Faringitis
Faringitis
PENDAHULUAN
penunjang bila diperlukan. Prognosis untuk faringitis biasanya sangat baik pada sebagian
besar kasus.3
Page | 1
Bagi Pembaca
Diharapkan dengan adanya makalah ini dapat menjadi sumber referensi yang dapat
digunakan sebagai penunjang kegiatan serta sebagai bekal pengetahuan yang bermanfaat
dalam melaksanakan pelayanan kelak.
Page | 2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Page | 4
Ruang Faringal
Ada dua ruang yang berhubungan dengan faring yang secara klinis mempunyai arti
penting, yaitu ruang retrofaring dan ruang parafaring. Ruang retrofaring (Retropharyngeal
space), dinding anterior ruang ini adalah dinding belakang faring yang terdiri dari mukosa
faring, fasia faringobasilaris dan otot otot faring. Ruang ini berisi jaringan ikat jarang dan
fasia prevertebralis. Ruang ini mulai dari dasar tengkorak di bagian atas sampai batas paling
bawah dari fasia servikalis. Serat serat jaringan ikat di garis tengah mengikatnya pada
vertebra.Di sebelah lateral ruang ini berbatasan dengan fosa faringomaksila.3
Ruang parafaring (Pharyngomaxillary Fossa), ruang ini berbentuk kerucut dengan
dasarnya yang terletak pada dasar tengkorak dekat foramen jugularis dan puncaknya pada
kornu mayus os hioid. Ruang ini dibatasi di bagian dalam oleh m. konstriktor faring superior,
batas luarnya adalah ramus asenden mandibula yang melekat dengan m. pterigoid interna dan
bagian posterior kelenjar parotis. Fosa ini dibagi menjadi dua bagian yang tidak sama
besarnya oleh os stiloid dengan otot yang melekat padanya. Bagian anterior (presteloid)
adalah bagian yang lebih luas dan dapat mengalami proses supuratif sebagai akibat tonsil
yang meradang, beberapa bentuk mastoiditis atau petrositis, atau dari karies dentis. Bagian
yang lebih sempit di bagian posterior (post stiloid) berisi a.karotis interna, v. jugularis interna,
n. vagus yang dibungkus dalam suatu sarung yang disebut selubung karotis (carotid sheath).
Bagian ini dipisahkan dari ruang retrofaring oleh sesuatu lapisan fasia yang tipis3
Page | 5
Fase esophageal ialah fase perpindahan bolus makanan dari esophagus ke lambung.
Dalam keadaan istirahat introitus esophagus selalu tertutup. Dengan adanya rangsangan bolus
makanan pada akhir fase faringeal, maka terjadi relaksasi M.Krikofaring, sehingga introitus
esophagus terbuka dan bolus makanan masuk ke dalam esophagus. Setelah bolus makanan
lewat, maka sfingter akan berkontraksi lebih kuat, melebihi tonus introitus esophagus pada
saat istirahat, sehingga makanan tidak akan kembali ke faring. Dengan demikian refluks
dapat dihindari. Gerak bolus makanan di esophagus bagian atas masih dipengaruhi oleh
kontraksi M.Konstriktor faring inferior pada akhir fase faringeal. Selanjutnya bolus makanan
akan didorong ke distal oleh gerakan peristaltik esophagus. Dalam keadaan istirahat sfingter
esophagus bagian bawah selalu tertutup dengan tekanan rata-rata 8 mmHg lebih dari tekanan
didalam lambung sehingga tidak akan terjadi regurgitasi isi lambung. Pada akhir fase esofagal
sfingter ini akan terbuka secara reflex ketika dimulainya peristaltik esophagus servikal untuk
mendorong bolus makanan ke distal. Selanjutnya setelah bolus makanan lewat maka sfingter
ini akan menutup kembali. 3
Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum dan
faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole kearah dinding belakang
faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan melibatkan mula-mula
M.Salpingofaring dan M.Palatofaring, kemudian M.Levator veli palatine bersama-sama
M.Konstriktor faring superior. Pada gerakan penutupan nasofaring M.Levator veli palatine
menarik palatum mole ke atas belakang hampir mengenai dinding posterior faring.
Jarak yang tersisa ini diisi oleh tonjolan ( fold of).
