Anda di halaman 1dari 26

BAB II

RETAK PADA PERKERASAN JALAN RAYA

II.1 Kerusakan Pada Jalan Raya


Lapisan perkerasan sering mengalami kerusakan atau kegagalan sebelum mencapai
umur rencana. Kerusakan pada perkerasan dapat dilihat dari kegagalan fungsional dan
struktural.
Kegagalan fungsional adalah apabila perkerasan tidak dapat berfungsi lagi sesuai
dengan yang direncanakan dan menyebabkan ketidaknyamanan bagi pengguna jalan.
Sedangkan kegagalan struktural terjadi ditandai dengan adanya rusak pada satu atau lebih
bagian dari struktur perkerasan jalan yang disebabkan lapisan tanah dasar yang tidak stabil,
beban lalu lintas, kelelahan permukaan, dan pengaruh kondisi lingkungan sekitar (Yoder,
1975).
Menurut Departemen Pekerjaan Umum (2007), kerusakan pada konstruksi jalan
(demikian juga dengan bahu beraspal) dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu:
a. Air, yang dapat berasal dari hujan, sistem drainase jalan yang tidak baik, atau naiknya
air berdasarkan sifat kapilaritas air bawah tanah.
b. Iklim, di Indonesia yang termasuk beriklim tropis dimana suhu dan curah hujan yang
umumnya tinggi.
c. Lalu lintas, yang diakibatkan dari peningkatan beban (sumbu kendaraan) yang
melebihi beban rencana, atau juga repetisi beban (volume kendaraan) yang melebihi
volume rencana sehingga umur rencana jalan tersebut tidak tercapai.
d. Material konstruksi perkerasan, yang dapat disebabkan baik oleh sifat/ mutu material
yang digunakan ataupun dapat juga akibat cara pelaksanaan yang tidak sesuai.

Universitas Sumatera Utara

e. Kondisi tanah dasar yang tidak stabil, yang mungkin disebabkan karena cara
pemadatan tanah dasar yang kurang baik, ataupun juga memang sifat tanah dasarnya
yang memang jelek.
Kerusakan yang terjadi pada perkerasan lentur adalah mencakup semua kerusakan
seperti:
1. Retak (cracks)
Berdasarkan bentuknya retak dibagi menjadi: meander, garis, blok, kulit buaya
dan parabola.
2. Perubahan bentuk (deformation)
Dikenal juga dengan istilah Distorsion. Kerusakan ini menyebabkan perubahan
bentuk permukaan perkerasan dari bentuk aslinya. Deformasi dapat dibedakan
atas:

alur

(rutting),

keriting

(corrugation),

sungkur

(shoving),

amblas

(depression), dan jembul (upheaval).


3. Cacat permukaan (surface defect)
Kerusakan ini sering disebut dengan Disintegration. Kerusakan ini ditimbulkan
akibat pecahnya lapisan permukaan menjadi fragmen-fragmen kecil yang jika
dibiarkan akan menyebabkan kehancuran total seluruh perkerasan. Kerusakan ini
dikelompokan menjadi: delaminasi (delamination), kegemukan (bleeding),
pengausan (polishing), pelepasan butir (raveling), pengelupasan lapis perkerasan
(stripping), dan tambalan (patches).
4. Cacat tepi (edge defect)
Kerusakan ini terjadi pada pertemuan tepi permukaan perkerasan dengan bahu
jalan tanah (bahu tidak beraspal) atau juga pada tepi bahu jalan beraspal dengan
tanah sekitarnya. Bentuk kerusakan cacat tepi permukaan dibedakan atas gerusan
tepi (edge break) dan penurunan tepi (edge drop).

Universitas Sumatera Utara

Umumnya kerusakan-kerusakan yang timbul itu tidak disebabkan oleh satu faktor
saja, tetapi dapat merupakan gabungan dari penyebab yang saling kait-mengait. Sebagai
contoh adalah retak pinggir, pada awalnya dapat diakibatkan oleh tidak baiknya sokongan
dari damping. Dengan terjadinya retak pinggir, memungkinkan air meresap masuk ke lapis di
lubang-lubang disamping melemahkan daya dukung lapisan dibawahnya (Departemen
Pekerjaan Umum, 2007). Adapun gambar-gambar kerusakan jalan dapat dilihat pada
lampiran.
Sedangkan menurut Highway Development and Management (2001), kerusakan pada
perkerasan jalan terbagi ke dalam beberapa kategori, yaitu:
1. Kerusakan permukaan jalan
Pada kategori kerusakan permukaan jalan dibagi menjadi tiga bagian:

Retak (cracking)

Lubang (potholing)

Pelepasan butir (raveling)

Cacat tepi perkerasan (edge break)

2. Kerusakan deformasi
Pada kategori kerusakan deformasi dibagi menjadi dua bagian:

Alur (rutting)

Ketidakrataan (roughness)

3. Kerusakan tekstur permukaan jalan


Pada kategori tekstur permukaan jalan dibagi menjadi dua bagian:

Kedalaman tekstur (texture depth)

Kekesatan (skid resistance)

4. Kerusakan akibat sistem drainase yang buruk.

Universitas Sumatera Utara

II.2 Retak
II.2.1 Umum
Retak adalah suatu gejala kerusakan/ pecahnya permukaan perkerasan sehingga akan
menyebabkan air pada permukaan perkerasan masuk ke lapisan dibawahnya dan hal ini
merupakan salah satu faktor yang akan membuat luas/ parah suatu kerusakan (Departemen
Pekerjaan Umum, 2007).
Di dalam pendekatan mekanika retak diasumsikan ada bagian yang lemah pada setiap
material. Ketika pembebanan terjadi, ada konsentrasi tegangan yang lebih tinggi di sekitar
bagian tersebut, sehingga material tersebut tidak lagi memiliki distribusi tegangan yang
seragam dan terjadilah kerusakan/ retak pada bagian tersebut dan berkembang ke bagian yang
lainnya. Mekanika retak juga menggambarkan perkembangan retak tergantung pada sifat
material tersebut (Roque, 2010).

II.2.2 Jenis - jenis retak


Pengelompokan jenis-jenis kerusakan yang terjadi pada retak bermacam-macam,
seperti jenis retak berdasarkan bentuk retak, penyebab terjadinya kerusakan retak, tingkat
keparahan retak, lokasi retak, dan cara berkembangnya.

II.2.2.1 Berdasarkan bentuk retak


Departemen Pekerjaan Umum (2007) mengelompokkan jenis kerusakan retak
berdasarkan bentuknya menjadi:
1. Meander (meandering)
Yaitu retak yang terjadi berbentuk seperti sungai yang berkelok-kelok (meander).
Jenis retak yang termasuk dalam kerusakan ini adalah: retak halus (hair cracks).

Retak halus (hair cracks)

Universitas Sumatera Utara

Yang dimaksud retak halus adalah retak yang terjadi mempunyai lebar celah 3
mm. Sifat penyebarannya dapat setempat atau luas pada permukaan jalan.
Kemungkinan penyebab:
1. Bahan perkerasan/ kualitas material kurang baik.
2. Pelapukan permukaan.
3. Air tanah pada badan perkerasan jalan.
4. Tanah dasar/ lapisan dibawah permukaan kurang stabil.
Akibat lanjutan:
a. Meresapnya air pada badan jalan sehingga mempercepat kerusakan dan
menimbulkan ketidak-nyamanan berkendaraan.
b. Berkembang menjadi retak buaya (alligator cracks).

Gambar 2.1 Retak Halus (Hair Cracks)


2. Garis (line)
Yaitu retak yang terjadi berbentuk garis dan dapat berupa memanjang (longitudinal),
melintang (transverse), dan diagonal. Jenis kerusakan retak yang termasuk dalam
kerusakan ini adalah: retak tepi (edge cracks), retak pertemuan perkerasan dan bahu (edge
joint cracks), retak sambungan jalan (lane joint cracks), dan retak sambungan pelebaran
(widening cracks).

