EPILEPSI
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Dalam Menempuh Program Pendidikan Profesi
Dokter Bagian Ilmu Penyakit Saraf Di RSUD RAA Soewondo Pati
Disusun Oleh :
Alfian Arsyadi Sunanto
30101206828
Pembimbing :
dr. Srunaryo, Sp.S, M.Kes
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2016
BAB I
0
LAPORAN KASUS
STATUS PASIEN
I.
II.
Identitas Penderita
Nama
: Tn. M
Umur
: 43 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-Laki
Status
: Menikah
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Tidak bekerja
Alamat
No CM
: 089978
Status Pasien
SUBJEKTIF
1
ANAMNESA
1. Keluhan Utama
: kejang
: mesocephale
Mata
2,5cm,
Hidung
Telinga
: discharge ( -/- )
Mulut
Leher
: kooperatif, baik
: afek sesuai mood
: logis
: baik
: tidak diperiksa
4. Status Neurologis
A. Kepala
Bentuk
Nyeri tekan
Simetri
Pulsasi
B. Leher
Sikap
Gerakan
Kaku kuduk
C. Saraf Kranial
N. I (Olfaktorius)
Subyektif
Dengan Bahan
N. II (Optikus)
Tajam Penglihatan:
Penglihatan Warna
Lapang Penglihatan
P. Fundus Okuli
N. III (Okulomotorius)
: mesochepal
: (-)
: (+)
: (-)
: simetris
: bebas
: (-)
:N
: tidak diperiksa
kanan
kiri
baik
baik
:
baik
baik
:
baik
baik
:
tidak dilakukan
kanan
kiri
Palpebra
:
N
Gerakan bola mata
:
N
Fungsi dan reaksi pupil :
N
Ukuran pupil
:diameter 2,5mm
Bentuk pupil
:bulat, anisokor
Reflek cahaya langsung :
(+)
Reflek cahaya tak langsung
(+)
Reflek akomodatif
:
(+)
Strabismus divergen
:
(-)
Diplopia
:
(-)
N. IV (Throklearis)
Gerakan mata ke lateral bawah: (+)
Strabismus konvergen
:
(-)
Diplopia
:
(-)
N
N
N
diameter 2,5 mm
bulat anisokor
(+)
(+)
(+)
(-)
(-)
(+)
(-)
(-)
3
N. V (Trigeminus)
kanan
kiri
Menggigit
:
(+)
(+)
Membuka mulut
:
(+)
(+)
Sensibilitas
:
(+)
(+)
Reflek Kornea
:
(+)
(+)
Reflek bersin
:
Reflek Masseter
:
tidak diperiksa
Reflek Zigomatikus
:
Trismus
:
N. VI (Abdusen)
kanan
kiri
Gerakan Mata ke lateral :
(+)
(+)
Srabismus konvergen
:
(-)
(-)
Diplopia
:
(-)
(-)
N. VII (Fasialis)
kanan
kiri
Kerutan kulit dahi
:
(+)
(+)
Kedipan mata
:
N
N
Lakrimasi
:
N
N
Sudut mulut
:
N
N
Tik fasialis
:
(-)
(-)
Lipatan nasolabial
:
simetris
Pengecapan lidah 2/3 depan:
Reflek visual palpebra
:
Reflek glabela
:
tidak diperiksa
Reflek aurikulo palpebra :
Tanda Myerson
:
Tanda Chevostek
:
N. VIII (Akustikus)
Tes suara berbisik
:
Tes Rinne
:
tidak diperiksa
Tes Weber
:
Tes Schwabach
: tidak diperiksa
N. IX (Glossofaringeus)
Arcus faring
: simetris
Pengecapan lidah 1/3 belakang: tidak diperiksa
Reflek muntah
:
Sengau
:
(-)
Tersedak
:
(-)
N. X (Vagus)
Arcus faring
: simetris
Bersuara (fonasi)
: (+)
Menelan
: (+)
Denyut nadi
: 80 x/ menit
N. XI (Accesorius)
Memalingkan kepala
:
4
Sikap bahu
Mengangkat bahu
Trofi otot bahu
N. XII (Hipoglossus)
Sikap lidah
Tremor lidah
Artikulasi
Menjulurkan lidah
Kekuatan lidah
Trofi otot lidah
Fasikulasi lidah
a.
