Anda di halaman 1dari 21

TUGAS REFERAT

"demam

tifoid"

Disusun oleh :
Wara Rasyiati
2012730107
Pembimbing :
dr. Prastowo, Sp. A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA CEMPAKA PUTIH
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
1

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA


2016

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya pada
penulis sehingga dapat menyelesaikan referat dengan tema Demam Tifoid ini tepat pada
waktunya. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, serta
para pengikutnya hingga akhir zaman.
Referat ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas untuk penilaian kegiatan kepaniteraan
klinik stase Pediatri tahun 2016. Dan juga untuk memperdalam pemahaman tinjauan pustaka
yang telah dipelajari sebelumnya.
Penulis menyadari ketidaksempurnaan referat ini. Untuk itu penulis sangat mengharapkan
saran dan kritik untuk perbaikan penyusunan laporan selanjutnya.
Terimakasih penulis ucapkan kepada pembimbing referat ini dr. Prastowo Sidi Pramono
Sp.A yang telah membimbing penyusunan referat ini. Terima kasih juga pada semua pihak yang
telah membantu dalam tahap pengumpulan referensi, analisis materi dan penyusunan referat ini.
Semoga Referat ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi instansi
kepaniteraan klinik FKK UMJ dan RSIJ Cempaka Putih pada umumnya.

Jakarta, 10 Juni 2016

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................................2
DAFTAR ISI....................................................................................................................................3
BAB I...............................................................................................................................................4
1.1

Latar Belakang..................................................................................................................4

BAB II.............................................................................................................................................5
2.1 Definisi...................................................................................................................................5
2.2 Epidemiologi..........................................................................................................................6
2.3 Cara penularan.......................................................................................................................6
2.4 Patogenesis.............................................................................................................................7
2.5 Gejala klinis...........................................................................................................................8
2.6 Pemeriksaan laboratorium......................................................................................................9
2.7 Penatalaksanaan...................................................................................................................13
2.8 Komplikasi...........................................................................................................................16
2.9 Prognosis..............................................................................................................................17
2.10 Pencegahan.........................................................................................................................17
BAB III..........................................................................................................................................19
3.1 Kesimpulan..........................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................................20

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Definisi
Demam tifoid adalah penyakit yang mengancam jiwa yang disebabkan oleh
Salmonella typhi. (8) Demam paratifoid secara patologik maupun klinis adalah sama
dengan demam tifoid namun biasanya lebih ringan, penyakit ini disebabkan oleh
spesies Salmonella enteriditis sedangkan demam enterik terdapat pada demam tifoid
Salmonella adalah bakteri Gram negatif, tidak berkapsul, berbentuk basil,
mempunyai flagela dan tidak membentuk spora. Kuman ini mempunya tiga antigen
yang penting untuk pemeriksaan laboratorium, yaitu:
1) Antigen O (somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh kuman. Bagian
ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin.
Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap
formaldehid.
2) Antigen H (flagela), yang terletak pada flagela, fimbriae atau pili dari kuman.
Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap
formaldehid. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan
terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol.
3) Antigen K atau Vi (kapsul), yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman
yang dapat melindungi kuman terhadap fagositosis.
Ketiga macam antigen tersebut di dalam tubuh penderita akan menimbulkan
pembentukam 3 macam antibodi yang lazim disebut aglutinin.
Demam tifoid dimulai dikenal saat ilmuwan Perancis bernama Pierre Louis
memperkenalkan istilah typhoid pada tahun 1829. Typhoid atau tipus berasal dari
bahasa Yunani typhos yang berarti penderita demam dengan gangguan kesadaran. (10)

1.2 Epidemiologi
Sejak awal abad ke-20, insidens demam tifoid menurun di USA dan Eropa. Hal
ini dikarenakan ketersediaan air bersih dan sistem pembuangan yang baik dan ini
belum dimiliki oleh sebagian besar negara berkembang. (1)
Insidens demam tifoid yang tergolong tinggi terjadi di wilayah Asia Tengah, Asia
Tenggara dan kemungkinan Afrika Selatan (insidens > 100 kasus per 100.000
populasi per tahun). Insidens demam tifoid yang tergolong sedang (10 100 kasus
per 100.000 populasi per tahun) berada di wilayah Afrika, Amerika Latin dan
Oceania (kecuali Australia dan Selandia Baru), serta yang termasuk rendah (< 10
kasus per 100.000 populasi per tahun) di bagian dunia lainnya. (1)
Di Indonesia, insidens demam tifoid banyak dijumpai pada populasi yang berusia
3 19 tahun. Ditjen Bina Upaya Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan RI
tahun 2010, melaporkan demam tifoid menempati urutan ke-3 dari 10 polapenyakit
terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit di Indonesia. (41.081 kasus). (1)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cara penularan


