Anda di halaman 1dari 36

FAKULTAS KEDOKTERAN USAKTI

(UNIVERSITAS TRISAKTI)
Jl. Kyai Tapa Jakarta Barat
KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN USAKTI
Hari/Tanggal Ujian/Presentasi Kasus:
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT: RSAU dr Esnawan Antariksa
Nama Mahasiswa: Andrianus Stevanus Dau

Tanda Tangan

Nim

....................

: 030.08.027

Dr. Pembimbing / Penguji: dr Flora Sp.P / dr. Suryantini Sp.PD

....................

IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. Siarmy Chaniago Karwi
Tempat /tanggal lahir : 10/11/1942
Status Perkawinan : Kawin
Pekerjaan : Pensiunan
Alamat : PERUM GMS BLOK BD-6

Jenis Kelamin : Laki-laki


Suku Bangsa : Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Tanggal masuk RS : 29 agustus 2016

RT/RW 04/04
A. ANAMNESIS
Diambil dari : Autoanamnesis pada tanggal 7 September 2016
Keluhan utama :
Nyeri dada dan sesak
Riwayat Penyakit Sekarang :
OS datang dengan keluhan muntah lebih dari 10 kali sejak 1 hari SMRS. Keluhan muntah
juga disertai oleh rasa mual, badan terasa lemas dan nyeri ulu hati yang terus menerus. OS juga
mengeluh batuk yang dirasakan sejak 2 hari SMRS. Batuk berdahak warna putih tanpa adanya
darah. OS juga merasa sesak bila batuk, namun keluhan nyeri dada disangkal oleh OS. Keluhan
demam, penurunan berat badan, keringat malam hari disangkal oleh OS. OS mengaku nafsu
1

makan menurun sedangkan BAB dan BAK normal setiap hari. OS mengaku memiliki riwayat
penyakit maag sejak usia muda, tekanan darah tinggi, dan kencing manis yang didiagnosis sejak
tahun 2007 dan OS mendapat terapi insulin sejak 2 tahun yang lalu. OS mengaku rutin kontrol ke
rumah sakit dan rutin mengkonsumsi obat. OS juga memiliki riwayat penyakit ginjal dan
membatasi minum air 1000 cc perhari. OS tidak memiliki kebiasaan merokok maupun minum
minuman beralkohol.
Riwayat Penyakit Dahulu
OS mengaku memiliki riwayat penyakit maag sejak usia muda, tekanan darah tinggi, dan
kencing manis yang didiagnosis sejak tahun 2007 dan OS mendapat terapi insulin sejak 2 tahun
yang lalu. OS mengaku rutin kontrol ke rumah sakit dan rutin mengkonsumsi obat. OS juga
memiliki riwayat penyakit ginjal dan membatasi minum air kurang lebih 1000-1500 cc perhari.
OS mengaku belum pernah menjalani terapi cuci darah. Riwayat penyakit lainnya seperti
penyakit jantung, stroke, dan alergi terhadap obat ataupun makanan disangkal oleh pasien. Os
memiliki riwayat trauma pada pergelangan tangan kiri akibat jatuh di kamar mandi pada 1 bulan
SMRS dan trauma pada pinggul kanan akibat kecelakaan pada tahun 2015.
Riwayat Pengobatan
Humalog 2x1 pagi dan sore (16 dan 10 unit), Bicnat 3x1, Antasida Doen 3x1,
Lansoprazole 2x1, Amlodipine Besylate 1x1, Folic Acid 2x1, Valesco 80 1x1, Simvastatin 1x1,
Allopurinol 100 2x1, Hi Bone 1x1
Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit

Ya

Tidak

Alergi

Asma

Tuberkulosis

Artritis

Rematisme

Hubungan

Hipertensi

Ibu

Kencing Manis

Ayah

Jantung

Ginjal

B. PEMERIKSAAN JASMANI
Pemeriksaan Umum
Keadaan umum

: Tampak Sakit Sedang

Kesadaran

: Compos Mentis, GCS = E4M6V5 (15)

Tekanan Darah

: 130/80 mmHg

Nadi

: 84 x /menit, reguler

Suhu

: 36oC

Pernafasaan

: 20 x/menit

SpO2

: 98%

BB

: 60 kg

TB

: 165 cm

Keadaan gizi

: IMT 22 (BB normal)

Akral

: hangat

Kulit
Warna
Jaringan parut
Pertumbuhan rambut
Suhu raba
Keringat : Umum
Setempat
Lapisan lemak

: sawo matang
:: merata
: merata
::: normal

Kelenjar getah bening


Submandibula : tidak teraba membesar
Supraklavikula : tidak teraba membesar
Lipat paha
: tidak dilakukan
Kepala
Ekspresi wajah: wajar
Rambut : normal, beruban

Effloresensi
Pigmentasi
Pembuluh darah
Lembab / kering
Turgor
Ikterus
Lain-lain

:: normal
: normal, kolateral (-)
: Lembab
: Baik
::-

Leher : tidak teraba membesar


Ketiak : tidak dilakukan

Simetri muka
: simetris
Pembuluh darah temporal: tidak tampak kelainan

Mata
Exophthalamus
:Kelopak
: edema (-), hiperemis (-)
Konjungtiva
: anemis (-)
Sklera
: ikterik (-)
Lapangan penglihatan: normal

Enopthalamus
Lensa
Visus
Gerakan mata
Tekanan bola mata

:: jernih
: tidak dinilai
: normal
: normal
3

Deviatio konjugate

: -

Nistagmus

Telinga
Tuli
: -/Lubang
: lapang di kedua telinga
Serumen
: -/Cairan
: -/Kulit
Warna
: sawo matang
Jaringan parut
:Pertumbuhan rambut
: merata
Suhu raba
: merata
Keringat : Umum
:Setempat
:Lapisan lemak
: normal
Lain-lain
:Mulut
Bibir
Langit-langit
Gigi geligi
Faring
Lidah
Leher
Kelenjar tiroid
Kelenjar limfe

: normal
: tidak bercelah
: tidak tampak caries
: tidak hiperemis
: tidak kotor

:-

Selaput pendengaran : utuh


Penyumbatan
: -/Pendarahan
: -/-

Effloresensi : Pigmentasi
: normal
Pembuluh darah : normal, kolateral (-)
Lembab / kering : Lembab
Turgor
: Baik
Ikterus
:Edema
:-

Tonsil
Bau pernapasan
Trismus
Selaput lendir

: T1 T1
: normal
:: tidak hiperemis

: dalam batas normal


: dalam batas normal

Dada
Bentuk
: simetris
Pembuluh darah : tidak ada kolateral
Buah dada
: simetris, normal
Paru-paru
Inspeksi

Palpasi

Perkusi

Depan
Kiri
simetris saat statis dan dinamis
Kanan simetris saat statis dan dinamis

Belakang
simetris saat statis dan dinamis
simetris saat statis dan dinamis

Kiri

sela iga normal, benjolan (-),


nyeri tekan (-), fremitus normal
sela iga normal, benjolan (-),
nyeri tekan (-), fremitus normal
Sonor
Sonor

sela iga normal, benjolan (-),


nyeri tekan (-), fremitus normal
Kanan sela iga normal, benjolan (-),
nyeri tekan (-), fremitus normal
Kiri
Sonor
Kanan
Sonor

Auskultasi

Kiri
Kanan

Jantung
Inspeksi
Palpasi

Vesikuler , ronkhi -/-, wheezing -/Vesikuler , ronkhi -/-, wheezing -/-

Vesikuler , ronkhi -/-, wheezing -/Vesikuler , ronkhi -/-, wheezing -/-

Ictus cordis tidak terlihat


Ictus cordis tidak teraba
Batas atas: sela iga 2 garis parasternalis kiri
Batas kanan: sela iga 5, garis mid klavikularis kanan
Batas kiri: sela iga 6, garis axilaris anterior kiri
BJ I-II normal, reguler, murmur (-), gallop (-)

Perkusi
Auskultasi

Pembuluh Darah
Arteri Temporalis

: Teraba pulsasi

Arteri Karotis

: Teraba pulsasi

Arteri Brakhialis

: Teraba pulsasi

Arteri Radialis

: Teraba pulsasi

Arteri Femoralis

: Teraba pulsasi

Arteri Poplitea

: Teraba pulsasi

Arteri Tibialis Posterior

: Teraba pulsasi

Arteri Dorsalis Pedis

: Teraba pulsasi

Perut
Inspeksi

: agak membuncit, tidak tampak pembuluh darah kolateral

Palpasi

Dinding perut

: supel, nyeri tekan epigastrium (+), massa (-)

Hati

: tidak ada pembesaran

Limpa

: tidak ada pembesaran

Ginjal

: ballotemen (-)

Lain-lain

Perkusi

: timpani, shifting dullness (-), nyeri ketok CVA (-)

Auskultasi

: bising usus (+) normal

Alat Kelamin: tidak dilakukan pemeriksaan


Anggota Gerak
5

Lengan

Kanan

Kiri

Otot
Tonus

Normotonus

Normotonus

Massa

Normal

Normal

Sendi

Aktif, tidak ada tahanan

Gerakan

Aktif

Aktif

Kekuatan

+5

+5

Lain-lain

Tungkai dan Kaki

Aktif, tidak ada tahanan

Kanan

Kiri

Luka

Varises

Otot

Sendi

Aktif

Aktif

Gerakkan

Aktif

Aktif

Kekuatan

+5

+5

Edema

Lain-lain

Normotonus, massa normal

Normotonus, massa normal

Refleks

Refleks Tendon
Bisep
Trisep
Patella
Achiles
Kremaster

Kanan

Kiri

+
+
+
+
Tidak dilakukan

+
+
+
+
Tidak dilakukan

+
-

+
-

Refleks kulit
Refleks patologis

C.

