Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Faringitis merupakan penyakit umum pada dewasa dan anak-anak. Setiap tahunnya
40 juta orang mengunjungi pusat pelayanan kesehatan karena faringitis. Anak-anak dan orang
dewasa umumnya mengalami 35 kali infeksi virus pada saluran pernafasan atas termasuk
faringitis.1
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang disebabkan oleh infeksi
maupun non infeksi. Banyak mikroorganisme yang dapat menyebabkan faringitis, antaranya
virus (40-60%) dan bakteri (5-40%) yang paling sering. Faktor risiko lain penyebab faringitis
akut yaitu udara yang dingin, turunnya daya tahan tubuh yang disebabkan infeksi virus
influenza, konsumsi makanan yang kurang gizi, konsumsi alkohol yang berlebihan, merokok
dan seseorang yang tinggal di lingkungan kita yang menderita sakit tenggorokan atau
demam.2
Beberapa akibat yang ditimbulkan dari faringitis adalah terjadinya peritonsillar abses,
demam reumatik akut, toxic shock syndrome, peritonsillar sellulitis, abses retrofaringeal dan
obstruksi saluran pernasafan akibat dari pembengkakan laring. Untuk itu diperlukan
diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat dan sesuai dengan prinsip penanggulangan
faringitis, yaitu mengatasi gejala secepat mungkin, membatasi penyebaran infeksi serta
membatasi komplikasi.2,3
Untuk menegakkan diagnosa faringitis pada dasarnya cukup memuaskan bila
dilakukan berdasarkan anamnesis dan

pemeriksaan fisik yang tepat serta pemeriksaan

penunjang bila diperlukan. Prognosis untuk faringitis biasanya sangat baik pada sebagian
besar kasus.3

Page | 1

1.2 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan makalah ini diantaranya :
Untuk memberikan gambaran ringkas mengenai Faringitis.
Untuk melengkapi persyaratan tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Telinga
Hidung Tenggorokan RSUD DR. H. Kumpulan Pane Tebing Tinggi yang berjudul
Faringitis.

1.3 Manfaat Penulisan


Bagi Penulis
Penulis mampu memahami dan melakukan penatalaksanaan Faringitis sehingga dapat
menambah wawasan dan dapat bermanfaat dalam melaksanakan pelayanan kelak.

Bagi Pembaca
Diharapkan dengan adanya makalah ini dapat menjadi sumber referensi yang dapat
digunakan sebagai penunjang kegiatan serta sebagai bekal pengetahuan yang bermanfaat
dalam melaksanakan pelayanan kelak.

Page | 2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI FARING


Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar
di bagian atas dan sempit di bagian bawah serta terletak pada bagian anterior kolum vertebra.3
Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esophagus setinggi
vertebra servikal ke-6. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke
depan berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan laring
di bawah berhubungan melalui aditus laring dan ke bawah berhubungan dengan esophagus.
Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm; bagian ini
merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam
keluar) selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia
bukofaringeal.4

Gambar 1. Anatomi Faring5


Page | 3

Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring). Unsur-unsur


faring meliputi mukosa, palut lendir (mukosa blanket) dan otot.2
Nasofaring
Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian bawah adalah
palatum mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke belakang adalah vertebra
servikal. Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta berhubungan erat dengan beberapa
struktur penting, seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral faring dengan resesus
faring yang disebut fosa Rosenmuller, kantong Rathke, yang merupakan invaginasi struktur
embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring di atas penonjolan
kartilago tuba Eustachius, koana, foramen jugulare, yang dilalui oleh n. glosofaring, n. vagus
dan n.asesorius spinal saraf cranial dan v.jugularis interna, bagian petrosus os temporalis dan
foramen laserum dan muara tuba Eustachius.2,3
Orofaring
Orofaring disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas
bawah adalah tepi atas epiglottis, ke depan adalah rongga mulut, sedangkan ke belakang
adalah vertebra sevikal. Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior
faring, tonsil palatine, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil
lingual dan foramen sekum.4
Laringofaring (Hipofaring)
Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas anterior ialah
laring, batas inferior ialah esofagus, serta batas posterior ialah vertebra servikal. Struktur
pertama yang tampak di bawah lidah ialah valekula. Bagian ini merupakan dua cengkungan
yang dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika
lateral pada tiap sisi. Valekula disebut juga kantong pil (pill pockets) sebab pada beberapa
orang, kadang kadang bila menelan pil akan tersangkut di situ. Di bawah valekula terdapat
epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk omega dan pada perkembangannya akan lebih
melebar, meskipun kadang kadang bentuk infantile (bentuk omega) ini tetap sampai
dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi demikian lebar dan tipisnya.
Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus
makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esophagus.3

