Case Report
Oleh
Prima Indra Dwipa
1110313087
Pembimbing
dr. Juli Ismail, Sp.B-TKV
BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Anatomi
Paru-paru merupakan organ pernapasan dalam tubuh yang sebagian besar terdiri
dari gelembung (alveoli). Alveoli ini terdiri dari sel-sel epitel dan endotel. Jika
dibentangkan luas permukaannya 90m2. Banyaknya alveoli paru-paru ini kurang lebih
700 juta buah.
Gambar
1.2 Lobus
paru-
paru
Diantara
lobulus
satu
dengan
yang
lainnya
dibatasi
oleh
jaringan
ikat yang berisi pembuluh darah getah bening dan saraf, dalam tiap-tiap lobulus terdapat
sebuah bronkeolus. Di dalam lobulus, bronkeolus ini bercabang-cabang yang disebut
duktus alveolus. Tiap-tiap duktus alveolus berakhir pada alveolus yang diameternya
antara 0,2 0,3 mm.
Letak paru-paru di rongga dada, menghadap ke tengah rongga dada/kavum
mediastinum. Pada bagian tengah terdapat bagian tampuk paru-paru yang disebut hilus.
Pada mediastinum depan terdapat jantung.
Paru-paru dibungkus oleh selaput yang bernama pleura. Pleura dibagi menjadi dua
a. Pleura visceral, yaitu selaput paru yang langsung membungkus paru.
b. Pleura parietal, yaitu selaput yang melapisi rongga dada luar.
Gambar 1.3
Lapisan Pleura
rongga
(kavum)
yang disebut kavum pleura. Pada keadaan normal, kavum pleura ini hampa udara dan
juga terdapat sedikit cairan (eksudat) yang berguna untuk meminyaki permukaan pleura,
menghindari gesekan antara paru-paru dan dinding dada sewaktu ada gerakan bernafas.3
1.2 Fisiologi
Fungsi paru paru ialah untuk pertukaran gas oksigen dan karbon dioksida. Pada
pernapasan melalui paru-paru atau pernapasan eksterna, oksigen di ambil melalui
hidung dan mulut pada waktu bernapas. Oksigen masuk melalui trakea dan pipa
bronkial ke alveoli, dan dapat berhubungan erat dengan darah di dalam kapiler
pulmonaris. Hanya satu lapis membran, yaitu membran alveoli-kapiler, yang
memisahkan oksigen dari darah.
Oksigen menembus membran ini dan diambil oleh hemoglobin sel darah merah
dan dibawa ke jantung. Dari sini dipompa di dalam arteri ke semua bagian tubuh. Darah
meninggalkan paru paru pada tekanan oksigen 100 mmHg dan pada tingkat ini
hemoglobinnya 95 persen jenuh oksigen.
Cairan cavum pleura sangat sedikit, sekitar 0,3 ml/ kg, bersifat hipoonkotik
dengan kosentrasi protein 1g/ dl. Gerakan pernafasan dan gravitasi kemungkinan besar
ikut mengatur jumlah produksi dan resorbsi cairan cavum pleura. Resorbsi terjadi
terutama pada pembuluh limfe pleura parietalis, dengan kecepatan 0,1 sampai 0,15
ml/kg/jam. 1
1.3 Definisi
Pneumothoraks adalah keadaan terdapatnya udara atau gas dalam rongga pleura.
Pada keadaan normal rongga pleura tidak terisi udara, supaya paru-paru leluasa
mengembang terhadap rongga dada. Saat pneumotoraks terjadi, tekanan negatif yang
normalnya terdapatdi rongga pleura menjadi lebih positif dari tekanan intraalveolar dan
paru menjadi kolaps. Pelura parietal tetap berhubungan dengan permukaan dalam dari
dinding dada, namun pleura viseral mengalami retraksi ke arah hilum seiring dengan
kolapsnya paru5.
pneumotoraks lebih sering terjadi pada penderita dewasa yang berumur sekitar 40 tahun.
Laki-laki lebih sering daripada wanita, dengan perbandingan 5 : 1. 3
Di Amerika Serikat, insidens pneumotoraks spontan primer pada laki-laki adalah
7,4 kasus per 100.000 orang tiap tahunnya sementara pada wanita insidensnya adalah
1,2 kasus per 100.000 orang. Sedangkan insidens pneumotoraks spontan sekunder pada
laki-laki adalah 6,3 kasus per 100.000 orang dan wanita 2,0 per 100.000 orang.
Pneumotoraks traumatik lebih sering terjadi daripada pneumotoraks spontan dengan laju
yang semakin meningkat.
