Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN
I.1 Latarbelakang
Usaha-usaha untuk menurunkan angka kematian maternal dan angka
kematian perinatal masih menjadi prioritas utama program Departemen Kesehatan
RI. Salah satu tujuan program pemerintah dari Millenium Development Goals ada
meningkatkan kesehtaan ibu dengan mengurangi resiko kematian ibu hingga 75%
atau 102 per 100.000 kelahiran hingga pada tahun 2015.1
Perdarahan dan nyeri pada sebelum, sewaktu dan sesudah kehamilan adalah
kelainan yang berbahaya dan mengancam nyawa ibu serta merupakan masalah
kegawat daruratan Perdarahan pada kehamilan harus selalu dianggap sebagai
kelainan yang berbahaya . Perdarahan pada kehamilan muda disebut dengan
keguuguran ataupun abortus. Perdarahan pervaginam pada kehamilan muda ialah
perdarahn yang terjadi sebelum usia kehamilan 20 minggu.2
Komplikasi kehamilan lebih sering terjadi pada usia trimester pertama
kehamilan dibandingkan dengan usia kehamilan yang lain. Komplikasi terbanyak
pada kehamilan ialah terjadinya perdarahan, nyeri ataupun kedua.3 Pada
kehamilan muda perdarahan sering dikaitkan dengan kejadian abortus,
misscariage, ataupun early pregnancy loss.2
Perdarahan pada trimester awal kehamilan terjadi sebanyak 15% - 20% dari
wanita hamil. Ketika perdarahan terjadi di kehamilan trimester pertama,
kemungkinan terjadinya keguguran pada kehamilan sekitar 30%, presentase 10% 15% terjadi kehamilan ektopik, 0,2% terjadinya mola hidatidosa, dan 5% dari
wanita akan melakukan terminasi pada kehamilannya.3
Sebelum melakukan penatalaksaan pada kasus perdarahaan dan nyeri pada
kehamilan awal, sangat diperlukan penegakan diagnosa pasti yang didapat dari
hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang seperti USG dan
-hCG tes sangat membantu dalam membuat diagnosis.
Pada referat ini, penulis akan membahas lebih lanjut tentang perdarahan dan
nyeri pada kehamilan awal.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Perdarahan dan Nyeri pada awal Kehamilan
Kehamilan normal biasanya tidak disertai dengan perdarahan pervaginam,
tetapi terkadang banyak wanita mengalami episode perdarahan pada trimester
pertama kehamilan. Darah yang keluar biasanya segar (merah terang) ataupun
coklat tua ataupun coklat kehitaman. Perdarahan yang terjadi biasanya ringan
tetapi bisa menetap selama beberapa hari atau secara tiba-tiba keluar dalam
jumlah besar.2

Bleeding and Pain in Early Pregnancy. Elsevier. 2011.


Terdapat klasifikasi perdarahan pada kehamilan muda, yaitu :2
1. Abortus
Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin
dapat hidup diluar kandungan

2. Mola Hidatidosa

Mola hidatidosa adalah kehamilan abnormal dimana hampir seluruh vili


korialisnya mengalami perubahan hidrofilik.
3. Kehamilan Ektopik
Kehamilan ektopik adalah suatu kehamilan yang berbahaya bagi wanita
yang bersangkutan dan berhubungan dengan besarnya kemungkinan
terjadinya keadaan yang gawat.
II.1.1 Abortus
a. Definisi
Definisi Abortus (aborsi, abortion) adalah ancaman atau
pengeluaran konsepsi sebelum janin dapat hidup diluar kandungan.
Sebagai batasan ialahah kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat
janin kurang dari 500 gram. Di Amerika serikat, definisi ini terbatas pada
terminasi kehamilan sebelum 20 minggu didasarkan pada tanggal hari
pertama haid normal terakhir. Definisi lain yang sering digunakan adalah
keluarnya janin-neonatus yang beratnya kurang dari 500 g.
Abortus yang berlangsung tanpa tindakan disebut abortus
spontan, sedangkan abortus yang terjadi dengan sengaja dilakukan
tindakan tersebut disebut abrtus provokatus. Abortus provokatus ini
dibagi 2 kelompok yaitu abortus provokatus medisinalis dan abortus
provokatus kriminalis. Disebut medisinalis bila didasarkan pada
pertimbangan dokter untuk menyelamatkan ibu.2
b. Etiologi
Penyebab abortus (early pregnancy loss) bervariasi dan sering
diperdebatkannya lebih dari satu penyebab. Penyebab terbanyak diantaranya
adalah sebagai berikut :2,4

Faktor Genetik
Paling sedikit 50% kejadian abortus pada trimester pertama
merupakan kelainan

sitogenetik. Separuh dari abortus karena

kelainan sitogenetik pada trimester pertama berupa trisomi

autosom. Insiden trisomi meningkat dengan bertambahnya usia.


