Anda di halaman 1dari 10

PENILAIAN KINERJA

A. Pendahuluan
triple bottom line. Apa itu? Konsep pengukuran kinerja perusahaan secara
holistik dengan memasukan tak hanya ukuran kinerja ekonomis berupa perolehan profit,
tapi juga ukuran kepedulian sosial dan pelestarian lingkungan. Kenapa triple? Karena
konsep ini memasukkan tiga ukuran kinerja sekaligus: economic, environmental,
social (EES) atau istilah keren-nya 3P: People-Planet-Profit.
Ide di balik TBL ini tak lain adalah adanya pergeseran paradigma pengelolaan bisnis
dari sharholders-focused ke stakeholders-focused. Dari fokus kepada perolehan laba
secara membabi-buta menjadi perhatian pada kepentingan pihak-pihak yang terkait
(stakeholder interest) baik langsung maupun tidak langsung dengan perusahaan.
Konsekuensinya, peran dunia bisnis semakin siknifikan sebagai alat pemberdaya
masyarakat dan pelestari lingkungan. The business entity should be used as a vehicle for
coordinating stakeholder interests, instead of maximising shareholder profit .
Ide triple bottom line sekaligus mencoba menempatkan upaya pemberdayaan
masyarakat dan pelestarian lingkungan pada titik sentral dari keseluruhan strategi
perusahaanbukan periferal, bukan tempelan, bukan kosmetik. Conventional wisdom yang
selama ini ada mengatakan: tumpuk profit sebanyak-banyaknya, lalu dari profit yang
menggunung itu sisihkan sedikit saja untuk kegiatan sosial dan pelestarian lingkungan.
Dengan triple bottom line, maka pendekatannya menjadi berbeda. Dari awal perusahaan
sudah menetapkan bahwa tiga tujuan holistikeconomic, environmental, socialtersebut
hendak dicapai secara seimbang, serasi, tanpa sedikitpun pilih kasih.
Perkembangan zaman menuntut perusahaan untuk tidak hanya memperhatikan laba
semata, namun juga kondisi sekitar dimana di dalamnya termasuk aspek masyarakat dan
lingkungan hidup. Ketiga aspek ini disebut juga sebagai Triple Bottom Line (TBL). Sebenarnya,
pendekatan ini telah banyak digunakan sejak awal tahun 2007 di Indonesia seiring
perkembangan pendekatan full cost accounting yang banyak digunakan oleh perusahaan
sektor publik. Pada perusahaan sektor swasta, salah satu bentuk TBL diterapkan dalam
penerapan tanggung jawab sosial (Corporate Social Responsibility/CSR).

Konsep TBL mengimplikasikan bahwa perusahaan harus lebih mengutamakan


kepentingan stakeholder (semua pihak yang terlibat dan terkena dampak dari kegiatan yang
dilakukan perusahaan) daripada kepentingan shareholder (pemegang saham). Kepentingan
stakeholder ini dapat dirangkum menjadi tiga bagian yaitu kepentingan dari sisi
keberlangsungan laba (Profit), sisi keberlangsungan masyarakat (People), dan sisi
keberlangsungan lingkungan hidup (Planet).
Profit di sini lebih dari sekadar keuntungan. Profit di sini berarti menciptakan fair trade
dan ethical trade dalam berbisnis. People menekankan pentingnya praktik bisnis suatu
perusahaan yang mendukung kepentingan tenaga kerja. Secara lebih spesifik, konsep ini
melindungi kepentingan tenaga kerja dengan menentang adanya eksploitasi yang
mempekerjakan anak di bawah umur, menerapkan pembayaran upah yang wajar,
lingkungan kerja yang aman dan jam kerja yang dapat ditoleransi.
Muhammad Akmal
NPM A31115757

