Anda di halaman 1dari 13

PERBAIKAN VARIETAS TANAMAN WIJEN MELALUI

TEKNIK PERSILANGAN
Luluk Sulistiyo Budi1
1

Dosen Fakultas Pertanian Universitas Merdeka Madiun


Abstract

Important strategy in improving the quality of agricultural commodities is through


improved varieties. Improvements in question is the improved varieties superior
properties such as crop production, plant age, branching, and others. The purpose of
this study was to determine how the model improved sesame varieties through
crossbreeding. Assessment method is used in the literature review and field
observations. The study results showed that the key to the success of improved
varieties by crossing is determined by the selection of female parent and male parent,
pollen capture time, crossing time, castration techniques, and maintenance of the
crossing.
Key words: parent, improvements, varieties, sesame, crosses,
PENDAHULUAN
Wijen ( Sesamun indicum L ),
saat ini dapat diunggulkan sebagai
komoditas
perkebunan
potensial.
Berdasarkan hasil analisis ekonomi,
komoditi
ini
perlu
mendapatkan
perhatian, karena memiliki nilai ekonomi
tinggi dan multi guna, sehingga
peranannya
sangat
besar
dalam
memajukan pertanian umumnya dan
perkebunan khususnya. Tanaman wijen
merupakan tanaman minyak nabati yang
toleran terhadap iklim kering (Heyne,
1987) dan telah tersebar di hampir
semua daerah di Indonesia terutama di
lahan kering. Prospek ekonomi wijen
cenderung makin cerah untuk diangkat
sebagai komoditas perdagangan antar
negara di dunia, karena kebutuhan wijen
dunia cenderung meningkat , terutama
berupa minyak wijen. Biji
wijen
merupakan
komoditas
pendukung
aneka industri dan menghasilkan minyak
makan yang berkadar lemak jenuh
rendah (Rismunandar, 1976).
Wijen saat ini memiliki prospek
ekonomi yang sangat cerah, karena
menjadi komoditas penting dalam

Agri-tek Volume 13 Nomor 1 Maret 2012

perdagangan antar negara di dunia.


Kebutuhan wijen di dunia cenderung
meningkat terutama
dalam bentuk
minyak wijen (Ketaren. 1986)
Tanaman wijen di Indonesia
sudah lama dikenal, sebagian besar
ditanam dan diusahakan dalam skala
terbatas oleh petani kecil yaitu ditanam
sebagai tanaman sela di antara palawija
dengan pemeliharaan yang belum
intensif. Produktivitas komoditas ini
masih rendah yaitu rata-rata baru
mencapai 350-400 kg/ha biji kering,
sedangkan di Amerika Serikat berkisar
antara 900 kg/ha 2240 kg/ha (Godin
dan Spensley ,1971).
Rendahnya
produktivitas wijen tersebut di samping
karena petani belum melaksanakan
teknis budidaya yang baik juga belum
menggunakan bahan tanam yang
berkualitas.
Kenyataan
di
lapang
menunjukkan bahwa penggunaan bahan
tanam atau benih
umumnya berasal
dari petani sendiri atau padagang wijen
yang asal-usulnya tidak jelas. Bahan
tanam atau benih tersebut ditanam
secara terus menerus dan belum pernah

PERBAIKAN VARIETAS TANAMAN . 11

melakukan
pembaharuan
atau
perbaikan bahan tanam. Varietasvarietas yang di usahakan oleh petani
saat ini sebagian besar adalah jenis lokal
dan telah mengalami perubahan genetis
akibat tekanan lingkungan baik biotik
maupun abiotik.
Hal tersebut
mengakibatkan produksi dalam negeri
belum dapat mencukupi kebutuhan,
sehingga peluang ekspor sama sekali
belum dapat dimanfaatkan.
Indonesia
pada tahun 1988
pernah memanfaatkan peluang ekspor
wijen ke Malaysia dan Singapura hingga
mencapai 1.464 ton, namun tahun-tahun
berikutnya
semakin turun.
Hal ini
disebabkan oleh produksi wijen dalam
negeri cenderung menurun dan hanya
untuk memenuhi
kebutuhan dalam
negeri, sehingga peluang ekspor belum
dapat dipenuhi secara optimal, bahkan
Indonesia justru menjadi pengimpor wijen
(Rukmana, 1998).
Peningkatan dan pengembangan
komoditas ini di dalam negeri dalam
skala besar tidak akan menimbulkan
kelebihan
produksi, karena produksi
wijen dunia selalu lebih rendah dari pada
konsumsi (Kassam, 1988).
Potensi
lahan di Indonesia yang sesuai untuk
komoditas ini masih sangat luas,
terutama di Kawasan Timur Indonesia
(KTI), yang sebagian besar wilayahnya
berupa lahan kering dan beriklim kering.
Kondisi ini memberikan harapan besar
dalam pengembangan dan perluasan
areal untuk penanaman komoditas ini.
Pengembangan dan perluasan areal
tersebut bertujuan dapat memenuhi
kebutuhan wijen untuk konsumsi baik
dalam negeri maupun luar negeri
(Sudjana, 1988).
Hasil wijen (biji), di samping
bernilai cukup tinggi juga mudah
diproses, , tidak mudah rusak, mudah
dikemas, dan mudah dikirim ke lain
daerah, serta
produksi biomassa
mencapai 80 % dari total bahan kering
yang dihasilkan dan dapat dikembalikan
ke lapangan sebagai bahan organik
(Soenardi, 1996).

