Anda di halaman 1dari 22

CASE BASED DISCUSSION

EPILEPSI
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Dalam Menempuh Program Pendidikan Profesi
Dokter Bagian Ilmu Penyakit Saraf Di RSUD RAA Soewondo Pati

Disusun Oleh :
Alfian Arsyadi Sunanto
30101206828

Pembimbing :
dr. Srunaryo, Sp.S, M.Kes

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2016

BAB I
0

LAPORAN KASUS

STATUS PASIEN
I.

II.

Identitas Penderita
Nama

: Tn. M

Umur

: 43 tahun

Jenis Kelamin

: Laki-Laki

Status

: Menikah

Agama

: Islam

Pekerjaan

: Tidak bekerja

Alamat

: Perdopo RT1/RW2 Gunungmungkal, Pati

No CM

: 089978

Status Pasien

: Pasien rawat jalan

SUBJEKTIF
1

ANAMNESA
1. Keluhan Utama

: kejang

2. Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke Poli Syaraf RSUD Sunan Kalijaga Demak untuk kontrol kejang.
Pasien mulai kejang sejak 2,5 tahun yang lalu. Pasien selama ini sudah berobat rutin
sehingga pasien tidak mengalami kekambuhan kejang. Satu bulan terakhir ini pasien
mengalami dua kali kejang. Kejang muncul saat banyak pikiran atau saat pasian
kelelahan. Sebelum kejang pasien tidak mengeluh demam dan pasien merasa
kelelahan, durasi kejang +/- 5 menit. Kejang awalnya di mulai pada bagian mulut,
kemudian di bagian mata dan seluruh tubuh. Saat kejang pasien tidak sadarkan diri
dari awal hingga akhir. Ketika kejang mata pasien melirik keatas dan anggota gerak
tubuh kelojotan, setelah kejang pasien merasakan badannya lemas dan pikirannya
kosong.
3.

Riwayat Penyakit Dahulu :


1. Riwayat trauma kepala : dialami +/- 6 bulan yang lalu dan dirawat di Rumah sakit
selama 7 hari
2. Riwayat penyakit otak : disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga :


Riwayat keluhan seperti ini (kejang) : Ayah dan anak pasien memiliki keluhan
yang sama
5. Riwayat Sosial, Ekonomi
Pasien menggunakan BPJS
III.OBYEKTIF
1. Status Pasien
Kesadaran
: Compos mentis, GCS = E4M6V5
Tekanan Darah
: 130/100 mmHg
2. Status Generalis
Kepala

: mesocephale

Mata

: Ca ( -/- ), Si ( -/- ), Reflek cahaya (+/+), pupil bulat isokor 2,5cm /

2,5cm,
Hidung

: epistaksis ( -/- ), nafas cuping hidung ( -/- )

Telinga

: discharge ( -/- )

Mulut

: bibir sianosis ( - ), gusi berdarah ( - )


2

Leher

: simetris, pembesaran kelenjar limfe ( - )

Tenggorok : faring hiperemis ( - )


3. Status Psikis
Tingkah laku
Perasaan Hati
Cara Berpikir
Daya Ingat
Kecerdasan

: kooperatif, baik
: afek sesuai mood
: logis
: baik
: tidak diperiksa

4. Status Neurologis
A. Kepala
Bentuk
Nyeri tekan
Simetri
Pulsasi
B. Leher
Sikap
Gerakan
Kaku kuduk
C. Saraf Kranial
N. I (Olfaktorius)
Subyektif
Dengan Bahan
N. II (Optikus)
Tajam Penglihatan:
Penglihatan Warna
Lapang Penglihatan
P. Fundus Okuli
N. III (Okulomotorius)

: mesochepal
: (-)
: (+)
: (-)
: simetris
: bebas
: (-)
:N
: tidak diperiksa
kanan
kiri
baik
baik
:
baik
baik
:
baik
baik
:
tidak dilakukan
kanan
kiri

Palpebra
:
N
Gerakan bola mata
:
N
Fungsi dan reaksi pupil :
N
Ukuran pupil
:diameter 2,5mm
Bentuk pupil
:bulat, anisokor
Reflek cahaya langsung :
(+)
Reflek cahaya tak langsung
(+)
Reflek akomodatif
:
(+)
Strabismus divergen
:
(-)
Diplopia
:
(-)
N. IV (Throklearis)
Gerakan mata ke lateral bawah: (+)
Strabismus konvergen
:
(-)
Diplopia
:
(-)