Page | 4

Ruang Faringal
Ada dua ruang yang berhubungan dengan faring yang secara klinis mempunyai arti
penting, yaitu ruang retrofaring dan ruang parafaring. Ruang retrofaring (Retropharyngeal
space), dinding anterior ruang ini adalah dinding belakang faring yang terdiri dari mukosa
faring, fasia faringobasilaris dan otot otot faring. Ruang ini berisi jaringan ikat jarang dan
fasia prevertebralis. Ruang ini mulai dari dasar tengkorak di bagian atas sampai batas paling
bawah dari fasia servikalis. Serat serat jaringan ikat di garis tengah mengikatnya pada
vertebra.Di sebelah lateral ruang ini berbatasan dengan fosa faringomaksila.3
Ruang parafaring (Pharyngomaxillary Fossa), ruang ini berbentuk kerucut dengan
dasarnya yang terletak pada dasar tengkorak dekat foramen jugularis dan puncaknya pada
kornu mayus os hioid. Ruang ini dibatasi di bagian dalam oleh m. konstriktor faring superior,
batas luarnya adalah ramus asenden mandibula yang melekat dengan m. pterigoid interna dan
bagian posterior kelenjar parotis. Fosa ini dibagi menjadi dua bagian yang tidak sama
besarnya oleh os stiloid dengan otot yang melekat padanya. Bagian anterior (presteloid)
adalah bagian yang lebih luas dan dapat mengalami proses supuratif sebagai akibat tonsil
yang meradang, beberapa bentuk mastoiditis atau petrositis, atau dari karies dentis. Bagian
yang lebih sempit di bagian posterior (post stiloid) berisi a.karotis interna, v. jugularis interna,
n. vagus yang dibungkus dalam suatu sarung yang disebut selubung karotis (carotid sheath).
Bagian ini dipisahkan dari ruang retrofaring oleh sesuatu lapisan fasia yang tipis3

Gambar 2. Anatomi Faring Bagian


Posterior5

Page | 5

2.2 FISIOLOGI FARING


Fungsi faring yang terutama adalah ialah untuk respirasi, pada waktu menelan,
resonansi suara dan artikulasi.
Fungsi Menelan:
Proses menelan dibagi menjadi 3 fase, yaitu : fase oral, fase faringeal dan fase
esophagus yang terjadi secara berkesinambungan. Pada proses menelan akan terjadi hal-hal
sebagai berikut:
a) Pembentukan bolus makanan dengan ukuran dan konsistensi yang baik
b) Upaya sfingetr mencegah terhamburnya bolus selama fase menelan
c) Mempercepat masuknya bolus makanan ke dalam faring pada saat respirasi
d) Mencegah masuknya makanan dan minuman ke dalam nasofaring dan laring. Kerjasama
yang baik dari otot-otot di rongga mulut untuk mendorong bolusmakanan kearah lambung
e) Usaha untuk membersihkan kembali esofagus3
Fase oral terjadi secara sadar. Makanan yang telah dikunyah dan bercampur denganair
liur akan membentuk bolus makanan. Bolus ini akan bergerak dari rongga mulut melalui
dorsumlidah, terletak di tengah lidah akibat kontraksi otot intrinsic lidah.Kontraksi
M.Levator veli palatine mengakibatkan rongga pada lekukan dorsum lidah diperluas, palatum
mole terangkat dan bagian atas dinding posterior faring (Passavantsridge) akan terangkat
pula. Bolus terdorong ke posterior karena lidah terangkat ke atas. Bersamaan dengan ini
terjadi penutupan nasofaring sebagai akibat kontraksi M.Levator veli palatine. Selanjutnya
terjadi kontraksi M.Paltoglossus yang menyebabkan ismus fausium tertutup, diikuti oleh
kontraksi M.Palatofaring, sehingga bolus makanan tidak akan berbalik ke rongga mulut.3
Fase faringeal terjadi secara reflex pada akhir fase oral, yaitu perpindahan bolus
makanan dari faring ke esophagus. Faring dan laring bergerak ke atas oleh kontraksi
M.Stilofaring, M.Tirohioid dan M.Palatofaring. Aditus laring tertutup oleh epiglotis,
sedangkan ketiga sfingter laring, yaitu plika ariepligotika, plika ventrikularis dan plika
vokalis tertutup karena kontraksi M.Ariepliglotika dan M.Aritenoidobligus. Bersamaan
dengan ini terjadi juga penghentian aliran darah ke laring karena reflex yang menghambat
pernapasan, sehingga bolus makanan akan meluncur kearah esophagus, karena valekula dan
sinus piriformis sudah dalam keadaan lurus.3
Page | 6