:
:
: (-)
dbn
: Normal
: (-)
: Normal
: Normal
: Normal
: (-)
: (-)
Respirasi : dbn
Duduk
: dbn
SENSIBILITAS
Taktil
: dbn
Nyeri
: dbn
Thermi
: tidak dilakukan
Diskriminasi 2 titik
: tidak dilakukan
Lokasi
: tidak dilakukan
REFLEK
Reflek kulit perut
: tidak dilakukan
Reflek kremaster
: tidak dilakukan
5
Dx
Sx
Drop hand
Tidak ada
Tidak ada
Claw hand
Tidak ada
Tidak ada
Kontraktur
Tidak ada
Tidak ada
Warna kulit
Normal
Normal
MOTORIK
Motorik
Dx
Sx
Pergerakan
Normal
Normal
Kekuatan
Tonus
Normotonus
Normotonus
Klonus
Trofi
Eutrofi
Eutrofi
SENSIBILITAS
Dx
Sx
Taktil
Dbn
Dbn
Nyeri
Dbn
Dbn
Thermi
tidak dilakukan
tidak dilakukan
Diskriminasi 2 titik
tidak dilakukan
tidak dilakukan
Dx
Sx
Biceps
Triceps
Hoffman
Trommer
Dx
Sx
Drop foot
Tidak ada
Tidak ada
Claw foot
Tidak ada
Tidak ada
Kontraktur
Tidak ada
Tidak ada
Warna kulit
Normal
Normal
MOTORIK
Motorik
Dx
Sx
Pergerakan
Normal
Normal
Kekuatan
Tonus
Normotonus
Normotonus
Klonus
Trofi
Eutrofi
Eutrofi
SENSIBILITAS
Taktil
Nyeri
Thermi
Diskriminasi 2 titik
Dx
Sx
Dbn
dbn
Dbn
dbn
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
REFLEK
Dx
Sx
Patella
Dbn
Dbn
Achilles
Dbn
Dbn
Babinski
Chaddock
Oppenheim
Gordon
Schaeffer
Gonda
Bing
Rossolimo
Mendel-Bechtrew
: normal
Tes Romberg
: tidak dilakukan
Gerakan-gerakan Abnormal
Tremor
:-
: dbn
Defekasi
: dbn
Usulan Pemeriksaan
EEG
SGOT
SGPT
GDS
Ureum Creatinin
III
ASSESMENT
8
PLANNING
Medikamentosa :
Phenitoin 100 mg 2x1
Asam folat 1x 1tab
Luminal
Non medikamentosa:
Istirahat yang cukup
Mengurangi stress
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1
Definisi
Epilepsi berasal dari kata Yunani epilambanien yang berarti serangan dan
menunjukan bahwa sesuatu dari luar tubuh seseorang menimpanya, sehingga dia
jatuh.
Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh adanya
bangkitan (seizure) yang terjadi secara berulang sebagai akibat dari adanya gangguan
fungsi otak secara intermiten, yang disebabkan oleh lepas muatan listrik abnormal dan
berlebihan pada neuron-neuron secara paroksismal yang disebabkan oleh beberapa
etiologi.
Bangkitan epilepsi (epileptic seizure) merupakan manifestasi klinik dari
bangkitan serupa (stereotipik) yang berlangsung secara mendadak dan sementara
dengan atau tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktivitas listrik
sekelompok sel saraf di otak, bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak
akut (unprovoked).
Sedangkan sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinik
epilepsi yang terjadi secara bersama-sama yang berhubungan dengan etiologi, umur,
awitan, jenis bangkitan, faktor pencetus dan kronisitas.
2.2
Klasifikasi Epilepsi
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) 1981, epilepsi
diklasifikasikan menjadi 2 yakni berdasarkan bangkitan epilepsi dan berdasarkan
sindrom epilepsi.