LABORATORIUM

&

PEMERIKSAAN

PENUNJANG LAINNYA
Pemeriksaan Laboratorium Harian
6

Hb
Leukosit
Trombosit
HT
Eritrosit
Kreatinin
Basofil
Eosinofil
Neutrofil

29/8/16
11,9
17600
547000
36%
4.13
1,4
1
2

batang
Neutrofil

86

75

segment
Limfosit
Monosit
LED
Ureum
Kreatinin
GDS

9
2
120
47
1,4
150

16
5
95
5,8
3,3
2,5
47/28

Tumor marker

31/8/16

1/9/16
10,9
18400
573.000
33%

5/9/16
10,7
15400
445.000
33%

8/9/16
12,1
8.400
186.000

11,5
7.800
150.000
33%
58
3,9

2
0
2

90
161
2,16

(CEA)
Pemeriksaan rontgen foto thoraks tanggal 29/8/2016

Cor : sulit dievaluasi


Buldging aortic knob

Pulmo : kesuraman dengan fibrosis di basal kanan kiri dan kanan atas

Sinus costofrenicus kanan kiri tertutup perselubungan

Terdapat gambaran udara usus di subdiafragma kiri

Kesan :

Sesuai gambaran TB lama aktif dengan suspect efusi pleura bilateral yang
sudah berorganisasi

Dilatasi usus halus

Pemeriksaan rontgen foto thoraks tanggal 6/9/2016

Cor : CTR suit dinilai


Buldging aortic knob

Pulmo : Fibroinfiltrat di paracordial kanan kiri dan apek kanan

Sinus costofrenicus kanan kiri suram


7

Tampak bayangan udara usus halus di subdiafragma kiri


- Kesan :

Suspek TB paru lama aktif dengan efusi Pleura bilateral (dibandingan foto
lama ada perbaikan)

Arcu aorta prominen

Suspek meteorismus

Pemeriksaan USG Abdomen tanggal 24/05/2016 pukul 09.42

Hepar:

Besar dan bentuk dalam batas normal. Echostruktur homogen kasar.

Tak tampak lesi fokal patologis/ SOL. Sistim bilier dan vaskuler intrahepatic tak melebar.

Pancreas:

Besar dan bentuk baik. Echostruktur parenkym homogen. Tak tampak SOL. Tak tampak
pelebaran duktus pancreatikus.

Kandung empedu:
8

Besar dan bentuk dalam batas normal. Dinding tidak menebal. Tak tampak batu/ Slodge.

Lien:

Besar dan bentuk normal. Echostruktur parenkym homogeny. Tak tampak lesi fokal
patologis/ SOL. System pembuluh darah baik.

Ginjal:

Besar dan bentuk normal, echostruktur parenkym meningkat.

System pelviokalises tidak melebar. Batas cortex dan medulla baik. Tak tampak batu/
SOL.

Vesika Urinaria:

Besar dan bentuk dalam batas normal. Dinding tidak menebal. Tak tampak batu/ SOL.

Ascites di abdomen atas-bawah.


Efusi pleura kanan-kiri.
Kesan :

Fatty Liver dd. Penebalan parenkim kronik

Nefropati kedua ginjal

Ascites di abdomen atas-bawah

Efusi pleura kanan-kiri

D. RINGKASAN (RESUME)
Pasien wanita usia 58 tahun datang dengan keluhan muntah lebih dari 10 kali sejak 1 hari
SMRS. Mual (+), badan terasa lemas dan nyeri ulu hati yang terus menerus. OS juga mengeluh
batuk yang dirasakan sejak 2 hari SMRS. Batuk berdahak warna putih tanpa adanya darah. OS
merasa sesak bila batuk. Nyeri dada (-), demam (-), penurunan berat badan (-), keringat malam
hari (-). OS mengaku nafsu makan menurun sedangkan BAB dan BAK normal setiap hari. OS
mengaku memiliki riwayat penyakit maag sejak usia muda, tekanan darah tinggi, dan kencing
manis yang didiagnosis sejak tahun 2007 dan OS mendapat terapi insulin sejak 2 tahun yang
lalu. OS mengaku rutin kontrol ke rumah sakit dan rutin mengkonsumsi obat. OS juga memiliki
riwayat penyakit ginjal dan membatasi minum air 1000 - 1500 cc perhari. OS mengaku belum
pernah menjalani terapi cuci darah. OS tidak memiliki kebiasaan merokok maupun minum
minuman beralkohol.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit sedang, dengan
kesadaran compos mentis (GCS :15). Tanda-tanda vital didapatkan tekanan darah 150/80 mmHg,
9

nadi 90 x/menit, reguler, pernafasan 18 x/menit, suhu 36 oC, SpO2 98%. Pada pemeriksaan sistem
didapatkan kelainan bentuk abdomen membuncit dan terdapat nyeri tekan pada epigastrium,
sedangkan pemeriksaan lainnya dalam batas normal.
Pada pemeriksaan penunjang laboratorium hematologi didapatkan gambaran anemia dengan
kadar hemoglobin pada pemeriksaan awal sebesar 7,5 g/dL, disertai penurunan hematokrit
menjadi 22%. Sedangkan pada pemeriksaan kimia darah, didapatkan peningkatan ureum sebesar
77 mg/dL dan kreatinin serum sebesar 3,7 mg/dL dengan kadar gula darah sewaktu sebesar 240
mg/dL, dan didapatkan hiponatremia dengan kadar Na sebesar 123 mg/dL. Pada pemeriksaan
foto rontgen thoraks terakhir pada tanggal 12 Mei 2016 didapatkan kesan kardiomegali. Pada
pemeriksaan USG abdomen didapatkan kesan fatty Liver dd. penebalan parenkim kronik,
nefropati kedua ginjal, ascites di abdomen atas-bawah, serta efusi pleura kanan-kiri. Sedangkan
pada pemeriksaan abdomen 3 posisi didapatkan kesan suspek ascites abdomen.
E.DIAGNOSIS KERJA
1. Pneumonia
2. Efusi pleura
F. DIAGNOSIS DIFERENSIAL
Acute on Chronic Kidney Disease
G. RENCANA PENGELOLAAN
Non Medikamentosa

Diet DM dengan kebutuhan energy 1900 kal, per oral dengan frekuensi 3 kali
makan utama dan 2x selingan

Medikamentosa

IVFD NaCl 3% : Asering 10 tpm

Omeprazole 2x1 ampul inj

Ondansetron 3x4 mg IV

Ulsicral 3x1 C sebelum makan

Obat rutin lanjut : Humalog 2x1 pagi dan sore (16 dan 10 unit), Bicnat 3x1,
Antasida Doen 3x1, Lansoprazole 2x1, Amlodipine Besylate 1x1, Folic Acid 2x1,
Valesco 80 1x1, Simvastatin 1x1, Allopurinol 100 2x1, Hi Bone 1x1

10

H. PROGNOSIS
Ad vitam

: dubia

Ad functionam : dubia
Ad sanationam : dubia

FOLLOW UP
Tanggal
29/8/2016

S
Sesak

Pukul : 12.30

13/5/2016

14/5/2016

O
TD : 13/80 mmHg

A
Observasi

P
IVFD assening : NaCl

HR : 82x/menit

TTV

0,9% 1:1

RR : 20x/menit

Foto thoraks (terlampir)

Suhu : 36C

Cek DPL,LED,Ureum,
Vomitus

Creatinin,GDS.
IVFD Nacl 3% 6 tpm

muntah (-), HR: 95x/menit

(perbaikan)

Obat rutin lanjut

nyeri perut RR : 18x/menit

CKD gr IV

Humalog 6-0-18

sedikit

Anemia

Cek lab rutin + kimia

Mual

Mual

(-), TD : 148/71

Suhu : 36
GDS : 240 mg/dL

elektrolit

Hb: 7,5

Thorax foto

Ht : 22%
(+), TD : 150/80

muntah (-), HR: 100x/menit


nyeri

CKD gr IV

EKG
IVFD Nacl 3% 5 tpm

Anemia

Obat rutin lanjut

ulu RR : 18x/menit

hati sedikit

Transfusi PRC 500 cc

Suhu : 36

pre Lasix 1 amp


Cek DPL 6 jam setelah

15/5/2016

CKD gr IV

transfuse
IVFD Nacl 3% 5 tpm

muntah (-), HR: 95x/menit

Anemia

Obat rutin lanjut

nyeri perut RR : 20x/menit

DM

Tambah

Mual

sedikit
16/5/2016

Mual

(+), TD : 156/70

Suhu : 36
(+), TD : 140/60

Lansoprazol

2x1
CKD gr IV

IVFD Nacl 3% 5 tpm


11

nyeri

ulu HR: 85x/menit

hati (+)