Fase esophageal ialah fase perpindahan bolus makanan dari esophagus ke lambung.
Dalam keadaan istirahat introitus esophagus selalu tertutup. Dengan adanya rangsangan bolus
makanan pada akhir fase faringeal, maka terjadi relaksasi M.Krikofaring, sehingga introitus
esophagus terbuka dan bolus makanan masuk ke dalam esophagus. Setelah bolus makanan
lewat, maka sfingter akan berkontraksi lebih kuat, melebihi tonus introitus esophagus pada
saat istirahat, sehingga makanan tidak akan kembali ke faring. Dengan demikian refluks
dapat dihindari. Gerak bolus makanan di esophagus bagian atas masih dipengaruhi oleh
kontraksi M.Konstriktor faring inferior pada akhir fase faringeal. Selanjutnya bolus makanan
akan didorong ke distal oleh gerakan peristaltik esophagus. Dalam keadaan istirahat sfingter
esophagus bagian bawah selalu tertutup dengan tekanan rata-rata 8 mmHg lebih dari tekanan
didalam lambung sehingga tidak akan terjadi regurgitasi isi lambung. Pada akhir fase esofagal
sfingter ini akan terbuka secara reflex ketika dimulainya peristaltik esophagus servikal untuk
mendorong bolus makanan ke distal. Selanjutnya setelah bolus makanan lewat maka sfingter
ini akan menutup kembali. 3
Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum dan
faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole kearah dinding belakang
faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan melibatkan mula-mula
M.Salpingofaring dan M.Palatofaring, kemudian M.Levator veli palatine bersama-sama
M.Konstriktor faring superior. Pada gerakan penutupan nasofaring M.Levator veli palatine
menarik palatum mole ke atas belakang hampir mengenai dinding posterior faring.
Jarak yang tersisa ini diisi oleh tonjolan ( fold of).
Passavant pada dinding belakang faring yang terjadi akibat 2 macam mekanisme, yaitu
pengangkatan faring sebagai hasil gerakan M.Palatofaring (bersama M.Salpingofaring) dan
oleh kontraksi aktif M.Konstriktor faring superior. Mungkin kedua gerakan ini bekerja tidak
pada waktu yang bersamaan. Ada yang berpendapat bahwa tonjolan Passavant ini menetap
pada periode fonasi tetapi ada pula pendapat yang mengatakan tonjolan ini timbul dan hilang
secar acepat bersamaan dengan gerakan palatum.3,5

Page | 7

2.3. FARINGITIS
Faringitis (bahasa Latin: pharyngitis), adalah suatu penyakit peradangan yang
menyerang tenggorok atau hulu kerongkongan (pharynx). Kadang juga disebut sebagai
radang tenggorok.1
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan oleh virus
(40-60%), bakteri (5-40%), alergi, trauma, toksin dan lain-lain.2

2.3.1. Epidemiologi
Faringitis merupakan penyakit umum pada dewasa dan anak-anak. National
Ambulatory Medical Care Survey dan National Hospital Ambulatory Medical Care Survey
telah mendokumentasikan antara 6,2 - 9,7 juta kunjungan anak-anak dengan faringitis ke
klinik dan departemen gawat darurat setiap tahun, dan lebih dari 5 juta kunjungan orang
dewasa per tahun. 5
Menurut National Ambulatory Medical CareSurvey, infeksi saluran pernafasan atas,
termasuk faringitis akut, dijumpa200 kunjungan ke dokter per 1000 penduduk per tahun di
Amerika Serikat. Frekuensi munculnya faringitis lebih sering pada populasi anak-anak. Kirakira 15-30% kasus faringitis pada anak-anak usia sekolah dan 10% kasus faringitis pada
orang dewasa terjadi pada musim sejuk adalah akibat dari infeksi Group A Streptococcus.
Faringitis jarang terjadi pada anak-anak kurang dari 3 tahun. 5

2.3.2. Etiologi
Faringitis dapat disebabkan infeksi maupun non infeksi. Banyak mikroorganisme
yang dapat menyebabkan faringitis, antaranya virus (40-60%) dan bakteri (5-40%) yang
paling sering.2
Kebanyakan faringitis akut disebabkan oleh agen virus. Virus yang menyebabkan
faringitis termasuk Influenza virus, Parainfluenza virus, Coronavirus, viruses A dan B,