Risiko ibu terkena aneuploidi adalah 1 : 80, pada usia diatas 35
tahun karena angka kejadian kelainan kromosom/trisomi akan
meningkat setelah usia 35 tahun. Selain itu abortus berulang biasa
disebabkan oleh penyatuan dari 2 kromosom yang abnormal,
dimana bila kelainannya hanya pada salah satu orang tua, faktor
tersebut

tidak

diturunkan.

Studi

yang

pernah

menunjukkan bahwa bila didapatkan kelainan

dilakukan

kariotip pada

kejadian abortus, maka kehamilan berikutnya juga berisiko abortus.

Kelainan kongenital uterus


Defek anatomik uterus diketahui sebagai penyebab komplikasi
obstetrik. Insiden kelainan bentuk uterus berkisar 1/200 sampai
1/600 perempuan dengan riwayat abortus, dimana ditemukan
anomaly uterus pada 27% pasien. Penyebab terbanyak abortus
karena kelainan anatomik uterus adalah septum uterus (40 - 80%),
kemudian uterus bikornis atau uterus didelfis atau unikornis (10 30%). Mioma uteri juga bisa menyebabkan infertilitas maupun
abortus berulang. Risiko kejadiannya 10 - 30% pada perempuan
usia reproduksi. Selain itu Sindroma Asherman bias menyebabkan
gangguan tempat implantasi serta pasokan darah pada permukaan
endometrium. Risiko abortus antara 25 80%, bergantung pada

berat ringannya gangguan.


Penyebab infeksi
Teori peran mikroba infeksi terhadap kejadian abortus mulai
diduga sejak 1917, ketika DeForest dan kawan-kawan melakukan
pengamatan kejadian abortus berulang pada perempuan yang
ternyata terpapar brucellosis. Beberapa jenis organisme tertentu
diduga berdampak pada kejadia abortus antara lain :
a. Bakteri :
- Listeria monositogenesis
- Klamidia trakomatis

- Ureaplasma urealitikum
- Mikoplasma hominis
- Bakteria vaginosis
b. Virus :
- Sitomegalovirus
- Rubella
- Herpes simpleks virus (HSV)
- Human Immunodeficiency virus (HIV)
- Parvovirus
c. Parasit :
- Toksoplasmosis gondii
- Plasmodium falsiparum
d. Spirokaeta
- Treponema palidum
Berbagai teori diajukan untuk mencoba menerangkan peran infeksi
terhadap risiko abortus, diantaraya sebagai berikut.
a. Adanya metabolik toksik, endotoksin, eksotoksin, atau sitokin
yang berdampak langsung pada janin atau unit fetoplasenta.
b. Infeksi janin yang bisa berakibat kematian janin atau cacat berat
sehingga janin sulit bertahan hidup.
c. Infeksi plasenta yang berakibat insufisiensi plasenta dan bias
berlanjut kematian janin.
d. Infeksi kronis endometrium dari penyebaran kuman genitalia

bawah yang bisa mengganggu proses implantasi.


Faktor Haematologik
Beberapa kasus abortus berulang ditandai dengan efek plesentasi
dan adanya mikrotrombi pada pembuluh darah plasenta. Bukti lain
menunjukkan bahwa sebelum terjadi abortus, sering didapatkan
defek

hemostatik.

Penelitian

Tulpalla

dan

kawan-kawan

menunjukkan bahwa perempuan dengan riwayat abortus berulang,


sering terdapat peningkatan produksi tromboksan yang berlebihan
pada usia kehamilan 4 6 minggu, dan penurunan produksi
prostasiklin

saat

usia

kehamilan

11

minggu.

Hiperhomosisteinemi, bisa congenital ataupun akuisita juga


berhubungan dengan thrombosis dan penyakit vascular dini.
Kondisi ini berhubungan dengan 21% abortus berulang.
Berbagai komponen koagulasi dan fibrinolitik memegang peranan
penting pada implantasi embrio, invasi trofoblas, dan plasentasi.

Pada kehamilan terjadi keadaan hiperkoagulasi dikarenakan


peningkatan kadar faktor prokoagulan, faktor anatigulan, dan

penurunan aktivitas fibrinolitik.