Universitas Sumatera Utara

Retak tepi (edge cracks)


Retak ini disebut juga dengan retak garis (lane cracks) dimana terjadi pada sisi

tepi perkerasan/ dekat bahu dan berbentuk retak memanjang (longitudinal cracks)
dengan atau tanpa cabang yang mengarah ke bahu. Retak ini dapat terdiri atas
beberapa celah yang saling sejajar.
Kemungkinan penyebab:
1. Bahan dibawah retak pinggir kurang baik atau perubahan volume akibat jenis
ekspansif clay pada tanah dasar .
2. Sokongan bahu samping kurang baik.
3. Drainase kurang baik.
4. Akar tanaman yang tumbuh di tepi perkerasan dapat pula menjadi sebab
terjadinya retak tepi.
Akibat lanjutan:
a. Kerusakan menyeluruh atau setempat pada perkerasan jalan sehingga
mengganggu kenyamanan berkendaraan.
b. Retak akan berkembang menjadi besar yang diikuti oleh pelepasan butir pada
tepi retak.

Gambar 2.2 Retak Tepi (Edge Cracks)

Universitas Sumatera Utara

Retak pertemuan perkerasan bahu (edge joint cracks)


Sesuai dengan namanya retak ini umumnya terjadi pada daerah sambungan

perkerasan dengan bahu yang beraspal. Retak ini berbentuk retak memanjang
(longitudinal cracks) dan biasanya terbentuknya pada permukaan bahu beraspal.
Retak ini dapat terdiri atas beberapa celah yang saling sejajar.
Kemungkinan penyebab:
1. Perbedaan ketinggian antara bahu beraspal dengan perkerasan, akibat
penurunan bahu.
2. Penyusutan material bahu/ badan perkerasan jalan.
3. Drainase kurang baik.
4. Roda kendaraan berat yang menginjak bahu beraspal.
5. Material pada bahu yang kurang baik/ kurang memadai.
Akibat lanjutan:
a. Menimbulkan kerusakan menyeluruh atau setempat pada perkerasan jalan
akibat meresapnya air pada badan jalan dan mengganggu kenyamanan
berkendaraan.
b. Berkembang menjadi besar yang diikuti oleh pelepasan butir pada tepi retak.

Retak sambungan jalan (lane joint cracks)


Sesuai dengan namanya retak ini terjadi pada sambungan dua jalur lalu lintas dan

berbentuk retak memanjang (longitudinal cracks). Retak ini dapat terdiri atas
beberapa celah yang saling sejajar.
Kemungkinan penyebab:

Universitas Sumatera Utara

1. Ikatan sambungan kedua jalur yang kurang baik.


Akibat lanjutan:
a. Kerusakan menyeluruh atau setempat pada perkerasan jalan dan akan
mengganggu kenyamanan berkendaraan.
b. Lepasnya butir pada tepi retak dan bertambah lebar.

Gambar 2.3 Retak Sambungan Jalan (Lane Joint Cracks)

Retak sambungan pelebaran (widening cracks)


Bentuk retak ini adalah retak memanjang (longitudinal cracks) yang akan terjadi

pada sambungan antara perkerasan lama dengan perkerasan pelebaran. Retak ini dapat
terdiri atas beberapa celah yang saling sejajar dan akan meresapkan air pada lapisan
perkerasan.
Kemungkinan penyebab:
1. Ikatan sambungan yang kurang baik.
2. Perbedaan kekuatan/ daya dukung perkerasan pada jalan pelebaran dengan
jalan lama.
Akibat lanjutan:

Universitas Sumatera Utara

a. Menimbulkan kerusakan menyeluruh atau setempat pada perkerasan jalan dan


akan mengganggu kenyamanan berkendaraan.
b. Lepasnya butir pada tepi retak sehingga kerusakan akan bertambah parah.

Gambar 2.4 Retak Sambungan Pelebaran (Widening Cracks)

3. Blok (block)
Yaitu retak yang saling berhubungan membentuk serangkaian blok, dengan bentuk
menyerupai persegi empat. Jenis kerusakan retak yang termasuk dalam kerusakan ini
adalah: retak refleksi (reflection cracks), dan retak susut (shrinkage cracks).

Retak refleksi (reflection cracks)


Kerusakan ini terjadi pada lapisan tambahan (overlay), dapat berbentuk

memanjang (longitudinal cracks), diagonal (diagonal cracks), melintang (transverse


cracks), ataupun kotak (blocks cracks) yang menggambarkan pola retakan perkerasan
dibawahnya. Retak ini dapat terjadi bila retak pada perkerasan lama tidak diperbaiki
secara benar sebelum pekerjaan pelapisan ulang (overlay) dilakukan.
Kemungkinan penyebab:

Universitas Sumatera Utara

1. Pergerakan vertikal/ horizontal di bawah lapis tambahan (lapisan overlay)


sebagai akibat perubahan kadar air pada tanah dasar yang ekspansif .
2. Perbedaan penurunan (settlement) dari timbunan/ pemotongan badan jalan
dengan struktur perkerasan.
Akibat lanjutan:
a. Kerusakan menyeluruh atau setempat pada perkerasan jalan dan akan
mengganggu kenyamanan berkendaraan.
b. Lepasnya butir pada tepi retak sehingga kerusakan akan bertambah parah.