Page | 8

Cytomegalovirus, Adenovirus dan Epstein Barr Virus (EBV). Selain itu, infeksi Human
Immunodeficiency virus (HIV) juga dapat menyebabkan terjadinya faringitis.5
Faringitis akut yang disebabkan oleh bakteri termasuk Group A Beta Hemolytic
Streptococcus (GABHS), Group C Beta Hemolytic Streptococcus, Neisseria gonorrhoeae,
Corynebacterium diphtheria, Arcanobacterium haemolyticum dan sebagainya. Infeksi Group
A Beta Hemolytic Streptococcus (GABHS) merupakan penyebab faringitis akut pada 5-15%
dewasa dan 20-30% pada anak-anak (5-15 tahun).1
Neisseria gonorrhoeae sebagai penyebab faringitis bakterial gram negative ditemukan
pada pasien aktif secara seksual, terutama yang melakukan kontak orogenital. Dalam sebuah
penelitian pada orang dewasa yang terinfeksi gonorea, faringitis gonokokal ditemukan 20%
pada pria homoseksual, 10% pada wanita dan 3% pada pria heteroseksual. Sekitar 50%
individu yang terinfeksi adalah tanpa gejala, meskipun odinofagia, demam ringan dan eritema
dapat terjadi.2
Selain itu, Candida dapat tumbuh di mukosa rongga mulut dan faring dan
menyumbang terjadinya faringitis fungal. Faringitis gonorea hanya terdapat pada pasien yang
melakukan kontak orogenital.2

2.3.3 Patofisiologi
Pada faringitis yang disebabkan infeksi, bakteri ataupun virus dapat secara langsung
menginvasi mukosa faring dan akan menyebabkan respon inflamasi lokal. Kuman akan
menginfiltrasi lapisan epitel, lalu akan mengikis epitel sehingga jaringan limfoid superfisial
bereaksi dan akan terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear.
Pada stadium awal terdapat hiperemis, kemudian edema dan sekresi yang meningkat. Pada
awalnya eksudat bersifat serosa tapi menjadi menebal dan kemudian cenderung menjadi
kering dan dapat melekat pada dinding faring. Dengan keadaan hiperemis, pembuluh darah
dinding faring akan melebar. Bentuk sumbatan yang berwarna kuning, putih atau abu-abu
akan didapatkan di dalam folikel atau jaringan limfoid. Tampak bahwa folikel limfoid dan
bercak-bercak pada dinding faring posterior atau yang terletak lebih ke lateral akan menjadi
meradang dan membengkak.
Virus-virus seperti Rhinovirus dan Coronavirus dapat menyebabkan iritasi sekunder
pada mukosa faring akibat sekresi nasal.
Page | 9

Infeksi streptococcal memiliki karakteristik khusus yaitu invasi lokal dan pelepasan
extracelullar toxins dan protease yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang hebat
karena fragmen M protein dari Streptococcus hemolyticus group A memiliki struktur yang
sama dengan sarkolema pada miokard dan dihubungkan dengan demam reumatik dan
kerusakan katub jantung. Selain itu juga dapat menyebabkan glomerulonefritis akut karena
fungsi glomerulus terganggu akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi.2

2.3.4 Faktor Risiko

Faktor risiko lain penyebab faringitis akut yaitu udara yang dingin, turunnya daya
tahan tubuh yang disebabkan infeksi virus influenza, konsumsi makanan yang kurang gizi,
konsumsi alkohol yang berlebihan, merokok dan seseorang yang tinggal di lingkungan kita
yang menderita sakit tenggorokan atau demam.1

2.3.5 Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala yang ditimbulkan faringitis tergantung pada mikroorganisme yang
menginfeksi. Secara garis besar faringitis menunjukkan tanda dan gejala umum seperti lemas,
anorexia, demam, suara serak, kaku dan sakit pada otot leher.
Gejala khas berdasarkan jenisnya, yaitu:
a. Faringitis viral (umumnya oleh rhinovirus): diawali dengan gejala rhinitis dan beberapa
hari kemudian timbul faringitis. Gejala lain demam disertai rinorea dan mual.
b. Faringitis bakterial: nyeri kepala hebat, muntah, kadang disertai demam dengan suhu yang
tinggi, jarang disertai batuk.
c. Faringitis fungal: terutama nyeri tenggorok dan nyeri menelan.
d. Faringitis kronik hiperplastik: mula-mula tenggorok kering, gatal dan akhirnya batuk yang
berdahak.
e. Faringitis atrofi: umumnya tenggorokan kering dan tebal serta mulut berbau.
f. Faringitis tuberkulosis: nyeri hebat pada faring dan tidak berespon dengan pengobatan
bakterial non spesifik.
g. Bila dicurigai faringitis gonorea atau faringitis luetika, ditanyakan riwayat hubungan
seksual.2

Gambar 3. Gambaran faringitis5


Page | 10

2.3.6. Klasifikasi
Faringitis Akut
a. Faringitis viral
Dapat disebabkan oleh Rinovirus, Adenovirus, Epstein Barr Virus (EBV), Virus
influenza, Coxsachievirus, Cytomegalovirus dan lain-lain. Gejala dan tanda biasanya terdapat
demam disertai rinorea, mual, nyeri tenggorok, sulit menelan. 2
Pada

pemeriksaan

tampak

faring

dan

tonsil

hiperemis.

