dikenal dengan nama Sjahrir. Saat itu kampus menjadi tempat dimana para aktivis bisa
mengeratkan hubungan ideologis dan berjuang melawan kolonialisme, baik Jepang maupun
Belanda. Pergerakan bersumber dari kehidupan kampus dan memancar ke semua pergerakan
rakyat. Saat demokrasi muncul di awal tahun 50-an maka partai politik dengan bergegas juga ikut
mendirikan kampus, diantaranya Res Publica yang kemudian beralih nama menjadi Tri Sakti.
Kampus tetap tak lekang dari mandat sebagai kekuatan pembebas dan in melahirkan berbagai
aktivis yang kini banyak mewarnai kancah intelektual.
Tonggak kekuatan Soeharto ditandai dengan penutupan beberapa kampus yang kena cap
kiri. Ilmuwan kampus menjadi bagian inti dari kekuasaan, yang kemudian populer dengan
sebutan mafia bekerley. Mahasiswa yang dulu melawan Soekarno kini berangsur-angsur mulai
melawan kuasa Soeharto yang mulai licik dan mengembangkan kontrol pada kampus, terutama
pasca peristiwa Malari. Kampus selain mendapat pengawasan juga mulai dikembangkan sebagai
bagian dari dinasti kekuasaan. Malahan didirikan kampus yang khusus menjadi penyetor tenaga
administrasi kekuasaan. Berulang-ulang kampus kemudian menggeser perannya dari komunitas
yang menjalankan kontrol menjadi inti dari sumber kekuasaan. Tapi energi kritis kampus tetap
bertahan karena kebanyakan kelas sosial yang menjadi penghuninnya adalah bagian dari rakyat.
Rakyat masih cukup ringan dengan biaya masuk kampus. Perguruan Tinggi Negeri jadi
harapan untuk naik ke kelas sosial yang lebih baik. Makanya masih banyak saat itu kampus yang
mahasiswanya naik sepeda atau dosen yang naik motor butut. Kesederhanaan kampus negeri
dapat dilihat dari bangunannya yang simpel dan sederhana. Gerakan kampus kemudian menjalar
dengan anggota yang meluas hingga rakyat miskin. Tak tanggung-tanggung program KKN
diluncurkan untuk mendorong tanggung jawab kampus pada masyarakat pedesaan. Tapi ini masa
bulan madu yang memunculkan banyak kritik. Salah satu yang terbesar adalah managemen
kampus yang amburadul. Managemen keuangan yang ditanggung oleh pemerintah pusat lamakelamaan tidak kuat untuk menambal kekurangan. Kampus tidak mungkin terus menerus harus
mengekor pada politik penguasa pusat.
Lahir kemudian keinginan untuk mengembangkan otonomi. Ini didasarkan pada apa
yang menjadi gejala universal yakni demokratisasi dan liberalisasi politik. Gagasan ini bersanding
dengan kepercayaan tentang negara yang brengsek. Negara tempat dimana korupsi, kolusi dan
nepotisme menjadi sumber masalah. Kampus kemudian didorong untuk berubah status, dari
yang semula managemen mengikuti kemauan pusat mulai mengembangkan otonomi managemen
sendiri. Pukulan awal adalah dengan menaikkan ongkos masuk PTN. Sebab tak bisa
menyandarkan biaya pada negara saja karena negara sudah mengalami kebangkrutan. PTN mulai
menghitung-hitung berapa sesungguhnya biaya per kepala mahasiswa dan siapa yang akan
menanggung pembiayaan itu. Dengan ongkos yang mahal tentu kuliah selain sulit diakses oleh
orang miskin juga mulai mengembangkan managemen yang mirip seperti perseroan.
Kepemilikan kolektif yang diwakili oleh kelas borjuis akan mengulang kembali elitisme
pendidikan yang selama ini jadi kritik terbesar semua pengamat pendidikan.
Jika soalnya adalah biaya tentu ada beberapa pemecahan yang masuk akal. Yang pertama
adalah mengembangkan sistem kelembagaan kampus yang mampu mengembangkan kerja sama
dengan berbagai pihak. Lembaga riset maupun konsultasi bisa dikembangkan sebagai bagian dari
asset kampus untuk mendatangkan pendapatan. Ini sebenarnya sudah banyak ditempuh oleh
berbagai pusat studi tinggal bagaimana mengembangkan pendanaan sebagai bagian dari
investasi. Ada pusat studi yang gemuk dalam pendapatan dan bagaimana pendapatan ini
disalurkan untuk menamba berbagai kekurangan. Asset-asset kampus yang bisa mengambil
fungsi itu dioptimalkan tanpa membebankan pada mahasiswa.
Langkah
keuangan
kedua
adalah
mendorong
pemerintahan
setempat
untuk
mengalokasikan budget pada kampus negeri. Kampus negeri selama ini memberikan peran yang
sangat penting, khususnya dalam mengembangkan identitas wilayah dan bahkan mampu
memberi makan pada penduduk sekitar. Kost maupun warung yang selama ini jadi bagian dari
wirausaha rakyat menjadi tertolong dengan keberadaan kampus negeri yang punya banyak
fakultas. Tak bisa pemerintah lokal lepas tanggung jawab dari keluhan akan mahalnya biaya
pendidikan apalagi dengan menutup mata pada apa yang berjalan selama ini. Pemerintah lokal
dituntut untuk berperan dalam mengembangkan pembiayaan alternatif. Mungkin itu diawali dari
pengenaan pajak pada berbagai perusahaan lokal yang membantu kampus dengan imbalan
berbagai keringanan.
Langkah ketiga adalah melakukan efisiensi yang ketat dan transpransi managemen.
Kampus waktunya mengembangkan sumber daya lokal dalam hal peningkatan fasilitas, misalnya
kerja sama dengan penerbit dalam melengkapi perpustakaan atau belajar pada sektor ekonomi
rakyat dalam pengembangan studi ekonomi. Kampus didorong memanfaatkan potensi lokal yang
selama ini bisa dijadikan sandaran bagi pendalaman pengetahuan sekaligus laboratrium sosial
mahasiswannya. Fakultas kedokteran tidak hanya punya rumah sakit tapi juga bagaimana meihat
pengobatan alternatif yang kini telah diakui. Sama halnya dengan fakultas Fisipol yang mulai
berpraktek pada bagaimana kinerja partai politik lokal. Sama halnya dengan fakultas arsitektur
yang perlu menghabiskan banyak waktu untuk meyentuh rumah kaum miskin yang ada di
pinggiran sungai. Radikalisasi methodologi perlu ditempuh sehingga kampus bukan menjadi
tempat yang asing.
Langkah keempat peran Perbankan diintensifkan selain sebagai penampung dana
mahasiswa. Selama ini Perbankan belum banyak aktif membantu kampus selain membangun
gedung. Perbankan harus memberikan alokasi kredit produktif yang kelak akan bermanfaat
misalnya dalam pengembangan laboratrium, perluasan areal kampus atau memperbanyak
fasilitas yang diperlukan. Kredit produktif untuk kegiatan pengetahuan harus digalakkan agar
tidak lagi ada alasan kalau biaya sedikit-sedikit kurang. Kita bisa mesurvai berapa sebenarnya
pendapatan Perbankan dari penyimpanan uang mahasiswa selama ini, yang jumlahnya kian hari
kian meningkat.
Langkah kelima mulai membuka studi yang berorientasi pada golongan miskin. Semakin
banyak golongan miskin yang tidak tertampung dalam institusi perguruan tinggi. Waktunnya
untuk membuka kelas khusus untuk mereka. Ada banyak program studi yang dibuka untuk
kalangan profesional dan kenapa tidak dibuka untuk kelompok miskin. Keberanian untuk
membuka studi khusus bagi kelompok miskin menjadi bagian penting dari keberanian
kekuasaan. Karenanya menjadi penting bahwa BHMN bukan butuh sekedar uang atau
managemen melainkan keberanian dan nyali para penguasa kampus. Jadi persoalannya bukan
BHMN perlu apa tidak, melainkan siapa yang diuntungkan dengan perubahan status ini dan
siapa yang sebenarnya dirugikan? Sebuah kebijakan akan selalu memiliki dua sisi yang
kontradiktif. Salam