Cara penularan demam tifoid adalah melalui fecal oral, kuman S. typhi masuk
ke dalam tubuh melalui makanan atau minuman telah tercemar oleh komponen
feses atau urin dari pengidap tifoid ke dalam lambung, kelenjar limfoid usus kecil
kemudian masuk ke dalam peredaran darah. Bakteri dalam peredaran darah yang
pertama berlangsung singkat yaitu 24 72 jam setelah bakteri masuk, meskipun
belum menimbulkan gejala tetapi setelah mencapai organ-organ seperti hati,
kandung empedu, limpa, sumsum tulang dan ginjal. Akhir masa inkubasi yaitu pada
5 9 hari kuman kembali masuk ke aliran darah dan terjadi pelepasan endotoksin
yang menyebar ke seluruh tubuh dan menimbulkan gejala.

(11)

Beberapa kondisi

kehidupan manusia yang sangat berperan pada penularan adalah :


1) Kebersihan perorangan yang rendah, seperti budaya cuci tangan yang tidak
terbiasa. Hal ini jelas pada anak-anak, penyaji makanan serta pengasuh anak.
2) Kebersihan makanan dan minuman yang rendah. Faktor ini paling berperan
pada penularan demam tifoid. Banyak sekali contoh untuk ini seperti makanan
yang dicuci dengan air yang terkontaminasi (seperti sayur-sayuran dan buahbuahan). Sayuran yang dipupuk dengan tinja manusia, makanan yang tercemar
dengan debu, sampah yang dihinggapi lalat, air minum yang tidak dimasak dan
sebagainya.
3) Sanitasi lingkungan yang kumuh, dimana pengelolaan air limbah, kotoran dan
4)
5)
6)
7)
8)

sampah yang tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan.


Penyediaan air bersih untuk warga yang tidak memadai.
Jamban keluarga yang tidak memenuhi syarat.
Pasien atau karier tifoid yang tidak diobati secara sempurna.
Belum membudayakan imunisasi untuk tifoid. (5)
Musim hujan yang terus memanjang dan menyebabkan banjir, dimana tifoid
adalah penyakit musim banjir.

2.2 Patogenesis
Masuknya kuman Salmonella typhi (S. typhi) dan Salmonella paratyphi (S.
paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi
bakteri tersebut. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos
masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respons imunitas
humoral mukosa (IgA) usus kurang baik, maka kuman akan menembus sel-sel
epitel dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak
dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan
berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum
distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesentrika. Selanjutnya melalui
duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam
sirkulasi darah (menyebabkan bakteremia pertama yang asimtomatik) dan
menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di
organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang
biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah
lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan
gejala penyakit infeksi sistemik. (1)
Kuman dapat masuk ke dalam kantung empedu, berkembang biak dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen usus.
Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam
sirkulasi darah setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, karena
makrofag yang telah teraktivasi, hiperaktif, maka saat fagositosis kuman
Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan
menimbulkan gejala reaksi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala,
sakit perut, gangguan vaskular, mental dan koagulasi. (1)
Di dalam plak Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia
jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,
hiperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi
akibat erosi pembuluh darah sekitar plak Peyeri yang sedang mengalami nekrosis
dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses
patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus
dan dapat mengakibatkan perforasi. (1)
8

Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat


timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernafasan
dan gangguan organ lainnya. (1)