Virus

influenza,

Coxsachievirus dan Cytomegalovirus tidak menghasilkan eksudat. Coxsachievirus dapat


menimbulkan lesi vesikular di orofaring dan lesi kulit berupa maculopapular rash. Pada
adenovirus juga menimbulkan gejala konjungtivitis terutama pada anak. Epstein bar virus
menyebabkan faringitis yang disertai produksi eksudat pada faring yang banyak. Terdapat
pembesaran kelenjar limfa di seluruh tubuh terutama retroservikal dan hepatosplenomegali.
Faringitis yang disebabkan HIV-1 menimbulkan keluhan nyeri tenggorok, nyeri menelan,
mual dan demam. Pada pemeriksaan tampak faring hiperemis, terdapat eksudat,
limfadenopati akut di leher dan pasien tampak lemah.6,7
Terapi dengan istirahat dan minum yang cukup. Kumur dengan air hangat. Jika perlu
berikan analgetika dan tablet hisap. Antivirus metisoprinol (Isoprenosine) diberikan pada
infeksi herpes simpleks dengan dosis 60-100 mh/kgBB dibagi dalam 4-6 kali pemberian/hari
pada orang dewasa dan pada anak < 5 tahun diberikan 50 mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali
pemberian/hari.6

b. Faringitis Bakterial
Infeksi Streptococcus hemolyticus group A merupakan penyebab faringitis akut pada
orang dewasa (15%) dan pada anak (30%).
Gejala dan tanda biasanya penderita mengeluhkan nyeri kepala yang hebat, muntah,
kadang-kadang disertai demam dengan suhu yang tinggi, jarang disertai batuk.

Page | 11

Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan tonsil hiperemis dan terdapat
eksudat dipermukaannya. Beberapa hari kemudian timbul bercak petechiae pada palatum dan
faring. Kelenjar limfa leher anterior membesar, kenyal dan nyeri apabila ada penekanan.4
Faringitis akibat infeksi bakteri Streptococcus hemolyticus group A dapat
diperkirakan dengan menggunakan Centor criteria, yaitu :5
Demam
Anterior Cervical lymphadenopathy
Eksudat tonsil
Tidak adanya batuk
Tiap kriteria ini bila dijumpai di beri skor satu. Bila skor 01 maka pasien tidak
mengalami faringitis akibat infeksi Streptococcus hemolyticus group A, bila skor 13 maka
pasien memiliki kemungkian 40% terinfeksi Streptococcus hemolyticus group A dan bila
skor empat pasien memiliki kemungkinan 50% terinfeksi Streptococcus hemolyticus group
A
Terapi : Antibiotik diberikan bila diduga penyebab faringitis akut ini Streptococcus
hemolyticus group A. Penicillin G Banzatin 50.000 U/kgBB, IM dosis tunggal, atau
amoksisilin 50 mg/kgBB dosis dibagi 3 x/hari selama 10 hari dan pada dewasa 3x 500 mg
selama 6 - 10 hari atau eritromisin 4x500 mg/hari. Kortikosteroid: deksametason 8-16 mg,
IM 1 x. Pada anak 0,08 - 0,3 mg/kgBB IM, 1x, analgetika , serta pemberian kumur dengan air
hangat atau antiseptik.5

c. Faringitis Fungal
Candida dapat tumbuh di mukosa rongga mulut dan faring. Gejala dan tanda biasanya
terdapat keluhan nyeri tenggorok dan nyeri menelan. Pada pemeriksaan tampak plak putih di
orofaring dan mukosa faring lainnya hiperemis. Pembiakan jamur ini dilakukan dalam agar
sabouroud dextrosa.
Terapi yang diberikan Nystatin 100.000 400.000 2x/hari dan pemberian analgetika.5

Page | 12

d. Faringitis Gonorea
Hanya terdapat pada pasien yang melakukan kontak orogenital.
Terapi yang diberikan Sefalosporin generasi ke-3, Ceftriakson 250 mg, IM. 5

Faringitis Kronik
Faktor predisposisi proses radang kronik di faring ini ialah rinitis kronik, sinusitis, iritasi
kronik oleh rokok, minum alkohol, inhalasi uap yang merangsang mukosa faring dan debu.
Faktor lainnya adalah orang yang biasa bernapas melalui mulut karena hidungnya tersumbat.5
a. Faringitis Kronik Hiperplastik
Pada faringitis kronik hiperplastik terjadi perubahan mukosa dinding posterior faring.
Tampak kelenjar limfa di bawah mukosa faring dan lateral hiperplasi.
Gejala :
-