PENILAIAN KINERJA
Bukan hanya itu, konsep ini juga meminta perusahaan memperhatikan kesehatan
dan pendidikan bagi tenaga kerja. Planet berarti mengelola dengan baik penggunaan energi,
terutama atas sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui. Mengurangi hasil limbah
produksi dan mengolah kembali limbah agar menjadi aman bagi lingkungan, mengurangi
emisi CO2 ataupun pemakaian energi, merupakan praktik yang banyak dilakukan oleh
perusahaan yang telah menerapkan konsep ini.
Defenisi

TBL pertama kali diperkenalkan oleh Elkington pada tahun 1994. Dalam bukunya
yang berjudul Cannibals with Forks, Elkington menjelaskan TBL sebagai economic prosperity,
environmental quality, dan social justice (Elkington,1998 p.ix). Berikut adalah pengertian TBL
berdasarkan pendapat beberapa ahli yang kami kumpulkan:
1. Menurut Andrew Savitz yang dikutip dalam Slaper dan Hall (2011): TBL captures the
essence of sustainability by measuring the impact of an organizations activities on the
world.... including both its profitability and shareholder values and its social, human and
environmental capital.
2. Definisi dari sustainability yang dikutip dalam Smith (2011):
a. Menurut Ott: A system in which the economy is a subsystem of human society,
which is itself a subsystem of the biosphere and a gain in one sector is a loss from
another.
b. Menurut The Earth Chapter Initiative: A sustainable global society founded on
respect for nature, universal human rights, economic justice, and a culture of peace.
c. Menurut World Summit UN General Assembly: The reconciliation of environmental,
social and economic demands as the three pillars of sustainability..
3. Menurut SustainAbility yang dikutip dalam Mitchell, et al. (2008) : The whole set of
values, issues and processes that companies must addres in order to minimise any harm
resulting from their activities and to create economic, social and environmental value."
Definisi yang lebih sempit: A framework for measuring and reporting corporate
performance against economic, social and environmental parameters."
4. Menurut Das yang dikutip dalam Akisik dan Gal (2011): ...sustainability is a process
which ensures the development of all aspects of human life. It means resolving the
conflict between various competing goals, and involves the simultaneous pursuit of
economic prosperity, environmental quality and social equity famously known as triple
bottom line...
5. Menurut Smith dan Sharicz (2011): The result of the activities of an organisation
voluntary or governed by law, that demonstrate the ability of the organisation to maintain
viable its business operations (including financial viability as appropriate) whilst not
negatively impacting any social or ecological systems.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, TBL dapat disimpulkan sebagai tiga pilar dalam
pengukuran kinerja, yaitu dari sisi ekonomi atau keuangan, sosial, dan lingkungan. Sebagai
pengukur kinerja, konsep TBL seringkali dibagi ke dalam dua bagian besar, yaitu keuangan
dan sosial.
Muhammad Akmal
NPM A31115757

PENILAIAN KINERJA
Pada umumnya, perusahaan mengukur kinerja keuangan dengan menggunakan tiga
kategori, yaitu Return on Assets atau Return on Equity, profitabilitas dalam satuan absolut,
dan berbagai ukuran akuntansi dengan index antara 0-10. Pengukuran kinerja dari sisi
sosial dan lingkungan seringkali disebut juga sebagai Corporate Social Responsibility (CSR).
Pengertian CSR menurut Bowen yang dikutip dari Christofi et al. (2012, h. 160): ... the
obligation of businessmen to pursue those policies, to make those decisions, or to follow those lines of

desirable in terms of the objectives and values of our society.


