Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tetanus
Angka kejadian tetanus tinggi di negara-negara berkembang, terutama disebabkan
kontaminasi tali pusat, infeksi telinga kronik, luka tusuk pada anak usia sekolah, sirkumsisi
pada laki-laki, kehamilan dengan abortus. Penyakit ini dapat dicegah dengan imunisasi akan
tetapi angka kejadiannya masih tetap tinggi dengan angka kematian yang tinggi pula (1). Di
negara maju, kasus tetanus jarang ditemui. Karena penyakit ini terkait erat dengan masalah
sanitasi dan kebersihan selama proses kelahiran. Kasus tetanus memang banyak dijumpai di
sejumlah negara tropis dan negara yang masih memiliki kondisi kesehatan rendah(2).
Spora Clostridium tetani dapat ditemukan dalam tanah dan pada lingkungan yang
hangat, terutama di daerah rural dan penyakit ini menjadi masalah kesehatan masyarakat
yang utama di negara berkembang. Angka kejadian dan kematian karena tetanus di Indonesia
masih tinggi. Indonesia merupakan negara ke-5 diantara 10 negara berkembang yang angka
kematian tetanus neonatorumnya tinggi.
Prognosis tetanus ditentukan salah satunya adalah dengan penatalaksanaan yang tepat
dan dilakukan secara intensif. Penyakit tetanus pada neonatus mempunyai case fatality rate
yang tinggi (70-90%) sehingga bila tetanus dapat didiagnosis secara dini dan ditangani
dengan baik maka dapat lebih menurunkan angka kematian. Penatalaksanaan yang baik
ditentukan antara lain oleh pemahaman yang tepat mengenai patofisiologi, manifestasi klinik,
diagnosis, komplikasi, penatalaksanaan dan prognosis dari penyakit tetanus(3).
2.2 Definisi
Definisi Tetanus adalah penyakit yang mengenai sistem saraf yang disebabkan oleh
tetanospasmin yaitu neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Penyakit ini
ditandai oleh adanya trismus, disfagia, dan rigiditas otot lokal yang dekat dengan tempat luka,
sering progresif menjadi spasme otot umum yang berat serta diperberat dengan kegagalan
respirasi dan ketidakstabilan kardiovaskular. Gejala klinis tetanus hampir selalu berhubungan
dengan kerja toksin pada susunan saraf pusat dan sistem saraf autonom dan tidak pada sistem
saraf perifer atau otot(4).
Clostridium tetani merupakan organisme obligat anaerob, batang gram positif,
bergerak, ukurannya kurang lebih 0,4 x 6 m. Spora Clostridium tetani sangat tahan terhadap
desinfektan kimia, pemanasan dan pengeringan. Kuman ini terdapat dimana-mana, dalam
23

tanah, debu jalan dan pada kotoran hewan terutama kuda. Spora tumbuh menjadi bentuk
vegetatif dalam suasana anaerobik. Bentuk vegetatif ini menghasilkan dua jenis toksin, yaitu
tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin belum diketahui kepentingannya dalam
patogenesis tetanus dan menyebabkan hemolisis in vitro, sedangkan tetanospasmin bekerja
pada ujung saraf otot dan sistem saraf pusat yang menyebabkan spasme otot dan kejang (5).
2.3 Patofisiologi
Spora kuman tetanus yang ada di lingkungan dapat berubah menjadi bentuk vegetatif
yang menghasilkan tetanospasmin pada keadaan tekanan oksigen rendah, nekrosis jaringan
atau berkurangnya potensi oksigen. Masa inkubasi dan beratnya penyakit terutama ditentukan
oleh kondisi luka. Beratnya penyakit terutama berhubungan dengan jumlah dan kecepatan
produksi toksin serta jumlah toksin yang mencapai susunan saraf pusat(6).
Kuman ini dapat membentuk metaloexotosin tetanus, yang terpenting untuk manusia
adalah tetanospasmin. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion
spinal dan neuromuscular junction serta syaraf otonom. Toksin dari tempat luka menyebar ke
motor endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal kedalam
sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang, akhirnya menyebar ke
SSP(6).
Manifestasi klinis terutama disebabkan oleh pengaruh eksotoksin terhadap susunan
saraf tepi dan pusat. Pengaruh tersebut berupa gangguan terhadap inhibisi presinaptik
sehingga mencegah keluarnya neurotransmiter inhibisi yaitu GABA dan glisin, sehingga
terjadi eksitasi terus-menerus dan spasme. Kekakuan dimulai pada tempat masuk kuman atau
pada otot masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke sumsum belakang terjadi kekakuan
yang makin berat, pada extremitas, otot-otot bergaris pada dada, perut dan mulai timbul
kejang(6).
Bilamana toksin mencapai korteks cerebri, penderita akan mulai mengalami kejang
umum yang spontan. Tetanospasmin pada sistem saraf otonom juga berpengaruh, sehingga
terjadi gangguan pada pernafasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal, saluran cerna,
saluran kemih, dan neuromuskular. Spame larynx, hipertensi, gangguan irama jantung,
hiperpirexi, hyperhydrosis merupakan penyulit akibat gangguan saraf otonom, yang dulu
jarang dilaporkan karena penderita sudah meninggal sebelum gejala timbul. Dengan
penggunaan diazepam dosis tinggi dan pernafasan mekanik, kejang dapat diatasi namun
gangguan saraf otonom harus dikenali dan dikelola dengan teliti(6).