Pasien mengeluh gatal ditenggorokan

Berasa kering

Berlendir

Kadang - kadang ada batuk


Pemeriksaan:
Pada pemeriksaan tampak mukosa dinding posterior tidak rata, bergranular.
Terapi :

Dicari dan diobati adanya penyalkit kronis dihidung dan sinus paranasal

Terapi lokal dengan menggosokkan zat kimia (kaustik) yaitu : larutan nitres argenti atau
albotil maupun dengan listrik (elektro cauter)

Secara simptomatik, diberikan obat isap / kumur dan obat batuk5,6

Page | 13

b. Faringitis Kronik Atrofi (Faringitis Sika)


Faringitis kronik atrofi sering timbul bersamaan dengan rhinitis atrofi. Pada rhinitis
atrofi, udara pernafasan tidak diatur suhu serta kelembapannya sehingga menimbulkan
rangsangan serta infeksi pada faring.
Gejala dan tanda :
-

Pasien mengeluh tenggorokan kering dan tebal

Mulut berbau

Pada pemeriksaan tampak mukosa faring terdapat lendir yang melekat

Jika lendir diangkat mukosa tampak kering


Terapi:

Sama dengan rinitis atropi

Pemberian obat kumur

Penjagaan hygiene mulut7

Faringitis Spesifik
a. Faringitis Leutika
Treponema pallidum (Syphilis) dapat menimbulkan infeksi di daerah faring, seperti juga
penyakit lues di organ lain.
o Gejala dan tanda :
Stadium primer :
-

Bercak keputihan pada lidah, palatum mole, tonsil dan dinding faring posterior
Timbul ulkus karena infeksi yang lama
Pembesaran kelenjar mandibula yang tidak nyeri tekan
Stadium sekunder :

Jarang ditemukan
Terdapat eritema pada dinding faring yang menjalar kearah laring
Stadium tersier :

Terdapat guma pada tonsil dan palatum


Page | 14

Guma pada dinding faring pada posterior akan mengenai vertebra servikal
Gangguan fungsi palatum secara permanen akibat adanya guma pada palatum mole
o Diagnosis : dengan pemeriksaan serologi
o Terapi : Obat pilihan utama pinissilin dalam dosis tinggi5,6

b. Faringitis tuberkulosis
Merupakan proses sekunder dari tuberkulosis paru. Pada infeksi kuman tahan asam jenis
bovinum dapat timbul tuberkulosis faring primer
o Cara infeksi :
-

Cara eksogen yaitu kontak dengan sputum yang mengandung kuman atau inhalasi kuman
melalui udara

Cara endogen yaitu penyebaran melalui darah pada tuberkolusis miliaris.

Penelitian saat ini menemukan penyebaran secara limfogen


o Bentuk dan tempat lesi

Berbentuk ulkus pada satu sisi tonsil dan jaringan tonsil itu akan mengalami nekrosis

Pada infeksi secara hematogen tonsil dapat terkena pada kedua sisi terutama pada dinding
faring posterior, arkus faring anterior, dinding lateral hipofaring, palatum mole dan
palatum durum

Kelenjar regional leher membengkak


o Gejala:

Pasien mengeluh nyeri hebat ditenggorokan

Keadaan buruk : anoreksi, nyeri menelan makanan

Regurgitasi

Nyeri di telinga (otalgia) Adenopati servikal


o Diagnosis :
Page | 15

Pemeriksaan sputum untuk mengetahui basil tahan asam

Fotothorak untuk melihat adanya tuberkolusis paru

Biopsi jaringan untuk mengetahui proses keganasan serta mencari basil tahan asam di
jaringan
o Terapi: sesuai dengan terapi tuberkolusis paru5

2.3.7. Penegakan Diagnosis


Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang bila diperlukan.2
Anamnesis:
Anamnesis harus sesuai dengan mikroorganisme yang menginfeksi. Secara garis besar
pasien faringitis mengeluhkan lemas, anorexia, demam, suara serak, kaku dan sakit pada otot
leher. Gejala khas berdasarkan jenis mikroorganisme, yaitu:
a. Faringitis viral, umumnya oleh Rhinovirus diawali dengan gejala rhinitis dan beberapa hari
kemudian timbul faringitis. Gejala lain demam disertai rinorea dan mual.
b. Faringitis bakterial, biasanya pasien mengeluhkan nyeri kepala hebat, muntah, kadang
disertai demam dengan suhu yang tinggi dan jarang disertai batuk.
c. Faringitis fungal, terutama nyeri tenggorok dan nyeri menelan.
d. Faringitis kronik hiperplastik, mula-mula tenggorok kering, gatal dan akhirnya batuk yang
berdahak.
e. Faringitis kronik atrofi, umumnya tenggorokan kering dan tebal serta mulut berbau.
f. Faringitis tuberkulosis, biasanya nyeri hebat pada faring dan tidak berespon dengan
pengobatan bakterial non spesifik.
g. Apabila dicurigai faringitis gonorea atau faringitis luetika, ditanyakan riwayat hubungan
seksual pasien.5
Page | 16