2.3 Gejala klinis


1) Demam
Demam atau panas merupakan gejala utama demam tifoid. Awalnya, demam
hanya samar-samar saja, selanjutnya suhu tubuh turun-naik yakni pada pagi
hari lebih rendah atau normal, sementara sore dan malam hari lebih tinggi.
Demam dapat mencapai 39-40 . Intensitas demam akan makin tinggi
disertai gejala lain seperti sakit kepala, diare, nyeri otot, pegal, insomnia,
anoreksia, mual dan muntah. Pada minggu ke-2 intensitas demam makin
tinggi, kadang terus-menerus. Bila pasien membaik, maka pada minggu ke3, suhu tubuh berangsur turun dan dapat normal kembali pada akhir minggu
ke-3. Perlu diperhatikan bahwa tidak selalu ada bentuk demam yang khas
pada demam tifoid. Tipe demam menjaditidak beraturan, mungkin karena
intervensi pengobatan atau menjadi komplikasi yang dapat terjadi lebih
awal. Pada anak khususnya balota, demam tinggi dapat menimbulkan
kejang.
2) Gangguan Pencernaan
Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang lama.
Bibir kering dan terkadang pecah-pecah. Lidah terlihat kotor dan ditutupi
selaput kecoklatan dengan ujung dan tepi lidah kemerahan dan tremor, pada
penderita anak jarang ditemukan. Umumnya penderita sering mengeluh
nyeri perut
3) Gangguan Kesadaran
4) Hepatosplenomegali
5)
Bradikardi relative dan gejala lain

2.4 Pemeriksaan laboratorium


1) Pemeriksan Rutin
9

Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan


leukopenia, dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis.
Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu
dapat ditemukan anemia ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung
jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endap darah
pada demam tifoid dapat meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal
setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan
khusus.
2) Uji Widal
Uji Widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S. typhi.
Pada uji Widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi
dengan antibodi yang disebut aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji Widal
adalah suspensi Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium.
Maksud uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum
penderita tersangka demam tifoid yaitu aglutinin O (dari tubuh kuman),
aglutinin H (flagela kuman) dan aglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan
untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar
kemungkinan terinfeksi kuman ini, akan tetapi kenaikan titer aglutinin yang
tinggi pada spesimen tunggal tidak dapat membedakan apakah infeksi tersebut
merupakan infeksi baru atau lama. (1) (12)
Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam,
kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu keempat
dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul
aglutinin O, kemudian diikuti dengan aglutinin H. Pada orang yang telah
sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4 6 bulan, sedangkan
aglutinin H menetap lebih lama antara 9 12 bulan. Oleh karena itu uji Widal
bukan untuk menentukan kesembuhan penyakit.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu :
a) Pengobatan dini dengan antibiotik, dapat menyebabkan hasil negatif
palsu
b) Gangguan pembentukan antibodi dan pembentukan kortikosteroid

10

c) Waktu pengambilan darah, paling baik pada minggu kedua atau ketiga
yaitu 95,7% sedangkan kenaikan pada minggu pertama hanya 85,7%. (12)
d) Daerah endemik dan non-endemik
e) Riwayat vaksinasi, dapat menyebabkan hasil positif palsu
f) Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan
demam tifoid akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi
g) Faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi silang
dan strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen
Interpretasi hasil pemeriksaan uji widal dianggap positif mempunyai arti
klinis sebagai berikut (13):
a) Titer antigen O sampai 1/80 pada awal penyakit berarti suspek demam
tifoid, kecuali pasien yang telah mendapat vaksinasi
b) Titer antigen O diatas 1/160 berarti indikasi kuat terhadap demam tifoid
c) Titer antigen H sampai 1/40 berarti suspek terhadap demam tifoid kecuali
pada pasien yang divaksinasi jauh lebih tinggi
d) Titer antigen H diatas 1/80 memberi indikasi adanya demam tifoid
Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai titer aglutinin yang
bermakna diagnostik untuk demam tifoid. Batas titer yang sering dipakai hanya
kesepakatan saja hanya berlaku setempat dan batas ini bahkan dapat berbeda di
berbagai laboratorium setempat.
3) Uji Typhidot
Uji typhidot dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang terdapat pada
protein membran luar Salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhidot
didapatkan didapatkan 2 3 hari setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi
secara spesifik antibodi IgM dan IgG terhadap antigen S. typhi seberat 50 kD,
yang terdapat pada strip nitroselulosa.
Didapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76,6%
dan efisiensi uji sebesar 84% pada penelitian yang dilakukan oleh
Gopalakhrisnan dkk (2002) yang dilakukan oleh Olsen dkk, didapatkan
sensitifitas dan spesifisitas uji ini hampir sama dengan uji Tubex yaitu 79% dan
89% dengan 78% dan 89%.
Pada kasus reinfeksi, respon imun sekunder (IgG) teraktivasi secara
berlebihan sehingga IgM sulit terdeteksi. Sehingga dapat dikatakan apabila
11

IgM positif maka menandakan infeksi akut, sedangkan apabila IgG positif
maka menandakan pernak kontak atau pernah terinfeksi atau reinfeksi atau
pasien tinggal di daerah endemik tifoid. IgG dapat bertahan sampai 2 tahun
sehingga pendeteksian IgG saja tidak dapat digunakan untuk membedakan
antara infeksi akut dengan kasus reinfeksi atau konvalesen pada kasus infeksi
primer. Untuk mengatasi masalah tersebut, uji ini kemudian dimodifikasi
dengan menginaktivasi total IgG pada sampel serum. Uji ini yang dikenal
dengan nama uji Typhidot-M, memungkinkan ikatan antara antigen dengan
IgM spesifik yang ada pada serum pasien. Studi evaluasi yang dilakukan oleh
Khoo KE dkk pada tahun 1997 terhadap uji Typhidot-M menunjukkan bahwa
uji ini bahkan lebih sensitif (sensitivitas mencapai 100%) dan lebih cepat (3
jam) dilakukan bila dibandingkan dengan kultur.
4) Uji IgM Dipstick
Uji ini secara khusus mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap S. typhi
pada spesimen serum atau whole blood. Uji ini menggunakan strip yang
mengandung antigen lipopolisakarida (LPS) S. typhoid dan anti IgM (sebagai
kontrol), reagen deteksi yang mengandung antibodi anti IgM yang dilekati
dengan lateks pewarna, cairan membasahi strip sebelum diinkubasi dengan
reagen dan serum pasien, tabung uji. Komponen perlengkapan ini stabil untuk
disimpan selama 2 tahun pada suhu 4 25 0C di tempat kering tanpa paparan
sinar matahari. Pemeriksaan dimulai dengan inkubasi strip pada larutan
campuran reagen deteksi dan serum, selama 3 jam pada suhu kamar. Setelah
inkubasi, strip dibilas dengan air mengalir dan dikeringkan. Secara
semikuantitatif,

diberikan

penilaian

terhadap

garis

uji

dengan

membandingkannya dengan reference strip. Garis kontrol harus terwarna


dengan baik.
House dkk (2001) dan Gasen MH dkk (2002) meneliti mengenai
penggunaan uji ini dibandingkan dengan pemeriksaan kultur darah di Indonesia
dan melaporkan sensitivitas sebesar 65 77% dan spesifisitas sebesar 95
100%. Pemeriksaan ini mudah dan cepat (dalam 1 hari) dilakukan tanpa

12

peralatan khusus apapun, namun akurasi hasil didapatkan bila pemeriksaan


dilakukan 1 minggu setelah timbulnya gejala.
5) Kultur Darah
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi
hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan
beberapa hal seperti berikut :
a) Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur
darah telah mendapat antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media biakan
terhambat dan hasil mungkin negatif.
b) Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc darah). Bila
darah yang dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif. Darah yang
diambil sebaiknya secara bedside langsung dimasukkan ke dalam media
cair empedu (oxgall) untuk pertumbuhan kuman.
c) Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan antibodi dalam
darah pasien. Antibodi (aglutinin) ini dapat menekan bakteremia hingga
biakan darah dapat negatif.
d) Waktu pengambilan darah setelah minggu pertama pada saat aglutinin
semakin meningkat.