24

Mekanisme kerja toksin tetanus:


1

Jenis toksin

Clostridium tetani menghasilkan tetanolisin dan tetanospsmin. Tetanolisin mempunyai


efek hemolisin dan protease, pada dosis tinggi berefek kardiotoksik dan neurotoksik. Sampai
saat ini peran tetanolisin pada tetanus manusia belum diketahui pasti. Tetanospasmin
mempunyai efek neurotoksik, penelitian mengenai patogenesis penyakit tetanus terutama
dihubungkan dengan toksin tersebut.
2. Toksin tetanus dan reseptornya pada jaringan saraf
Toksin tetanus berkaitan dengan gangliosid ujung membran presinaptik, baik pada
neuromuskular junction, mupun pada susunan saraf pusat. Ikatan ini penting untuk transport
toksin melalui serabut saraf, namun hubungan antara pengikat dan toksisitas belum diketahui
secara jelas. Lazarovisi dkk (1984) berhasil mengidentifikasikan 2 bentuk toksin tetanus yaitu
toksin A yang kurang mempunyai kemampuan untuk berikatan dengan sel saraf namun tetap
mempunyai efek antigenitas dan biotoksisitas, dan toksin B yang kuat berikatan dengan sel
saraf.
3

Kerja toksin tetanus pada neurotransmitter

Tempat kerja utama toksin adalah pada sinaps inhibisi dari susunan saraf pusat, yaitu
dengan jalan mencegah pelepasan neurotransmitter inhibisi seperti glisin, Gamma Amino
Butyric Acid (GABA), dopamin dan noradrenalin. GABA adalah neuroinhibitor yang paling
utama pada susunan saraf pusat, yang berfungsi mencegah pelepasan impuls saraf yang
eksesif. Toksin tetanus tidak mencegah sintesis atau penyimpanan glisin maupun GABA,
namun secara spesifik menghambat pelepasan kedua neurotransmitter tersebut di daerah
sinaps dangan cara mempengaruhi sensitifitas terhadap kalsium dan proses eksositosis (6).
Perubahan akibat toksin tetanus:
1

Susunan saraf pusat


Efek terhadap inhibisi presinap menimbulkan keadaan terjadinya letupan listrik yang
terus-menerus yang disebut sebagai Generator of pathological enhance excitation.
Keadaan ini menimbulkan aliran impuls dengan frekuensi tinggi dari SSP ke perifer,
sehingga terjadi kekakuan otot dan kejang. Semakin banyak saraf inhibisi yang terkena
makin berat kejang yang terjadi. Stimulus seperti suara, emosi, raba dan cahaya dapat
menjadi pencetus kejang karena motorneuron di daerah medula spinalis berhubungan
dengan jaringan saraf lain seperti retikulospinalis. Kadang kala ditemukan saat bebas
25

kejang (interval), hal ini mungkin karena tidak semua saraf inhibisi dipengaruhi toksin,
ada beberapa yang resisten terhadap toksin(6).
Rasa sakit
Rasa sakit timbul dari adanya kekakuan otot dan kejang. Kadang kala ditemukan
neurotic pain yang berat pada tetanus lokal sekalipun pada saat tidak ada kejang. Rasa
sakit ini diduga karena pengaruh toksin terhadap sel saraf ganglion posterior, sel-sel pada
kornu posterior dan interneuron.
Fungsi Luhur
Kesadaran penderita pada umumnya baik. Pada mereka yang tidak sadar biasanya
brhubungan dengan seberapa besar efek toksin terhadap otak, seberapa jauh efek
hipoksia, gangguan metabolisme dan sedatif atau antikonvulsan yang diberikan(6).
2

Aktifitas neuromuskular perifer


Toksin tetanus menyebabkan penurunan pelepasan asetilkolin sehingga mempunyai
efek neuroparalitik, namun efek ini tertutup oleh efek inhibisi di susunan saraf pusat.
Neuroparalitik bisa terjadi bila efek toksin terhadap SSP tidak terjadi, namun hal ini sulit
karena toksin secara cepat menyebar ke SSP. Kadang-kadang efek neuroparalitik terlihat
pada tetanus sefal yaitu paralisis nervus fasialis, hal ini mungkin n.fasialis lebih sensitif
terhadap efek paralitik dari toksin atau karena axonopathi. Efek lain toksin tetanus
terhadap aktivitas neuromuskular perifer berupa:
1. Neuropati perifer
2. Kontraktur miostatik yang dapat berupa kekakuan otot, pergerakan otot yang
terbatas dan

nyeri, yang dapat terjadi beberapa minggu sampai beberapa bulan

setelah sembuh.
3. Denervasi parsial dari otot tertentu.
3.