Gambar 2.5 Retak Refleksi (Reflection Cracks)

Retak susut (shrinkage cracks)


Retak yang terjadi tersebut saling bersambungan membentuk kotak besar dengan

sudut tajam atau dapat dikatakan suatu interconnected cracks yang membentuk suatu
seri blocks cracks. Umumnya penyebaran retak ini menyeluruh pada perkerasan jalan.
Kemungkinan penyebab:
1. Perubahan volume perkerasan yang mengandung terlalu banyak aspal dengan
penetrasi rendah.
2. Perubahan volume pada lapisan pondasi dan tanah dasar.

Universitas Sumatera Utara

Akibat lanjutan:
a. Retak ini akan menyebabkan meresapnya air pada badan jalan sehingga akan
menimbulkan kerusakan setempat atau menyeluruh pada perkerasan jalan dan
mengganggu kenyamanan berkendaraan.
b. Lepasnya butir pada tepi retak sehingga timbul lubang (potholes).

Gambar 2.6 Retak Susut (Shrinkage Cracks)


4. Kulit buaya (crocodile)
Yaitu retak yang berbentuk kulit buaya. Jenis yang termasuk dalam kerusakan ini
adalah: retak kulit buaya (alligator cracks).

Retak kulit buaya (crocodile cracks)


Istilah lain adalah chickenwire cracks, alligator cracks, polygonal cracks, dan

crazing. Lebar celah retak 3 mm dan saling berangkai membentuk serangkaian


kotak-kotak kecil yang menyerupai kulit buaya atau kawat untuk kandang ayam.
Umumnya daerah dimana terjadi retak kulit buaya tidak luas. Jika daerah dimana
terjadi retak kulit buaya luas, mungkin hal ini disebabkan oleh repetisi beban
lalulintas yang melampaui beban yang dapat dipikul oleh lapisan permukaan tersebut.
Kemungkinan penyebab:

Universitas Sumatera Utara

1. Bahan perkerasan/ kualitas material kurang baik.


2. Pelapukan permukaan.
3. Air tanah pada badan perkerasan jalan.
4. Tanah dasar/ lapisan dibawah permukaan kurang stabil.
Akibat lanjutan:
a. Kerusakan setempat/ menyeluruh pada perkerasan.
b. Berkembang menjadi lubang akibat dari pelepasan butir-butir.

Gambar 2.7 Retak Kulit Buaya (Alligator Cracks)


5. Parabola (crescent)
Yaitu retak yang berbentuk parabola. Jenis yang termasuk dalam kerusakan ini
adalah: retak selip (slipage cracks).

Retak selip (slipage cracks)


Kerusakan ini sering disebut dengan parabolic cracks, shear cracks, atau crescent

shaped cracks. Bentuk retak lengkung menyerupai bulan sabit atau berbentuk seperti
jejak mobil disertai dengan beberapa retak. Kadang-kadang terjadi bersama dengan
terbentuknya sungkur (shoving).
Kemungkinan penyebab:

Universitas Sumatera Utara

1. Ikatan antar lapisan aspal dengan lapisan dibawahnya tidak baik yang
disebabkan kurangnya aspal/ permukaan berdebu
2. Pengunaan agregat halus terlalu banyak.
3. Lapis permukaan kurang padat/ kurang tebal
4. Penghamparan pada temperature aspal rendah atau tertarik roda penggerak
oleh mesin penghampar aspal/ mesin lainnya.
Akibat lanjutan:
a. Kerusakan setempat atau menyeluruh pada perkerasan jalan dan akan
mengganggu kenyamanan berkendaraan.
b. Lepasnya butir pada tepi retak sehingga timbul lubang (potholes).