RR : 20x/menit

Anemia

Obat rutin lanjut

DM

Tambah

Suhu : 36

Lansoprazol

2x1

Hb: 11 gr/dL
17/5/2016

18/5/2016

Tidak bisa TD : 142/71

CKD gr IV

IVFD Nacl 3% 5 tpm

BAB, mual HR: 92x/menit

Anemia

Obat rutin lanjut

(+),

DM

Dulcolax 2x1 tab

nyeri RR : 20x/menit

ulu hati (+)


Mual

Suhu : 36
TD : 136/73

Konstipasi
CKD gr IV

IVFD Nacl 3% 6 tpm

berkurang,

HR: 103x/menit

Anemia

Obat rutin lanjut

Perut

RR : 20x/menit

DM

Dulcolax 2x1 tab

kembung,

Suhu : 36

Konstipasi

Enzyplex 3x1

shifting dullness (-)


Perut masih TD : 160/88

CKD gr IV

IVFD Asering 7 tpm

kembung,

Anemia

Obat rutin lanjut

DM

Laxadin syr 1x15 mg

BAB hanya NT abdomen (-),


sedikit

BU (+) menurun,
hipertimpani,

20/5/2061

HR: 111x/menit

tidak

bisa RR : 20x/menit

tidur

Suhu : 36

Konstipasi

NT abdomen (-),
BU (+), timpani
21/5/2016

22/5/2016

23/5/2016

Batuk

(+) TD : 143/70

CKD gr IV

IVFD Asering 7 tpm

tidak

HR: 96x/menit

Anemia

Obat rutin lanjut

berdahak,

RR : 18x/menit

DM

Laxadin syr 2x15 mg

mual (+)
Suhu : 36
Batuk tidak TD : 154/77

Konstipasi
CKD gr IV

IVFD Asering 7 tpm

berdahak,

HR: 99x/menit

Anemia

Obat rutin lanjut

mual (+)

RR : 20x/menit

DM

Laxadin syr 2x15 mg

Perut

Suhu : 36
TD : 147/72

Konstipasi
CKD gr IV

IVFD Asering 7 tpm

kembung,

HR: 99x/menit

Anemia

Obat rutin lanjut

Dispepsia

Bromhexine 3x1 tab

batuk

(+), RR : 24x/menit

12

sudah bisa Suhu : 37,5


BAB

PCT 3x1 tab

Pulmo : Rh -/-, Wh
-/NT abdomen (-),
BU

(+),

hipertimpani
Hb : 8,7 gr/dL
24/5/2016

Perut

TD : 160/77

CKD gr IV

IVFD Asering 7 tpm

kembung,

HR: 109x/menit

Anemia

Obat rutin lanjut

Dispepsia

Transfusi

nyeri

ulu RR : 22x/menit

hati

(+), Suhu : 37

BAB (+)

(+)

kantong (205 ml dan

NT abdomen (-),
BU

PRC

249 ml) golongan A+

lemah,

hipertimpani
25/5/2016

Mual

(+), TD : 159/88

muntah (+)

Dispepsia

HR: 105x/menit

Asites

RR : 22x/menit

CKD

IVFD Asering asnet

pada Obat rutin lanjut


USG abdomen

Suhu : 37

Cek

USG : Ascites di

lipase

abdomen

Ranitidin 1x1 tab

atas-

LFT,

amylase,

bawah, Efusi pleura

Laxadine dan dulcolax

kanan-kiri

stop
Duspatalin 2x1
Inj Lasix 2x 20 mg IV

26/5/2016

Nyeri perut TD : 159/88

Dispepsia

berkurang,

HR: 105x/menit

Asites

pada Obat rutin lanjut

BAB (+)

RR : 22x/menit

CKD

Rontgen

Suhu : 37

IVFD Asering asnet


abdomen

posisi

BU (+) menurun,
27/5/2015

NTE (-)
Nyeri perut TD : 155/79

Dispepsia

berkurang,

Asites

HR: 103x/menit

Rencana pulang

pada Obat rutin dilanjutkan


13

BAB

(+), RR : 22x/menit

BAK (+)

CKD

Suhu : 37
NT (+) abdomen

TINJAUAN PUSTAKA
1. Penyakit Ginjal Kronik
Penyakit Ginjal Kronis atau Chronic Kidney Disease adalah suatu prosespatofisiologis
dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada
umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis
yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel, pada suatu derajat yang
memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Uremia
adalah suatu sindrome klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ akibat penurunan
fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik.
Kriteria dari penyakit ginjal kronik adalah :
1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal,dengan atau tanpa
penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:

Kelainan patologik

Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan padapemeriksaan


pencitraan radiologi

2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m selama 3 bulan denganatau tanpa kerusakan
ginjal.
Kriteria Chronic Kidney Disease berdasarkan KDIGO tahun 2012

Prevalensi penyakit gagal ginjal kronik saat ini terus mengalami peningkatan di seluruh
belahan dunia. Diperkirakan lebih dari 50 juta penduduk dunia mengalami PGK dan 1 juta dari
mereka membutuhkan terapi pengganti ginjal. Penelitian di jepang memperkirakan sekitar 13 %
14

dari jumlah penduduk atau sekitar 13,3 juta orang yang memiliki penyakit ginjal kronik pada
tahun 2005.2
Menurut data dari CDC tahun 2010, lebih dari 20 juta warga Amerika Serikat yang menderita
penyakit ginjal kronik, angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunya. Lebih dari 35% pasien
diabetes menderita penyakit ginjal kronik, dan lebih dari 20% pasien hipertensi juga memliki
penyakit ginjal kronik dengan insidensi penyakit ginjal kronik tertinggi ditemukan pada usia 65
tahun atau lebih. Studi di Indonesia menyebutkan angka insidensi pasien PGK sebesar 30,7
perjuta penduduk dan angka kejadianya sebesar 23,4 perjuta penduduk.2
Jumlah pasien yang menderita penyakit ginjal kronik diperkirakan akan terus meningkat,
peningkatan ini sebanding dengan bertambahnya jumlah populasi, peningkatan populasi usia
lanjut, serta peningkatan jumlah pasien hipertensi dan diabetes.2
Etiologi Penyakit Ginjal Kronik
Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi, etiologi yang sering menjadi penyebab
penyakit ginjal kronik diantaranya adalah :
1. Glomerulonefritis
Glomerulonefritis (GN) adalah penyakit parenkim ginjal progesif dan difus yang sering
berakhir dengan gagal ginjal kronik, disebabkan oleh respon imunologik dan hanya jenis tertentu
saja yang secara pasti telah diketahui etiologinya. Secara garis besar dua mekanisme terjadinya
GN yaitu circulating immune complex dan terbentuknya deposit kompleks imun secara in-situ.
Kerusakan glomerulus tidak langsung disebabkan oleh kompleks imun, berbagai faktor seperti
proses inflamasi, sel inflamasi, mediator inflamasi dan komponen berperan pada kerusakan
glomerulus.2
Glomerulonefritis ditandai dengan proteinuria, hematuri, penurunan fungsi ginjal dan
perubahan eksresi garam dengan akibat edema, kongesti aliran darah dan hipertensi. Manifestasi
klinik GN merupakan sindrom klinik yang terdiri dari kelainan urin asimptomatik, sindrom
nefrotik dan GN kronik. Di Indonesia GN masih menjadi penyebab utama penyakit ginjal kronik
dan penyakit ginjal tahap akhir.2
2. Diabetes Mellitus
Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karateristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua15

duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang,
disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, syaraf, jantung dan
pembuluh darah. Masalah yang akan dihadapi oleh penderita DM cukup komplek sehubungan
dengan terjadinya komplikasi kronis baik mikro maupun makroangiopati. Salah satu komplikasi
mikroangiopati adalah nefropati diabetik yang bersifat kronik progresif. Perhimpunan Nefrologi
Indonesia pada tahun 2000 menyebutkan diabetes mellitus sebagai penyebab nomor 2 terbanyak
penyakit ginjal kronik dengan insidensi 18,65%.
3. Hipertensi
Hipertensi merupakan salah satu faktor pemburuk fungsi ginjal disamping faktor lain
seperti proteinuria, jenis penyakit ginjal, hiperglikemi dan faktor lain. Penyakit ginjal hipertensi
menjadi salah satu penyebab penyakit ginjal kronik. Insideni hipertensi esensial berat yang
berakhir dengan gagal ginjal kronik <10 %.22 Selain Glomerulonephritis, diabetes mellitus dan
hipertensi, terdapat penyebab lain penyakit ginjal kronik seperti kista dan penyakit bawaan lain,
penyakit sistemik (lupus, vaskulitis), neoplasma, serta berbagai penyakit lainya.
Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik
Penyakit ginjal kronik dapat diklasifikasikan menurut 2 hal yaitu, menurut diagnosis
etiologi dan menurut derajat (stage) penyakit. Menurut diagnosis etiologi, penyakit ginjal kronik
dapat di golongkan menjadi penyakit ginjal diabetes, penyakit ginjal non diabetes, dan penyakit
pada transplantasi sebagai berikut : 2
Tabel 2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Menurut Diagnosis Etiologi2