Pneumotoraks spontan primer terjadi pada usia 20 30 tahun dengan puncak
insidens pada usia awal 20-an sedangkan pneumotoraks spontan sekunder lebih sering
terjadi pada usia 60 65 tahun.
Di RSUD Dr. Soetomo, lebih kurang 55% kasus pneumothorax disebabkan oleh
penyakit dasar seperti tuberculosis paru aktif, tuerkulosis paru disertai fibrosis atau
emfiesema local, bronkotis kronis dan emfiesema. Selain karena penyakit tersebut di
atas, pneumothorax pada wanita dapat terjadi saat menstruasi dan sering berulang.
Keadaan ini disebut pneumothorax katamenial yang disebabkan oleh endometriosis di
pleura. Kematian akibat pneumothorax lebih kurang 12%4.
1.5 Klasifikasi
Pneumothoraks dapat terjadi secara spontan atau traumatik dan klasifikasi
pneumothoraks berdasarkan mekanisme kejadian adalah sebagai berikut :
1.5.1
Pneumothoraks Spontan
b)
Pneumothoraks
Traumatik
Iatrogenik
Artifisial
yaitu
Pneumotoraks jenis ini terjadi akibat trauma tumpul atau tajam yang
merusak pleura viseralis atau parietalis. Pada trauma tajam, luka
menyebabkan udara dapat masuk ke rongga pleura langsung ke dinding
toraks atau menuju pleura viseralis melalui cabang-cabang trakeobronkial.
Luka tusuk atau luka tembak secara langsung melukai paru-paru perifer
menyebabkan terjadinya hemothoraks dan pneumotoraks di lebih dari 80%
lesi di dada akibat benda tajam.
Pada trauma tumpul pneumotoraks terjadi apabila pleura viseralis
terobek oleh fraktur atau dislokasi costae. Kompresi dada tiba-tiba
menyebabkan peningkatan tekanan alveolar secara tajam dan kemudian
terjadi ruptur alveoli. Saat alveoli ruptur udara masuk ke rongga intersisiel
dan terjadi diseksi menuju pleura viseralis atau mediastinum. Pneumotoraks
terjadi saat terjadi ruptur pada pleura viseralis atau mediastinum dan udara
masuk ke rongga pleura.
Pneumotoraks traumatik bukan iatrogenik juga dapat terjadi akibat
barotrauma. Pada suhu konstan, volume massa udara berbanding terbalik
dengan tekanannya, sehingga apabila ditempatkan pada ketinggian 3050 m,
volume udara yang tersaturasi pada tubuh meningkat 1,5 kali lipat daripada
saat di ketinggian permukaan laut. Pada peningkatan tekanan tersebut,
udara yang terjebak dalam bleb dapat mengalami ruptur dan menyebabkan
pneumotoraks. Hal ini biasanya terjadi pada kru pesawat terbang.
Sedangkan pada penyelam, udara yang terkompresi dialirkan ke paru-paru
harus melalui regulator dan sewaktu naik ke permukaan barotrauma dapat
terjadi seiring dengan penurunan tekanan secara cepat sehingga udara yang
terdapat di paru-paru dapat menyebabkan pneumotoraks.
Klasifikasi Pneumotoraks Berdasarkan Jenis Fistula
1.5.2 Pneumothoraks Tertutup (Simple Pneumothorax)
Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka
pada dinding dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar. Tekanan di
dalam rongga pleura awalnya mungkin positif, namun lambat laun berubah
menjadi negatif karena diserap oleh jaringan paru disekitarnya. Pada kondisi
tersebut paru belum mengalami reekspansi, sehingga masih ada rongga pleura,
meskipun tekanan di dalamnya sudah kembali negatif. Pada waktu terjadi gerakan
pernapasan, tekanan udara di rongga pleura tetap negatif. Misal terdapat robekan
pada pleura viseralis dan paru atau jalan nafas atau esofagus, sehingga masuk
kavum pleura karena tekanan kavum pleura negative.
1.5.3 Pneumothoraks Terbuka (Open Pneumothorax)
Radiologis:
Garis pleura viseralis tampak putih lurus atau cembung terhadap
dinding dada dan terpisah dari garis pleura parietalis. Celah antara
kedua garis pleura tersebut tampak lusen karena berisi kumpulan
udara dan tidak didapatkan corakan vaskuler pada daerah tersebut
(gambar 2.6.1).
Pleura viseral berbentuk konveks terhadap dinding dada (gambar
2.6.2)5.