N
N
N
diameter 2,5 mm
bulat anisokor
(+)
(+)
(+)
(-)
(-)
(+)
(-)
(-)
3

N. V (Trigeminus)
kanan
kiri
Menggigit
:
(+)
(+)
Membuka mulut
:
(+)
(+)
Sensibilitas
:
(+)
(+)
Reflek Kornea
:
(+)
(+)
Reflek bersin
:
Reflek Masseter
:
tidak diperiksa
Reflek Zigomatikus
:
Trismus
:
N. VI (Abdusen)
kanan
kiri
Gerakan Mata ke lateral :
(+)
(+)
Srabismus konvergen
:
(-)
(-)
Diplopia
:
(-)
(-)
N. VII (Fasialis)
kanan
kiri
Kerutan kulit dahi
:
(+)
(+)
Kedipan mata
:
N
N
Lakrimasi
:
N
N
Sudut mulut
:
N
N
Tik fasialis
:
(-)
(-)
Lipatan nasolabial
:
simetris
Pengecapan lidah 2/3 depan:
Reflek visual palpebra
:
Reflek glabela
:
tidak diperiksa
Reflek aurikulo palpebra :
Tanda Myerson
:
Tanda Chevostek
:
N. VIII (Akustikus)
Tes suara berbisik
:
Tes Rinne
:
tidak diperiksa
Tes Weber
:
Tes Schwabach
: tidak diperiksa
N. IX (Glossofaringeus)
Arcus faring
: simetris
Pengecapan lidah 1/3 belakang: tidak diperiksa
Reflek muntah
:
Sengau
:
(-)
Tersedak
:
(-)
N. X (Vagus)
Arcus faring
: simetris
Bersuara (fonasi)
: (+)
Menelan
: (+)
Denyut nadi
: 80 x/ menit
N. XI (Accesorius)
Memalingkan kepala

:
4

Sikap bahu
Mengangkat bahu
Trofi otot bahu
N. XII (Hipoglossus)
Sikap lidah
Tremor lidah
Artikulasi
Menjulurkan lidah
Kekuatan lidah
Trofi otot lidah
Fasikulasi lidah

a.

:
:
: (-)

dbn

: Normal
: (-)
: Normal
: Normal
: Normal
: (-)
: (-)

