Tipus Bila
Tipus Bila
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tetanus
Angka kejadian tetanus tinggi di negara-negara berkembang, terutama disebabkan
kontaminasi tali pusat, infeksi telinga kronik, luka tusuk pada anak usia sekolah, sirkumsisi
pada laki-laki, kehamilan dengan abortus. Penyakit ini dapat dicegah dengan imunisasi akan
tetapi angka kejadiannya masih tetap tinggi dengan angka kematian yang tinggi pula (1). Di
negara maju, kasus tetanus jarang ditemui. Karena penyakit ini terkait erat dengan masalah
sanitasi dan kebersihan selama proses kelahiran. Kasus tetanus memang banyak dijumpai di
sejumlah negara tropis dan negara yang masih memiliki kondisi kesehatan rendah(2).
Spora Clostridium tetani dapat ditemukan dalam tanah dan pada lingkungan yang
hangat, terutama di daerah rural dan penyakit ini menjadi masalah kesehatan masyarakat
yang utama di negara berkembang. Angka kejadian dan kematian karena tetanus di Indonesia
masih tinggi. Indonesia merupakan negara ke-5 diantara 10 negara berkembang yang angka
kematian tetanus neonatorumnya tinggi.
Prognosis tetanus ditentukan salah satunya adalah dengan penatalaksanaan yang tepat
dan dilakukan secara intensif. Penyakit tetanus pada neonatus mempunyai case fatality rate
yang tinggi (70-90%) sehingga bila tetanus dapat didiagnosis secara dini dan ditangani
dengan baik maka dapat lebih menurunkan angka kematian. Penatalaksanaan yang baik
ditentukan antara lain oleh pemahaman yang tepat mengenai patofisiologi, manifestasi klinik,
diagnosis, komplikasi, penatalaksanaan dan prognosis dari penyakit tetanus(3).
2.2 Definisi
Definisi Tetanus adalah penyakit yang mengenai sistem saraf yang disebabkan oleh
tetanospasmin yaitu neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Penyakit ini
ditandai oleh adanya trismus, disfagia, dan rigiditas otot lokal yang dekat dengan tempat luka,
sering progresif menjadi spasme otot umum yang berat serta diperberat dengan kegagalan
respirasi dan ketidakstabilan kardiovaskular. Gejala klinis tetanus hampir selalu berhubungan
dengan kerja toksin pada susunan saraf pusat dan sistem saraf autonom dan tidak pada sistem
saraf perifer atau otot(4).
Clostridium tetani merupakan organisme obligat anaerob, batang gram positif,
bergerak, ukurannya kurang lebih 0,4 x 6 m. Spora Clostridium tetani sangat tahan terhadap
desinfektan kimia, pemanasan dan pengeringan. Kuman ini terdapat dimana-mana, dalam
23
tanah, debu jalan dan pada kotoran hewan terutama kuda. Spora tumbuh menjadi bentuk
vegetatif dalam suasana anaerobik. Bentuk vegetatif ini menghasilkan dua jenis toksin, yaitu
tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin belum diketahui kepentingannya dalam
patogenesis tetanus dan menyebabkan hemolisis in vitro, sedangkan tetanospasmin bekerja
pada ujung saraf otot dan sistem saraf pusat yang menyebabkan spasme otot dan kejang (5).
2.3 Patofisiologi
Spora kuman tetanus yang ada di lingkungan dapat berubah menjadi bentuk vegetatif
yang menghasilkan tetanospasmin pada keadaan tekanan oksigen rendah, nekrosis jaringan
atau berkurangnya potensi oksigen. Masa inkubasi dan beratnya penyakit terutama ditentukan
oleh kondisi luka. Beratnya penyakit terutama berhubungan dengan jumlah dan kecepatan
produksi toksin serta jumlah toksin yang mencapai susunan saraf pusat(6).
Kuman ini dapat membentuk metaloexotosin tetanus, yang terpenting untuk manusia
adalah tetanospasmin. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion
spinal dan neuromuscular junction serta syaraf otonom. Toksin dari tempat luka menyebar ke
motor endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal kedalam
sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang, akhirnya menyebar ke
SSP(6).