Passavant pada dinding belakang faring yang terjadi akibat 2 macam mekanisme, yaitu
pengangkatan faring sebagai hasil gerakan M.Palatofaring (bersama M.Salpingofaring) dan
oleh kontraksi aktif M.Konstriktor faring superior. Mungkin kedua gerakan ini bekerja tidak
pada waktu yang bersamaan. Ada yang berpendapat bahwa tonjolan Passavant ini menetap
pada periode fonasi tetapi ada pula pendapat yang mengatakan tonjolan ini timbul dan hilang
secar acepat bersamaan dengan gerakan palatum.3,5
Page | 7
2.3. FARINGITIS
Faringitis (bahasa Latin: pharyngitis), adalah suatu penyakit peradangan yang
menyerang tenggorok atau hulu kerongkongan (pharynx). Kadang juga disebut sebagai
radang tenggorok.1
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan oleh virus
(40-60%), bakteri (5-40%), alergi, trauma, toksin dan lain-lain.2
2.3.1. Epidemiologi
Faringitis merupakan penyakit umum pada dewasa dan anak-anak. National
Ambulatory Medical Care Survey dan National Hospital Ambulatory Medical Care Survey
telah mendokumentasikan antara 6,2 - 9,7 juta kunjungan anak-anak dengan faringitis ke
klinik dan departemen gawat darurat setiap tahun, dan lebih dari 5 juta kunjungan orang
dewasa per tahun. 5
Menurut National Ambulatory Medical CareSurvey, infeksi saluran pernafasan atas,
termasuk faringitis akut, dijumpa200 kunjungan ke dokter per 1000 penduduk per tahun di
Amerika Serikat. Frekuensi munculnya faringitis lebih sering pada populasi anak-anak. Kirakira 15-30% kasus faringitis pada anak-anak usia sekolah dan 10% kasus faringitis pada
orang dewasa terjadi pada musim sejuk adalah akibat dari infeksi Group A Streptococcus.
Faringitis jarang terjadi pada anak-anak kurang dari 3 tahun. 5
2.3.2. Etiologi
Faringitis dapat disebabkan infeksi maupun non infeksi. Banyak mikroorganisme
yang dapat menyebabkan faringitis, antaranya virus (40-60%) dan bakteri (5-40%) yang
paling sering.2
Kebanyakan faringitis akut disebabkan oleh agen virus. Virus yang menyebabkan
faringitis termasuk Influenza virus, Parainfluenza virus, Coronavirus, viruses A dan B,
Page | 8
Cytomegalovirus, Adenovirus dan Epstein Barr Virus (EBV). Selain itu, infeksi Human
Immunodeficiency virus (HIV) juga dapat menyebabkan terjadinya faringitis.5
Faringitis akut yang disebabkan oleh bakteri termasuk Group A Beta Hemolytic
Streptococcus (GABHS), Group C Beta Hemolytic Streptococcus, Neisseria gonorrhoeae,
Corynebacterium diphtheria, Arcanobacterium haemolyticum dan sebagainya. Infeksi Group
A Beta Hemolytic Streptococcus (GABHS) merupakan penyebab faringitis akut pada 5-15%
dewasa dan 20-30% pada anak-anak (5-15 tahun).1
Neisseria gonorrhoeae sebagai penyebab faringitis bakterial gram negative ditemukan
pada pasien aktif secara seksual, terutama yang melakukan kontak orogenital. Dalam sebuah
penelitian pada orang dewasa yang terinfeksi gonorea, faringitis gonokokal ditemukan 20%
pada pria homoseksual, 10% pada wanita dan 3% pada pria heteroseksual. Sekitar 50%
individu yang terinfeksi adalah tanpa gejala, meskipun odinofagia, demam ringan dan eritema
dapat terjadi.2
Selain itu, Candida dapat tumbuh di mukosa rongga mulut dan faring dan
menyumbang terjadinya faringitis fungal. Faringitis gonorea hanya terdapat pada pasien yang
melakukan kontak orogenital.2
2.3.3 Patofisiologi
Pada faringitis yang disebabkan infeksi, bakteri ataupun virus dapat secara langsung
menginvasi mukosa faring dan akan menyebabkan respon inflamasi lokal. Kuman akan
menginfiltrasi lapisan epitel, lalu akan mengikis epitel sehingga jaringan limfoid superfisial
bereaksi dan akan terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear.
Pada stadium awal terdapat hiperemis, kemudian edema dan sekresi yang meningkat. Pada
awalnya eksudat bersifat serosa tapi menjadi menebal dan kemudian cenderung menjadi
kering dan dapat melekat pada dinding faring. Dengan keadaan hiperemis, pembuluh darah
dinding faring akan melebar. Bentuk sumbatan yang berwarna kuning, putih atau abu-abu
akan didapatkan di dalam folikel atau jaringan limfoid. Tampak bahwa folikel limfoid dan
bercak-bercak pada dinding faring posterior atau yang terletak lebih ke lateral akan menjadi
meradang dan membengkak.
Virus-virus seperti Rhinovirus dan Coronavirus dapat menyebabkan iritasi sekunder
pada mukosa faring akibat sekresi nasal.
Page | 9
Infeksi streptococcal memiliki karakteristik khusus yaitu invasi lokal dan pelepasan
extracelullar toxins dan protease yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang hebat
karena fragmen M protein dari Streptococcus hemolyticus group A memiliki struktur yang
sama dengan sarkolema pada miokard dan dihubungkan dengan demam reumatik dan
kerusakan katub jantung. Selain itu juga dapat menyebabkan glomerulonefritis akut karena
fungsi glomerulus terganggu akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi.2
Faktor risiko lain penyebab faringitis akut yaitu udara yang dingin, turunnya daya
tahan tubuh yang disebabkan infeksi virus influenza, konsumsi makanan yang kurang gizi,
konsumsi alkohol yang berlebihan, merokok dan seseorang yang tinggal di lingkungan kita
yang menderita sakit tenggorokan atau demam.1
2.3.6. Klasifikasi
Faringitis Akut
a. Faringitis viral
Dapat disebabkan oleh Rinovirus, Adenovirus, Epstein Barr Virus (EBV), Virus
influenza, Coxsachievirus, Cytomegalovirus dan lain-lain. Gejala dan tanda biasanya terdapat
demam disertai rinorea, mual, nyeri tenggorok, sulit menelan. 2
Pada
pemeriksaan
tampak
faring
dan
tonsil
hiperemis.
Virus
influenza,
b. Faringitis Bakterial
Infeksi Streptococcus hemolyticus group A merupakan penyebab faringitis akut pada
orang dewasa (15%) dan pada anak (30%).
Gejala dan tanda biasanya penderita mengeluhkan nyeri kepala yang hebat, muntah,
kadang-kadang disertai demam dengan suhu yang tinggi, jarang disertai batuk.
Page | 11
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan tonsil hiperemis dan terdapat
eksudat dipermukaannya. Beberapa hari kemudian timbul bercak petechiae pada palatum dan
faring. Kelenjar limfa leher anterior membesar, kenyal dan nyeri apabila ada penekanan.4
Faringitis akibat infeksi bakteri Streptococcus hemolyticus group A dapat
diperkirakan dengan menggunakan Centor criteria, yaitu :5
Demam
Anterior Cervical lymphadenopathy
Eksudat tonsil
Tidak adanya batuk
Tiap kriteria ini bila dijumpai di beri skor satu. Bila skor 01 maka pasien tidak
mengalami faringitis akibat infeksi Streptococcus hemolyticus group A, bila skor 13 maka
pasien memiliki kemungkian 40% terinfeksi Streptococcus hemolyticus group A dan bila
skor empat pasien memiliki kemungkinan 50% terinfeksi Streptococcus hemolyticus group
A
Terapi : Antibiotik diberikan bila diduga penyebab faringitis akut ini Streptococcus
hemolyticus group A. Penicillin G Banzatin 50.000 U/kgBB, IM dosis tunggal, atau
amoksisilin 50 mg/kgBB dosis dibagi 3 x/hari selama 10 hari dan pada dewasa 3x 500 mg
selama 6 - 10 hari atau eritromisin 4x500 mg/hari. Kortikosteroid: deksametason 8-16 mg,
IM 1 x. Pada anak 0,08 - 0,3 mg/kgBB IM, 1x, analgetika , serta pemberian kumur dengan air
hangat atau antiseptik.5
c. Faringitis Fungal
Candida dapat tumbuh di mukosa rongga mulut dan faring. Gejala dan tanda biasanya
terdapat keluhan nyeri tenggorok dan nyeri menelan. Pada pemeriksaan tampak plak putih di
orofaring dan mukosa faring lainnya hiperemis. Pembiakan jamur ini dilakukan dalam agar
sabouroud dextrosa.
Terapi yang diberikan Nystatin 100.000 400.000 2x/hari dan pemberian analgetika.5
Page | 12
d. Faringitis Gonorea
Hanya terdapat pada pasien yang melakukan kontak orogenital.
Terapi yang diberikan Sefalosporin generasi ke-3, Ceftriakson 250 mg, IM. 5
Faringitis Kronik
Faktor predisposisi proses radang kronik di faring ini ialah rinitis kronik, sinusitis, iritasi
kronik oleh rokok, minum alkohol, inhalasi uap yang merangsang mukosa faring dan debu.
Faktor lainnya adalah orang yang biasa bernapas melalui mulut karena hidungnya tersumbat.5
a. Faringitis Kronik Hiperplastik
Pada faringitis kronik hiperplastik terjadi perubahan mukosa dinding posterior faring.
Tampak kelenjar limfa di bawah mukosa faring dan lateral hiperplasi.
Gejala :
-
Berasa kering
Berlendir
Dicari dan diobati adanya penyalkit kronis dihidung dan sinus paranasal
Terapi lokal dengan menggosokkan zat kimia (kaustik) yaitu : larutan nitres argenti atau
albotil maupun dengan listrik (elektro cauter)
Page | 13
Mulut berbau
Faringitis Spesifik
a. Faringitis Leutika
Treponema pallidum (Syphilis) dapat menimbulkan infeksi di daerah faring, seperti juga
penyakit lues di organ lain.
o Gejala dan tanda :
Stadium primer :
-
Bercak keputihan pada lidah, palatum mole, tonsil dan dinding faring posterior
Timbul ulkus karena infeksi yang lama
Pembesaran kelenjar mandibula yang tidak nyeri tekan
Stadium sekunder :
Jarang ditemukan
Terdapat eritema pada dinding faring yang menjalar kearah laring
Stadium tersier :
Guma pada dinding faring pada posterior akan mengenai vertebra servikal
Gangguan fungsi palatum secara permanen akibat adanya guma pada palatum mole
o Diagnosis : dengan pemeriksaan serologi
o Terapi : Obat pilihan utama pinissilin dalam dosis tinggi5,6
b. Faringitis tuberkulosis
Merupakan proses sekunder dari tuberkulosis paru. Pada infeksi kuman tahan asam jenis
bovinum dapat timbul tuberkulosis faring primer
o Cara infeksi :
-
Cara eksogen yaitu kontak dengan sputum yang mengandung kuman atau inhalasi kuman
melalui udara
Berbentuk ulkus pada satu sisi tonsil dan jaringan tonsil itu akan mengalami nekrosis
Pada infeksi secara hematogen tonsil dapat terkena pada kedua sisi terutama pada dinding
faring posterior, arkus faring anterior, dinding lateral hipofaring, palatum mole dan
palatum durum
Regurgitasi
Biopsi jaringan untuk mengetahui proses keganasan serta mencari basil tahan asam di
jaringan
o Terapi: sesuai dengan terapi tuberkolusis paru5
coxsachievirus,
cytomegalovirus
tidak
menghasilkan
eksudat).
Pada
coxsachievirus dapat menimbulkan lesi vesikular di orofaring dan lesi kulit berupa
maculopapular rash.
b. Faringitis bakterial, pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan tonsil hiperemis
dan terdapat eksudat dipermukaannya. Beberapa hari kemudian timbul bercak petechiae pada
palatum dan faring. Kadang ditemukan kelenjar limfa leher anterior membesar, kenyal dan
nyeri pada penekanan.
c. Faringitis fungal, pada pemeriksaan tampak plak putih di orofaring dan pangkal lidah,
sedangkan mukosa faring lainnya hiperemis.
d. Faringitis kronik hiperplastik, pada pemeriksaan tampak kelenjar limfa di bawah mukosa
faring dan lateral hiperplasi. Pada pemeriksaan tampak mukosa dinding posterior tidak rata
dan bergranular (cobble stone).
e. Faringitis kronik atrofi, pada pemeriksaan tampak mukosa faring ditutupi oleh lendir yang
kental dan bila diangkat tampak mukosa kering.
f. Faringitis tuberkulosis, pada pemeriksaan tampak granuloma perkijuan pada mukosa faring
dan laring.
g. Faringitis luetika tergantung stadium penyakit6
- Stadium primer
Pada lidah palatum mole, tonsil dan dinding posterior faring berbentuk bercak
keputihan. Bila infeksi berlanjut timbul ulkus pada daerah faring seperti ulkus pada genitalia
yaitu tidak nyeri. Juga didapatkan pembesaran kelenjar mandibula.
- Stadium sekunder
Page | 17
Stadium ini jarang ditemukan. Pada dinding faring terdapat eritema yang menjalar ke
arah laring.
- Stadium tersier
Terdapat guma. Predileksi pada tonsil dan palatum.5
2.3.9. Pemeriksaan Penunjang
Faringitis
didiagnosis
dengan
cara
pemeriksaan
tenggorokan
(kultur
apus
2.3.10. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dari penyakit faringitis harus sesuai dengan penyebabnya.
Terapi pada penderita faringitis viral dapat diberikan aspirin atau asetaminofen untuk
membantu mengurangi rasa sakit dan nyeri pada tenggorokan. Penderita dianjurkan untuk
Page | 18
beristirahat di rumah dan minum yang cukup. Kumur dengan air hangat. Faringitis yang
disebabkan oleh virus dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan.2
Terapi untuk faringitis bakterial diberikan antibiotik terutama bila diduga penyebab
faringitis akut ini grup A Streptokokus hemolitikus. Dapat juga diberikan Penicilin G
Banzatin 50.000 U/kgBB, IM dosis tunggal, atau amoksisilin 50 mg/kgBB dosis dibagi 3
kali/hari selama 10 hari dan pada dewasa 3 x 500mg selama 6-10 hari, jika pasien alergi
terhadap penisilin maka diberikan eritromisin 4x500 mg/hari. Kumur dengan air hangat atau
antiseptik beberapa kali sehari.1,2
Faringitis yang disebabkan Candida dapat diberikan Nystasin 100.00 400.000 2
kali/hari dan faringitis yang disebabkan Gonorea dapat diberikan Sefalosporin generasi ke-3,
Ceftriakson 250mg secara injeksi intramuskular.2
2.3.11. Komplikasi
Komplikasi umum pada faringitis adalah sinusitis, otitis media, epiglottitis,
mastoiditis, dan pneumonia. Faringitis yang disebabkan oleh infeksi Streptococcus jika tidak
segera diobati dapat menyebabkan peritonsillar abses, demam reumatik akut, toxic shock
syndrome, peritonsillar sellulitis, abses retrofaringeal dan obstruksi saluran pernasafan akibat
dari pembengkakan laring. Demam reumatik akut dilaporkan terjadi pada satu dari 400
infeksi GABHS yang tidak diobati dengan baik.5
2.3.12 Prognosis
Prognosis untuk faringitis akut sangat baik pada sebagian besar kasus. Biasanya
faringitis akut sembuh dalam waktu 10 hari, namun harus berhati-hati dengan komplikasi
yang berpotensi terjadi.52
Page | 19
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Faringitis adalah suatu penyakit peradangan yang menyerang tenggorok atau hulu
kerongkongan (pharynx). Kadang juga disebut sebagai radang tenggorok.
2. Banyak mikroorganisme yang dapat menyebabkan faringitis, antaranya virus (4060%) dan bakteri (5-40%) yang paling sering.
3. Faringitis yang disebabkan oleh infeksi Streptococcus jika tidak segera diobati dapat
menyebabkan peritonsillar abses, demam reumatik akut, toxic shock syndrome,
peritonsillar sellulitis, abses retrofaringeal dan obstruksi saluran pernasafan akibat
dari pembengkakan laring.
4. Penatalaksanaan faringitis tergantung dari penyebab yang ditemukan saat didiagnosis.
5. Tujuan pentalaksanaan faringitis, yaitu mengatasi gejala secepat mungkin, membatasi
penyebaran infeksi serta membatasi komplikasi.
6. Prognosis untuk faringitis akut sangat baik pada sebagian besar kasus. Biasanya
faringitis akut sembuh dalam waktu 10 hari, namun harus berhati-hati dengan
komplikasi yang berpotensi terjadi
3.2 Saran
1. Diperlukan diagnosis faringitis yang tepat dan dini berdasarkan penyebabnya
sehingga penatalaksanaan segera dapat dilakukan.
2. Pencegahan faringitis dapat dilakukan dengan cara menghindari faktor resikonya
seperti tidak merokok, tidak meminum minuman beralkohol, serta menkonsumsi
makanan dengan gizi yang cukup.
Page | 20
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Hermani B. Abdurrahman H. Faringitis. Dalam Soepardi EA, Iskandar N Ed. Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher. Edisi ke-6.
Jakarta. Balai Penerbit FKUI. 2001.
2. Hilger PA. Penyakit Penyakit Nasofaring Dan Orofaring. Dalam: Boeis Buku Ajar
Penyakit THT edisi 6. Jakarta. EGC. 1994
3. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Penerjemah: Irawati,
Ramadani D, Indriyani F. Jakarta: penerbit Buku Kedokteran EGC, 2006.
4. Smith TD, Wilkinson V, Kaplan EL. Group A Streptococcus-associate upper
respiratory tract infections in a day center. Pediatrics. 1989;83
5. Naftazali,Zulfikar.
2013.
Neuro-Otologi.Semarang:FK
Undip
Available
at
http://yanuar.blog.undip.ac.id/files/2013/11/4.Neuro-Otologi-2-dr-Zulfikar-Sp.-THTKL.pdf
6. Jonathan
Gleadle.2007.At
glance
Anamnesis
dan
Pemeriksaan
Fisik.Jakarta:Erlangga
7. Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. Ear Nose and Throat diseases, A. Pocket
Reference. Edisi ke-2. New York. Thieme Med. 1994.
Page | 21