Badan dan Anggota Gerak


1. BADAN
MOTORIK

Respirasi : dbn

Duduk

: dbn

SENSIBILITAS
Taktil

: dbn

Nyeri

: dbn

Thermi

: tidak dilakukan

Diskriminasi 2 titik

: tidak dilakukan

Lokasi

: tidak dilakukan

REFLEK
Reflek kulit perut

: tidak dilakukan

Reflek kremaster

: tidak dilakukan
5

2. ANGGOTA GERAK ATAS


INSPEKSI
Inspeksi

Dx

Sx

Drop hand

Tidak ada

Tidak ada

Claw hand

Tidak ada

Tidak ada

Kontraktur

Tidak ada

Tidak ada

Warna kulit

Normal

Normal

MOTORIK
Motorik

Dx

Sx

Pergerakan

Normal

Normal

Kekuatan

Tonus

Normotonus

Normotonus

Klonus

Trofi

Eutrofi

Eutrofi

SENSIBILITAS
Dx

Sx

Taktil

Dbn

Dbn

Nyeri

Dbn

Dbn

Thermi

tidak dilakukan

tidak dilakukan

Diskriminasi 2 titik

tidak dilakukan

tidak dilakukan

REFLEK FISIOLOGIS DAN PATOLOGIS


6

Dx

Sx

Biceps

Triceps

Hoffman

Trommer

3. ANGGOTA GERAK BAWAH


INSPEKSI
Inspeksi

Dx

Sx

Drop foot

Tidak ada

Tidak ada

Claw foot

Tidak ada

Tidak ada

Kontraktur

Tidak ada

Tidak ada

Warna kulit

Normal

Normal

MOTORIK
Motorik

Dx

Sx

Pergerakan

Normal

Normal

Kekuatan

Tonus

Normotonus

Normotonus

Klonus

Trofi

Eutrofi

Eutrofi

SENSIBILITAS

Taktil
Nyeri
Thermi
Diskriminasi 2 titik

Dx

Sx

Dbn

dbn

Dbn

dbn

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

REFLEK
Dx

Sx

Patella

Dbn

Dbn

Achilles

Dbn

Dbn

Babinski

Chaddock

Oppenheim

Gordon

Schaeffer

Gonda

Bing

Rossolimo

Mendel-Bechtrew

Koordinasi, Gait, dan Keseimbangan


Cara berjalan

: normal

Tes Romberg

: tidak dilakukan

Gerakan-gerakan Abnormal
Tremor

:-

Athetosis : Saraf Otonom


Miksi

: dbn

Defekasi

: dbn

Usulan Pemeriksaan
EEG

SGOT
SGPT
GDS
Ureum Creatinin
III

ASSESMENT
8

A. Klinis : kejang parsial kompleks kejang umum tonik klonik


B. Topis : lobus temporalis
C. Etiologi : epilepsi parsial kompleks epilepsi umum tonik klonik et causa infeksi
IV

PLANNING
Medikamentosa :
Phenitoin 100 mg 2x1
Asam folat 1x 1tab
Luminal
Non medikamentosa:
Istirahat yang cukup
Mengurangi stress

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1.1

Definisi
Epilepsi berasal dari kata Yunani epilambanien yang berarti serangan dan
menunjukan bahwa sesuatu dari luar tubuh seseorang menimpanya, sehingga dia
jatuh.
Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh adanya
bangkitan (seizure) yang terjadi secara berulang sebagai akibat dari adanya gangguan
fungsi otak secara intermiten, yang disebabkan oleh lepas muatan listrik abnormal dan
berlebihan pada neuron-neuron secara paroksismal yang disebabkan oleh beberapa
etiologi.
Bangkitan epilepsi (epileptic seizure) merupakan manifestasi klinik dari
bangkitan serupa (stereotipik) yang berlangsung secara mendadak dan sementara
dengan atau tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktivitas listrik
sekelompok sel saraf di otak, bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak
akut (unprovoked).
Sedangkan sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinik
epilepsi yang terjadi secara bersama-sama yang berhubungan dengan etiologi, umur,
awitan, jenis bangkitan, faktor pencetus dan kronisitas.

2.2

Klasifikasi Epilepsi
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) 1981, epilepsi
diklasifikasikan menjadi 2 yakni berdasarkan bangkitan epilepsi dan berdasarkan
sindrom epilepsi.
2.2.1

Klasifikasi berdasarkan tipe bangkitan epilepsi :

1. Bangkitan Parsial
Bangkitan parsial diklasifikasikan menjadi 3 yaitu:
A. Parsial Sederhana (kesadaran tetap baik)
1. Dengan gejala motorik
2. Dengan gejala somatosensorik atau sensorik khusus
3. Dengan gejala autonom
4. Dengan gejala psikis
B. Parsial Kompleks (kesadaran menurun)
1. Berasal sebagai parsial sederhana dan berekambang menjadi penurunan kesadaran
2. Dengan penurunan kesadaran sejak awaitan
10

C. Parsial yang menjadi umum sekunder


1. Parsial sederhana yang menjadi umum tonik-konik
2. Parsial kompleks menjadi umum tonik-klonik
3. Parsial sederhana menjadi parsial kompleks dan menjadi umum tonik-konik
2. Bangkitan Umum
A. Absence / lena / petit mal
Bangkitan ini ditandai dengan gangguan kesadaran mendadak (absence) dalam
beberapa detik (sekitar 5-10 detik) dimana motorik terhenti dan penderita diam tanpa
reaksi. Seragan ini biasanya timbul pada anak-anak yang berusia antara 4 sampai 8
tahun. Pada waktu kesadaran hilang, tonus otot skeletal tidak hilang sehingga
penderita tidak jatuh. Saat serangan mata penderita akan memandang jauh ke depan
atau mata berputar ke atas dan tangan melepaskan benda yang sedang dipegangnya.
Pasca serangan, penderita akan sadar kembali dan biasanya lupa akan peristiwa yang
baru dialaminya. Pada pemeriksaan EEG akan menunjukan gambaran yang khas
yakni spike wave yang berfrekuensi 3 siklus per detik yang bangkit secara
menyeluruh.
B. Klonik
Kejang Klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan pemulaan fokal dan
multifokal yang berpindah-pindah. Kejang klonik fokal berlangsung 1 3 detik,
terlokalisasi , tidak disertai gangguan kesadaran dan biasanya tidak diikuti oleh fase
tonik. Bentuk kejang ini dapat disebabkan oleh kontusio cerebri akibat trauma fokal
pada bayi besar dan cukup bulan atau oleh ensepalopati metabolik.
C. Tonik
Berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik umum dengan
ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai deserebrasi atau ekstensi tungkai dan
fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi.
D. Tonik-klonik/Grand mal
Secara tiba-tiba penderita akan jatuh disertai dengan teriakan, pernafasan terhenti
sejenak kemudian dikuti oleh kekauan tubuh. Setelah itu muncul gerakan kejang
tonik-klonik (gerakan tonik yag disertai dengan relaksaki). Pada saat serangan,
penderita tidak sadar, bisa menggigit lidah atau bibirnya sendiri, dan bisa sampai
mengompol. Pasca serangan, penderita akan sadar secara perlahan dan merasakan
tubuhnya terasa lemas dan biasanya akan tertidur setelahnya.
E. Mioklonik
Bangkitan mioklonik muncul akibat adanya gerakan involuntar sekelompok otot
skelet yang muncul secara tiba-tiba dan biasanya hanya berlangsung sejenak.