TBL kini terus diperhatikan oleh organisasi untuk melaporkan tanggapan mereka
terkait isu keberlangsungan dari sisi lingkungan hidup, sosial, dan kinerja ekonomi. Tiga pilar
ini saling mendukung untuk tercapainya keberlangsungan ( sustainability). Ketiga pilar ini
bersifat tidak mutually exclusive dan dapat menjadi mutually reinforcing, sehingga seringkali
disebut sebagai triple bottom line sustainability.
3P. Selain mengejar keuntungan (profit), perusahaan juga harus memperhatikan
dan terlibat pada pemenuhan kesejahteraan masyarakat (people) dan turut berkontribusi
aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet) (Yusuf wibisono, 2007).
action which are

1. Profit (Keuntungan)
Profit atau keuntungan menjadi tujuan utama dan terpenting dalam setiap kegiatan
usaha. Tidak heran bila fokus utama dari seluruh kegiatan dalam perusahaan adalah
mengejar profit dan mendongkrak harga saham setinggi-tingginya. karena inilah bentuk
tanggung jawab ekonomi yang paling esensial terhadap pemegang saham. Aktivitas yang
dapat ditempuh untuk mendongkrak profit antara lain dengan meningkatkan produktivitas
dan melakukan efiisensi biaya.Peningkatan produktivitas bisa diperoleh dengan
memperbaiki manajemen kerja mulai penyederhanaan proses, mengurangi aktivitas yang
tidak efisien, menghemat waktu proses dan pelayanan. Sedangkan efisiensi biaya dapat
tercapai jika perusahaan menggunakan material sehemat mungkin dan memangkas biaya
serendah mungkin (Yusuf wibisono, 2007).

2. People (Masyarakat Pemangku Kepentingan)


People atau masyarakat merupakan stakeholders yang sangat penting bagi
perusahaan, karena dukungan masyarakat sangat diperlukan bagi keberadaan,
kelangsungan hidup, dan perkembangan perusahaan. Maka dari itu perusahaan perlu
berkomitmen untuk berupaya memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat.
Dan perlu juga disadari bahwa operasi perusahaan berpotensi memberi dampak kepada
masyarakat. Karena itu perusahaan perlu untuk melakukan berbagai kegiatan yang dapat
menyentuh kebutuhan masyarakat (Yusuf wibisono, 2007).

3. Planet (Lingkungan)
Planet atau Lingkungan adalah sesuatu yang terkait dengan seluruh bidang dalam
kehidupan manusia. Karena semua kegiatan yang dilakukan oleh manusia sebagai makhluk
hidup selalu berkaitan dengan lingkungan misalnya air yang diminum, udara yang dihirup
Muhammad Akmal
NPM A31115757

PENILAIAN KINERJA
dan seluruh peralatan yang digunakan, semuanya berasal dari lingkungan. Namun
sebagaian besar dari manusia masih kurang peduli terhadap lingkungan sekitar. Hal ini
disebabkan karena tidak ada keuntungan langsung yang bisa diambil didalamnya.
Karena keuntungan merupakan inti dari dunia bisnis dan itu merupakan hal yang
wajar. Maka, manusia sebagai pelaku industri hanya mementingkan bagaimana
menghasilkan uang sebanyak-banyaknya tanpa melakukan upaya apapun untuk
melestarikan lingkungan. Padahal dengan melestarikan lingkungan, manusia justru akan
memperoleh keuntungan yang lebih, terutama dari sisi kesehatan, kenyamanan, di samping
ketersediaan sumber daya yang lebih terjamin kelangsungannya (Yusuf wibisono, 2007).