2.3.8. Pemeriksaan Fisik


a. Faringitis viral, pada pemeriksaan tampak faring dan tonsil hiperemis, eksudat (virus
influenza,

coxsachievirus,

cytomegalovirus

tidak

menghasilkan

eksudat).

Pada

coxsachievirus dapat menimbulkan lesi vesikular di orofaring dan lesi kulit berupa
maculopapular rash.
b. Faringitis bakterial, pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan tonsil hiperemis
dan terdapat eksudat dipermukaannya. Beberapa hari kemudian timbul bercak petechiae pada
palatum dan faring. Kadang ditemukan kelenjar limfa leher anterior membesar, kenyal dan
nyeri pada penekanan.
c. Faringitis fungal, pada pemeriksaan tampak plak putih di orofaring dan pangkal lidah,
sedangkan mukosa faring lainnya hiperemis.
d. Faringitis kronik hiperplastik, pada pemeriksaan tampak kelenjar limfa di bawah mukosa
faring dan lateral hiperplasi. Pada pemeriksaan tampak mukosa dinding posterior tidak rata
dan bergranular (cobble stone).
e. Faringitis kronik atrofi, pada pemeriksaan tampak mukosa faring ditutupi oleh lendir yang
kental dan bila diangkat tampak mukosa kering.
f. Faringitis tuberkulosis, pada pemeriksaan tampak granuloma perkijuan pada mukosa faring
dan laring.
g. Faringitis luetika tergantung stadium penyakit6
- Stadium primer
Pada lidah palatum mole, tonsil dan dinding posterior faring berbentuk bercak
keputihan. Bila infeksi berlanjut timbul ulkus pada daerah faring seperti ulkus pada genitalia
yaitu tidak nyeri. Juga didapatkan pembesaran kelenjar mandibula.
- Stadium sekunder

Page | 17

Stadium ini jarang ditemukan. Pada dinding faring terdapat eritema yang menjalar ke
arah laring.
- Stadium tersier
Terdapat guma. Predileksi pada tonsil dan palatum.5
2.3.9. Pemeriksaan Penunjang
Faringitis

didiagnosis

dengan

cara

pemeriksaan

tenggorokan

(kultur

apus

tenggorokan). Pemeriksaan kultur memiliki sensitivitas 9095% dari diagnosis, sehingga


lebih diandalkan sebagai penentu penyebab faringitis yang diandalkan. 6
Kultur tenggorokan merupakan suatu metode yang dilakukan untuk menegaskan suatu
diagnosis dari faringitis yang disebabkan oleh bakteri Group A Beta-Hemolytic Streptococcus
(GABHS). Group A Beta-Hemolytic Streptococcus (GABHS) rapid antigen detection test
merupakan suatu metode untuk mendiagnosa faringitis karena infeksi GABHS. Tes ini akan
menjadi indikasi jika pasien memiliki risiko sedang atau jika seorang dokter memberikan
terapi antibiotik dengan risiko tinggi untuk pasien. Jika hasil yang diperoleh positif maka
pengobatan diberikan antibiotik dengan tepat namun apabila hasilnya negatif maka
pengobatan antibiotik dihentikan kemudian dilakukan follow-up. Rapid antigen detection test
tidak sensitif terhadap Streptococcus Group C dan G atau jenis bakteri patogen lainnya. 6
Untuk mencapai hasil yang akurat, pangambilan apus tenggorok dilakukan pada
daerah tonsil dan dinding faring posterior. Spesimen diinokulasi pada agar darah dan
ditanami disk antibiotik. Kriteria standar untuk penegakan diagnosis infeksi GABHS adalah
persentase sensitifitas mencapai 9099%. Kultur tenggorok sangat penting bagi penderita
yang lebih dari sepuluh hari.6