16

Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium ditentukan oleh nilai laju
filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilailaju filtrasi glomerulus
yang lebih rendah.
LAJU FILTRASI GLOMERULUS =
*pada perempuan dikalikan 0,85
Klasifikasi tersebut membagi penyakitginjal kronik dalam lima stadium. Sesuai rekomendasi The
National Kidney Foundation Kidney Disease Improving Global Outcomes (NKF-KDIGO) tahun
2012, Klasifikasi PGK menurut derajat penyakit di kelompokan menjadi 5 derajat, dikelompokan
atas penurunan faal ginjal berdasarkan LFG, yaitu :
Tabel 3. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Menurut Derajat Penyakit 2

17

Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama.
Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih
tersisa (surviving nefron) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif
seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan hiperfiltrasi, yang diikuti oleh
peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerolus. Proses adaptasi ini berlangsung
singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa skelrosis nefron yang masih tersisa.
Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit
dasarnya sudah tidak aktif lagi.
Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut
memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut.
Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth
factor seperti transforming growth factor (TGF-). Beberapa hal yang juga dianggap berperan
terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi,
hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan
fibrosis glomerolus maupun interstitial.
Perjalanan umum gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi empat stadium. Stadium
ringan dinamakan penurunan cadangan ginjal. Selama stadium ini kreatinin serum dan kadar
BUN normal dan penderita asimptomatik. Gangguan fungsi ginjal mungkin hanya dapat
diketahui dengan memberi beban kerja yang berat pada ginjal tersebut, seperti test pemekatan
kemih yang lama atau dengan mengadakan test LFG yang teliti.
Stadium sedang perkembangan tersebut disebut insufisiensi ginjal, dimana lebih dari 75%
jaringan yang berfungsi telah rusak (LFG besarnya 25% dari normal). Pada tahap ini kadar BUN
18

baru mulai meningkat diatas batas normal. Peningkatan konsentrasi BUN ini berbeda-beda,
tergantung dari kadar protein dalam diet. Pada stadium ini, kadar kreatinin serum juga mulai
meningkat melebihi kadar normal. Azotemia biasanya ringan, kecuali bila penderita misalnya
mengalami stress akibat infeksi, gagal jantung, atau dehidrasi. Pada stadium insufisiensi ginjal
ini pula gejala-gejala nokturia dan poliuria (diakibatkan oleh kegagalan pemekatan) mulai
timbul. Gejala-gejala ini timbul sebagai respons terhadap stress dan perubahan makanan atau
minuman yang tiba-tiba. Penderita biasanya tidak terlalu memperhatikan gejala-gejala ini,
sehingga gejala tersebut hanya akan terungkap dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
teliti.
Stadium berat dan stadium terminal gagal ginjal kronik disebut gagal ginjal stadium akhir
atau uremia. Gagal ginjal stadium akhir timbul apabila sekitar 90% dari massa nefron telah
hancur, atau hanya sekitar 200.000 nefron saja yang masih utuh. Nilai LFG hanya 10% dari
keadaan normal, dan bersihan kreatinin mungkin sebesar 5-10 ml per menit atau kurang. Pada
keadaan ini kreatinin serum dan kadar BUN akan meningkat dengan sangat menyolok sebagai
respons terhadap LFG yang mengalami sedikit penurunan. Pada stadium akhir gagal ginjal,
penderita mulai merasakan gejala-gejala yang cukup parah, karena ginjal tidak sanggup lagi
mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit dalam tubuh. Kemih menjadi isoosmotis
dengan plasma pada berat jenis yang tetap sebesar 1,010. Penderita biasanya menjadi oligourik
(pengeluaran kemih kurang dari 500 ml/hari) karena kegagalan glomerulus meskipun proses
penyakit mula-mula menyerang tubulus ginjal. Kompleks perubahan biokimia dan gejala-gejala
yang dinamakan sindrom uremik mempengaruhi setiap sistem dalam tubuh. Pada stadium akhir
gagal ginjal, penderita pasti akan meninggal kecuali kalau ia mendapat pengobatan dalam bentuk
transplantasi ginjal atau dialisis.
Meskipun perjalanan klinis penyakit ginjal kronik dibagi menjadi empat stadium, tetapi
dalam prakteknya tidak ada batas-batas yang jelas antara stadium-stadium tersebut.
Hemodialisis
Hemodialisis adalah proses pembuangan limbah metabolik dan kelebihan cairan tubuh
melalui darah. Hemodialisis merupakan salah satu terapi pengganti ginjal selain transplantasi
ginjal bagi pasien penyakit ginjal kronik. Pada hemodialisis, penyaringan terjadi di luar tubuh
menggunakan mesin dialisis. Prinsip utama hemodialisis adalah difusi partikel melewati suatu
membran semipermeabel dengan kompartemen dialisat. Tujuan utama dari hemodialisis adalah
untuk mengembalikan kedaan cairan intraselular dan ekstraseslular ke keadaan normal.

19

Indikasi terapi dialisis pada gagal ginjal kronik adalah jika laju filtrasi glomerulus
<5ml/menit/1,73m2 atau memenuhi salah satu kriteria:
1. Keadaan umum buruk dengan gejala uremi
2. K serum < 6 mEq/L
3. Ureum darah >200 mg/dl
4. pH darah < 7,1
5. Anuria berkepanjangan (>5 hari)
6. Fluid overloaded
Komplikasi dari terapi hemodialisis antara lain demam, hipotensi, hemolisis, demensia,
kejang, perdarahan daan nyeri otot. Selain itu dapat pula terjadi reaksi hipersensifitas terhadap
dialiser, thrombosis, iskemia, serta amiloidosis yang berhubungan dengan dialisis. Komplikasi
lain yang dapat terjadi pada pasien hemodialisis adalah terjadinya dialysis disequilibrium
syndrome, gejala dan tanda dari sindrom ini diantaranya adalah pusing, edema cerebri,
peningkatan tekanan intra cranial, koma, hingga dapat menyebabkan kematian.

Penatalaksanaan
A. Memperlambat Progresi
Mengobati underlying disease pada CKD sangat penting. Mengontrol diabetes harus dilakukan
secara agresif pada CKD stage awal, mengontrol tekanan darah sangat penting untuk
memperlambat progresivitas pada setiap stage CKD, obat-obatan yang memblok sistem renninangiotensin-aldosteron cukup penting apabila terjadi proteinuria. Terapi oral alkali dapat
memperlambat progresivitas CKD saat muncul asidosis metabolik.
B. Pengaturan Makanan
Setiap pasien CKD harus dievaluasi oleh renal nutritionist. Spesifik rekomendasi mengenai
kebutuhan protein, garam, cairan, potassium, dan fosfat dapat membantu mengelola progresifitas
CKD dan komplikasinya.
1. Restriksi protein, 0,8gr/KgBB/hari
2. Restriksi garam dan cairan, 2gr/hari garam merupakan rekomedasi awal,
sedangkan kebutuhan cairan harus diatur sesuai dengan balance cairan pasien.
20

3. Restriksi Potasium, hal ini dibutuhkan apabila GFR turun sampai 1020mL/min/1,73m2 atau apabila terjadi hiperkalemi, maka kebutuhan potasium
harus dibatasi < 50-60 mEq/hari (2gr)
4. Restriksi Fosfat, kadar fosfat harus dalam range normal sekitar <4,5mg/dL
sebelum melakukan dialysis, antara 3,5-5,5mg/dL saat dialysis, dan pada
makanan sehari-hari sekitar 800-1000mg/hari. Makanan yang kaya akan
potassium seperti minuman bersoda, telur, produk susu, kacang-kacangan, dan
daging harus dibatasi.
C. Obat-obatan
Banyak obat-obatan yang diekskresikan di ginjal, dosisnya harus diatur sesuai dengan GFR.
Dosis insulin harus disesuaikan. Obat-obatan yang mengandung magnesium seperti laxantive
atau antacid harus dihindari, begitu juga dengan obat-obatan yang mengandung fosfat.
Metabolism morfin akan bertambah pada CKD stage akhir, namun masal ini tidak ditemui pada
pemberian opiod agent. Obat-obatan yang bersifat nefrotoksik (NSAID, intravenous contrast, dll)
harus dihindarkan.