B. TRIPLE BOTTOM LINE: Lebih dari Sekadar Profit


Baru-baru ini, Burger King, Unilever, Nestle dan Kraft Foods memutuskan
menghentikan pembelian minyak kelapa sawit yang diproduksi oleh Grup Sinar Mas. Alasan
mereka adalah dugaan adanya perusakan hutan tropis yang membahayakan kehidupan
satwa, mengurangi kemampuan penyerapan karbon dioksida yang merupakan salah satu
penyebab utama perubahan iklim global yang lebih dikenal dengan global warming.
Di luar negeri, Timberland, salah satu produsen pakaian dan sepatu outdoor juga
didera hal yang sama (Harvard Business Review, September 2010). Pagi hari 1 Juni 2009,
Jeff Swartz, menerima e-mail dari 65 ribu aktivis dan pelanggan yang marah. Mereka
menuduh Timberland membeli materialnya dari hutan yang ditebang secara ilegal di
Amazon. Parahnya, awalnya Timberland tidak mengetahui apakah material yang mereka
beli benar berasal dari Amazon atau tidak, yang mengimplikasikan mungkin saja tuduhan
tersebut benar.Bukan itu saja, di bulan Mei 2010, seluruh dunia gempar dengan kasus
bunuh diri di pabrik FoxConn, Cina. Delapan pegawainya mati karena bunuh diri dalam
waktu lima bulan.
Fenomena nasional dan internasional ini mengimplikasikan dengan jelas bahwa
perusahaan masa kini tidak bisa sekadar memperhatikan profit lagi. John Elkington tahun
1988 memperkenalkan konsep Triple Bottom Line (TBL atau 3BL). Atau juga 3P People,
Planet and Profit. Singkat kata, ketiganya merupakan pilar yang mengukur nilai kesuksesan
suatu perusahaan dengan tiga kriteria: ekonomi, lingkungan, dan sosial.
Sebenarnya, pendekatan ini telah banyak digunakan sejak awal tahun 2007 seiring
perkembangan pendekatan akuntansi biaya penuh (full cost accounting) yang banyak
digunakan oleh perusahaan sektor publik. Pada perusahaan sektor swasta, penerapan
tanggung jawab sosial (Corporate Social Responsibility/CSR) pun merupakan salah satu
bentuk implementasi TBL.
Konsep TBL mengimplikasikan bahwa perusahaan harus lebih mengutamakan
kepentingan stakeholder (semua pihak yang terlibat dan terkena dampak dari kegiatan yang
dilakukan perusahaan) daripada kepentingan shareholder (pemegang saham).
Tidak dapat diingkari, masih banyak perusahaan yang melihat program ini sebagai
suatu program yang menghabiskan banyak biaya dan merugikan. Bahkan, beberapa
perusahaan menerapkan program ini karena terpaksa untuk mengantisipasi penolakan
Muhammad Akmal
NPM A31115757

PENILAIAN KINERJA
dari masyarakat dan lingkungan sekitar perusahaan. Selain sisi internal perusahaan,
hambatan lainnya dari sisi eksternal karena belum adanya dukungan regulator dan profesi
akuntansi tentang penyajian pelaporannonfinansial.
Ahli manajemen dari Harvard Business School, Michael Porter, dalam tulisannya
yang berjudul Strategy and Society: The Link Between Competitive Advantage and
Corporate Social Responsibility (Harvard Business Review, Desember 2006), telah
melakukan riset dan mengemukakan bahwa konsep sosial harus menjadi bagian dari
strategi perusahaan. Strategi perusahaan terkait erat dengan program tanggung jawab
sosial. Perusahaan tidak akan menghilangkan program tanggung jawab sosial itu meski
dilanda krisis, kecuali ingin mengubah strateginya secara mendasar.

C. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGUNGKAPAN TRIPLE BOTTOM LINE


Berdasarkan telaah pustaka dan beberapa kajian mengenai pengungkapan triple
bottom line yaitu pengungkapan ekonomi sosial dan lingkungan. Faktor yang mempengaruhi
pengungkapan triple bottom line dalam penelitian dapat dianalisa dari 3 sisi yaitu:
karaktristik perusahaan, struktur kepemilikan, dan good corporate governance.
Dalam analisa mengenai pengaruh kerakteristik perusahaan terhadap
pengungkapan TBL diukur dengan beberapa variabel antara lain, leverage, profitabilitas,
likuiditas, dan jenis industri. Dan pada masing-masing variabel jenis pengukurannya juga
berbeda-beda. Sehingga masing-masing variabel diharapakan bisa menjelaskan keterkaitan
antara karakteristik perusahaan dan pengungkapan TBL.
Pengungkapan TBL selanjutnya juga dipengaruhi oleh struktur kepemilikan
perusahaan. Dan bagaimanapun juga struktur kepemilikan perusahaan berhubungan
langsung dengan aktivitas perusahaan, salah satunya adalah dalam pengungkapan TBL
dilaporan tahunan perusahaan. Karakteristik kepemilikan perusahaan dapat diukur dengan
beberapa variabel yaitu, kepemilikan asing, kepemilikan manajemen, dan kepemilikan
institusional.