Manifestasi klinis terutama disebabkan oleh pengaruh eksotoksin terhadap susunan
saraf tepi dan pusat. Pengaruh tersebut berupa gangguan terhadap inhibisi presinaptik
sehingga mencegah keluarnya neurotransmiter inhibisi yaitu GABA dan glisin, sehingga
terjadi eksitasi terus-menerus dan spasme. Kekakuan dimulai pada tempat masuk kuman atau
pada otot masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke sumsum belakang terjadi kekakuan
yang makin berat, pada extremitas, otot-otot bergaris pada dada, perut dan mulai timbul
kejang(6).
Bilamana toksin mencapai korteks cerebri, penderita akan mulai mengalami kejang
umum yang spontan. Tetanospasmin pada sistem saraf otonom juga berpengaruh, sehingga
terjadi gangguan pada pernafasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal, saluran cerna,
saluran kemih, dan neuromuskular. Spame larynx, hipertensi, gangguan irama jantung,
hiperpirexi, hyperhydrosis merupakan penyulit akibat gangguan saraf otonom, yang dulu
jarang dilaporkan karena penderita sudah meninggal sebelum gejala timbul. Dengan
penggunaan diazepam dosis tinggi dan pernafasan mekanik, kejang dapat diatasi namun
gangguan saraf otonom harus dikenali dan dikelola dengan teliti(6).
24
Jenis toksin
Tempat kerja utama toksin adalah pada sinaps inhibisi dari susunan saraf pusat, yaitu
dengan jalan mencegah pelepasan neurotransmitter inhibisi seperti glisin, Gamma Amino
Butyric Acid (GABA), dopamin dan noradrenalin. GABA adalah neuroinhibitor yang paling
utama pada susunan saraf pusat, yang berfungsi mencegah pelepasan impuls saraf yang
eksesif. Toksin tetanus tidak mencegah sintesis atau penyimpanan glisin maupun GABA,
namun secara spesifik menghambat pelepasan kedua neurotransmitter tersebut di daerah
sinaps dangan cara mempengaruhi sensitifitas terhadap kalsium dan proses eksositosis (6).
Perubahan akibat toksin tetanus:
1
kejang (interval), hal ini mungkin karena tidak semua saraf inhibisi dipengaruhi toksin,
ada beberapa yang resisten terhadap toksin(6).
Rasa sakit
Rasa sakit timbul dari adanya kekakuan otot dan kejang. Kadang kala ditemukan
neurotic pain yang berat pada tetanus lokal sekalipun pada saat tidak ada kejang. Rasa
sakit ini diduga karena pengaruh toksin terhadap sel saraf ganglion posterior, sel-sel pada
kornu posterior dan interneuron.
Fungsi Luhur
Kesadaran penderita pada umumnya baik. Pada mereka yang tidak sadar biasanya
brhubungan dengan seberapa besar efek toksin terhadap otak, seberapa jauh efek
hipoksia, gangguan metabolisme dan sedatif atau antikonvulsan yang diberikan(6).
2
setelah sembuh.
3. Denervasi parsial dari otot tertentu.
3.
mungkin terjadi karena adanya ketidakseimbangan dari kedua sistem tersebut. Mekanisme
terjadinya disfungsi sistem autonom karena efek toksin yang berasal dari otot (retrograd)
maupun hasil penyebaran intraspinalis (dari kornu anterior ke kornu lateralis medula spinalis
torakal). Gangguan sistem autonom bisa terjadi secara umum mengenai berbagai organ
seperti kardiovaskular, saluran cerna, kandung kemih, fungsi kendali suhu dan kendali otot
bronkus, namun dapat pula hanya mengenai salah satu organ tertentu.
4.