2. Penyakit Ginjal Kronik dan Anemia


Definisi
Anemia merupakan manifestasi klinik penurunan sel darah merah pada sirkulasi dan
biasanya ditandai dengan penurunan konsentrasi hemoglobin (Hb). Anemia didefinisikan dari
National Kidney Foundation Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (NKF/K-DOQI)
sebagai konsentrasi hemoglobin (Hb) yang kurang dari 13,5 g/dL pada laki-laki dewasa dan
kurang dari 12 g/dL pada wanita dewasa. Anemia bukanlah suatu diagnosis, melainkan suatu
cerminan perubahan patofisiologik yang mendasar yang diuraikan melalui anamnesis yang
seksama, pemeriksaan fisik, dan konfirmasi laboratorium. (11)
Anemia merupakan komplikasi yang sering terjadi pada gagal ginjal kronik. Anemia pada
penyakit ginjal kronik muncul ketika klirens kreatinin turun kira-kira 40 ml/mnt/1,73m2
permukaan tubuh, dan hal ini menjadi lebih parah dengan semakin memburuknya fungsi ekskresi
ginjal. Terdapat variasi hematokrit pada pasien penurunan fungsi ginjal. Kadar nilai hematokrit
dan klirens kreatinin memiliki hubungan yang kuat. Kadar hematokrit biasanya menurun, saat
21

kreatinin klirens menurun sampai kurang dari 30-35 ml per menit. Anemia pada gagal ginjal
merupakan tipe normositik normokrom apabila tidak ada faktor lain yang memperberat seperti
defisiensi besi yang terjadi pada gagal ginjal. Anemia ini bersifat hiporegeneratif. Jumlah
retikulosit yang nilai hematokrit nya dikoreksi menjadi normal, tidak adekuat.(6, 11)
Insidensi
Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan salah satu penyakit yang memiliki risiko
morbiditas dan mortalitas yang tinggi di dunia, kurang lebih 26 juta orang dewasa di Amerika
dan warga negara lain berisiko terkena gagal ginjal kronik. Insiden dan prevalensi gagal ginjal
meningkat pada setiap tahunnya, outcome yang rendah, dan biaya pengobatan yang tinggi.
Banyak pasien dihadapkan pada problem medis yang berhubungan dengan gagal ginjal kronik,
salah satu dan mayoritas problem tersebut adalah anemia, yang berkembang sejak awal pasien
terkena gagal ginjal kronik dan berkontribusi pada penurunan kualitas hidup pasien. Hal ini
ditunjukkan dengan meningkatnya kemungkinan efek samping yang terjadi, termasuk
komplikasi dan kematian karena penyakit kardiovaskuler(11).
Sebuah studi populasi National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) dari
National Institutes of Health and Prevalence of Anemia in Early Renal Insufficiency (PAERI)
menyebutkan bahwa insiden terjadinya anemia adalah kurang dari 10% pada gagal ginjal kronik
stadium 1 dan 2, 20-40% pada gagal ginjal kronik stadium 3, 50-60% pada gagal ginjal kronik
stadium 4, dan lebih dari 70% pada gagal ginjal kronik stadium 5(11).
Sebelum adanya terapi dengan eritropoietin, konsentrasi hemoglobin yang normal hanya
terjadi pada 3% pasien gagal ginjal kronik dengan dialisis, sebagian besar pasien memiliki nilai
hemoglobin 6-8 g/dL. Pada tahun 1980-an, 10% pasien dialisis memerlukan terapi transfusi
darah (12).
Jenis Anemia Berdasarkan Kemungkinan Etiologi pada Pasien PGK
Banyak faktor yang dapat menjadi etiologi anemia pada pasien penyakit ginjal kronik.
Berbeda pada komplikasi dari penyakit ginjal kronik lain yang akan membaik jika telah
dilakukan hemodialisis, Anemia pada penyakit ginjal kronik akan tetap terjadi meskipun pasien
telah menjalani terapi hemodialisis. Jenis anemia berdasarkan kemungkinan etiologi yang dapat
ditemukan pada pasien PGK yang menjalani hemodialisis reguler yaitu anemia post hemoragik,
anemia defisiensi besi, anemia penyakit kronik, anemia hemolitik.
Anemia post hemoragik
22

Pasien dengan penyakit ginjal kronis memiliki risiko kehilangan darah yang disebabkan
oleh disfungsi platelet (trombopati). Salah satu penyebab kehilangan darah pada pasien-pasien
ini adalah dari proses terapi dialisis, terutama hemodialisis. Selain karena hemodialisis, pada
pasien dengan penyakit ginjal kronik juga akan terjadi anemia karena kehilangan darah yang
disebabakan oleh perdarahan saluran cerna.
Penelitian yang telah dilakukan menunjukan bahwa pasien dengan penyakit ginjal kronik
yang menjalani hemodialisis akan kehilangan darah sebanyak 6.27 ml/hari karena perdarahan
saluran cerna, sedangkan pada orang normal hanya kehilangan darah sebanyak 0.83 ml/hari.
Penelitian lainya juga membuktikan bahwa pasien yang menjalani terapi hemodisis akan
memiliki faktor resiko yang lebih tinggi untuk terjadinya perdarahan saluran cerna bagian atas
dibandingkan dengan populasi umum. Selain perdarahan saluran cerna, dapat pula terjadi
perdarahan di retroperitoneal maupun intracranial.
Disfungsi platelet menjadi faktor utama terjadinya perdarahan pada pasien dengan
penyakit ginjal kronik. Disfungsi platelet dapat terjadi karena kelainan intrinsik dari platelet serta
gangguan interaksi platelet-pembuluh darah. Disfungsi platelet dapat disebabkan karena uremic
toxin pada pasien penyakit ginjal tahap lanjut. Respon normal pada perdarahan yaitu aktivasi
platelet, recruitment, adhesi dan agregasi menjadi tidak efektif pada pasien dengan penyakit
ginjal kronik. Terapi dialisis dapat mengurangi disfungsi dan kelainan dari platelet, namun tidak
menghilangkan resiko dari perdarahan.
Temuan laboratorium pada anemia karena kehilangan darah secara kronik akan
menunjukan hasil sebagai anemia post hemoragik, kriteria anemia post hemoragik adalah
sebagai berikut: 3

Anemia defisiensi besi


Anemia defisiensi besi merupakan hal yang mudah ditemui di masyarakat umum, sering
pula ditemukan pada pasien diabetes dan penyakit ginjal kronik dengan prevalensi diperkirakan
sekitar 25 hingga 70%.
23

Survey yang dilakukan oleh National Health and Nutrition Examination Survey di
amerika serikat, menunjukan 50% dari pasien dengan penyakit ginjal kronik stadium 2-5
memiliki anemia defisiensi besi. Terganggunya fungsi hepsidin sebagai regulator besi utama
pada tubuh mempengaruhi terjadinya anemia defisiensi besi. Jika cadangan besi terus menurun,
feritin sebagai indikator cadangan besi akan mengalami penurunan. Berkurangnya asupan atau
absorpsi dari besi, perdarahan di saluran cerna, serta naiknya penggunaan besi untuk produksi
eritrosit sebagai respon terapi yang menggunakan erythropoeisis stimulating agents (ESA)
berpengaruh pada anemia defisiensi besi pada PGK. Secara laboratoris, untuk menegakan
diagnosis anemia yang diakibatkan oleh defisiensi besi adalah Morfologi eritrosit yang
hipokromik mikrositer ditambah dengan salah satu kriteria a, b, c, atau d, yaitu:5

Anemia penyakit kronik


Terdapat proses inflamasi kronik pada penyakit ginjal kronik. Bertambahnya sitokin
inflamasi seperti IL-6 akibat proses inflamasi pada penyakit ginjal kronik menaikan produksi dan
sekresi dari hepcidin di hati, hepcidin akan menghambat absorpsi besi di usus serta menghalangi
transport besi dari reticuloendothelial system ke sumsum tulang.
Anemia karena proses inflamasi pada penyakit ginjal kronis dapat dikategorikan sebagai
Anemia penyakit kronis. Anemia penyakit kronis apada umumnya merupakan anemia derajat
sedang, dengan mekanisme yang belum jelas. Anemia karena penyakit kronik merupakan bentuk
anemia terbanyak kedua setelah anemia defisiensi besi. Perkiraan prevalensi penyakit penyebab
anemia karena penyakit kronik ditampilkan pada table dibawah ini6

24

Patogenesis dari anemia pada penyakit kronik adalah komplek serta multifaktorial.
Setidaknya ada tiga mekanisme mayor yang ikut berperan pada anemia pada penyakit kronik,
yaitu :
a. Berkurangnya masa hidup eritrosit
Mekanisme berkurangnya masa hidup eritrosit pada anemia penyakit kronis hingga saat ini
belum sepenuhnya jelas. Teori terbaru mengusulkan bahwa naiknya konsentrasi inflammatory
cytokines