11

Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau keempat
anggota gerak yang berulang dan terjadinya cepat.
F. Atonik
Bangkitan ini jarang terjadi. Biasanya penderita akan kehilangan kekuatan otot dan
terjatuh secara tiba-tiba.

3. Tak Tergolongkan
Klasifikasi untuk epilepsi dan sindrom epilepsi yakni,
1. Berkaitan dengan lokasi kelainannya (localized related)
A. Idiopatik (primer)
B. Simtomatik (sekunder)
C. Kriptogenik
2.Epilepsi umum dan berbagai sindrom epilepsi berurutan sesuai
dengan peningkatan usia
A. Idiopatik (primer)
B. Kriptogenik atau simtomatik sesuai dengan peningkatan usia
(sindrom west, syndrome lennox-gasraut, epilepsi lena mioklonik dan
epilepsi mioklonik-astatik)
C. Simtomatik
3. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal dan umum
A. Bangkitan umum dan fokal
B. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
4. Sindrom khusus : bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu.
A. kejang demam
B. status epileptikus yang hanya timbul sekali (isolated)
C. bangkitan yang hanya terjadi karena alkohaol, obat-obatan, eklamsi
atau hiperglikemik non ketotik.
D. Epilepsi Refretorik
2.3 Etiologi Epilepsi
Sekitar 70% kasus epilepsi yang tidak diketahui sebabnya dikelompokkan
sebagai epilepsi idiopatik dan 30% yang diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai
epilepsi simptomatik, misalnya trauma kepala, infeksi, kongenital, lesi desak ruang,
gangguan peredaran darah otak, toksik dan metabolik. Epilepsi kriptogenik dianggap
sebagai simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, misalnya West syndrome
dan Lennox Gastaut syndrome.
Penyebab spesifik dari epilepsi antara lain ;

12

1. Kelainan yang terjadi selama kehamilan/perkembangan janin contohnya ibu


mengkonsumsi obat-obatan tertentu yang dapat merusak otak janin, minum-minuman
alkhohol atau mendapatkan terapi penyinaran.
2. Kelainan yang terjadi saat kelahiran (bayi baru lahir) :
Brain malvormation
Gangguan oksigenasi sebelum lahir (Hipoksia-Asfiksia)
Gangguan elektrolit
Gangguan metabolisme janin
Infeksi
3. Saat usia bayi anak-anak
demam (kejang demam)
tumor otak (jarang)
infeksi
4. Saat usia anak dewasa
Kelainan kongenital sepeti sindrom down, neurofibromatosis, dll.
Faktor genetik dimana bila salah satu orang tua epilepsi (epilepsi idiopatik) maka
kemungkinan 4% anaknya epilepsi, sedangkan bila kedua orang tuanya epilepsi maka
kemungkinan anaknya epilepsi menjadi 20%-30%.
Penyakit otak yang berjalan secara progresif seperti tumor otak (jarang)
Trauma kepala
5. Saat usia tua/lanjut
Stroke
Penyakit Alzeimer
Trauma
2.4 Patofisologi Epilepsi
Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan dari
pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi,
pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion channel opening, dan
menguatnya sinkronisasi neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi dan
perambatan aktivitas serangan epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion
di dalam ruang ekstraseluler dan intraseluler, dan oleh gerakan keluar-masuk ion-ion
menerobos membran neuron.
Lima buah elemen fisiologi sel dari neuronneuron tertentu pada korteks
serebri penting dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi:
1. Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi dalam merespon
depolarisasi diperpanjang akan menyebabkan eksitasi sinaps dan inaktivasi konduksi
Ca2+ secara perlahan.