Agri-tek Volume 13 Nomor 1 Maret 2012

Peningkatan produksi pertanian


saat ini dititik beratkan pada program
intensifikasi, sebagaimana dicanangkan
dalam program utama nasional dengan
berbagai rekayasa teknologi. Program
intensifikasi tanaman wijen khususnya
perbaikan varietas
bertujuan untuk
memperoleh bahan tanam yang baik
sebagai bagian dari program pemuliaan
tanaman. Program ini merupakan salah
satu aspek penting dalam peningkatan
produksi, baik kualitas maupun kuantitas.
Hal ini dilakukan melalui rangkaian
kegiatan penelitian pemuliaan tanaman
secara
terus
menerus
untuk
menghasilkan dan mengembangkan
varietas-varietas lebih baik baru yang
lebih produktif dan adaptif sehingga
mampu meningkatkan gizi masyarakat
dan pendapatan petani (Purnawati dan
Hidayat, 1996).
Perbaikan
varietas
tanaman
dapat diwujudkan dengan dihasilkannya
varietas baru, yang resisten terhadap
kekeringan, tahan terhadap hama dan
penyakit serta kelebih baikan lain yang
dapat menghasilkan produksi sesuai
dengan harapan dan secara umum
lebih baik dari varietas sebelumnya.
Keberhasilan menciptakan varietas baru
tidak
terlepas
dari
tersedianya
keragaman genetik hayati yang disebut
sebagai plasma nutfah (Sastrapradja,
1988). Karakter-karakter yang penting
dalam program pemuliaan wijen adalah
sifat kegenjahan, percabangan, panjang
ruas, jumlah polong, panjang polong,
jumlah kotak, warna biji, berat 1000 biji,
potensi hasil, kadar minyak dan
ketahanan terhadap kekeringan dan
penyakit utama ( Suprijono, 1996),
dimana karakter ini yang sering
digunakan dalam penentuan induk.
Sehubungan dengan hal tersebut
Budi 2003, telah berhasil melakukan
inventarisasi
plasma
nutfah
wijen
sebanyak 16 genotip yang potensi
dilakukan
persilangan
untuk
menghasilkan varietas baru.
Namun
demikian persilangan yang dilakukan
hingga saat ini belum ada yang

PERBAIKAN VARIETAS TANAMAN . 12

melakukan penelitihan tentang teknik


persilangan agar diperoleh prosentase
hasil persilangan dan berkualitas baik.
Terkait dengan hal tersebut
sangat diperlukan model perbaikan
varietas
tanaman
wijen
dengan
persilangan yang diharapkan dapat
memperoleh hasil persilangan yang
diharapkan yaitu tingkat keberhasilan
persilangan, yang ditunjukkan oleh
prosentase polong jadi dan normal, serta
elemen-elemen kunci apa saja yang
mempengaruhi
tingkat
keberhasilan
persilangan
yang
harus
menjadi
perhatian utama. Model yang dimaksud
adalah
prosedur
penting
dalam
melaksanakan persilangan.
BAHAN DAN METODE
Kerangka pemikiran

Perbaikan varietas tanaman


dapat dilakukan dengan beberapa cara,
satu diantaranya adalah persilangan
buatan dengan campur tangan manusia,
namun demikian keberhasilan melakukan
persilangan sangat ditentukan oleh
karakteristik
dari
jenis
tanaman/komoditas itu sendiri.
Oleh
karena itu untuk tanaman wijen sangat
memungkinkan memiliki karakteristik
yang berbeda pula dengan komoditas
lainnya. Di beberpa tanaman umumnya
faktor penentu keberhasilan persilangan
adalah
pemilihan induk betina dan
jantan, waktu pengambilan serbuk sari,
teknik kastrasi, waktu persilangan dan
pemeliharaan hasil persilangan. Terkait
dengan hal tersebut kerangka pemikiran
selengkapnya sebagaiman Gambar 1
berikut:

Gambar 1. Kerangka pemikiran model perbaikan varietas.


WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN
Penelitian dilakukan di sentra
pengembangan tanaman wijen di Desa
Sugihwaras
Kecamatan
Saradan

Agri-tek Volume 13 Nomor 1 Maret 2012

Kabupaten
Madiun.
Pelaksanaan
penelitian mulai bulan Mei Agustus
2011. Metode penelitian menggunakan

PERBAIKAN VARIETAS TANAMAN . 13

studi pustaka, pendapat pakar


pengamatan dilapang.

dan

TEKNIK
PENGUMPULAN
DAN
ANALISIS DATA
Data diperoleh dari data sekunder
dari dinas terkait dan studi pustaka, data
primer diperoleh dari diskusi pakar dan
pengamatan lapang. Pemilihan plasma
nutfah
sebagai
induk
tanaman
menggunakan metode perbandingan
eksponensial dari pakar tanaman wijen.
Data waktu pengambilan serbuk sari dan
waktu
persilangan
diperoleh
dari
pengamatan di lapang menggunakan
metode rancangan Acak Kelompok dan
uji beda nyata Duncan. Faktor Waktu
pengambilan serbuk sari 4 level (S =
Jam 05.00-06.00, 06.00-07.00, 07.0008.00 dan 09.00-10.00)
dan waktu
persilangan 4 level (P=06.00-09.00,
09.00-12.00, 12.00-15.00, 15.00-18.00),
sehingga
terdapat
20
kombinasi
perlakuan. Parameter pengamatan di
lapang meliputi: prosentase polong jadi,
prosentasi polong normal, prosentasi
bunga gugur, prosentasi polong tidak
normal, panjang polong dan jumlah biji
per polong.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil
Penentuan pemilihan plasma
nutfah untuk
induk persilangan baik
jantan maupun induk betina tanaman
wijen
diawali dengan pengajuan
sejumlah alternatif yaitu genotip wijen
G1, G2, G3, G5, G7 dan G9. Pemilihan
alternatif dilakukan berdasarkan pada
sejumlah kriteria yaitu produksi, umur
tanaman, percabang, ketahanan hama
dan penyakit, warna biji, bobot 1000 biji,
tahan kekeringan, tingkat adaptasi dan
ketahanan rebah.
Hasil
analisis
menunjukkan
bahwa kriteria dalam pemilihan plasma
nutfah untuk induk induk persilangan
baik jantan maupun induk betina
berdasarkan bobot kepentingan relatif
tertinggi
hingga
terendah
secara
agregatif adalah produksi , umur
tanaman, percabang, ketahanan hama
dan penyakit, tahan kekeringan, warna
biji, bobot 1000 biji, tingkat adaptasi
dan ketahanan rebah.
Hasil penilaian pakar terhadap
alternatif, menunjukkan bahwa alternatif
terbaik yaitu
menggunakan G1
(Genotipe MDN 001) dan G9 (Genotipe
PNG 001).
Hasil analisis pemilihan
plasma nutfah untuk induk induk untuk
persilangan
tanaman
wijen
selengkapnya disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Hasil analisis pemilihan alternatif induk untuk persilangan


Bobot
Alternatif Induk Persilangan
Agregat
Prioritas
G1 (Genotipe MDN 001)
393102308,8
I
G9 (Genotipe PNG 001)
376943160,5
II
G2 (Genotipe NGW 002)
214908701,8
III
G7 (Genotipe NGK 003)
13465627,51
IV
G3 (Genotipe NGK 001)
117905048
V
Tabel 1, menunjukkan bahwa keputusan
menggunakan G1 dan G9 diharapkan
dapat memberikan perbaikan varietas
yang paling baik, karena pemilihan induk
tersebut memiliki karakteristik atau sifat
yang potensial dalam meningkatkan
kualitas sifat tanaman keturunannya.

Agri-tek Volume 13 Nomor 1 Maret 2012

Hasil analisis ragam pengaruh


kombinasi perlakuan waktu pengambilan
serbuk sari dan waktu persilangan
terhadap
prosentase
polong
jadi
menunjukkan adanya interaksi yang
sangat
nyata (Lampiran 1 dan 2).
Adapun nilai rata-rata hasil pengamatan
pengaruh kombinasi perlakuan waktu

PERBAIKAN VARIETAS TANAMAN . 14

pengambilan serbuk sari dan waktu


persilangan terhadap prosentase polong

Jadi sebagaimana pada Gambar 2.

Gambar 2. Prosentase Polong Jadi


Dilihat pada Gambar 2 menunjukkan
bahwa kombinasi waktu pengambilan
serbuk sari antara pukul 05.00-06.00
(S1) dan waktu persilangan antara 06.0009.00 (P1) memberikan pengaruh yang
sangat signifikan, dibanding dengan
kombinasi perlakuan lainnya. Secara
nyata semakin siang pengambilan serbuk
sari
semakin
menurun
tingkat
keberhasilan
persilangan.
waktu
persilangan

Hasil analisis ragam pengaruh


kombinasi perlakuan waktu pengambilan
serbuk sari dan waktu persilangan
terhadap prosentase polong normal
menunjukkan adanya interaksi yang
sangat
nyata (Lampiran 1 dan 3).
Adapun nilai rata-rata hasil pengamatan
pengaruh kombinasi perlakuan waktu
pengambilan serbuk sari dan waktu
persilangan terhadap prosentase polong
normal sebagaimana pada Gambar 3.

Gambar 3. Prosentase Polong normal

Agri-tek Volume 13 Nomor 1 Maret 2012

PERBAIKAN VARIETAS TANAMAN . 15

Dilihat
pada
Gambar
3
menunjukkan bahwa kombinasi waktu
pengambilan serbuk sari antara pukul
05.00-06.00 (S1) dan waktu persilangan
antara 06.00-09.00 (P1) memberikan
pengaruh
yang
sangat
signifikan,
dibanding dengan kombinasi perlakuan
lainnya. Secara nyata semakin siang
pengambilan serbuk sari
semakin
menurunkan prosentase polong normal.
Hasil analisis ragam pengaruh
kombinasi perlakuan waktu pengambilan

serbuk sari dan waktu persilangan


terhadap prosentase jumlah bunga yang
gugur menunjukkan adanya interaksi
yang sangat nyata (Lampiran 1 dan 4).
Adapun nilai rata-rata hasil pengamatan
pengaruh kombinasi perlakuan waktu
pengambilan serbuk sari dan waktu
persilangan terhadap prosentase jumlah
bunga yang gugur sebagaimana pada
Gambar 4.

Gambar 4. Prosentase jumlah bunga yang gugur


Dilihat pada Gambar 4 menunjukkan
bahwa kombinasi waktu pengambilan
serbuk sari antara pukul 05.00-06.00
(S1) dan waktu persilangan antara 06.0009.00 (P1) memberikan pengaruh yang
sangat signifikan, dibanding dengan
kombinasi perlakuan lainnya. Secara
nyata semakin siang pengambilan serbuk
sari semakin meningkatkan prosentase
bunga yang gugur (gagal persilangan).

Hasil analisis ragam pengaruh


kombinasi perlakuan waktu pengambilan
serbuk sari dan waktu persilangan
terhadap prosentase polong tidak normal
menunjukkan adanya interaksi yang
nyata (Lampiran 1 dan 5). Adapun nilai
rata-rata hasil pengamatan pengaruh
kombinasi perlakuan waktu pengambilan
serbuk sari dan waktu persilangan
terhadap prosentase polong tidak normal
sebagaimana
pada
Gambar
5.

Gambar 5. Prosentase Polong tidak normal

Agri-tek Volume 13 Nomor 1 Maret 2012

PERBAIKAN VARIETAS TANAMAN . 16

Dilihat pada Gambar 5 menunjukkan


bahwa kombinasi waktu pengambilan
serbuk sari antara pukul 06.00-07.00
(S2) dan waktu persilangan antara 15.0018.00 (P4) memperoleh prosentase
polong terbesar, dan berbeda nyata
dengan kombinasi perlakuan lainnya,
tetapi tidak berbeda nyata dengan
kombinasi pelakuan waktu pengembilan
serbuk sari antara 08.00-09.00 (S3)
dengan waktu persilangan 06.00-09.00
(P1).

Hasil analisis ragam pengaruh


kombinasi perlakuan waktu pengambilan
serbuk sari dan waktu persilangan
terhadap panjang polong menunjukkan
adanya interaksi yang sangat
nyata
(Lampiran 1 dan 6). Adapun nilai ratarata
hasil
pengamatan
pengaruh
kombinasi perlakuan waktu pengambilan
serbuk sari dan waktu persilangan
terhadap panjang polong sebagaimana
pada Gambar 6.

Gambar 6. Panjang Polong


Dilihat pada Gambar 6, menunjukkan
bahwa kombinasi waktu pengambilan
serbuk sari antara pukul 05.00-06.00
(S1) dan waktu persilangan antara 06.0009.00 (P1) memberikan nilai rata-rata
panjang polong tertinggi dibanding
dengan kombinasi perlakuan lainnya,
tetapi tidak berbeda nyata dengan
kombinasi perlakuan waktu pengambilan
serbuk sari antara pukul 05.00-06.00
(S1) dan waktu persilangan antara 12.0015.00 (P3) dan waktu pengambilan
serbuk sari antara pukul 08.00-09.00

Agri-tek Volume 13 Nomor 1 Maret 2012

(S3) dan waktu persilangan antara 06.0009.00 (P1).