26
Kekakuan dan hipertonus dari otot-otot interkostal, badan dan abdomen; otot
diafragma terkena paling akhir. Kekakuan dinding thorax apalagi bila kejang yang
terjadi sangat sering mengakibatkan keterbatasan pergerakan rongga dada sehingga
menganggu ventilasi. Tetanus berat sering mengakibatkan gagal nafas yang ditandai
dengan hipoksia dan hiperkapnia. Namun dapat terjadi takipnea akibat aktifitas
berlebihan dari saraf di pusat persarafan yang tidak terkena efek toksin.
terkena oleh toksin tetanus. Paralisis pernafasan tanpa kekakuan otot dan henti jantung
dapat terjadi pada pemberian toksin dosis tinggi pada hewan percobaan. Selain itu
ditemukan bahwa penderita mengalami penurunan resistensi terhadap asfiksia.
Observasi klinis yang menunjukkan kecurigaan keterlibatan pusat pernafasan pada
penderita tetanus adalah :
Adanya episode distres pernafasan akibat kesulitan bernafas yang berat tanpa
ditemukan adanya komplikasi pulmonal, bronkospasme dan peningkatan sekret
pada jalan nafas. Episode ini bervariasi dalam beberapa menit sampai -1 jam.
27
Kendala etik
Pemakaian obat sedatif dosis tinggi dan pemakaian obat inotropik mempersulit
penilaian dari hasil penelitian.
6.
Gangguan metabolik
Metabolik rate pada tetanus secara bermakna meningkat dikarenakan adanya kejang,
peningkatan tonus otot, aktifitas berlebihan dari sistem saraf simpatik dan perubahan
hormonal. Konsumsi oksigen meningkat, hal ini pada kasus tertentu dapat dikurangi
dengan pemberian muscle relaxans. Berbagai percobaan memperlihatkan adanya
peningkatan ekskresi urea nitogen, katekolamin plasma dan urin, serta penurunan serum
protein terutama fraksi albumin.
Peninggian katekolamin meningkatkan metabolik rate, bila asupan oksigen tidak
dapat memenuhi kebutuhan tersebut, misalnya karena disertai masalah dalam sistem
pernafasan maka akan terjadi hipoksia dengan segala akibatnya. Katabolisme protein
yang berat, ketidakcukupan protein dan hipoksia akan menimbulkan metabolisme
anaerob dan mengurangi pembentukan ATP, keadaan ini akan mengurangi kemampuan
sistem imunitas dalam mengenali toksin sebagai antigen sehingga mengakibatkan tidak
cukupnya antibodi yang dibentuk. Fenomena ini mungkin dapat menerangkan mengapa
pada penderita tetanus yang sudah sembuh tidak/kurang ditemukan kekebalan terhadap
toksin(7).
7.
Gangguan Hormonal
28
pada
organ
tertentu.
Manifestasi Klinis
Manifestsi klinis tetanus bervariasi dari kekakuan otot setempat, trismus
sampai kejang yang hebat. Masa timbulnya gejala awal tetanus sampai kejang disebut
awitan penyakit, yang berpengaruh terhadap prognostik(9).
Manifestasi klinis tetanus terdiri atas 4 macam yaitu:
a Tetanus lokal
Tetanus lokal merupakan bentuk penyakit tetanus yang ringan dengan angka
kematian sekitar 1%. Gejalanya meliputi kekakuan dan spasme yang menetap
disertai rasa sakit pada otot disekitar atau proksimal luka. Tetanus lokal dapat
b
Bentuk tetanus lokal yang mengenai wajah dengan masa inkubasi 1-2 hari, yang
disebabkan oleh luka pada daerah kepala atau otitis media kronis. Gejalanya
berupa trismus, disfagia, rhisus sardonikus dan disfungsi nervus kranial. Tetanus
sefal jarang terjadi, dapat berkembang menjadi tetanus umum dan prognosisnya
c
biasanya jelek.
Tetanus umum
Bentuk tetanus yang paling sering ditemukan. Gejala klinis dapat berupa berupa
trismus, iritable, kekakuan leher, susah menelan, kekakuan dada dan perut
(opisthotonus), fleksi-abduksi lengan serta ekstensi tungkai, rasa sakit dan
kecemasan yang hebat serta kejang umum yang dapat terjadi dengan rangsangan
ringan seperti sinar, suara dan sentuhan dengan kesadaran yang tetap baik.