Perubahan pada sistem saraf autonom


Pada tetanus terjadi fluktuasi dari aktifitas sistem simpatis dan parasimpatis, hal ini

mungkin terjadi karena adanya ketidakseimbangan dari kedua sistem tersebut. Mekanisme
terjadinya disfungsi sistem autonom karena efek toksin yang berasal dari otot (retrograd)
maupun hasil penyebaran intraspinalis (dari kornu anterior ke kornu lateralis medula spinalis
torakal). Gangguan sistem autonom bisa terjadi secara umum mengenai berbagai organ
seperti kardiovaskular, saluran cerna, kandung kemih, fungsi kendali suhu dan kendali otot
bronkus, namun dapat pula hanya mengenai salah satu organ tertentu.
4.

Gangguan Sistem pernafasan


Gangguan sistem pernafasan dapat terjadi akibat :

26

Kekakuan dan hipertonus dari otot-otot interkostal, badan dan abdomen; otot
diafragma terkena paling akhir. Kekakuan dinding thorax apalagi bila kejang yang
terjadi sangat sering mengakibatkan keterbatasan pergerakan rongga dada sehingga
menganggu ventilasi. Tetanus berat sering mengakibatkan gagal nafas yang ditandai
dengan hipoksia dan hiperkapnia. Namun dapat terjadi takipnea akibat aktifitas
berlebihan dari saraf di pusat persarafan yang tidak terkena efek toksin.

Ketidakmampuan untuk mengeluarkan sekret trakea dan bronkus karena adanya


spasme dan kekakuan otot faring dan ketidakmampuan untuk dapat batuk dan
menelan dengan baik. Sehingga terdapat resiko tinggi untuk terjadinya aspirasi yang
dapat menimbulkan pneumonia, bronkopneumonia dan atelektasis.

Kelainan paru akibat iatrogenik.

Gangguan mikrosirkulasi pulmonal


Kelainan pada paru bahkan dapat ditentukan pada masa inkubasi. Kelainan yang
terjadi bisa berupa kongesti pembuluh darah pulmonal, oedema hemorrhagic
pulmonal dan ARDS. ARDS dapat terjadi pula karena proses iatrogenik atau infeksi
sistemik seperti sepsis yang mengikuti penyakit tetanus.

Gangguan pusat pernafasan


Observaasi klinis dan percobaan binatang menunjukkan bahwa pusat pernafasan dapat

terkena oleh toksin tetanus. Paralisis pernafasan tanpa kekakuan otot dan henti jantung
dapat terjadi pada pemberian toksin dosis tinggi pada hewan percobaan. Selain itu
ditemukan bahwa penderita mengalami penurunan resistensi terhadap asfiksia.
Observasi klinis yang menunjukkan kecurigaan keterlibatan pusat pernafasan pada
penderita tetanus adalah :

Adanya episode distres pernafasan akibat kesulitan bernafas yang berat tanpa
ditemukan adanya komplikasi pulmonal, bronkospasme dan peningkatan sekret
pada jalan nafas. Episode ini bervariasi dalam beberapa menit sampai -1 jam.

Adanya apnoeic spells, tanda ini biasanya berlanjut menjadi prolonged


respiratory arrest (henti nafas berkepanjangan) dan akhirnya meninggal.

Henti nafas akut dan mati mendadak.

27

Sekalipun demikian gangguan pusat pernafasan disebabkan oleh penyebab sekunder


seperti hipoksia rekuren/berkepanjangan, asfiksia kaena kejang lama atau spasme laring,
hipokapnia setelah serangan distres pernafasan, dan akibat gangguan keseimbangan asam
basa.
5. Gangguan hemodinamika.
Ketidakstabilan sistem kardiovaskular ditemukan penderita tetanus dengan gangguan
sistem saraf autonom yang berat. Penelitian mengenai hemodinamika pada tetanus berat
masih sangat jarang dilakukan karena :

Kendala etik

Perjalanan penyakit tetanus sering diperberat oleh komplikasi seperti sepsis,


infeksi paru, atelektasis, edema paru dan gangguan keseimbangan asam-basa,
yang kesemua ini mempengaruhi sistem kardio-respirasi

Pemakaian obat sedatif dosis tinggi dan pemakaian obat inotropik mempersulit
penilaian dari hasil penelitian.

6.