Hasil analisis ragam pengaruh
kombinasi perlakuan waktu pengambilan
serbuk sari dan waktu persilangan
terhadap jumlah biji per polong
menunjukkan adanya interaksi yang
sangat
nyata (Lampiran 1 dan 7).
Adapun nilai rata-rata hasil pengamatan
pengaruh kombinasi perlakuan waktu
pengambilan serbuk sari dan waktu
persilangan terhadap jumlah biji per
polong sebagaimana pada Gambar 7.

PERBAIKAN VARIETAS TANAMAN . 17

Gambar 7. Jumlah Biji Per Polong


Dilihat pada Gambar 7, menunjukkan
bahwa kombinasi waktu pengambilan
serbuk sari antara pukul 05.00-06.00
(S1) dan waktu persilangan antara 12.0015.00 (P3) memberikan nilai rata-rata
jumlah biji per polong tertinggi yaitu
sebesar 103 dan berbeda nyata dengan
dengan kombinasi perlakuan lainnya,
tetapi tidak berbeda nyata dengan
beberapa kombinasi perlakuan waktu
pengambilan serbuk sari pukul 09.0010.00 (S4) dan waktu persilangan antara
06.00-09.00 (P1) dan waktu pengambilan
serbuk sari antara pukul 05.00-06.00
(S1) dan waktu persilangan antara 15.0018.00 (P4). Sedangkan nilai rata-rata
terendah
dicapai
oleh
kombinasi
perlakuan waktu pengambilan serbuk
sari pukul 06.00-07.00 (S2) dan waktu
persilangan antara 12.00-15.00 (P3)
sebesar 89,66.
Pembahasan
Hasil analisis pemilihan induk
untuk persilangan berlandaskan pada
kriteria-kriteria
dan
pembobotan
berfungsi untuk memperoleh keputusan
yang
tepat,
agar
terhindar
dari
kesalahan-kesalahan yang tidak perlu.
Induk yang tepilih sebagai
bahan
persilangan diharapkan memberikan
perubahan sifat yang signifikan. Hasil
pemilihan alternatif plasma nutfah induk
wijen G1 (Genotipe MDN 001) memiliki
karakteristik jumlah produksi tinggi,
warna biji putih lebih disukai konsumen

Agri-tek Volume 13 Nomor 1 Maret 2012

dan mempunyai mutu minyak yang lebih


unggul dibanding warna wijen hitam
(Abajoglou, K. 1981). Sedangkan G9
(Genotipe PNG 001) memiliki sifat unggul
disisi pertumbuhan (tanaman lebih
tinggi), sedikit bercanag dan polong
serta biji berukuran lebih besar (Budi,
2003).
Berdasarkan
hasil
analisis
pengaruh
kombinasi
kombinasi
perlakuan waktu pengambilan serbuk
sari dan waktu persilangan menunjukkan
perbedaan yang nyata pada semua
parameter pengamatan. Dari beberapa
parameter tersebut terutama prosentase
polong jadi, prosentasi polong normal,
dan prosentase bunga gugur, semakin
siang
pengambilan
srbuk
sari
berpengaruh negatif terhadap tingkat
keberhasilan
persilangan,
hal
ini
disebabkan semakin siang atau semakin
meningkatnya terik matahari maka,
semakin
meningkatkan
kecepatan
pematangan serbuk sari, kemudian
mengering
akhirnya gugur, sehingga
kondisi ini menyebabkan serbuk sari
yang digunakan untuk melakukan
persilangan semakin terbatas dan
kualitasnya
semakin
menurun.
Sebaliknya semakin meningkat intensitas
penyinaran matahari proses persilangan
justru lebih baik, mengingat bahwa putik
pada induk betina justru semakin matang
dan siap untuk di buahi yang ditunjukkan
oleh kepala putik membuka sempurna.

