sungai Ambawang, sambil berbisnis
ayam ras di kampungnya selain menjadi fasilitator lokal. Edi
juga terbukti tidak pernah main judi, apalagi berjoget dangdut
dengan penari karaoke. Uang gaji sebagai fasilitator, menjadi
guru, dan juga bisnis ayam ditabungkan ke CU Pancur Kasih.
60

Kunang-kunang Kampung Loncek

Eee, bukan cuma Edi, Bang yang udah nabung, sejak


Juni lalu saya pun udah menabung, protes Nani Sugiarti suatu
sore ketika aku memuji sikap Edi. Kami bertiga ngobrol di
bawah pohon cempedak, di halaman rumah Edi.
Nani adalah gadis manis berperawakan kecil yang oleh
teman-temannya dipilih menjadi sekretaris lembaga. Dialah
satu-satunya anggota KTM PPB yang sempat mengecap
pendidikan akademi. Aku sering bertemu dia pagi-pagi sekali
saat berangkat menyadap karet, membantu ibunya. Kini Nani
telah menjadi asisten manajer perkebunan kelapa sawit PT.
Palmdale Agro Asia Lestari. Meski demikian, ia tidak pernah
ketinggalan setiap ada kegiatan di kelompok taninya.
Ya, Bang, Paustinus, Sarjono, Ropinus Induk,
Emerensiana dan teman-teman kita rata-rata sudah menabung
di CU, sambung Edi bangga.
Diam-diam tentu saja aku merasa bangga. Tak sia-sia
rasanya jungkir balik selama setahun ini keluar-masuk
kampung mengurus program PNPM Peduli. Banyak juga
perubahan yang terjadi di Kampung Loncek. Tak sekadar
yang menjadi output program, tetapi juga outcome yang
tidak ditargetkan. Anggota organisasi tani muda ini bukan
saja telah memiliki keterampilan teknis, seperti mengokulasi
karet dan menulis buku kampung, tetapi juga telah berani
perlahan-lahan keluar dari hidup hedonis.
Mereka telah memiliki kebun dan puluhan ribu batang
karet unggul. Baik untuk ditanam di lahannya sendiri, maupun
untuk dijual kepada petani lain. Belakangan gerakan KTM
PPB ini juga menginspirasi puluhan ibu-ibu petani di Desa
Teluk Bakung. Enam puluh petani perempuan itu kemudian
membentuk organisasi tani sendiri yang bernama Kelompok
61

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

Tani Burung Arue (KTBA), diikuti oleh bapak-bapak petani


yang juga membentuk Kelompok Tani Sabaya Mao (KTSM).
Sekarang setiap minggu, secara rutin KTM PPB melatih dan
mendampingi kedua kelompok baru tersebut.
***
Sore awal Januari lalu, Edi datang bersama 12 pemuda Loncek,
bertamu ke rumahku di Pontianak. Aku menghidangkan
kueh-muih dan beberapa botol bir untuk mereka. Tentu saja
bukan dalam rangka pesta dan hiburan karaoke kampung,
tapi untuk merayakan Natal dan Tahun Baru 2013. Karena
itu birnya asli dingin, sebab baru dikeluarkan dari kulkas,
bukan karena diembunkan penjaga warung.
Setelah bicara ngalor-ngidul, kesana-kemari, aku yang
masih penasaran pun mengulangi pertanyaanku setahun
yang lalu. Sebetulnya aku ingin mendengarkan kisahnya,
bukan jawabannya.
Jadi, apa yang membuatmu berhenti main judi?
Para pemuda yang mendengar percakapan kami ikut
menoleh. Edi tidak menatapku, tetapi dia tidak membuang
wajahnya seperti setahun yang lalu.
Meski aku belum kaya, tapi dengan keadaanku sekarang,
apa faedahnya lagi aku berjudi?
Dia benar. Dia tak lagi harus berjualan daging anjing
sepiring seharga Rp30 ribu. Dia tak harus berjualan lelong
dari rumah ke rumah seperti ketika aku bertemu dia
saat melakukan assessment pertama kali di Loncek. Dia
adalah mahasiswa semester akhir Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Tanjungpura,

62

Kunang-kunang Kampung Loncek

Pontianak. Dia seorang pendidik, seorang fasilitator yang


mulai terbang kesana-kemari.
Dia bercerita tentang hari-hari terakhirnya di lapak dadu
saat masih duduk di bangku SMP. Untuk bisa sekolah, Edi
harus meninggalkan orangtuanya di kampung. Dia tinggal
di asrama pelajar milik Pastoran, di Desa Korek yang dari
kampungnya berjarak sehari penuh naik motor air.
Suatu malam pesta yang ditunggu-tunggubersama
salah seorang pamannyaEdi mempertaruhkan seluruh uang
tabungannya di lapak judi. Kalau menang, dia bisa membayar
semua uang sekolah dan biaya hidup di asrama. Tapi apa yang
kemudian terjadi? Seluruh uang hasil dia berjualan daging
anjing ludes digasak bandar. Rencana berangkat pulang ke
asrama membawa segepok uang, malah berubah menjadi
penyesalan dan tangis. Untunglah dia remaja yang tabah,
kuat menahan air matanya agar tak jatuh.
Lalu saya minta uang pada paman, tapi dia bilang juga
tak punya uang.
Aku menghela nafas panjang saat Edi selesai bercerita.
Lantas memandang satu persatu para pemuda yang duduk
senyap di ruang tamu. Ada yang pura-pura mengusap-usap
gelas, memain-mainkan tuts ponsel dan yang lain tergambar
tak jelas tengah memikirkan apa.
Aku tak memberi komentar apa pun. Cukuplah bagiku
semua orang bisa mendengar dan membaca kisah ini kelak.
Aku hanya tahu, untuk membuat orang atau sebuah komunitas berubah bukanlah semudah memutar dadu. Merekalah
yang harus menemukan jalannya sendiri. Tetapi untuk
menemukan jalan itu masyarakat memerlukan informasi

63

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

dan pengetahuan yang cukup, supaya mereka bisa membuat


keputusan yang cerdas.
Karena pengetahuan adalah cahaya, walaupun hanya
seterang kunang-kunang, ia tetap akan sangat berarti bagi
mereka yang sepanjang hidupnya diselubungi kegelapan.
***

64

1. 5

Sekdes Amil, Telur,


dan Ayam
Oleh
Asfriyanto
Mitra Turatea, Jeneponto

Setelah membuang hasil riset yang tidak masuk


akal itu, belakangan kami malah semakin serius untuk
mengembangkan model tersebut. Sebab beberapa hal-hal
yang sempat kami tertawakan justru mengandung faktafakta terkait teknik peternakan modern.

65

Sekdes Amil, Telur, dan Ayam

amanya Amiluddin. Warga desa memanggilnya dengan


nama Daeng Jalling, nama panggilan persukuan
untuk laki-laki Makassar yang telah menikah. Daeng Jalling
atau Amiluddin adalah Sekretaris Desa Gunung Silanu.
Namun, saya lebih senang menyapanya Pak Amil. Selain
umurnya memang lebih tua, memanggilnya Bapak atau Pak
dibandingkan dengan Daeng Jalling justru karena saya ingin
memberikan penghargaan yang lebih kepada dirinya.
Ya, itu sebagai bentuk rasa terima kasih atas perannya
selama ini, yang membantu saya dan kelancaran program
PNPM Peduli di desanya, Gunung Silanu.
Secara administratif, Desa Gunung Silanu terdiri atas
sepuluh dusun. Letak antardusun umumnya saling berdekatan, hanya ada satu dusun yang memiliki wilayah cukup
terpencil, yakni Dusun Bira-bira (Parangbenrong) yang belum
bisa terjangkau kendaraan roda empatkhususnya ketika
musim hujan karena kondisi jalanan rusak dan berlubang.
Berdasarkan data sensus partisipatif tahun 2010, dari 802
KK, terdapat 776 KK yang masuk kategori miskin dan sangat
miskin. Itulah sebabnya, desa ini termasuk dalam kategori
desa tertinggal di Kabupaten Jeneponto.
***
Pengalaman saya mendampingi ratusan desa selama ini harus
dipertimbangkan ulang ketika menjadi pendamping program
67

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

PNPM Peduli di desa ini. Saya yang terbiasa memfasilitasi


audiens melek huruf, tiba-tiba dihadapkan dengan sesuatu
yang sama sekali berbeda. Bukan hanya sebagian dari penerima
manfaat yang buta huruf, tapi sebagian besar juga tidak bisa
berbahasa Indonesia. Hanya berbahasa Makassar. Tentu saja
saya jadi kelabakan dan mati gaya. Itu terjadi, dan benar-benar
terjadi ketika sosialisasi awal program.
Pada situasi itulah, Pak Amil tanggap. Dia segera menerjemahkan sepotong demi sepotong penjelasan saya tentang tetek
bengek program dalam bahasa Makassarbahasa yang paling
dimengerti oleh semua calon penerima manfaat. Ampun! Dari
rencana kegiatan sosialisasi selama dua jam, walhasil butuh
seharian hanya untuk menjelaskan, menerjemahkan, dan sesi
tanya jawab. Kami berdua bersimbah peluhsaya berkeringat
dingin, sedangkan Pak Amil kelelahan.
Kegiatan pertama itu sungguh membekas dan membuat
kecut hatiku. Karena di sepanjang program, nantinya ada puluhan pertemuan yang akan dilakukanbaik formal maupun
informal. Dalam bayangan saya, ratusan lembar modul dan
bahan bacaan akan diterjemahkan ke dalam bahasa Makassar.
Ya, dalam bahasa Makassar! Untuk bikin desain dan modul
saja sudah butuh waktu lama. Sekarang, menerjemahkannya
pula. Busyet!
Jengger, kataku.
Raranna, ujar Pak amil.
Proses seleksi indukan?
Ah, susah itu bahasa Makassarnya, katanya.
Kalau lendir yang keluar dari mulut ayam?
Ah, itu lebih susah lagi.
Wah, bagaimana ini?
68

Sekdes Amil, Telur, dan Ayam

Tidak masuk akal. Cara harus diubah. Kami berdiskusi


lebih dalam lagi, sebab modul-modul kami ditambah modul
yang diberikan dokter hewan sangat susah diterjemahkan
Bagaimana kalau gambar? usul saya ketika itu.
Setiap penjelasan dalam modul dialihkan dalam bentuk
gambar atau foto. Sebanyak-banyaknya. Semua kalimat dan
paragraf tersebut harus diilustrasikan dalam bentuk foto atau
gambar. Akan ada seleksi gambar atau foto yang betul-betul
mewakili keterangan atau penjelasan teksnya. Foto/gambar
harus pas, tidak boleh ambigu atau multitafsir. Selanjutnya,
menyinergikan gambar/foto tersebut paragraf demi paragraf.
Setelah itu, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Baru
kemudian dialihkan ke dalam bahasa Makassar.
Ribet?
Ya. Tapi bagaimana lagi? Disetujui saja ya?
Lakukan!
Bagaimana jadwal pertemuan untuk Minggu depan? tanyanya.
Tunda, tegas saya, tunda sampai gambar dan
foto dikumpulkan.
Dimulailah kegiatan. Bolak-balik gambar dan foto-foto
diseleksimana yang cocok, mana yang harus dibuang.
Sebulan lebih baru kelar. Dapat! Segera di-layout dan dicetak
besar-besar seukuran poster. Full color! Satu materi pelatihan
dan modul butuh sekitar 20-an gambar.
Pada saat simulasi, Pak Amil memfasilitasinya. Model
itu sukses besar!
Wah, saya jadi facilitator translator, ujar Pak
Amil semringah.

69

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

Hmm... Facilitator translator?! Terlepas dari benar atau


salahnya, ya pakai saja istilah itu sekarang untuk aktivitas
sejenis. Yang pasti, saya lebih senang menggunakan istilah yang
cukup keren visual facilitation untuk model fasilitasi sejenis.
Karenanya, kami tidak perlu berdebat untuk itu. Saya senang.
Kami senang. Sebab, model fasilitasi baru telah ditemukan.
Kami banyak belajar dari pengalaman tersebut. Bahkan,
pada fasilitasi-fasilitasi selanjutnya, Pak Amil yang lebih
banyak berperan dengan jabatan barunya sebagai facilitator
translator yang dia banggakan itu.
***
Di antara warga Desa Gunung Silanu, kejadian ini selalu dan
selalu terulang.
Apa ini?
Undangan pertemuan, dari desa.
Kapan?
Besok, jam 09.00, di kantor desa.
Oh, iya saya akan hadir!
Cukup aneh juga sebenarnya, sebab terkadang surat
tersebut sebagian besar toh tidak akan dibacaterlebih bagi
sebagian besar penerima manfaat PNPM Peduli. Bukannya
malas, tapi memang tidak bisa baca tulis.
Mubazir! kata saya.
Untuk pertemuan PNPM Peduli, jangan pakai surat.
Datangi saja satu-satu, tukas saya sekali waktu, sembari
menanyakan kebiasaannya tersebut.
Biar saja. Ini untuk mendidik mereka bahwa administrasi
itu penting, ujar Pak Amil, selain alasan etika birokrasi
tentunya. Karena itu, pada setiap pertemuan, dipastikan surat
70

Sekdes Amil, Telur, dan Ayam

undangan selalu dibuatnya secara resmilengkap dengan


stempel Pemerintah Desa.
Pola mengorganisir warga dengan pola administratif
ala kebanyakan pemerintah sampai ke level desa, dan pola
organisir warga melalui pendekatan empatik seperti yang
biasa digunakan oleh NGO, memang lebih banyak untung
dibanding ruginya. Untungnya, setiap kegiatan memiliki
legalitas formal, dan ditambah pendekatan empatik, aspek
formalitas-birokratis dan egaliter dapat seiring sejalan dalam
satu forum atau pertemuan. Terus terang, hal itu sangat
membantu saya dalam membangun kolaborasi dan jaringan
untuk level pemerintah kecamatan, bahkan kabupaten.
Maaf, kemarin saya tidak sempat hadir, ujar Ibu Camat
satu ketika, pertemuan selanjutnya saya akan hadir. Katanya
sudah ada yang bertelur dan menetas.
Saya sempat tertegun, kemudian buru-buru saja menjawab, Oh, iya Bu. Saya harap Ibu hadir, Ibu bisa langsung
bertemu dengan penerima manfaat. Sedetik saya langsung
menyadari, rupanya itulah gunanya surat tembusan yang selalu
dibuat Pak Amil pada setiap pertemuan. Orang kecamatan
menjadi peduli dan turut memberi perhatian pada program.
Benar saja. Pada pertemuan selanjutnya, Ibu Camat hadir.
Luar biasanya, ia menjanjikan akan ada reward darinya, bagi
kelompok yang berhasil menetaskan telur terbanyak. Urusan
menjadi lebih mudah karenanya. Ya. Karena surat tembusan
dari Pak Amil.
Ada beberapa keterbatasan dalam pelaksanaan PNPM
Peduliterutama soal mendorong keswadayaan warga yang
mengharuskan penerima manfaat mengeluarkan keswadayaannya dalam rupiah. Beberapa item telah diusahakan
71

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

sekuat tenaga untuk tidak dibebankan terlalu banyak kepada


penerima manfaat.
Misalnya, untuk kandang. Manajemen program memberikan tiga alternatif jenis kandang yang bisa dibuat. Warga
tinggal pilih mana yang paling pas dengan kantongnya.
Namun untuk yang sama sekali tidak punya kemampuan,
seperti pada dua penerima manfaat programjanda tua dan
janda tua yang memiliki anak cacattanggung jawab keswadayaan diambil alih Pemerintah Desa. Nah, Anda sudah
bisa menduga bukan? Ya. Pak Amil menggunakan Alokasi
Dana Desa (ADD). Solusi efektif dan sederhana bukan?!
Demikian juga saat pelaksanaan riset partisipatif dilakukan secara serentak di desa tersebut. Riset dimaksudkan untuk
mengidentifikasi pengetahuan dan kearifan lokal warga terkait
dengan seluk beluk ternak ayam. Siapa pelaku risetnya? Ya,
para penerima manfaat. Memang Bisa? Bisa. Minta bantuan
cucu atau anaknya yang sekolah untuk mencatat temuannya.
Formulir riset pun penuh dengan gambar-gambar dan
bahasa Indonesia campur Makassar. Unik, berantakan, namun
sangat informatif. Misalnya, Bodrex. Lha kok bisa, untuk apa?
Untuk mengobati ayam mencret. Ini tertulis di sini! Untuk
mengobati ayam yang tahinya putih, air minumnya dicampur
minyak tanah.
Biji pepaya.
Oh, untuk sakit perut ayam juga.
Cabut bulu pantatnya.
Untuk apa pula itu?
Hahaha, katanya untuk mempercepat bertelur.
Bulan Maulid Nabi.
Kenapa itu?
72

Sekdes Amil, Telur, dan Ayam

Waktu ayam-ayam paling banyak dipotong.


O....ooooo.
Kami membukukan hasil temuan tersebut, dan mendiskusikan praktik terbaik dari sekian resep unik, ajaib, dan luar
biasa dari model dan tata cara beternak ayam. Selanjutnya,
akan dijadikan model sistem ternak di Gunung Silanu.
Setelah membuang hasil riset yang tidak masuk akal
itu, belakangan kami malah semakin serius untuk mengembangkan model tersebut. Sebab beberapa hal yang sempat
kami tertawakan sebelumnya, justru mengandung fakta-fakta
terkait teknik peternakan modern.
Misalnya, mencabut bulu di pantat ayam. Di dunia
peternakan modern, teknik itu dikenal dengan nama teknik
moultingteknik efektif untuk merangsang pertumbuhan
hormon bertelur bagi ayam betina. Konon, telah dipatenkan
di luar negeri. Luar biasa dan ironis juga bukan?!
Beberapa kejutan yang inspiratif dan menjadi bahan
pembelajaran yang efektif juga terjadi di sepanjang program.
Saat ini, ada banyak kumpulan pengalaman, hasil progress
partner review, monitoringlengkap dengan dokumentasi
fotonya. Beberapa peternak ada yang melejit dan sangat
sukses, namun ada juga yang gagal.
Dari pusat data kelompok ternak yang dikomandoi Pak
Amil, rata-rata produksi telur per bulan pada triwulan ketiga
mencapai 2.000 butir telur dari 40 perempuan peternak.
Ia selalu rutin mencatatnya dari pintu ke pintu. Alasannya
sederhana. Sebagai Pemerintah Desa, saya merasa malu kalau
program ini gagal, katanya
Pak Amil mengambil inisiatif mengumpulkan satu demi
satu, kemudian didokumentasikan dengan rapi. Bahkan, saat
73

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

ini ia sedang membangun satu bangunan khusus sebagai


sekretariat dan pusat informasi bagi para perempuan peternak
dari Desa Gunung Silanu.
Ini akan menjadi pusat pembelajaran komunitasterutama untuk ternak ayam kampung. Kalau ini berhasil, tak
menutup kemungkinan program PNPM Peduli ini akan
menjadi cikal bakal Badan Usaha Milik Desa, jelasnya optimis.
***

74

1. 6

Mas Sayur, Pak Daniel,


dan Aku
Oleh
Dano Mochammad Rildwan Kafara
KAMUKI Community Foundation, Manokwari

Oh, betapa sulit hidup dan kehidupan penduduk Kampung


Tombrok, Sibiyonggub, dan kampung sekitarnya. Penghasilan
yang tidak seberapa dari hasil panen, habis hanya untuk
ongkos transportasi.

75

Mas Sayur, Pak Daniel, dan Aku

elasa, 24 Januari 2012. Jarum jam menunjukkan pukul


09.00 WIT. Suhu udara pagi di Kampung Tombrok, Distrik
Anggi Gida, Pegunungan Arfak, Papua Barat, mencapai 110
C. Terasa sangat dingin menusuk-nusuk kulit dan sumsum
tulangku. Kuhangatkan tubuhku di dekat api sisa bakaran
semalam. Namun tetap saja, suasana ini makin membuatku
enggan berpisah dari peraduan. Amboi
Tapi aku di sini bukan untuk pelesiran dan bermalas-malasan. Aku di sini untuk belajar bersama masyarakat di kampung Tombrok dan Sibiyonggub, demi kehidupan yang lebih
baik. Sinar mentari yang terbit membangkitkan kesadaranku.
Sebagai seorang Program Manager pada program PNPM
Peduli, tugasku adalah mengawasi dan mengikuti apa yang
dilakukan para pendamping lapangan ketika mereka memberikan pengarahan kepada masyarakat di kampung yang
memesona ini.
Ya, sangat memesona malah. Sebuah danau yang indah
membentang di hadapanku. Airnya tenang, biru kehijauan
laksana lazuardi, memantulkan warna langit seakan-akan
cerminan alam, dan bukit-bukit nan hijau mengelilinginya
laksana benteng pertahanan. Pantas saja masyarakat setempat
menyebutnya Anggi Gida, Danau Perempuan. Danau ini
begitu cantik, molek, udaranya segar belum tercemar polusi,
bak perawan yang belum terjamah oleh siapa pun. Indah

77

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

nian puncak Arfakku. Semoga keindahan ini tetap lestari,


gumamku dalam hati.
Ketika asyik mengagumi indahnya Gunung Arfak
dan pesona Anggi Gida, muncul dua orang warga
menghampirikuPak Daniel dan Yakobus.
Selamat pagi! ucap Pak Daniel saat berkunjung ke
gubuk kami.
Pagi Bapak, kabar baikkah?
Baik, Anak. Baru, torang jadi ke kebun to? Liat tong
pu sayur, sahut Pak Daniel mengajakku mengunjungi kebun
sayurnya. Ia tampak siap dengan pakaian kerja di ladang dan
sepasang sepatu kerjanya.
Torang atau tong adalah singkatan dari kita orang. Sedang
pu singkatan dari punya.
Udara dingin begini, tapi mereka seolah tak merasakannya, batinku. Ah, pastilah mereka sudah terbiasa, bahkan
untuk suhu yang lebih dingin dari ini. Kami pun berangkat
menuju ladang mereka yang jaraknya sekitar 100 meter dari
gubuk kami.
Di tengah perjalanan menuju ladang, mataku tertuju pada
sosok penjual bermotor yang menjajakan sembakodengan
jaket tebal, sepatu boot, serta barang dagangan yang menutupi
motornya. Aku tidak bisa membayangkan, bersepeda motor
di tengah terjalnya pegunungan, tikungan yang curam,
dan menyeberangi sungai dengan barang dagangan yang
begitu banyaknya.
Keberanian, kenekatan, ataukah kepiluan hidup yang
sedang ia jalani? Sungguh, pemandangan yang melukiskan
betapa kerasnya kehidupan yang harus ia jalani demi sesuap
nasi. Untuk menempuh perjalanan dari kota hingga kampung
78

Mas Sayur, Pak Daniel, dan Aku

ini, setidaknya dibutuhkan waktu 3-4 jam. Itu pun bila


ditempuh dengan kendaraan beroda empat.
Ya. Ini ada dan nyata. Walaupun harus melawan rintangan
yang berat, bahkan nyawa taruhannya. Masyarakat Anggi
Gidakhususnya Kampung Tombrok dan Sibiyonggub
sering memanggilnya Mas Sayur.
Tentang harga, jangan ditanya. Untuk satu liter minyak
goreng, warga harus membelinya dengan harga Rp25.000,
sebungkus mie instan Rp5.000, segenggam cabai Rp5.000,
sebungkus tempe Rp5.000, dan satu buah tahu Rp5.000.
Memang mahal, bisa dua-tiga kali lipat dari harga biasanya.
Tapi menurutku, itu sepadan dengan risiko yang harus
ditanggung Mas Sayur.
Jika aku yang menjual di daerah ini, mendaki gunung yang
begitu tinggi, belum lagi menyeberangi sungai dan jembatan
yang sebenarnya tidak layak untuk dilewati, pasti aku akan
memberikan harga yang sama atau bahkan lebih mahal.
Kubuyarkan lamunanku, dan segera menyusul rombongan
pendamping lapangan dan warga yang hendak ke ladang
pertanian. Setiap kali naik, aku dan para pendamping
lapangan biasanya menginap selama seminggu di daerah ini.
Tentu, aku dan pendamping menggunakan kendaraan roda
empatmasih mendingan dibandingkan Mas Sayur itu.
Dalam seminggu, Mas Sayur bisa dua kali melintasi
daerah pegunungan ini. Musim panen dan waktu pembagian
dana Otsus (Otonomi Khusus) menjadi patokannya untuk
menjajakan barang dagangannya. Pembagian dana ini bisa
mencapai Rp100 juta per kampung khusus bagi penduduk
asli Papua, yang biasa dibagikan pada hari Sabtu.

79

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

Bisa Anda bayangkan, berapa besar dan berapa banyak


para penduduk itu memperoleh uang. Saat itulah, Mas Sayur
muncul menjajakan barang dagangannya.
Dulu, sebelum ada dana Otsus, kampung ini memperoleh
hasil pertanian yang melimpah dari wortel, daun bawang,
kentang, dan kol yang menjadi primadona dataran tinggi.
Seiring berjalannya waktu, apalagi ada pembagian dana
Otsus, kegiatan bertani mulai ditinggalkan sebagian warga,
meski masih ada penduduk yang tetap bertahan dengan
pertanian mereka.
Dalam perjalanan menuju lahan kelompok tani itu, aku
juga bertemu anak berseragam Sekolah Dasar sedang asyik
memakan sebungkus mie yang dibelinyaObet namanya.
Obet panggilku sembari melihat apa yang ia beli.
Ko bli apakah? Macam enakkah? ujarku mendekatinya.
Trada, sa bli mie saja untuk sa makan to, jawab Obet
dengan cepatnya.
Baru kenapa ko makan begitu saja? tanyaku lagi.
Tra pake air juga enak mo, jawab Obet sambil memakan
mie yang baru saja dibeli dari Mas Sayur.
Baru setiap hari ko makan mie gitu sajakah? ucapku.
Trada kalo ada uang saja, baru sa bli to, lanjutnya.
Sa, singkatan dari saya. Su, singkatan dari sudah. Sedang
Tra atau trada, singkatan dari tidak atau tidak ada.
Kebiasaannya ini mengundangku untuk mendengar lebih
banyak lagi, apa benar kebiasaan memakan mie tanpa diolah
membuat orang di sini merasa kenyang atau sebaliknya. Belum
terpikirkan olehku tentang mie, pikiranku kembali pada Mas
Sayur. Aku masih memikirkan, apa yang dilakukan Mas Sayur

80

Mas Sayur, Pak Daniel, dan Aku

sungguh menggugah. Bagaimana jika ada penawaran barter


dengan masyarakat, bisa atau tidak?
Jika dihitung-hitung, keuntungan yang diperoleh Mas
Sayur bisa mencapai Rp500 ribu hingga Rp700 ribu per hari,
tergantung kebutuhan masyarakat kampung Tombrok dan
kampung sekelilingnya. Terkadang, ada masyarakat setempat
yang mengutang. Tentu, sebelumnya sudah ada perjanjian
yang disepakati antara Mas Sayur dan si pengutang akan
tempo pelunasannya.
Sekali lagi, aku harus menyusul pendamping lapangan
dan bapak-bapak yang sudah berangkat terlebih dulu.
Sesampainya di lahan pertanian, aku merasa senang melihat
hasil sayuranwortel, petsay (pak choy), kentang, bawang
daun, dan koltumbuh dengan subur. Bibit yang diberikan
pendamping lapangan mulai menampakkan hasilnya. Menurut
perkiraan, pada bulan Maret sudah bisa dipanen.
Bapa Daniel, sayur su bisa panen kapae? ucapku
menanyakan kapan sayuran sudah bisa dipanen di sela-sela
membersihkan rumput liar dari tanaman.
Bulan Maret baru bisa panen, sahut Pak Daniel.
Sambil bercanda dan membersihkan rumput-rumput yang
ada, kusempatkan bertanya. Bapa kalo bapa dong lihat Mas
Sayur tu, dia macam senang sekali e? ujarku menanyakan
kepada Pak Daniel, kenapa Mas Sayur kelihatan bahagia dan
sangat menikmati profesinya? Dong adalah singkatan dari
dia orang.
Mas sayur itu berjasa sekali, tong di kampung ni kalo beli
minyak goreng, minyak tanah, dan lainnya, tra usa turun lagi
ke kota, tong tunggu Mas Sayur saja, jadi tong di kampung
ni sangat terbantukan, sambut Pak Daniel.
81

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

Tidak berapa lama kemudian, Pak Yakobus mendatangi


pendamping sembari menunjukkan bahwa jumlah tanaman
sayuran banyak sekali, tetapi mereka kesulitan transportasi
dan siapa yang mau beli.
Untuk sekali angkut ke kota, per karungnya dihargai
Rp6.000 belum termasuk ongkos manusia sebagai penumpang.
Untuk sekali angkut, setidaknya memerlukan dana Rp2 juta,
dan kembali ke kampung sebesar Rp1,5 juta, karena tanpa
barang dagangan.
Oh, betapa sulit hidup dan kehidupan penduduk
Kampung Tombrok, Sibiyonggub, dan kampung sekitarnya.
Penghasilan yang tidak seberapa dari hasil panen, habis hanya
untuk ongkos transportasi.
Bapa Daniel, kalo Bapa dong jual ke kota untungkah
trada? ucapku pada Pak Daniel.
Sebenarnya tong mo bilang untungkah, tidakkah, tong tra
pernah tau. Sebab tong ke kota juga bayar mahal, trus tong
naik ke atas juga tong bawa uang tapi tidak banyak, paling
Rp200 ribu dari hasil jualan tu, jawabnya.
Dari situ, aku semakin tahu, betapa sulitnya mereka
harus menunggu kendaraan yang naik untuk mengangkut
barang-barang panenan mereka. Bapa Daniel, kalo Bapa
dong tukar barang dengan Mas Sayur dong maukah trada?
Sekali waktu aku pernah menanyakan itu pada Pak Daniel
saat santai.
Bisa, Anak. Cuma, kalo tong barter, tong rugi, dan kalo
tong angkut dengan ojek kapasitasnya sedikit, mana ongkosnya
Rp250 ribu ke kota Ransiki, jawabnya.
***
82

Mas Sayur, Pak Daniel, dan Aku

Waktu berlalu, tak terasa matahari sudah semakin meredup,


seolah mengisyaratkan ia sudah lelah menemaniku dari
pagi hingga sore inimenyusuri ladang pertanian bersama
pendamping dan masyarakat setempat. Udara sore ini terasa
dingin, hembusan angin gunung memberiku isyarat untuk
cepat kembali ke gubuk. Hari ini aku tidak bisa mandi,
dinginnya air pegunungan seperti membekukan tubuhku.
Menjelang malam, perapian mengajakku menghangatkan
diri. Tapi tetap saja, dinginnya malam mengalahkan perapian
yang membara. Pembelajaran yang aku petik hari ini
membuatku berpikir untuk memberikan yang terbaik bagi
saudara-saudaraku di Pegunungan Arfak ini. Betapa gigihnya
Mas Sayur, berbekal keinginan untuk maju, memberikan
sebuah motivasi tersendiri untuk bangkit melakukan yang
terbaik. Keuletan dan kegigihan sangat dibutuhkan petani di
kampung ini. Yang kupikirkan, bagaimana caranya mengubah
pola pikir masyarakat yang ada di pegunungan Arfak ini.
Sungguh, ini bukanlah segampang membalik telapak
tanganbukan kerja satu-dua hari. Butuh kerja ekstra keras
oleh semua pihak untuk bisa memberikan pemahaman bagi
mereka, demi kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat
Papua. Aku yakin, dengan niat baik, ketekunan, kesabaran,
melayani dengan hati, pasti masa indah itu akan tiba.
***
Seperti pada bulan-bulan sebelumnya, masyarakat sering kali
mengeluhkan tentang sulitnya transportasi untuk mengangkut
hasil panen ke kota. Artinya, upaya mendorong peningkatan
produksi hasil pertanian menjadi tidak berarti bila musim
panen tiba, mereka tidak tahu, harus didistribusikan kemana.
83

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

Torang sebenarnya bisa olah kebun yang lebih luas, tetapi


tong tidak bisa menjualnya. Mungkin pendamping dorang
bisa bantu jalan keluar untuk torang kah? Jadi torang bisa
dapat keuntungan yang lebih baik. Demikian ungkapan Pak
Daniel Towansiba di sela-sela kunjungan ke gubuk kami, saat
pendamping menanyakan niat dan keinginan meningkatkan
hasil produksi.
Memang, penjelasan ini sangat masuk akal, karena
dengan transportasi yang mahal dan susah, upaya peningkatan produksi menjadi kurang maksimal. Apalagi pola
cocok tanam dan penggunaan bahan-bahan pestisida alami
belum bisa diterima. Menurut mereka, cocok tanam masih
bisa dilakukan dengan proses tradisional yang diwariskan
secara turun-temurun.
Sampai saat ini, belum ada pembuktian untuk membandingkan hasil panen dari pengolahan satu komoditas pada
areal yang diberikan perlakuan jarak tanam yang baik dengan
yang tidak. Tentu, untuk memperolehnya diperlukan kajian
dan pengukuran setiap panen nantinya.
Masyarakat memang sudah menerima pola bercocok
tanam dengan metode pengaturan jarak tanam. Untuk
meningkatkan hasil panen, mereka belum mau menggunakan
pupuk organik dan pestisida organik. Mereka berpikir,
tanah di mana mereka berkebun masih cukup subur untuk
ditanami tanpa perlu dipupuk. Makanya, masyarakat tidak
menggunakan pupuk selama masa tanam hingga panen
tiba. Tentu, ini mengakibatkan hasil panen yang kurang
maksimalbaik secara kualitas maupun kuantitas.
Dalam strategi pengendalian hama, masyarakat masih
tetap pada pendiriannya, yakni menggunakan bahan-bahan
84

Mas Sayur, Pak Daniel, dan Aku

kimia. Pengendali hama seperti pastak atau yang sejenisnya


masih menjadi pilihan utama. Selain belum memercayai
khasiat pengendali hama alami, bahan yang tersedia di
sekitar mereka yang dapat dijadikan sebagai bahan dasar
juga masih sulit diidentifikasiseperti pengganti khasiat daun
atau buah sirsak.
Belajar dari Mas Sayur, kekuatan, kenekatan, dan keberanian melintasi rintangan, menjadi motivasi tersendiri bagi
kami para pendamping, untuk menjadikan Anggi Gida sebagai
sentra pertanian organik yang ada di Manokwari. Kalau perlu,
menjadi yang utama di Papua Barat.
Dengan motivasi inilah, kami akan selalu melintasi
rintangan dengan sumber daya seadanya untuk berbagi ilmu,
belajar bersama, memanfaatkan kekayaan sumber daya alam
dengan tetap berpegang pada etika lingkungan, menggali
kearifan lokal masyarakat setempat, berempati, berinovasi dan
melayani dengan hati, dan tetap semangatdemi kehidupan
yang lebih baik bagi saudara-saudaraku di Pegunungan Arfak.
***

85

1. 7

Mereka juga Bagian


dari Hidupku
Oleh
Mai Nia Wati
Yayasan Tanpa Batas (YTB), Kupang

Perasaan malu, hina, dan tak berharga memang terus


menggelayuti batinku. Tapi, aku hanya melupakan dan
mengabaikannya. Yang ada dalam benakku hanya bagaimana
mencukupi kebutuhan anak-anakku dan masa depan mereka.