13

2. Adanya koneksi eksitatorik rekuren (recurrent excitatory connection), yang


memungkinkan adanya umpan balik positif yang membangkitkan dan menyebarkan
aktivitas kejang.
3. Kepadatan komponen dan keutuhan dari pandangan umum terhadap sel-sel
piramidal pada daerah tertentu di korteks, termasuk pada hippocampus, yang bias
dikatakan sebagai tempat paling rawan untuk terkena aktivitas kejang. Hal ini
menghasilkan daerah-daerah potensial luas, yang kemudian memicu aktifitas
penyebaran nonsinaptik dan aktifitas elektrik.
4. Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk juga merekrut respon
NMDA) menjadi ciri khas dari jaras sinaptik di korteks.
5. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor rekuren
dihasilkan dari frekuensi tinggi peristiwa aktifasi.
Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal
mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial
aksi secara tepat dan berulang-ulang. Secara klinis serangan epilepsi akan tampak
apabila cetusan listrik dari sejumlah besar neuron abnormal muncul secara
bersamasama, membentuk suatu badai aktivitas listrik di dalam otak. Badai listrik tadi
menimbulkan bermacam-macam serangan epilepsi yang berbeda (lebih dari 20
macam), bergantung pada daerah dan fungsi otak yang terkena dan terlibat. Dengan
demikian dapat dimengerti apabila epilepsi tampil dengan manifestasi yang sangat
bervariasi.
Sebagai penyebab dasar terjadinya epilepsi terdiri dari 3 katagori yaitu :
1. Non Spesifik Predispossing Factor ( NPF ) yang membedakan seseorang peka
tidaknya terhadap serangan epilepsi dibanding orang lain. Setiap orang sebetulnya
dapat dimunculkan bangkitan epilepsi hanya dengan dosis rangsangan berbeda-beda.
2. Specific Epileptogenic Disturbances (SED). Kelainan epileptogenik ini dapat
diwariskan maupun didapat dan inilah yang bertanggung jawab atas timbulnya
epileptiform activity di otak. Timbulnya bangkitan epilepsi merupakan kerja sama
SED dan NPF.
3. Presipitating Factor (PF). Merupakan faktor pencetus terjadinya bangkitan epilepsi
pada penderita epilepsi yang kronis. Penderita dengan nilai ambang yang rendah, PF
dapat membangkitkan reactive seizure dimana SED tidak ada.
Ketiga hal di atas memegang peranan penting terjadinya epilepsi sebagai hal dasar.
Hipotesis secara seluler dan molekuler yang banyak dianut sekarang adalah :
Membran neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion kalium dan ion
klorida, tetapi sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion kalsium. Dengan demikian
konsentrasi yang tinggi ion kalium dalam sel ( intraseluler ), dan konsentrasi ion
natrium dan kalsium ekstraseluler tinggi. Sesuai dengan teori dari Dean (Sodium
pump), sel hidup mendorong ion natrium keluar sel, bila natrium ini memasuki sel,
keadaan ini sama halnya dengan ion kalsium. Bangkitan epilepsi karena transmisi
impuls yang berlebihan di dalam otak yang tidak mengikuti pola yang normal,
sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls.
14

Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara
serentak, secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi.
1. Fungsi jaringan neuron penghambat ( neurotransmitter GABA dan Glisin ) kurang
optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan.
2. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik ( Glutamat dan Aspartat )
berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan juga.
Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi GABA
(gamma aminobutyric acid ) tidak normal. Pada otak manusia yang menderita
epilepsi ternyata kandungan GABA rendah. Hambatan oleh GABA dalam bentuk
inhibisi potensial postsinaptik ( IPSPs = inhibitory post synaptic potentials) adalah
lewat reseptor GABA. Suatu hipotesis mengatakan bahwa aktifitas epileptic
disebabkan oleh hilang atau kurangnya inhibisi oleh GABA, zat yang merupakan
neurotransmitter inhibitorik utama pada otak. Ternyata pada GABA ini sama sekali
tidak sesederhana seperti yang disangka semula. Riset membuktikan bahwa perubahan
pada salah satu komponennya bias menghasilkan inhibisi tak lengkap yang akan
menambah rangsangan. Sinkronisasi dapat terjadi pada sekelompok kecil neuron saja,
sekelompok besar atau seluruh neuron otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari
kelompok neuron ini menimbulkan manifestasi yang berbeda dari serangan epileptik.
Secara teoritis ada 2 penyebabnya yaitu fungsi neuron penghambat kurang optimal
( GABA ) sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, sementara itu
fungsi jaringan neuron eksitatorik ( Glutamat ) berlebihan. Berbagai macam penyakit
dapat menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan antara neuron inhibitor dan
eksitator, misalnya kelainan heriditer, kongenital, hipoksia, infeksi, tumor, vaskuler,
obat atau toksin. Kelainan tersebut dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan
atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul epilepsi bila ada
rangsangan yang memadai. Daerah yang rentan terhadap kerusakan bila ada
abnormalitas otak antara lain di hipokampus. Oleh karena setiap serangan kejang
selalu menyebabkan kenaikan eksitabilitas neuron, maka serangan kejang cenderung
berulang dan selanjutnya menimbulkan kerusakan yang lebih luas. Pada pemeriksaan
jaringan otak penderita epilepsi yang mati selalu didapatkan kerusakan di daerah
hipokampus. Oleh karena itu tidak mengherankan bila lebih dari 50% epilepsi parsial,
fokus asalnya berada di lobus temporalis dimana terdapat hipokampus dan merupakan
tempat asal epilepsi dapatan. Pada bayi dan anak-anak, sel neuron masih imatur
sehingga mudah terkena efek traumatik, gangguan metabolik, gangguan sirkulasi,
infeksi dan sebagainya. Efek ini dapat berupa kemusnahan neuron-neuron serta sel-sel
glia atau kerusakan pada neuron atau glia, yang pada gilirannya dapat membuat
neuron glia atau lingkungan neuronal epileptogenik. Kerusakan otak akibat trauma,
infeksi, gangguan metabolisme dan sebagainya, semuanya dapat mengembangkan
epilepsi. Akan tetapi anak tanpa brain damage dapat juga menjadi epilepsi, dalam hal
ini faktor genetik dianggap penyebabnya, khususnya grand mal dan petit mal serta
benigne centrotemporal epilepsy.Walaupun demikian proses yang mendasari serangan
epilepsi idiopatik, melalui mekanisme yang sama.
2.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG
15

Untuk dapat mendiagnosis seseorang menderita epilepsi dapat dilakukan melalui


anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasilpemeriksaan EEG dan radiologis.
Namun demikian, bila secara kebetulan melihat serangan yang sedang berlangsung
maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan.
1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena pemeriksa
hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita. Penjelasan perihal
segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan (meliputi gejala
dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat berarti dan merupakan
kunci diagnosis. Anamnesis juga memunculkan informasi tentang trauma kepala
dengan kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik,
malformasi vaskuler dan obat-obatan tertentu.
Anamnesi (auto dan aloanamnesis), meliputi:
Pola / bentuk serangan
Lama serangan
Gejala sebelum, selama dan paska serangan
Frekwensi serangan
Faktor pencetus
Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
Usia saat serangan terjadinya pertama
Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, seperti
trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan neurologik
fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya serangan
dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada anak-anak
pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan, organomegali,
perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal gangguan
pertumbuhan otak unilateral.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Elektro ensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis
epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi
struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan
abnormal.
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer
otak.
16

2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat disbanding


seharusnya misal gelombang delta.
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya
gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat
yang timbul secara paroksimal. Bentuk epilepsi tertentu mempunyai gambaran EEG
yang khas, misalnya spasme infantile mempunyai gambaran EEG hipsaritmia, epilepsi
petit mal gambaran EEG nya gelombang paku ombak 3 siklus per detik (3 spd),
epilepsi mioklonik mempunyai gambaran EEG gelombang paku / tajam / lambat dan
paku majemuk yang timbul secara serentak (sinkron).
b. Rekaman video EEG
Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang
mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber
serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis dan
EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis yang ada.
Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya belum
diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter. Penentuan
lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan pada persiapan
operasi.
c. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk melihat
struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan maka
MRI lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat
untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri
2.6