Tetanus neonatorum
Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi tali pusat,
umumnya karena tehnik pemotongan tali pusat yang aseptik dan ibu yang tidak
mendapat imunisasi yang adekuat. Gejala yang sering timbul adalah
ketidakmampuan untuk menetek, kelemahan, irritable diikuti oleh kekakuan dan
spasme. Posisi tubuh klasik : trismus, kekakuan pada otot punggung menyebabkan
opisthotonus yang berat dengan lordosis lumbal. Bayi mempertahankan
ekstremitas atas fleksi pada siku dengan tangan mendekap dada, pergelangan
tangan fleksi, jari mengepal, ekstremitas bawah hiperekstensi dengan dorsofleksi
pada pergelangan dan fleksi jari-jari kaki. Kematian biasanya disebabkan henti
nafas, hipoksia, pneumonia, kolaps sirkulasi dan kegagalan jantung paru(9).
c
d
Derajat I (ringan)
Trismus ringan sampai sedang, kekakuan umum, spasme tidak ada, disfagia tidak
ada atau ringan, tidak ada gangguan respirasi.
Derajat II (sedang)
Trismus sedang dan kekakuan jelas, spasme hanya sebentar, takipneu dan disfagia
ringan
Derajat III (berat) Trismus berat, otot spastis, spasme spontan, takipneu, apnoeic
spell, disfagia berat, takikardia dan peningkatan aktivitas sistem otonomi
Derajat IV (sangat berat)
Derajat III disertai gangguan otonomik yang berat meliputi sistem kardiovaskuler,
yaitu hipertensi berat dan takikardi atau hipotensi dan bradikardi, hipertensi berat
atau hipotensi berat. Hipotensi tidak berhubungan dengan sepsis, hipovolemia
atau penyebab iatrogenik.
30
Bila pembagian derajat tetanus terdiri dari ringan, sedang dan berat, maka derajat
2
Diagnosis banding
Penyakit-penyakit yang menyerupai gejala tetanus adalah Meningitis
bakterialis, Rabies, Poliomielitis, Epilepsi, Ensefalitis, Sindrom Shiffman, Efek
samping fenotiazin, Peritonsiler abses(10).
Komplikasi
Komplikasi
tetanus
yang
sering
terjadi
adalah
pneumonia,
Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa tromboemboli, pendarahan saluran cerna,
infeksi saluran kemih, gagal ginjal akut, dehidrasi dan asidosis metabolik(10).
2.5 Penatalaksanaan
1
Dasar
a. Memutuskan invasi toksin dengan antibiotik dan tindakan bedah.
Antibiotik
Penggunaan antibiotik ditujukan untuk memberantas kuman tetanus
bentuk vegetatif. Clostridium peka terhadap penisilin grup beta laktam
termasuk penisilin G, ampisilin, karbenisilin, tikarsilin, dan lain-lain. Kuman
tersebut juga peka terhadap klorampenikol, metronidazol, aminoglikosida dan
sefalosporin generasi ketiga.
Penisilin G dengan dosis 1 juta unit IV setiap 6 jam atau penisilin
prokain 1,2 juta 1 kali sehari.
Penisilin G digunakan pada anak dengan dosis 100.000 unit/kgBB/hari
IV selama 10-14 hari.
Pemakaian ampisilin 150 mg/kg/hari dan kanamisin 15 mg/kgBB/hari
digunakan bila diagnosis tetanus belum ditegakkan, kemudian bila diagnosa
sudah ditegakkan diganti Penisilin
G. Rauscher (1995) menganjurkan pemberian metronidazole awal
secara loading dose 15 mg/kgBB dalam 1 jam dilanjutkan 7,5 mg/kgBB
selama 1 jam perinfus setiap 6 jam. Hal ini pemberian metronidazole secara
bermakna menunjukkan angka kematian yang rendah, perawatan di rumah
sakit yang pendek dan respon yang baik terhadap pengobatan tetanus sedang.
Pada penderita yang sensitif terhadap penisilin maka dapat digunakan
tetrasiklin dengan dosis 25-50 mg/kg/hari, dosis maksimal 2 gr/hari dibagi 4
dosis dan diberikan secara peroral.