Gambar 2.8 Retak Selip (Slipage Cracks)

II.2.2.2 Berdasarkan penyebab retak


Menurut Mamlouk (2006) berdasarkan penyebab terjadinya kerusakan retak, retak
dibagi menjadi 3 bagian:
1. Retak struktural (structural cracking)
Retak struktural yang disebut juga sebagai retak lelah (fatigue cracking) adalah
serangkaian retak memanjang dan saling berhubungan pada permukaan jalan yang

Universitas Sumatera Utara

disebabkan oleh pembebanan yang berulang dari roda kendaraan. Jenis retak ini
umumnya dimulai sebagai retak longitudinal pendek di jalan dan berkembang menjadi
retak berpola kulit buaya (retak saling berhubungan). Jenis retak ini terjadi karena
aksi lentur yang berulang pada perkerasan saat beban diberikan. Hal

ini

menghasilkan tegangan tarik yang akhirnya membuat retak pada bagian bawah
lapisan aspal. Retak secara bertahap merambat ke bagian atas lapisan dan kemudian
berkembang dan saling berhubungan. Jenis kerusakan ini akhirnya akan menyebabkan
hilangnya integritas struktural dari sistem perkerasan.

Gambar 2.9 Retak Struktural (Fatigue Cracking)

2. Retak melintang akibat suhu ( transverse thermal cracking)


Retak ini terjadi karena perubahan suhu pada material perkerasan jalan. Karena
material ini digerus berulang akibat gaya gesekan dengan material lain, tegangan tarik
berkembang dalam material perkerasan. Jika tegangan tarik melebihi kekuatan
tegangan tarik material, maka retak thermal akan berkembang seperti Gambar 2.10.
Retak thermal biasanya terjadi dalam arah melintang dan tegak lurus dari arah arus
lalu lintas. Jenis retak ini biasanya memiliki jarak yang sama. Retak ini adalah jenis
retak yang tidak berhubungan dengan beban lalu lintas dan retak ini dimulai saat
musim dingin. Lebar retak thermal biasanya mengalami perubahan dari musim panas

Universitas Sumatera Utara

ke musim dingin. Dalam beberapa kasus, retak yang kecil dapat tertutup selama
musim panas. Dalam kasus lain, lebarnya retak meningkat dari tahun ke tahun.

Gambar 2.10 Retak Thermal (Transverse Thermal Cracking)

3. Retak refleksi (reflection cracking)


Retak refleksi merupakan retak di bawah lapisan yang bisa terjadi overlay. Retak
refleksi sering terjadi di aspal overlay pada perkerasan beton dan cement treated basis.
Mereka juga terjadi ketika retak pada lapisan aspal yang lama tidak benar diperbaiki
sebelum dioverlay. Retak refleksi memiliki beberapa bentuk tergantung pada pola
retak di lapisan bawahnya.

Gambar 2.11 Retak Refleksi (Reflection Cracking)

Universitas Sumatera Utara

II.2.2.3 Berdasarkan tingkat keparahan (severity)


Menurut Metropolitan Transportation Commission (1986) berdasarkan tingkat keparahan,
retak dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:

Ringan (low)
Kerusakan yang ditandai dengan serangkaian retak halus yang saling terhubung tanpa
ada retakan yang pecah.

Gambar 2.12 Retak dengan Tingkat Keparahan Rendah

Sedang (medium)
Kerusakan yang ditandai dengan serangkaian retak yang terhubung membentuk
kotak-kotak kecil dan pola retak sudah cukup kelihatan jelas karena sudah terdapat
retak yang mulai pecah.

Gambar 2.13 Retak dengan Tingkat Keparahan Sedang

Universitas Sumatera Utara

Berat (high)
Kerusakan yang ditandai dengan serangkaian retak menyerupai kulit buaya yang
keseluruhan retaknya sudah pecah sehingga jika dibiarkan dapat menyebabkan
terjadinya alur bahkan lubang pada jalan.

Gambar 2.14 Retak dengan Tingkat Keparahan Berat


II.2.2.4 Berdasarkan lokasi retak
Berdasarkan lokasi retak, NDLI (1995) membagi retak menjadi dua bagian, yaitu:

Retak pada tepi


Retak pada tepi ini sama halnya dengan edge break, retak ini terjadi pada pertemuan
tepi permukaan perkerasan dengan bahu jalan tanah (bahu tidak beraspal) atau juga
pada tepi bahu jalan beraspal dengan tanah sekitarnya.