Faktor hormonal
Ovulasi, implantasi, serta kehamilan dini bergantung pada
koordinasi yang baik sistem pengaturan hormon maternal. Oleh
karena itu, perlu perhatian langsung terhadap sistem hormon secara
keseluruhan, fase luteal, dan gambaran hormon setelah konsepsi
terutama kadar progesterone. Perempuan diabetes dengan kadar
HbA1c tinggi pada trimester pertama , risiko abortus meningkat
signifikan. Diabetes jenis insulin-dependen dengan kontrol glukosa
tidak adekuat punya peluang 2 3 kali lipat mengalami abortus.
Pada tahun 1929, allen dan Corner mempublikasikan tentang
proses fisiologi korpus luteum, dan sejak itu diduga bahwa kadar
progesteron yang rendah berhubungan dengan risiko abortus.
Sedangkan pada penelitian terhadap perempuan yang mengalami
abortus lebih dari atau sama dengan 3 kali, didapatkan 17%
kejadian defek fase luteal. Dan, 50% perempuan dengan histologi
defek fase luteal punya gambaran progesterone yang normal. Selain
penyebab-penyebab diatas kategori penyebabnya, antara lain :
a) Kelainan genitalia ibu
Kongenital anomaly (hipoplasia uteri, uterus bikornis, dan

lain-lain).
Kelainan letak dari uterus seperti retrofelsi uteri fiksata.
Tidak sempurnanya persiapan uterus untuk nidasi daripada
ovum

yang

sudah

dibuahi

seperti

kurangnya

progesterone/oestrogen, endometritis, mioma submukus.


Uterus terlalu cepat renggang (kehamilan ganda, mola).
Distorsio dari uterus : oleh karena didorong oleh tumor

pelvis.
b) Gangguan sirkulasi plasenta, kita jumpai pada penyakit nefritis,
hipertensi, toksemia-gravidarum,dan anomaly plasenta
c) Penyakit-penyakit ibu, penyakit infeksi yang menyebabkan demam
tinggi : pneumonia, tifoid, pielitis, rubeola, demam malta dan

sebagainya. Berdasarkan faktor ibu yang paling sering menyebabkan


abortus adalah infeksi. Sesuai dengan keluhan yang biasa ibu alami
kemungkinan penyebab terjadinya abortus adalah infeksi pada alat
genital. Tapi bisa saja juga dipengaruhi oleh faktor- faktor yang lain.
Infeksi vagina pada kehamilan sangat berhubungan dengan terjadinya
abortus atau partus sebelum waktunya.
Penyebab Autoimun
Terdapat hubungan yang nyata antara abortus yang berulang dan
penyakit autoimun. Misalnya, pada Systematic Lupus Erythematosus
( SLE ) dan antiphospholipid Antibodies ( aPA ). aPA merupakan
antibody spesifik yang didapati pada perempuan dengan SLE.
Kejadian abortus spontan di antara pasien SLE sekitar 10%,
disbanding populasi umum. Bila digabung dengan peluang
terjadinya pengakhiran kehamilan trimester 2 dan 3, maka
diperkirakan 75% pasien dengan SLE akan berakhir dengan
terhentinya kehamilan. Sebagian besar kematian janin dihubungkan
dengan adanya aPA. aPA merupakan antibodi yang berikatan dengan
sisi negative dari fosfolipid
Recurrent Pregnancy Loss, Etiology, Diagnosis, and Therapy.Rev
Obstet Gynecol.2009. Spring ;2(2): 76 83.

c. Macam-macam Abortus2

Abortus Iminens
Peristiwa terjadinya perdarahan dari uterus pada kehamilan
sebelum 20 minggu, dimana hasil konsepsi masih dalam uterus,

dan tanpa adanya dilatasi serviks.


Abortus Insipiens
Abortus yang sedang mengancam yang ditandai dengan serviks
telah mendatar dan ostium uteri telah membuka, akan tetapi hasil

konsepsi masih dalam kavum uteri dan dalam proses pengeluaran.


Abortus kompletus
Seluruh hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri pada
kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500
gram. Semua hasil konsepsi telah dikeluarkan, osteum uteri telah
menutup, uterus sudah mengecil sehingga perdarahan sedikit. Besar

uterus tidak sesuai dengan umur kehamilan.


Abortus habitualis (3 kali atau lebih)
Abortus habitualis adalah abortus spontan yang terjadi 3 kali atau
lebih berturut-turut. Anomali kromosom parental, gangguan
trombofilik pada ibu hamil, dan kelainan struktural uterus

merupakan penyebab langsung pada abortus habitualis.