87

Mereka juga Bagian dari Hidupku

amaku Mai Nia Wati. Teman-teman biasa memanggilku


Lia. Aku lahir di Jakarta, 34 tahun lalu, tepatnya pada
tanggal 13 Mei 1980. Aku dibesarkan dalam sebuah keluarga
yang ekonominya pas-pasan. Terlahir sebagai anak kelima
dari enam bersaudara, dua kakakku (kakak kedua dan kakak
ketiga) sudah dipanggil oleh Yang Mahakuasa.
Keadaan ekonomi keluargaku makin terpuruk semenjak
bapak wafat. Waktu itu umurku baru 6 tahun. Semua beban
kebutuhan keluarga berada di pundak ibuku. Beliaulah yang
sehari-hari bekerja membanting tulang menafkahi kami
sekeluarga. Kondisi inilah yang kemudian membuatku hanya
bisa sekolah sampai tamat Sekolah Dasar (SD).
Aku lalu menikah. Membangun bahtera keluarga yang
bahagia tentu saja menjadi idamanku bersama suami tercinta.
Tapi impian itu kandas di tengah jalan. Suamiku selingkuh
dengan seorang perempuan dari dunia malam yang bekerja di
sebuah bar di Jakarta. Rumah tangga kami hancur berantakan
dan aku pun bercerai dengannya.
Masa depan terlihat begitu berat di benakku. Betapa tidak,
sejak itu aku harus bisa menafkahi diriku sendiri, anak-anakku
yang masih kecil, dan juga ibu yang sudah semakin tua.
Aku mencoba dan berusaha mencari pekerjaan. Tapi, Jakarta
kelihatannya tidak begitu bersahabat dengan pengalaman dan
latar belakang pendidikanku yang hanya lulusan SD.

89

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

Tahun 2005, aku pergi ke Kupang NTT dengan harapan


bisa mendapat pekerjaan yang baik dan menghasilkan uang
yang cukup untuk keluarga. Namun, Jakarta maupun Kupang
rupanya sama saja sikapnya kepada orang berpendidikan
rendah sepertiku. Keduanya tak membuka peluang pekerjaan sedikit pun yang layak dan menghasilkan uang yang
cukup untukku.
Alhasil, aku memutuskan untuk bekerja apa saja.
Karenanya, aku tak bisa menolak ketika ditawari menjadi
purel di sebuah Bar dan Karaoke di Kota Kupang. Purel
adalah singkatan dari public relation. Tugasnya menemani
tamu-tamu yang berkunjung dan minum-minum di Bar dan
Karaoke. Terkadang, meski tak semua purel melakukannya,
kami tak hanya sekadar menemani di meja bar, tapi juga
harus siap melayani kebutuhan seks mereka di atas ranjang,
alias merangkap sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK).
Aku sadar pekerjaan itu negatif di mata masyarakat
umum. Tapi apa daya, aku hanya seorang wanita lulusan SD
yang harus berlomba dengan waktu dan tuntutan kebutuhan
hidup keluarga yang terus bertambah.
Perasaan malu, hina, dan tak berharga memang terus
menggelayuti batinku. Tapi, aku tidak bisa berbuat banyak
dengan semua perasaan itu selain melupakan dan mengabaikannya. Yang ada dalam benakku hanya bagaimana mencukupi
kebutuhan anak-anakku dan masa depan mereka. Aku tidak
ingin mereka putus sekolah dan mengalami hidup sepertiku.
Itulah yang menjadi kekuatan terbesarku hingga tetap bertahan
menjalani pekerjaan sebagai purel.
Maklum, risiko seorang purel bar dan PSK memang
harus selalu siap dipandang sebagai wanita murahan, baik
90

Mereka juga Bagian dari Hidupku

oleh pengunjung bar sendiri maupun masyarakat umum.


Tak jarang, saat bekerja, aku dan teman-teman seprofesi
mendapat perlakuan tak senonoh, pelecehan seksual, dan
tindak kekerasan dari tamu-tamu kami.
Tak sedikit pula dari kami yang diperlakukan tidak adil
ketika berurusan dengan hukum maupun ketika terlibat
permasalahan dengan orang-orang di luar kami. Ironisnya,
jangankan mendapat keadilan, untuk sekadar membela diri
pun kami sering tak tahu harus berbuat apa dan bagaimana.
Stigma sebagai wanita murahan, perusak rumah tangga
orang, sampah masyarakat, dan sumber petaka seolah tak
mungkin lagi memberi ruang kepada kami untuk mendapat
perlakuan adil di depan hukum dan diperlukan secara layak
di tengah-tengah masyarakat sebagaimana warga masyarakat
pada umumnya. Pengalaman salah satu temanku berikut ini
adalah buktinya.
***
Suatu ketika, teman sekerjaku sebagai purel ini mendapat
perlakuan kekerasan dari salah seorang pengunjung bar yang
ditemaninya. Teman ini pun mencoba mencari keadilan
dengan melaporkan tindakan tamunya itu ke aparat penegak
hukum. Namun ironis, bukan perlindungan dan keadilan yang
ia dapat, tapi justru makian, hinaan dan berbagai bentuk
pelecehan yang makin membuat hatinya pedih tersayat-sayat.
Kejadian itu tak ayal membuat dia trauma. Bahkan, dia
sempat bersumpah serapah tak akan pernah lagi datang dan
meminta keadilan atau perlindungan hukum kepada aparat
berwajib mana pun. Sebagai teman, aku hanya bisa melihat
semua itu dengan hati miris dan iba tanpa bisa berbuat
91

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

apa pun selain berharap agar hal itu tak menimpaku di


kemudian hari.
Itu adalah sebagian kecil risiko yang harus kami terima.
Lebih parah lagi, masyarakat pun sepertinya tak pernah sudi
berpihak pada kami. Cap sebagai wanita perusak rumah
tangga orang benar-benar sudah sangat kuat melekat di benak
khalayak umum. Padahal, bila dipikir-pikir, kami tak pernah
mengundang atau mendatangi rumah-rumah mereka untuk
menawarkan jasa kami, melainkan suami-suami merekalah
yang datang dan menggunakan jasa kami.
Saking buruknya stigma yang kami sandang, tak jarang
sekelompok masyarakat pun tak percaya bila kami ini
masih memiliki kerinduan pada agama dan keinginan untuk
menjalankan segala ajaran kebaikannya. Hal seperti ini
pernah terjadi di depan mataku ketika salah satu teman purel
yang kebetulan satu kos dan penganut Kristiani ini hendak
berangkat mengikuti kebaktian di gereja.
Waktu itu hari Minggu. Pagi-pagi sekitar jam 07.00
WIT dia sudah bersiap-siap menenteng Alkitab dan hendak
berangkat ke gereja. Namun, baru saja ia melangkah keluar
dari pintu kos sudah terdengar cemooh dari beberapa tetangga
yang melihatnya. Huh... munafik, hari Minggu begini pergi
ke gereja, tapi malamnya keluyuran, ucap mereka.
Mendengar perkataan itu temanku sontak menghentikan
langkahnya, lalu bergegas lari menuju ke kamar kosnya
kembali seraya menitikkan air mata. Di kamarnya, tangisnya
pecah. Ternyata tempatku bukan di gereja tapi di bar!
serapahnya sambil terus menangis tersedu-sedu tiada henti.
Bahkan, saat itu aku sempat mendengarnya berceloteh untuk
tidak akan pernah bertobat lagi.
92

Mereka juga Bagian dari Hidupku

Kejadian seperti baru sepotong saja dari sekian banyak


penderitaan yang kami rasakan. Selain berhadapan dengan
tekanan psikis yang selalu datang bertubi-tubi seperti itu,
pekerja seks seperti kami ini juga rentan tertular Infeksi
Menular Seksual (IMS). Apalagi, banyak PSK seperti aku
ini yang berpendidikan rendah sehingga kurang mengerti
bagaimana mencegah dan mengobati penyakit-penyakit
tersebut dengan baik dan benar.
Memang, mami (baca: koordinator sejumlah PSK) kami
biasanya membawa teman-teman yang sakit ke dokter untuk
diperiksa dan diberi pengobatan seperlunya. Namun, ada
pula teman-teman hanya mengonsumsi obat-obat tertentu
yang sebenarnya kami tidak tahu persis efek dan kegunaan
obat tersebut.
Nah, ketidaktahuan dan minimnya pengetahuan soal
kesehatan itulah yang selama ini menyebabkan teman-teman
seprofesiku mengalami penyakit gangguan organ reproduksi.
Bahkan, ada pula yang sampai terkena kanker mulut rahim.
Melihat semua itu, kadang aku termenung, lalu berpikir
untuk beralih pekerjaan. Aku yakin, teman-teman PSK lain
pasti juga punya keinginan seperti itu dan mencari pekerjaan
lain yang lebih layak dan terhormat. Namun, kami selalu
dihantui rasa tak percaya diri dengan rendahnya tingkat
pendidikan kami. Bahkan, ada sebagian PSK yang justru tak
pernah sekalipun duduk di bangku sekolah.
Bersamaan dengan itu, beban-beban kebutuhan keluarga
yang harus kami cukupi pun membuat kami tak berani
berspekulasi. Boleh dibilang, kami seperti telah terkunci
dengan profesi ini, sehingga harus menjalaninya sampai tak

93

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

ada lelaki yang sudi memanfaatkan jasa kami. Itu pula yang
terjadi padaku.
***
Setelah kontrak kerjaku dengan karaoke dan bar di Kupang
itu habis, aku mencoba mencari pekerjaan lain. Tapi, lagi-lagi
tawaran yang tersedia adalah jenis pekerjaan yang sama, yaitu
menjadi purel di salah satu bar di Kabupaten Belu-Atambua,
sebuah kabupaten di NTT yang berbatasan langsung dengan
negara Timor Leste.
Meski begitu, aku cukup bersyukur, karena di tempat
kerja baru ini aku murni hanya sebagai purel, alias tidak
pernah sampai melayani tamu ke ranjang. Beberapa waktu
kemudian aku diangkat oleh bos pemilik bar itu menjadi
seorang mami dikarenakan hasil kinerjaku dia nilai baik.
Tugasku sebagai mami adalah menjaga dan memenuhi
kebutuhan teman-teman pekerja yang lain, baik itu kebutuhan makan, rekreasi, bahkan sampai pada keamanan dan
kenyamanan mereka. Berbekal pengalaman sebagai purel
selama bertahun-tahun, membuat aku sangat mengerti apa
yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh seorang
mami. Intinya, apa yang tidak enak dan tidak nyaman bagiku
dahulu pasti juga demikian pula buat mereka. Karena itulah
aku selalu mencoba berbuat yang terbaik untuk mereka
dan memperjuangkan hak-hak yang memang sepantasnya
mereka dapatkan.
Namun, baru beberapa lama aku menikmati pekerjaan itu
sebuah godaan datang menerpa. Prinsipku untuk benar-benar
hanya sebagai purel tiba-tiba runtuh ketika berkenalan dengan
seorang laki-laki yang begitu baik. Dia adalah seorang tentara
94

Mereka juga Bagian dari Hidupku

penjaga perbatasan dengan pangkat kapten. Aku melihatnya


begitu menyayangiku. Bahkan, saking sayangnya dia sampai
rela dicemooh dan dihina teman-temannya dikarenakan
hubungannya denganku.
Hatiku benar-benar luluh dengan semua kebaikannya itu,
sehingga aku pun tak kuasa menolak setiap kali dia meminta
untuk melakukan hubungan ranjang dengannya. Singkat
cerita, karena rasa percaya dan sayangku padanya, akhirnya
aku memutuskan untuk menikah dengannya secara resmi di
mata hukum dan agama.
Setelah pernikahan itu, aku berhenti dari pekerjaanku.
Segala risiko sudah aku pertimbangkan, termasuk hilangnya
pendapatan yang selama ini aku gunakan untuk memenuhi
kebutuhan keluargaku. Aku memilih hidup seadanya dengan
laki-laki pilihanku ini demi bisa hidup normal dalam pandangan masyarakat.
Tapi, harapan itu hanya menjadi mimpi belaka.
Masyarakat sekitarku tetap saja memandangku sebagai wanita
murahan, tak bermartabat dan tak pantas hidup berbaur
dengan mereka. Stigma itu begitu kuat melekat pada diriku
meski aku sudah tak lagi bekerja sebagai purel. Ironisnya,
mereka pun tak mau tahu kalau aku tidak pernah melakukan
apa yang mereka tuduhkan padaku.
Aku mencoba tetap tegar hingga akhirnya sebuah prahara
datang menerpa pernikahan keduaku ini. Suamiku yang
selama ini begitu menyayangi dan mencintaiku tiba-tiba pergi
meninggalkanku dan si kecil hasil perkawinanku dengannya.
Padahal, saat itu buah hati kami yang kebetulan perempuan
itu baru menginjak usia 6 bulan. Yang membuatku lebih
sedih, dia pergi tanpa kuketahui alasannya sampai saat ini.
95

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

Aku sempat berusaha memperjuangkan hak-hakku


dan juga hak-hak anakku itu lewat jalur hukum. Namun,
Pengadilan Militer ternyata memutuskan suamiku tak bersalah
dan tidak harus bertanggung jawab apa pun pada kami. Aku
tak bisa berbuat banyak dengan keputusan itu. Jangankan
menuntut hak, diakui sebagai istri yang sah saja tidak bisa.
Bahkan, di pengadilan itu terdengar beberapa orang mencemoohku. Dasar pelacur, bisanya menggoda dan merusak
hidup laki-laki saja, demikian kata salah seorang dari mereka.
Perasaanku benar-benar tercabik-cabik. Kemarahan dan
kepedihan terus bergulat di dalam batinku tanpa pelampiasan.
Walhasil, aku pun tak kuasa menahan kebencianku terhadap
diriku sendiri. Aku kehilangan arah dan kendali, sehingga
hari-hariku pun habis untuk bermabuk-mabukan dengan
minuman keras. Bahkan, aku sampai lupa dengan tanggung
jawabku sebagai seorang ibu yang harus merawat, mengasuh,
dan mendidik anakku yang masih kecil dan butuh perhatianku.
Singkat cerita, akhirnya aku kembali menjerumuskan diri
dalam jurang dunia hitam yang lebih kelam. Aku menjadi
seorang PSK dan mangkal di sebuah bar kecil di pinggiran
kota. Aku menjual tubuhku kepada para lelaki hidung belang
untuk melupakan semua sakit hati. Aku begitu senang ketika
bisa membuat seorang laki-laki tergila-gila padaku. Apalagi,
kalau ada yang mengejar-ngejarku dan kemudian keluarganya
berantakan gara-gara laki-lakinya menyukaiku.
Parahnya, semua itu aku jalani dengan kesadaran,
bahkan berbalut dendam. Seolah-olah aku ingin membalas
dendam kepada masyarakat yang selama ini mencibirku dan

96

Mereka juga Bagian dari Hidupku

tak mau menerima diriku untuk berbaur secara normal di


tengah-tengah mereka.
***
Tak terasa, hampir dua tahun aku menjalani hidup yang
kelam itu. Aku bahkan tidak tahu lagi bagaimana cara untuk
bisa keluar dari jurang tersebut. Hari demi hari kuhabiskan
untuk menjual diri dan berpindah dari pelukan satu lelaki
ke lelaki lain. Demikian itu terus berjalan hingga akhirnya
aku berkenalan dengan seorang teman dari sebuah Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) yang sangat konsen memberikan
pendampingan dan pembinaan kepada para PSK, gay, dan
waria di Kota Kupang, khususnya untuk penanggulangan
HIV dan AIDS.
Suatu hari, teman tersebut mengundangku untuk mengikuti sebuah pelatihan penanggulangan HIV dan AIDS para
bagi pekerja seks di kota Kupang. Pesertanya ternyata sangat
banyak. Dari situ aku baru tahu kalau ternyata aku bukan
satu-satunya wanita pekerja seks dengan latar belakang
pendidikan yang rendah serta mempunyai masalah hidup
yang berat dan rumit. Aku pun banyak berkenalan dengan
kawan-kawan PSK lain yang lebih berat penderitaannya
daripada yang kualami.
Pada pelatihan itu kami mendapat pelajaran tentang
bagaimana cara melindungi diri dari IMS, HIV dan AIDS.
Kami juga disadarkan tentang pentingnya mengontrol dan
memelihara kesehatan, khususnya alat reproduksi kami
yang selalu terancam dan penuh risiko karena bergantiganti laki-laki.

97

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

Selain itu, kami juga mendapat banyak pengetahuan


baru soal hak-hak kami sebagai perempuan, baik dari negara
maupun masyarakat. Kami pun menjadi tahu apa yang harus
kami lakukan apabila mendapat pelecehan dan kekerasan di
saat bekerja. Pengetahuan-pengetahuan ini pun membuat aku
tersadar bahwa pekerjaanku selama ini tidak hanya berisiko
untuk diriku sendiri tetapi juga masa depan anak-anakku.
Berbekal semua itu, akhirnya aku terlibat aktif sebagai
aktivis pendamping PSK di bawah koordinasi Yayasan Tanpa
Batas, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Kota
Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang konsen menangani
isu-isu berhubungan dengan kesehatan reproduksi, Infeksi
Menular Seksual (IMS), Human Immunodeficiency Virus
(HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS).
Kemudian, sembari aktif dalam berbagai kegiatan YTB,
aku bersama beberapa kawan pendamping membentuk sebuah
organisasi yang beranggotakan para pekerja seks jalanan di
Kota Kupang, NTT. Mereka adalah para PSK yang biasa
beroperasi di jalanan atau di luar lokalisasi-lokalisasi yang legal.
Organisasi tersebut kami beri nama KOMPAK
(Komunitas Perempuan Kota Kupang). Aku sendiri di dalamnya dipercaya sebagai sekretaris. Sebagian besar anggotanya
adalah para PSK asli NTT dari beragam suku. Ada yang
berasal dari Rote, Sabu, Alor, Sumba, Timor, maupun Flores.
Organisasi ini kami dirikan sebagai wadah untuk bersama-sama memperjuangkan hak-hak kami sebagai warga
negara. Untuk mewujudkan hal itu, kami banyak bekerjasama
dengan mitra-mitra kami yang terdiri dari LSM-LSM yang
bergerak menangani isu-isu perempuan dan sejumlah lembaga
hukum lainnya.
98

Mereka juga Bagian dari Hidupku

Dengan bantuan mereka inilah kami terus menyuarakan


aspirasi dan memperjuangkan hak-hak kami yang terlanggar.
Bila ada teman mendapat perlakuan tidak adil dari seseorang
saat bekerja misalnya, kami turun langsung mendampingi
kawan tersebut untuk mendapatkan keadilan. Sebagai contoh,
bila ada teman terkena razia dan mengalami pelecehan
maka kami pun turun mendampinginya untuk mendapatkan
perlindungan hukum. Bahkan, tak jarang kami juga ikut
mengawalnya sampai ke proses pengadilan.
Namun, tak ada gading yang tak retak. Di organisasi
tersebut terjadi dinamika yang membuat aku harus mengundurkan diri dari kepengurusan. Meski demikian, bukan
berarti aku berhenti berjuang. Aku bergabung dengan
organisasi baru bernama Organisasi Perubahan Sosial
Indonesia (OPSI). Organisasi ini merupakan organisasi yang
beranggotakan seluruh pekerja seks termasuk gay dan waria
dari seluruh Indonesia. Kepengurusannya ada di tiap provinsi
dan kabupaten/kota.
Aku sendiri dipercaya sebagai ketua OPSI NTT sejak
awal bergabung sampai sekarang (2102). Melalui organisasi
inilah aku melanjutkan perjuangan untuk membela hak-hak
kawan-kawan PSK dengan beragam persoalannya.
Ada sejumlah kemajuan yang berhasil kami raih
dalam perjuangan mendampingi para PSK di Kupang.
Misalnya, sudah ada kerjasama dan koordinasi antar pihak
Kepolisian, Satpol PP, dan sejumlah LSM Peduli HIV,
serta Komisi Penanggulangan AIDS dalam penanganan
prostitusi di Kota Kupang. Paling tidak, dengan adanya
kerjasama dan kesepahaman tersebut beberapa hak kami
terlindungi, meski masih ada saja oknum-oknum tertentu
99

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

yang mengatasnamakan organisasi/instansi untuk melakukan


hal-hal yang tidak sewajarnya terhadap para PSK.
Semangatku untuk memperjuangkan hak kawan-kawan
PSK ini pun kian membara ketika aku diterima bekerja di
Yayasan Tanpa Batas (YTB). Aku tak pernah menyangka bisa
hidup seperti saat ini. Sebab, aku hanya berijazah SD.
Alkisah, entah atas dasar apa tiba-tiba YTB waktu itu
menawariku bekerja sebagai Staf Penjangkau untuk pekerja
seks di Kota Kupang. Awalnya ada rasa canggung untuk
bekerja di YTB. Sebab, aku tidak punya ijazah sarjana dan
hanya punya ijazah SD. Namun, setelah salah satu staf di
YTB itu meyakinkan kalau aku pasti mampu, maka aku pun
berani menerima tawaran pekerjaan ini.
Berbagai pengalaman pahitku selama menjadi PSK pun
menambah semangat dan tekadku untuk menerima pekerjaan
tersebut. Dengan pekerjaan ini, aku ingin menyelamatkan
teman-teman PSK dari berbagai macam penderitaan seperti
yang pernah kualami dahulu. Aku ingin mereka tetap
mendapatkan hak-hak mereka dan terjaga kesehatan organ
reproduksi mereka.
Lebih dari itu, dengan pekerjaan ini aku berharap bisa
memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa tidak ada
seorang pun dari kami yang pernah bercita-cita ingin menjadi
pekerja seks. Tentu saja banyak faktor yang membuat kami
akhirnya harus memilih jalan hidup menjadi PSK. Intinya,
rata-rata kami ini adalah korban. Yakni, korban dari keterbatasan pendidikan, kekerasan seksual, penipuan, kekerasan
dalam rumah tangga, dan juga keterdesakan ekonomi.

100

Mereka juga Bagian dari Hidupku

Dengan semua idealisme itu, aku kian tak canggung lagi


menjalankan tugas-tugasku sebagai seorang Staf Penjangkau
dengan segala tantangan dan hambatannya. Beragam kisah
suka dan duka yang kualami pun membuatku semakin
mencintai pekerjaan ini.
Kadang kala aku harus berdebat, bersitegang dan adu
argumen dengan aparat-aparat yang aku hadapi saat mendampingi teman-teman PSK yang terkena masalahmulai
tindak pelecehan, kekerasan sampai penahanan dan lain
sebagainya. Namun, justru dengan semua itu mereka kini
menjadi salah satu partner kerjaku yang senantiasa bisa menjadi tempat berkonsultasi dan sharing atas masalah-masalah
yang mendera mereka.
Setelah dua tahun bekerja sebagai Staf Penjangkau di YTB,
pengetahuanku tentang kesehatan keproduksi (Kespro), IMS,
HIV dan AIDS semakin banyak. Hal itu membuatku makin
percaya diri dan semakin menikmati pekerjaan sebagai staf
penjangkau. Aku juga makin merasakan bahwa kawan-kawan
PSK itu bukan sekadar bagian dari pekerjaanku, tetapi mereka
adalah bagian dari hidupku.
Di tengah-tengah semua itu, ada lagi satu hal yang
membuatku makin bangga dengan pekerjaan ini. Yakni,
sapaan dari orang-orang di sekitarku dan kawan-kawan PSK
yang selalu memanggilku Bu Lia. Sapaan ini tentu saja
membuatku bangga, karena hal itu bermakna bahwa mereka
tidak lagi memandangku dari sisi kelamku, akan tetapi karena
aku adalah orang yang layak untuk disapa.

101

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

Lebih dari itu semua, aku pun sangat bersyukur. Sebab,


sekarang aku telah keluar dari jurang kegelapan masa lalu
hidupku dan bisa membesarkan anak-anakku dengan bangga
sebagai seorang ibu yang diterima secara layak di tengahtengah masyarakat.
***

102

1. 8

AIDS Bukanlah Akhir


dari Segalanya
Oleh
Wilhelmus Bulu Manu
Yayasan Tanpa Batas (YTB), Kupang

...orang yang positif HIV/AIDS tidak menjadi masalah kalau


menikah. Aku pun berdoa agar dipertemukan dengan jodohku.
Tuhan pun mengabulkannya. Aku ingin membuktikan bahwa
yang terinfeksi HIV juga bisa menikah dan punya keturunan.

103

AIDS Bukanlah Akhir dari Segalanya

amaku Wilhelmus Bulu Manu. Aku dibesarkan di satu


kabupaten hasil pemekaran di Nusa Tenggara Timur,
yakni Kabupaten Sumba Barat Daya. Demi kehidupan yang
lebih layak, aku mengadu nasib ke Batam. Aku bekerja sebagai
sopir di perusahaan swasta yang bergerak di bidang redemix.
Karena perusahaan ini mempunyai cabang di beberapa
provinsi, sebagai sopir tentunya aku lebih banyak di jalan
daripada di kantor.
Dengan penghasilan yang lumayan, apalagi jauh dari
keluarga, aku melewatkan hari-hariku hanya untuk bersenang
-senang. Tak terasa, aku telah terjerumus dalam kehidupan
seks bebas dan kecanduan narkoba. Aku benar-benar tak
peduli dan tak mengerti akan kesehatan reproduksi, Infeksi
Menular Seksual (IMS), apalagi yang namanya HIV dan AIDS.
Prinsipku, selagi masih muda, nikmatilah sepuas-puasnya.
Singkat cerita, sekitar tahun 2007, perusahaan mendapatkan tender proyek di Brunei Darussalam. Dari sekian banyak
karyawan, aku mendapat kepercayaan untuk berangkat ke
Brunei. Untuk itu, aku harus melengkapi dokumensalah
satunya pemeriksaan kesehatan. Pemeriksaan ini hanya
bisa dilakukan di klinik Medical Center Surabaya sebagai
satu-satunya klinik yang direkomendasikan pemerintahan
Brunei Darussalam.
Pada tanggal 27 Juni 2007, kami berangkat ke Surabaya untuk melakukan pemeriksaan. Dua hari setelah itu, pengambilan
105

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

sampel darah dilakukan untuk diperiksa di laboratorium.