Gangguan metabolik
Metabolik rate pada tetanus secara bermakna meningkat dikarenakan adanya kejang,
peningkatan tonus otot, aktifitas berlebihan dari sistem saraf simpatik dan perubahan
hormonal. Konsumsi oksigen meningkat, hal ini pada kasus tertentu dapat dikurangi
dengan pemberian muscle relaxans. Berbagai percobaan memperlihatkan adanya
peningkatan ekskresi urea nitogen, katekolamin plasma dan urin, serta penurunan serum
protein terutama fraksi albumin.
Peninggian katekolamin meningkatkan metabolik rate, bila asupan oksigen tidak
dapat memenuhi kebutuhan tersebut, misalnya karena disertai masalah dalam sistem
pernafasan maka akan terjadi hipoksia dengan segala akibatnya. Katabolisme protein
yang berat, ketidakcukupan protein dan hipoksia akan menimbulkan metabolisme
anaerob dan mengurangi pembentukan ATP, keadaan ini akan mengurangi kemampuan
sistem imunitas dalam mengenali toksin sebagai antigen sehingga mengakibatkan tidak
cukupnya antibodi yang dibentuk. Fenomena ini mungkin dapat menerangkan mengapa
pada penderita tetanus yang sudah sembuh tidak/kurang ditemukan kekebalan terhadap
toksin(7).

7.

Gangguan Hormonal

28

Gangguan terhadap hipotalamus atau jaras batang otak-hipotalamus dicurigai terjadi


pada penderita tetanus berat atas dasar ditemukannya episode hipertermia akut dan
adanya demam tanpa ditemukan adanya infeksi sekunder. Peningkatan alertness dan
awareness menimbulkan dugaan adanya aktifitas retikular dari batang otak yang
berlebihan. Aksis hipotalamus-hipofise mengandung serabut saraf khusus yang
merangsang sekresi hormon. Aktifitas sekresi oleh serabut saraf tersebut dimodulasi
monoamin neuron lokal. Adanya penurunan kadar prolaktin, TSH, LH dan FSH yang
diduga karena adanya hambatan terhadap mekanisme umpan balik hipofise-kelenjar
endokrin(8).
8.

Gangguan pada sistem lain


Berbagai percobaan pada hewan percobaan ditemukan bahwa toksin secara langsung
dapat mengganggu hati, traktus gastro-intestinalis dan ginjal. Pengaruh tersebut dapat
berupa nefrotoksik terhadap nefron, inhibisi mitosis hepatosit dan kongesti-pendarahanulserasi mukosa gaster. Namun secara klinis hal tersebut sulit ditentukan apakah kelainan
klinis seperti gangguan fungsi ginjal, fungsi hati dan abnormalitas traktus gastrointestinal
disebakan semata-mata karena efek toksin atau oleh karena efek sekunder dari
hipovolemia, shock, gangguan elektrolit dan metabolik yang terganggu. Secara teoritis
ileus, distonia kolon, gangguan evakuasi usus besar dan retensi urin dapat terjadi karena
gangguan keseimbangan simpatis-parasimpatis karena efek toksin baik di tingkat batang
otak, hipotalamus maupun ditingkat saraf perifer simpatis, parasimpatis. Disfungsi organ
dapat pula terjadi sebagai akibat gangguan mikrosirkulasi dan perubahan permeabilitas
kapiler

pada

organ

tertentu.

2.3 Manifestasi klinis dan diagnosis


1

Manifestasi Klinis
Manifestsi klinis tetanus bervariasi dari kekakuan otot setempat, trismus
sampai kejang yang hebat. Masa timbulnya gejala awal tetanus sampai kejang disebut
awitan penyakit, yang berpengaruh terhadap prognostik(9).
Manifestasi klinis tetanus terdiri atas 4 macam yaitu:
a Tetanus lokal
Tetanus lokal merupakan bentuk penyakit tetanus yang ringan dengan angka
kematian sekitar 1%. Gejalanya meliputi kekakuan dan spasme yang menetap
disertai rasa sakit pada otot disekitar atau proksimal luka. Tetanus lokal dapat
b

berkembang menjadi tetanus umum.


Tetanus sefal
29

Bentuk tetanus lokal yang mengenai wajah dengan masa inkubasi 1-2 hari, yang
disebabkan oleh luka pada daerah kepala atau otitis media kronis. Gejalanya
berupa trismus, disfagia, rhisus sardonikus dan disfungsi nervus kranial. Tetanus
sefal jarang terjadi, dapat berkembang menjadi tetanus umum dan prognosisnya
c

biasanya jelek.
Tetanus umum
Bentuk tetanus yang paling sering ditemukan. Gejala klinis dapat berupa berupa
trismus, iritable, kekakuan leher, susah menelan, kekakuan dada dan perut
(opisthotonus), fleksi-abduksi lengan serta ekstensi tungkai, rasa sakit dan
kecemasan yang hebat serta kejang umum yang dapat terjadi dengan rangsangan

ringan seperti sinar, suara dan sentuhan dengan kesadaran yang tetap baik.
Tetanus neonatorum
Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi tali pusat,
umumnya karena tehnik pemotongan tali pusat yang aseptik dan ibu yang tidak
mendapat imunisasi yang adekuat. Gejala yang sering timbul adalah
ketidakmampuan untuk menetek, kelemahan, irritable diikuti oleh kekakuan dan
spasme. Posisi tubuh klasik : trismus, kekakuan pada otot punggung menyebabkan
opisthotonus yang berat dengan lordosis lumbal. Bayi mempertahankan
ekstremitas atas fleksi pada siku dengan tangan mendekap dada, pergelangan
tangan fleksi, jari mengepal, ekstremitas bawah hiperekstensi dengan dorsofleksi
pada pergelangan dan fleksi jari-jari kaki. Kematian biasanya disebabkan henti
nafas, hipoksia, pneumonia, kolaps sirkulasi dan kegagalan jantung paru(9).

Derajat penyakit tetanus menurut modifikasi dari klasifikasi Abletts :


a

c
d

Derajat I (ringan)
Trismus ringan sampai sedang, kekakuan umum, spasme tidak ada, disfagia tidak
ada atau ringan, tidak ada gangguan respirasi.
Derajat II (sedang)
Trismus sedang dan kekakuan jelas, spasme hanya sebentar, takipneu dan disfagia
ringan
Derajat III (berat) Trismus berat, otot spastis, spasme spontan, takipneu, apnoeic
spell, disfagia berat, takikardia dan peningkatan aktivitas sistem otonomi
Derajat IV (sangat berat)
Derajat III disertai gangguan otonomik yang berat meliputi sistem kardiovaskuler,
yaitu hipertensi berat dan takikardi atau hipotensi dan bradikardi, hipertensi berat
atau hipotensi berat. Hipotensi tidak berhubungan dengan sepsis, hipovolemia
atau penyebab iatrogenik.
30

Bila pembagian derajat tetanus terdiri dari ringan, sedang dan berat, maka derajat
2

tetanus berat meliputi derajat III dan IV.


Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan riwayat imunisasi:
- Adanya riwayat luka yang terkontaminasi, namun 20% dapat tanpa riwayat
luka.
- Riwayat tidak diimunisasi atau imunisasi tidak lengkap
- Trismus, disfagia, rhisus sardonikus, kekakuan pada leher, punggung, dan
otot perut (opisthotonus), rasa sakit serta kecemasan.
- Pada tetanus neonatorum keluhan awal berupa tidak bisa menetek
- Kejang umum episodik dicetuskan dengan rangsang minimal maupun
spontan dimana kesadaran tetap baik.
Temuan laboratorium :
- Lekositosis ringan
- Trombosit sedikit meningkat
- Glukosa dan kalsium darah normal
- Cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat
- Enzim otot serum mungkin meningkat
- EKG dan EEG biasanya normal
- Kultur anaerob dan pemeriksaan mikroskopis nanah yang diambil dari luka
dapat membantu, tetapi Clostridium tetani sulit tumbuh dan batang gram
positif berbentuk tongkat penabuh drum seringnya tidak ditemukan. Kreatinin fosfokinase dapat meningkat karena aktivitas kejang (> 3U/ml)

2.4 Diagnosis banding dan komplikasi


1

Diagnosis banding
Penyakit-penyakit yang menyerupai gejala tetanus adalah Meningitis
bakterialis, Rabies, Poliomielitis, Epilepsi, Ensefalitis, Sindrom Shiffman, Efek
samping fenotiazin, Peritonsiler abses(10).

Komplikasi
Komplikasi

tetanus

yang

sering

terjadi

adalah

pneumonia,

bronkopneumonia dan sepsis. Komplikasi terjadi karena adanya gangguan pada


sistem respirasi antara lain spasme laring atau faring yang berbahaya karena dapat
menyebabkan hipoksia dan kerusakan otak. Spasme saluran nafas atas dapat
menyebabkan aspirasi pneumonia atau atelektasis. Komplikasi pada sistem
kardiovaskuler berupa takikardi, bradikardia, aritmia, gagal jantung, hipertensi,
hipotensi, dan syok. Kejang dapat menyebabkan fraktur vertebra atau kifosis.
31

Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa tromboemboli, pendarahan saluran cerna,
infeksi saluran kemih, gagal ginjal akut, dehidrasi dan asidosis metabolik(10).
2.5 Penatalaksanaan
1