seperti

interleukin-1,

dapat

meningkatkan

kemampuan

makrofag

untuk

menghancurkan erirosit.
b. Terganggunya proliferasi dari progenitor sel eritroid
Pada anemia penyakit kronik, proses proliferasi dari prekusor eriroid terganggu oleh karena dua
penyebab yaitu berkurangnya produksi erythropoietin (EPO), dan efek inhibisi pada sumsum
tulang oleh inflammatory cytokines Saat proses inflamasi, ekspresi dari EPO berkurang atau
terganggu, hal ini disebabkan oleh sitokin membentuk reactive oxygen species (ROS), yang akan
mengganggu proses transkripsi EPO serta merusak sel-sel pembentuk EPO.Selain itu, sitokin
juga dapat merusak sel progenitor erytroid secara langsung melalui pembentukan radikal bebas
seperti nitric oxide atau superoxide anion. Mekanisme penurunan produksi EPO ini belum
diketahui secara pasti. Hal ini dapat terjadi sebagai bagian dari respon fisiologi untuk mencapai
konsentrasi Hb yang turun secara kronik. Secara tipikal, produksi EPO di sel endotelial kapiler
tubulus ginjal bergantung pada mekanisme feed-back untuk mengukur kapasitas pembawa
oksigen total. Faktor penginduksi hipoksia (Hypoxia inducible factor/ HIF), yang diproduksi di
ginjal dan jaringan lain, merupakan substansi pendegradasi spontan yang dihambat adanya
penurunan pembawa oksigen selama anemia atau hipoksemia. Selanjutnya, HIF memicu
transduksi sinyal dan sintesis EPO. Oleh karena itu, respon yang muncul adalah ditingkatkannya
produksi EPO pada anemia. EPO kemudian berikatan dengan reseptor pada sel progenitor
eritroid di sumsum tulang belakang, secara spesifik Burst-Forming Units (BFU-E) dan Colony
Forming Units (CFU-E). Adanya EPO, progenitor eritroid ini berdiferensiasi menjadi retikulosit
25

dan sel darah merah (Red Blood Cells/ RBCs). Ketiadaan EPO memicu program apoptosis, hal
ini dimediasi oleh antigen Fas. Penurunan produksi sel darah merah dan berkelanjutan pada
kehilangan darah karena kematian sel darah merah akan mendorong perburukan anemia (11).
c. Meningkatnya uptake dan retensi besi didalam sel pada sitem retikuloendhotelial
(RES) oleh Hepsidin. Salah satu diagnosis anemia pada penyakit kronik adalah berkurangnya Fe
serum namun disertai normal atau meningkatnya iron stores yang disebabkan peningkatan uptake
dan retensi besi pada RES dengan penyebab utama yaitu hepcidin.
Hepsidin mempunyai peranan penting sebagai hormon regulator keseimbangan besi.
Ekspresi hepcidin dapat meningkat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu kelebihan besi,
inflammatory cytokines serta respon terhadap infeksi.
Penelitian di tahun 2002 menyebutkan bahwa hepsidin kemungkinan mempunyai peran
penting pada mekanisme terjadinya anemia penyakit kronik dengan menghambat penyerapan
besi di usus serta memblokade pelepasan besi oleh makrofag.
Anemia penyakit kronis umumnya berbentuk normokrom-normositer, namun satu
perempat sampai satu pertiga pasien menunjukan gambaran hipokrom dengan MCHC <31 g/dL
dan beberapa mempunyai gambaran mikrositer dengan MCV <80 fL. Pemeriksaan laboraorium
mengenai Anemia pada penyakit kronik akan diperoleh gambaran sebagai berikut:7

Diagnosis
Anamnesis pada anemia dengan gagal ginjal ditanyakan tentang riwayat penyakit
terdahulu, pemeriksaan fisik, evaluasi pemeriksaan darah lengkap dan pemeriksaan apus darah
perifer. Kebanyakan pasien yang tidak memiliki komplikasi, anemia ini bersifat hipoproliferatif
normositik normokrom, apus darah tepi menunjukkan burr cell. Perubahan morfologi sel darah
merah menampilkan proses hemolitik primer, mikroangiopati atau hemoglobinopati. Jumlah total
retikulosit secara umum menurun. Mean corpuscular volume meningkat pada defisiensi asam
26

folat, defisiensi B 12 dan pasien dengan kelebihan besi. Mean corpuscular volume menurun pada
pasien dengan thalasemia, defisiensi besi yang berat, dan intosikasi aluminium yang berat.
Pada era penggunaan rekombinant human eritropoetin (rHuEPO), penilaian terhadap
simpanan besi melalui perhitungan feritin serum, transferin, dan besi sangat diperlukan. Pada
keadaan dimana tidak ada faktor yang memperberat seperti penyakit inflamasi, penyakit hati,
atau respons yang buruk dari rHuEPO, feritin serum merupakan indikator yang tepat dari
simpanan besi tubuh. Jika simpanan menurun, nilai feritin serum menurun sebelum saturasi
transferin. Walaupun penyakit kronik dapat menurunkan besi dan transferin, pasien dengan
saturasi transferin kurang dari 20% dan feritin kurang dari 50 ng/ mm dapat dianggap terjadi
defisiensi besi. Di sisi lain pasien memiliki saturasi lebih dari 20% yang gagal berrespons
terhadap replacement besi harus diperkirakan mengalami intoksikasi aluminium atau
hemoglobinopati. Walaupun alat serologi dapat mengidentifikasi defisiensi besi dengan
spesifisitas, Memastikan dengan pasti penyebab membutuhkan berbagai jalur kehilangan besi
pada pasien tersebut termasuk saluran gastro intestinal (4-5 ml blood loss / hari atau 5 ml
kehilangan besi/ hari), prosedur dialisis (4-50 ml/ terapi dimana mungkin disebabkan karena
antikoagulan yang inadequat dan teknik penggunaan kembali dialister yang buruk), flebotomi
yang rutin untuk kimia darah dan konsumsi besi pada terapi rHuEPO.(6)
Besi merupakan unsur yang terbanyak didapatkan di darah dalam bentuk hemoglobin,
serum iron (SI), total iron binding capacity (TIBC) dan ferritin. Pemeriksaan SI bertujuan
mengetahui banyaknya besi yang ada di dalam serum yang terikat dengan transferin, berfungsi
mengangkut besi ke sumsum tulang. Serum iron diangkut oleh protein yang disebut transferin,
banyaknya besi yang dapat diangkut oleh transferin disebut total iron binding capacity (TIBC).
Ferritin adalah cadangan besi tubuh yang sensitif, kadarnya menurun sebelum terjadi anemia.
Pada anemia tidak selalu terjadi perubahan pada SI, TIBC dan ferritin tergantung pada penyebab
anemia. Pada anemia defisiensi besi dengan pemeriksaan status besi (Fe) didapatkan kadar SI
dan saturasi transferin menurun dan TIBC meningkat atau normal. Perbandingan antara Fe serum
dan TIBC yang dapat diperoleh dengan cara [Fe serum/TIBC] x 100% merupakan nilai yang
menggambarkan suplai Fe ke eritroid sumsum tulang, dan sebagai penilaian terbaik untuk
mengetahui pertukaran Fe antara plasma dan cadangan Fe dalam tubuh. Bila saturasi transferin <
16% menunjukkan suplai besi yang tidak adekuat untuk mendukung eritropoiesis, < 7%
diagnosis anemia defisiensi besi dapat ditegakkan, sedangkan 7-16% dapat digunakan untuk
mendiagnosis anemia defisiensi besi bila didukung oleh nilai MCV yang rendah atau
pemeriksaan lainnya.
Menurut KDIGO, anemia pada pasien gagal ginjal kronik ditetapkan, bila:
27

1. Pada pasien dewasa atau anak usia >15 tahun jika kadar Hb <13 g/dL pada pria
atau <12 g/dL pada wanita.
2. Pada pasien anak jika kadar Hb <11 g/dL (usia 0,5 5 tahun), <11,5 g/dL (usia
5 12 tahun), dan <12 g/dL (usia 12 15 tahun).(9,10)
Pemantauan anemia pada pasien gagal ginjal kronik diperlukan karena hasil penelitian
membuktikan terdapat korelasi positif antara penurunan laju filtrasi ginjal dan insidensi anemia.
Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan-pemeriksaan seperti yang telah
disebutkan di atas. Sebagai panduan umum, KDIGO juga telah mengeluarkan rekomendasi
pemantauan anemia pada pasien gagal ginjal kronik, yakni:
1. Pada pasien gagal ginjal kronik tanpa anemia, lakukan pemantauan kadar
Hemoglobin (Hb) jika terindikasi (setelah tindaka bedah mayor, dirawat, atau
perdarahan) atau secara berkala (tergantung stadium):
a. Setiap tahun pada pasien CKD stage 3
b. Dua kali per tahun pada pasien CKD non hemodialisa
c. Tiap tiga bulan pada pasien CKD stage 5 dengan hemodialisa maupun
peritoneal dialisa
2. Pada pasien PGK dengan anemia tanpa terapi ESA, lakukan pemantauan kadar
Hb jika terindikasi atau secara berkala (tergantung stadium):
a. Tiap tiga bulan pada pasien CKD stage 3-5 dengan hemodialisa dan gagal
b.

ginjal kronik dengan peritoneal dialisa


Setiap bulan pada pasien CKD stage 5 dengan hemodialisa (9,10)

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan anemia ditujukan untuk pencapaian kadar Hb > 10 g/dL dan Ht > 30%,
baik dengan pengelolaan konservatif maupun dengan EPO. Bila dengan terapi konservatif target
Hb dan Ht belum tercapai dilanjutkan dengan terapi EPO. Dampak anemia pada gagal ginjal
terhadap kemampuan fisik dan mental dianggap dan menggambarkan halangan yang besar
terhadap rehabilitasi pasien dengan gagal ginjal terminal . Walaupun demikian efek anemia pada
oksigenasi jaringan mungkin seimbang pada pasien uremia dengan penurunan afinitas oksigen
dan peningkatan cardiac output saat hematokrit dibawah 25 %. Walaupun demikian banyak
pasien uremia memiliki hipertensi dan miokardiopati. Karena tubuh memiliki kemampuan untuk
mengkompensasi turunnya kadar hemoglobine dengan meningkatnya cardiac output. Selain itu
banyak pasien memiliki penyakit jantung koroner yang berat dan walaupun anemia dalam derajat
sedang dapat disertai dengan miokardial iskemik dan angina. Terapi anemia pada gagal ginjal
bervariasi dari pengobatan simptomatik melalui transfusi sel darah merah sampai ke
penyembuhan dengan transplantasi ginjal. Transfusi darah hanya memberikan keuntungan
28

sementara dan beresiko terhadap infeksi (virus hepatitis dan HIV) dan hemokromatosis sekunder.
Peran dari transfusi sebagai pengobatan anemi primer pada pasien gagal ginjal terminal telah
berubah saat dialisis dan penelitian serologic telah menjadi lebih canggih. Transplantasi ginjal
pada banyak kasus, harus menunggu dalam waktu yang tidak tertentu dan tidak setiap pasien
dialisis memenuhi syarat. Terdapat variasi terapi antara transfusi darah dan transplantasi, yaitu:
1.
2.