Aku tidak begitu mengkhawatirkannya, karena aku merasa
baik-baik saja, tubuhku sehat dan segar bugar.
Saat mengambil hasil tes, dokter memvonis aku positif
terinfeksi HIV. Bagai disambar petir di siang bolong, aku
lunglai tak berdaya. Seolah dunia telah runtuh, hidup terasa
tidak ada gunanya lagi, dan yang ada dalam pikiranku hanyalah
mati mengenaskan.
Sebagai pemeriksaan lanjutan, dokter menganjurkan
untuk kembali ke Kupang. Dia bilang, saat ini sudah ada
obat yang bisa menyembuhkan HIV. Padahal, setahuku, HIV/
AIDS belum ditemukan obatnya.
Daripada pulang ke kampung halaman membawa aib,
ingin rasanya aku segara mengakhiri hidup ini. Apalagi
ayahku seorang guru agama di gereja, kakakku juga ada
yang menjadi biarawati. Namun tak ada pilihan lain, dengan
perasaan yang tidak keruan, aku pun memutuskan pulang ke
Kupang. Oh, Tuhan...
***
Pada tanggal 31 Juni 2007, aku tiba di Kupang dengan membawa hasil pemeriksaan dari klinik Medical Center Surabaya
dan rujukan dari dokter untuk melakukan pemeriksaan di
RS. Prof. W.Z. Johannes, Kupang.
Kemudian, aku beranikan untuk menunjukkan hasil
pemeriksaan itu kepada adik bungsuku. Ternyata tidak ada
penolakan sedikit pun darinya, dia malah memelukku dengan
candaan, seperti tidak ada masalah sama sekali. Tindakan itu
dapat mengelabui saudara yang lain, sehingga tidak ada yang
curiga kalau aku sudah terinfeksi HIV.
106

AIDS Bukanlah Akhir dari Segalanya

Keesokan harinya, kami berencana untuk ke rumah


sakit, meski belum mengetahui di mana klinik VCT yang
dimaksudkan dokter di Surabaya. Setelah mendaftar di loket
RS. Prof. W.Z. Johannes, kami pun menanyakan lokasi klinik,
tapi petugas loket tidak mengetahuinya.
Keadaan ini membuat kami semakin bingung, dan ke
mana kami harus mencarinya. Kebetulan saat itu ada seorang
petugas kebersihan yang mendengar. Dia menghampiri kami,
dan dengan senang hati mengantar ke klinik VCT.
Setelah menunjukkan surat rujukan dari klinik Medical
Center Surabaya, petugas klinik VCT mempersilakan kami
masuk ke ruang konseling. Sambil bercerita dan menanyakan
tempat asal dan kerja di mana, petugas mulai bertanya
tentang kejelasan nonreaktif atau reaktif, sudah dijelaskan
dokter atau belum, sekaligus menjelaskan tentang prosedur
tes yang harus dilalui.
Setelah diskusi panjang, aku minta tes ulang untuk memastikan dan diagnosa lanjutan. Pemeriksaan laboratorium pun
dilakukan. Sambil menunggu hasil, kami bercerita lepas untuk
menghilangkan kecemasan dan ketakutanku. Tidak beberapa
lama kemudian, hasil sudah diantar petugas laboratorium.
Hasilnya sama: reaktif atau positif HIV.
Dengan putus asa, aku langsung menangis dan tidak
bisa berkata apa-apa. Aku hanya bisa menangis, menangis
dan menangis di hadapan konselor. Ketika adikku masuk,
tangisanku semakin menjadi-jadi. Semua perasaan campur
aduk: antara marah, sedih, sakit hati, merasa bersalah, dan
lain sebagainya. Tentu dia sudah tahu arti tangisanku itu. Dia
memelukku, Kakak jangan takut, Kakak harus kuat, adikmu

107

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

ini akan tetap ada di samping Kakak dalam kondisi apa pun,
katanya menguatkanku.
Selanjutnya, konselor menganjurkan untuk bertemu
dengan teman-teman lain yang akan melakukan pendampingan lanjutan, yakni mereka yang terinfeksi HIV dan saat
ini menjalani terapi ARV (Anti Retro Viral). ARV adalah
obat untuk menahan laju perkembangan virus sehingga tidak
berkembang. Memang tidak bisa membunuh virus, namun
minimal bisa menekan perkembangannya sehingga kekebalan
tubuh tetap terjaga.
Tanpa pikir panjang, kami langsung mengontak teman
pendamping yang dimaksudkan konselor. Karena suasana
sedikit mencair, sambil bercanda konselor berkata, Kamu
pasti tidak percaya kalau teman pendamping ini terinfeksi
HIV. Dia gemuk sekali dan perutnya juga buncitseperti
orang hamil delapan bulan yang siap melahirkan.
Suasana semakin mencair dengan cerita-cerita di luar
masalah HIV/AIDS. Datanglah pendamping ini, dan benar
saja apa yang disampaikan konselor. Aku tidak percaya kalau
dia positif HIV, karena keadaan teman ini benar-benar gemuk.
Sewaktu bersalaman, tanpa rasa sungkan dan canggung,
dia langsung memelukku. Dia bilang, sejak tahun 2004 telah
terinfeksi HIV, dan tetap sehat karena terapi ARV, sambil
menunjukkan obat ARV yang dia minum. Suasana semakin
mencair. Aku merasa tidak sendirian, bersama dengan
orang-orang yang siap menemani dan mendukungku.
***
Setelah beberapa saat berdiskusi, kami diajak ke tempat mereka
berkumpul. Mereka tergabung dalam sebuah organisasi yang
108

AIDS Bukanlah Akhir dari Segalanya

bernama Flobamora Support. Organisasi ini merupakan


bentukan Yayasan Tanpa Batas, yang mendorong teman-teman
ODHA (Orang Dengan HIV dan AIDS) untuk bersama-sama
melakukan upaya-upaya penanggulangan HIV/AIDS.
Setibanya di Flobamora Support, sudah ada beberapa
teman di sana. Mereka menyambut kami dengan penuh persaudaraan. Kami berkenalan, lalu berbagi cerita pengalaman
baik tentang perlakuan di rumah, lingkungan, maupun di
tempat kerja. Kisah teman-teman ini benar-benar menguatkanku. Kemudian, aku memutuskan untuk bergabung dengan
organisasi ini.
Setelah cukup puas dengan beberapa informasi, kami
pamit pulang. Untuk sementara, aku dan adikku bersepakat,
jika orang rumah menanyakan penyakitku, kami akan
menjawab cuma sakit biasa, karena kecapekan, dan harus
banyak istirahat.
Sejak itu, aku menjadi sedikit pendiam, banyak mengurangi bercengkerama dengan keluarga dan teman-teman.
Karena terlalu banyak mikir, aku menjadi stres, apalagi sudah
tidak memiliki pendapatan bulanan alias pengangguran.
Kondisi fisikku semakin menurun, dan akhirnya jatuh sakit,
ditambah lagi nafsu makan yang berkurang drastis, dan diare
yang berkepanjangan.
Melihat kondisi ini, keluarga sedikit panik dan langsung
membawa ke rumah sakit untuk rawat inap. Hampir satu
minggu aku mendapatkan perawatan sehingga kondisiku bisa
pulih, dan aku diperbolehkan pulang dengan saran dokter
untuk melakukan rawat jalan.
Namun, kondisi ini tidak bertahan lama. Aku drop lagi,
bahkan mulai timbul luka-luka di mulut dan kulit. Luka-luka
109

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

itu yang membuatku semakin takut, langsung drop, dan masuk


rumah sakit lagi. Artinya, sudah tiga kali aku keluar masuk
rumah sakit. Dalam kondisi seperti ini, teman-teman dari
Flobamora Support hampir setiap hari datang berkunjung,
dan memberi motivasi untuk tetap kuat.
Tentu, adikku selalu ada dan siap merawat, menjaga,
menyuapi makanan, apalagi aku tidak bisa lagi berjalan ke
kamar mandi. Jadi, buang air kecil dan besar pun adikku
yang menggendong ke kamar mandi. Bahkan, tanpa rasa jijik
sama sekali, dia membersihkan badanku.
Sekali waktu, aku bertanya kepadanya, Apakah kamu
tidak takut dengan status kakak seperti ini? Kamu sendiri tidak
mau menggunakan sarung tangan sebagai pelindung. Adikku
menjawab, Kenapa aku harus takut. Kalau takut, pasti aku
sudah tinggalkan Kakak sejak dari dulu. Kita dilahirkan dari
rahim yang sama. Jadi, aku tidak pernah menyesal merawat
Kakak, jawaban itu benar-benar membuatku tersentuh.
Suatu hari, ada teman yang datang berkunjung, bersamaan
dengan kakak perempuanku yang setiap hari mengantarkan
makanan buat adikku. Ia mulai curiga, dan menanyakan
kepada teman dari Flobamora Support itu, apa hubungan dia
dengan diriku. Secara spontan dia menjawab sebagai teman
selama di Batam.
Tapi kakakku tidak percaya, masa adikku baru datang kok
sudah ada teman di sini. Dengan nada tegas kakak bertanya,
Jangan-jangan kamu ada sembunyikan sesuatu tentang
adikku? Dalam kondisi tertekan, ia pun menyampaikan
penyakit yang sebenarnya aku derita.
Mendengar hal itu, kakak mulai meneteskan air mata
sambil memelukku dengan penuh kasih. Saat itu juga kakak
110

AIDS Bukanlah Akhir dari Segalanya

langsung menghubungi semua saudara-saudaraku. Inilah


yang paling aku takutkan, terutama kakak sulungku. Kalau
dia datang, apa yang akan dia lakukan terhadap diriku. Aku
pasrah sudah.
Tak lama waktu berselang, semua saudara-saudaraku
langsung berdatangan. Namun kenyataan berbalik 180 derajat.
Bukannya marah, mereka malah memeluk dan menciumiku
sambil memberi tanda salib di dahiku. Begitu juga dengan
kakak sulungku. Dalam agama Katolik, tanda salip yang
diberikan orang yang lebih tua berarti lambang kemenangan
Tuhan Yesus. Mereka pun menitikkan air mata.
Akhirnya, kondisi kesehatanku perlahan mulai normal,
dan diperbolehkan pulang untuk menjalankan rawat jalan
sambil mengonsumsi obat ARV. Aku berjanji pada diri
sendiri untuk menunjukkan kepada saudara-saudaraku bahwa
pengorbanan mereka tidak sia-sia, baik biaya pengobatan,
waktu, maupun tenaga.
***
Singkat cerita, aku mulai menjalani kehidupanku dengan lebih
optimis. Selain itu, dukungan teman-teman dari Kelompok
Dukungan Sebaya (KDS) menjadi motivasi tersendiri bagiku.
Ketika pemilihan koordinator KDS yang baru, aku pun
terpilih karena suara terbanyak dari pemungutan suara yang
dilakukan terhadap semua anggota.
Aku menerima amanat itu, meski belum memiliki
pengetahuan bagaimana cara mendampingi Orang Dengan
HIV dan AIDS (ODHA). Namun dengan kemauan tinggi,
aku beranikan untuk terus melakukan yang terbaik. Apalagi
aku yang sekarang ini bukan atas kemampuanku, melainkan
111

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

atas bantuan dan dukungan teman-teman yang lebih dulu


menderita HIV/AIDS.
Sambil mendampingi teman-teman, aku belajar tentang
cara penularan HIV/AIDS. Aku mulai sadar bahwa HIV/AIDS
bukan akhir dari segalanya, melainkan aku harus bangkit.
Dari situ aku mulai tahu, orang yang positif HIV/AIDS
tidak menjadi masalah kalau menikah. Aku pun berdoa agar
dipertemukan dengan jodohku. Tuhan pun mengabulkannya.
Aku ingin membuktikan bahwa yang terinfeksi HIV juga bisa
menikah dan punya keturunan.
Hampir selama tiga tahun aku menjalin cinta dengan
seorang gadis, yang kemudian aku nikahi pada tanggal 29 Juni
2007, tanggal di mana aku divonis terinfeksi HIV. Dengan
mengambil tanggal ini, aku bersama istri bisa merayakan
dua hal bersejarah dalam hidupku, yaitu tanggal di mana
aku divonis terinfeksi HIV dan ulang tahun pernikahan
kudus kami.
Namun, seminggu setelah menikah aku jatuh sakit lagi,
hampir lima bulan lamanya. Setelah sembuh dari sakit, aku
mendapatkan informasi bahwa di Yayasan Tanpa Batas membutuhkan staf. Maka aku pun melamar, karena lembaga ini juga
memiliki program penanggulangan HIV/AIDS di Kupang,
sangat nyambung dengan misiku secara pribadi. Setelah
diwawancarai, keesokan harinya aku dihubungi kembali, dan
aku diterima untuk bekerja sebagai petugas penjangkau.
Inilah awal baru dalam hidupku. Melalui PNPM Peduli
untuk masyarakat pesisir, aku memiliki banyak waktu untuk
berinteraksi dengan masyarakat. Kesempatan ini tidak aku
sia-siakan. Aku bisa bertemu dengan anak-anak di sekitar

112

AIDS Bukanlah Akhir dari Segalanya

lokasi prostitusi terbesar di Kupang, yakni Karang Dempel


di Kelurahan Alak.
Tentu, anak-anak di sekitar lokasi ini sangat akrab dengan
dunia malam sehingga seks bebas bukan hal baru bagi mereka.
Sekali waktu, saat berdiskusi dengan anak-anak di Karang
Dempel, aku membawa brosur yang berisi informasi tentang
IMS, lengkap dengan gambar-gambarnya. Ketika melihat
gambar itu, secara spontan ada yang langsung menunjuk ke
salah satu temannya.
Hal serupa juga aku temukan ketika berinteraksi dengan
orang-orang di sekitar lokalisasi Tenau Kupang. Aku bertemu dengan Frans (bukan nama sebenarnya) yang sudah
terinfeksi penyakit kelamin. Aku pun mengajaknya periksa
dan berobat ke klinik VENESIA yang ada di Yayasan Tanpa
Batas. Pelayanan di klinik ini bisa dibilang cukup lengkap,
mulai dari konseling, pemeriksaan, hingga pengobatan. Frans
bilang, dia mendapatkan penyakit ini karena sering singgah
di SMA Beringin.
SMA Beringin adalah lokasi Karang Dempel yang ke
betulan di sana tumbuh pohon beringin yang cukup besar dan
rindang. Tempat ini dijadikan tempat berteduh tamu-tamu
yang datang, sebelum bertransaksi dengan para PSK. Memang,
bicara tentang penyakit kelamin masih terbilang tabu bagi
kalangan masyarakat pesisir. Selain itu, ada banyak mitos-mitos
yang berkembang.
Misalnya, agar tidak tertular IMS dan HIV/AIDS, gigit
pinang kering saat hubungan seks, HIV/AIDS adalah penyakit
orang-orang bule dan keturunan, penyakit orang kota, penyakit
kelamin disebabkan karena berhubungan seks saat perempuan
sedang haid, mencuci alat kelamin dengan odol sebelum dan
113

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

sesudah hubungan seks, mengolesi kemaluan dengan daun ubi


sebelum berhubungan seks, dan menyisir rambut kemaluan
setelah hubungan seks.
Untuk itu, aku berusaha meluruskan beberapa mitos yang
menyesatkan itu. Selain itu, aku selalu berikhtiar melakukan
penguatan-penguatan terhadap teman-teman ODHA baik secara sosial maupun secara medis. Yakni memberikan informasi
yang benar kepada keluarga dan orang-orang terdekat sehingga
mereka sadar dan tidak mengucilkan teman-teman ODHA.
Sedangkan secara medis, aku melakukan sharing pengalaman berkaitan dengan efek samping dan kepatuhan terapi
ARV, karena obat ini harus diminum secara telaten seumur
hidupnya serta menjadi penghubung dengan semua layanan
kesehatan yang ada di Kota Kupang. Sampai saat ini, aku
mendampingi 45 ODHA di Kota Kupang15 orang di
antaranya telah meninggal dunia.
Banyak teman-teman ODHA yang aku dampingi semakin
lebih siap menghadapi hidup ini karena sudah menyadari
bahwa HIV/AIDS bukan akhir dari segalanya. Bersama-sama
dengan kawan-kawan di Flobamora Support, kami tetap
berjuang untuk memenuhi hak-hak kami sebagai manusia,
meski di dalam tubuh kami ada virus yang setiap saat
mengancam jiwa kami.
***

114

1. 9

Mengangkat Harkat dan


Martabat Kaum Waria
Oleh
Lisa
Sanggar Waria Remaja (Swara), Jakarta

Permasalahan yang dihadapi kaum waria sangat kompleks.


Perjuangan untuk mendapatkan hak dan keadilan masih
sangat panjang. Untuk itulah Swara ada, agar waria
mendapatkan hak yang sama, seperti manusia lainnya.

115

Mengangkat Harkat dan Martabat Kaum Waria

etiap manusia lahir ke dunia atas kehendak-Nya. Manusia


terlahir laki-laki dan perempuan, berbagai suku bangsa
dengan warna kulit dan kemampuan yang berbeda-beda untuk
saling melengkapi satu sama lain, serta hidup berdampingan
dalam damai. Namun, banyak terjadi kesenjangan sosial di
dunia ini, baik di bidang ekonomi, budaya, politik, maupun paham kepercayaan yang diamini masing-masing penganutnya.
Memang, manusia dianugerahi perasan, hati nurani, rasa
ketertarikan antara laki-laki dan perempuan. Masyarakat
sering kali hanya melihat berdasarkan jenis kelamin yang
dibawa sejak lahir, tetapi pada kenyataannya ada yang berjenis
kelamin laki-laki tetapi memiliki perasaan dan mengambil
peran perempuan. Kita mengenalnya dengan sebutan wariaakronim dari wanita-pria.
Waria ini sering kali mendapat citra negatif dan terdiskriminasi di tengah masyarakat. Akibatnya, mereka sangat
rentan mendapatkan kekerasan, kesulitan mendapatkan
akses dan layanan kesehatan. Bahkan, untuk mendapat akses
pekerjaan di bidang formal, laksana mimpi di siang bolong.
Oleh karenanya, kebanyakan waria menjalani hidup sebagai
pekerja seks, pengamen jalanan, pegawai salon, dan ada
beberapa yang menjadi tukang make up artis. Belum lagi
masalah kehidupan seperti IMS, HIV dan AIDS yang juga
rentan menimpa mereka.

117

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

Sebagai bentuk keberpihakan terhadap kaum waria,


terbentuklah organisasi waria Swara di Jakarta Timur, yang
menyuarakan kesetaraan gender, HAM, kesamaan informasi
dan layanan kesehatan, dan lain-lain. Sebagai manusia,
sudah selayaknya kaum waria mendapatkan hak yang sama
tanpa terkecuali.
Swara ini menjangkau lima wilayah Jakarta dengan
masing-masing satu pendamping, dibantu teman-teman
waria lainnya yang dijadikan kader untuk memudahkan
penyampaian informasi di masing-masing wilayah Jakarta,
yang biasa disebut PE. Sedangkan saya adalah pendamping
di Swara wilayah Jakarta Utara.
Suatu ketika, sekitar jam 09.00, saya baru saja tiba di kantor
sekretariat Swara. Seperti biasanya, saya menuju komputer
membuka email yang masuk hari itu. Kantor Swara masih sepi
dan terdengar rintik hujan di luar sana. Setelah masa sewa
rumah ini habis, saya tak tahu masih bisa diperpanjang atau
tidak. Memang belum ada dana cadangan untuk membayar
sewa rumah tahun depan. Semoga saja ada pihak luar yang
mau membantu keberlanjutan kantor Swara.
Udara terasa agak dingin. Untuk menghangatkan tubuh,
saya beranjak ke dapur, mengambil sebuah cangkir kecil dan
menyeduh teh hangat. Teh hangat di tengah hujan, sungguh
terasa nikmat. Terdengar suara ketukan pintu dan ucapan
salam dari luar. Ternyata si Aliksa, pendamping di wilayah
Jakarta Barat. Wajahnya tampak lesu, seperti orang sedang
banyak masalah. Kami pun duduk di sofa di ruang depan,
sekadar berbagi, apa gerangan masalah yang sedang dialami
sahabat saya itu.

118

Mengangkat Harkat dan Martabat Kaum Waria

Rupanya, ada sedikit masalah di Jakarta Barat. Terdapat


pengumuman bahwa waria tidak boleh kos di daerah
Kampung Duri. Pasalnya, masyarakat setempat tidak menyukai kehadiran waria yang bikin keributan, berdandan menor,
dan berpakaian seksi. Artinya, mereka diusir dari tempat itu.
Untuk itu, saya menyarankan agar Aliksa mengontak Arus
Pelangi, sebuah organisasi yang bergerak di bidang HAM.
Selain itu, ia juga bisa minta bantuan LBHM dan Komnas
HAM. Tanpa menunggu lama, Aliksa pun berajak dari tempat
duduknya, dan menuju ke ruangan kantor hendak menelepon
kantor Arus Pelangi.
Tak lama kemudian, Aliksa kembali duduk di samping
saya. Dia mengatakan, Arus Pelangi sepakat ingin membantu
untuk menyelesaikan masalah yang terjadi antara waria, warga,
dan ketua RT di Jakarta Barat. Ia pun telah menentukan hari
dan waktu untuk melakukan mediasi.
Selain itu, masih banyak kebijakan-kebijakan pemerintah
yang belum berpihak kepada waria, dan masih banyak masyarakat yang memandang waria dengan sebelah mata. Masa
sih waria di Indonesia terancam diusir dari negerinya sendiri.
Padahal, banyak masyarakat yang merasa terbantu dengan
keberadaan waria, seperti saat acara pernikahan, yang biasanya
menggunakan jasa waria untuk merias pengantin, dan banyak
lagi karya-karya yang dihasilkan dari tangan terampil waria.
Tetapi karena gengsi atau kepercayaan yang membudaya,
masyarakat masih belum menganggap waria sebagai bagian
dari mereka. Semua itu terjadi mungkin karena masyarakat
belum memahami persepsi gender yang bisa dipertukarkan.
Di samping itu, para pemangku kebijakan juga belum
berpihak kepada waria, padahal di UUD 1945 sudah tertera
119

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

jelas keadilan sosial yang adil dan beradab dan disemboyankan dengan Bhinneka Tungal Ika. Artinya, kita seharusnya
menerima semua perbedaan dan keanekaragaman, baik suku,
budaya, agama, maupun orientasi seks. Namun, pemerintah
belum menjalankan peraturan tersebut dengan utuh sehingga
kesenjangan dan diskriminasi masih kerap terjadi.
Hujan mulai reda. Dari balik pintu, tampak Anti dan
Yola memasuki kantor. Seperti biasa, setelah mengucapkan
salam, mereka pun gabung duduk di sebelah kami. Rupanya,
Anti membawa pesan dari mami, sebutan untuk waria senior.
Dia ingin meminta uang yang pernah dia minta dulu, dan
kita pun sepakat waktu pengambilan gambar untuk bikin
film dokumenter.
Ya ntar aja. Rapat mingguan Jumat besok kita bahas,
kata Aliksa.
Masih ada sistem upeti, ya. Zaman sekarang masih ada
pungutan segala, kayak zaman kerajaan saja, Yola menyela.
Ya. Begitulah. Sistem senioritas yang menganut hukum
rimba, siapa yang kuat berkuasa dan menguasai yang muda.
Sedangkan yang muda harus menuruti kemauan seniornya,
meski terkadang dengan terpaksa dan memberatkan. Ke
depan, sistem senioritas seperti itu seharusnya sudah tidak
ada. Tentu, demi kebaikan waria agar bisa berkembang sesuai
dengan kemampuannya, dan tidak ada rasa takut terhadap
siapa pun kalau hendak melakukan kegiatan-kegiatan yang
bersifat positif.
Namun tidak semua mami-mami waria di Jakarta yang
memberlakukan sistem seperti itu, hanya beberapa orang
saja. Masih banyak yang suka saling tolong-menolong, mau

120

Mengangkat Harkat dan Martabat Kaum Waria

kerjasama, dan memiliki sifat solidaritas tinggi untuk bertahan


dan tetap setia mendampingi sesama temantemannya.
***
Pada malam harinya, saya ingin pergi turun lapangan,
hendak menemui teman-teman waria yang berprofesi sebagai
pekerja seks. Sudah beberapa kali saya datang langsung ke
tempat mereka biasa mangkal menunggu pelanggan. Seperti
biasanya, saya membawa brosur, kondom, dan buku-buku
bacaan informasi tentang kesehatan untuk dibagikan kepada
teman-teman di sana.
Sebagaimana kita tahu, angka IMS dan HIV di kalangan
waria Jakarta masih cukup tinggi. Pada tahun 2009, 30 persen
waria di Jakarta terinfeksi IMS dan HIV. Saya belum mendapat
data yang terbaru, semoga saja apa yang kami kerjakan selama
ini membuahkan hasil dan dapat menekan pertumbuhan IMS
dan HIV pada waria Jakarta. Tidak hanya itu, diskriminasi
terhadap waria bisa segara dihapuskan.
Setelah semua persiapan lengkap, saya bergegas berangkat
dengan menumpang ojek menuju lokasi di Jalan Yos Sudarso,
taman depan Depot Pertamina Pelumpang. Di sanalah
teman-teman saya sering nongkrong atau mangkal menunggu
pelanggan. Tak lama kemudian, saya pun sampai di lokasi,
beramah-tamah seperti biasanya, lalu memberikan kondom
dan brosur informasi kesehatan dan cara penanggulangan
IMS, HIV dan AIDS. Semakin malam, waria lainnya mulai
banyak berdatangan. Sambil menemani mereka menunggu
pelanggan, saya bercakap-cakap dengan Nia, Yeyen, dan Cici.
Yeyen mengatakan bahwa si Wulan sedang sakit. Makanya,
dia tidak tampak batang hidungnya malam itu. Untuk berobat
121

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

ke Puskemas, si Wulan belum memiliki KTP. Karena itu, saya


mengajak mereka patungan sebagai tambahan biaya berobat
bagi Wulan. Mereka pun setuju.
Inilah kesulitan yang dialami kaum waria. Mereka masih
susah dan sangat sulit untuk mendapatkan identitas sebagai
warga negara. Padahal, semua warga negara punya hak
yang sama untuk mendapatkan KTP. Permasalahan yang
dihadapi kaum waria sangat kompleks. Perjuangan untuk
mendapatkan hak dan keadilan masih sangat panjang. Untuk
itulah Swara ada, agar waria mendapatkan hak yang sama,
seperti manusia lainnya.
Nahasnya, malam itu ada razia dari Satpol PP. Kami pun
lari berhamburan menyelamatkan diri. Masih saya ingat betul
peristiwa itu. Saya lari sekencang-kencangnya, dan mencari
tempat persembunyian. Saya masuk ke bawah kolong sebuah
gubuk yang dulu dijadikan tempat berjualan, merayap di
bawah gerobak. Saya tak tahu teman-teman saya lari ke mana.
Agar tidak terdengar orang-orang di sekitar, saya menahan
nafas di sela-sela nafas saya yang terengah-engah.
Saya melihat banyak orang menuju ke arah persembunyian
saya itu. Mereka terus berlari sambil mengarahkan sorotan
cahaya senter. Tuhan, saya takut sekali, lindungi saya, jangan
sampai saya tertangkap petugas Satpol PP. Tubuh saya terasa
panas dingin. Saya terus tidur tengkurap di bawah gerobak tua.
Namun, terasa ada yang berjalan menggerayangi punggung
saya. Semakin lama semakin naik ke tengkuk. Tuhan, makhluk
apa yang menghinggapi tubuh saya. Saya membayangkan
makhluk yang menjijikkan telah hinggap di tubuh, semakin
lama semakin terasa dan saya tak kuat lagi ingin keluar dari
tempat persembunyian.
122

Mengangkat Harkat dan Martabat Kaum Waria

Saya memejamkan mata dan pasrah. Andai tertangkap,


apa mau dikata. Saya membayangkan paha saya sakit dan
menjerit karena diinjak orang bersepatu. Saya coba membuka
mata untuk melihatnya. Terlihat seorang laki-laki, terdengar
suara teriakan seperti orang terperanjat berbarengan dengan
suara kucing. Rupanya, kedatangan lelaki itu telah mengganggu
seekor kucing liar yang berada di atas gerobak. Lelaki itu
pun lari menjauh.
Setelah suasana sepi senyap, saya memberanikan diri
keluar sambil membersihkan tubuh dari kotoran debu-debu
yang melekat di baju, tangan, dan kaki. Beberapa ekor kecoa
hinggap di punggung saya. Tapi syukur alhamdulillah, saya
selamat dari razia. Saya berjalan mencari teman-teman yang
berkumpul di sebuah warung perkampungan, tak jauh dari
Taman Pertamina. Saya pun langsung bergabung, sambil
mencari tahu siapa-siapa yang terjaring razia Satpol PP. Sekali
lagi saya mengucap syukur, ternyata tak ada yang terjaring.
Menjelang dini hari, saya berpamitan pulang. Saya
menghubungi tukang ojek langganan. Ya. Inilah risiko
menjadi pendamping kaum waria. Saya harus menerimanya.
Semoga peristiwa hari ini tidak terbawa dalam mimpi-mimpi
tidur saya.
***

123

1. 10

Marni

Oleh
Dewi Yunita Widiarti
SSS Pundi Sumatera, Jambi

Ngobrol dengan Mak Marni sangat enak. Ia sudah


lancar berbahasa Indonesia dan berani mengungkapkan
pendapatnya. Tidak seperti beberapa perempuan Suku Anak
Dalam lain yang hanya diam atau memandangiku dengan
tatapannya yang polos.

125

Marni

amanya Marni. Kuperkirakan umurnya kurang lebih 45


tahun. Kenapa bisa kira-kira? Sebab Marni sendiri tidak
tahu persis tanggal, bulan, dan tahun berapa ia lahir. Karena
secara fisik ia lebih tua, maka kami memanggilnya dengan
sebutan Mak Marni. Warna kulitnya hitam legam, sepertinya
karena sering terpanggang sinar matahari. Sedangkan tubuhnya cukup semampai untuk ukuran tinggi badan perempuan
Indonesia. Tidak gemuk, tapi lebih pas dikatakan sedikit kurus,
meski bukan kurus yang tidak bertenaga. Bisa dibilang, Mak
Marni merupakan sosok perempuan pekerja dan kuat dari
perempuan rata-rata.
Mak Marni adalah satu di antara anggota rombong
komunitas Suku Anak dalam (SAD) yang tinggal di daerah
Kecamatan Sungai Jernih, Kabupaten Dharmasraya, Provinsi
Sumatera Barat. Sudah hampir 10 bulan terakhir kami mendampingi Mak Marni dan anggota rombong yang lain untuk
mendapatkan kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya
melalui dukungan program PNPM Peduli.
Bersama mereka, kami sedang mengupayakan agar Marni
dan anggota komunitasnya bisa memperoleh kepastian lahan
hidup, serta mendapatkan fasilitas atau layanan kesehatan dan
pendidikan yang sama seperti masyarakat umum lainnya.
Mak Marni dan komunitasnya sangat jauh dari layanan dan
fasilitas itu; mereka tidak mampu menjangkau dan keterbukaan pemerintah untuk mengulurkan tangan ke komunitas
127

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

SAD masih sangat minim. Program PNPM Peduli inilah


yang menjadi jembatan bagi kami untuk mendekatkannya.
Perjalanan yang harus kutempuh untuk bertemu Mak
Marni hari itu terasa sangat luar biasa. Seingatku, kami
berangkat ketika jam belum tepat di angka 09.00, dan baru
tiba di lokasi Mak Marni pada pukul 14.00 WIB. Bukan
hanya persoalan jarak tempuh yang jauh, tetapi tidak sekali
dua kali mobil Hilene yang kami tumpangi terperosok ke
dalam lumpur, tergelincir ke sungai, bahkan penumpang harus
ikut turun tangan karena berkali-kali mobil tidak bisa lewat
terhadang pohon besar yang tumbang menghalangi jalan.
Jauh sekali Mak Marni tinggal dari peradaban manusia,
sepanjang jalan yang kami lalui hanya disuguhi hamparan
kebun-kebun kelapa sawit yang rasanya tidak berujung. Tidak
hanya panas dari sang surya yang terasa di wajah, tapi tanah
yang kami lalui sepertinya juga tidak lagi mampu menyimpan
keteduhan. Yang ada hanya udara panas dari pohon sawit.
Angin yang berembus pun sepertinya tidak lagi terasa sejuk.
Kurasa, duduk di jok mobil Hilene sepanjang hari
itu serasa sedang mengikuti offroad dengan medan yang
mengguncang habis isi perutku. Namun, tak sedikit pun aku
menyesali perjalanan ini, bahkan terkadang aku merindukan
kembali situasi di lapangan, mengingat pekerjaanku sekarang
lebih banyak di belakang meja, dan terpaksa harus cukup
membayangkan apa yang terjadi di komunitas dengan
membaca hasil laporan perjalanan teman-teman yang lain.
Nasib Mak Marni sebetulnya tidak jauh berbeda dengan
nasib komunitas SAD yang hidup menyebar di sekitar
Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Merangin, dan Kabupaten
Bungo, Provinsi Jambi. Kehadiran perusahaan sawit berskala
128

Marni

besar secara perlahan telah menghilangkan kawasan hutan.


Persoalan lahan sepertinya menjadi persoalan utama bagi
mereka. Yang ada sekarang, mereka terpaksa tinggal di
tengah-tengah kebun sawit dan kebun karet di mana mereka
semakin sulit untuk berburu, berkebun atau mendapatkan
tanaman obat yang biasa disediakan oleh alam. Setidaknya,
itulah yang Mak Marni keluhkan.
Mak Marni tinggal di sebuah sudung yang tidak kubayangkan apakah dapat menahan panasnya matahari atau
menghindarkannya dari guyuran air hujan. Ia tidak tinggal
sendiri, melainkan ada anak dan beberapa anggota komunitas
SAD yang juga membuat sudung tidak jauh dari lokasi yang
ia pilih. Sudung itu beratap terpal warna biru, di beberapa
bagiannya tampak sudah robek. Tidak berdinding dan tidak
juga tampak kukuh.
Yang membuat aku heran adalah, sudung mampu
menampung 3-4 orang dewasa yang duduk di dalamnya.
Padahal, hanya potongan bambu yang dibuat sebagai alas,
serta potongan kayu tidak begitu besar yang dijadikan tiang
penyangga di keempat sudutnya. Miris sekali melihat keadaan
Mak Marni, meski bagi dia itu bukan satu persoalan besar
dan ia baik-baik saja menjalani kehidupan seperti itu.
***
Mak Marni tampak berbeda dari anggota komunitas SAD
lainnya. Setidaknya, itu yang kulihat sekarang. Apalagi kalau
bertemu dengannya di kota kabupaten seperti pertemuanku
kemarin. Mungkin dahulu Mak Marni juga sama seperti
anggota komunitas SAD lain, yang tertutup dari kehadiran
orang luar dan pendiam. Tapi Mak Marni yang kujumpai saat
129

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

ini tidak lagi pemalu, tidak takut bertemu dan berkomunikasi


dengan pihak luar.
Bahkan, dari cara berpakaiannya tidak jauh berbeda dari
orang-orang desa kebanyakan. Mak Marni sudah mengenakan
legging, model celana ketat yang saat ini banyak digandrungi
anak muda di perkotaan, serta jilbab sebagai penutup kepala,
meski mungkin Mak Marni juga tidak tahu, kenapa wanita
Muslimah diwajibkan mengenakan jilbab. Sedangkan untuk
sebagian besar perempuan pada komunitas SAD, sarung atau
kain masih menjadi pakaian favorit sehari-hari.
Tidak hanya itu, Mak Marni juga sudah mengenakan alas
kali berupa sandal jepit, dan sudah bebas dari aroma khas
komunitas SAD yang belum mengenal mandi rutin dua kali
sehari atau membersihkan tubuh menggunakan sabun serta
sampo. Setidaknya itulah kesan kuat yang kulihat ketika
bertemu dengannya, meski aku pun tidak tahu sejak kapan
Mak Marni berubah atau hal apa yang menyebabkan ia bisa
berubah seperti itu.
Ngobrol dengan Mak Marni sangat enak. Ia sudah lancar
berbahasa Indonesia dan ia juga berani mengungkapkan
pendapatnya. Tidak seperti beberapa perempuan SAD yang
kutemui di rombong Mansur atau rombong Salim, terasa
sangat sulit mendengar suaranya. Biasanya perempuan SAD
hanya menjawab sedikit-sedikit, selebihnya hanya diam
atau memandangiku dengan tatapannya polos. Atau bisa
jadi karena mereka tidak begitu mengenalku, jadi seperti
itulah responsnya.
Tapi tidak begitu dengan Mak Marni, karena secara resmi
itulah pertemuan pertama kami dan sepertinya ia tidak hanya
ingin jadi pihak yang terus menerus ditanya, tidak sedikit ia
130

Marni

juga balik bertanya bahkan menanyakan hal-hal yang bersifat


pribadi, seperti rumahku di mana, anakku berapa, suami
kerja di mana, dan sebagainya.
***
Aku tidak tahu persis, sejak kapan ia mulai intens berinteraksi dengan pihak luar sehingga secara perlahan banyak
memberinya perubahan. Pengetahuan Mak Marni tentang
pengobatan tradisional di komunitas SAD juga sangat luas,
kurang lebih ada 30-an jenis tanaman obat yang ia ketahui
dan ia sangat menguasai bagaimana teknik meracik tanaman
obat tersebut. Tak hanya itu, ia juga mengetahui bagaimana
metode pengobatannya. Terkait dengan hal itulah aku sengaja
bertemu dengannya.
Dengan cepat, ia langsung menyebutkan akar marabin
sebagai tanaman yang dapat menyembuhkan batuk, lalu
sekeduduk sebagai tumbuhan yang dapat menghentikan
pendarahan, kayu selusuh yang dipakai untuk memperlancar
persalinan, sengkrobong tanaman yang dapat menghentikan
diare, akar kepor yang dapat mengobati sesak nafas, batang
kareh yang dapat menyembuhkan sakit kepala dibarengi
dengan muntah-muntah serta masih banyak jenis tanaman
yang berkhasiat sebagai obat lainnya.
Luar biasa menurutku. Mak Marni tahu betul jenis-jenis
tanaman yang punya khasiat obat, bagaimana meraciknya dan
apa saja komposisinya. Menurutnya, jauh sebelum komunitas
SAD mengenal Puskesmas, rumah sakit atau obat-obatan
ringan yang tersedia di warung, saat anggota rombong
sakit, mereka selalu menggunakan tanaman obat sebagai
pertolongan pertama.
131

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

Hanya memang tidak semua tanaman obat dapat langsung


dikonsumsi, melainkan perlu ditawar atau dijampi-jampi
agar punya khasiat lebih untuk menyembuhkan. Terlintas di
pikiranku, seandainya Mak Marni sekolah, mungkin ia sudah
bisa menyandang gelar doktor atau paling tidak berprofesi
sebagai bidan, karena di komunitasnya ia memang sering
membantu pengobatan serta persalinan bagi perempuan SAD
yang akan melahirkan.
Selain diajarkan orangtuanya, pengetahuan itu juga
diperoleh dari melihat orangtuanya meracik dan mengobati
anggota komunitas yang sedang sakit. Akhirnya, ketika
orangtuanya wafat, Mak Marnilah yang melanjutkan pengobatan-pengobatan ringan, terutama bagi anggota rombongnya.
Obrolan dengan Mak Marni berlanjut sampai malam.
Aku merasa begitu banyak cerita yang bisa didapat dari
obrolan-obrolan santai kami, yang belum tentu keluar ketika
Mak Marni sengaja diundang pada pertemuan-pertemuan
formal di tingkat kabupaten atau provinsi. Mak Marni bercerita
kalau kehidupan anggota di rombongnya sangat dekat, mereka
selalu hidup saling tolong menolong. Terlebih di era sulit
seperti saat ini, ketika hewan buruan sangat sulit didapat.
Siapa pun yang beruntung mendapatkan hewan buruan,
maka hewan tersebut akan dibagi rata ke semua anggota
rombong. Begitu juga dengan kepemilikan bahan makanan
pokok lainnya seperti beras, secara otomatis akan dikonsumsi
bersama-sama, apabila ada anggota rombong yang kehabisan
stok beras. Secara halus Mak Marni mengkritik, bahwa hidup
masyarakat kota sangat sombong. Masyarakat kota tidak
terbiasa saling bantu, bahkan masa bodoh kalau melihat
orang lain kekurangan.
132

Marni

Bahkan, ketika ada saudara atau tetangganya sedang


sakit, orang kota belum tentu mau membantu mengobati atau
membiayai pengobatannya. Untuk alasan itu jualah Mak Marni
tidak ingin menjadi bagian dari orang kota. Baginya, hidup
di rimba dan di tengah komunitasnya jauh lebih nyaman.
Mak Marni juga merasa jauh lebih bermanfaat karena bisa
membantu mengobati anggota rombongnya yang sakit.
Pernyataan terakhir Mak Marni membuatku merinding. Bagaimana tidak, ia begitu sederhana menyampaikan
pendapatnya. Bagaimana nilai-nilai kemanusiaan masih ia
junjung tinggi, di mana rasa kekeluargaan masih begitu ia
pegang erat. Rasa malu juga menyerangku. Cukup lama aku
bekerja mengatasnamakan masyarakat, tetapi empatiku tidak
sepenuhnya jalan ketika bersentuhan dengan kasus-kasus
seperti itu. Ternyata, aku masih sering tidak peduli dengan
kesusahan orang-orang yang ada di sekitarku, hanya karena
mereka bukan saudara, tidak kukenal atau yang secara
domisili tidak tinggal di dekat rumahku. Cerita itu terus
mengalir hingga kantuk mulai menyerang, dan entah siapa
yang memulai untuk menuju dunia mimpi terlebih dahulu.
***
Satu pertanyaan lagi yang kuajukan ke Mak Marni, sebelum
kami harus berpisah siang itu. Aku harus kembali ke aktivitas
kantor, sedangkan Mak Marni tentu harus kembali mengurus
kebun para-nya, memanen pohon manau-nya, dan kembali
ke anggota rombongnya. Satu pertanyaan yang membuat
raut wajahnya sedikit berubah. Sederhana saja pertanyaanku.
Aku menanyakan di mana aku bisa memperoleh gambar dari
tumbuhan-tumbuhan obat yang sejak semalam ia ceritakan.
133

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

Kemudian, aku meminta kesediaannya untuk mengantarkan aku di lain waktu, mendokumentasikan tanaman-tanaman
obat tersebut. Dengan lirih Mak Marni bilang, Hutan kami
sudah habis. Begitu juga tumbuhan obat itu. Mencarinya
sekarang semakin sulit, seperti sulitnya kami mencari hewan
buruan untuk makan. Kami ingin sekali dapat lahan, ingin
menetap di sanaingin membuat kebun para, ingin menanam
sayuran dan ingin kembali menanam tanaman obat. Tapi
pemerintah belum juga menepati janjinya.
Mak Marni dan komunitas SAD lain memang sangat
menginginkan lahan sebagai tempat hidup. Mak Marni merasa
sudah cukup lelah harus terus berpindah dari satu lokasi
ke lokasi lain, sedang mencari kawasan hutan yang masih
menyediakan segala kebutuhan mereka pun sudah semakin
sulit. Hidup menumpang di sekitar kebun sawit yang berstatus
milik perusahaan atau kebun milik orang lain seperti saat ini
dirasakan sangat tidak menenangkan.
Mak Marni takut kalau sewaktu-waktu ia diusir oleh
pemilik lahan. Bagaimana dengan tanaman para yang baru ia
tanam? Bagaimana dengan tanaman terong dan singkong yang
juga baru ia semai? Lalu bagaimana dengan niatnya untuk
mengembangkan lagi tumbuhan obat yang sudah semakin
langka ditemukan? Mak Marni sangat berharap adanya
perubahan. Mak Marni menitip pesan dan harapannya pada
program ini, yang bisa membuat mimpinya menjadi nyata:
sebidang lahan bagi komunitasnya
***

134

1. 11

Catatan Seorang
Fasilitator SAD
Oleh
Hafis Syawir
SSS Pundi Sumatera, Jambi

Semoga saudara-saudara saya ini, suatu saat betul-betul


bisa hidup dengan kualitas yang lebih baik, tanpa harus
meninggalkan sudung, tanpa harus meninggalkan adat
istiadatnya, dan tanpa harus hidup jauh dari hutan. Semoga!

135

Catatan Seorang Fasilitator SAD

etahun sudah saya berada di antara Suku Anak Dalam


(SAD). Tidak terbayangkan saya bisa dan akhirnya menjadi teman bagi mereka, komunitas Suku Anak Dalam yang
tinggal di sekitar Kecamatan Pamenang Barat dan Selatan,
Kabupaten Merangin dan Kecamatan Limbur Tembesi,
Kabupaten Sarolangun, Jambi. Ada 12 rombong yang saya
dampingi, seluruhnya kurang lebih 700 KK.
Sebelumnya saya tidak pernah mengenal, berkomunikasi,
apalagi membayangkan hidup di antara mereka. Rasanya
masih tidak percaya, kini saya malah sering teringat apabila
sudah lama saya tidak mendatangi atau mendampingi mereka.
Begitu pula dengan mereka, sering kali menelepon hanya
untuk menanyakan kapan saya datang mengunjunginya.
Saya bukan seorang antropolog yang memang punya
ilmu untuk melakukan pendekatan dan membangun
kepercayaan mereka. Saya hanya berusaha menyediakan diri
untuk ada di sana, menyediakan mata saya untuk melihat
kebutuhan mereka, telinga saya untuk mendengar mereka,
menyediakan tangan saya untuk membantu mereka, pemikiran
saya apabila mereka butuh pendapat, dan melakukan semua
itu dengan sepenuh hati.
Saya masih tidak percaya, pada akhirnya mereka menerima saya, bahkan menjadikan saya tempat curhat mereka.
Saya tidak banyak diberi pembekalan ketika pertama kali
akan terjun ke lapangan.
137

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

Jujur saja, ada ketakutan dan kekhawatiran di benak saya.


Takut kalau saya tidak bisa berkomunikasi dengan mereka,
takut karena nantinya mereka tidak bisa menerima saya,
bahkan takut jiwa saya terancam karena banyaknya isu
negatif yang berkembang tentang komunitas SAD ini. Tapi
ketakutan dan kekhawatiran itu tidak menghalangiku untuk
mendatangi Rombong Mansur, rombong SAD yang pertama
kali saya kunjungi.
Hal pertama yang saya rasakan adalah suasana tempat
tinggal mereka yang jauh dari kata bersih, binatang piaraan
(anjing) yang cukup banyak seketika langsung menggonggong
menyambut kedatanganku. Nyali saya langsung ciut, ada
ketakutan tersendiri yang saya rasakan dan terbetik untuk
lari atau melempar sesuatu sehingga gonggongan berhenti
atau anjing-anjing itu menjauh. Namun dalam ketakutan itu,
saya masih dapat berpikir jernih, jangan sampai tindakan saya
malah memicu kemarahan dari komunitas tersebut, sementara
pertemuan ini akan sangat menentukan bagi kerja-kerja saya
berikutnya bersama mereka.
Mau tidak mau, saya kemudian hanya diam dan mengikuti
langkah guide local menuju rumah Temenggung Mansur.
Saya beranikan diri untuk mengulurkan tangan terlebih
dahulu ketika telah berhadapan dengannya, serta mencoba
menanyakan keadaan dirinya beserta keluarga. Di luar dugaan
saya, Temenggung Mansur mau bercerita mengenai kondisi
SAD, khususnya rombong yang dia pimpin.
Selanjutnya, saya diperkenalkan dengan warga lainnya
yang tinggal dalam rombong tersebut. Anggota rombong
dari kaum laki-laki tampak tidak takut-takut ketika menjabat
tangan saya. Namun anggota rombong perempuan, terlihat
138

Catatan Seorang Fasilitator SAD

lebih tertutup dan masih enggan berkenalan. Setidaknya,


pertemuan pertama itu sudah lebih dari cukup bagi saya, dan
ketakutan saya pun perlahan mulai terkikis. Mereka sepertinya
cukup terbuka menerima kehadiran saya.
Dalam perkenalan ke beberapa rombong yang tersebar
di Kabupaten Merangin dan Sarolangun, Provinsi Jambi,
hampir semua SAD menyampaikan rasa kecewanya terhadap
beberapa orang yang datang sebelumnya. Mereka berpendapat,
orang-orang yang datang itu banyak berbohong, banyak
berjanji tapi tak satu pun ditepati. Jadi, saya berkesimpulan
bahwa kepada komunitas SAD, jangan pernah mudah berjanji jika tidak bisa menepatinya, atau jangan memberikan
harapan-harapan pada mereka, sementara kita belum bisa
memastikannya. Karena risikonya sangat jelas, kita akan
kehilangan kepercayaan mereka.
Suku Anak Dalam sebenarnya sangat menerima siapa pun
yang datang mengunjungi mereka, walaupun hanya sekadar
ngobrol, selagi tidak melanggar tatanan adat merekaseperti
tidak mengambil gambar/foto temenggung tanpa izin, atau
tidak mengajak ngobrol anak perempuan yang masih gadis.
Bagi mereka, hal itu sangatlah tabu dan melanggar adat. Jika
itu dilanggar, tidak segan-segan kita bisa dikenakan denda
hukum adat atau dinikahkan dengan anak perempuan yang
diajak ngobrol dan masuk menjadi anggota rombong. Sebab,
anak perempuan mereka tidak boleh dibawa ke luar wilayah
tempat tinggal mereka.
Meskipun sesama SAD, peraturan itu tetap berlaku.
Peperangan yang pernah terjadi antara rombong Salim di
Muara Bungo dengan rombong Capuk di Rimbo Bujang
tidak lain adalah dipicu karena hal tersebut. Anak perempuan
139

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

rombong Salim yang menikah dengan anak laki-laki rombong


Capuk, dibawa rombong Capuk ke wilayahnya. Hal itu
menyebabkan rombong Salim marah, dan meminta agar anak
perempuan mereka dikembalikan ke rombongnya.
Tapi permintaan itu tidak didengarkan rombong Capuk,
sehingga terjadilah keributan yang berbuntut peperangan
antar-SAD. Kejadian itu sempat menyebabkan beberapa
anggota SAD terluka, meskipun tidak sampai ada korban
jiwa. Aparat kepolisian pun tidak mampu menyelesaikan.
Karena ini terkait adat istiadat, komunitas SAD tidak mau
tahu dengan hukum yang berlaku di negeri ini.
Selama ini, citra SAD yang beredar di masyarakat kita
sangatlah menakutkan, bahkan terkesan mengada-ada, baik
dari segi manusianya maupun kehidupannya. Hal yang saya
temui di lapangan ketika berbaur dengan kehidupan mereka
tidaklah seperti yang selama ini saya dengar. SAD juga bisa
diajak bercerita, bergurau, dan sebagainya. Anak-anak di
komunitas itu awalnya memang sulit didekati, terutama oleh
orang luar. Namun lama kelamaan, karena seringnya saya
datang mengunjungi dan menyapa anak-anak itu, akhirnya
mereka pun menerima saya.
Bahkan, ada beberapa anak SAD yang sudah tidak segan
lagi minta digendong ketika melihat saya datang. Sama
seperti kita, mereka juga butuh perhatian. Setiap saya datang
mengunjungi mereka, hal yang tidak pernah saya lupa adalah
membawakan makanan kecil untuk anak-anak, serta kopi
dan gula untuk sekadar oleh-oleh. Hal ini mungkin terlihat
biasa saja, tapi bagi mereka tidaklah begitu. Makanan yang
tidak seberapa itu seperti kunci yang mampu membuka katup

140

Catatan Seorang Fasilitator SAD

komunikasi, mereka akan senang dan semakin terbuka untuk


ngobrol dengan kita.
Kalau dulu saya dengar bahwa untuk berkomunikasi
dengan SAD kita harus membawa rokok berbungkus-bungkus,
namun bagi saya hal tersebut tidak mendidik. Dari pengamatan
saya selama berinteraksi dengan mereka, ternyata orang-orang
tua di komunitas SAD sangat memikirkan nasib anak-anaknya
daripada dirinya sendiri. Jadi, hal terbaik untuk mengambil
kepercayaan dan bisa diterima oleh mereka, adalah melalui
anak-anak mereka sebagai pintu masuknya. Membawakan
oleh-oleh makanan untuk anak-anak SAD, saya pikir jauh
lebih baik dibandingkan menyodorkan mereka berbungkusbungkus rokok.
Tidak jarang saya juga merasakan bagaimana rasanya tidur
di lokasi tempat tinggal mereka yang hanya beralaskan ranting
kayu dan tanpa dinding. Mereka menyebutnya sudung, yang
dibangun untuk tidur sekaligus tempat beraktivitas lainnya.
Satu hal yang selalu saya ingat selama bersentuhan dengan
komunitas itu, belum sekalipun mereka menawarkan saya
untuk minum air.
Ketika hal itu pernah saya tanyakan, mereka menjawab
bahwa dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, orang luar
yang datang tidak pernah mau minum air mereka, sehingga
mereka pun menghargai keputusan itu dan memberlakukan
sama bagi siapa pun yang datang. Untuk itu saya selalu membawa air minum sendiri ketika datang mengunjungi mereka.
Satu hal yang pernah begitu menyentuh perasaan saya,
ketika suatu hari saya ketiduran di lokasi karena kecapekan.
Sepanjang saya tidur, ternyata anak-anak SAD itu duduk
mengelilingi saya dan menjaga air minum saya agar jangan
141

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

sampai diambil yang lain. Ketika saya terbangun, hal pertama


yang diberikan oleh salah satu tangan anak SAD itu adalah
air minum saya. Setelah saya terima, anak tersebut kemudian
baru pulang ke sudung-nya.
Kebiasaan saya membeli makanan kecil yang disukai
anak-anak memang terasa sangat berguna untuk mendekatkan diri dengan anak-anak SAD. Tidak bermaksud untuk
menyogok, namun makanan kecil itu bisa membuat mereka
mau mendekat, ngobrol, serta bermain dengan kita. Namun
sampai sekarang, belum pernah anak-anak itu meminta apa
yang saya bawa. Biasanya, mereka akan menunggu sampai
saya membagikan makanan itu kepada mereka. Secara perlahan, mereka akan duduk semakin dekat dengan saya, lalu
mulai mengajak bicara dan lama-lama mereka mulai berani
memegang tangan saya, bahkan mulai bertanya ini itu tentang
kehidupan pribadi saya.
Mengenai lokasi tempat komunitas SAD tinggal, memang
sebagian besar masih jauh dari kategori bersih. Bagi mereka,
sudung bukan hanya untuk tempat tinggal bagi keluarga, tapi
juga tempat berteduh bagi hewan piaraan seperti anjing.
Mereka juga mengonsumsi hewan buruan yang terkadang
diolah tidak jauh dari lokasi sudung-nya. Aroma daging
busuk atau jeroan yang dilemparkan begitu saja tidak jauh
dari tempat mereka tinggal menguar tajam.
Secara perlahan, kebiasaan hidup bersih saya sampaikan
pada merekamulai dari cara membuang sampah, mengubur
sampah atau kotoran yang menimbulkan bau, sampai mengajari mereka memanfaatkan ujung pelepah daun sawit untuk
dijadikan sapu agar sekitar sudung terlihat bersih. Secara

142

Catatan Seorang Fasilitator SAD

perlahan, kebiasaan kecil itu mulai mereka ikuti, dan saya


sangat senang melihat perubahan-perubahan itu.
Saya bersyukur, bisa datang ke tempat mereka dengan
program ini. Atas dukungan PNPM Peduli, saya bisa mewujudkan sebagian dari mimpi dan harapan mereka. Keinginan
mereka untuk memperoleh sumber air bersih akhirnya dapat
diwujudkan dengan kegiatan pembangunan sumur serta MCK
di beberapa rombong. Pemberian pendidikan bagi anak-anak
SAD juga dilakukan melalui program ini. Secara pribadi, saya
berharap suatu saat nanti mereka punya bekal yang cukup
untuk memperoleh pendidikan layaknya anak-anak lain di
sekolah formal.
Semangat belajar anak-anak SAD sangat tinggi. Menurut
saya, mereka juga cukup cerdas serta cepat menangkap apa
yang diajarkan oleh tim pengajar. Bahkan mereka tidak
mengenal adanya jam belajar. Ketika pagi hari tim pengajar
masih tidur, mereka sudah duduk berkeliling menunggu
dimulainya proses belajar. Ketika sudah larut malam dan tim
pengajar sudah lelah ingin tidur, anak-anak itu masih saja
bersemangat untuk menulis meski hanya ditemani dengan
pelito, lampu minyak dengan cahaya api yang sangat kecil.
Saya selalu mengontrol saat pembelajaran sedang berlangsung di setiap rombong, bahkan ikut menginap di lokasi.
Suatu ketika, selama satu minggu berturut-turut, hujan turun
sangat deras setiap malam. Belum pernah saya merasakan
udara yang teramat dingin seperti itu, belum lagi suara
binatang buas yang terdengar seperti mengawasi dari balik
semak-semak di mana tenda kami ditegakkan.
Saya takut dan cemas dengan kondisi itu, hal yang sama
juga dirasakan oleh teman-teman tim pengajar, meski tidak
143

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

terjadi apa-apa dengan kami selama berada di lapangan. Saya


merasakan pengalaman yang belum pernah saya rasakan
sebelumnya, bahkan ketika masih bergabung di MAPALA
yang mengatasnamakan pencinta alam dan hobi berpetualang.
Pengalaman di tengah hutan dalam seminggu itu adalah
pengalaman nyata yang mungkin tidak dapat terulang pada
pekerjaan-pekerjaan setelahnya. Sedangkan bagi komunitas
SAD, semua itu mereka alami seumur hidup, bukan seminggu
atau sebulan, tapi bertahun-tahun.
Program PNPM Peduli-SSS Pundi juga berupaya memberikan layanan kesehatan bagi komunitas SAD. Beberapa
kali kegiatan pengobatan gratis dilakukan, yakni dengan
menghadirkan tenaga medis dari rumah sakit dan Puskesmas
terdekat. Beberapa kegiatan yang bertujuan untuk mengingatkan pendapatan bagi komunitas SAD ini juga mulai dijajaki.
Itu sudah dimulai dengan pengembangan kolam ikan, ternak
kambing, serta tanaman pangan seperti terong, ubi jalar,
singkong, cabe, tomat, dan lain-lain.
Semua komoditas itu ditanam di sekitar tempat tinggal
komunitas. Kaum perempuan di komunitas SAD sangat
antusias menerima bantuan-bantuan tersebut, bahkan yang
lebih banyak mengurusi ikan kolam, ternak kambing, dan
tanaman sayur-mayur ini adalah kaum perempuan atau
induk-induk (mamak-mamak) yang memang punya waktu
senggang cukup banyak. Dengan kegiatan ini, kami berharap
mereka tidak hanya menggantungkan hidupnya dari hewan
buruan yang semakin sulit didapat. Bahkan bila memungkinkan, kegiatan-kegiatan itu bisa meningkatkan kesejahteraan
hidup mereka.

144

Catatan Seorang Fasilitator SAD

Tanpa terasa, sudah hampir setahun saya berinteraksi


dengan mereka, dan saya begitu menikmati pekerjaan ini.
Tidak jarang rasa rindu untuk datang dan berkumpul bersama
mereka menghinggapiku ketika sudah begitu lama berada di
kota Jambi. Saya juga belajar banyak dari merekaketulusan,
rasa kesetiakawanan, serta kearifan mereka untuk menjaga
hutan dan alam.
Meski saya tahu bahwa pertemanan ini akan berakhir
cepat atau lambat karena habisnya masa program, saya
berharap ada sesuatu yang bisa saya tinggalkan untuk
mereka. Tidak perlu sesuatu yang besar dan tidak bisa saya
wujudkan, tapi biarlah sesuatu yang kecil, namun saya mampu
melakukannya. Semoga saudara-saudara saya ini, suatu saat
betul-betul bisa hidup dengan kualitas yang lebih baik, tanpa
harus meninggalkan sudung, tanpa harus meninggalkan adat
istiadatnya, dan tanpa harus hidup jauh dari hutan. Semoga!
***

145

1. 12
Ayo Menganyam Rotan:
Mendulang Rupiah dengan
Merawat Tradisi
Oleh
Saparuddin Senny
Kawal Borneo Community Foundation, Samarinda

Pengembangan program pendampingan selalu kami


fokuskan pada potensi sumber daya alam setempat dan
keterampilan yang mereka miliki. Di Desa Tambak Bajai ini,
kami tak hanya mengembangkan budidaya ikan, tetapi juga
menggali potensi keterampilan warganya.

147

Ayo Menganyam Rotan: Mendulang Rupiah dengan Merawat Tradisi

u Nelly. Demikian aku memanggil wanita berumur


72 tahun ini. Dia adalah sosok nenek pengrajin rotan
yang andal. Aku mengenalnya saat menjalankan tugasku
sebagai fasilitator pendampingan masyarakat dalam program
pemberdayaan masyarakat di Desa Tambak Bajai, Kabupaten
Kapuas, Kalimantan Tengah. Program tersebut merupakan
salah satu kegiatan PNPM Peduli yang ditujukan untuk
kelompok masyarakat adat yang terpencil dan nyaris tidak
terjangkau oleh program pembangunan pemerintah.
Bu Nelly adalah salah satu warga Masyarakat Adat Ngaju,
salah satu komunitas di Desa Tambak Bajai, yang membuatku
jatuh cinta untuk membangun mimpi bersama mereka. Tentu
saja ada kepuasan dan kebanggaan tersendiri bila aku berhasil
mewujudkan impian itu, seperti yang pernah aku lakukan di
kampung-kampung lainnya. Ya, sekadar catatan, ada beberapa
impian dalam program ini yang berhasil kami capai, tapi ada
pula yang hingga kini masih menggantung di langit.
Dalam program ini, aku tidak bekerja sendirian. Ada 60
orang yang terlibat dalam program pendampingan. Mereka
terbagi untuk membina dua kelompok usaha, yaitu kelompok
Hapakat dan Bina Usaha.
Alkisah, kurang lebih tujuh bulan sudah kami mendampingi kedua kelompok ini dalam mengembangkan budidaya
pemeliharaan ikan sungai. Tak ayal, kami pun sudah seperti
keluarga. Mereka sangat semangat menerima setiap masukan
149

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

yang kami berikan. Setiap hari, mereka kompak bergantian


merawat dan memberi pakan. Tak jarang, mereka berpatungan
untuk membeli pakan di kota untuk ikan-ikan harapan mereka.
Seperti di kampung-kampung binaan kami lainnya,
pengembangan program pendampingan selalu kami fokuskan
pada potensi sumber daya alam setempat dan keterampilan
yang mereka miliki. Begitu pula di Desa Tambak Bajai ini.
Selain mengembangkan budidaya ikan, kami juga mencoba
menggali potensi lain yang bisa dikembangkan menjadi
sumber kesejahteraan masyarakat setempat.
Sebagaimana dimaklumi, Kalimantan terkenal dengan
potensi hutannya. Sayangnya, saat ini sebagian hutan sudah
disulap menjadi perkebunan kelapa sawit dan hasilnya tidak
bisa dinikmati warga kecil secara luas. Memang, masih ada
beberapa hektar hutan alam yang tersisa dan menjadi sumber
penghidupan bagi masyarakat sekitar.
Sebagian warga Masyarakat Adat Ngaju misalnya, selama
ini kehidupan mereka cukup tertolong dengan adanya
komoditas karet dan rotan dari hutan yang masih tersisa di
sekitar desa mereka.
Rotan pernah menjadi komoditas andalan masyarakat
adat tersebut. Selain menjualnya dalam bentuk mentah,
beberapa dari mereka ada yang mengolahnya menjadi
barang-barang kerajinan yang dibutuhkan dalam kehidupan
sehari-hari, seperti topi, tas, tikar, dan lain sebagainya.
***
Pada satu kesempatan, Kemitraan bermaksud mengundang
salah seorang dari pengrajin rotan Masyarakat Adat Ngaju
untuk mengikuti sebuah pameran di Semarang, Jawa Tengah.
150

Ayo Menganyam Rotan: Mendulang Rupiah dengan Merawat Tradisi

Tanpa berpikir panjang, aku pun langsung mengontak Bu


Rena, salah satu masyarakat dampinganku untuk mencari
orang yang bisa mewakili mereka mengikuti pameran itu.
Semoga ini bisa menjadi momentum untuk mengembangkan
program pendampingan lain. Bukan hanya pada pengembangan budidaya ikan, tetapi juga pengembangan kerajinan
rotan, pikirku saat itu.
Begitu kukontak, awalnya Bu Rena mengusulkan tantenya
yang dikenal pandai membuat beragam jenis kerajinan dari
rotan. Sayangnya, dia tidak tinggal di desa dampinganku. Lalu,
aku mencoba mencari orang lain terlebih dahulu. Alhasil,
akhirnya Bu Rena pun mengusulkan Bu Nelly, satu-satunya
warga Masyarakat Adat Ngaju yang bisa membuat kerajinan
dari rotan.
Bu Nelly sangat senang ketika mendapat kabar akan
kami kirim ke Semarang untuk mengikuti sebuah pameran.
Bahkan, ia sangat bersemangat ketika kami memintanya
menyiapkan beberapa contoh hasil kerajinan tangannya dan
membawa beberapa lembar rotan untuk dia praktikkan di
pameran nanti.
Namun, beberapa hari kemudian aku kembali berpikir
untuk mengirim Bu Nelly. Umurnya yang hampir senja
tiba-tiba membuatku agak sedikit gamang. Aku takut dia
sakit dalam perjalanan yang cukup panjang, apalagi aku tidak
bisa menyertainya.
Memang, bukan hanya Bu Nelly yang kami kirim dari
Kalimantan. Ada juga beberapa utusan dari Kalimantan Selatan
dan Kalimantan Timur. Tetapi, mereka baru akan bergabung
dalam tim Kalimantan ketika sudah di Semarang.

151

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

Jarak yang jauh dan tidak adanya jaringan komunikasi


membuatku semakin cemas untuk benar-benar memberangkatkan Bu Nelly. Tapi apa daya, mencari penggantinya pun
bukan persoalan mudah, karena dia adalah satu-satunya
orang yang memiliki keterampilan menganyam rotan dari
Masyarakat Adat Ngaju.
Aku mencoba memikirkan langkah alternatif untuk
mengobati kecemasanku. Pertama, dia berangkat tapi ada
yang menemani. Kedua, menggantinya dengan orang lain
dengan risiko hanya memamerkan barang yang sudah jadi
dan tidak ada praktik menganyam rotan saat pameran.
Keduanya sama-sama sulit. Aku agak pusing dibuatnya,
sehingga terpaksa hanya mengendapkan alternatif-alternatif
itu dalam pikiran.
Satu minggu kemudian, tepatnya ketika panitia menghubungiku kembali, aku baru mulai memikirkannya lagi.
Untungnya, ada salah seorang warga desa yang kukenal
memiliki ponsel. Kebetulan, ketika aku menghubunginya
melalui pesan singkat dia memang hendak pergi ke kota.
Akhirnya, kami pun bertemu dan kuminta dia untuk membicarakan masalah ini di kampung dan memilih alternatif
yang kutawarkan.
Dua hari kemudian, mereka menghubungiku dan memilih
alternatif pertama, yaitu Bu Nelly tetap berangkat tapi ada
yang menemani. Aku pun sedikit lega, meski harus berupaya
menghubungi panitia agar bisa menambah satu orang lagi
untuk menemani Bu Nelly.
Kepada panitia, aku mengemukakan beberapa alasan yang
cukup kuat agar panitia mengizinkan kami mengirim dua
orang dari Masyarakat Adat Ngaju. Syukurnya, usulanku pun
152

Ayo Menganyam Rotan: Mendulang Rupiah dengan Merawat Tradisi

diterima. Pasalnya, panitia sangat tertarik dengan kelebihan Bu


Nelly yang bisa mendemonstrasikan kepiawaiannya membuat
tas dari anyaman rotan di pameran. Horee! teriakku
kegirangan. Aku pun meloncat kesenangan. Semoga ini awal
untuk meraih salah satu mimpiku bersama mereka, doaku
dalam batin.
***
Selang dua bulan kemudian, tepatnya setelah Bu Nelly
mengikuti pameran, aku baru berkunjung lagi ke Desa
Tambak Bajai. Sejak dari kota aku sudah berniat untuk
bertemu langsung dan berdiskusi banyak dengannya. Sebab,
meski sudah sering berkunjung ke desa ini aku belum pernah
bertatap muka langsung dengan Bu Nelly. Mungkin kami
sudah pernah bertemu dalam rapat-rapat kelompok binaan,
tapi aku belum mengenalnya.
Aku sampai di desa itu sudah sangat sore, sekitar jam
15.00, sehingga tak mungkin bertemu dengan Bu Nelly hari
itu juga. Aku memutuskan untuk berkunjung ke rumahnya
esok hari. Namun, tak disangka hari keduaku di desa itu
disambut hujan deras sejak pagi, sehingga aku terpaksa
menunda rencana berkunjung ke rumah Bu Nelly sampai
hujan reda.
Dan benar, setelah agak siang hujan pun reda. Dengan
semangat, aku pun melangkah menuju ke rumahnya yang
tak begitu jauh dari tempatku menginap. Saat aku datang, dia
terlihat sedang mengambil air hujan dari beberapa baskom
yang sempat dia tampung sejak pagi. Air hujan itu salah satu
sumber air bersih yang biasa mereka konsumsi. Maklum, air

153

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

sungai mereka sudah tidak layak untuk diminum. Warga desa


hanya memanfaatkan air sungai untuk mandi dan mencuci.
Mari masuk, Nak. Maaf ya, rumahnya berantakan,
sambut Bu Nelly dengan ramah. Kebetulan, saat aku tiba
hujan kembali turun dengan deras, sehingga tanpa dipersilakan
untuk kedua kalinya aku pun langsung masuk ke ruang tamu.
Dengan keramahannya yang khas, Bu Nelly mempersilakan
aku duduk di sebuah kursi tua yang sudah terlihat lusuh
tanpa warna.
Beberapa bagian rumah yang sedikit reot, sejumlah
perabotan dan beberapa foto tua yang tergantung di dinding
ruangan membuatku semakin yakin bila Bu Nelly tinggal
sebatang kara di rumah yang cukup besar itu.
Sebenarnya ibu sudah lama tidak menganyam, tuturnya
membuka pembicaraan sambil mendekatkan kursinya ke
arahku. Menganyam adalah istilah yang biasa digunakan
untuk membuat kerajinan dari bahan rotan.
Ibu sangat senang sekali diajak ke Semarang. Bahkan,
sejak pulang dari mengikuti pameran itu saya langsung
berhenti jadi buruh perkebunan sawit, imbuhnya. Sebagai
informasi, Bu Nelly termasuk salah satu dari puluhan
perempuan desa Tambak Bajai yang terpaksa menjadi buruh
perkebunan sawit yang ada di desa mereka. Kabarnya,
pekerjaan itu mereka lakoni karena kebun karet dan rotan
sudah tidak menghasilkan rupiah, dan sungai pun tidak lagi
menyediakan teman santap nasi.
Upah sebagai buruh juga lumayan untuk menyambung
hidup, meski mereka harus bangun jam 04.00 subuh. Maklum,
mereka harus terlebih dahulu memasak untuk bekal sarapan

154

Ayo Menganyam Rotan: Mendulang Rupiah dengan Merawat Tradisi

dan makan siang. Kemudian, jam 06.00 mereka sudah harus


ada di lokasi untuk mengikuti apel pagi.
Mereka bekerja sekitar 6-8 jam per hari dengan upah
sekitar Rp45 ribu per orang. Biasanya, jam 14.00 siang mereka
sudah bisa kembali ke rumah. Artinya, bila dalam sebulan
mereka bisa bekerja selama 20 hari, maka hasil yang mereka
kantongi cukup lumayan. Apalagi bila dalam satu keluarga
suami dan istri sama-sama bekerja, pendapatannya bisa dua
kali lipat. Berbeda halnya dengan Bu Nelly yang sebatang
kara. Suaminya sudah meninggal dunia, dan satu anaknya
sudah menetap di kota.
Kenapa ibu berhenti kerja di perkebunan sawit?
Bukankah hasilnya lumayan dan sudah pasti dapat duit
setiap bulan? Memangnya ibu dapat berapa dari membuat
tas rotan ini, Bu? cecarku karena penasaran ingin mendapat
banyak jawaban darinya.
Ya, ibu sudah tua, tidak kuat lagi. Kerja di kebun sawit
itu berat, Nak. Memang hasilnya lumayan, tapi saya sebenarnya
lebih senang menganyam rotan, tuturnya. Menurut Bu Nelly,
kalau setiap hari ia menyelesaikan satu produk dan ada yang
beli, hasilnya sudah bisa untuk membeli lauk dan beras.
Tapi, sayangnya hanya sesekali saja ada pesanan, paparnya.
Setiap kali dia bicara, aku terus menatap wajahnya.
Kerutan di kening dan wajahnya terlihat menyimpan harapan.
Apalagi, wanita tua seumur dia tentu sangatlah berat bila
harus tetap bekerja sebagai buruh di kebun sawit. Berada di
bawah terik matahari selama berjam-jam, pastilah mengurus
tenaganya yang mulai berkurang. Belum lagi, setiap paginya
ia hanya sarapan nasi, ikan kering, dan tanpa sayuran.

155

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

Sepanjang perjalanan menuju ke desa itu, aku sempat


singgah beberapa saat di salah satu perkebunan sawit dan
memerhatikan bagaimana buruh kebun sawit bekerja. Mereka
harus memanggul pupuk dan parang, berjalan berkilo-kilo
meter sepanjang hari dengan alas kaki seadanya. Aku yang
masih muda saja pasti tak akan sanggup menjalani pekerjaan
itu. Pantas saja bila Bu Nelly memutuskan berhenti dan
mencoba kegiatan lain, gumamku dalam hati.
Terus terang, saya sangat senang menganyam sejak
muda dulu, lanjutnya. Lalu, dengan penuh ekspresi dia melanjutkan kisahnya seraya sesekali menggerakkan tangannya
kesana-kemari. Ungkapannya yang meledak-ledak dan penuh
semangat membuatku tak sadar bila hujan di luar masih juga
belum berhenti.
Dan sekarang, tinggal saya yang bisa menganyam
di kampung ini. Anak-anak muda sini tidak mau belajar
menganyam lagi. Repot kata mereka, pungkas Bu Nelly
mengakhiri kisahnya.
***
Demikianlah, saat ini di Desa Tambak Bajai yang dulu sempat
terkenal sebagai sentra pengrajin rotan ini hanya tinggal Bu
Nelly yang masih memiliki keterampilan menganyam rotan.
Padahal, selain menjadi peluang usaha produktif, kerajinan
ini juga menjadi bagian dari melestarikan budaya.
Bu Nelly mengaku tidak pernah mengikuti pelatihan
khusus. Keahliannya dalam menganyam diperolehnya secara
turun-temurun dari orangtuanya. Dan dia menjadi mahir
karena sangat menekuni kerajinan tersebut di sela-sela waktunya sebagai buruh kebun sawit.
156

Ayo Menganyam Rotan: Mendulang Rupiah dengan Merawat Tradisi

Tak terasa, waktu sudah hampir senja. Aku melongok keluar jendela, tapi langit masih saja menitikkan air matanya dan
menutupi dirinya dengan selimut hitam. Sambil menunggu
benar-benar reda, aku pun kembali membuka pembicaraan
dengan Bu Nelly. Apakah ibu pernah mengajak masyarakat
sini untuk menganyam? tanyaku sambil mencari ide soal
apa yang harus kulakukan agar keterampilan menganyam
tak punah di desa ini.
Entah apa yang dipikirkannya, dia sempat termenung
dan terlihat kaget mendengar pertanyaanku. Belum, belum.
Tapi saya mau melatih mereka, jawabnya.
Hanya saja prosesnya agak lama. Mereka tidak mungkin
langsung pintar, imbuhnya sambil berdiri dan memindahkan
air dari baskom ke penampungan yang sudah ia siapkan.
Memangnya sulit ya, Bu? sergahku ingin tahu lebih dalam
soal cara menganyam rotan.
Ya tergantung. Asal mau sabar dan tekun, itu saja
kuncinya. Tapi sebelum membuat, perlu siapkan bahan
berupa rotan. Rotannya harus yang muda, lalu dipotong
sesuai kebutuhan dan diraut menjadi bagian-bagian kecil
menyerupai tali. Lebarnya sekitar satu inci dengan tebal seperti
kertas. Kemudian tali-tali itu harus direndam terlebih dahulu
di lumpur untuk memperoleh bahan yang kuat, paparnya
dengan semangat.
Saking asyiknya mendengarkan penjelasan Bu Nelly, saya
sempat tak sadar kalau hujan di luar sudah berhenti. Bu,
hujan sudah berhenti. Saya pamit dulu ya, sergahku. Aku terpaksa mengakhiri perbincangan itu, karena malamnya harus
bertemu dengan ketua kelompok dampinganku, Pak Yarno.

157

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

Dalam perjalanan, aku masih memikirkan cara melestarikan budaya menganyam rotan ini. Bu Nelly, satu-satunya
orang yang memiliki keterampilan itu sudah tua, setelah dia
bagaimana? Akan hilang tanpa bekas, tinggal cerita. Wah,
gawat nih, kataku dalam hati.
Saat itulah aku teringat akan program pendampingan yang
pernah kami buat bersama Bu Rena di Samarinda. Aku yakin
program tersebut akan sangat baik bila kuterapkan di desa
ini. Sebab, pikirku saat itu, menghidupkan kembali kerajinan
rotan itu selain untuk menjajaki peluang usaha baru sekaligus
bisa melestarikan budaya.
***
Teringat itu, aku pun langsung pulang ke rumah di mana
aku menginap. Aku juga membatalkan bertemu dengan Pak
Yarno demi membicarakan program ini dengan Bu Rena. Aku
langsung ke rumah Bu Rena dan tidak peduli bahwa sore
itu dia sedang sibuk menyiapkan hajatan perkawinan adik
laki-lakinya. Sebab, aku tidak mau kehilangan gagasan ini.
Untunglah, sebelum sampai di rumahnya, aku bertemu
beliau di jalan. Bu Rena mau ke mana? sapaku sambil
berusaha menahannya sejenak untuk berbicara. Mau ke
rumah Bu Nelly. Mau ambil pesanan tas bapak, jawabnya.
Sontak aku pun baru sadar bahwa sebelum berangkat
ke desa, aku sempat minta Bu Rena memesankan tas dari
anyaman rotan untuk oleh-oleh. Padahal, saat di rumah Bu
Nelly tadi, aku melihat ada tas kecil yang sedang ia kerjakan.
Saya baru saja dari rumah Bu Nelly, tapi tasnya belum saya
ambil, kataku.

158

Ayo Menganyam Rotan: Mendulang Rupiah dengan Merawat Tradisi

Akhirnya, saya pun memutuskan untuk kembali ke rumah


Bu Nelly bersama Bu Rena. Di sepanjang perjalanan aku
menceritakan gagasan yang pernah kami bicarakan dan rencana menjalankannya. Kuceritakan juga hasil perbincanganku
dengan Bu Nelly. Wow, menarik, Pak! Kapan kita mulai?
timpal Bu Rena antusias. Ikan sepat, ikan gabus. Lebih cepat
lebih bagus, imbuhnya.
Begitu semangatnya kami berbincang-bincang, tak terasa
kami sudah sampai di depan rumah Bu Nelly. Namun sayang,
Bu Nelly ternyata sudah tidak ada di rumah. Kami pun
memutuskan untuk membahasnya di lain waktu saja. Sebab,
selain malam itu Bu Rena ada acara, besok pagi sekali aku
juga sudah harus pulang ke kota.
Dari rumah Bu Nelly, Bu Rena langsung pulang dan
berjanji akan mengantar tas pesananku malamnya. Sedangkan
aku memutuskan untuk pergi ke rumah Pak Yarno, tempatku menginap.
Namun, betapa terkejutnya aku ketika melihat Bu Nelly
sudah di rumah Pak Yarno. Saya antar tas, Nak. Kata
Bu Rena, ini pesanan Bapak ya? sergah Bu Nelly menjawab keherananku.
Lalu, dia menyodorkan kepadaku sebuah tas anyaman
rotan yang cantik, berwarna cokelat muda dengan garis-garis
hitam. Yang menarik, tas itu dilengkapi dengan tali dan
penutup. Berapa harganya, Bu? tanyaku. Soal harga ini
aku tanyakan karena harga tas berbeda-beda sesuai dengan
ukuran dan tingkat kesulitan pembuatannya. Hanya Rp75
ribu saja, Nak, jawabnya.
Setelah menyerahkan tas dan menerima uang dariku,
dia langsung pulang pamit karena akan ke rumah Bu Rena.
159

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

Nak, saya permisi dulu. Untuk rencana melatih ibu-ibu di


sini saya siap kapan saja, ujarnya.
Mendengar itu, aku menjadi optimis dan tambah semangat untuk meneruskan program pengembangan kerajinan
rotan. Apalagi, sebelumnya Bu Rena dan beberapa ibu muda
di desa itu juga sudah mengungkapkan ketertarikan mereka
terhadap kerajinan rotan itu bila ada yang melatih dan
membantu pemasaran.
***
Esoknya, sebelum kembali ke kota, aku menyempatkan diri
mampir di kantor kecamatan dan berdiskusi dengan camat
setempat. Kuceritakan kepadanya tentang rencana Bu Nelly
dan masyarakat Desa Tambak Bajai untuk mengembangkan
usaha kerajinan rotan.
Aku juga menjelaskan kepadanya bahwa program yang
diberi nama Ayo Menganyam Rotan itu sebenarnya sudah
digagas sejak bulan Juli 2012 di Samarinda bersama Bu
Rena. Kemudian, Bu Nelly melanjutkan gagasan itu dengan
keterlibatannya pada pameran di Semarang. Kebetulan,
tahun ini PKK ada program membuat semacam tempat
untuk menampung hasil kerajinan masyarakat di kecamatan
Dadahub. Jadi, hasil kerajinan Desa Tambak Bajai nanti bisa
dititipkan di tempat tersebut, kata Pak Camat merespons
program kami.
Sebuah impian pun kembali menemukan jalannya, dan
aku tak sabar lagi melihat kesuksesan Bu Nelly dalam merajut
harapan melalui kerajinan rotan.
***
160

1. 13

Pipikoro: Negeri di
Pinggir Awan

Oleh
Idham Malik
Sulawesi Community Foundation, Makassar

Sepertinya, mengajar orang dewasa, apalagi di daerah


terpencil seperti ini sangatlah sulit. Tapi, setelah melihat
kobaran semangat Oktavianus dan Komedi, saya yakin masih
ada harapan. Kita ini akar, bukan rotan. Apa yang didapat,
itulah yang diajarkan.

161

Pipikoro: Negeri di Pinggir Awan

ami tiba di Watukilo, Kulawi Selatan, Kabupaten Sigi.


Setelah menempuh perjalanan dua jam lebih dari Kota
Palu, kami menumpang menginap di rumah Pak Marten,
kenalan seorang rekan yang ikut mengantar. Hawa dingin
menyeruak hingga ke ruang tengah rumah persegi itu,
membuat kami bersungut-sungut di hadapan secangkir kopi.
Kopi tubruk khas Kulawi itu saya teguk berulang-ulang,
sepertinya cukup ampuh menghilangkan rasa mual dalam
perjalanan. Akan tetapi, kelelahan dan dinginnya malam tak
membuat pikiranku berhenti untuk merancang rute perjalanan
Jumat hingga Minggu lusa. Soalnya, dalam tiga hari itu, saya
dan Pak Muhammad Subarkah (wartawan Bisnis Indonesia)
harus memotret sistem layanan hak-hak dasar berupa pendidikan dan kesehatan di tiga desa di Kecamatan Pipikoro,
yaitu di Porelea, Lonebasa, dan Lawe.
Untung malam itu sinyal ponsel cukup kuat di Watukilo.
Segera saya mengontak Satrianto, direktur Perkumpulan Karsa
untuk menggali informasi mengenai rute dan tokoh-tokoh
yang akan ditemui. Padahal, pemahaman geografis, kondisi
medan, jumlah desa sasaran, sebelumnya begitu gelap. Dari
percakapan singkat dengan Satrianto, kami pun memutuskan
untuk ke Desa Porelea esok paginya.
Kami bangun tak pagi betul. Sekitar pukul 09.00, Enos,
tukang ojek datang. Ia membawa kabar baik, katanya Kepala
Desa Porelea ada di rumah Sekretaris Camat Pipikoro, yang
163

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

hanya satu kilometer dari rumah Pak Marten. Kami menyambangi kediaman Sekcam Pipikoro untuk bertemu Kepala Desa,
Abed Nego. Kata Abed Nego, ia sudah mempersiapkan para
kader di desanya untuk kami wawancarai. Alhamdulillah.
Sekembali dari kediaman Sekcam, kami berangkat ke
Pipikoro. Dia menumpangi kami mobil hingga ke perbatasan
Gimpu, akhir jalan aspal yang bisa dilalui mobil. Kemudian,
perjalanan disambung dengan menumpang ojek menuju
Porelea, yang membutuhkan waktu 1,5 jam. Beberapa kali
kami berhenti di jalan untuk melihat Porelea dari kejauhan,
yang letaknya di atap gunung.
Perjalanan ke desa itu cukup sulit, medan berupa pendakian di lereng-lereng gunung, kadang menuruni lembah dengan
kemiringan curam, membuat tukang ojek memodifikasi
motornya dengan gir yang dirancang khusus. Ongkos ke sana
pun tak murah. Bayangkan, hanya berjarak 24 kilometer, kita
harus merogoh kocek Rp100-150 ribu per orang.
Konon, jalan pendakian ini dulu hanya bisa dilalui dengan
perjalanan setengah hari menaiki kuda. Sekitar tahun 2011,
motor ojek mulai masuk ke desa-desa Pipikoro yang diinisiasi
oleh seorang Komandan Babinsa (Bintara Pembina Desa),
Wempi Gesa Dombu. Pada tahun 2001, ia menghadirkan 12
buah ojek dengan modal Rp80 juta rupiah. Sejak itu, warga
mulai ramai-ramai menukar kudanya dengan motorsatu
motor ditukar dengan empat ekor kuda.
***
Menginjak Porelea, kita seperti menjejak sebuah negeri
yang baru ditemukan. Negeri yang tersembul di atas pasak
bumi. Padahal, jaraknya tak jauh dari pangkal keramaian, 24
164

Pipikoro: Negeri di Pinggir Awan

kilometer dari Gimpu. Karena sulitnya medan menuju Porelea,


desa ini belum bisa menikmati kemajuan zaman. Di desa
seluas 6,59 kilometer persegi, masyarakat masih mengandalkan
teknik perkebunan sederhana, mempersiapkan kebutuhan
pangan dari ladang berpindah dan bersifat subsistem atau
bukan untuk diperjualbelikan.
Setelah menelusuri lorong-lorong kebun cokelat, baru
tampak pagar-pagar bambu halaman rumah warga. Di
dalamnya ditanami jagung, beberapa pohon cokelat, kopi,
dan tanaman jenis obat-obatan seperti kumis kucing. Kami
istirahat di teras rumah Abed Nego, minum kopi, mengambil
gambar, dan menikmati suasana desa.
Petani lalu lalang di jalan depan rumah, di punggung mereka melekat bakul dari anyaman bambu, mereka menyebutnya
kapipi. Bakul inilah yang menjadi tas seribu umat di Pipikoro,
digunakan untuk menampung hasil petikan kopi. Rumah Abed
tidak besar, tapi cukup untuk tempat berteduh tiga keluarga
di dalamnya. Kami pun memulai perbincangan dengan Abed
yang saat itu lagi menggendong cucu termudanya.
Saat ini, Porelea diterangi dengan bantuan tenaga disel
menggunakan jenset. Pengadaan solar kami ambil dari iuran
warga yang dibayar per minggu. Kami menghabiskan 35 liter
setiap minggu. Biaya per liter sebesar Rp6 ribu dengan ongkos
angkut per jerigen sebesar Rp35 ribu, terang Abed. Sekarang
terdapat 78 KK yang menggunakan listrik inidalam satu
rumah terdapat tiga KK. Jumlah keseluruhan ada 203 KK,
atau 984 jiwa.
Abed yang dibantu Sekcam telah menyusun proposal
untuk pembangunan PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga
Mikro Hidro) yang ditujukan ke Dinas Pertambangan. Dulu
165

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

pernah kami membuat proposal untuk penyediaan 160 unit


pembangkit listrik tenaga surya, tapi setelah mempertimbangkan, untuk memenuhi 240 Kepala Keluarga rasa-rasanya
tidak cukup. Makanya kami alihkan ke PLTMH, jelas Abed.
Di tengah perjalanan menuju Porelea, Abed memperlihatkan dua model tenaga mikrohidro, satu milik pribadi,
satu lagi dari program PNPM Mandiri Pedesaan, yang
pengerjaannya belum rampung. Tampaknya, melihat potensi
arus sungai yang deras, desa ini cocok untuk menggunakan
tenaga mikrohidro. Tinggal bagaimana meningkatkan daya
energi, sehingga kebutuhan desa listrik tercukupi.
Cokelat merupakan komoditas andalan masyarakat
Porelea, meski produksi kopi masih terdengar seksi. Beberapa
tahun lalu, orang ramai-ramai menebang sebagian kopinya
untuk menanam cokelat. Harga cokelat per kilo sekitar
Rp17.000, sementara kopi robusta sekitar Rp20.000. Meski
harga kopi lebih tinggi, cokelat tetap menjadi idola, karena
proses panennya dapat dilakukan tiap hari. Sedangkan kopi
jangka panennya sangat lama, sekitar 5-6 bulan, terkadang
malah cuma satu kali dalam setahun.
***
Enam bulan lalu, Selestin diajak bergabung sebagai kader
kesehatan PNPM Peduli. Ia dilirik lantaran aktivitasnya sebagai
kader Posyandu Porelea yang ia lakoni sejak 2003. Ia adalah
ujung tombak keselamatan ibu hamil, karena tidak ada bidan
yang bertugas di Porelea. Bidan datang setiap tiga bulan sekali.
Kini, ia telah membantu persalinan dengan menggunakan
alat-alat kesehatan seperti kaos tangan, gunting tali pusar, dan
obat-obatan. Selestin telah mengikuti pelatihan persalinan
166

Pipikoro: Negeri di Pinggir Awan

sehat di Desa Lonebasa, sehingga metode kerja Selestin


sudah sesuai dengan metode yang dilakukan bidan. Dalam
menjalankan tugasnya sebagai dukun bayi, ia dengan serius
memeriksa para ibu hamil sebelum tiba masa persalinannya.
Ketika ibu telah melahirkan, ia tetap mengontrol selama
4-5 hari.
Sedangkan Alficanus dalam kesehariannya bertugas
sebagai Sekretaris Desa Porelea, tapi juga merangkap sebagai
petugas Posyandu. Ia melakukan penimbangan anak setiap
bulan serta pemberian makanan tambahan setiap tiga bulan
sekali, berupa ayam, susu dan nasi. Dana makanan tambahan
diambil dari iuran balita. Dalam setahun, Alficanus menyelenggarakan imunisasi pada bulan Maret dan Agustus, yaitu
imunisasi BCG, DPT, campak, dan polio.
Masuknya timbangan duduk yang berasal dari PNPM
Peduli sangat membantu proses penimbangan balita di
Posyandu Porelea. Meski begitu, tugas kader kesehatan
ini cukup besar, karena di desa tersebut masih banyak
penyakit-penyakit lain yang perlu ditangani, seperti ISPA,
pneumonia, kista, tuberculosis, yang mungkin juga diderita
oleh penduduk Porelea.
Penyakit-penyakit ini tidak ditangani dengan baik, karena
fasilitas kesehatan sangat jauh, untuk mendapatkan obat juga
mereka harus turun ke Kulawi atau ke Kota Palu. Celakanya,
mereka tidak mengetahui fasilitas Jamkesmas, sehingga warga
Porelea membeli obat di apotek dengan harga yang mahal,
sehingga ketika sakit, mereka takut membeli obat.
***

167

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

Di Pipikoro ternyata ada kopi yang melalui hasil sortir kelelawar, yang disebut Kopi Toratima. Aroma dan rasa kopi ini
tidak kalah dahsyat dengan Kopi Luwak, asal Gayo Region,
Takengon, Aceh itu. Kopi Toratima biasa dipersembahkan
bagi para tamu adat dan menjadi hidangan utama dalam
upacara-upacara adat. Saya belum mencoba jenis kopi ini,
karena terlambat mengetahui sehingga kurang dieksplorasi.
Menjelang magrib, kami bergerak ke lapangan bola.
Bermain di sini harus mengeluarkan tenaga ekstra, karena
pada kedua ujungnya berupa gundukan dan di tengah berupa
lembah. Setiap kali pemain membawa bola ke gawang, mereka
harus mengangkatnya ke atas lewat tendangan melambung.
Hebatnya, para pemuda Porelea seperti tidak kehabisan tenaga
membawa bola. Inilah hiburan utama mereka sehabis memetik
kopi atau menggarap ladang.
Malam harinya, keluarga besar Pak Abed berkumpul di
depan televisi, hiburan malam mereka menjelang istirahat.
Beruntung mereka masih bisa menonton televisi dengan
bantuan paket jenset dan parabola. Tampaknya, masih banyak
rumah di Porelea yang tidak mampu mencicipi televisi.
Ruangan tengah rumah pun bertambah ramai ketika tokoh
adat dan dua kepala dusun datang bertandang.
Tokoh Adat Desa Porelea bernama Marten Ego, malam
itu ia melingkarkan kain menutupi rambut kepalanya. Kami
tak begitu larut dalam perbincangan. Cuma membahas sekilas
hukum adat di Porelea. Hukum adat masih sangat ketat, di
sana tidak ada polisi dan hakim, jadi yang memutuskan
perkara kebanyakan adalah para tetua adat.
Pertemuan adat dilakukan setiap ada persoalan, yang
lazim terjadi adalah kasus hubungan pria dan wanita. Jika
168

Pipikoro: Negeri di Pinggir Awan

ditemukan pasangan yang bermesraan tapi bukan muhrim,


kalau dia hanya berpegangan tangan akan dikenai denda satu
ekor ayam. Jika sudah berhubungan suami istri, maka langsung
dinikahkan dan didenda sebesar 30 kilo babi, 30 parang, dan
satu balak kain. Jika ditemukan selingkuh dengan istri atau
suami orang lain, maka dendanya adalah satu ekor sapi.
Seni tradisional juga cukup subur di Porelea, seperti
seni Raigo, Pabunca (ucapan syukur), dan tari Cakalele.
Tarian Cakalele biasa diperagakan jika ada tamu istimewa
yang datang. Porelea sendiri berarti tempat pertama kali
ditemukannya seni Rego. Situsnya masih ada, berupa batu
besar berbentuk meja. Namun sekarang sudah tidak tampak
seperti meja lagi, karena badannya tertimbun oleh erosi.
Konon, waktu zaman Belanda, para penghuni desa Porelea
diminta untuk mengungsi ke daerah yang lebih rendah.
Namun dalam perkembangannya, tiga rumah masih bertahan
dan tidak mau turun, bahkan membangun Lobo (tempat
pertemuan adat) di situ. Lama kelamaan, orang Porelea di
kawasan ungsian banyak yang kembali, diperkirakan waktu
itu daerah bawah sering terjadi bencana longsor. Sejak itu,
Belanda menganjurkan mereka menanam kopi. Mungkin
sejak itu kopi berkembang di Porelea.
***
Perjalanan ke Lonebasa lebih menegangkan. Lebar jalan
Porelea masih ada dua meter, tapi jalan ke Lonebasa hanya
setengah meter, itu pun dengan jurang menganga di sampingnya. Beberapa kali kami turun dari ojek untuk mengurangi
kecepatan pada tikungan tajam. Di titik lain, kami menjaga
keseimbangan pada jalanan berbatu yang sempit dan licin.
169

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

Kalau tukang ojek kurang lincah dan kehilangan keseimbangan


barang sedikit, tidak tahu nasib apa yang akan menimpa.
Saat itu, nyawaku sepenuhnya dalam kendali tukang ojek.
Di sela-sela perjalanan, saya mengamati banyak punggung
pegunungan yang gundul. Kata tukang ojek, itu bekas ladang
berpindah. Pikir-pikir, parah juga akibat dari ladang berpindah
ini, sepotong gunung bisa gundul. Sistem ini disebut berah,
petani menerapkan siklus penanaman untuk menunggu
meningkatnya unsur hara tanah bekas tanam, siklus sekitar
3-5 tahun.
Pada tahun 2011 lalu, padi ladang di Porelea dan
Lonebasa gagal panen karena musim kemarau panjang dan
salah jadwal tanam. Bukan hanya teknik budidaya sebenarnya,
tapi juga manajemen dan pelimpahan tanggung jawab. Ini
diakui Wempi, mantan Babinsa di Pipikoro. Menurutnya,
masing-masing keluarga petani memiliki banyak lahan di
banyak tempat, sehingga mereka kerepotan untuk memelihara
satu-satu lahan yang letaknya saling berjauhan.
Setiba di Desa Lonebasa, kami disambut Amir, fasilitator
PNPM Peduli di sana. Lagi-lagi, kami disajikan kopi Pipikoro.
Kemudian, satu persatu kader pendidikan datang, yaitu
Oktavianus dan Komedi, yang sehari-hari bekerja sebagai
petani cokelat, guru tidak tetap di SD Bala Keselamatan,
sekaligus guru untuk para warga buta aksara. Kami ini sejak
dulu menjadi GTT alias Guru Tetap Tani, dan GTY alias
Guru Tetap Yayasan, ucap Oktavianus sambil terbahak-bahak
menertawakan nasibnya sendiri.
Sejak 1989, ia mengabdi sebagai salah satu dari empat
guru di SD Bala Keselamatan. Pada 1992-1999, ia ditunjuk
sebagai kepala dusun. Baru pada 1999-sekarang, Oktavianus
170

Pipikoro: Negeri di Pinggir Awan

kembali mengajar. Saya ajak anak-anak menanam cengkeh


di halaman sekolah, tanaman itu dipelihara oleh anak-anak.
Sekarang cengkehnya ada yang mati dan banyak pula yang
hidup subur, ungkap guru yang mendapat gaji Rp500 ribu
per tiga bulan dan dana yayasan Rp90 ribu per bulan itu.
Tengah hari, Oktavianus, Komedi, dan Amir mengajak
kami untuk ke kebun. Memang, saya penasaran bagaimana
cara mereka mengajar. Ya tuhan, kebun itu jauhnya minta
ampun, sekitar dua kilometer lebih. Kami melalui jalan
setapak, turun landai ke kebun, masuk ke semak-semak
hingga menemukan beberapa orang yang sedang memangkas
dan membersihkan rumput di lereng kebun kopi. Berjalan
lagi, akhirnya kami menemukan lima orang yang sementara
memanen kopi. Merekalah murid Oktavianus.
Oktavianus pun beraksi, ia tidak mengeluarkan buku
maupun pulpen, hanya memegang kopi dan mengajak seorang
berbincang. Saya tak tahu apa yang mereka bincangkan, karena
mereka menggunakan bahasa Uma (dialek lokal). Kalau
kita pakai bahasa Indonesia itu sudah dianggap melanggar,
apalagi kalau warga belajar melihat buku dan pulpen! tegas
Oktav. Dengan bahasa lokal itu, mereka melatih mengeja
benda-benda untuk mengenal jenis-jenis huruf.
Ia mengajar barang 20 menit, saya meluangkan waktu
untuk mengambil gambar. Subarkah, Amir dan Komedi
menyeruput kopi yang dibuat istri petani itu. Sepertinya,
mengajar orang dewasa, apalagi di daerah terpencil seperti
ini sangatlah sulit. Tapi, setelah melihat kobaran semangat
Oktavianus dan Komedi, saya yakin masih ada harapan. Saya
teringat kata-kata Komedi, Kita ini akar, bukan rotan. Apa
yang didapat, itulah yang diajarkan.
171

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

Dalam perjalanan, Komedi menunjuk gunung tempat


warga belajar berkebun dan berladang. Saya bilang, untuk ini
saya lebih baik mendengar saja, tidak usah menyaksikan. Kami
balik ke rumah pak kepala desa dengan nafas tersengal-sengal.
Tak lama, muncul rasa kantuk dan membuat kami terbaring
untuk menghilangkan lelah. Amir keluar untuk mencari ojek
ke Lawe.
***
Lawe adalah desa persinggahan kami yang terakhir, juga desa
penerima manfaat PNPM Peduli yang terjauh dan tersulit
dijangkau. Setiba di rumah kepala desa Lawe, hujan tiba-tiba
mengguyur. Jika kami telat berangkat dari Lonebasa, mungkin
kami sudah kehujanan di perjalanan dan harus berbecek-becek
melintasi jalan setapak yang licin.
Niksen Lumba, fasilitator PNPM Peduli, sejak pagi tadi
menunggu kami. Kami pun istirahat di ruang tamu sembari
menikmati suguhan Kopi Pipikoro, menatap punggung gunung yang tersampiri awan lewat jendela. Desa ini betul-betul
berada di pinggir langit.
Subarkah membuka pembicaraan tentang komoditas
kopi di Pipikoro. Katanya kopi di Pipikoro sangat khas, dan
persoalan rasa tak kalah dengan kopi Toraja. Hanya saja kopi
Pipikoro kurang diperjuangkan nasibnya lantaran akses yang
sulit, pembinaan budidaya kopi yang kurang, serta rantai
pasar yang panjang. Menemukan solusi terhadap peningkatan nilai kopi di daerah terpencil dan terisolasi sepertinya
membutuhkan jalan panjang.
Saya mencoba arahkan pembicaraan ke energi listrik, waktu itu lampu rumah milik kepala desa kedap-kedip, sebentar
172

Pipikoro: Negeri di Pinggir Awan

menyala sebentar mati. Perjumpaan dan perbincangan kami


pun dibantu dengan penerangan lilin. Energi listrik di sini
menggunakan tenaga kincir, diperoleh dari arus sungai yang
kita lewati tadi. Tapi, energinya tidak cukup untuk seluruh
rumah, ungkap Niksen.
Saat ini PLTMH dikelola secara swasta oleh sebuah
keluarga pedagang di Lawe. Ketersediaan listrik sangat
bergantung pada tenaga arus yang memutar turbin. Memang,
kapasitas energi yang bisa ditampung tidak besar. Biasanya
dari ketinggian air 2,5 meter dapat dihasilkan listrik 400 watt.
Pemakai listrik pun dibebani Rp10 ribu per bulan untuk satu
mata lampu yang digunakan. Korsleting sering terjadi karena
ada warga yang memasang sembunyi-sembunyi sambungan
listrik, ujar Isaiah Koleb, Kepala Desa Lawe.
Ketika mengamati generator mikrohidro di tepi sungai
esok harinya, saya menjadi yakin bahwa sistem ini bisa
ditingkatkan teknologinya. Ketika itu, debit air naik turun.
Air yang ditampung di bendungan tidak lancar dan tidak
menentu, sehingga putaran kincir kadang pelan kadang cepat,
menyebabkan perubahan energi mekanik ke energi listrik
melalui generator melambat.
Malam itu, dengan hanya disertai sebuah lilin, saya
berinisiatif untuk memperlihatkan film dokumenter tentang
pembangunan PLTMH di dataran tinggi Batang Uru, Mamasa,
Sulawesi Barat. Film ini menggambarkan bagaimana usaha Ir.
Linggi mengajak masyarakat untuk bekerjasama membangun
pembangkit listrik dengan memanfaatkan arus sungai. Kini,
desa itu surplus listrik, bahkan PLN membeli sebagian
cadangan listriknya.

173

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

Yang membedakan Batang Uru dengan Lawe hanyalah


teknologi yang digunakan. Di Batang Uru, air deras sungai
betul-betul diarahkan untuk jatuh ke turbin, kemudian ditambah fasilitas panel kontrol untuk menstabilkan tegangan serta
sebagai alat pengalihan beban ketika konsumen mengalami
penurunan. Dengan modal sosial yang ada, saya yakin problem
energi listrik di Desa Lawe ini bisa dipecahkan.
***
Malam itu berdatangan satu persatu warga desa, di antaranya
Pak Habel dan Ibu Elsye Kahania yang merupakan kader
Kesehatan PNPM Peduli, serta Pak Alfius kader pendidikan
dan Oktavianus, kader kesempatan berusaha.
Habel adalah laki-laki yang senang mengerjakan tugas
yang biasanya dilakoni perempuan, yaitu sebagai dukun
bayi. Kelihatannya saya ini laki-laki, tapi jiwa saya adalah
perempuan, ujarnya. Ia mengaku, kemampuannya mengobati
orang sakit merupakan bakat alami. Ia biasa mengandalkan
ramuan herbal dalam pengobatan dan disertai doa dari
Yang Mahakuasa.
Di Lawe, Habel dikenal sebagai dukun sakti, ia punya
metode tersendiri untuk mengeluarkan bayi dari perut ibu.
Pertama-tama, ia mengusap perut ibu dengan ramuan khusus,
lalu dibacakan mantra, tak lama kemudian sang bayi dengan
mudah keluar. Doanya menggunakan bahasa Kaili, yang
kurang lebih artinya, putar kesana-kemari, pasti akan keluar
juga, ucapnya disertai senyum simpul.
Dalam enam bulan ini, Habel dengan setia membantu
Dukun Elsye dalam persalinan. Maklum, di Lawe tidak ada
bidan, pun bidan datang tiga bulan sekali, biasanya hanya
174

Pipikoro: Negeri di Pinggir Awan

untuk sosialisasi KB. Dukun Elsye Kahania adalah lokomotif


kesehatan di Lawe. Ia pun direkrut sebagai kader kesehatan
dalam program PNPM Peduli. Ia sudah mengabdikan diri
sebagai dukun bayi sejak 21 tahun yang lalu.
Sepanjang perjalanan kariernya sebagai dukun, baru
dalam enam bulan ini ia mendapat apresiasi pihak luar dan
mendapat bantuan alat-alat persalinan. Sejak ada bantuan
PNPM, kita tidak perlu lagi ke Koja. Kita sudah tidak ragu
lagi menangani persalinan, karena sudah dilatih dan dilengkapi
dengan peralatan, ucapnya lirih.
***
Kalau di Belitung ada Ibu Muslimah, tokoh pendidikan Laskar
Pelangi, maka di Lawe ada Alfius. Saat ini ia diangkat sebagai
Kepala Sekolah dengan status guru honor untuk Sekolah
Dasar Bala Keselamatan, sekaligus kader pendidikan program
PNPM Peduli untuk layanan hak-hak dasar.
Pada 2003, Alfius kembali ke Lawe. Saat itu, ia cuti kerja
di sebuah perusahaan pengeboran minyak di Samarinda untuk
melihat keluarga di Lawe. Orangtuanya mulai sakit-sakitan
dan menganjurkannya untuk menikah. Ia pun menikahi gadis
Lawe bernama Serli. Sejak itu, ia tidak kembali ke perusahaan
dan mungkin selamanya akan menetap di Lawe.
Salah satu alasan yang memperkuat tekadnya bertahan
adalah masih ada anak-anak Lawe yang tidak sekolah.
Menurutnya, kita ini kembali ke belakang, kondisi sebelum
merdeka. Saya menyaksikan sekolah itu hanya menjadi sarang
rumput dan kandang kuda, lirihnya.
Selama 2001-2003, pendidikan di Lawe mandek, sebanyak tiga generasi otomatis tidak menikmati pendidikan.
175

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

Saya berpikir, kalau saya punya anak, sekolahnya nanti di


mana? Pertanyaan inilah yang menjadi dasar perjuangan
Alfius. Kemudian, ia menawarkan diri ke Dinas Pendidikan
Kabupaten Sigi untuk mengabdi sebagai guru di sekolah
Bala Keselamatan.
Tahun 2004, Alfius mulai membenahi sekolah. Dengan
sigap ia mengumpulkan anak-anak yang putus sekolah untuk
membantu membersihkan sekolah. Saat itu tak ada kapur sebiji pun, saya tugaskan anak-anak untuk mengumpulkan kapur
satu orang sebiji. Untuk papan tulis, kami cat menggunakan
karbon dari baterai yang dipecahkan, kenangnya. Saat itu
masih ada dua buah bangku, tiga meja, dengan murid awal
30 orang, sehingga sebagian murid belajar dengan berdiri.
Kemudian ia berembuk dengan warga untuk penyediaan
bangku sekolah. Disepakati satu kepala keluarga satu bangku.
Masalah lain adalah buku. Alfius berangkat seorang
diri untuk meminta permohonan pengadaan buku ke Dinas
Pendidikan. Ia pun membawa pulang segepok buku untuk
anak-anak Lawe. Anehnya, masih ada laporan bulanan sekolah
ke Dinas Pendidikan oleh Kepala Sekolah di Pipikoro. Saya
turun balik ke Dinas Pendidikan untuk mengambil daftar
hadir dan mencocokkan nama yang ada di daftar hadir milik
kepala sekolah, ternyata namanya tidak cocok. Kesempatan
berikutnya, saya ajak kepala desa untuk meyakinkan Dinas.
Akhirnya kepala sekolah itu diskorsing enam bulan, lalu
diturunkan statusnya menjadi guru bantu di daerah lain,
tutur Alfius.
Sekolah yang dipimpin Alfius bertahan hingga hari ini,
sekarang memiliki murid sebanyak 89 orang. Sekolah ini
dikelola oleh Yayasan Bala Keselamatan. Ironisnya, Alfius
176

Pipikoro: Negeri di Pinggir Awan

pernah menanyakan honornya pada pihak yayasan. Kata


pengurus yayasan, honor yang Rp90 ribu perbulan itu hanya
boleh diambil di Palu. Padahal, perjalanan ke Palu saja
membutuhkan ongkos lebih dari seratus ribu. Tiap tahun
yayasan ambil foto, tapi tetap tidak ada bantuan. Sepertinya
surga ada di telinga.
Berulang kali Alfius mendatangi Komisi C DPRD Kota
Palu. Ia memperlihatkan foto-foto sekolah, lalu mengusulkan
untuk pendirian bangunan baru. Puji Tuhan, Alfius memperoleh dana pembangunan sekolah melalui APBN sebesar
Rp127 juta. Saya tak segan-segan mendatangi anggota dewan,
karena saya tahu janji-janji mereka, ujarnya. Kini, sementara
sekolah dibangun, sudah tampak fondasi semennya. Saya
tidak membayangkan, bagaimana pasir dan semen itu bisa
didatangkan ke Desa Lawe.
Tidak hanya itu, Alfius turut mengabdikan diri sebagai
kader pendidikan di program PNPM Peduli. Ia mengajar anak
yang putus sekolah dan lebih banyak orang dewasa mengenai
pengetahuan dasar, yaitu membaca, menulis dan menghitung.
Kini ia memiliki murid informal sebanyak 18 orang.
Alfius mendatangi rumah murid-muridnya, dengan pola
jemput bola. Misalnya ada ibu rumah tangga memasak di
dapur, ia mengajari ibu itu hitung-menghitung sesuai bahan
dapur yang ada. Memang Alfius bertubuh kecil, tapi ia berjiwa
besar. Ia bertekad mengabdikan diri untuk pendidikan Lawe
hingga liang lahat!
Inilah negeri di pinggir awan itu, sebuah negeri
yang terpinggirkan.
***
177

1. 14

Ternak Ayam
Milik Sarialang
Oleh
Asfriyanto
Mitra Turatea, Jeneponto

...banyak dari peserta yang bingung dengan keberadaan surat


undangan, sebab baru pertama kali mereka menerima surat
beramplop dan segepok lampiran yang mengabarkan tentang
maksud dan tujuan PNPM Peduli.

179

Ternak Ayam Milik Sarialang

ada pertengahan tahun 1970, dengan alasan untuk


mempertebal keyakinan beragama, sekelompok warga
suruhan pemerintah menebang pohon taipa (mangga) induk
yang berusia ratusan tahun. Disebut sebagai pohon induk
sebab konon hampir semua bibit mangga yang pernah tumbuh
di Bangkala berasal dari pohon tersebut.
Selain itu, berdasarkan penuturan warga yang masih
sempat melihat keberadaan pohon itu, diameter pohon taipa
induk berukuran empat pelukan orang dewasa dengan tinggi
mencapai 40 meter. Saat ini, anakan mangga dari pohon
induk sudah semakin langka pascaproyek peremajaan mangga
varietas baru di awal tahun 1990-an.
Ironisnya, varietas mangga proyek yang diklaim unggul
justru kalah manis dari mangga asli. Singkat cerita, dari
keberadaan pohon mangga raksasa itulah nama salah satu
dusun di Gunung Silanu, Kecamatan Bangkala, Kabupaten
Jeneponto berasal: Dusun Taipa Tinggiayang berarti pohon
mangga yang tinggi.
Karena akses masih terbatas, Taipa Tinggia bisa dikategorikan sebagai dusun yang terpencil. Jalanan di desa itu
masih berupa batu-batu lepas yang pada saat musim kemarau
sangat berdebu dan pada musim penghujan akan berubah
menjadi kubangan lumpur.
Dengan jumlah KK sekitar 60, Taipa Tinggia bisa
dibilang cukup padat, sebab tidak banyak daerah rata yang
181

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

dapat dijadikan lahan pemukiman. Ditambah lagi dengan


sanitasi yang buruk, tara ruang pemukiman dusun tersebut
menjadi tumpang tindih. Karena ketiadaan sarana irigasi yang
memadai, dusun menjadi lahan kering. Pada umumnya, kebun
dan sawah warga berada jauh dari lingkungan pemukiman.
***
Namanya Sarialang, istri dari Saharuddin, warga asli Taipa
Tinggia. Sarialang sudah yatim piatu sejak dinikahkan dengan
Saharuddin yang berusia jauh di bawahnya. Dari perkawinan
itu, mereka dianugerahi seorang putra dan putri. Yang sulung,
seorang gadis yang mulai beranjak dewasa, sudah duduk
di bangku kelas 1 Tsanawiyah, sendangkan bungsu masih
berusia tiga tahun.
Ketika anak pertama mereka lahir tahun 2001, mereka
malah pergi merantau ke Berau, Kalimantan Timur. Mereka
terpaksa meninggalkan Taipa Tinggia, karena untuk bertahan
hidup saja susah. Alih-alih mengubah nasib, mereka justru
hidup semakin sulit di perantauan. Untungnya, banyak tanah
yang bisa digarap dan cukup subur dibandingkan dengan di
Taipa Tinggia. Dari situlah mereka mencoba membangun
kembali kehidupan ekonomi.
Pada tahun 2010, setelah sembilan tahun di perantauan,
dengan hasil tabungan yang tidak seberapa, mereka memutuskan untuk kembali ke Taipa Tinggia. Alasannya cukup
sederhana, hidup di perantauan jauh dari sanak keluarga.
Sepulang dari perantauan, tabungan mereka hanya cukup
untuk membeli sepetak lahan, untuk membangun rumah
sederhana yang sekarang mereka tempati.

182

Ternak Ayam Milik Sarialang

Setidaknya, pengalaman di perantauan telah menempa


mereka menjadi orang-orang yang tangguh. Untuk bertahan
hidup, mereka berdua bahu membahu bekerja. Seorang warga
dari desa lain mengizinkan Sarialang dan suaminya untuk
menggarap lahan kritis miliknya, sekitar 5 kilometer dari
kediaman Sarialang. Itu pun masih harus membayar uang
sewa Rp500 ribu sekali musim panen.
Keuletan dan kesabaran mereka benar-benar diuji, karena
lahan berbatu-batu dan gersang tersebut harus dibersihkan.
Sepetak lahan akhirnya memberikan hasil bagi keluarga
Sarialang. Karena keuletan mereka berdua dan senang lahan
berbatu dan gersang dapat ditanami, sang pemilik lahan
menyarankan untuk menambah luas areal garapan, sekuat
dan semampu Sarialang. Namun, biaya sewanya masih tetap
Rp500 ribu.
Tahun pertama hasil dari panenan jagung kuning tersebut diupayakan untuk mengganti bangunan gubuk mereka
menjadi lebih layak huni. Separuhnya lagi dipakai uang muka
untuk mencicil motor, yang digunakan Saharuddin berkeliling
desa untuk menjajakan ikan asap dan sayur-mayur.
***
Sama seperti warga desa kebanyakan, urusan rapat di
balai desa dan tetek bengek administrasi lainnya jauh dari
pemikiran mereka. Bukan tidak dipikirkan, namun karena
mencari isi perut dianggap lebih penting. Di samping itu,
mereka telah kenyang dengan janji-janji bantuan. Lebih baik
mencari yang sudah jelas di depan mata daripada berharap dan
menunggu-nunggu bantuan. Begitulah pemikiran Sarialang
dan suaminya.
183

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

Demikian pula ketika kami mengantarkan surat undangan


untuk mengikuti sosialisasi awal PNPM Peduli. Meski saat
itu Sarialang hampir dipastikanberdasarkan datalayak
untuk menerima paket bantuan dari PNPM Peduli, namun
Sarialang dan suaminya acuh pada surat tersebut.
Bukan saya tidak mau ketika itu pak. Pas lihat acaranya
jam 09.00-13.00, saya pikir dengan waktu empat jam saya
bisa menanam benih jagung 1 kilogram, tuturnya tersipu
ketika diingatkan tentang pengalaman pertama dengan PNPM
Peduli. Pernah juga saya ikut rapat. Katanya mau ada bantuan,
tetapi sampai sekarang tidak ada, tambahnya lagi.
Bukan hanya Sarialang, hampir separuh dari 40 calon
penerima manfaat memiliki kesan yang sama. Bahkan, banyak
dari peserta yang bingung dengan keberadaan surat undangan,
sebab baru pertama kali mereka menerima surat beramplop
dan segepok lampiran yang mengabarkan tentang maksud dan
tujuan PNPM Peduli. Untung Sarialang masih bisa membaca.
Bagi calon peserta yang lain, undangan tersebut tentu saja
membuat mereka sedikit shock.
Namun begitu, Sarialang dan banyak peserta lainnya
akhirnya hadir pada acara tersebut. Dengan melibatkan
perangkat desa, dusun, dan kader pemberdayaan masyarakat
ternyata cukup efektif untuk meyakinkan para calon peserta
untuk meluangkan sedikit waktu mereka mengikuti pertemuan
di balai desa.
Setiap pertemuan saya dapat ilmu baru, katanya
berbinar. Berbagai ilmu yang didapat dalam pelatihan yang
diselenggarakan PNPM Pedulimulai dari desain kandang,
tata cara dan teknik beternak ayam kampung, sampai model
pengelolaan usahabenar-benar ia terapkan secara utuh.
184

Ternak Ayam Milik Sarialang

Bahkan, melalui dirinya pula, sang suami kemudian rela


membuatkan kandang sesuai dengan model yang disarankan
pada pelatihan tersebut.
Sama seperti anggota kelompok yang lain, Sarialang
mendapatkan 2 ekor ayam jantan dan 8 ekor betina. Ketika
memasuki bulan kelima, ayam-ayam bantuan tersebut sudah
berkembang menjadi 76 ekor dengan perincian 10 ekor ayam
dewasa, 36 ayam usia 2 bulan, dan 30 anak ayam.
Sebenarnya kalau saya tetaskan semua telurnya, mungkin
saat ini sudah lebih dari 400 ekor, Pak, ujarnya serius. Karena
sebagian telur saya jual untuk membeli pakan, sebagian
saya makan, ayam-ayam saya baru 76 ekor saja, ujarnya
sambil menunduk.
Di dusun Taipa Tinggia, Sarialang menjadi inspirasi bagi
warga sekitar dan para peternak lainnya. Banyak warga yang
datang untuk membeli anak-anak ayam Sarialang. Bahkan,
satu pejantan usia dua bulan ditawar Rp250 ribu oleh para
penghobi ayam aduan dan penggemar ayam untuk klenik.
Saat ini, Sarialang memiliki 15 ekor pejantan dengan kualitas
standar penghobi tersebut.
Saya belum mau menjualnya, masih sedikit, nanti kalau
sudah keturunan kelima saja, ujar Sarialang. Saya juga tidak
mau, karena saya senang dengan ayam, tambah suaminya.
Kualitas ternak dari bibit-bibit persilangan ayam terbaik
ditambah dengan keuletan Sarialang itulah, yang menyebabkan
ayam-ayam bantuan PNPM Peduli menjadi berkembang di
Dusun Taipa Tinggia dan Desa Gunung Silanu. Karena itu,
mereka berdua mengambil keputusan paling berani dalam
hidup mereka, yakni membeli tanah kebun yang mereka sewa
dengan seluruh keuntungan panen jagung mereka tahun itu.
185

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

Jadi, mereka tak perlu lagi membayar uang sewa, bahkan


mendapatkan pendapatan tambahan dari ternak ayam.
Saya percaya dan sudah merasakan hasil dari ayam ini,
Pak. Saya tidak takut dan waswas lagi. Di atas sana, di kambotti
(tempat ayam mengeram) saya masih punya 80 telur lagi, ujar
Sarialang bangga sambil menunjukkan telur-telur ayamnya.
Sarialang dan banyak perempuan lainnya telah membuktikan bahwa kerja keras, sentuhan kemanusiaan, serta
kepedulian terhadap sesama dapat dijadikan kekuatan untuk
membangun fondasi ekonomi berbasis rumah tangga. Sekali
lagi, Sarialang telah membuktikannya!
***

186

1. 15

Mereka juga Luar Biasa

Oleh
Aprilia Nurhasanah
Majelis Pelayanan Sosial (MPS) PP Muhammadiyah

Anak-anak jalanan sesungguhnya memiliki potensi yang luar


biasasama pintarnya dengan anak-anak yang lain. Namun
sayang, potensi ini tidak berkembang dengan baik karena
keterbatasan mereka dalam mengakses pendidikan.

187

Mereka juga Luar Biasa

aya sangat senang dapat bergabung dengan PNPM Peduli


ini. Selama menjalankan program ini, saya mendapatkan
berbagai pengalaman yang berharga. Saya bisa melihat dari
dekat kehidupan anak-anak yang hidup di jalanan. Saya begitu
terharu melihat mereka bersemangat mengikuti bimbingan
belajar yang saya lakukan.
Saya ditugaskan sebagai tutor bimbingna belajar (bimbel)
di daerah Bidara Cina, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur,
bersama seorang teman bernama Nain Rahmadany. Selama
membimbing mereka, saya sangat terkesan dengan perilaku
yang mereka tunjukkan. Seperti layaknya anak-anak pada
umumnya, tingkah polah mereka sangat lucu-lucu, meski
terkadang cukup menjengkelkan. Namun begitu melihat
semangat belajar mereka, rasa jengkel itu segera sirna. Mereka
acap kali melontarkan berbagai pertanyaan untuk mengetahui
lebih dalam materi yang saya berikan.
Anak-anak jalanan sesungguhnya memiliki potensi luar
biasasama pintarnya dengan anak-anak yang lain. Namun
sayang, potensi ini tidak berkembang dengan baik karena keterbatasan mereka dalam mengakses pendidikan. Konsentrasi
mereka terpecah antara sekolah dan bekerja di jalanan.
Sebut saja misalnya Fiki Jaki, siswa kelas 1 SD. Pertama
kali bertemu, saya melihat sosoknya sebagai anak yang lucu,
pendiam, dan penurut. Pada awalnya, ia sungkan berbicara,
mungkin karena baru kenal. Ketika pertama kali masuk kelas,
189

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

ia langsung menangis karena diusili oleh temannya yang lebih


besar. Namun beruntung, ia berhasil aku tenangkan. Ia pun
mau mengikuti pelajaran hari itu. Jika hari itu ia langsung
pulang, mungkin ia tidak mau ikut bimbel lagi.
Seperti biasanya, pada pertemuan pertama, saya tidak
langsung memberikan materi pelajaran. Saya memulai
dengan perkenalan. Saya meminta mereka untuk menuliskan
data diri mereka, tetapi dengan gaya bercerita, dan mereka
sangat antusias melakukannya. Tetapi Jaki yang masih kelas
1 SD sangat kesulitan melakukannya. Akhirnya, ketika yang
lain asyik mengerjakan tugasnya, saya memutuskan ngobrol
dengannya. Saya menanyakan apa yang sudah bisa ia lakukan.
Aku belum bisa baca, Kak, ucapnya polos.
Kalau menyebut ABCD sampai Z bisa? kata saya.
Bisa. ABCDEFGHIJKLMNOPQRSTUVWXYZ, jawabnya cepat.
Kalau berhitung bisa? tanya saya lagi.
Bisa, Kak. 12345678910, ucapnya.
5+5? lanjut saya.
10, jawabnya.
20+2? tanya saya lagi.
22, jawabnya.
Pintar Ketika saya memujinya, ia langsung tersenyum
senang. Saya pun ikut tertawa melihat senyumnya yang polos
sembari menunjukkan gigi-giginya yang hitam.
Sosok lain yang sangat berkesan bagi saya adalah Lya
Anjani atau yang akrab disapa Lya. Saat ini ia duduk di
kelas 7 SMP. Ia adalah gadis yang pintar, murah senyum,
baik, tetapi sedikit cerewet. Saya sangat suka dengan sosok
perempuan seperti itu. Saya ingin sekali mengajarinya agar
190

Mereka juga Luar Biasa

sedikit lebih bersikap manis, seperti umumnya perempuan.


Saya yakin, ia akan terlihat lebih cantik dan anggun.
Jaki dan Lya adalah dua anak yang paling menonjol selama
menjalankan program ini. Saya berharap, mereka berdua dan
tentu saja anak-anak yang lain, bisa menjadi anak-anak yang
dapat dibanggakan orang tua, bangsa, dan negara. Saya yakin,
dengan potensi yang mereka miliki, mereka bisa meraih
prestasi tertinggi dan berkembang menjadi generasi muda
yang dapat diandalkan.
Mengajar Anak-anak Hebat
Selama menjalankan program ini, banyak suka duka yang
saya alami. Pada awal kegiatan, saya sudah dihadapkan
pada masalah tempat belajar yang belum pasti. Pada minggu
pertama, saya mengajar di Rumah Singgah Prumpung. Namun
seminggu kemudian, kami harus pindah ke tempat baru.
Lokasinya di Kebon Sayur II (Bonsay), Bidara Cina, Jakarta
Timur, dekat Kali Ciliwung. Beruntung, lokasi yang baru ini
tidak terlalu jauh dari tempat tinggal saya, sehingga tidak
terlalu sulit menjangkaunya.
Namun, untuk pindah ke tempat baru ini bukanlah
perkara yang mudah bagi saya dan teman-teman pembimbing
lainnya. Kami harus membawa barang yang cukup banyak
sehingga terasa sangat merepotkan. Saya, Mbak Nain, Peksos
Mbak Rufiah, dan Korlap Kak Endang harus berjuang keras
untuk sampai ke lokasi baru.
Pagi itu, Selasa, 11 September 2012, ketika jalanan
Jakarta masih dipadati kendaraan dan orang-orang yang
sedang menunggu angkutan umum untuk berangkat ke
tempat kerja, saya dan Mbak Nain bertemu dengan Mbak
191

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

Rufiah di Rumah Singgah Prumpung. Setelah beres-beres,


kami langsung menuju tempat mengajar yang baru di daerah
Bonsay. Kami menaiki BMW alias Bajaj Merah Warnanya. Di
belakang kami, menyusul Kak Endang dengan mengendarai
sepeda motor.
Saking banyaknya barang yang harus kami bawa, bajaj
yang kami naiki penuh sesak. Jalannya pun perlahan dan
terasa sedikit oleng. Belum lagi jalan menuju lokasi sangat
sempit, hanya berupa gang kecil. Masalah tambah rumit
karena Mbak Rufiah yang bertugas sebagai penunjuk jalan
lupa lokasi persisnya. Akhirnya, kami terpaksa turun dari
bajaj dan meneruskan perjalanan dengan motor Kak Endang.
Setelah bertanya sana sini dan berjalan kesana kemari,
akhirnya kami memutuskan Mbak Rufiah dan Kak Endang
berangkat duluan membawa barang. Dengan mengendarai
motornya, Kak Endang membonceng Mbak Rufiah, dan
barang-barang diletakkan di bagian depan. Kemudian, barang
-barang itu dititipkan sementara di sebuah mushalla bersama
Mbak Rufiah. Kebetulan Mbak Rufiah sudah janjian dengan
seorang teman lainnya untuk bertemu di tempat tersebut.
Sementara itu, Kak Endang kembali untuk menjemput kami.
Akhirnya, saya, Kak Endang, dan Mbak Nian berbonceng
tiga menuju lokasi.
Sungguh sangat melelahkan hari itu. Tetapi kami enjoy
melakukannya, apalagi ketika bertemu dengan anak-anak yang
sudah menunggu kehadiran kami. Ternyata tempat belajarnya
tidak jauh dari mushalla tempat kami menitipkan barang.
Sesampainya di lokasi, kami terlebih dulu merapikan
ruangan belajar. Dengan dibantu anak-anak, kami merapikan karpet dan memasang kipas angin. Sambil menunggu
192

Mereka juga Luar Biasa

anak-anak yang lain berkumpul, tidak lupa saya dan teman


berkenalan dengan pemilik rumah yang kami sewa. Orangorang sekitar memanggilnya Mami, dan ia pun menyuruh
kami memanggilnya dengan nama yang sama. Beliau adalah
seorang ibu rumah tangga yang baik, berlogat Medan dan
bermarga Siregar. Namun terkadang ia juga berbicara dengan
bahasa Jawa karena pernah tinggal di Yogyakarta. Ia tinggal
hanya berdua bersama suaminya, karena anak-anaknya sudah
berkeluarga dan mempunyai rumah masing-masing. Dengan
cepat, kami pun akrab dengan wanita yang tegas dan murah
senyum ini.
Setelah semua anak-anak berkumpul, sembari menyunggingkan senyum ramah, saya memerhatikan mereka
satu per satu. Sekilas saya lihat mereka tidak seperti anak
jalanan sebagaimana anggapan banyak orang. Mereka tidak
terlihat kumuh, kotor, dan bau. Meski sehari-hari bekerja di
jalanan, tetapi saat itu mereka terlihat bersih dan rapi dengan
seragam sekolahnya. Bahkan, saya juga mencium wewangian
dari tubuh mereka.
Saya sangat senang melihat mereka sudah bisa menjaga
kebersihan dan kerapian diri. Sedikit demi sedikit, mereka
sudah mengerti akan pentingnya berpakaian bersih dan rapi.
Saya yakin, kelak mereka juga akan dapat meninggalkan
kebiasaan buruk membuang sampah sembarangan. Secara
perlahan, mereka pasti juga akan mengerti pentingnya menjaga
kebersihan lingkungan.
Pelajaran hari itu saya mulai dengan sangat antusias. Saya
lihat jumlah peserta bertambah menjadi 35 orang. Namun
sayang, tidak semua yang masuk sejak minggu pertama juga

193

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

hadir di minggu kedua ini. Mereka digantikan oleh anak-anak


yang baru masuk, yang jumlahnya jauh lebih banyak.
Salah satu anak yang tidak masuk pada minggu kedua
ini adalah Jaki. Saya sempat menanyakan kepada temantemannya, tetapi tidak ada satu pun yang tahu di mana ia
berada dan kenapa tidak masuk. Sementara si pintar Lya,
saya lihat ikut hadir belajar hari itu. Ia tampak cantik dan
manis dengan bando bunga di kepala. Ia pun terlihat bersih
dan rapi dengan seragam sekolahnya.
Di minggu kedua ini, saya mulai berkenalan dengan
anak-anak baru yang ikut bimbel, di antaranya Hesti, Ida,
Jovanka (Jo), dan Dian. Mereka seolah-olah mengobati rasa
kehilangan saya terhadap sosok Jaki. Saya sangat senang
dengan kehadiran mereka, apalagi Hesti dan Ida adalah adik
kandung Lya. Keduanya sama pintarnya dengan Lya. Saat ini
Hesti duduk di kelas 3 SD, sedangkan Ida belum sekolah.
Saya membagi anak-anak menjadi dua kelas, yaitu kelas
pagi dan kelas siang. Pada kelas pagi, saya mengajarkan
Pendidikan Agama kepada Lya dan teman-temannya.
Sedangkan kelas siang, saya mengajar Ida, Jo dan Dian
membaca. Meskipun Ida belum bisa membaca dan belum
hafal seluruh abjad, tetapi ia sudah pandai menulis beberapa
abjad. Bahkan, ia dengan cepat mampu menghafal beberapa
abjad yang saya ajarkan.
Namun pada minggu ketiga, saya tidak lagi melihat Lya
hadir di kelas. Mungkin ia sedang ada kegiatan lain. Hari
itu, saya bertemu dengan Jovanka yang hadir dengan penuh
semangat. Ia tersenyum gembira ketika mulai lancar membaca. Saya sangat senang melihat kemajuan yang diraihnya.
Pelajaran hari itu kami tutup dengan doa bersama. Sebelum
194

Mereka juga Luar Biasa

pulang, anak-anak menyempatkan diri untuk salaman dengan


saya dan tutor lainnya. Kebiasaan ini adalah suatu hal yang
baru, karena sebelumnya, begitu pembelajaran selesai, mereka
langsung pulang.
Pada minggu keempat, jumlah peserta bimbel berkurang
jadi 20 orang. Padahal, kali ini saya dibantu seorang teman,
Winda. Saya pikir, dengan bantuan Winda pembelajaran akan
berjalan lebih baik. Anak-anak bisa dikontrol dengan baik.
Namun tidak apalah, dengan anak-anak yang hadir pada hari
itu, kami pun melanjutkan pembelajaran.
Hari itu saya bertemu lagi dengan si kecil Jo. Meski belum
sempurna betul dalam membaca, tetapi Jo sudah mengalami
perubahan yang signifikan dari minggu-minggu sebelumnya.
Ia mulai membaca beberapa buku yang kami sediakan. Ketika
saya meminta yang lainnya membaca, ia pun ikut membaca.
Ia tidak mau kalah dengan teman-temannya. Dengan segala
keterbatasannya, Jo berhasil membaca beberapa lembar
majalah. Bagi saya, Jo adalah anak yang cerdas. Meski belum
lancar betul membaca, tetapi ia sangat pandai menjawab
soal-soal matematika.
Sosok lain yang juga tidak kalah pintar adalah Dian.
Saat ini ia duduk di kelas 1 SD, sama dengan Jo. Pada
setiap pembelajaran, ia senantiasa menunjukkan sikap
antusias. Dengan tekun, ia mengikuti semua pelajaran yang
saya sampaikan. Ketika saya memberikan tugas, dengan
cepat ia bisa menyelesaikannya, bahkan sering kali meminta
tugas tambahan. Kak, aku mau soal lagi dong, aku mau
didikte Bahasa Indonesia dong, aku juga mau matematika
pengurangan, aku juga mau baca buku, begitu dia sering
merajuk. Saya pun segera memberikan soal yang ia mau,
195

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

dan ia mengerjakannya dengan senang hati, hasilnya pun


cukup memuaskan.
Senyum Pengobat Lelah
Minggu pertama di bulan Oktober, saya mengajar seperti
biasanya. Kali ini saya ditemani oleh tutor pembantu, Winda
dan Resti. Pada hari itu anak-anak yang datang ke kelas saya
berjumlah 30 orang. Tetapi saya tidak melihat Dian hadir
hari itu. Karena anak-anak yang hadir mengikuti pelajaran
dengan antusias, saya jadi tetap semangat. Saya melihat Jo di
antara anak yang hadir. Ia terlihat begitu cantik dan manis
dengan baju oranyenya yang cerah.
Minggu pertama di bulan November, saya mengajar
Tiara dan Halimkeduanya kelas 3 SD. Halim, anak gendut
berpipi chubby seperti tomat, tidak bisa diam dan selalu ingin
lebih unggul dari Tiara. Meski sering membuat keributan,
tetapi saya sering membiarkannya bertindak sesuka hatinya.
Saya pikir, anak seumurannya memang suka begitu, serba
ingin tahu, dan tidak memikirkan akibat perbuatannya.
Saya baru menegurnya jika perbuatannya telah mengganggu
teman-temannya yang lain.
Halim adalah anak yang sangat percaya diri. Ia sering
berujar, Aku kan pintar! Ucapannya memang bukan
pepesan kosong. Ia selalu berhasil menjawab lebih dahulu
dari teman-temannya. Ketika berhasil mengalahkan Tiara
dalam menjawab soal matematika, dengan bangga ia menepuk
dadanya sambil berkata, Kan aku udah bilang, aku kan pintar!
Meski terkesan sedikit sombong, saya sangat menyukai
sikap percaya diri Halim. Saya yakin, jika ia punya kesempatan

196

Mereka juga Luar Biasa

untuk sekolah sampai perguruan tinggi, ia pasti akan menjadi


anak yang berprestasi.
Sementara Tiara, selain pintar, ia juga anak yang manis.
Ia memiliki sifat yang penuh kasih dan sayang. Namun,
ia kurang rajin dan ulet. Ia sering menyerah jika diminta
mengerjakan sesuatu yang dianggapnya sulit.
Nakal tapi Berprestasi
Mario, seorang anak lelaki kelas 4 SD, berkulit putih. Postur
tubuhnya lebih tinggi daripada teman-temannya yang lain. Ia
selalu bersama Joshua dan Febriansyah. Mario adalah anak
yang susah untuk diminta tenang ketika belajar. Ia suka iseng
kepada adik-adik kelasnya dan selalu ingin cepat-cepat pulang.
Mario sulit diajak bicara para tutor bimbel. Tingkah lakunya
sering membuat para tutor geram.
Hari itu, Mario beserta kawan-kawannya datang memasuki ruang bimbel sambil menebarkan senyum. Mereka
duduk dan langsung bercerita bahwa esok di sekolahnya
akan diadakan ulangan harian IPA tentang fotosintesis.
Mereka terlihat cemas karena takut soalnya susah dan nilai
ujiannya jelek.
Saya pun memberikan materi yang mungkin tidak jauh
berbeda dengan ulangan yang akan mereka hadapi nanti. Saya
meminta mereka membaca sebentar, kemudian menjelaskan
kata-kata asing yang mereka belum ketahui. Saya pun meyakinkan Mario jika ia belajar serius, maka nilainya akan baik.
Mario hanya terdiam dan mengangguk sambil mempersiapkan peralatan tulisnya. Setelah diberikan tugas, dengan
cepat ia mengerjakannya walaupun badannya tidak bisa
diam. Mario berpindah kesana kemari, duduk, berdiri, dan
197

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

mengerjakan segala aktivitas yang menurutnya membuat ia


bisa mengerjakan soal itu hingga selesai.
Setelah dikumpulkan dan diperiksa, hasilnya memang
cukup mengejutkan. Mario mendapat nilai tertinggi di
kelasnya. Ternyata Mario dapat memahami apa yang saya
jelaskan dalam waktu yang sangat singkat.
Sebelum pulang, saya pun memberikan motivasi kepada
Mario dan teman-teman sekelasnya. Kalau ada yang dapat
nilai 7 ke atas saat ulangan di sekolah, kasih tahu Kakak ya.
Buat apa, Kak? tanya anak-anak.
Kakak mau kasih hadiah buat kalian yang nilainya bagus
tanpa nyontek.
Mario yang tadinya sedang asyik menggoda teman
sebelahnya, langsung terdiam sembari menyunggingkan
senyum. Ia seolah-olah ingin berkata, Sayalah yang
akan memenangkannya.
Pertemuan berikutnya, mereka pun membawa hasil
ulangan mereka dan yang tertinggi adalah Mario. Sesuai janji,
saya pun memberikan hadiah kepada mereka. Tidak hanya
mereka yang dapat nilai di atas 7, tetapi semuanya. Namun
hadiah yang saya berikan tentu saja berbeda, sesuai dengan
nilai yang mereka peroleh. Mario sangat senang dengan
hadiahnya. Dengan bangga ia menunjukkan hadiahnya di
depan teman-temannya. Seolah-olah ia ingin membuktikan
kepada semua yang ada di ruangan bimbel tersebut bahwa
ia bukanlah anak yang tidak mau berusaha. Ia bukan anak
yang suka bermalas-malasan dan kerjanya hanya mengganggu teman-temannya.

198

Mereka juga Luar Biasa

Hari Terakhir Bimbel


Pada minggu terakhir mengajar, saya dan tutor bimbel lainnya
tidak memberikan pelajaran seperti biasanya. Hari itu kami
mengumpulkan anak-anak di satu ruangan. Kami memberi
mereka gambar pemandangan yang indah, bertabur bunga
dan pohon-pohonan, ada rumah kecil di pinggir jalan, dan di
belakangnya terdapat gunung dengan matahari yang bersembunyi di baliknya. Kami meminta mereka mewarnai dengan
gaya warna mereka masing-masing. Kemudian, menyebutkan
gambar apa saja yang ada di kertas tersebut dan berapa jumlah
masing-masing objek. Mereka mewarnai gambar itu dengan
antusias, dan terlihat sangat senang melakukannya.
Hari itu, Lya Anjani, anak yang langsung mencuri perhatian saya di awal program ini turut hadir. Ia hadir bersama
teman-teman sebayanya. Selagi tangannya sibuk mewarnai, ia
bernyanyi layaknya orang yang sedang bahagia. Ketika itu,
suasananya begitu tenteram. Tidak ada yang berteriak atau
pun mengusili temannya. Jaki, bocah kecil yang juga telah
mencuri perhatian saya turut pula hadir. Ia jauh lebih rapi
dari sebelumnya dengan memakai kemeja, dan rambutnya
terlihat baru dicukur. Kuku-kukunya sekarang terlihat jauh
lebih bersih, tidak sebagaimana pertama kali bertemuhitam
dan panjang-panjang.
Kini, setelah program ini selesai, tinggal gambar-gambar
hasil jepretan kamera Kak Mul yang menjadi kenangan manis
buat saya. Saya berharap, berakhirnya program ini bukan
akhir dari keakraban saya dengan mereka. Saya akan selalu
mengenang sosok-sosok mereka yang spesial dan luar biasa.

199

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

Mereka punya keunikan masing-masing. Semoga mereka


tumbuh menjadi anak-anak yang hebat.
***

200

1. 16

Keunikan Kembang Motif


dari Lombok
Oleh
Yopi Hardi
Samanta Foundation, Mataram

Ada kepercayaan bagi para penenun di Batu Jangkih bahwa


kalau ada perempuan yang sedang menenun, dan alatnya
dilangkahi seorang laki-laki, maka tenunan tersebut tidak
akan jadi.

201

Keunikan Kembang Motif dari Lombok

embusan angin dusun Peperek yang menerpa dedaunan


memberi kesegaran tersendiri bagi penduduknya.
Matahari begitu bersahabat, teriknya tidak lagi membakar
kulit-kulit hitam para petani di desa Batu Jangkih yang
berbaris menyusuri pematang laksana legiun pulang dari
perang. Tampak dari tengah sawah rumah para penduduk
berjajar dinaungi hijaunya pohon-pohon yang memancarkan
kesejukan.
Panorama ini hanya bisa Anda dapatkan saat musim hujan.
Jika musim kemarau tiba, pohon-pohon itu tampak murung
karena daun-daunnya berguguran. Inilah pemandangan khas
pedesaan. Desa Batu Jangkih ini terletak di ketinggian 246
meter di atas permukaan air laut, sebelah barat daya dari
pusat pemerintahan Lombok Tengah.
Batu Jangkih termasuk desa yang usianya masih muda,
karena baru tahun 2002 memisahkan diri dengan desa
induknya, desa Montong Sapah. Dalam satu dasawarsa ini,
Bapak Rusman menjabat sebagai kepala desa selama dua
periode, dan dijadwalkan tahun 2014 ini akan ada pemilihan
kepala desa baru.
Menurut cerita para tetua desa, Batu Jangkih berasal
dari batu besar yang mirip dengan tungku (jangkih). Konon,
dahulu kala ada pasukan kerajaan yang dikejar musuhnya,
kemudian bersembunyi di batu besar yang berukuran
kurang lebih satu are itu. Batu ini tampak seperti gua, yang
203

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

kemudian digunakan layaknya tungku. Dari situ, pasukan


musuh terkecoh karena menduga tidak mungkin ada orang
di dalamnya. Demikian kira-kira cerita rakyat yang hingga
kini masih sering dituturkan para papuk balok11 kepada
anak-anak sebagai pengantar tidur. Batu berukuran besar itu
masih ada di belakang rumah penduduk, tepatnya di dusun
Baren Banteng.
Dengan jumlah penduduk 6.903 jiwa, mayoritas bermata
pencaharian sebagai petani dan buruh tani. Berdasarkan
pengurusan KK, ada sekitar 300 orang memilih menjadi TKI
di Malaysia, belum termasuk yang mengurus di luar desa.
Buktinya, banyak calo-calo TKI yang berkeliaran di Batu
Jangkih. Kontur daerah yang bertebing dan berbatu, membuat
musim tanam di Batu Jangkih hanya satu tahun sekali. Selain
itu, curah hujan di desa ini lebih sedikit dibandingkan dengan
daerah lain di Lombok Tengah.
Untuk sampai ke Peperek, saya harus melawati jalan di
tengah sawah sejauh 700 meter dari jalan desa. Ada dua
kelompok tenun di sana, Dahlia dan Melati. Inaq Usup,2
sapaan akrab ketua kelompok tenun Melati yang saya temui
di Peperek sedang menyiapkan proses menenunnya. Ia pun
menghentikan kegiatan mengerek benang sambil duduk di
atas lasah.3 Wajahnya tampak gembira dan sedikit terkejut
melihat kedatangan saya.
Wah, Pak Opi datang. Tumben kok datangnya siang, tidak
kehujanan di jalan? Kalau begitu saya panggilin kawan anggota
1 Kakek nenek buyut.
2 Inaq, sebutan untuk perempuan yang sudah memiliki anak. Nama tambahan
setelah sebutan Inaq adalah nama anak pertama.
3 Lasah terbuat dari bambu, berbentuk segi empat, dan mempunyai empat kaki.

204

Keunikan Kembang Motif dari Lombok

yang lain ya, Pak, sambut Inaq Usup seakan tergesa-gesa


ingin segera mengumpulkan anggotanya untuk diajak diskusi.
Saya mencegah, karena kedatangan saya hanya untuk
mengobrol santai. Saya lalu mempersilakan Inaq Usup untuk
melanjutkan aktivitasnya dan berharap kedatangan saya tidak
mengganggu pekerjaannya. Sejenak saya meregangkan otot
dan turun dari motor yang saya kendarai dari kota Mataram
dengan jarak tempuh kurang lebih satu setengah jam.
Sejuknya angin yang menyapa di bawah pohon depan
rumah Inaq Usup, membuat saya terbuai melupakan bisingnya
kota. Tidak ada paving blok, keramik, dan pagar tembok di
pelataran rumah Inaq Usup, hanya tanah yang basah diguyur
hujan tadi malam dan pagar tanaman yang memisahkan
halaman dan jalan. Suara ternak, sapi, kambing dan bebek
seakan mengiringi kedamaian di Peperek. Sapaan orang yang
lewat, meski tidak kenal nama, menambah keakraban seolah
sudah bertahun-tahun saya tinggal di Peperek.
Ada alat pemintal yang tidak terpakai, Inaq Usup?
tanya salah seorang anggota kelompok Melati. Sapaan itu
membuyarkan lamunanku. Aku pun bertegur sapa saling
menanyakan kabar. Inaqqqqq, suara tangisan anak balita
tiba-tiba muncul dari balik jendela rumah, teman Inaq Usup
terpaksa harus segera pergi. Inaq Usup tersenyum seakan
ingin mengatakan bahwa begitulah keadaan perempuan desa.
Inaq Usup adalah salah satu dari beberapa keluarga
TKI yang tergabung dalam Kelompok Tenun Melati. Karena
orangnya semangat dalam urusan mengorganisir, ia pun
dipercaya warga menjadi ketua kelompok. Dengan latar
pendidikan tidak lulus SD, Inaq Usup memberanikan diri
memimpin Kelompok Tenun Melati di Peperek.
205

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

Inaq Usup pun melanjutkan pekerjaannya, dan berharap


hari ini bisa merampungkan paling tidak tiga benang yang
sudah disiapkan untuk ditenun. Sebagai keluarga TKI, dia
kini tinggal seorang diri karena anak semata wayangnya,
Muhammad Yusuf Sahwandi, sudah berkeluarga dan tinggal
di dusun sebelah. Sementara suaminya sedang mengadu
nasib di Malaysia.
Pada awal 2011, suaminya berangkat menjadi TKI di
Malaysia. Tentu, modal keberangkatannya dengan berhutang
ke tetangga. Sebelum menjadi TKI, Inaq Usup dan suaminya
pernah bekerja di Bali selama dua tahun. Dengan harapan,
dua orang bekerja dapat menyekolahkan anaknya sampai
perguruan tinggi. Namun nasib berkata lain, upah yang
mereka dapat masih juga tidak cukup untuk membiayai
sekolah anaknya.
Sebagai buruh bangunan, Inaq Usup juga belajar bagaimana menjadi tukang. Dengan belajar kepada pekerja
bangunan lainnya, akhirnya dia mempunyai keahlian dalam
mem-finishing bangunan. Misalnya, menghaluskan tembok
dan mengecat. Dua tahun pekerjaan itu dilakoninya bersama
suami, dan akhirnya tahun 2010 memutuskan untuk pulang
ke dusunnya.
Layaknya warga yang lain, Inaq Usup dan suami mengisi
hari-harinya dengan bertani dan menjadi buruh tani musiman. Meski terkadang keahlian yang diperoleh di Bali itu ia
pergunakan untuk mem-finishing rumah penduduk sekitar.
Setelah setahun menjadi buruh tani musiman, suami Inaq

206

Keunikan Kembang Motif dari Lombok

Usup memutuskan untuk pergi ke Malaysia. Sejak tahun 2011,


dia menyandang gelar Jamal4 yang kedua kalinya.
Suami Inaq Usup yang pertama juga menjadi TKI di
Malaysia selama tiga tahun. Selama itu, tidak pernah ada kabar.
Ketika ada kabar, suaminya malah menceraikannya. Tentu,
hatinya tersayat kepedihan, namun ia tak mau berlarut-larut
karena kehidupan dan tanggung jawab seorang ibu harus terus
berlanjut. Pada 2007, Inaq Usup menikah lagi, dan sampai
sekarang suaminya masih di Malaysia.
Ketika saya tanyakan berapa usianya sekarang, ia tertegun
sejenak, mencoba mengingat-ingat. Seketika suara gesekan
bambu dan kayu dari alat ereq-ereq terhenti. Inaq Usup
mencoba turun dari tempat duduknya. Sebentar, Pak Opi.
Saya harus melihat KK, karena saya tidak ingat tahun saya
lahir. Maklum saya tidak pernah sekolah dan saya tidak
diberi tahu tahun berapa saya lahir. Bahkan, nama saya pun
yang saya ingat Riin, tetapi ditambah guru SD saya menjadi
Mariin. Itu yang paling saya ingat, Pak Opi, terdengar suara
Inaq Usup dari dalam kamar rumahnya.
Sebuah map berwarna biru di tangan Inaq Usup dibukanya. Nah, kalau di sini ditulis lahir saya tahun 1978, meski
sebetulnya saya kurang yakin. Tapi bukan masalah kan, Pak
Opi? ia tersenyum saat saya berikan anggukan kepala sebagai
tanda tidak mempermasalahkannya.
Sejurus kemudian, ia kembali ke dalam rumah, menaruh
kembali map ke dalam lemari. Ketika saya menanyakan
kenapa mau berkelompok, kembali suara Inaq Usup terdengar
4 Jamal singkatan dari janda Malaysia. Sebutan bagi perempuan yang ditinggal
suaminya untuk menjadi TKI di Malaysia, meski sebenarnya tidak ada perceraian.

207

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

dari dalam rumahnya. Sambil membawa secangkir kopi dan


meletakkan di depan saya, kembali gemeretak lasah berbunyi
ketika kaki-kaki kekar Inaq Usup menaikinya dan melanjutkan
pekerjaannya.
Dulu di dusun Peperek ini hanya ada tiga orang yang
bisa menenun, Inaq Fami, Inaq Benil, dan Papuq Ilah. Hanya
mereka yang bisa menenun, Pak Opi. Dari dulu sebetulnya
saya ingin sekali bisa menenun. Kalau dasar-dasarnya saya
pernah diajari oleh inaq saya, tetapi belum sampai bisa,
terangnya sambil menenun.
Menurut Inaq Usup, ia sebenarnya pernah minta diajari
menenun oleh tiga orang tadi. Akan tetapi, saat ia mulai
memegang dengan maksud ingin tahu polanya, tiba-tiba
dilarang dengan alasan nanti takut rusak. Dan itu tidak
sekali. Ia menjadi kecil hati. Sampai pernah suatu malam ia
bermimpi bisa menenun dan membuat kembang motif. Sejak
itu, ia bertekad bulat untuk belajar menenun.
Orang lain saja bisa, kenapa saya tidak bisa. Tapi waktu
itu saya bingung harus belajar kepada siapa, Pak Opi. Berapa
saya harus belajar kalau kursus kepada orang lain? Tekad saya
waktu itu, saya harus bisa menenun, saya harus menyisihkan
uang untuk membayar kursus menenun, dan akan bertanya
kepada siapa saja saya harus kursus menenun. Ketika tim
PNPM Peduli datang ke rumah, saya langsung sambut
gembira. Saya merasa ini mungkin jawaban bagi cita saya
selama ini, ujarnya mengenang awal-awal program PNPM
Peduli masuk ke Peperek.
Menurutnya, sekitar 2009, pemerintah pernah membentuk kelompok tenun. Tiba-tiba masyarakat diminta
membentuk kelompok dan dilatih menenun selama dua
208

Keunikan Kembang Motif dari Lombok

hari. Dua bulan setelah pelatihan, kelompok ini bubar dan


tidak pernah ada pertemuan sama sekali. Awalnya setiap ada
pertemuan, warga diberi uang saku. Setelah tidak ada uang
saku, anggota kelompoknya tidak pernah kumpul lagi.
Berbeda dengan sekarang, di Kelompok Tenun Melati
ini kami menjadwalkan pertemuan rutin. Saya masih ingat
sekali perkataan Pak Opi saat pertemuan pertama bahwa
program ini bukan program bagi-bagi uang, tetapi program
belajar bersama. Itu yang selalu saya ingat, Pak Opi. Dan
itu pula yang selalu saya sampaikan kepada teman-teman
anggota Kelompok Melati. Memang tidak semua bisa datang
ketika ada jadwal pertemuan rutin, terutama di musim tanam.
Karena anggota Kelompok Melati ini juga masih kerja di
sawah. Inaq saya dulu pernah berkata, kalau ingin belajar
tenun harus betul-betul dan tidak bisa buat mainan, begitu
kira-kira kondisi awal Program PNPM Peduli ini menurut
penjelasan Inaq Usup.
***
Ada kepercayaan bagi para penenun di Batu Jangkih bahwa
kalau ada perempuan yang sedang menenun, dan alatnya
dilangkahi seorang laki-laki, maka tenunan tersebut tidak
akan jadi. Selain itu, untuk belajar membuat pola tenun,
harus melalui serentetan proses ritual adat. Ada pemangkunya
sendiri yang akan melakukan proses adat itu.
Memang, belajar bisa di mana saja, kapan saja, dan
dengan siapa saja. Tetapi tidak dengan belajar motif kain tenun
Lombok. Tidak seperti belajar dan kuliah, asal punya uang
atau beasiswa, kita bisa pergi ke mana saja untuk memperoleh
ijazah. Untuk belajar bermacam-macam pola motif kain tenun
209

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

Lombok harus menempuh persyaratan yang semua itu tidak


ada kaitan dengan nilai atau angka hasil ujian.
Untuk belajar motif tenun Lombok, ada proses kearifan
lokal yang harus dilalui. Misalnya, untuk mengawali berguru
motif, calon murid harus dimandikan oleh seorang guru.
Dengan rapal jampi-jampi, calon murid dimandikan. Tidak
hanya itu, persyaratan lain juga harus dipenuhi: membawa
penginang (peralatan kinang, kepeng bolong/uang bolong),
dan sepengadek (kain tenun, baju, sabuk kain, kerudung,
sandal, dan sarung) yang dihaturkan kepada sang guru.
Baru kemudian pelajaran menghitung pola motif kain tenun
bisa dimulai dan harus dihafalkan. Jika ingin ahli membuat
pola motif tenun, keyakinan masyarakat Lombok ini harus
dilakukan. Ketika proses-proses ritual ini tidak dilakukan,
masyarakat meyakini ada dampak yang akan dirasakan.
Keyakinan bukanlah suatu yang bisa dipaksakan, demikian juga dengan keyakinan dalam hal menenun. Jika dipikir
secara sehat, tidak ada hubungan antara orang laki-laki yang
melangkahi perempuan yang sedang menenun dan rusaknya
kain tenun. Orang banyak tidak percaya dengan keyakinan
itu, Pak Opi. Tetapi pernah terjadi, Inaq Isnawati pernah
mengalami hal semacam ini, tenunannya kemudian selalu
bermasalah. Benangnya sering putus, hasil tenunannya tidak
rapat, bahkan polanya ada yang salah. Bagaimana saya tidak
percaya, Pak Opi? anggukan kepala kembali saya berikan
untuk mengamini pernyataan Inaq Usup.
Inaq Usup merasa bersyukur dengan adanya Program
PNPM Peduli di Peperek. Dulu, sebelum ada Kelompok Tenun
Melati, sepulang dari sawah biasanya dia duduk-duduk dan
ngerumpi di depan rumah. Tetapi kini, kalau habis dari sawah
210

Keunikan Kembang Motif dari Lombok

selalu ada kerjaan. Selain menambah kesibukan, kegiatan itu


juga bisa menambah penghasilan keluarga. Bagi saya, yang
penting sekarang saya harus belajar untuk menguasai beberapa
pola, harapan saya bisa menguasai paling tidak tiga pola.
Saya sampai bermimpi-mimpi, Pak Opi. Kemarin saya coba
belajar pola limpan taek. Sebentar saya ambilkan, Pak Opi,
kata Inaq Usup sambil beranjak menuju kamarnya.
Kemudian, ia keluar dengan membawa seperangkat
alat tenun sambil tersenyum bangga. Sambil saya bantu
membersihkan tempat untuk menggelar alat tenun, saya
acungkan jempol sebagai bentuk apresiasi atas kegigihan
Inaq Usup dalam belajar menenun. Mengerjakan sesuatu
kalau didasari niat dan kemauan, akan selalu ada jalan untuk
mewujudkannya Inaq, demikian kata saya.
Ini sebenarnya sudah minggu kemarin saya kerjakan,
tetapi ketika mulai belajar pola saya sempat sakit kepala dan
rasanya mau muntah. Sampai tiga hari saya menenangkan
diri. Saya semakin paham kenapa proses adat harus dilalui.
Saya berpikir, mungkin memang ada cara tersendiri untuk
mempelajari pola tenun. Saya sangat berharap dalam program
ini kita bisa dibantu untuk belajar pola, katanya.
Di awal program, Inaq Usup hanya mampu memproduksi
dua kain tenun dalam sebulan. Itu pun motif yang sangat
sederhana. Namun, perkembangan Inaq Usup semakin pesat.
Kini, dia sudah mampu memproduksi 5-6 buah kain tenun
dalam sebulan. Tidak hanya itu, motif yang sudah dihasilkan
pun sudah beraneka ragammulai dari motif kemalu, sabuk
galuh, plosor, kaing ijo, ragi nganjeng, kembang komak,
sampai sabuk cili.

211

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

Selain jumlah produksi yang meningkat, harga kain tenun


juga meningkat. Pada awalnya, para tengkulak membeli hanya
dengan harga Rp90-100 ribu per buah. Namun kini, setelah
dijual melalui koperasi yang didirikan bersama kelompok
-kelompok tenun di desa Batu Jangkih, harganya mengalami
kenaikan sampai Rp150-200 ribu per buah. Semoga ke depan,
keterampilan ini tetap lestari, dan kesejahteraan masyarakat
Peperek semakin membaik. Amin.
***

212

1. 17

Minta Pasal Berape?


Oleh
Yudith Evametha Vitranilla
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Perempuan
Indonesia untuk Keadilan (YLBH PIK), Pontianak

Selain dilatih, perempuan-perempuan ini diberikan


penguatan-penguatan agar semakin terampil dan berdaya
dalam mendampingi korban tindak kekerasan terhadap
perempuan dan anak.

213

Minta Pasal Berape?

etiap detik adalah kesempatan untuk berbahagia.


Seperti biasa, aku selalu siap menunggu jemputan di
pinggir jalan depan Masjid As-Salam Pal V dekat rumahku.
Bisa saja mobil masuk ke dalam berhenti tepat di depan
rumah, tapi aku lebih senang menunggu di sini, sambil
menyaksikan suasana menjelang pagi hari yang mulai ramai
dengan hiruk-pikuk kendaraan melintas. Untuk mengusir sepi,
aku mendengarkan lagu-lagu favoritku yang menjadi teman
setia setiap kali aku pergi ke luar kota guna menunaikan
tugas menemui rekan-rekan di komunitas.
Setelah mobil datang, kami segera meluncur ke tempat
mangkalnya penjual bubur langganan kami di Jalan Patimura,
Kota Pontianak. Inilah menu andalan sarapan pagi kami,
bubur dengan daging sapi. Untungnya, teman-teman lain
punya selera yang sama sehingga tak sulit untuk sekadar
mencari pengisi perut agar tak keduluan angin yang masuk.
Dibanding yang lain, aku termasuk orang yang sering mabuk
dalam perjalanan jauh. Namun, aku punya cara tersendiri
untuk mengatasinya, yakni mengonsumsi permen tiada henti
hingga sampai di tujuan.
Setelah menghabiskan semangkuk bubur dan segelas
teh panas, kami pun melanjutkan perjalanan melalui Jalan
Tanjungpura dan melewati jembatan tol, jalur penghubung
bagi setiap orang yang akan keluar dari Kota Pontianak.
Jembatan itu berdiri kokoh di atas Sungai Kapuas. Kali ini,
215

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

kami akan mengunjungi sebuah desa yang cukup jauh di luar


Kota Pontianak. Setidaknya, kami harus menempuh 6 jam
perjalanan dengan jarak kurang lebih 300 kilometer, melewati
Kabupaten Pontianakyang dikenal sebagai kota bestari
karena keasrian Kota Membawahdan Kota Singkawang
yang terkenal dengan banyaknya klenteng dan kota pemasok
kebutuhan pengantin (mail order bride) di Taiwan.
***
Desa yang kami tuju adalah Desa Kubangga. Ada sepuluh
perempuan yang sedang menunggu kedatangan kami. Mereka
ini memiliki latar belakang pendidikan berbeda-bedadari
hanya tamat SD, SMP, hingga SMA. Mereka dilatih oleh
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Perempuan Indonesia
untuk Keadilan Pontianak, untuk menjadi paralegal atau
pendamping korban tindak kekerasan terhadap perempuan
termasuk di dalamnya trafficking.
Pendidikan bukanlah syarat utama, tetapi kepedulian
dan kerelaan untuk memberikan bantuan kepada kelompok-kelompok yang termarjinalkan yaitu perempuan dan
anak. Selain dilatih, perempuan-perempuan ini diberikan
penguatan-penguatan agar semakin terampil dan berdaya
dalam mendampingi korban tindak kekerasan terhadap
perempuan dan anak.
Secara geografis, Desa Kubangga ini letaknya sangat
strategis karena menjadi garda terdepan Kecamatan Teluk
Keramat untuk jalur lintasan menuju PPLB Aruk Kabupaten
Sambas, Biawak, Malaysia Timur. Sesuai dengan namanya,
tentu masyarakat sangat bangga menjadi warga desa ini.
Kubangga sebenarnya gabungan dari dua nama dusun, yaitu
216

Minta Pasal Berape?

Kubung dan Bangang. Tetapi Desa Kubangga ini memiliki tiga


dusun, yaitu Kubung, Bangang, dan Muare Ulakan.
Selain membanggakan, masyarakatnya juga ramah-ramah
sehingga membuat kita betah berlama-lama di sana. Mungkin
ini pengaruh dari sebagian warga yang berprofesi sebagai
pedagang. Buktinya, di sepanjang jalan terlihat pedagang
pakaian impor, di kampung ini dikenal dengan istilah
barang lelong, baik berupa baju, tas, sepatu, sandal, maupun
karpet/permadani. Barang-barang lelong ini banyak diminati
karena harganya relatif murah, tapi dengan kualitas baik
dan layak dipergunakan. Inilah ciri khas Desa Kubangga.
Selain berdagang, mayoritas masyarakat desa memiliki mata
pencaharian sebagai penangkal getah atau penoreh pohon
karet dan bertani.
Demikian pula dengan perempuan-perempuan yang
menjadi partisipan paralegal. Salah satunya adalah Ibu
Indrayani yang sangat dikenal dengan suara garingnya. Ibu
berusia 39 tahun ini telah memiliki dua orang anak. Sedangkan
suami bekerja di luar kota sebagai pekerja perkebunan yang
pulang ke kampung tiga bulan sekali. Ibu Indrayani adalah
sosok seorang perempuan pemberani dan ringan tangan alias
suka menolong.
Suatu waktu, salah seorang warga desa terkena musibah
kebakaran rumah. Dengan singap, Ibu Indrayani menggalang
dana bersama paralegal lainnya dengan mendatangi satu
persatu rumah penduduk. Satu langkah yang lebih cepat
dibandingkan aparat desa setempat. Meski terkadang tindakan
seperti ini justru menyebabkan benturan dengan aparat desa
setempat karena kurang berkoordinasi dengan baik. Hal ini
bisa dimaklumi karena Ibu Indrayani dan teman-temannya
217

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

bekerja berdasarkan niat baik, sedangkan aparat desa harus


membuat surat himbauan terlebih dahulu.
Selain itu, Ibu Indrayani bersama paralegal lainnya juga
berani menegur dan mengingatkan seorang perekrut Tenaga
Kerja Wanita (TKW), sebut saja namanya Adi, yang akan
mengirim TKW ke Malaysia TimurKuching, Serawak, Miri,
Bintulu, Serikin, dan Sibu. Menurut Ibu Indrayani, perbuatan
itu termasuk bagian dari trafficking karena dia menjadikan
rumahnya sebagai tempat menampung calon TKW yang
mayoritas masih di bawah umur. Mereka berasal dari desa-desa
yang letaknya jauh di pelosok Kabupaten Sambas.
Padahal, mereka nantinya akan dipekerjakan sebagai
buruh perkebunan, pertanian, bekerja di kilang/pabrik atau
pun sebagai pembantu rumah tangga. Biasanya perempuanperempuan itu menginap semalam di rumahnya sebelum diberangkatkan ke perbatasan Malaysia-Kalimantan Barat, yaitu
Entikong, Kabupaten Sanggau atau Aruk, Kabupaten Sambas.
Pada awalnya, Adi tidak dapat menerima penjelasan
Ibu Indrayani bahwa perbuatan itu dapat dilaporkan kepada
pihak kepolisian karena sudah termasuk perbuatan trafficking.
Kemudian, Ibu Indrayani memperlihatkan UU No. 21 tahun
2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang, pasal 2 ayat 1 yang menyatakan bahwa pelaku dapat
dijerat hukuman dengan ancaman paling singkat 3 tahun dan
paling lama 15 tahun penjara, dan denda paling sedikit Rp120
juta dn paling banyak Rp 600 juta. Setelah itu, barulah Adi
mengerti bahwa tindakan yang dilakukannya selama ini salah.
Bahkan pada tahun 2011 dan 2012, Ibu Indrayani dan
paralegal lainnya yang berasal dari Desa Kubangga ditunjuk
oleh Kantor Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga
218

Minta Pasal Berape?

Berencana Kabupaten Sambas mewakili PKK untuk mengikuti perlombaan penyuluhan tentang kekerasan terhadap
perempuantermasuk trafficking dan cerdas cermat di tingkat
provinsi. Yang sangat mengharukan, ketika mengikuti salah
satu kegiatan, salah satu paralegal mendapatkan hadiah door
price satu unit sepeda motor, yang kini digunakan sebagai
kendaraan operasional paralegal Desa Kubangga.
Keberadaan paralegal di Desa Kubangga sudah dikenal
hingga tingkat kecamatan, hal ini diperjelas dengan Surat
Keputusan yang dikeluarkan oleh Camat Teluk Keramat
tentang sepuluh perempuan yang berasal dari Desa Kubangga
sebagai paralegal (pendamping korban) untuk tindak ke
kerasan terhadap perempuantermasuk trafficking.
***
Ada pengalaman lucu yang dialami Ibu Indrayani yang patut
diceritakan di sini. Suatu hari, dia bersama Wati, salah seorang
paralegal Desa Kubangga, pergi ke bengkel untuk ganti oli
sepeda motor miliknya. Di sana mereka bertemu seorang
polisi yang juga sedang memperbaiki motornya.
Pada awalnya, Ibu Iin (panggilan akrab Indrayani) tidak
mengetahui jika orang yang ngobrol itu adalah seorang polisi.
Polisi itu bertanya, Kerja di mana, Bu? Ibu Iin menjawab,
Jualan pakaian, tapi kami aktif di organisasi. Kemudian ia
bertanya, Organisasi ape jak?
Ibu Iin menjawab, Salah satunya menjadi paralegal. Polisi
itu semakin penasaran dan menanyakan apa itu paralegal.
Setelah dijelaskan, polisi itu pun menjadi paham. Secara tidak
sengaja, Ibu Iin melihat sepeda motor milik si polisi yang

219

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

sedang diperbaiki montir bengkel itu. Sangat jelas terlihat


kalau pelat kendaraan tersebut sudah mati.
Keluarlah celetukan Ibu Iin, Pak ngomong-ngomong pajak
motor bapak sudah mati. Sambil cengar-cengir si bapak pun
menjawab bahwa memang benar sudah mati. Secara spontan
Ibu Iin dengan nada bergurau mengatakan kepada pak polisi,
Bapak minta pasal berape untuk kasus ini? Karena yang
bisa melakukan penilangan itu tidak hanya polisi, saye pun
bise nilang Bapak. Sambil garuk-garuk kepala pak polisi itu
berkata, Polisi juga manusia, Bu...
***

220

1. 18

Sukarelawan itu Bisa


Siapa Saja
Oleh
Meilanny Alfons
P3W-GKI, Jayapura

Tidak heran memang banyak orang, termasuk para


sukarelawanyang diseret ke meja hijau karena kasus
korupsi. Tapi marilah kita lihat sisi lain dari para sukarelawan
yang masih bisa kita temui.

221

Sukarelawan itu Bisa Siapa Saja

ungkin Anda beranggapan bahwa menjadi sukarelawan


itu sesuatu yang mustahil. Mungkin itu benar kalau
melihat kenyataan bahwa orang bekerja hanya demi uang
bukan karena hati nurani. Pada pertemuan beberapa waktu lalu
dengan pemerintah membahas masalah literasi, disinggung
bahwa kita harus menggalakkan semangat volunteerisme,
karena sekarang tidak banyak orang bekerja secara sukarela.
Tidak heran memang banyak orang, termasuk para sukarelawanyang diseret ke meja hijau karena kasus korupsi. Tapi
marilah kita lihat sisi lain dari para sukarelawan yang masih
bisa kita temui. Pengalaman saat melaksanakan pekerjaan di
P3W-GKI membuktikan bahwa pasti ada orang yang berjiwa
sukarelawan walaupun tidak mudah mendapatkannya. Dan
melalui program PNPM Peduli, kami membuktikannya.
Menjadi sukarelawan tidaklah harus seorang aktivis sosial
dan gambaran ideal lainnya. Setidaknya, ia memiliki nurani
untuk menolong sesama, baik yang bekerja di pemerintah
maupun swasta. Memang, melaksanakan kegiatan di tempat
terpencil tidaklah mudah. Apalagi berkaitan dengan HIV/
AIDS. Di sini kami melihat perlu ada komunikasi yang terbina
dengan baik. Sebagai program manager, perlu komunikasi
yang baik dengan koordinator lapangan.
Jika ada orang setempat yang bisa menjadi penggerak,
maka kegiatan akan berjalan lancar. Dalam program PNPM
Peduli ini, secara lembaga kami senang jika ada penduduk
223

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

lokal yang bisa menjadi penggerak. Untuk menjadi koordinator


dalam program HIV/AIDS memang tidak bisa sembarang
orang, karena terkait dengan perkara yang cukup sensitif di
tengah masyarakat.
***
Kurima adalah salah satu distrik di wilayah Kabupaten
Yahokimo, meski letaknya lebih dekat dengan kota Wamena
ibukota Kabupaten Jayawijaya. Sebelum ada pemekaran
kabupaten, Kurima masuk dalam ke wilayah Kabupaten
Jayawijaya. Alam Kurima sangatlah indah dan anginnya yang
kencang sudah akrab bagi mereka yang pernah menginjakkan
kaki di daerah ini.
Untuk sampai ke Kurima, kita akan melewati Kali
Yetnisebuah aliran yang biasa saja karena tidak sebesar Kali
Baliem. Tapi jangan salah, kali ini sering memakan jiwa orang
yang hendak menyeberang, terutama ketika musim hujan tiba.
Warnanya yang seperti kopi susu mengalir deras, gemuruh
riak air dan gemertak suara batu yang saling bertabrakan
memberi aura mistis tersendiri.
Jadi, Anda harus berhati-hati menyeberanginya. Selain itu,
jembatan darurat yang dipasang bisa berpindah-pindah setiap
saat karena terbawa arus sungai. Sudah banyak yang mengeluh
kesulitan untuk sampai ke Kurima. Tapi jangan khawatir, rasa
lelah Anda akan segera terobati dengan keindahan alam dan
keramahan penduduk sepanjang jalan yang Anda tempuh.
Uniknya, ketika musim kemarau tiba, sungai ini menjadi
kering, dan kendaraan bisa melewatinya.
Keadaan alam ini tidak dapat kita sebut sebagai hambatan,
tetapi anggap saja sebagai tantangan yang harus kita hadapi.
224

Sukarelawan itu Bisa Siapa Saja

Jika sungai sedang banjir, masyarakat yang sebagian besar


bermata pencaharian mengolah kebun memang akan sulit
membawa hasil panen mereka ke pasar. Demikian pula dengan
orang yang mau ke rumah sakit.
***
Yulianus adalah seorang petugas kesehatan yang mengikuti
program pelatihan dan Penyuluhan HIV/IDS di Kurima.
Sebagai seorang yang berlatar belakang bukan kesehatan,
mengikuti pelatihan menjadi sesuatu yang sangat ia hargai,
karena kemauannya untuk menolong sesama sangat kuat.
Ini bisa dilihat dari semangatnya ketika mengikuti pelatihan,
mendampingi masyarakat melakukan VCT, memberikan
informasi dan mengantar ke rumah sakit jika diperlukan.
Pak Yulianus merasa terbebani dengan masyarakat yang
meninggal tanpa diketahui penyebabnya. Mereka hanya tahu
meninggal karena penyakit dalam. Ini merupakan jawaban
yang sering didengar.
Saya masih ingat pada waktu itu, awal Mei 2012. Saya
dan seorang teman sedang mengikuti pelatihan PNPM Peduli
di Yogyakarta. Saya harus keluar dari ruangan berkali-kali
karena ada telepon dari koordinator lapangan tentang
beberapa orang yang akan berangkat ke klinik di Jayapura
untuk pemeriksaan lanjut.
Pak Yulianus adalah orang yang rela mengurus dan
berkomunikasi dengan koordinator lapangan. Ia tidak lelah
untuk terus berkoordinasi. Saya yang awalnya sedikit malu
karena harus keluar dari ruangan terus menerus, akhirnya
berpikir bahwa sebenarnya yang lebih capek adalah Pak
Yulianus dan koordinator lapangan. Jika ada orang yang
225

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

datang, Pak Yulianus harus naik turun memanjat gunung


ke tempat koordinator lapangan. Ia tidak peduli berapa kali
semua itu harus dijalani.
Dalam kunjungan di Kurima, saya ingin bertemu dengan
Pak Yulianus untuk mendengar cerita beliau setelah saya
tinggal mengikuti pelatihan. Saya masih ingat, kami mengutus
seorang anak untuk memberitahukan kepada Pak Yulianus
bahwa saya ingin bertemu. Pagi itu cuaca sedikit hujan, dan
seperti biasa udara sangat dingin.
Saya berpikir Pak Yulianus akan tiba sesudah dua jam
karena dia harus mengurus pekerjaannya di Puskesmas dan
jalan ke tempat saya sedikit menanjak. Di luar dugaan, Pak
Yulianus datang dalam setengah jam. Saya meminta maaf
karena dia harus mengorbankan waktu kerjanya, tetapi dia
tidak mempermasalahkan karena bertemu dengan saya juga
dianggap sebagai hal yang penting.
Dalam satu kesempatan, saya mengucapkan terima kasih
karena dia mau terus menolong orang lain. Ia menjawab,
Saya merasa terbebani melihat kondisi masyarakat kami.
Di samping itu, dokter pernah bilang kalau ada yang mati
karena HIV/AIDS, sayalah yang akan dicari.
Inilah yang memotivasi Pak Yulianus untuk terus
mengabdi kepada masyarakat. Kami semakin yakin bahwa
masih ada orang yang peduli, tergantung bagaimana kita
mendekati. Apa saja yang bapak sudah lakukan setelah saya
tinggal mengikuti pelatihan untuk penyuluh HIV/AIDS?
Saya selalu memberi informasi kepada masyarakat yang
berobat ke Puskesmas bahwa jangan tunggu sampai parah
untuk datang berobat. Jika merasa sakit langsung datang. Saya
juga berdiskusi dengan orang yang terinfeksi untuk mendengar
226

Sukarelawan itu Bisa Siapa Saja

keluhan mereka, dan kalau perlu saya berkoordinasi dengan


Ibu Okto (koordinator lapangan), kata Pak Yulianus.
Memang, koordinator lapangan juga kadang merasa lelah
dengan banyaknya orang yang datang menanyakan tentang
pemeriksaan HIV/AIDS. Tetapi kami menyadari bahwa itu
sudah menjadi konsekuensi. Meski lelah, kami senang karena
masyarakat mulai menyadari masalah kesehatan. Pak Yulianus
biasa dipanggil Pak Mantri itu sebenarnya hanyalah pegawai
yang ditempatkan di Puskesmas.
Ketika bertemu dengan program ini, pimpinan P3W
itu mengatakan, Kita harus mendekatkan layanan kepada
masyarakat. Jangan biarkan Puskesmas kosong. Walaupun
kami secara tidak langsung hanya memberi pengetahuan
lewat pelatihan dan penyuluhan, tetapi dengan diskusi saat
kunjungan, memberikan ruang kepada Pak Yulianus untuk
terus maju menghadapi berbagai masalah kesehatan yang
dihadapi masyarakat.
Kami sempat ditanya, Kenapa program ini tidak dilakukan di tempat yang mudah dijangkau? Pak Yulianus inilah
jawaban kami. Dia memberdayakan atau mengader penduduk
setempat. Memang ada risiko yang harus kami hadapi, mulai
dari tantangan geografis hingga hambatan sosial.
Kecelakaan mobil pernah kami alami karena medan
yang berbahaya, pernah juga menghadapi tokoh penting
yang tidak mau menerima orang yang terinfeksi. Bergerak
di program HIV/AIDS memang tidak mudah. Butuh waktu
untuk membuktikan bahwa HIV/AIDS ada dan tidak perlu
ditakuti. Kita membutuhkan seribu orang seperti Pak Yulianus
untuk penanganan HIV/AIDS.

227

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

Memang proses ini panjang, tidak bisa dilihat hanya


dalam hitungan hari saja. Tetapi dengan memberikan yang
terbaik, maka dapat memberikan bukti kepada masyarakat
bahwa ini merupakan hal yang penting. Setiap kata yang kita
keluarkan dapat menjadi motivasi dan harta berharga bagi
mereka yang ingin menolong sesama. Jadi, menolong orang
lain tidak hanya dengan perbuatan yang dilihat orang, tetapi
juga dengan tutur kata yang bisa menjadi motivasi.
***

228

Tentang Penulis

Tentang Penulis
A. Alexander Mering
Adalah seorang jurnalis dan blogger yang
pertama kali mengembangkan metodologi
Jurnalisme Kampung untuk beberapa
program advokasi dan community development di Kalimantan Barat. Karena
ide-ideanya, dia pernah dikirim ke beberapa negara untuk program fellowship, antara lain ke
Amerika Serikat, Filipina, Thailand dan Malaysia. Tahun
2007, Mering bersama empat rekannya mendirikan Koran
Borneo Tribune, di Pontianak, dan antara tahun 2011-2013 dia
menjadi salah satu Manajer Proram di Yayasan Pemberdayaan
Pefor Nusantara (YPPN) untuk PNPM Peduli di Kalimantan
Barat. Inisiator program Border Blogger Movement (BBM)
tahun 2012 ini, pernah menjadi konsultan media lokal
Sarawak, Malaysia. Kini, Mering bekerja untuk program
USAID IFACS, sambil tetap aktif menulis ke beberapa
media di Malaysia. Selain menulis karya-karya jurnalistik,
Mering juga menulis puisi dan cerpen dengan nama samaran
Wisnu Pamungkas. Home page Mering bisa dikunjungi
di www.wisnupamungkas.blogspot.com.

229

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

Aprilia Nurhasanah
Lahir di Jakarta, 11 April 1993. Bergabung
di MPS Muhammadiyah sejak pertengahan 2012 sebagai tutor bimbingan belajar
untuk anak-anak dan orangtua. Selain aktif
berorganisasi, April (sapaan akrabnya)
saat ini masih tercatat sebagai mahasiswa
tingkat akhir Universitas Azzahra. Selain menulis, ia juga
memiliki hobi desain grafis brosur, banner, dan name card.
Di sela-sela kesibukannya, April juga melakukan usaha kecilkecilan, seperti berjualan pakaian anak dan kue-kue kering.

Asfriyanto
Lahir 34 tahun yang lalu di Inderagiri,
Riau. Ia adalah alumnus Arkeologi
Universitas Hasanuddin 1999. Jeneponto
dan Lembaga Mitra Turatea merupakan
laboratorium sosial dan pemberdayaan
yang penting dalam aktvitas sosial kemasyarakatannya. Saat ini ia bekerja untuk isu-isu pertanian organik, pemetaan partisipatif untuk perlindungan kawasan DAS
dan konservasi tanah, serta pendidikan kritis untuk petani.

230

Tentang Penulis

Atiek Kurnianingsih
Lahir di kota Singaraja, Bali. Menjadi salah
satu staf Yayasan Wisnu sejak tahun 1997.
Mulai berkenalan dengan masyarakat desa
pada tahun 1999, salah satunya dengan
masyarakat Desa Lembongan pada kegiatan pelatihan pemetaan dan pemetaan
wilayah Nusa Ceningan sebagai bagian dari Desa Lembongan.
Sejak saat itu, ia semakin menekuni dan mempunyai banyak
pengalaman berorganisasi dan berhubungan dengan masyarakat desa, terutama masyarakat empat desa yang tergabung
dalam Jaringan Ekowisata Desa.
Walaupun lama belajar di sekolah formal, namun
perkembangan pikiran dan perasaannya banyak dipengaruhi
oleh pendidikan informalnya di desa. Selama 13 tahun ia
melakukan banyak hal bersama masyarakat desa, seperti
pemetaan dan pembuatan rencana kelola ruang wilayah,
melakukan berbagai kegiatan untuk pengembangan ekowisata,
serta menekuni berbagai media pendokumentasian dan penyebarluasan informasi. Berbagai kegiatan yang dilakukannya
bersama masyarakat desa berkaitan dengan pengelolaan
sumber daya komunitas.

231

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

Dano Mochammad Rildwan Kafara


Ia adalah Pekerja sosial kelahiran Sorong,
Papua Barat yang kini bermukim di Amban
Pantai, Manokwari. Ia lulusan Institut
Sains dan Teknologi Jayapura dan aktif di
dunia NGO sejak tahun 1998 di Jayapura,
dengan membantu masyarakat adat Papua
dalam penguatan institusi, pemberdayaan
masyarakat khususnya berkaitan dengan kekerasan terhadap
perempuan, dan pengembangan ekonomi masyarakat.
Tahun 2004 pernah menekuni dunia desain grafis sebagai
layouter di Tabloid Suara Perempuan Papua. Sebagian besar
Tanah Papua telah ia singgahi dari Sorong hingga Merauke,
bahkan luar Tanah Papua. Tahun 2007 hijrah ke Papua
Barat dan bergabung dengan NGO lokal di Manokwari.
Ia juga seorang pencinta hutan, masyarakat adat dan senang berpetualang.

Dewi Yunita Widiarti


Dilahirkan di Tanjung Karang, 15
Juni 1977. Lulusan fakultas Pertanian
Universitas Lampung (UNILA) ini sejak
tahun 1989 mulai aktif bekerja untuk isu
pemberdayaan masyarakat, di antaranya
pernah bergabung dengan lembaga P3AEUI (Program Pengembangan dan Pengkajian Antropologi
Ekologi Universitas Indonesia) dan KKI Warsi. Pernah terlibat
pada Project Law Enforcement, Governance and Trade
232

Tentang Penulis

(FLEGT) di Jambi, dan saat ini menjabat sebagai Manager


Program CENDIKIA pada lembaga Pundi Sumatera. Meski
mengaku masih selalu sulit memulai ketika harus menulis,
ibu tiga anak ini tetap menjadikan menulis sebagai hobbinya
di waktu senggang, selain menonton film dan memasak. Ia
mengaku masih punya buku harian yang berisi tulisan-tulisan
pendek tentang momen-momen penting dalam hidupnya.
Tentu saja ia tulis bukan untuk dipublikasikan, tapi lebih
pada curahan hatinya saat itu.

Hafis Syawir
Lahir di Muara Panas, 25 Februari 1973.
Lulusan Akademi Manajemen Informatika
dan Komputer (STMIK NH) Jambi tahun 1999 ini mulai bergabung sebagai
Fasilitator Wilayah Kabupaten Merangin,
Provinsi Jambi, pada lembaga Pundi
Sumatera sejak tahun 2012 lalu. Kalau diberi dua pilihan antara
menulis atau tidur di sudung (rumah komunitas Suku Anak
Dalam/SAD), ia lebih memilih tidur di sudung karena hanya
ingin merasakan gigitan nyamuk atau gatalnya kepinding saja.
Sedangkan jika menulis, ia mengaku bisa merasakan panas
dingin hingga tulisannya selesai.

233

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

Idham Malik
Lahir di Maros, tahun 1986. Sarjana
Perikanan Universitas Hasanuddin tahun
2010 ini adalah pekerja sosial yang tertarik
pada isu budaya dan lingkungan (ekologi).
Aktif mengampanyekan peluang masyarakat sekitar hutan untuk mengakses hutan
negara dan tertarik bekerja untuk perbaikan kondisi masyarakat lokal. Saat ini bekerja di Makassar, untuk pengembangan
budidaya perairan yang ramah lingkungan dan bertanggung
jawab. Ia juga begitu mencintai budaya, lingkungan, dan sastra.

Lisa
Lahir di Bengkulu, 13 Oktober 1980. Ia
adalah anak ketiga dari empat bersaudara.
Alumni Jurusan Manajemen Bisnis SMKN
1 Manna Bengkulu Selatan ini memutuskan hijrah ke Bekasi tahun 2002. Lisa
yang aktif di Swara juga dikenal sebagai
Pengusaha Salon. Motto hidupnya: Menjalani hidup seperti
manusia lainnya.Terus berusaha menjadi yang terbaik dan
untuk hidup lebih baik.

234

Tentang Penulis

Mai Nia Wati


Perempuan yang akrab dipanggil Lia ini
lahir pada 13 Mei 1980 di Jakarta. Ia
adalah anak kelima dari 6 bersaudara,
namun saudara yang kedua dan ketiganya
sudah dipanggil terlebih dulu oleh Yang
Mahakuasa. Lia lahir dari keluarga dengan
ekonomi pas-pasan. Apalagi setelah bapaknya meninggal
ketika ia baru berusia enam tahun, ibunya harus berusaha
sendiri menafkahi keluarga. Sejak tahun 2010, ia bekerja di
Yayasan Tanpa Batas hingga saat ini.

Meilanny Alfons
Meilanny Alfons lahir di Jayapura
pada tanggal 26 Mei. Dari SD hingga
kuliah diselesaikan di Kota Jayapura.
Lulusan Administrasi Negara Universits
Cenderawasih ini telah bekerja selama kurang lebih 12 tahun pada Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Wanita Gereja Kristen Injili di Tanah
Papua. Bekerja pada bidang umum dan pengembangan
kapasitas lembaga telah memberikan pengalaman dalam
melihat pekerjaan perempuan. Selain pekerjaan rutin di kantor,
ia terlibat juga dalam kegiatan di lapangan.

235

Mereka yang Tidak Pernah Menyerah

Saparuddin Senny
Bekerja di Kawal Borneo Community
Foundation, Samarinda, yang membantu masyarakat adat dan kelompok
miskin terisolir di dalam dan sekitar
hutan Kalimantan. Sejak menyelesaikan
studi S1 Ilmu Hukum di Universitas
Hasanuddin, Makassar tahun 1998, ia langsung terjun dalam
program pemberdayaan masyarakat. Meski berdomisili di
Bontang, Kalimantan Timur, namun sejak bergabung dengan
PNPM Peduli tahun 2011, ia lebih sering berada di lokasi
program yang tersebar di wilayah Kalimantan Tengah dan
Kalimantan Timur.

Wilhelmus Bulu Manu


Pria yang biasa disapa Wili ini sudah
berkelana sejak tahun 2001 dari Sumba
Barat Daya, tanah kelahirannya, ke BatamKepulauan Riau. Di sana ia bekerja di salah
satu perusahaan, kemudian merantau ke
Kupang dan bergabung dengan Yayasan
Flobamora Suport tahun 2007-2012. Pada bulan Februari
2012, ia bergabung dengan Yayasan Tanpa Batas Kupang-Nusa
Tenggara Timur hingga sekarang.

236

Tentang Penulis

Yopi Hardi
Dilahirkan pada 19 Mei 1977. Sejak tahun
1998, ia mulai berkecimpung di NGO dan
bergabung dengan Walhi sebagai tenaga
kapanye sampai tahun 2000. Tahun itu
juga, ia bergabung dengan NGO bernama
Koslata yang berkecimpung dalam isu
lingkungan dan pariwisata serta tenaga kerja Indonesia sebagai
fasilitator komunitas, divisi kampanye dan informasi sampai
tahun 2010. Sekarang ia bergabung dengan Samanta. Ia
pernah mengenyam pendidikan di ITN Malang, Jawa Timur
dan Fakultas Hukum Universitas Mataram.
Bagi Yopi, menjadi pengusaha bersama-sama adalah
pilihan hidup, karena dengan menjadi pengusaha bisa menjadi
segalanya dan mengisi hidup dengan belajar apa saja, di mana
saja dan kepada siapa saja.

Yudith Evametha Vitranilla


Lahir 12 Oktober 1976 di Pontianak,
Kalimantan Barat. Menyelesaikan studi
jenjang S1 tahun 1998 di Fakultas Hukum
Universitas Tanjung Pura, Kalimantan
Barat. Bergabung di YLBH PIK sejak 2001
sebagai volunteer, dan sekarang dipercaya
sebagai koordinator divisi penyadaran hukum. Hal yang paling
disenangi adalah ketika berada di komunitas dampingan.
Pernah menjadi Presidium Nasional Indonesia ACT (Against
Child Trafficking) 23 Juni 20113 April 2013.

237

Anda mungkin juga menyukai