Dasar
a. Memutuskan invasi toksin dengan antibiotik dan tindakan bedah.
Antibiotik
Penggunaan antibiotik ditujukan untuk memberantas kuman tetanus
bentuk vegetatif. Clostridium peka terhadap penisilin grup beta laktam
termasuk penisilin G, ampisilin, karbenisilin, tikarsilin, dan lain-lain. Kuman
tersebut juga peka terhadap klorampenikol, metronidazol, aminoglikosida dan
sefalosporin generasi ketiga.
Penisilin G dengan dosis 1 juta unit IV setiap 6 jam atau penisilin
prokain 1,2 juta 1 kali sehari.
Penisilin G digunakan pada anak dengan dosis 100.000 unit/kgBB/hari
IV selama 10-14 hari.
Pemakaian ampisilin 150 mg/kg/hari dan kanamisin 15 mg/kgBB/hari
digunakan bila diagnosis tetanus belum ditegakkan, kemudian bila diagnosa
sudah ditegakkan diganti Penisilin
G. Rauscher (1995) menganjurkan pemberian metronidazole awal
secara loading dose 15 mg/kgBB dalam 1 jam dilanjutkan 7,5 mg/kgBB
selama 1 jam perinfus setiap 6 jam. Hal ini pemberian metronidazole secara
bermakna menunjukkan angka kematian yang rendah, perawatan di rumah
sakit yang pendek dan respon yang baik terhadap pengobatan tetanus sedang.
Pada penderita yang sensitif terhadap penisilin maka dapat digunakan
tetrasiklin dengan dosis 25-50 mg/kg/hari, dosis maksimal 2 gr/hari dibagi 4
dosis dan diberikan secara peroral.
Bila terjadi pneumonia atau septikemia diberikan metisilin 200
mg/kgBB/hari selama 10 hari atau metisilin dengan dosis yang sama ditambah
gentamisin 5-7,5 mg/kgBB/hari(10).
Perawatan luka
Luka dibersihkan atau dilakukan debridemen terhadap benda asing dan luka
dibiarkan terbuka. Sebaiknya dilakukan setelah penderita mendapat anti toksin
dan sedasi. Pada tetanus neonatorum tali pusat dibersihkan dengan betadine
dan hidrogen peroksida, bila perlu dapat dilakukan omphalektomi.
b. Netralisasi toksin
1. Anti tetanus serum
32

Dosis anti tetanus serum yang digunakan adalah 50.000-100.000 unit,


setengah dosis diberikan secara IM dan setengahnya lagi diberikan secara IV,
sebelumnya dilakukan tes hipersensitifitas terlebih dahulu. Pada tetanus neonatorum
diberikan 10.000 unit IV.
Udwadia (1994) mengemukakan sebaiknya anti tetanus serum tidak diberikan
secara intrathekal karena dapat menyebabkan meningitis yang berat karena terjadi
iritasi meningen. Namun ada beberapa pendapat juga untuk mengurangi reaksi pada
meningen dengan pemberian ATS intratekal dapat diberikan kortikosteroid IV, adapun
dosis ATS yang disarankan 250-500 IU.
2. Human Tetanus Immunuglobulin (HTIG)
Human tetanus imunoglobulin merupakan pengobatan utama pada tetanus
dengan dosis 3000-6000 unit secara IM, HTIG harus diberikan sesegera mungkin.
Kerr dan Spalding (1984) memberikan HTIG pada neonatus sebanyak 500 IU IV dan
800-2000 IU intrathekal. Pemberian intrathekal sangat efektif bila diberikan dalam 24
jam pertama setelah timbul gejala.
Namun penelitian yang dilakukan oleh Abrutyn dan Berlin (1991) menyatakan
pemberian immunoglobulin tetanus intratekal tidak memberikan keuntungan karena
kandungan fenol pada HTIG dapat menyebabkan kejang bila diberikan secara
intrathekal. Pemberian HTIG 500IU IV atau IM mempunyai efektivitas yang sama.
Dosis HTIG masih belum dibakukan, Miles (1993) mengemukakan dosis yang dapat
diberikan adalah 30-300IU/kgBB IM, sedangkan Kerr (1991) mengemukakan HTIG
sebaiknya diberikan 1000 IU IV dan 2000 IU IM untuk meningkatkan kadar
antitoksin darah sebelum debridemen luka.
c. Menekan efek toksin pada SSP
1. Benzodiazepin
Diazepam merupakan golongan benzodiazepin yang sering digunakan. Obat ini
mempunyai aktivitas sebagai penenang, anti kejang, dan pelemas otot yang kuat. Pada tingkat
supraspinal mempunyai efek sedasi, tidur, mengurangi ketakutan dan ketegangan fisik serta
penenang dan pada tingkat spinal menginhibisi refleks polisinaps. Efek samping dapat berupa
depresi pernafasan, terutama terjadi bila diberikan dalam dosis besar. Dosis diazepam yang
diberikan pada neonatus adalah 0,3-0,5 mg/kgBB/kali pemberian. Udwadia (1994),
pemberian diazepam pada anak dan dewasa 5-20 mg 3 kali sehari, dan pada neonatus
diberikan 0,1-0,3 mg/kgBB/kali pemberian IV setiap 2-4 jam. Pada tetanus ringan obat dapat
diberikan per oral, sedangkan tetanus lain sebaiknya diberikan drip IV lambat selama 24 jam.
33

