Anda di halaman 1dari 8

MENGENAL LEBIH DALAM PROSTITUSI

DI INDONESIA

Mereka hanya menikmati tubuh molek yang terjaja,


Tetapi mereka tidak berkenan disuguhi kisah pilu wanita komersial

Pelacuran, praktek prostitusi, seks komersial, bisnis esek-esek,


lonte, adalah terminologi bahasa yang mempunyi makna aktivitas yang
melibatkan wanita sebagai penjaja cinta dan tubuh, dan kaum pria
sebagai pembeli, dimana mereka melakukan transaksi hubungan badan.
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pertukaran
hubungan seksual dengan uang atau hadiah sebagai suatu transaksi. Kata
pelacur sendiri memiliki makna seseorang atau individu yang melakukan
perbuatan yang tidak baik. Prostitusi telah ada sejak lama dan berjalan
seiring dengan sejarah peradaban manusia.
Didalam

buku

Pelacuran

di

Indonesia:

Sejarah

dan

Perkembangannya yang ditulis oleh Terence H.Hull dan Gavin W Jones,


pelacuran modern di Indonesia dibangun sejak zaman Kerajaan Mataram.
Yang dimana perdagangan perempuan saat itu sebagai pelengkap dari
sistem pemerintahan feodal. Seorang raja memiliki kekuasaan yang
bersifat agung dan mulia, Raja dianggap menguasai segalanya, tidak
hanya wilayah, tanah, harta, benda, tetapi juga berkuasa atas kehidupan
serta nyawa rakyatnya.

Kekuasaan raja

yang

tidak

terbatas

juga

dapat

dilihat dari

banyaknya jumlah selir yang dimiliki, semakin banyak selir semakin


kuatlah posisi seorang raja dimata rakyatnya, karena dari beberapa selir
yang dimiliki raja merupakan putri bangsawan yang menguasai suatu
daerah yang kemudian diserahkan kepada raja sebagai tanda kesetiaan
orang tuanya. Sebagian selir lainnya merupakan kiriman dari kerajaan lain
untuk menjaga hubungan baik. Mempersembahkan saudara atau anak
perempun kepada raja merupakan cerminan sebuah sikap dukungan
politik, keagungan dan kekuasaan seorang raja.
Pada awal abad 17, periode penjajahan Belanda bentuk dari industri
seks

semakin

terorgarnisir

berkembang

pesat.permintaan

untuk

memenuhi kebutuhan seksual dari pejabat VOC, pedagang Eropa, hingga


serdadu VOC semakin meningkat. Banyaknya tenaga kerja laki-laki yang
datang ke Indoensia tanpa membawa serta pasangannya telah membuat
adanya pelayanan seks ini. Hal ini pun direspon oleh masyarakat pribumi,
terutama dari kalangan rakyat jelata dengan motif ekonomi untuk
mendapatkan imbalan materi.
Pada

tahun

1852,

pemerintah

Hindia

Belanda

mengeluarkan

peraturan baru yang menyetujui adanya aktivitas komersialisasi industri


pemuasan nafsu syahwat. Dalam pasal 2, wanita komersial diawasi
secara langsung oleh polisi, wanita komersial wajib memiliki kartu
kesehatan dan wajib secara rutin menjalani tes kesehatan untuk
mendeteksi adanya penyakit kelamin.
Aktifitas

pelacuran

juga

semakin

merambah

dalam

kegiatan

masyarakat, seperti tari tradisional Jaipong, Lenong, Ronggeng, Ledek,


Tayuban yang menampilkan wanita sebagai bintang utama dalam
pementasannya sangat menggoda penontonnya. Tetapi tidak semua
kelompok kesenian tradisional yang mengijinkan anggotanya mencari
penghasilan lain dengan penonton. Tahun 1884, pembangunan jalur
kereta api yang menghubungkan kota-kota di Jawa seperti Batavia, Bogor,
Cianjur, Bandung, Cilacap, Yogyakarta dan Surabaya merupakan tempat
timbulnya pelacuran. Kegiatan prostitusi berkembang untuk melayani
2

para pekerja bangunan. Oleh karena itu, tidak mengherankan mengapa


banyak kompleks pelacuran tumbuh di sekitar stasiun kereta api.
Pada

masa

penjajahan

Jepang

bisnis

prostitusi

semakin

berkembang, maka bukan perkara sulit untuk mendapatkan wanita


penghibur. Bentuk prostitusi ini terstruktur sangat rapi, mulai dari
perekrutan, penyeleksian, penempatan di rumah bordil, dan tamu-tamu
yang harus dilayani. Pada masa ini wanita penghibur disebut Lanfu, lanfu
ini berasal dari banyak golongan. Ada yang berasal dari keluarga pegawai
Pangreh Raja, kalangan terpelajar yang terjebak janji-janji pemerintahan
Jepang untuk disekolahkan keluar negeri, dan ada yang berasal dari
perempuan-perempuan desa yang berpendidikan rendah.
Salah satu kawasan bisnis prostitusi yang terkenal di Indonesia
khususnya Surabaya adalah Dolly. Siapa yang tidak mengenal Dolly? salah
satu kawasan atau tempat yang menjadi ikon ternama Kota Surabaya.
Dikutip dari Lilik Sulistyowati, pendiri LSM Abdi Asih, pada mulanya Dolly
merupakan kawasan pemakaman China didaerah pinggiran kota yang
sepi. Tahun 1967, seorang mantan pelacur berdarah Jawa-Filipina bernama
Dolly Khavit membuka rumah pelacuran di kawasan Kembang Kuning.
Dolly sendiri adalah seorang wanita yang menjalani perubahan identitas
menjadi seorang laki-laki setelah sakit hati ditinggal oleh suaminya yang
seorang pelaut. Perubahan gender ini lantas membuat Dolly menikahi
beberapa orang wanita, yang juga ia pekerjakan di rumah bordil yang
dikelolanya.
Dianggap menyimpang oleh masyarakat lantaran usahanya yang
menjual wanita penghibur, Dolly terpaksa memindahkan usahanya di
Jalan Dukuh Kupang Timur I. Kemudian nama Dolly diabadikan sebagai
nama daerah tersebut. Tahun 1980-an, gang Dolly semakin marak sebagai
kawasan pelacuran. Selain memiliki lokasi yang strategis ditengah kota
dan dikelilingi pemukiman padat, Dolly mempunyai daya tarik yang
mampu menarik para lelaki penggemar pemuas birahi, seperti harga yang
yang tidak perlu banyak menguras kantong. Para mucikari mematok

harga 85.000 sampai 150.000, untuk dua kali main atau satu setengah
jam berkencan.
Berdasarkan data yang dimiliki Abdi Asih, penjaja seks dikawasan ini
kurang lebih sebanyak 2.500 orang yang berasal dari daerah luar
Surabaya, seperti Kediri, Blitar, Jombang, Malang, Banyuwangi, Madura,
Sragen, Pekalongan, Tegal, Cirebon, Indramayu, Sukabumi, hingga luar
Jawa seperti Sumatera, Bali, Nusa Tenggara dan Sulawesi. Tidak dapat
dipungkiri berdirinya Dolly memicu perputaran perekonomian

bagi

masyarakat yang mencari nafkah di sekitar daerah prostitusi tersebut,


contoh lapangan kerja non formal yang sangat bergantung akan kehadiran
tempat prostitusi ini seperti tukang becak, penjaga parkir, pedagang
rokok, penjaja makanan keliling, termasuk para pengunjung dan penghuni
lokalisasi.
Namun dampak negatif lebih banyak dirasakan bagi masyarakat
Surabaya khususnya dalam segi kehidupan sosial dan kesehatan. Pada
tahun 1950-1960an penderita penyakit kelamin spisilis atau raja singa ini
semakin