Leverage dan Pengungkapan Triple Bottom Line.

Bahwa perusahaan yang mempunyai leverage yang tinggi beresiko memiliki biaya
monitoring yang tinggi pula. Sehingga manajemen secara konsisten mengungkapkan untuk
tujuan monitoring agar memastikan kepada kreditor kemampuan untuk membayar. Hal ini
dilakukan untuk mengurangi biaya agensi. Jika perusahaan mempunyai tingkat utang yang
tinggi, maka kemampuan perusahaan untuk melakukan kegiatan dalam rangka
penungkapan triple bottom line menjadi sulit. Oleh karena itu, perusahaan yang memiliki
tingkat leverage yang tinggi cenderung untuk menurunkan pelaporan pengungkapan triple
bottom line. Faktor tingkat leverage berpengaruh negatif terhadap pengungkapan
tanggungjawab sosial.

4. Profitabilitas dan Pengungkapan Triple Bottom Line.


Muhammad Akmal
NPM A31115757

PENILAIAN KINERJA
Tujuan utama perusahaan adalah untuk meningkatkan nilai perusahaan, sehingga
perusahaan dapat bertahan selama-lamanya. Sehingga besar kecilnya suatu perusahaan itu
dinilai dari profit yang dihasilkan. Sebagai bentuk pertanggung jawaban dari agen yang
memegang kendali pada perusahaan maka perusahaan pasti melakukan pengungkapan
ekonomi, sosial dan lingkungan serta pelaporannya. Hal ini sesuai dengan penelitian
Belkaoui dan Karpik (1989) yang menyatakan bahwa profitabilitas mendukung keyakinan
kepada perusahaan agar melakukan pengungkapan tanggungjawab sosial. Hubungan
profitabilitas dalam kinerja keuangan dengan tanggung jawab sosial saling berkaitan.
Investor menangkap setiap informasi yang disampaikan dapat membandingkan
kegiatan dan pengungkapan triple bottom line yang sudah dilakukan oleh perusahaan
dengan profit yang dimilikinya. Konsep legitimasi juga menghubungkan antara laba yang
dihasilkan perusahaan dengan pengungkapan triple bottom line. Jika perusahaan memiliki
laba yang tinggi, manajemen juga harus memberikan akstifitas sosial dan lingkungannya
sebagai perwujudan kontrak sosial yang terjadi dalam interaksi dimasyarakat.

5. Likuiditas`dan Pengungkapan Triple Bottom Line.


Likuiditas perusahaan adalah faktor utama penting bagi pengungkapan yang
dilakukan perusahaan, karena investor, kreditor dan pemangku kepentingan lainnya sangat
memperhatikan status going concern perusahaan. Sesuai konsep agensi, manajer
perusahaan sebagai agen berusaha untuk memenuhi kepentingan para investor (prinsipal)
antara lain dengan meningkatkan nilai perusahaan dan menjaga kelangsungan operasi
perusahaan dengan menjaga likuiditasnya agar perusahaan dapat bertahan lama.
Perusahaan dengan tingkat likuiditas yang tinggi selalu menciptakan nilai berupa image
positif terhadap prinsipalnya. Oleh karena itu, perusahaan berusaha untuk memperluas
pegungkapkan seluruh informasi tentang perusahaan, terutama tentang triple bottom line.
Perusahaan sangat likuid mungkin memiliki insentif yang kuat untuk memberikan rincian
lebih lanjut dalam pengungkapan perusahaan mereka tentang kemampuan mereka untuk
memenuhi kewajiban jangka pendek keuangan. Sehingga semakin tinggi tingkat
likuiditasnya maka semakin luas pula pengungkapan triple bottom line perusahaan.