2.3.10. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dari penyakit faringitis harus sesuai dengan penyebabnya.
Terapi pada penderita faringitis viral dapat diberikan aspirin atau asetaminofen untuk
membantu mengurangi rasa sakit dan nyeri pada tenggorokan. Penderita dianjurkan untuk
Page | 18

beristirahat di rumah dan minum yang cukup. Kumur dengan air hangat. Faringitis yang
disebabkan oleh virus dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan.2
Terapi untuk faringitis bakterial diberikan antibiotik terutama bila diduga penyebab
faringitis akut ini grup A Streptokokus hemolitikus. Dapat juga diberikan Penicilin G
Banzatin 50.000 U/kgBB, IM dosis tunggal, atau amoksisilin 50 mg/kgBB dosis dibagi 3
kali/hari selama 10 hari dan pada dewasa 3 x 500mg selama 6-10 hari, jika pasien alergi
terhadap penisilin maka diberikan eritromisin 4x500 mg/hari. Kumur dengan air hangat atau
antiseptik beberapa kali sehari.1,2
Faringitis yang disebabkan Candida dapat diberikan Nystasin 100.00 400.000 2
kali/hari dan faringitis yang disebabkan Gonorea dapat diberikan Sefalosporin generasi ke-3,
Ceftriakson 250mg secara injeksi intramuskular.2

2.3.11. Komplikasi
Komplikasi umum pada faringitis adalah sinusitis, otitis media, epiglottitis,
mastoiditis, dan pneumonia. Faringitis yang disebabkan oleh infeksi Streptococcus jika tidak
segera diobati dapat menyebabkan peritonsillar abses, demam reumatik akut, toxic shock
syndrome, peritonsillar sellulitis, abses retrofaringeal dan obstruksi saluran pernasafan akibat
dari pembengkakan laring. Demam reumatik akut dilaporkan terjadi pada satu dari 400
infeksi GABHS yang tidak diobati dengan baik.5

2.3.12 Prognosis
Prognosis untuk faringitis akut sangat baik pada sebagian besar kasus. Biasanya
faringitis akut sembuh dalam waktu 10 hari, namun harus berhati-hati dengan komplikasi
yang berpotensi terjadi.52

Page | 19

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Faringitis adalah suatu penyakit peradangan yang menyerang tenggorok atau hulu
kerongkongan (pharynx). Kadang juga disebut sebagai radang tenggorok.
2. Banyak mikroorganisme yang dapat menyebabkan faringitis, antaranya virus (4060%) dan bakteri (5-40%) yang paling sering.
3. Faringitis yang disebabkan oleh infeksi Streptococcus jika tidak segera diobati dapat
menyebabkan peritonsillar abses, demam reumatik akut, toxic shock syndrome,
peritonsillar sellulitis, abses retrofaringeal dan obstruksi saluran pernasafan akibat
dari pembengkakan laring.
4. Penatalaksanaan faringitis tergantung dari penyebab yang ditemukan saat didiagnosis.
5. Tujuan pentalaksanaan faringitis, yaitu mengatasi gejala secepat mungkin, membatasi
penyebaran infeksi serta membatasi komplikasi.
6. Prognosis untuk faringitis akut sangat baik pada sebagian besar kasus. Biasanya
faringitis akut sembuh dalam waktu 10 hari, namun harus berhati-hati dengan
komplikasi yang berpotensi terjadi
3.2 Saran
1. Diperlukan diagnosis faringitis yang tepat dan dini berdasarkan penyebabnya
sehingga penatalaksanaan segera dapat dilakukan.
2. Pencegahan faringitis dapat dilakukan dengan cara menghindari faktor resikonya
seperti tidak merokok, tidak meminum minuman beralkohol, serta menkonsumsi
makanan dengan gizi yang cukup.

Page | 20

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Hermani B. Abdurrahman H. Faringitis. Dalam Soepardi EA, Iskandar N Ed. Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher. Edisi ke-6.
Jakarta. Balai Penerbit FKUI. 2001.
2. Hilger PA. Penyakit Penyakit Nasofaring Dan Orofaring. Dalam: Boeis Buku Ajar
Penyakit THT edisi 6. Jakarta. EGC. 1994
3. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Penerjemah: Irawati,
Ramadani D, Indriyani F. Jakarta: penerbit Buku Kedokteran EGC, 2006.
4. Smith TD, Wilkinson V, Kaplan EL. Group A Streptococcus-associate upper
respiratory tract infections in a day center. Pediatrics. 1989;83
5. Naftazali,Zulfikar.

2013.

Neuro-Otologi.Semarang:FK

Undip

Available

at

http://yanuar.blog.undip.ac.id/files/2013/11/4.Neuro-Otologi-2-dr-Zulfikar-Sp.-THTKL.pdf
6. Jonathan

Gleadle.2007.At

glance

Anamnesis

dan

Pemeriksaan

Fisik.Jakarta:Erlangga
7. Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. Ear Nose and Throat diseases, A. Pocket
Reference. Edisi ke-2. New York. Thieme Med. 1994.

Page | 21

Anda mungkin juga menyukai