2.2.1
1. Bangkitan Parsial
Bangkitan parsial diklasifikasikan menjadi 3 yaitu:
A. Parsial Sederhana (kesadaran tetap baik)
1. Dengan gejala motorik
2. Dengan gejala somatosensorik atau sensorik khusus
3. Dengan gejala autonom
4. Dengan gejala psikis
B. Parsial Kompleks (kesadaran menurun)
1. Berasal sebagai parsial sederhana dan berekambang menjadi penurunan kesadaran
2. Dengan penurunan kesadaran sejak awaitan
10
11
Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau keempat
anggota gerak yang berulang dan terjadinya cepat.
F. Atonik
Bangkitan ini jarang terjadi. Biasanya penderita akan kehilangan kekuatan otot dan
terjatuh secara tiba-tiba.
3. Tak Tergolongkan
Klasifikasi untuk epilepsi dan sindrom epilepsi yakni,
1. Berkaitan dengan lokasi kelainannya (localized related)
A. Idiopatik (primer)
B. Simtomatik (sekunder)
C. Kriptogenik
2.Epilepsi umum dan berbagai sindrom epilepsi berurutan sesuai
dengan peningkatan usia
A. Idiopatik (primer)
B. Kriptogenik atau simtomatik sesuai dengan peningkatan usia
(sindrom west, syndrome lennox-gasraut, epilepsi lena mioklonik dan
epilepsi mioklonik-astatik)
C. Simtomatik
3. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal dan umum
A. Bangkitan umum dan fokal
B. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
4. Sindrom khusus : bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu.
A. kejang demam
B. status epileptikus yang hanya timbul sekali (isolated)
C. bangkitan yang hanya terjadi karena alkohaol, obat-obatan, eklamsi
atau hiperglikemik non ketotik.
D. Epilepsi Refretorik
2.3 Etiologi Epilepsi
Sekitar 70% kasus epilepsi yang tidak diketahui sebabnya dikelompokkan
sebagai epilepsi idiopatik dan 30% yang diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai
epilepsi simptomatik, misalnya trauma kepala, infeksi, kongenital, lesi desak ruang,
gangguan peredaran darah otak, toksik dan metabolik. Epilepsi kriptogenik dianggap
sebagai simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, misalnya West syndrome
dan Lennox Gastaut syndrome.
Penyebab spesifik dari epilepsi antara lain ;
12
13
Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara
serentak, secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi.
1. Fungsi jaringan neuron penghambat ( neurotransmitter GABA dan Glisin ) kurang
optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan.
2. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik ( Glutamat dan Aspartat )
berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan juga.
Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi GABA
(gamma aminobutyric acid ) tidak normal. Pada otak manusia yang menderita
epilepsi ternyata kandungan GABA rendah. Hambatan oleh GABA dalam bentuk
inhibisi potensial postsinaptik ( IPSPs = inhibitory post synaptic potentials) adalah
lewat reseptor GABA. Suatu hipotesis mengatakan bahwa aktifitas epileptic
disebabkan oleh hilang atau kurangnya inhibisi oleh GABA, zat yang merupakan
neurotransmitter inhibitorik utama pada otak. Ternyata pada GABA ini sama sekali
tidak sesederhana seperti yang disangka semula. Riset membuktikan bahwa perubahan
pada salah satu komponennya bias menghasilkan inhibisi tak lengkap yang akan
menambah rangsangan. Sinkronisasi dapat terjadi pada sekelompok kecil neuron saja,
sekelompok besar atau seluruh neuron otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari
kelompok neuron ini menimbulkan manifestasi yang berbeda dari serangan epileptik.