6. Jenis Industri dan Pengungkapan Triple Bottom Line.


Perusahaan pada jenis industri yang sejenis mempengaruhi penuh kebijakan
pengungkapan informasi dan informasi yang disampaikan cenderung serupa, baik isi dan
pengungkapannya. Jenis industri dikategorikan berdasarkan low profile dan high profile.
Perusahaan dengan kategori high profile berusaha memberikan pengungkapan informasi
yang cenderung lebih luas. Hal ini dilakukan perusahaan untuk melegitimasi kegiatan
usahanya agar mengurangi tekanan dari masyarakat. Senada dengan pernyataan tersebut
Anggraini (2006) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa jenis industri berpengaruh
terhadap pengungkapan triple bottom line.

7.

Kepemilikan Asing dan Pengungkapan Triple Bottom Line.

Muhammad Akmal
NPM A31115757

PENILAIAN KINERJA
Hubungan pengungkapan triple bottom line di Indonesia dengan kepemilikan asing
adalah untuk menjamin bagaimana kepercayaan yang diberikan oleh prinsipal yaitu investor
asing dipertanggungjawabkan oleh maanajemen yang bersangkutan.
Dalam penelitian indah (2009) menyebutkan bahwa kepemilikan asing tak
berpengaruh terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial atau triple bottom line, padahal
dalam fakta sekarang banyak investor yang mensayaratkan adanya laporan sosial pada
perusahaannya. Selanjutnya investor asing sebagai pemegang saham dihadapkan pada
besarnya tingkat informasi asimentri, sehingga untuk menghindari potensi kerugian yang
ditimbulkan dengan adanya asimetri informasi, berlandaskan teori agensi maka perusahaan
juga harus memperhatikan faktor ini.

8. Kepemilikan manajemen dan Pengungkapan Triple Bottom Line.


Semakin tinggi tingkat kepemilikan manajemen, semakin tinggi pula untuk
melakukan program tanggung jawab sosial perusahaan. Rawi (2010) juga mengatakan
bahwa kepemilikan manajemen berpengaruh positif terhadap pengeluaran program
tanggungjawab sosial dengan tujuan meningkatkan nilai perusahaan. Namun pada suatu
titik yang mana mengurangi nilai perusahaan dan batasan yang telah dicapai ditemukan
hubungan negatif. Hal ini berhubungan dengan kepemilikan saham perusahaan. Akan
berbeda jika prinsipalnya adalah orang-orang yang duduk dalam manajemen perusahaan itu
sendiri. Bila dihubungkan dengan konsep agensi, jadi prinsipal dan agen menjadi satu pihak
yang tidak terpisahkan. Sehingga manajemen cenderung untuk berbuat semaunya sendiri.
Oleh karena itu, luas pengungkapan triple bottom line pasti rendah. Informasi
pengungkapan yang disampaikan juga berbeda bila penerima informasi bukan orang yang
menyampaikan informasi tersebut.

9.

Kepemilikan Institusional dan Pengungkapan Triple Bottom Line.

Persentase saham institusional menyebabkan tingkat monitor lebih efektif. Oleh


karena itu, semakin tinggi kepemilikan institusi, maka untuk program tanggungjawab sosial
dan lingkungan semakin luas. Monitor yang ketat yang dilakukan oleh prinsipal dalam hal ini
dilakukan untuk meminimalkan biaya agensi yang terjadi. Sehingga pengungkapan triple
bottom line menjadi lebih luas. Investor konstitusional memiliki kekuatan dan pengalaman
serta bertanggungjawab dalam menerapkan konsep good corporate governance untuk
mengkomodasi hak dan kepentingan seluruh pemegang saham sehingga mereka menuntut
perusahaan melakukan komunikasi secara transparan oleh manajemen. Oleh karena itu,
kepemilikan institusional dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas pengungkapan triple
bottom line. Hal ini berarti kepemilikan institusional dapat mendorong perusahaan untuk
meningkatkan pengungkapan triple bottom line.