2.5 Penatalaksanaan
Sampai saat ini trilogi penatalaksanaan demam tifoid adalah (1) :
1) Istirahat dan perawatan
Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah
komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti
makan, minum, mandi, buang air kecil dan buang air besar akan membantu
mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga
kebersihan tempat tidur, pakaian dan perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien
perlu diawasi untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik serta
higiene per orangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.
2) Diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif)
Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan
penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan
keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses
penyembuhan akan menjadi lama.
13

Di masa lampau penderita demam tifoid diberi diet bubur saring,


kemudian ditingkatkan menjadi bubur saring kasar dan akhirnya diberikan nasi,
yang perubahan diet tersebut disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien.
Pemberian bubur saring tersebut ditujukan untuk menghindari komplikasi
perdarahan saluran cerna atau perforasi usus. Hal ini disebabkan ada pendapat
bahwa pemberian makan padat dini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah
selulosa (menghindari sementara sayuran yang berserat) dapat diberikan
dengan aman pada pasien demam tifoid.
3) Pemberian obat-obatan
Obat-obatan yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid
adalah sebagai berikut :
a) Kloramfenikol
Di Indonesia kloramfenikol masih merupakan obat pilihan untuk
mengobati demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah 4 x 75
mg/kgbb/hari dibagi 4 dapat diberikan secara per oral atau intravena.
Diberikan sampai 7 hari bebas panas. Penyuntikan intramuskular tidak
dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan
tempat suntikan terasa nyeri. Dari pengalaman penggunaan obat ini dapat
menurunkan demam rata-rata 7,2 hari. Penulis lain menyebutkan
penurunan demam dapat terjadi rata-rata setelah hari ke-5. Pada
penelitian yang dilakukan selama 2002 hingga 2008 oleh Moehario LH
dkk didapatkan 90% kuman masih memiliki kepekaan terhadap antibiotik
ini.
b) Tiamfenikol
Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir sama
dengan kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematologi seperti
kemungkinan terjadinya anemia aplastik lebih rendah dibandingkan
dengan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol adalah 4 x 30 mg/kgbb/hari
dibagi 3, demam rata-rata menurun pada hari ke-5 sampai ke-6.
c) Kotrimoksazol
Efektivitas obat ini dilaporkan hampir sama dengan kloramfenikol.
Dosis untuk anak-anak adalah 8-10 mg/kgbb/hari dibagi 2 diberikan
selama 2 minggu.
d) Ampisilin dan amoksisilin
14

Kemampuan obat ini untuk menurunkan demam lebih rendah


dinbandingkan dengan kloramfenikol, dosis yang dianjurkan berkisar
antara 30 - 50 mg/kgBB/hari dibagi 3 dan digunakan selama 2 minggu.
e) Sefalosporin generasi tiga
Hingga saat ini sefalosporin generasi ke-3 yang terbukti efektif
untuk demam tifoid adalah seftriakson, dosis yang dianjurkan adalah 3
4 gram dalam dekstrosa 100 cc diberikan selama jam per infus sekali
sehari, diberikan selama 3 hingga 5 hari.
f) Fluorokuinolon
Golongan ini beberapa jenis bahan dan sediaan dan aturan
pemberiannya :
(1) Norfloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari
(2) Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari
(3) Ofloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari
(4) Pefloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari
(5) Levofloksasin dosis 1 x 500 mg/hari selama 5 hari
g) Azitromisin
Azitromisin 2 x 500 mg menunjukkan bahwa penggunaan obat ini
jika dibandingkan dengan fluorokuinolon, azitromisin secara signifikan
mengurangi kegagalan klinis dan durasi rawat inap terutama jika
penelitian mengikutsertakan pula starin MDR (multi drug resistance)
maupun NARST (Nalidixic Acid Resistant S. typhi). Jika dibandingkan
dengan seftriakson, penggunaan azitromisin dapat mengurangi angka
relaps. Azitromisin mampu menghasilkan konsentrasi dalam jaringan
yang tinggi walaupun konsentrasi dalam darah cenderung rendah.
Antibiotika akan terkonsentrasi di dalam sel, sehingga antibiotika ini
menjadi ideal untuk digunakan dalam pengobatan infeksi oleh S. Typhi
yang merupakan kuman intraselular. Keuntungan lain adalah azitromisin
tersedia dalam bentuk sediaan oral maupun suntikan intravena.
h) Kombinasi obat antibiotika
Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan hanya pada
keadaan tertentu saja antara lain toksik tifoid, peritonis atau perforasi,
serta syok septik, yang pernah terbukti ditemukan 2 macam organisme
dalam kultur darah selain kuman Salmonella.
i) Kortikosteroid