Secara teoritis ada 2 penyebabnya yaitu fungsi neuron penghambat kurang optimal
( GABA ) sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, sementara itu
fungsi jaringan neuron eksitatorik ( Glutamat ) berlebihan. Berbagai macam penyakit
dapat menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan antara neuron inhibitor dan
eksitator, misalnya kelainan heriditer, kongenital, hipoksia, infeksi, tumor, vaskuler,
obat atau toksin. Kelainan tersebut dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan
atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul epilepsi bila ada
rangsangan yang memadai. Daerah yang rentan terhadap kerusakan bila ada
abnormalitas otak antara lain di hipokampus. Oleh karena setiap serangan kejang
selalu menyebabkan kenaikan eksitabilitas neuron, maka serangan kejang cenderung
berulang dan selanjutnya menimbulkan kerusakan yang lebih luas. Pada pemeriksaan
jaringan otak penderita epilepsi yang mati selalu didapatkan kerusakan di daerah
hipokampus. Oleh karena itu tidak mengherankan bila lebih dari 50% epilepsi parsial,
fokus asalnya berada di lobus temporalis dimana terdapat hipokampus dan merupakan
tempat asal epilepsi dapatan. Pada bayi dan anak-anak, sel neuron masih imatur
sehingga mudah terkena efek traumatik, gangguan metabolik, gangguan sirkulasi,
infeksi dan sebagainya. Efek ini dapat berupa kemusnahan neuron-neuron serta sel-sel
glia atau kerusakan pada neuron atau glia, yang pada gilirannya dapat membuat
neuron glia atau lingkungan neuronal epileptogenik. Kerusakan otak akibat trauma,
infeksi, gangguan metabolisme dan sebagainya, semuanya dapat mengembangkan
epilepsi. Akan tetapi anak tanpa brain damage dapat juga menjadi epilepsi, dalam hal
ini faktor genetik dianggap penyebabnya, khususnya grand mal dan petit mal serta
benigne centrotemporal epilepsy.Walaupun demikian proses yang mendasari serangan
epilepsi idiopatik, melalui mekanisme yang sama.
2.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG
15
Penatalaksanaan
Tujuan utama dari terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup
penderita yang optimal. Ada beberapa cara untuk mencapai tujuan tersebut
antara lain menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan tanpa
efek samping ataupun dengan efek samping seminimal mungkin serta
menurunkan angka kesakitan dan kematian.
Dalam farmakoterapi, terdapat prinsip-prinsip penatalaksanaan untuk
epilepsi yakni:
1. Obat anti epilepsi (OAE) mulai diberikan apabila diagnosis epilepsi sudah
dipastikan, terdapat minimum 2 kali bangkitan dalam setahun. Selain itu
pasien dan keluarganya harus terlebih dahulu diberi penjelasan mengenai
tujuan pengobatan dan efek samping dari pengobatan tersebut.
2. Terapi dimulai dengan monoterapi
3. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikan secara bertahap
samapai dengan dosis efektif tercapai atau timbul efek samping obat.
4. Apabila dengan penggunakan OAE dosis maksimum tidak dapat mengontrol
bangkitan, maka ditambahkan OAE kedua dimana bila sudah mencapai dosis
terapi, maka OAE pertama dosisnya diturunkan secara perlahan.
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Goodman and Gilman. Dasar Farmaklogi dan Terapi. Edisi 10. Jakarta: EGC, 2008. Hal 506-531
20
2. Hoan Tjay, Tan. Kirana, Rahardja. Obat-Obat Penting: Khasiat, Penggunaan, dan efek- efek
sampingnya. Edisi 6. Jakarta:Penerbit PT Elex Media Komputindo . 2007. Hal 415-427
3. Katzung, Betram G. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi 9. Jakarta: EGC, 2002. Hal 83-125
4. Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M. PATOFISIOLOGI: Konsep KlinisNProses-ProsesPenyakit.
Edisi 6. Jakarta: EGC, 2006. Hal 1157-1166
5. Arif, A. Bahan Kuliah Antiepilepsi. Farmakologi. FK UNCEN. Jayapura, 2011.
6. Public health. Epilepsi (ayan). [Online]. 2012 April. [diakses 30 Mei 2012];[1 screens]. Tersedia
dari: http://publichealthnote.blogspot.com/2012/04/epilepsi.html
7. Harsono. .Epidemiologi epilepsi. dalam: Kapita selekta Neurology. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 2007.
8. Buku naskah lengkap dan kumpulan abstrak ilmiah. Konas perdossi ke 6, 2007
9. Juanda A, Dermatosis eritroskuamosa. Dalam Juanda A, Hamzah M, Aisah S, Ilmu penyakit kulit
dan kelamin. Edisi keempat. Cetakan kedua. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ;
2005 : 200-2
21