10. Ukuran dewan komisaris dan Pengungkapan Triple Bottom Line.


Sandra (2011) menyatakan bahwa dari konsep teori legitimasi, adanya direktur
independen dalam komposisi dewan perusahaan dapat memperkuat pandangan publik
Muhammad Akmal
NPM A31115757

PENILAIAN KINERJA
terhadap legitimasi perusahaan. Masyarakat menganggap dan menilai tinggi suatu
perusahaan jika memiliki independen direktur yang seimbang atau banyak dalam dewan
perusahaan, karena kondisi seperti ini menandakan lebih efektifnya pengawasan dalam
aktivitas managemen perusahaan.
Sementara itu dalam teori agensi menyatakan bahwa dewan komisaris bertugas
melakukan mekanisme untuk mengatasi masalah keagenan yang muncul dari tindakantindakan yang dilakukan oleh manajemen selaku agen. Karena mungkin fungsi pengawasan
dan pemonitoran dewan komisaris sangat efektif dilakukan.

11. Ukuran komite audit dan Pengungkapan Triple Bottom Line.


Dalam pelaksanaan good corporate governance banyak aspek yang dapat dilakukan
oleh manajemen sebagai pelaku utama dalam melakukan mekanisme perusahaan. Salah
satu aspek dari pelaksanaan good corporate governance adalah pembentukan komite audit.
Dasar pembentukan komite audit juga berdasarkan atas keputusan Ketua Bapepam Nomor
Kep-29/PM/2004 dalam peraturan Nomor IX.I.5 disebutkan bahwa komite audit yang dimiliki
oleh perusahaan minimal terdiri dari tiga orang di mana sekurang-kurangnya satu orang
berasal dari anggota komisaris independen dan dua orang lainnya berasal dari luar emiten
atau perusahaan publik.
Setelah adanya komite audit dalam struktur organisasi perusahaan, pengawasan
manajemen menjadi lebih baik dan terperinci. Komite audit sebagai wakil dari dewan
komisaris yang langsung mengawasi operasi perusahaan, sehingga shareholder dalam hal
ini diwakili oleh dewan komisaris menjadi lebih mudah dalam mengontrol manajemen.
Sehingga biaya agensi yang ditimbulkan oleh adanya moral hazard lebih dapat
diminimalkan. Hal ini juga sejalan dengan penelitian Sembiring (2005) yang menyatakan
bahwa ukuran komite audit berpengaruh terhadap pengungkapan triple bottom line.

Dunia usaha merupakan bagian dari komunitas masyarakat dan memiliki tanggung
jawab sosial yang sama dengan masyarakat. Istilah triple bottom line pertama kali
diperkenalkan oleh John Elkington (1998) dalam bukunya yang berjudul Cannibals With
Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century Business. Elkington menganjurkan agar dunia
usaha perlu mengukur sukses (atau kinerja) tak hanya dengan kinerja keuangan (berapa
besar deviden atau bottom line yang dihasilkan), namun juga dengan pengaruh terhadap
perekonomian secara luas, lingkungan dan masyarakat di mana mereka beroperasi. Disebut
triple sebab konsep ini memasukkan tiga ukuran kinerja sekaligus: Economic,
Environmental, Social (EES) atau istilah umumnya 3P: Profit-Planet-People.
Pada tahapan selanjutnya, wujud nyata Triple Bottom Line ini diistilahkan menjadi
Corporate Social Responsibility (CSR: tanggung jawab sosial perusahaan). CSR
berhubungan erat dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable development), di mana
ada argumentasi bahwa suatu perusahaan dalam melaksanakan aktivitasnya harus
mendasarkan keputusannya tidak semata berdasarkan faktor keuangan, misalnya
keuntungan atau deviden melainkan juga harus berdasarkan konsekuensi sosial dan
lingkungan untuk saat ini maupun untuk jangka panjang. Secara tegas dapat dikatakan
Muhammad Akmal
NPM A31115757