15

Penggunaan steroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid atau


demam tifoid yang mengalami syok septik dengan deksametason dosis
0,02 0,05 mg/kgBB/hari dibagi 3

2.6 Komplikasi
Sebagai suatu penyakit sistemik maka hampir semua organ tubuh dapat
diserang dan berbagai komplikasi serius dapat terjadi. Beberapa komplikasi yang
dapat terjadi pada demam tifoid, (1) yaitu :
1) Komplikasi intestinal
a) Perdarahan intestinal
b) Perforasi usus
c) Ileus paralitik
d) Pankreatitis
2) Komplikasi ekstra intestinal
a) Komplikasi kardiovaskular: gagal

sirkulasi

perifer,

miokarditis,

tromboflebitis
b) Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia, koagulasi
c)
d)
e)
f)
g)

intravaskular deseminata (KID), trombosis


Komplikasi paru: pneumonia, empiema, pleuritis
Komplikasi hepatobilier: hepatitis, kolesistitis
Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, perinefritis
Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis, artritis
Komplikasi neuropsikiatrik/tifoid toksik

2.7 Prognosis
Tanpa antimikroba, sulit untuk mengalami penyembuhan, biasanya terjadi
pada anak imunokompromais gastroenteritis Salmonela. Bayi muda dan
imunokompromais terutama mereka dengan infeksi fokal sesudah bakteremia dapat
mengalami perjalanan penyakit lama disertai komplikasi. Meningitis Samonela
mempunyai prognosis buruk dengan angka relaps tinggi, terutama bila terapinya
sebentar.
Walau dengan terapi yang cukup, penderita dapat mengalami demam tifoid
rekuren sesudah terapi (angka relaps 5 20%). Relaps infeksi Salmonela agaknya
menggambarkan sulitnya membunuh organisme resisten, maka obat yang berbeda
dari obat inisial dipakai secara empiris selama menunggu hasil. (14)

16

Untuk carier, sudah sembuh secara klinis. Namun di dalam tubuhnya masih
tersisa kuman. Untuk menghindari penularan kepada orang lain, harus menjaga
kebersihan diri.

2.8 Pencegahan
Pencegahan demam tifoid melalui gerakan nasional sangat diperlukan karena
akan berdampak cukup besar terhadap penurunan kesakitan dan kematian akibat
demam tifoid, menurunkan anggaran pengobatan pribadi maupun negara,
mendatangkan devisa negara yang berasal dari wistawan mancanegara karena telah
hilangnya predikat negara endemik dan hiperendemik sehingga mereka tidak takut
lagi terserang tifoid saat berada di daerah kunjungan wisata. (1)
1) Preventif dan kontrol penularan
Tindakan preventif sebagai upaya pencegahan penularan dan peledakan
kasus luar biasa (KLB) demam tifoid mencangkup banyak aspek, mulai dari
segi kuman Salmonella typhi sebagai agen penyakit dan faktor penjamu (host)
serta faktor lingkungan. (1)
Secara garis besar ada 3 strategi pokok untuk memutuskan transmisi tifoid
(1)

, yaitu :
a) Identifikasi dan eradikasi Salmonella typhi baik pada kasus karier tifoid
Tindakan indentifikasi atau penyaringan pengidap kuman S. typhi ini
cukup sulit dan memerlukan biaya cukup besar baik ditinjau dari pribadi
maupun skala nasional. Cara pelaksanaannya dapat secara aktif yaitu
mendatangi sasaran maupun pasif menunggu bila ada penerimaan pegawai
di suatu instansi atau swasta. Sasaran aktif lebih diutamakan pada populasi
tertentu seperti pengelola sarana makanan-minuman baik tingkat usaha
rumah tangga, restoran, hotel sampai pabrik beserta distributornya. Sasaran
lainnya adalah yang terkait dengan pelayanan masyarakat, yaitu petugas
kesehatan, guru, petugas kebersihan umum lainnya.
b) Pencegahan transmisi langsung dari pasien terinfeksi S. typhi akut maupun
karier
Kegiatan ini dilakukan di rumah sakit, klinik maupun di rumah dan
lingkungan sekitar orang yang telah diketahui pengidap kuman S. typhi.
c) Proteksi pada orang yang beresiko terinfeksi