Perdorongan pada jantung misalnya pada pneumotoraks ventil ke
arah yang sehat
Adanya tanda deep sulcus sign di sudut kostofrenikus pada posisi
supinasi
Adanya gambaran hipodens antara paru dengan dinding dada pada
pemeriksaan CT scan (gambar 2.6.3)
Pada saat pasien posisi supinasi, udara terkumpul di daerah anterior. Saat
pasien dalam posisi tegak, udara terkumpul di apeks10.
b) Blood Gas Arteri: untuk melihat kadar oksigen dalam darah.
Gambar 1.6.1
Pleural visceral line
Gambar 1.6.2
Kontur konveks pleura
viseral terhadap dinding
dada
Gambar 1.6.3
Gambaran
pneumotoraks pada CT
scan
1.7 Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan pneumotoraks adalah untuk mengeluarkan
udara dari rongga pleura dan menurunkan kecenderungan untuk kambuh lagi. Pada
prinsipnya, penatalaksanaan pneumotoraks adalah adalah sama seperti penanganan
trauma, yaitu dengan melakukan tindakan ABCDE, yang kemudian diikuti tindakan
sebagai berikut:
1. Tindakan dekompresi
Hal ini sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasus pneumotoraks yang
luasnya >15%. Pada intinya, tindakan ini bertujuan untuk mengurangi tekanan intra
pleura dengan membuat hubungan antara rongga pleura dengan udara luar dengan
cara :
Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari gabungan jarum dan
kanula. Setelah jarum ditusukkan pada posisi yang tetap di ICS 2 midklavikularis sampai menembus ke rongga pleura, jarum dicabut dan kanula
tetap ditinggal. Kanula ini kemudian dihubungkan dengan pipa plastik infus
set. Pipa infuse ini selanjutnya dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah
klem penyumbat dibuka, akan tampak gelembung udara yang keluar dari
ujung infuse set yang berada di dalam botol.
Pipa water sealed drainage (WSD)
WSD adalah merupakan suatu system yang digunakan untuk mengalirkan
cairan atau udara dari torak dengan tujuan untuk mempertahankan tekanan
negatif
yg
normal
dalam
cavum
pleura,
sehingga
akan
dapat
bawah permukaan air supaya gelembung udara dapat dengan mudah keluar
melalui perbedaan tekanan tersebut .
Penghisapan dilakukan terus-menerus apabila tekanan intrapleura tetap
positif. Penghisapan ini dilakukan dengan memberi tekanan negatif sebesar
10-20 cm H2O, dengan tujuan agar paru cepat mengembang. Apabila paru
telah mengembang maksimal dan tekanan intra pleura sudah negatif
kembali, maka sebelum dicabut dapat dilakukuan uji coba terlebih dahulu
dengan cara pipa dijepit atau ditekuk selama 24 jam. Apabila tekanan dalam
rongga pleura kembali menjadi positif maka pipa belum bisa dicabut.
Pencabutan WSD dilakukan pada saat pasien dalam keadaan ekspirasi
maksimal .
2. Torakoskopi
Toraskopi adalah suatu tindakan untuk melihat langsung ke dalam rongga toraks
dengan alat bantu toraskop. Tindakan ini dilakukan apabila :
tindakan aspirasi maupun WSD gagal
paru tidak mengembang setelah 3 hari pemasangan tube toraskostomi
terjadinya fistula bronkopleura
timbulnya kembali pneumothoraks setelah tindakan pleurodesis
3. Torakotomi
Tindakan torakotomi dilakukan bila :
Kebocoran paru yang massif sehingga paru tak dapat mengembang (bullae /
fistel Bronkhopleura).
Pneumotoraks berulang.
Adanya komplikasi (Empiema, Hemotoraks, Tension pneumothorax).
Pneumotoraks bilateral.
1.8 Komplikasi
1.8.1 Pneumomediastinum
Terdapat ruang atau celah hitam pada tepi jantung, mulai dari basis sampai
ke apeks.
1.8.2 Emfisema subkutan
Biasanya merupakan kelanjutan dari pneumomediastinum. Udara yang
tadinya terjebak di mediastinum lambat laun akan bergerak menuju daerah yang
lebih tinggi, yaitu daerah leher. Di sekitar leher terdapat banyak jaringan ikat yang
mudah ditembus udara, sehingga bila jumlah udara yang terjebak cukup banyak
maka dapat mendesak jaringan ikat tersebut, bahkan sampai ke daerah dada dan
belakang.
1.8.3 Piopneumothorax
Berarti terdapatnya pneumothorax disertai emfiesema secara bersamaan pada
satu sisi paru.