Retak pada wheel path


Retak yang terjadi pada lintasan roda (wheel path), yang umumnya retak akibat
pembebanan berulang dari kendaraan yang melintasi jalan tersebut.

II.2.2.5 Berdasarkan cara berkembang retak


Berdasarkan cara berkembangnya, NDLI (1995) membagi dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
Retak dari atas ke bawah (top-down cracking)

Universitas Sumatera Utara

Top-down cracks (TDC) adalah retak memanjang dan/ atau melintang yang dimulai
pada permukaan perkerasan aspal dan berkembang ke bawah. Menurut Kuennen
(2009), retak ini

biasanya terjadi akibat segregasi campuran aspal dan sifat

viscoelastic aspal sebagai pengikat yang rentan terhadap perubahan suhu yang
ekstrim.
Retak dari bawah ke atas (bottom-up cracking)
Kuennen (2009) menyebutkan bahwa bottom-up cracking atau fatigue cracking
adalah hasil dari perkembangan tegangan pada lapis pondasi perkerasan aspal yang
menyebabkan lapis

pondasi retak dan merambat ke atas. Retak ini diakibatkan

repetisi beban lalu lintas dan bisa berupa kumpulan retak kecil yang saling
berhubungan.

II.3 Beban Lalu Lintas


Suatu lapisan lentur yang terdiri dari beberapa lapis yaitu lapisan permukaan berasal
dari aspal hotmix, base dan sub-base, dan sub-grade. Pada saat menerima beban roda lapisan
perkerasan melentur dan pada lapisan bekerja tegangan-tegangan tekan maupun tarik. Karena
beban roda tersebut terjadi berulang-ulang, maka tegangan-tegangan tersebut juga berulang.

Gambar 2.15 Penyebaran Beban Roda

Universitas Sumatera Utara

Lapisan permukaan merupakan suatu lapisan yang bound (terikat), sehingga lapisan
tersebut dapat menahan gaya tekan tarik. Umumnya karena lapisan permukaan ini dapat
mendukung tegangan tekan yang lebih besar daripada tegangan tarik, maka tegangan tarik di
bagian bawah lapisan biasanya lebih menentukan dalam umur tekanan terhadap beban
berulang.
Pada lapisan base, sub-base, dan sub-grade, lapisan umumnya terdiri dari bahan
granular (berbutir) yang lepas. Bahan seperti ini dapat menahan tekan tetapi dapat dianggap
praktis tidak dapat menahan tegangan tarik. Jadi lapisan ini hanya menahan beban tekan saja
dan deformasi yang terjadi dianggap hanya akibat beban tekan pada permukaan lapisan saja.
Pada AASHO Road Test di Negara bagian Illinois USA, telah dilakukan pengujian
bermacam-macam jenis dan struktur perkerasan jalan, lentur maupun kaku, untuk diketahui
kekuatannya. Pengujian tersebut dilakukan dengan menggunakan as 18.000 lbs (8,16 ton)
pada as beroda tunggal ganda pada Gambar 2.14. Dengan beban tersebut dapat diketahui
jumlah repetisi yang dapat ditanggung oleh bermacam-macam struktur perkerasan sampai
pada tingkat kerusakan yang ditinjau.

Gambar 2.16 Konfigurasi Beban As Standar


Beban as standar pada Gambar 2.16 dikenal dengan nama Standard Single Axle Load.
Untuk beban-beban as lain yang besarnya 18.000 lbs maka digunakan prinsip beban ekivalen
dan damage factor.