Suplementasi eritropoetin
Suplementasi besi

1.

Suplementasi eritropoetin
Terapi yang sangat efektif dan menjanjikan telah tersedia menggunakan
recombinant human eritropoetin yang telah diproduksi untuk aplikasi terapi. Seperti
yang telah didemonstrasikan dengan plasma kambing uremia yang kaya eritropoetin,
human recombinant eritropoetin diberikan intravena kepada pasien hemodialisa ,telah
dibuktikan

menyebabkan

peningkatan

eritropoetin

yang

drastis.

Hal

ini

memungkinkan untuk mempertahankan kadar Hb normal setelah transfusi darah


berakhir pada pasien bilateral nefrektomi yang membutuhkan transfusi reguler. Saat
sejumlah erotropoetin diberikan IV 3x seminggu setelah setiap dialisa, pasien reguler
hemodialisis merespon dengan peningkatan Ht dengan dosis tertentu dalam beberapa
minggu. Percobaan menunjukkan bahwa AB yang melawan materi rekombinan dan
menghambat terhadap penggunaan eritropoetin tidak terjadi. Efek samping utamanya
adalah meningkatkan tekanan darah dan memerlukan dosis Heparin yang tinggi untuk
mencegah pembekuan pada sirkulasi ekstra korporial selama dialisis. Pada beberapa
pasien, trombosis pada pembuluh darah dapat terlihat. Peningkatan tekanan darah
bukan hanya akibat peningkatan viskositas darah tetapi juga peningkatan tonus
vaskular perifer. Komplikasi trombosis juga berkaitan dengan tingginya viskositas
darah bagaimanapun sedikitnya satu kelompok investigator terlihat peningkatan
trombosit. Penelitian in vitro menunjukkan efek stimulasi human recombinant
eritropoetin pada diferensiasi murine megakariosit. Lalu trombositosis mungkin
mempengaruhi hiperkoagubilitas. Konsentrasi serum predialisis ureum kreatinin yang
meningkat dan hiperkalemia dapat mengakibatkan berkurangnya efisiensi dializer
karena tingginya Ht dan peningkatan nafsu makan karena peningkatan keadaan
umum. Kecepatan eritropoesis yang dipengaruhi oleh eritropoetin dapat menimbulkan
defisiensi besi khususnya pada pasien dengan peningkatan blood loss. Seluruh
observasi ini mengindikasikan bahwa recombinant human eritropoetin harus
29

digunakan dengan hati-hati. Hal ini juga memungkinkan bahwa kebanyakan efek
samping ini dapat diminimalkan jika nilai Hematokrit tidak meningkat ke normal,
tetapi pada nilai 30-35%. Produksi recombinant human eritropoetin merupakan
manajemen yang utama pada pasien uremia.[7]
Indikasi dan Kontraindikasi terapi EPO
1. Indikasi:
Bila Hb < 10 g/dL, Ht < 30% pada beberapa kali pemeriksaan dan penyebab lain
anemia sudah disingkirkan. Syarat pemberian adalah:
a.
Cadangan besi adekuat : feritin serum > 100 mcg/L, saturasi transferin >
20%
b.
Tidak ada infeksi yang berat
2. Kontraindikasi: hipersensitivitas terhadap EPO
3. Keadaan yang perlu diperhatikan pada terapi EPO, hati-hati pada keadaan:
a.
Hipertensi tidak terkendali
b.
Hiperkoagulasi
c.
Beban cairan berlebih/fluid overload
Terapi Eritropoietin ini memerlukan syarat yaitu status besi yang cukup.
Terdapat beberapa kriteria pengkajian status besi pada gagal ginjal kronis:
a. Anemia dengan status besi cukup
b. Anemia defisiensi besi:
Anemia defisiensi besi absolut : Feritin serum < 100 mcg/L
Anemia defisiensi besi fungsional: Feritin serum > 100 mcg/L
Saturasi Transferin < 20 %.
1.1 Terapi Eritropoietin Fase koreksi:
Tujuan:
Untuk mengoreksi anemia renal sampai target Hb/Ht tercapai.
a. Pada umumnya mulai dengan 2000-4000 IU subkutan, 2-3x seminggu selama
4 minggu.
b. Target respon yang diharapkan :
Hb naik 1-2 g/dL dalam 4 minggu atau Ht naik 2-4 % dalam 2-4 minggu.
c. Pantau Hb,Ht tiap 4 minggu
d. Bila target respon tercapai: pertahankan dosis EPO sampai target Hb tercapai
(> 10 g/dL)
e. Bila terget respon belum tercapai naikkan dosis 50%
f. Bila Hb naik >2,5 g/dL atau Ht naik > 8% dalam 4 minggu, turunkan dosis 25%
g. Pemantauan status besi:
Selama terapi Eritropoietin, pantau status besi, berikan suplemen sesuai dengan
panduan terapi besi.
1.2 Terapi EPO fase pemeliharaan
a. Dilakukan bila target Hb sudah tercapai (>12 g/dL).
Dosis 2 atau 1 kali 2000 IU/minggu Pantau Hb dan Ht setiap bulan Periksa
status besi setiap 3 bulan
30

b. Bila dengan terapi pemeliharaan Hb mencapai > 12 g/dL (dan status besi
cukup) maka dosis EPO diturunkan 25% Pemberian eritropoetin ternyata
dapat menimbulkan efek samping diantaranya:
a. hipertensi:
a. tekanan darah harus dipantau ketat terutama selama terapi eritropoetin
fase koreksi
b. pasien mungkin membutuhkan terapi antihipertensi atau peningkatan
dosis obat antihipertensi
c. peningkatan tekanan darah pada pasien dengan terapi eritropoietin
tidak berhubungan dengan kadar Hb.
b. Kejang:
a. Terutama terjadi pada masa terapi EPO fase koreksi
b. Berhubungan dengan kenaikan Hb/Ht yang cepat dan tekanan darah
yang tidak terkontrol.
Terkadang pemberian EPO menghasilkan respon yang tidak adekwat. Respon
EPO tidak adekwat bila pasien gagal mencapai kenaikan Hb/Ht yang dikehendaki setelah
pemberian EPO selama 4-8 minggu. Terdapat beberapa penyebab respon EPO yang tidak
adekuat yaitu:
a. Defisiensi besi absolut dan fungsional (merupakan penyebab tersering)
b. Infeksi/inflamasi (infeksi akses,inflamasi, TBC, SLE,AIDS)
c. Kehilangan darah kronik
d. Malnutrisi
e. Dialisis tidak adekuat
f. Obat-obatan (dosis tinggi ACE inhibitor, AT 1 reseptor antagonis)
g. Lain-lain
(hiperparatiroidisme/osteitis
fibrosa,
intoksikasi

alumunium,

hemoglobinopati seperti talasemia beta dan sickle cell anemia, defisiensi asam folat
dan vitamin B12, multiple mioloma, dan mielofibrosis, hemolisis, keganasan).
Suplementasi besi
Penggunaan pengikat fosfat dapat mempengaruhi dengan absorpsi besi pada usus.
Monitoring penyimpanan besi tubuh dengan determinasi ferritin serum satu atau dua
kali pertahun merupakan indikasi. Absorpsi besi usus tidak dipengaruhi oleh uremia,
suplementasi besi oral lebih dipilih ketika terjadi defisiensi besi. Jika terapi oral gagal
untuk memperbaiki defisiensi besi, penggantian besi secara parenteral harus dilakukan.
Hal ini dilakukan dengan iron dextran atau interferon. Terapi IV lebih aman dan
nyaman dibanding injeksi intra muskular. Syok anafilaktik dapat terjadi pada 1%
pasien yang menerima terapi besi parenteral. Untuk mengurangi kejadian komplikasi
yang berbahaya ini, pasien harus di tes dengan 5 menit pertama dengan dosis kecil dari
total dosis. Jumlah yang diperlukan untuk replinish penyimpanan besi dapat diberikan
31

dengan dosis terbagi yaitu 500mg dalam 5-10 menit setiap harinya atau dosis tunggal
dicampur dengan normal saline diberikan 5% iron dextran dan diinfuskan perlahan
dalam beberapa jam. Berikut adalah panduan pemberian suplementasi Fe pada pasien
gagal ginjal kronik dengan anemia menurut KDIGO (2012):
a.
Saat memberikan terapi Fe, pertimbangkan rasio risiko-manfaat (meminimalkan
transfusi darah, pemberian ESA, gejala dan komplikasi anemia, serta risiko efek
b.

samping terapi Fe).