2. Barbiturat
Fenobarbital (kerja lama) diberikan secara IM dengan dosis 30 mg untuk neonatus
dan 100 mg untuk anak-anak tiap 8-12 jam, bila dosis berlebihan dapat menyebabkan
hipoksisa dan keracunan. Fenobarbital intravena dapat diberikan segera dengan dosis 5
mg/kgBB, kemudian 1 mg/kgBB yang diberikan tiap 10 menit sampai otot perut relaksasi dan
spasme berkurang. Fenobarbital dapat diberikan bersama-sama diazepam dengan dosis 10
mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis melalui selang nasogastrik.
3.Fenotiazin
Klorpromazin diberikan dengan dosis 50 mg IM 4 kali sehari (dewasa), 25 mg IM 4
kali sehari (anak), 12,5 mg IM 4 kali sehari untuk neonatus. Fenotiazin tidak dibenarkan
diberikan secara IV karena dapat menyebabkan syok terlebih pada penderita dengan tekanan
darah yang labil atau hipotensi.
2. Umum
Penderita perlu dirawat dirumah sakit, diletakkan pada ruang yang tenang pada unit
perawatan intensif dengan stimulasi yang minimal. Pemberian cairan dan elektrolit serta
nutrisi harus diperhatikan. Pada tetanus neonatorum, letakkan penderita di bawah penghangat
dengan suhu 36,2-36,5oC (36-37oC), infus IV glukosa 10% dan elektrolit 100-125
ml/kgBB/hari. Pemberian makanan dibatasi 50 ml/kgBB/hari berupa ASI atau 120
kal/kgBB/hari dan dinaikkan bertahap. Aspirasi lambung harus dilakukan untuk melihat tanda
bahaya. Pemberian oksigen melalui kateter hidung dan isap lendir dari hidung dan mulut
harus dikerjakan.
Trakheostomi dilakukan bila saluran nafas atas mengalami obstruksi oleh spasme atau
sekret yang tidak dapat hilang oleh pengisapan. Trakheostomi dilakukan pada bayi lebih dari
2 bulan. Pada tetanus neonatorum, sebaiknya dilakukan intubasi endotrakhea.
Bantuan ventilator diberikan pada :
1.Semua penderita dengan tetanus derajat IV
2.Penderita dengan tetanus derajat III dimana spasme tidak terkendali dengan
terapi konservatif dan PaO2 < >
3.Terjadi komplikasi yang serius seperti atelektasis, pneumonia dan lain-lain.
3. Berdasarkan tingkat penyakit tetanus
a. Tetanus ringan

34

Penderita diberikan penaganan dasar dan umum, meliputi pemberian


antibiotik, HTIG/anti toksin, diazepam, membersihkan luka dan perawatan suportif
seperti diatas.
b.Tetanus sedang
Penanganan umum seperti diatas. Bila diperlukan dilakukan intubasi atau
trakeostomi dan pemasangan selang nasogastrik delam anestesia umum. Pemberian
cairan parenteral, bila perlu diberikan nutrisi secara parenteral.
c. Tetanus berat
Penanganan umum tetanus seperti diatas. Perawatan pada ruang perawatan
intensif, trakeostomi atau intubasi dan pemakaian ventilator sangat dibutuhkan serta
pemberikan cairan yang adekuat. Bila spasme sangat hebat dapat diberikan
pankuronium bromid 0,02 mg/kgBB IV diikuti 0,05 mg/kg/dosis diberikan setiap 2-3
jam. Bila terjadi aktivitas simpatis yang berlebihan dapat diberikan beta bloker seperti
propanolol(10).
6

Prognosis
Rata-rata angka kematian akibat tetanus berkisar antara 25-75%, tetapi angka mortalitas dapat

diturunkan hingga 10-30 persen dengan perawatan kesehatan yang modern. Banyak faktor yang berperan
penting dalam prognosis tetanus. Diantaranya adalah masa inkubasi, masa awitan, jenis luka, dan keadaan
status imunitas pasien. Semakin pendek masa inkubasi, prognosisnya menjadi semakin buruk. Semakin
pendek masa awitan, semakin buruk prognosis. Letak, jenis luka dan luas kerusakan jaringan turut
memegang peran dalam menentukan prognosis. Jenis tetanus juga memengaruhi prognosis. Tetanus
neonatorum dan tetanus sefalik harus dianggap sebagai tetanus berat, karena mempunyai prognosis
buruk. Sebaliknya tetanus lokal yang memiliki prognosis baik. Pemberian antitoksin profilaksis dini
meningkatkan angka kelangsungan hidup, meskipun terjadi tetanus(10).
Tabel 1. Philips Score
Waktu Masuk
Masa Inkubasi

Skor Selama Perawatan


Spasme

Skor

> 14 hari

Hanya trismus

> 10 hari

Kaku seluruh badan

5 10 hari

Kejang terbatas

2 5 hari

Kejang seluruh badan

< 48 jam
Imunisasi

Optistotonus
Frekuensi Spasme

35

Lengkap

6 x dalam 12 jam

< 10 tahun

Dengan rangsangan

> 10 tahun

Terkadang spontan

Ibu diimunisasi

Spontan < 3x per 15 menit

Tidak diimunisasi
Luka Infeksi Suhu

10

Spontan > 3x per 15 menit


Suhu

Tidak diketahui

36.7 - 37 C

Distal/perifer

37.1 37.7 C

Proksimal

37.8 38.2 C

Kepala

38.3 38.8 C

Badan
Komplikasi

> 38.8 C
Pernafasan

10

Tidak ada

Sedikit berubah

Ringan

Apnea saat kejang

Tidak membahayakan

Kadang apnea setelah kejang

Mengancam Nyawa (tidak langsung)