Penatalaksanaan
Tujuan utama dari terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup
penderita yang optimal. Ada beberapa cara untuk mencapai tujuan tersebut
antara lain menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan tanpa
efek samping ataupun dengan efek samping seminimal mungkin serta
menurunkan angka kesakitan dan kematian.
Dalam farmakoterapi, terdapat prinsip-prinsip penatalaksanaan untuk
epilepsi yakni:
1. Obat anti epilepsi (OAE) mulai diberikan apabila diagnosis epilepsi sudah
dipastikan, terdapat minimum 2 kali bangkitan dalam setahun. Selain itu
pasien dan keluarganya harus terlebih dahulu diberi penjelasan mengenai
tujuan pengobatan dan efek samping dari pengobatan tersebut.
2. Terapi dimulai dengan monoterapi
3. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikan secara bertahap
samapai dengan dosis efektif tercapai atau timbul efek samping obat.
4. Apabila dengan penggunakan OAE dosis maksimum tidak dapat mengontrol
bangkitan, maka ditambahkan OAE kedua dimana bila sudah mencapai dosis
terapi, maka OAE pertama dosisnya diturunkan secara perlahan.
17

5. Adapun penambahan OAE ketiga baru diberikan setelah terbukti bangkitan


tidak terkontorl dengan pemberian OAE pertama dan kedua.
Berikut merupakan OAE pilihan pada epilepsi berdasarkan mekanisme
kerjanya
1. Karbamazepin : Blok sodium channel konduktan pada neuron, bekerja juga
pada reseptor NMDA, monoamine dan asetilkolin.
2. Fenitoin : Blok sodium channel dan inhibisi aksi konduktan kalsium dan
klorida dan neurotransmitter yang voltage dependen
3. Fenobarbital : Meningkatkan aktivitas reseptor GABAA , menurunkan
eksitabilitas glutamate, emnurunkan konduktan natrium, kalium dan kalsium.
4. Valporat : Diduga aktivitas GABA glutaminergik, menurunkan ambang
konduktan kalsium (T) dan kalium.
5. Levetiracetam : Tidak diketahui
6. Gabapetin : Modulasi kalsium channel tipe N
7. Lamotrigin : Blok konduktan natrium yang voltage dependent
8. Okskarbazepin : Blok sodium channel, meningkatkan konduktan kalium,
modulasi aktivitas chanel.
9. Topiramat : Blok sodium channel, meningkatkan influks GABA-Mediated
chloride, modulasi efek reseptor GABAA.
10. Zonisomid : Blok sodium, potassium, kalsium channel. Inhibisi eksitasi
glutamate.
Setelah bangkitan terkontrol dalam jangka waktu tertentu, OAE dapat
dihentikan tanpa kekambuhan. Pada anak-anak dengan epilepsi, penghentian
sebaiknya dilakukan secara bertahap setelah 2 tahun bebas dari bangkitan
kejang. Sedangkan pada orang dewasa penghentian membutuhkan waktu lebih
lama yakni sekitar 5 tahun.
Ada 2 syarat yang penting diperhatikan ketika hendak menghentikan
OAE yakni,
1. Syarat umum yang meliputi :
Penghentian OAE telah diduskusikan terlebih dahulu dengan
pasien/keluarga dimana penderita sekurang-kurangnya 2 tahun bebas
bangkitan.
Gambaran EEG normal
Harus dilakukan secara bertahap, umumnya 25% dari dosis semula
setiap bulan dalam jangka waktu 3-6bulan.
Bila penderita menggunakan 1 lebih OAE maka penghentian dimulai
dari 1 OAE yang bukan utama.
2. Kemungkinkan kekambuhan setelah penghentian OAE
Usia semakin tua, semakin tinggi kemungkinan kekambuhannya.
Epilepsi simtomatik
Gambaran EEG abnormal
Semakin lamanya bangkitan belum dapat dikendalikan.
Penggunaan OAE lebih dari 1
18

Masih mendapatkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi


Mendapat terapi 10 tahun atau lebih.
Kekambuhan akan semaikn kecil kemungkinanya bila penderita telah
bebas bangkitan selama 3-5 tahun atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan
timbul kembali maka pengobatan menggunakan dosis efektifbang terakhir,
kemudian evaluasi.
Tipe bangkitan
Bangkitan parsial
(sederhana
atau
kompleks)
Bangkitan umum
(sekunder)