Pada pasien PGK dewasa dengan anemia tanpa terapi ESA atau Fe, dianjurkan
pemberian Fe IV sebagai uji coba (trial) jika diinginkan peningkatan kadar Hb

c.

tanpa pemberian ESA atau kadar TSAT 30% dan kadar feritin 500 ng/mL.
Pada pasien PGK dewasa yang tidak mendapat terapi Fe namun mendapat terapi
ESA, dianjurkan pemberian Fe IV sebagai uji coba (trial) jika diinginkan
peningkatan kadar Hb atau penurunan dosis ESA dan TSAT 30% dan kadar

d.

feritin 500 ng/mL.


Pada pasien PGK non-dialisis yang membutuhkan suplementasi Fe, pemilihan
rute pemberian Fe berdasarkan derajat defisiensi Fe, ketersediaan akses intravena,
respons terhadap pemberian Fe oral sebelumnya, efek samping pemberian Fe

e.

oral/IV sebelumnya, tingkat kepatuhan pasien, dan biaya terapi.


Pemberian Fe berikutnya disesuaikan berdasarkan respons Hb, status Fe, respons

f.

terhadap terapi ESA, dan status klinis pasien.


Untuk semua pasien PGK anak dengan anemia yang tidak mendapat terapi Fe
atau ESA, direkomendasikan pemberian Fe oral (atau Fe IV jika menjalani
hemodialisis) saat TSAT 20% dan kadar feritin serum 100 ng/mL.Untuk semua
pasien PGK anak dengan anemia yang mendapat terapi ESA namun tidak
mendapat terapi Fe, direkomendasikan pemberian Fe oral (atau Fe IV jika
menjalani hemodialisis) untuk mempertahankan TSAT >20% dan feritin serum

g.

>100 ng/mL.
Pemantauan status Fe (TSAT dan feritin serum) dilakukan minimal setiap 3 bulan
selama mendapat terapi ESA. Pemantauan dianjurkan lebih sering saat mulai atau
peningkatan dosis terapi ESA, saat terjadi kehilangan darah, pemantauan respons

h.
i.

setelah 1 siklus terapi Fe IV, atau kondisi lain dimana terjadi kehilangan Fe.
Pasien yang mendapat Fe IV dianjurkan untuk dipantau selama 60 menit pasca
infus terhadap terjadinya reaksi alergi.
Hindari pemberian Fe IV pada pasien dengan infeksi sistemik.(9,10)
Selanjutnya, untuk terapi besi fase pemeliharaan, berikut adalah panduan
pemberian suplementasi besi menurut PERNEFRI (2001):
32

a.
b.
c.

Tujuan : menjaga kecukupan persediaan besi untuk eritropoiesis selama


terapi EPO
Target terapi: Feritin serum > 100 mcg/L - < 500 mcg/L
Saturasi transferin > 20 % - < 40 %
Dosis
1)
IV : iron sucrose : maksimum 100 mg/minggu
iron dextran : IV : 50 mg/minggu iron gluconate : IV : 31,25-125

d.
e.

mg/minggu
2)
IM : iron dextran : 80 mg/ 2 minggu
3)
Oral: 200 mg besi elemental : 2-3 x/hari
Status besi diperiksa setiap 3 bulan
Bila status besi dalam batas target yang dikehendaki lanjutkan terapi besi

f.

dosis pemeliharaan.
Bila feritin serum > 500 mcg/L atau saturasi transferin > 40%,

g.

suplementasi besi distop selama 3 bulan.


Bila pemeriksaan ulang setelah 3 bulan feritin serum < 500 mcg/L dan
saturasi transferun < 40%, suplementasi besi dapat dilanjutkan dengan
dosis 1/3-1/2 sebelumnya.

Transfusi Darah
Transfusi darah dapat diberikan pada keadaan khusus. Indikasi transfusi darah
menurut PERNEFRI (2001) adalah:
1. Perdarahan akut dengan gejala gangguan hemodinamik
2. Tidak memungkinkan penggunaan EPO dan Hb < 7 g /dL
3. Hb < 8 g/dL dengan gangguan hemodinamik
4. Pasien dengan defisiensi besi yang akan diprogram terapi EPO ataupun yang telah
mendapat EPO tetapi respon belum adekuat, sementara preparat besi IV/IM belum
tersedia, dapat diberikan transfusi darah dengan hati-hati. Target pencapaian Hb dengan
transfusi darah adalah : 7-9 g/dL (tidak sama dengan target Hb pada terapi EPO).
Transfusi

diberikan

secara

bertahap

untuk

menghindari

bahaya

overhidrasi,

hiperkatabolik (asidosis), dan hiperkalemia. Bukti klinis menunjukkan bahwa pemberian


transfusi darah sampai kadar Hb 10-12 g/dL berhubungan dengan peningkatan
mortalitas dan tidak terbukti bermanfaat, walaupun pada pasien dengan penyakut
jantung. Pada kelompok pasien yang direncakan untuk transplantasi ginjal, pemberian
transfusi darah sedapat mungkin dihindari. Transfusi darah memiliki resiko penularan
Hepatitis virus B dan C, infeksi HIV serta potensi terjadinya reaksi transfusi.[7]
Adapun menurut KDIGO (2012), transfusi darah diberikan pada pasien gagal ginjal kronik
dengan ketentuan:

33

1. Untuk

penanganan anemia kronik, direkomendasikan sedapat mungkin menghindari

transfusi sel darah merah untuk menghindari risikonya. Risiko transfusi darah
diantaranya adalah transfusion error, volume overload, hiperkalemia, keracunan sitrat,
hipotermia, koagulopati, immunologically-mediated transfusion, iron overload, dan
infeksi.
pasien kandidat transplantasi organ, direkomendasikan sedapat mungkin

2. Pada

menghindari transfusi sel darah merah untuk meminimalkan risiko allosensitization.


3. Untuk penanganan anemia kronik, direkomendasikan pemberian transfusi sel darah
merah pada pasien di mana terapi ESA tidak efektif dan risiko terapi ESA melebihi
manfaatnya (misal, riwayat keganasan/riwayat stroke).
4. Pertimbangan untuk memberikan transfusi pasien PGK dengan anemia non-akut tidak
berdasarkan ambang batas kadar Hb, namun berdasarkan gejala anemia.
kondisi klinis akut tertentu, direkomendasikan pemberian transfusi jika manfaatnya

5. Pada

melebihi risiko (meliputi saat koreksi cepat anemia dibutuhkan untuk menstabilkan
kondisi pasien atau saat koreksi Hb pre-operasi dibutuhkan).

34

DAFTAR PUSTAKA
1. National Kidney Foundation, K/DOQI. Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney
Disease : Evaluation, classification, and stratification. Am J Kidney Dis. 2012;39(1)
2. Turgeon ML. Clinical hematology : theory and procedures. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins 2004.
3. Bakta IM. Pendekatan Terhadap Pasien Anemia. In Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et
al., (Eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: InternaPublishing 2009:1109-1115.
4. Bakta IM, Suega K, Dharmayuda TG. Anemia Defisiensi Besi. In Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, et al., (Eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
InternaPublishing 2009:1127-1137.
5. Weiss G, Goodnough LT. Anemia of chronic disease. The New England journal of
medicine. 2005;352(10):1011-1023.
6. Supandiman I, Fadjari H, Sukrisman L. Anemia Pada Penyakit Kronis. In Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, et al., (Eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
InternaPublishing 2009:1138-1140.
7. Perhimpunan Nefrologi Indonesia dalam: Konsensus Manajemen Anemia Pada pasien
Gagal Ginjal Kronik: 2001
8. Schmidt, Rebecca J and Dalton, Cheryl L dalam : Treating anemia of chronic kidney
disease in the primary care setting: cardiovascular outcomes and management
recommendations,

diakses

dari

www.pubmedcentral.nih.gov/artiderender.fcgi?

artid=2147011, 2009.
9. Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) Anemia Work Group. KDIGO
Clinical Practice Guideline for Anemia in Chronic Kidney Disease. Kidney inter., Suppl.
2012;2:279-335.
35

10. Dreke TB, Parfey PS. Summary of the KDIGO guideline on anemia and
comment.Medscape.[internet].2012

[cited

2016

Jun

2].available

from

http://www.medscape.com/viewarticle/774338.
11. Lankhorst, CE dan Wish, JB. (2010). Anemia in Renal Disease: Diagnosis and
Management, Blood Reviews., 24, 39-47.

36

Anda mungkin juga menyukai