Universitas Sumatera Utara

Untuk menghitung tebal perkerasan, umumnya digunakan unit (satuan) beban as


standar 8,16 ton di atas melintas satu kali menghasilkan DF = 1. Biasanya satuan untuk
perancangan tidak disebut dalam Damage Factor tetapi dalam Equivalent Standard Axle
Load (ESAL).
Di Indonesia Muatan Sumbu Terberat (MST) yang resmi diberlakukan adalah 8,0 ton
tekanan sumbu gandar tunggal. Diambilnya besaran (angka) 8,0 ton sebagai batasan muatan
sumbu terberat untuk sumbu tunggal tersebut didasarkan atas daya pengrusak (damage
factor) terhadap perkerasan yang bernilai satu (1); sebagai akibat yang ditimbulkan muatan
sumbu tadi. Sebagaimana diketahui bahwa tekanan gandar tunggal sebesar 8,16 ton atau
18.000 lbs (dibulatkan menjadi 8,0 ton) mempunyai nilai daya pengrusak perkerasan
(damage factor) sebesar satu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa besarnya batasan
muatan ganda ditentukan berdasarkan ketentuan nilai damage factor harus = 1 untuk standar
muatan gandar yang dimaksud.
Ketentuan muatan sumbu terberat yang sudah ditetapkan masih terbatas pada sumbu
tunggal saja (MST 8000 kg). Meskipun demikian untuk jenis sumbu yang lain, yaitu sumbu
ganda dan sumbu tiga (triple), besarnya muatan maksimum dapat dihitung dengan pedoman
bahwa nilai damage factor dari beban sumbu yang bersangkutan harus sama dengan satu.
Untuk menghitung besarnya damage factor tiap-tiap jenis muatan sumbu kendaraan
dapat dipergunakan rumus sebagai berikut:

Damage factor sumbu tunggal

Damage factor sumbu ganda

Damage factor sumbu triple

: DF-tgl

P
=

8,16

: DF-tdm

P
= 0,086

8,16

: DF-trpl

P
= 0,053

8,16

(2.1)
4

(2.2)

(2.3)

Universitas Sumatera Utara

Dengan menggunakan rumus-rumus di atas serta batasan nilai damage factor = 1,


maka akan diperoleh batasan beban maksimum untuk setiap jenis sumbu sebagai berikut:

MST sumbu tunggal = 8,15 ton, dibulatkan menjadi 8 ton.

MST sumbu tandem = 15,09 ton, dibulatkan menjadi 15 ton.

MST sumbu triple

= 20,34 ton, dibulatkan menjadi 20 ton.

Ketentuan MST tersebut di atas berlaku untuk dual wheel atau ban dobel. Untuk
single wheel atau ban tunggal yang biasanya terdapat pada sumbu tunggal saja, besarnya
MST sumbu tunggal- ban tunggal adalah sekitar 5,5 ton (Muis, 1993). Beberapa contoh
perhitungan beban lalu lintas dapat dilihat pada lampiran.

II.4 Structural Number


Structural Number (SN) adalah indeks yang diturunkan dari analisis lalu lintas,
kondisi tanah dasar, dan lingkungan yang dapat dikonversi menjadi tebal lapisan perkerasan
dengan menggunakan koefisien relatif yang sesuai untuk tiap-tiap jenis material masingmasing lapis struktur perkerasan (Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2002).
Nilai structural number (SN) dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai
berikut:
PSI
log10

IP0 IPt

log10 (W18 ) = Z R S 0 9.36 log10 (SN + 1) 0.20 +


+ 2.32 log10 (M R ) 8.07
1094
0.40 +
(SN + 1)5.19

(2.4)
Dimana:
W 18

= Perkiraan jumlah beban lalu lintas dari beban sumbu standar ekivalen 8,16 kN

ZR

= Deviasi normal standar

Universitas Sumatera Utara

S0

= Gabungan standard error untuk perkiraan lalu lintas dan kinerja

PSI = Perbedaan antara initial design serviceability index (IP 0 ) dan design terminal

serviceability index (IPt)


MR

= Modulus resilien

IP t

= Indeks permukaan jalan hancur (minimum 1,5)

Structural number (SN) juga dapat ditentukan dengan nomogram di bagian lampiran.
Structural number (SN) berbeda dengan Indeks Tebal Perkerasan (ITP) yang
umumnya dipakai di Indonesia, berikut adalah beberapa perbedaan antara structural number
dan Indeks Tebal Perkerasan:
Persamaan nilai structural number (SN) adalah persamaan 2.4, yaitu:
PSI
log10

IP0 IPt

log10 (W18 ) = Z R S 0 9.36 log10 (SN + 1) 0.20 +


+ 2.32 log10 (M R ) 8.07
1094
0.40 +
(SN + 1)5.19

Sedangkan untuk persamaan nilai Indeks Tebal Perkerasan (ITP) adalah:


PSI
log 10

IP0 IPt
log 10 (W18 ) = 9.36 log 10 (ITP + 1) 0.20 +
+ log FR + 0.372(DDT 3.0 )
1094
0.40 +
(ITP + 1)5.19
(2.5)

Dimana:
W 18

= Perkiraan jumlah beban lalu lintas dari beban sumbu standar ekivalen 8,16 kN

ITP

= Indeks Tebal Perkerasan

FR

= Faktor Regional yang besarnya dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dimana jalan
tersebut berada

PSI = Perbedaan antara initial design serviceability index (IP 0 ) dan design terminal

serviceability index (IPt)

Universitas Sumatera Utara

DDT = Daya Dukung Tanah Dasar yang besarnya merupakan nilai korelasi dengan nilai
CBR.