Selalu apnea setelah kejang

Mengancam nyawa

10

Perlu trakeostomi

10

Pencegahan

Pencegahan sangat penting, mengingat perawatan kasus tetanus sulit dan mahal. Untuk pencegahan, perlu
dilakukan:
1

Imunisasi aktif
Imunisasi dengan toksoid tetanus merupakan salah satu pencegahan yang sangat efektif.
Angka kegagalannya relatif rendah. Terdapat dua jenis toksoid tetanus yang tersedia
adsorbed (aluminium salt precipitated) toxoid dan fluid toxoid. Toksoid tetanus tersedia dalam
kemasan antigen tunggal, atau dikombinasi dengan toksoid difteri sebagai DT atau dengan
toksoid difteri dan vaksin pertusis aselular sebagai DPT. Kombinasi toksoid difteri dan tetanus
(DT) yang mengandung 10-12 Lf dapat diberikan pada anak yang memiliki kontraindikasi
terhadap vaksin pertusis. Jenis imunisasi tergantung dari golongan umur dan jenis kelamin.
Tetanus Toxoid harus diberikan jika riwayat booster terakhir lebih dari 10 tahun dan jika
riwayat imunisasi tidak diketahui. Jika riwayat imunisasi terakhir lebih dari 10 tahun yang lalu,
maka HTIG (Human Tetanus Immunoglobulin) juga harus diberikan. Dosis TT (tetanus
toxoid) pada usia > 7 tahun adalah 0,5 ml IM. Untuk usia< 7 tahun, gunakan DPT atau DtaP
36

sebagai pengganti TT. Jika kontraindikasi terhadap pertusis, berikan DT dengan dosis 0,5 ml
IM.

[10]

Semua individu dewasa yang imun secara parsial atau tidak sama sekali hendaknya

mendapatkan vaksin tetanus. Serial vaksinasi untuk dewasa terdiri atas tiga dosis:
-

Dosis pertama dan kedua diberikan dengan jarak 4-8 minggu

Dosis ketiga diberikan 6-12 bulan setelah dosis pertama.

Dosis ulangan diberikan tiap 10 tahun dan dapat diberikan pada usia dekade pertengahan
seperti 35, 45 dan seterusnya.

Perawatan Luka
Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka kotor atau
luka yang diduga tercemar dengan spora tetanus. Perawatan luka dilakukan guna
mencegah timbulnya jaringan anaerob. Jaringan nekrotik dan benda asing harus
dibuang. Untuk pencegahan kasus tetanus neonatorum sangat bergantung pada
penghindaran persalinan yang tidak aman, aborsi serta perawatan tali pusat
selain dari imunisasi ibu. Pada perawatan tali pusat, penting diperhatikan hal-hal
berikut ini :
-

Jangan membungkus punting tali pusat/mengoleskan cairan/bahan apapun ke


dalam punting tali pusat

Mengoleskan alkohol/povidon iodine masih diperkenankan tetapi tidak dikompreskan


karena menyebabkan tali pusat lembab
BAB III
DAFTAR PUSTAKA

Ningsih

S,

Witarti

N.

Tetanus.

2007.

Available

from:

www.pediatrik.com/pediatrik/061031-joiq163.doc. Accessed: 18 Agustus 2015.


Lubis
UN.
Tetanus
Lokal
pada
Anak.
2004.
Available
from:

www.kalbe.co.id/files/cdk/files/15. Accessed: 18 Agustus 2015.


Azhali MS, Herry Garna, Aleh Ch, Djatnika S. Penyakit Infeksi dan Tropis. Dalam :
Herry Garna, Heda Melinda, Sri Endah Rahayuningsih. Pedoman Diagnosis dan

Terapi Ilmu Kesehatan Anak, edisi 3. FKUP/RSHS, Bandung, 2005 ; 209-213.


Rauscher LA. Tetanus. Dalam :Swash M, Oxbury J, penyunting. Clinical Neurology.

Edinburg : Churchill Livingstone, 1991 ; 865-871


Behrman, Richard E., MD; Kliegman, Robert M.,MD ; Jenson Hal. B.,MD, Nelson

Textbook of Pediatrics Vol 1 17th edition W.B. Saunders Company. 2004


Udwadia FE, Tetanus. Bombay: Oxford University Press, 1993 : 305
37

Soedarmo, Sumarrno S.Poowo; Garna, Herry; Hadinegoro Sri Rejeki S, Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Anak, Infeksi & Penyakit Tropis, Edisi pertama, Ikatan Dokter Anak

Indonesia.
WHO News and activities. The Global Eliination of neonatal tetanus : progress to
date, Bull WHO 1994; 72 : 155-157

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.2006.p 17771784

10 Widoyono.

Penyakit

Tropis

epidemiology,

penularan,

pencegahan

dan

pemberantasannya. Edisi I Penerbit Erlangga. 2008 : p 29-33.

38

Anda mungkin juga menyukai