PERBAIKAN VARIETAS TANAMAN . 18

Selanjutnya hasil analisis pada


parameter prosentasi polong tidak
normal, juga disebabkan oleh menurunya
kualitas serbuk sari dan juga dapat
disebabkan kurang matangnya kepala
putik untuk membuka serta akibat dari
keterampilan pemulia yang kurang
(kurang teliti melakukan prosedur
operasionalnya).
Disamping itu juga
dapat disebabkan karena gangguan
hama dan atau penyakit yang pada saat
proses pertumbuhan embrio (Beech,
1981).
Sedangkan panjang polong dan
jumlah biji perpolong, juga menunjukkan
perbedaan yang nyata, hal ini lebih
dominan disebabkan oleh kondisi
tanaman
dan
kondisi
lingkungan
(Poespodarsono, 1986).
Meningat
bahwa pertumbuhan tanaman baik tinggi
tanaman, ukuran polong dan bobot biji
sangat didominasi oleh faktor nutrisi
tanaman (Godin dan Spensley. 1971).
KESIMPULAN
Hasil analisis di atas dapat
disimpulkan bahwa perbaikan varietas
tanaman wijen melalui persilangan
sangat ditentukan oleh banyak faktor.
Faktor kunci diantaranya adalah induk
yang mempunyai potensi unggul yang
ditunjukkan oleh sifat-sifat yang menonjol
diataranya
produksi
tinggi,
tahan
kekering, toleran dari serangan hama
dan penyakit, dan umur yang genjah.
Disamping
itu
penentuan
waktu
pengambilan serbuk sari sebaiknya
dilakukan sebelum matahari terbit atau
intensitasnya nyata, dan pelaksanaan
persilangan
semakin
siang
akan
memberikan peluang yang sangat besar
tingkat keberhasilannya.
Di sisi lain
pemulia sendiri
mutlak memiliki
keterampilan yang handal sesuai dengan
standar operasional prosedur.
SARAN
Berdasarkan
hasil
penelitian
masih
memerlukan penyempurnaan
penelitian perbaikan varietas tanaman
dengan menggunakan banyak variasi

Agri-tek Volume 13 Nomor 1 Maret 2012

iinduk dan menguji dan penilaian hasil


penggabungan sifatnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abajoglou, K. 1981. Sesame breeding
At The Cotton Research
Intitute in Greece. Dalam
Sesame
Status
And
Improvement.
Proc.
Of
Excpert Consultation. 8-12
Desember 1980. FAO. Rome.
Italy. P. 132-133.
Beech, D.F. 1981. Sesame: Sesame
Agronomic
Approach To
Yeald Improvement. Dalam
Sesame
Status
And
Improvement.
Proc.
Of
Excpert Consultation. 8-12
Desember 1980. FAO. Rome.
Italy. P. 121-126.
Budi. LS. 2003.
Identifikasi Sifat
Agronomis Plasma Nutfah
Tanaman Wijen (Sesamum
indicum L.).[Thesis]. Jember.
Program
Pascasarjana
Universitas Negeri Jember.
Godin,V.J. and P.C. Spensley. 1971. TPI
Crop and Product Digest. The
Tropical Products Institute.
Foereign and Commenwealth
Office (132-137). London WC
IX SLU, England.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna
Indonesia III.
Terjemahan
Badan Litbang Kehutanan.
Jakarta:
Yayasan
Saranawanajaya. P. 17471751
Ketaren. S (1986). Minyak dan Lemak
Pangan, Ui-Press, Jakarta
Kassam A.H. 1988. Crops of the West
African semi-arid tropics.
International Crops Intitute for
the Semi-arid Tropics.
Poespodarsono, S. 1986. Pemuliaan
Tanaman
I.
Malang
:
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan
.
Fakultas
Pertanian,
Universitas
Brawijaya Malang

PERBAIKAN VARIETAS TANAMAN . 19

Rismunandar, 1976. Bertanam Wijen.


Penerbit Terate. Bandung
Rukmana, R.1998. Budidaya Wijen.
Yogyakarta:
Penerbit
Kanisius.
Purnawati, E. Dan Hidajat, J.R. 1996.
Karakterisasi Plasma Nutfah
Kedelai, Prosiding , Makalah
Seminar Hasil Penelitian
Plasma Nutfah Pertanian ,
Bogor, 13 Maret 1996.
Sudjana, A.
1988. Pelestarian dan
Pemanfaatan Plasma Nutfah
Jagung. Disampaikan pada
Kursus Pemanfaatan dan
Pelestarian Plasma Nutfah
Jagung 19p.

Soenardi.

1996. Budidaya Tanaman


Wijen.
Balai Penelitian
Tembakau dan Serat, Badan
Penelitian
dan
Pengembangan
Pertanian,
Malang. Monograf BALITTAS
NO 2.
Sastrapradja, S. 1988. Plasma Nutfah
Nabati
untuk
Ketahanan
Nasional dan Kemanusiaan.
Kursus Pemanfaatan dan
Pelestarian Plasma Nutfah.
Bogor. 22 Februari-12 Maret
1988.