Bila terjadi pneumonia atau septikemia diberikan metisilin 200
mg/kgBB/hari selama 10 hari atau metisilin dengan dosis yang sama ditambah
gentamisin 5-7,5 mg/kgBB/hari(10).
Perawatan luka
Luka dibersihkan atau dilakukan debridemen terhadap benda asing dan luka
dibiarkan terbuka. Sebaiknya dilakukan setelah penderita mendapat anti toksin
dan sedasi. Pada tetanus neonatorum tali pusat dibersihkan dengan betadine
dan hidrogen peroksida, bila perlu dapat dilakukan omphalektomi.
b. Netralisasi toksin
1. Anti tetanus serum
32
2. Barbiturat
Fenobarbital (kerja lama) diberikan secara IM dengan dosis 30 mg untuk neonatus
dan 100 mg untuk anak-anak tiap 8-12 jam, bila dosis berlebihan dapat menyebabkan
hipoksisa dan keracunan. Fenobarbital intravena dapat diberikan segera dengan dosis 5
mg/kgBB, kemudian 1 mg/kgBB yang diberikan tiap 10 menit sampai otot perut relaksasi dan
spasme berkurang. Fenobarbital dapat diberikan bersama-sama diazepam dengan dosis 10
mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis melalui selang nasogastrik.
3.Fenotiazin
Klorpromazin diberikan dengan dosis 50 mg IM 4 kali sehari (dewasa), 25 mg IM 4
kali sehari (anak), 12,5 mg IM 4 kali sehari untuk neonatus. Fenotiazin tidak dibenarkan
diberikan secara IV karena dapat menyebabkan syok terlebih pada penderita dengan tekanan
darah yang labil atau hipotensi.
2. Umum
Penderita perlu dirawat dirumah sakit, diletakkan pada ruang yang tenang pada unit
perawatan intensif dengan stimulasi yang minimal. Pemberian cairan dan elektrolit serta
nutrisi harus diperhatikan. Pada tetanus neonatorum, letakkan penderita di bawah penghangat
dengan suhu 36,2-36,5oC (36-37oC), infus IV glukosa 10% dan elektrolit 100-125
ml/kgBB/hari. Pemberian makanan dibatasi 50 ml/kgBB/hari berupa ASI atau 120
kal/kgBB/hari dan dinaikkan bertahap. Aspirasi lambung harus dilakukan untuk melihat tanda
bahaya. Pemberian oksigen melalui kateter hidung dan isap lendir dari hidung dan mulut
harus dikerjakan.
Trakheostomi dilakukan bila saluran nafas atas mengalami obstruksi oleh spasme atau
sekret yang tidak dapat hilang oleh pengisapan. Trakheostomi dilakukan pada bayi lebih dari
2 bulan. Pada tetanus neonatorum, sebaiknya dilakukan intubasi endotrakhea.
Bantuan ventilator diberikan pada :
1.Semua penderita dengan tetanus derajat IV
2.Penderita dengan tetanus derajat III dimana spasme tidak terkendali dengan
terapi konservatif dan PaO2 < >
3.Terjadi komplikasi yang serius seperti atelektasis, pneumonia dan lain-lain.
3. Berdasarkan tingkat penyakit tetanus
a. Tetanus ringan
34
Prognosis
Rata-rata angka kematian akibat tetanus berkisar antara 25-75%, tetapi angka mortalitas dapat
diturunkan hingga 10-30 persen dengan perawatan kesehatan yang modern. Banyak faktor yang berperan
penting dalam prognosis tetanus. Diantaranya adalah masa inkubasi, masa awitan, jenis luka, dan keadaan
status imunitas pasien. Semakin pendek masa inkubasi, prognosisnya menjadi semakin buruk. Semakin
pendek masa awitan, semakin buruk prognosis. Letak, jenis luka dan luas kerusakan jaringan turut
memegang peran dalam menentukan prognosis. Jenis tetanus juga memengaruhi prognosis. Tetanus
neonatorum dan tetanus sefalik harus dianggap sebagai tetanus berat, karena mempunyai prognosis
buruk. Sebaliknya tetanus lokal yang memiliki prognosis baik. Pemberian antitoksin profilaksis dini
meningkatkan angka kelangsungan hidup, meskipun terjadi tetanus(10).