1.8.4 Pneumothorax kronik
Menetap selama lebih dari 3 bulan. Terjadi bila fistula bronkopleura tetap
membuka.
1.8.5 Hidro-pneumothorax
Ditemukan adanya cairan dalam pleuranya. Cairan ini biasanya bersifat
serosa, serosanguinea atau kemerahan (berdarah).
BAB II
LAPORAN KASUS
ANAMNESIS
Identitas Pasien
Nama
: Tn. S
: 56 tahun
Alamat
: Lubeg
Agama
: Islam
Pekerjaan
: PNS
Nomor RM
: 195223
Seorang pasien perempuan dibawa ke IGD RSUD Dr M Djamil Padang tanggal 13 Mei 2016
dengan :
Keluhan utama : Sesak yang semangkit meningkat sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit
Riwayat Penyakit Sekarang :
Sesak yang semakin meningkat sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak
dirasakan sudah 1 minggu SMRS. Sesak dirasakan terus menerus. Sesak tidak
dipengaruhi posisi. Sesak tidak di pengaruhi cuaca, makanan, suhu. Sesak tidak
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran
: Komposmentis kooperatif
Tekanan darah
: 110/70 mmHg
Nadi
: 90x /menit
Nafas
: 24x/menit
Suhu
: 36,8 C
Status Generalis
Kepala
: Normocepal
Mata
Thorak
: Jantung
Paru
Abdomen
Ekstremitas
Status Lokalis
Regio Thoraks
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium (13 Mei 2016)
Pemeriksaan
Hasil
Satuan
Nilai normal
Hemoglobin
14,8
g/dl
13-18
Hematrokit
46
40-50
Leukosit
16.500
/mm3
4000-10000
Trombosit
341.000
/mm3
150000-400000
PT
12,1
9,5 11,7
APTT
37,4
28 - 42
Ureum
27
mg/dl
15-45
Kreatinin
0,9
mg/dl
0,7-1,2
SGOT (ASAT)
31
u/L
10-38
SGPT (ALAT)
43
u/L
9-40
Hematology
Faal Ginjal
Faal Hati/Jantung
Elektrolit
Natrium
139
mmol/L
137-147
Kalium
4,1
mmol/L
3,6-5,4
Khlorida
105
mmol/L
100 - 108
Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis
Pemasangan WSD
IVFD RL 28 tetes/menit
Cefoperazon 2x1 gr (IV)
Ranitidin 2x1 amp (IV)
Ketorolac 2x1 amp (IV)
Prognosis
Ad vitam
: dubia ad bonam
DAFTAR PUSTAKA
2011
January
10.
Available
from
http://www.medicinenet.com/pneumothorax/article.html.
4. Hisyam, B. Budiono, Eko. Pneumothoraks spontan. Dalam : Sudoyo, Aru, W.
Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. K, Marcellus, Simadibrata. Setiati, Siti (editor).
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006.
P. 1063-1068.
5. Herring W. Recognizing Pneumothorax, Pneumomediastinum, Pneumopericardium,
and Subcutaneous Emphysema. In: Merrit J, Vosburgh A, editors. Learning
radiology : recognizing the basics. 2nd ed. Philadelphia: Elsevier Mosby; 2012. p. 5963.
6. Mackenzie, SJ, and Gray, A. 2007.Primary Spontaneous Pneumothorax: why all the
confusion over first-line treatment?. Journal of Royal College of Physicians of
Edinburgh; 37:335-338.
7. Wilson AG, Flower CDR. The chest wall, pleura and diaphragm. In: Wood-Allum C,
editors. Diagnostic Radiology An Anglo-American Textbook of Imaging. 2 nd ed. New
York: Churchill Livingstone; 1992. p. 168-70.
8. Burgener FA, Kormano M. Hyperlucent lung. In: Burgener FA, Kormano M.
Differential Diagnosis in Conventional Radiology. 2nd. New York: Thieme Medical
Publishers, Inc; 1991. p. 488.
9. Gaveli G, Napoli G, Bertaccini P, Battista G, Fattori R. Imaging of Thoracic Injuries.
In: Marincek B, Dondelinger RF. Emergency Radiology Imaging and Intervention. 1 st
ed. New York: Springer; 2007. p. 162-3.
10. Ralph JK. The pre-operative assessment. In: Hopkins R, Peden C, Gandhi S.
Radiology for anaesteshia & intensive care. 1st ed. San Fransisco: Greenwich Medica
Media; 2003. p. 12.