merebak,

terjangkitnya

virus

HIV/AIDS

pun

tidak

kalah

mengancam kehidupan para pelaku dan para pelanggan bisnis prostitusi


ini. Selain sebagai penyebab utama penyebaran penyakit mematikan,
banyak kelompok yang ingin menutup tempat prostitusi ini karena
dianggap sebagai sumber maksiat, zina dan penuh dosa. Karena itulah
segala bentuk prostitusi wajib untuk diperangi.
Pengaruh lain dari keberadaan lokalisasi ini adalah semakin
meningkatnya kasus kriminalitas seperti penggunaan obat terlarang,
minuman beralkohol, dan cara memperoleh uang dengan jalan pintas
seperti mencuri, menjambret, menodong bahkan merampok menjadi
pilihan alternatif bagi mereka yang ingin sekedar mencari kepuasaam,
kesenangan dan kebahagiaan sesaat. Kasus kriminal lainnya yang sering
terjadi adalah penganiayaan perempuan pekerja seks dan tidak mau
membayar setelah berkecan dengan pekerja seks. Pengaruh lainnya
dalam kehidupan sosial bermasyarakat, maraknya kasus trafficking atau
perdagangan anak dibawah umur untuk memenuhi kebutuhan dan
4

kepentingan para germo guna menjaga bisnisnya. Berbagai macam cara


perekrutan untuk memeperoleh wanita penghibur, yakni :
1. Metode perekrutan langsung dengan sistem jemput bola. Layaknya
seorang

makelar

yang

mencari

informasi

tentang

keberadaan

keluarga miskin, wanita dengan permasalahan ekonomi dengan


iming-iming akan diberikan solusi berupa pekerjaan dengan upah
yang menjanjikan. Namun, banyak juga para korban dijual oleh orang
tua atau suaminya karena terjerat dalam permasalahan ekonomi.
2. Selain menjadi korban trafficking, banyak juga wanita dengan sengaja
menyerahkan diri untuk digagahi, sebagai penghibur dan pemuas
hasrat dan birahi. Biasanya wanita-wanita ini memiliki pengalaman
pribadi sehingga mendorong dirinya untuk bekerja sebagai pekerja
seks komersial.
Tidak dapat dipungkiri, maraknya praktek prostitusi dalam beberapa
dekade disebabkan oleh kemiskinan. Pengaruh ekonomi dan uang
semakin mengakar luas disemua kalangan, tidak memandang kehidupan
dikota maupun didesa. Kemiskinan inilah membuat orang-orang yang
tidak mempunyai pekerjaan tetap dan tidak mempunyai uang semakin
terpinggirkan

ditengah

derasnya

lalu

lalang

arus

modal

dalam

perekonomian makro. Hal ini diperparah dengan budaya konsumerisme


yang terus merambah kesemua lapisan masyarakat, tingginya angka
kriminalitas, semua faktor ini membuktikan pemerintah telah gagal
memberikan dan menjamin kesejahteraan rakyatnya.
Sudah

menjadi

tugas

pemerintah

untuk

terus

meningkatkan

kesejahteraan masyarakat dalam berbagai bidang seperti pendidikan


secara

merata,mengoptimalkan

pelayanan

kesehatan,

memberikan

pelatihan atau mengembangkan potensi-potensi pengangguran guna


menciptakan lapangan pekerjaan baru. Baik pada zaman penjajahan dan
zaman sekarang, perempuan di Indonesia berada pada situasi yang
dirugikan. Karena aktivitas ini telah menempatkan mereka pada posisi
yang tidak menguntungkan baik secara hukum, tidak diterima secara baik

dalam pergaulan sosial masyarakat, dan dirugikan secara kesejahteraan


individu dan sosial.
Dalam pertentangan penuh kontroversi ini, Islam mengatakan
dalam Alquran surah An-nur ayat 2 : Pezina perempuan dan pezina lakilaki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali dan janganlah ada
rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk enjalankan
agama hukum Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian,
dan hendaklah pelaksanaan hukuman mereka dissaksikan oleh sebagian
orang-orang beriman. Dalam surat ini dijelaskan hukuman bagi pelaku
zina, karena itu dapat diambil kesimpulan

dalam Islam segala jenis,

bentuk atau aktivitas prostitusi adalah dosa besar yang membawa


kemudharatan

bagi

pelaku

dan

orang-orang

disekitarnya.