Tabel 1. Philips Score
Waktu Masuk
Masa Inkubasi
Skor
> 14 hari
Hanya trismus
> 10 hari
5 10 hari
Kejang terbatas
2 5 hari
< 48 jam
Imunisasi
Optistotonus
Frekuensi Spasme
35
Lengkap
6 x dalam 12 jam
< 10 tahun
Dengan rangsangan
> 10 tahun
Terkadang spontan
Ibu diimunisasi
Tidak diimunisasi
Luka Infeksi Suhu
10
Tidak diketahui
36.7 - 37 C
Distal/perifer
37.1 37.7 C
Proksimal
37.8 38.2 C
Kepala
38.3 38.8 C
Badan
Komplikasi
> 38.8 C
Pernafasan
10
Tidak ada
Sedikit berubah
Ringan
Tidak membahayakan
Mengancam nyawa
10
Perlu trakeostomi
10
Pencegahan
Pencegahan sangat penting, mengingat perawatan kasus tetanus sulit dan mahal. Untuk pencegahan, perlu
dilakukan:
1
Imunisasi aktif
Imunisasi dengan toksoid tetanus merupakan salah satu pencegahan yang sangat efektif.
Angka kegagalannya relatif rendah. Terdapat dua jenis toksoid tetanus yang tersedia
adsorbed (aluminium salt precipitated) toxoid dan fluid toxoid. Toksoid tetanus tersedia dalam
kemasan antigen tunggal, atau dikombinasi dengan toksoid difteri sebagai DT atau dengan
toksoid difteri dan vaksin pertusis aselular sebagai DPT. Kombinasi toksoid difteri dan tetanus
(DT) yang mengandung 10-12 Lf dapat diberikan pada anak yang memiliki kontraindikasi
terhadap vaksin pertusis. Jenis imunisasi tergantung dari golongan umur dan jenis kelamin.
Tetanus Toxoid harus diberikan jika riwayat booster terakhir lebih dari 10 tahun dan jika
riwayat imunisasi tidak diketahui. Jika riwayat imunisasi terakhir lebih dari 10 tahun yang lalu,
maka HTIG (Human Tetanus Immunoglobulin) juga harus diberikan. Dosis TT (tetanus
toxoid) pada usia > 7 tahun adalah 0,5 ml IM. Untuk usia< 7 tahun, gunakan DPT atau DtaP
36
sebagai pengganti TT. Jika kontraindikasi terhadap pertusis, berikan DT dengan dosis 0,5 ml
IM.
[10]
Semua individu dewasa yang imun secara parsial atau tidak sama sekali hendaknya
mendapatkan vaksin tetanus. Serial vaksinasi untuk dewasa terdiri atas tiga dosis:
-
Dosis ulangan diberikan tiap 10 tahun dan dapat diberikan pada usia dekade pertengahan
seperti 35, 45 dan seterusnya.
Perawatan Luka
Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka kotor atau
luka yang diduga tercemar dengan spora tetanus. Perawatan luka dilakukan guna
mencegah timbulnya jaringan anaerob. Jaringan nekrotik dan benda asing harus
dibuang. Untuk pencegahan kasus tetanus neonatorum sangat bergantung pada
penghindaran persalinan yang tidak aman, aborsi serta perawatan tali pusat
selain dari imunisasi ibu. Pada perawatan tali pusat, penting diperhatikan hal-hal
berikut ini :
-
Ningsih
S,
Witarti
N.
Tetanus.
2007.
Available
from:
Soedarmo, Sumarrno S.Poowo; Garna, Herry; Hadinegoro Sri Rejeki S, Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Anak, Infeksi & Penyakit Tropis, Edisi pertama, Ikatan Dokter Anak
Indonesia.
WHO News and activities. The Global Eliination of neonatal tetanus : progress to
date, Bull WHO 1994; 72 : 155-157
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.2006.p 17771784
10 Widoyono.
Penyakit
Tropis
epidemiology,
penularan,
pencegahan
dan
38