PENILAIAN KINERJA
bahwa pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan (lahan, kota, dunia
usaha, masyarakat, dan sebagainya) yang berprinsip memenuhi kebutuhan sekarang tanpa
mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan.
CSR menjadi hal penting penting dalam menjamin kelangsungan hidup dunia usaha
saat ini. Adapun manfaat dan motivasi yang didapat perusahaan dengan melakukan
tanggung jawab sosial perusahaan menurut Ambadar (2008) meliputi: (1) perusahaan
terhindar dari reputasi negatif perusak lingkungan yang hanya mengejar keuntungan jangka
pendek tanpa memperdulikan akibat dari perilaku buruk perusahaan, (2) kerangka kerja etis
yang kokoh dapat membantu para manajer dan karyawan menghadapi masalah seperti
permintaan lapangan kerja di lingkungan dimana perusahaan bekerja, (3) perusahaan
mendapat rasa hormat dari kelompok inti masyarakat yang membutuhkan keberadaan
perusahaan khususnya dalam hal penyediaan lapangan pekerjaan, (4) perilaku etis
perusahaan aman dari gangguan lingkungan sekitar sehingga dapat beroperasi secara
lancar.
Berdasarkan pendapat di atas, pelaksanaan CSR menjadi suatu keharusan bagi
perusahaan dalam mendukung aktivitas dunia usahanya, bukan hanya sekedar
pelaksanaan tanggung jawab tetapi menjadi suatu kewajiban bagi dunia usaha. Dalam
megimplemetasikan CSR, oreantasi perusahaan bukan hanya pada pencapaian laba
maksimal tetapi juga menjadi suatu organisasi pembelajaran, dimana setiap individu yang
terlibat di dalamnya memiliki kesadaran sosial dan rasa memiliki tidak hanya pada
lingkungan organisasi melainkan juga pada lingkungan sosial dimana perusahaan berada.
Meskipun kegiatan tampak sederhana dan cakupan masalah sempit tetapi memiliki dampak
positif yang sangat besar bagi masyarakat sekitar perusahaan. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa untuk meraih sustainability, perusahaan perlu peduli terhadap lingkungan
alam sekitar (natural environment), hak-hak pegawai, perlindungan konsumen, corporate
governance, dan pengaruh perilaku bisnis terhadap isu-isu sosial pada umumnya seperti
kekurangan pangan, kemiskinan, pendidikan, perawatan kesehatan, HAM, yang semuanya
dihubungkan dengan profit.

Muhammad Akmal
NPM A31115757

PENILAIAN KINERJA
DAFTAR PUSTAKA
Felisia, Amelia Limijaya Fakultas Ekonomi Universitas Katolik Parahyangan

Ambadar, J., 2008. Corporate Social Responsibility dalam Praktik di Indonesia.

Jakarta: Elex Media Computindo.


Elkington, John. 1998. Cannibals With Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century

Business, Gabriola Island, BC: New Society Publishers


http://swa.co.id/2010/10/triple-bottom-line-lebih-dari-sekadar-profit/

PENGARUH KARAKTERISTIK PERUSAHAAN, STRUKTUR KEPEMILIKAN,


DAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP PENGUNGKAPAN

TRIPLE BOTTOM LINE DI INDONESIA oleh ADHY KARYO NUGROHO


http://www.yuswohady.com/2008/10/24/triple-bottom-line/

Muhammad Akmal
NPM A31115757

Anda mungkin juga menyukai