Tabel 2.1 Perbandingan Structural Number dan Indeks Tebal Perkerasan


Indeks Tebal Perkerasan (ITP)
Parameter

daya

dukung

Structural Number (SN)


tanah

dasar Parameter

daya

dukung

tanah

dasar

dinyatakan dalam DDT, yang dikonversikan dinyatakan dalam modulus resilien (Mr) yang
terhadap nilai CBR.

dapat

diperoleh

dengan

pemeriksaan

AASHTO T-274 atau korelasi dengan CBR


Faktor regional, adalah parameter yang Parameter ini tidak dipergunakan lagi, diganti
dipergunakan untuk perbedaan kondisi lokasi

dengan parameter yang lain.


Ada beberapa parameter baru:

ITP= a 1 D 1 + a 2 D 2 + a 3 D 3

Reliabilitas

Simpangan baku

Koefisien Drainase

SN= a 1 D 1 + a 2 D 2 m 2 + a 3 D 3 m 3

Tebal perkerasan dalam satuan centimeter Tebal perkerasan dalam satuan inci (inch)
(cm)
Didesain untuk umur rencana 10 tahun

Didesain untuk umur rencana 20 tahun

Pada pemodelan prediksi HDM-4 (2001) dan Wiyono (2010), nilai structural number
(SN) yang dipakai untuk memprediksi kerusakan jalan merupakan modified structural
number (SNC) yaitu structural number yang dimodifikasi dengan adanya penambahan
structural number dari sub-grade, yang merupakan fungsi dari CBR sub-grade. Berikut
adalah persamaan structural number modified (SNC):

Universitas Sumatera Utara

SNC = SN + SNSG

(2.6)

SN = a 1 D 1 + a 2 D 2 m 2 + a 3 D 3 m 3

(2.7)

SNSG = 3.51 (log 10 CBR) 0.85 (log 10 CBR)2 1.43

(2.8)

Dimana:
SNC

= Modified structural number

SN

= Structural number dari AASHTO

a 1 ,a 2 ,a 3

= Koefisien kekuatan relatif bahan perkerasan

D 1, D 2, D 3

= Tebal masing-masing perkerasan

m 2, m 3

= Koefisien drainase

SNSG

= Structural number of Sub-grade

Adapun nilai koefisien kekuatan relatif bahan perkerasan dan koefisien drainase dapat
dilihat pada lampiran.
Walaupun nilai structural number (SN) pada perkerasan sama, bukan berarti
perlakuan atau kinerja perkerasan juga sama. Kinerja perkerasan, dalam hal ini retak (crack)
dan alur (rut) yang terjadi juga tergantung pada jenis-jenis lapisan perkerasan yang ada. Di
bawah ini adalah beberapa kinerja perkerasan menurut jenis-jenis lapisan perkerasan:

Performance

a.

Riding Quality (RQ)

Thin seal
Base

Rut
Sub-base
Crack
Time

Universitas Sumatera Utara

b.
RQ
Performance

Thin seal
Concrete base
Rut

Cement Treatment Sub-base (CTSB)


Crack

Time
c.

Performance

RQ
Thin seal
CTB
Crack
CTSB
Rut
Time
d.

Performance

AC > 100 mm
RQ
Rut

Sub-base

Crack
Time
e.

Performance

RQ

Concrete

Sub-base
Crack
Rut
Time

Gambar 2.17 Grafik kinerja perkerasan menurut jenis-jenis lapisan perkerasan.

Universitas Sumatera Utara

Sesuai

pada

pembatasan

masalah,

untuk

prediksi

mulainya

retak

dan

perkembangannya dipakai jenis perkerasan tipe a pada gambar di atas.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai