Dia menegaskan, PT Kahatex harus bertanggunjawab dengan ganti rugi kepada warga
serta melakukan upaya pemulihan kondisi lingkungan.
Di era 1990 padi di wilayah tersebut memiliki kualitas unggulan di Kabupaten Bandung
namun kini nyaris tidak menghasilkan apapun.
"Sebenarnya, sejak beberapa tahun yang lalu kami telah melayangkan surat keberatan
atas kerusakan lahan pesawahan warga ini ke Pemprov Jabar maupun ke PT Kahatex. Namun
tidak pernah ditindaklanjuti," tuturnya.
Sementara itu, Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD)
Provinsi Jabar Anang Sudarna menjelaskan, bila kondisi lahan pesawahan milik warga seluas
kurang lebih 753 hektare dalam keadaan tercemar.
Tak hanya itu penurunan produktivitas pun terjadi antara 30% hingga 70%. "Kedalaman
tanah yang telah terkontaminasi zat kimia berbahaya, antara 30 hingga 100 sentimeter. Begitu
juga dengan sumur milik warga yang sudah tidak bisa dikonsumsi," katanya.
Dia menerangkan, penanganan yang tengah dilakukan pihaknya saat ini yakni
melakukan mediasi dengan PT Kahatex, serta beberapa stoke holder lainnya. Namun, mediasi
yang dimulai Juni hingga akhir Februari lalu itu tidak mendapatkan kesepakatan.
Karena, diketahui perusahaan itu tidak mau mengaku perbuatannya yang telah merusak
lingkungan serta tidak mau mengganti rugi kepada negara senilai Rp392 miliar.
"PT Kahatex juga tidak mau mengakui kesalahannya, makanya kami tengah
mempersiapkan langkah tuntutan perdata maupun pidana," jelasnya.
Sumber:
http://daerah.sindonews.com/read/861304/21/limbah-pt-kahatex-diduga-cemari-
ratusan-hektare-sawah-1399456159
PT.
Kahatex
Solokanjeruk,
menurut
Wagub,
dirinya
sudah
menyampaikannya langsung kepada Bupati. Kalau masih tidak juga dihiraukan Wagub pun
mengaku sangat heran.
Nanti sama Pak Anang (Ketua BPLHD Jabar) kita tinjau kesana. Pak Anang yang akan
masuk pada Amdal-nya, apakah pabrik-pabrik itu sudah mempunyai Amdal. Kalau terbukti tidak
mempunyai Amdal, nanti kita proses, dan itu bisa dipidanakan, tegas Wagub.
Lanjutnya, proses hukum jika memang ada pelanggaran memang harus ditempuh, hal
ini karena menyangkut keberlangsungan masyarakat dan generasi yang akan datang. Ia pun
menyemangati Pawapeling untuk terus berjuang tanpa rasa takut. Konsisten terus berjuangnya,
jangan takut, pesannya dengan nada tegas.
Dialog ini merupakan merupakan kelanjutan dari aksi demonstrasi yang dimotori
Pawapeling di depan Gedung Sate, Kota Bandung, 27 November 2013.
Dalam aksi itu Ketua Pawapeling Kab. Bandung Adi Mulyadi menegaskan perluasan
pabrik di sebelah timur Kampung Mundel RW 03, sebelah selatan Kampung Solokanjeruk RW
02, dan sebelah barat Kampung Menje RW 14 Desa Solokanjeruk, Kec. Solokanjeruk, Kab.
Bandung belum mengantongi Amdal, tapi toh kegiatan terus berjalan.
Pembangunannya juga hanya berjarak satu meter dari pemukiman warga," tegas Adi
kala itu.
Sumber: http://suaraagraria.com/detail-1820-pencemaran-lingkungan-di-jabar-deddy-mizwar-ptkahatex-kok-bandel-banget-ada-siapa.html
perusahaan-perusahaan tekstil ini. Ini menyebabkan penanganan lewat jalur hukum menjadi
sangat sulit.
Dia mengatakan, hingga saat ini setidaknya 450 hektar sawah tercemar dan tidak bisa
ditanami lagi. Kerusakan sudah sangat parah. Data BPLHD Jabar, sepanjang 1993 hingga 2008
tercatat 20 laporan resmi masuk. Agustus 2002 ada kesepakatan antara masyarakat dengan PT.
Kahatex, PT. Insan Sandang dan PT. Five Star dalam mengatasi limbah tekstil.
Kesepakatan itu ditempuh dengan alternative dispute resolution (ADR) ber Nomor
660.3/631/I/2002 tanggal 6 Agustus 2002. Ia berisi beberapa hal untuk jangka pendek dan
panjang.
Kesepakatan jangka pendek dengan mengoptimalisasikan IPAL sesuai teknis yang
direkomendasikan BPLHD Jabar, normalisasi Sungai Cikijing dan memberikan kompensasi bagi
program ini. Adapun besaran kompensasi, PT. Kahatex Rp115, 500 juta, PT. Insan Sandang
Internusa Rp8 juta, dan PT. Five Star Rp7,5 juta.
Untuk jangka panjang, pembangunan
IPAL terpadu,
pengembangan program
community development meliputi penyediaan air bersih, sarana medis dan pengalihan mata
pencarian masyarakat dari sawah ke usaha lain. Juga memfasilitasi dan pembinaan untuk
pengembangan peluang dan potensi usaha masyarakat.
Pada 2003, ada upaya penanganan limbah industri, yakni pencanangan mulaifeasibility
study (studi kelayakan) IPAL Gabungan Industri di Rancaekek. Namun, hingga saat ini
pembuatan IPAL gabungan tidak pernah terealisasi. Karena membutuhkan dana sangat besar.
Pada 2007, pengaduan masyarakat mengenai pencemaran sungai dan sawah di
Rancaekek tinggi setidaknya ada 11 laporan. Pengaduan oleh masyarakat baik, individu, LSM,
hingga surat dari DPR RI bahkan komnas HAM.
Isi surat beragam. Ada permohonan investigasi penyakit kulit dan pernafasan, keluhan
mengenai dampak negatif boiler batubara PT. Kahatex sampai perihal kerusakan lingkungan
pertanian dan eksploitasi air permukaan oleh industri.
Berbagai desakan segera menyelesaikan masalah limbah industri tekstil di Rancaekek
menguat. Lahirlah, tujuh tuntutan masyarakat Rancaekek pada 28 Februari 2008 di BPLHD
Jabar, melalui Camat Rancaekek. Ketujuh tuntutan antara lain, pemulihan lahan terkena limbah
hingga menjadi lahan produktif, pengawasan tegas dari instansi terkait, terhadap perusahaan,
IPAL terpadu jauh dari pemukiman sampai normalisasi Kali Cikijing, Cimande dan Cikeruh.
Lalu, pada 11 Juni 2008, desakan warga menghasilkan kesepakatan jangka pendek
antara PT Kahatex, PT Insan Sandang Internusa, perwakilan masyarakat desa dan instansi terkait.
Kesepakatan itu mengharuskan perusahaan optimalisasi sistem kinerja IPAL, pemberian bantuan
pinjaman modal UKM dan rekrut tenaga kerja warga sekitar.
Kesepakatan itu ternyata tak menghentikan pencemaran. Maret 2009, PT Kahatex dan
PT Insan Sandang Internusa kena sanksi administrasi. Mereka wajib optimalisasi IPAL, evaluasi
proses fisika, kimia, dan biologi. Perusahaan juga harus mengevaluasi unit proses serta
pengolahan menghilangkan Na dan Cl. Kedua perusahaan harus membuat kolam penampungan
limbah akhir dan memasang alat monitoring. Lalu, mereka membuat kajian pengubahan
pembuangan dari Sungai Cikijing ke badan air yang lain.
Sumber:
http://www.mongabay.co.id/2012/10/17/pencemaran-limbah-tekstil-di-bandung-
ditangani-klh/
Kesepakatan antara perwakilan warga dengan pihak pengusaha hanya tertuju pada
proses ganti rugi, bukan mencari solusi bagaimana caranya agar pencemaran tidak terjadi lagi.
Menurut anggota Komisi C DPRD Kabupaten Bandung, H. Daud Burhanudin di Soreang, Senin
(7/7), masalah pencemaran limbah di Rancaekek yang berasal dari industri-industri di Kabupaten
Sumedang sudah berlangsung belasan tahun, namun tidak pernah ditemukan solusinya.
Hampir sekitar 1.000 hektare tanah milik petani tercemar dan 400 hektare di antaranya
sudah tidak bisa dimanfaatkan untuk bercocok tanam. Warga sudah mengeluhkan kondisi
tersebut. Menurutnya, perwakilan warga empat desa di Kecamatan Rancaekek telah melakukan
kesepakatan dengan dua perusahaan besar, yaitu PT Kahatex dan PT Insan Sandang Internusa.
Dalam menanggapi masalah ini, kedua perusahaan besar tersebut hanya memberikan bantuan
sebagai community development/corporate social responsibility (CD/ CSR).
Hasil kesepakatan yang ditandatangani pada 11 Juni lalu oleh empat kepala desa serta
direktur dua perusahaan tersebut hanya tentang bantuan berupa uang kompensasi per bulan,
bantuan pinjaman modal serta bantuan mesin jahit. Sedangkan masalah penyelamatan
lingkungan tidak dibahas dan dijelaskan secara konkret.
Anggota Komisi C lainnya, Triska Hendriawan, S.T. mengatakan, masalah CD sudah
jelas diatur dalam Undang-undang (UU) No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT).
Jadi, ada tidaknya pencemaran, sebuah perusahaan harus menjalankan fungsi CD sebagai bentuk
tanggung jawab sosial perusahaan kepada lingkungan sekitar.
Ia menambahkan, yang terpenting adalah menuntaskan masalah pencemaran di kawasan
tersebut. Karena setelah kesepakatan itu dibuat, perusahaan masih membuang limbahnya ke
sungai tanpa proses pengolahan terlebih dahulu. Itu hasil pengamatan ke lapangan.
Anggota Komisi C DPRD Kab. Bandung dari Partai Bulan Bintang, Ir. Abdurrachim
Santosa menegaskan, usulan Komisi C agar Sungai Cikijing dibendung adalah untuk
memisahkan masalah pencemaran dan mencari siapa yang bertanggung jawab.
Karena, pencemaran terjadi antara perbatasan wilayah Kabupaten Sumedang dan
Kabupaten Bandung. Kadang terjadi saling menyalahkan. Agar tidak terjadi seperti itu, masingmasing daerah melihat di mana sumber pencemaran itu. Jadi, kita ibaratkan bendung saja dulu.
Akibat pencemaran yang sudah berlangsung lama, lanjut Abdurrachim, warga Kab.
Bandung terkena imbasnya. Untuk itu, masing-masing daerah harus tegas. Pemprov Jabar
diharapkan memfasilitasinya sehingga diharapkan mampu menuntaskan masalah tersebut.
Sumber : Harian Umum Galamedia, Selasa 8 Juli 2008
http://www.bandungkab.go.id/arsip/1095/pencemaran-limbah-industri-di-rancaekek400-hektare-tidak-bisa-ditanami
Soal
Walhi
Menteri
Kahatex,
Nilai
Kunjungan
Tak Berefek
SOREANG - Walhi Jabar menilai kunjungan lapangan yang dilakukan oleh Menteri
Lingkungan Hidup dan Wakil Gubernur Jawa Barat belum ada percepatan penanganan kasus
pencemaran yang dilakukan PT Kahatex dan perusahaan lainnya yang berada di kawasan
Rancaekek.
Direktur Walhi Jawa Barat Dadan Ramdan mengatakan, PT Kahatex sudah melakukan
pelanggaran hukum lingkungan hidup dan bisa dijerat secara perdata dan pidana, bahkan harus
mengeluarkan biaya-biaya pemulihan akibat kerusakan lingkungan hidup yang dialami oleh
masyarakat dan negara.
"Pola penanganan sengketa lingkungan hidup yang dilakukan oleh BPLHD Jawa Barat
pada tahun 2008 melalui mediasi dalam menangani masalah PT Kahatex terbukti gagal, tidak
efektif dan tidak menyelesaikan masalah," katanya, dalam siaran pers yang diterima Bisnis,
Senin (26/5/2014).
Menurut dia, PT Kahatex sudah banyak melakukan pelanggaran bahkan melanggar
kesepakatan mediasi itu sendiri, artinya pelanggaran hukum lingkungan hidup makin berlapis.
Terbukti PT Kahatex tetap membuang limbah ke media lingkungan hidup, air, sungai
dan sawah yang ada di Rancaekek. Tetap saja kejahatan lingkungan hidup dilakukan tanpa ada
efek jera.
Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh Balai penelitian tanah tahun 2002 lalu,
total area persawahan yang tercemar aliran limbah pabrik tekstil langsung seluas 1.215 ha.
Kemudian, hasil gabah pada lahan sawah yang terkena limbah pabrik tekstil berkurang
antara 1-1,5 ton per hektar setiap kali musim panen. Kerugian di daerah ini dapat mencapai
Rp2.43 Rp3.65 miliar per tahun.
Kerugian di masyarakat bisa mencapai Rp48 Miliar- Rp73 Miliar selama 20 tahun.
Artinya negara dan masyarakat khususnya para petani dan buruh tani serta masyarakat sekitar di
desa Linggar, Jelegong, Bojong Loa dan Sukamulya Kecamatan Rancaekek.