17

Sarana proteksi pada populasi dilakukan dengan cara vaksinasi tifoid


di daerah endemik maupun hiperendemik. Sasaran vaksinasi tergantung
daerahnya endemis atau non-endemis, tingkat risiko tertularnya yaitu
berdasarkan tingkat hubungan per orangan dan jumlah frekuensinya, serta
golongan individu beresiko yaitu golongan imunokompromalis maupun
golongan rentan.
Tindakan preventif berdasarkan lokasi daerah, yaitu :
(1) Daerah non-endemik. Tanpa ada kejadian outbreak atau epidemi
(2) Sanitasi air dan kebersihan lingkungan
(3) Penyaringan pengelola pembuatan/distributor/penjualan makananminuman
(4) Pencarian dan pengobatan kasus carrier demam tifoid
(5) Bila ada kejadian epidemi tifoid
(6) Pencarian dan eliminasi sumber penularan
(7) Pemeriksaan air minum dan mandi-cuci-kakus
(8) Penyuluhan higiene dan sanitasi pada populasi umum daerah tersebut
(9) Daerah endemik demam tifoid
(10) Memasyarakatkan pengelolaan bahan makanan dan minuman
pendidihan, menjauhi makanan segar (sayur/buah)
(11) Vaksinasi secara menyeluruh pada masyarakat setempat maupun
pengunjung

18

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Demam tifoid adalah penyakit yang mengancam jiwa yang disebabkan oleh
Salmonella typhi. Penyebab dari demam tifoid bermacam-macam, seperti
kebersihan perorangan, kebersihan lingkungan, keadaan jamban yang bersih,
sanitasi lingkungan, penyediaan air bersih dll. Gejala klinis dari demam tifoid yaitu,
Pada minggu pertama gejala penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa
dengan penyakit infeksi akut lain yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot,
anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk
dan epistaksis. Perlu sekali dilakukan diagnosis dini, agar tidak muncul komplikasi.
Penatalaksanaan dari demam tifoid hingga saat ini yaitu, istirahat total, diet
makanan, dan minum obat secara teratur. Hal itu dilakukan untuh mencegah
komplikasi apabila demam tifoid tidak ditangani secara tepat.

19

DAFTAR PUSTAKA

1. Setiati, Siti, et al. Buku Ajar Penyakit Dalam. Demam Tifoid. Jakarta : Interna Publishing,
2014. pp. 549-558.
2. World Health Organization. Fact Sheet on Typhoid. [Online] 2008.
http://www.who.int/immunization/topics/typhoid/en/index.html
3. Sharma, PK. Description an Evaluation of the Surveillance System for Typhoid in Darjeeling,
District, West Begal, India, 2005. In Bound Volume for The Master of Applied Epidemiology
(MAE). India : s.n., 2007.
4. DEPKES. Profil Kesehatan Indonesia 2009. 2010.
5. . Profil Kesehatan Indonesia 2010. [Online] 2011.
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-indonesia/profilkesehatan-indonesia-2010.pdf.
8. Typhoid Fever. [Online] Centers for Disease Control and Prevention, 2013.
http://www.cdc.gov/nczved/divisions/dfbmd/diseases/typhoid_fever/.
9. Sumarmo, S, et al. Buku Ajar Infeksi & Pediatrik Tropis. Jakarta : Badan Penerbit IDAI,
2012.
10. Widoyono. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan & Pemberantasannya.
Jakarta : Erlangga, 2011.
11. Algerina. Tifoid Pada Anak. Jakarta : Elex Media Komputindo, 2008.
12. Mulyawan, Sylvia and Surjawidjaja, Julius. Cermin Dunia Kedokteran. Tinjauan Ulang
Peranan Uji Widal Sebagai Alat Diagnostik Penyakit Demam Typhoid Di Rumah Sakit. Jakarta :
Kalbe Farma, 2004.
13. Kosasih, E. N. Pemeriksaan Laboratorium Klinik. Bandung : Penerbit Alumni, 1984.
20

14. Garna, Herry. Buku Ajar Divisi Infeksi dan Penyakit Tropis. Jakarta : Sagung Seto, 2012.

21

Anda mungkin juga menyukai