Abortus Terapetik
Terminasi suatu kehamilan atas indikasi ibu. Jika pengakhiran
kehamilan tidak segera dapat mengancam keselamatan ibu atau

kecacatan yg berat janin


Abortus Inkompletus
Abortus inkompletus adalah keluarnya sebagian, tetapi tidak
seluruh hasil konsepsi, sebelum umur kehamilan lengkap 20
minggu dan sebelum berat janin 500 gram

II.1.2 Mola Hidatidosa


a. Definisi
Mola hidatidosa (molar pregnancy, gestational trophoblastic
disease) adalah suatu kehamilan yang berkembang tidak wajar

dimana tidak ditemukan janin dan hampir seluruh vili korialis


mengalami

perubahan

berupa

degenerasi

hidropik.

Secara

makroskopi, mola hidatidosa mudah dikenal, yaitu berupa


gelembung-gelembung putih tembus pandang, berisi cairan
jernih,

dengan

bervariasi
tampak

ukuran
sehingga
seperti
gugusan

buah

anggur.

b.

2,5

Klasifikasi
Hydatidiform Mole. Embryology. Abnormal Development. 2016.

Mole Hidatidiform. MD Guidelines : American Medical Association :


2012.

Mola hidatidosa dapat diklasifikasikan menjadi 2 yaitu :6


a. Mola Hidatidosa Komplit: merupakan hasil kehamilan tidak normal tanpa
adanya embrio-janin, dengan pembengkakan hidrofik vili plasenta dan
seringkali memiliki hiperplasia trofoblastik pada kedua lapisan.
b. Mola Hidatidosa Parsial: merupakan triploid yang mengandung dua set
kromosom paternal dan satu set kromosom maternal, tetapi pada triploid
akibat dua set kromosom maternal tidak menjadi mola hidatidosa parsial.
Seringkali terdapat mudigah atau jika ditemukan sel darah merah berinti
pada pembuluh darah vili.4

c. Mola Invasif: neoplasia trofoblas gestasional dengan gejala adanya vili


korialis disertai pertumbuhan berlebihan dan invasi sel-sel trofoblas.
Jaringan mola invasif melakukan penetrasi jauh ke miometrium,
kadangkadang melibatkan peritoneum, parametrium di sekitarnya atau
dinding vagina. Mola invasif terjadi pada sekitar 15% pasien
pascaevakuasi mola hidatidosa komplit
Bleeding and Pain in Early Pregnancy. Elsevier. 2011.

Firsttrimesterpregnancyabnormalities.RadiolBras.2010:vol.43no.2.

10

c. Pengelolaan Mola Hidatidosa


Bleeding and Pain in Early Pregnancy. Elsevier.
2011.

II.1.3 Kehamilan ektopik


a. Definisi

11

Kehamilan ektopik ialah suatu kehamilan yang pertumbuhan sel telur


yang telah dibuahi tidak menempel pada dinding endometrium kavum uteri.
Sebagian besar berlokasi di tuba fallopi (>95%) khususnya di ampulla dan
isthmus. Kehamilan ektopik terganggu adalah kehamilan ektopik yang
mengalami abortus atau rupture apabila masa kehamilan berkembang melebihi
kapasitas ruang implantasi, contohnya di tuba. 2
Kehamilan ektopik terjadi pada 1% sampai 2% dari seluruh kehamilan
dan bertanggung jawab untuk 9% dari kematian terkait kehamilan di Amerika
Serikat. Ketika seorang pasien hamil memiliki gejala perdarahan pada trimester
pertama atau sakit perut, dokter harus mempertimbangkan kehamilan ektopik
sebagai penyebabnya. Di Indonesia sendiri kejadian kehamilan ektopik sekitar
5 6 per seribu kehamilan. 2,8

Canadian Gynecology Instof Chines Medicine on March


2015

12

b. Klasifikasi
Menurut lokasinya, kehamilan ektopik dapat dibagi dalam beberapa
golongan, yaitu:2
1. Kehamilan serviks
2. Kehamilan pars interstisialis tuba
3. Tanduk rudimenter rahim
4. Kehamilan tuba
5. Kehamilan ovarial
6. Kehamilan abdomen
a. Primer
Terjadi bila telur dari awal mengadakan implantasi dalam rongga
perut
b. Sekunder
Berasal dari kehamilan tuba dan setelah ruptur baru menjadi
kehamilan abdominal.