Lampiran-Lampiran
Lampiran 1. ANOVA
Sum of Squares
Pr osentasi
Pol ong Jadi

Pr osentasi
Pol ong
Normal

Between Groups

2 0.350

18.000

32

.563

Total

323.250

47

Between Groups

360.000

15

2 4.000

14.000

32

.438

374.000

47

13.917

15

.928

13.333

32

.417

27.250

47

Between Groups

1.922

15

.128

Within Groups

2.545

32

.080

Total

4.467

47

Between Groups

697.646

15

4 6.510

Within Groups

817.333

32

2 5.542

15 14.979

47

305.250

15

2 0.350

18.000

32

.563

323.250

47

Within Groups

Within Groups

Pr osentase
Between Groups
Pol ong Ti dak Within Groups
Normal
Total

Juml ah Biji
Per Polong

Mean Square
15

Total

Panj ang
Pol ong

df

305.250

Total
Pr osentase
Between Groups
Bung a Gugur Within Groups
Total

Agri-tek Volume 13 Nomor 1 Maret 2012

Si g.

36.178

.000

54.857

.000

2.227

.028

1.611

.126

1.821

.076

36.178

.000

PERBAIKAN VARIETAS TANAMAN . 20

L am p i ra n 2 . P r o s e n t a s e p o l o n g ja d i
D uncan

S u b s e t f o r a lp h a = 0 .0 5
P e r la k u a n

S4P4

1 .3 3 3 3

S4P2

2 .0 0 0 0

S4P3

2 .0 0 0 0

S4P1

2 .3 3 3 3

S3P4

4 .3 3 3 3

S3P1

5 .3 3 3 3

5 .3 3 3 3

S3P2

5 .3 3 3 3

5 .3 3 3 3

S3P3

6 .0 0 0 0

6.0000

S2P1

6 .3 3 3 3

6.3333

S2P3

6 .3 3 3 3

6.3333

S2P2

7.0000

S2P4

7.0000

S1P1

7.3333

S1P2

9.0000

S1P4

9.0000

S1P3

9.3333

Sig.

.1 4 5

.1 3 2

.1 5 4

.063

.6 13

M e a n s f o r g r o u p s in ho m o g e n e o u s s u b s e t s a r e d is pl a y e d .
a . U s e s H a r m o ni c M e a n S a m p le S i z e = 3 , 0 0 0 .

L am pi ra n 3 . P r os e n ta s e P o lo ng N orm a l
D unc an

S u b se t f o r a lp h a = 0 .0 5
P e rla ku a n

S4P2

1.0000

S4P3

1.0000

S4P4

1.0000

S4P1

1.3333

S3P1

3 .6 6 6 7

S3P2

4 .3 3 3 3

4 .3 3 3 3

S3P4

4 .3 3 3 3

4 .3 3 3 3

S3P3

5 .3 3 3 3

5.3333

S2P4

5 .3 3 3 3

5.3333

S2P1

6.0000

S2P2

6.3333

6.3333

S2P3

6.3333

6.3333

S1P1

S1P2

8 .6 6 6 7

S1P4

8 .6 6 6 7

S1P3

9 .3 3 3 3

Si g.

7.3333

.580

.2 5 3

.0 9 9

.107

.089

.2 5 3

M e a n s f o r g ro u p s in ho m o g e n e o u s s u b se t s a re d is pl a ye d .
a . U s e s H a rm o ni c M e a n S a m p le Si ze = 3 , 0 0 0 .

Agri-tek Volume 13 Nomor 1 Maret 2012

PERBAIKAN VARIETAS TANAMAN . 21

L a m p i ra n 4 . P r o s e n ta s e B u n g a G u g u r
D uncan

S u b s e t fo r a l p h a = 0 . 0 5
P e r la k u a n

S1P3

.6 6 6 7

S1P2

1 .0 0 0 0

S1P4

1 .0 0 0 0

S1P1

2.666 7

S2P2

3.000 0

S2P4

3.000 0

S2P1

3.666 7

3 .6 6 6 7

S2P3

3.666 7

3 .6 6 6 7

S3P3

4.000 0

4 .0 0 0 0

S3P1

4 .6 6 6 7

4.6667

S3P2

4 .6 6 6 7

4.6667

S3P4

S4P1

7.66 67

S4P2

8.00 00

S4P3

8.00 00

S4P4

5.6667

8.66 67

Sig.

.6 1 3

.06 3

.1 5 4

.132

.1 4 5

M e a n s f o r g r o u p s in ho m o g e n e o u s s u b s e t s a r e d is pl a y e d .
a . U s e s H a r m o ni c M e a n S a m p le S i z e = 3 , 0 0 0 .