Apapun

alasannya pelacuran tetaplah haram. Larangan ini bertujuan agar setiap


umat Islam menjauhi dan jangan sampai terperosok dalam lingkaran
prostitusi. Tidak ada satupun agama yang membenarkan perzinaan.
Namun demikian, masyarakat tidak seharusnya mengucilkan mereka,
apalagi mereka yang telah bertobat dan menyatakan keluar dari bisnis
prostitusi ini.
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat beranggapan bahwa
pelacur adalah manusia hina, najis dan kotor, bahkan mereka dianggap
tidak memiliki kehormatan diri sebagai manusia. Seharusnya kita kembali
mengkaji stigmasi dan dogma yang melekat bahwa pekerja seks
komersial ini seakan dianggap paling buruk dan hina dalam pergaulan
sosial dibandingkan dengan perbuatan korupsi, manipulasi, makelar kasus
yang mengeksploitasi ambisi pribadi.
Ketika kita melihat relita sosial yang lebih luas lagi, tindakan para
penegak hukum lebih gencar menertibkan para wanita pekerja seks,
sedangkan untuk melakukan tindakan hukum terhadap orang-orang yang
mengeksploitasi nafsu, ambisi, keserakahan akan harta, jabatan dan
kekuasaan berjalan sangat lamban dan seringkali tidak tersentuh. Padahal
para oknum-oknum inilah yang menyebabkan para wanita tidak memiliki
pilihan lain selain merelakan tubuhnya digagahi pria lain. Sesungguhnya
6

tidak ada wanita yang ingin terjebak dalam bisnis prostitusi, ini semua
diluar kehendak mereka.
Didalam surah Al-anbiya ayat 107 dan tidaklah kami mengutus
Muhammad SAW melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam .
hadirnya Islam sebagai rahmatan lil alamin seharusnya bisa menjadi
inspirasi

bagi

penganutnya

untuk

bisa

memberi

rahmat

kepada

masyarakat sekitarnya, termasuk PSK yang memiliki niat tulus untuk


bertobat keluar dari kubangan maksiat selama ini.
Mari kita belajar mendengar , melihat dan mengkritisi permasalahan
ini. Agar faktor-faktor klasik seperti faktor ekonomi, rendahnya tingkat
pendidikan tidak menjadikan suatu alasan untuk berkecimpung dalam
dunia prostitusi. Dengan ikut andil melakukan pendekatan terhadap
pekerja seks komersial, memahami latar belakang permasalahannya, dan
memberikan

pelatihan

berupa

keterampilan-keterampilan

seperti

menjahit, mendaur ulang barang bekas dan keterampilan lainnya. Yang


dimana

hasil-hasil

dari

keterampilan

ini

dapat

menghasilkan

nilai

ekonomis dan memberikan pendalaman pemahaman agama kepada para


pekerja seks komersial. Permasalahan ini harus kita pikirkan solusinya
secara bersama-sama tanpa harus berbuat anarkis.
Islam sangatlah peduli pada segi religiusitas manusia yang bersifat
subtil dan lebih berkaitan dengan kerohanian. Nabi SAW bersabda Allah
tidak meihat segi lahiriah manusia, melainkan hati atau segi batin
manusia . Mencegah pemelacuran bukanlah semata tugas para tokoh
Agama, bukan semata tugas pemerintah, bukan semata tugas para
Lembaga Swadaya Masyarakat, tetapi ini menjadi tugas kita semua
sebagai warga negara Indonesia. Sudah menjadi tugas, kewajiban dan
tanggungjawab kita untuk membeskan diri dari kemiskinan, kebodohan,
dan berbagai masalah sosial masyarakat lainnya.

Oleh : Mauliyah Izzaty

SUMBER BACAAN
Prastya Cornelius RK dan Darma Adi , Dolly ( Kisah Pilu Yang
Terlewatkan ), Pustaka Pena. Yogyakarta 2011

Anda mungkin juga menyukai