OAE lini pertama


OAE lini kedua
Phenitoin,
cabamazepine, Acetazolamide,
valproat
clobazam,
clonazam,
gabapentin, felbamate,
Carbamazepine,
phenitoin, vigabatrin, fenobarbital,
pirimidone, topiramate,
valproat
tiagabin, lamotrigine
Bangkitan umum Carbamazepine,
phenitoin, Acetazolamide,
tonik klonik
valproat, fenobarbital
clobazam,
clonazam,
gabapentin, felbamate,
vigabatrin, fenobarbital,
pirimidone, topiramate,
tiagabin, lamotrigine
Bangkitan
lena Valproat
Acetazolamide,
(absence)
clobazam,
clonazam,
lamotrigine,
fenobarbital, pirimidone
Bangkitan
Valproat
clobazam,
clonazam,
mioklonik
lamotrigine,
fenobarbital, pirimidone,
piracetam
Penatalaksanaan untuk status epileptikus
Status epileptikus merupakan bangkitan yang berlangsung lebih dari 30
menit atau dua atau lebih bangkitan dimana diantara bangkitan tidak terjadi
pemulihan kesadaran.
1. Stadium I (0-10 menit)
memperbaiki fungsi kardio dan respirasi
memperbaiki jalan nafas, oksigenasi dan resusitasi bilama diperlukan.
2. Stadium II (1-60 menit)
pemeriksaan status neurologik
pengukuran tekanan darah, nadi dan suhu
pemeriksaan EEG
pasang infus
ambil 50-100cc darah untuk pemeriksaan laborat
19

pemberian OAE cito : diazepam 0.2mg/kg dengan kecepatan


pemberian 5 mg/ menit IV dapat diulang lagi bila kejang masih
berlangsung setelah 5 menit pemberian.
Beri 50cc glukosa
Pemberian tiamin 250mg intravena pada pasien alkoholisme
Menangani asidosis dengan bikarbonat.
3. Stadium III 90-60/90 menit)
menentukan etiologi
bila
kejang
terus
berkangsung
setekah
pemberian
lorazepam/diazepam, beri phenitoin IV 15-20mg/kg dengan
kecepatan kuranglebih 50mg/menit sambil monitoring tekanan
darah.
Atau dapat pula diberikan Phenobarbital 10mg/kg dengan kecepatan
kurang lebih 10mg/menit (monitoring pernafasan saat pemberian)
Terapi vasopresor (dopamin) bila diperlukan.
Mongoreksi komplikasi
4. Stadium IV (30-90 menit)
Bila tetap kejang selama 30-60 menit, transfer ke ICU
Beri propofol (2mg/kgBB bolus iv, diulang bila perlu) atau
thiopentone (100-250 mg bolus iv dalam 20 menit, lanjut bolus 50
mg tiap 2-3 menit) dilanjutkan sampai 12-24 jam setelah bangkitan
klinis atau bangkitan EEG terakhir, lalu lakukan tappering off.
Monitor bangkitan dan EEG, tekanan intracranial, mulai berikan
OAE dosis maintenance.

DAFTAR PUSTAKA
1. Goodman and Gilman. Dasar Farmaklogi dan Terapi. Edisi 10. Jakarta: EGC, 2008. Hal 506-531
20

2. Hoan Tjay, Tan. Kirana, Rahardja. Obat-Obat Penting: Khasiat, Penggunaan, dan efek- efek
sampingnya. Edisi 6. Jakarta:Penerbit PT Elex Media Komputindo . 2007. Hal 415-427
3. Katzung, Betram G. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi 9. Jakarta: EGC, 2002. Hal 83-125
4. Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M. PATOFISIOLOGI: Konsep KlinisNProses-ProsesPenyakit.
Edisi 6. Jakarta: EGC, 2006. Hal 1157-1166
5. Arif, A. Bahan Kuliah Antiepilepsi. Farmakologi. FK UNCEN. Jayapura, 2011.
6. Public health. Epilepsi (ayan). [Online]. 2012 April. [diakses 30 Mei 2012];[1 screens]. Tersedia
dari: http://publichealthnote.blogspot.com/2012/04/epilepsi.html
7. Harsono. .Epidemiologi epilepsi. dalam: Kapita selekta Neurology. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 2007.
8. Buku naskah lengkap dan kumpulan abstrak ilmiah. Konas perdossi ke 6, 2007
9. Juanda A, Dermatosis eritroskuamosa. Dalam Juanda A, Hamzah M, Aisah S, Ilmu penyakit kulit
dan kelamin. Edisi keempat. Cetakan kedua. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ;
2005 : 200-2

21

Anda mungkin juga menyukai