L a m p i r a n 5 . P r o s e n t a s e P o lo n g T id a k N o r m a l
D unc an

S u b s e t fo r a l p h a = 0 . 0 5
P e r la k u a n

S 1P 1

.0 0 0 0

S 1P 3

.0 0 0 0

S 2P 3

.0 0 0 0

S 3P 4

.0 0 0 0

S 2P 1

.3 3 3 3

S 1P 2

.3 3 3 3

S 1P 4

.3 3 3 3

S 4P 4

.3 3 3 3

S 2P 2

.6 6 6 7

S 3P 3

.6 6 6 7

.6 6 6 7

S 4P 1

1 .0 0 0 0

1 .0 0 0 0

S 3P 2

1 .0 0 0 0

1 .0 0 0 0

S 4P 2

1 .0 0 0 0

1 .0 0 0 0

S 4P 3

1 .0 0 0 0

1 .0 0 0 0

S 3P 1

S 2P 4

S ig.

.6 6 6 7

1 .6 6 6 7
1 .6 6 6 7
.1 2 1

.1 1 1

M e a n s f o r g r o u p s in h o m o g e n e o u s s u b s e t s a r e
d i s p la y e d .
a . U s e s H a r m o ni c M e a n S a m p le S i z e = 3 , 0 0 0 .

Agri-tek Volume 13 Nomor 1 Maret 2012

PERBAIKAN VARIETAS TANAMAN . 22

L a m p i r a n 6 . P a n ja n g P o l o n g
D uncan

S u b s e t fo r a l p h a = 0 . 0 5
P e rla k u a n

S2P3

16.5333

S4P3

16.5667

1 6 .5 6 6 7

S1P2

16.6833

1 6 .6 8 3 3

1 6 .6 8 3 3

S2P2

16.8000

1 6 .8 0 0 0

1 6 .8 0 0 0

S3P4

16.8000

1 6 .8 0 0 0

1 6 .8 0 0 0

S2P4

16.8667

1 6 .8 6 6 7

1 6 .8 6 6 7

S4P4

16.9000

1 6 .9 0 0 0

1 6 .9 0 0 0

S4P1

16.9333

1 6 .9 3 3 3

1 6 .9 3 3 3

S4P2

16.9433

1 6 .9 4 3 3

1 6 .9 4 3 3

S1P4

17.0000

1 7 .0 0 0 0

1 7 .0 0 0 0

S3P2

17.0333

1 7 .0 3 3 3

1 7 .0 3 3 3

S2P1

17.0667

1 7 .0 6 6 7

1 7 .0 6 6 7

S3P3

1 7 .1 0 0 0

1 7 .1 0 0 0

S3P1

1 7 .1 3 3 3

S1P3

1 7 .1 6 6 7

S1P1

1 7 .2 3 3 3

S ig.

.059

.0 5 9

.0 5 3

M e a n s f o r g r o u p s in ho m o g e n e o u s s u b s e t s a r e d is pl a y e d .
a . U s e s H a r m o ni c M e a n S a m p le S i z e = 3 , 0 0 0 .

L a m p ir a n 7 . J u m la h B i ji P e r P o lo n g
D uncan

S u b s e t f o r a lp h a = 0 . 0 5
P e r la k u a n

S2P3

8 9 .6 6 6 7

S1P2

9 1 .3 3 3 3

9 1.3333

S4P3

9 2 .3 3 3 3

9 2.3333

92.333 3

S3P4

9 4 .6 6 6 7

9 4.6667

94.666 7

9 4 .6 6 6 7

S2P2

9 5 .0 0 0 0

9 5.0000

95.000 0

9 5 .0 0 0 0

S4P4

9 7 .0 0 0 0

9 7.0000

97.000 0

9 7 .0 0 0 0

S3P3

9 7 .3 3 3 3

9 7.3333

97.333 3

9 7 .3 3 3 3

S2P1

9 7 .6 6 6 7

9 7.6667

97.666 7

9 7 .6 6 6 7

S4P2

9 7 .6 6 6 7

9 7.6667

97.666 7

9 7 .6 6 6 7

S3P1

9 8 .0 0 0 0

9 8.0000

98.000 0

9 8 .0 0 0 0

S2P4

9 8 .6 6 6 7

9 8.6667

98.666 7

9 8 .6 6 6 7

S3P2

10 0.3333

1 0 0 .3 3 3 3

1 0 0 .3 3 3 3

S1P1

1 0 1 .3 3 3 3

1 0 1 .3 3 3 3

S1P4

1 0 1 .6 6 6 7

1 0 1 .6 6 6 7

S4P1

1 0 2 .0 0 0 0

1 0 2 .0 0 0 0

S1P3

Sig.

1 0 3 .0 0 0 0
.0 7 3

.073

.05 7

.099

M e a n s f o r g r o u p s in ho m o g e n e o u s s u b s e t s a r e d is pl a y e d .
a . U s e s H a r m o ni c M e a n S a m p le S i z e = 3 , 0 0 0 .

Agri-tek Volume 13 Nomor 1 Maret 2012

PERBAIKAN VARIETAS TANAMAN . 23

Anda mungkin juga menyukai