Lokasi dan sublokasi

Tuba Fallopi :

Jumlah (persentase)

98 %

Ampula tuba

93 %

Isthmus tuba

4%

Interstisial tuba

2%

Kehamilan ektopik
servikal

0,1 %

0,5 %

0,03 %

Kehamilan ovarial

Kehamilan abdominal

13

c. Etiologi dan faktor resiko


Etiologi terjadinya kehamilan ektopik sebagian besar idiopatik. Faktor
yang memegang peranan penting diantaranya:8

DiagnosisandManagementofectopicPregnancy.JFamPlannReprodHealthCare.2011

d. Penegakan Diagnosis2
1. Anamnesis:
- Haid terlambat

14

- Gejala subjektif kehamilan muda


- Nyeri perut bawah, nyeri bahu, tenesmus
2. Pemeriksaan umum
- Penderita tampak kesakitan & pucat
- Perdarahan dalam rongga perut: ditemukan tanda-tanda syok
- Perut bawah sedikit menggembung & nyeri tekan
3. Pemeriksaan ginekologi
- Tanda kehamilan muda
- Pergerakkan servik menyebabkan nyeri
- Uterus sedikit membesar & kadang ada tumor di samping uterus yang
batasnya sukar ditentukan
- Kavum douglas menonjol & nyeri raba: hematokel retrouterina
- Suhu kadang-kadang naik
4. Pemeriksaan laboratorium
- Hb & Hct : terutama jika perdrahan dalam rongga perut
- Leukosit biasanya normal, pada infeksi pelvik, leukosit > 20.000
- Tes kehamilan (+), tetapi bisa juga (-) karena kematian hasil konsepsi
& degenerasi trofoblas produksi HCG & tes (-).
5. Dilatasi & Kuretase
Pada umumnya tidak dianjurkan karena kemungkinan adanya
kehamilan uterus bersamaan dengan kehamilan ektopik, dapat
menimbulkan reaksi desidua, perubahan endometrium
6. Kuldosentesis (Douglas pungsi)
Untuk mengetahui apakah di dalam kavum douglas terdapat darah dan
membantu diagnosis.

7. Ultrasonografi
- Berguna dalam diagnosis kehamilan ektopik.
- Diagnosis pasti: Terlihat kantong gestasi berisis mudigah/janin hidup
yang letaknya di luar kavum uteri.
Embryology Ultrasound - Ectopic Movie 1. Retrieved August 9, 2016,
fromhttps://embryology.med.unsw.edu.au/embryology/index.php/Ultrasound__Ectopic_Movie_1

15

8. Laparoskopi
-

Laparoskopi hanya berguna sebagai alat bantu diagnostik terakhir


untyk kehamilan ektopik, jika hasil penilaian prosedur diagnostik
yang lain meragukan.

Laparoskopik dapat menilai alat kandungan bagian dalam, seperti:


keadaan uterus, ovarium, tuba, kavum Douglas, dan lihgamentum
latum.

Adanya darah dalam rongga pelvis mungkin mempersulit visuailisasi alat


kandungan, dan menjadi indikasi untuk dilakukan laparotomi

16

e. Penanganan Kehamilan Ektopik

Diagnosis and Management of Ectopic Pregnancy. Am Fam Physician. 2014 Jul 1;90(1):34-40.

17

DAFTAR PUSTAKA
1. Pertiwi

Wara.

Pelayanan

Kesehatan

Reproduksi

Terpadu

untuk

mendukung upaya Peningkatan Kesehatan Ibu. Jakarta : Kemnkes RI.


2014.
2. Hadijanto Bantuk. Perdarahan pada Kehamilan Muda. Ilmu Kebidanan. 4 th
Ed. Jakaarta :PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjoho. 2011. p459490.
3. Cahill J David, Swingler Rebecca, Wardle G Peter. Bleeding and Pain in
Early Pregnancy. High Risk Pregnancy Management Options. 4 th Ed. UK :
Elsevier Saunders. 2011. p.57-69.
4. Ford B Holly, Schust Danny J. Recurrent Pregnancy Loss, Etiology,
Diagnosis, and Therapy. Rev Obstet Gynecol. 2009. Spring ;2(2): 76 83.
5. Hill, M.A. Embryology Abnormal Development - Hydatidiform Mole.
Retrieved

August

9,

2016,

from

https://embryology.med.unsw.edu.au/embryology/index.php/Abnormal_De
velopment_-_Hydatidiform_Mole
6. Paputungan Tiara V, Wagey Freddy W., Lengkong Rudy A. Profil
penderita mola hidatidosa di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Jurnal
e-Clinic (eCl). 2016. Volume 4(1).
7. Barash Joshua H, Buchanan Edward M, Hillson Christina. Diagnosis and
Management

of

Ectopic

Pregnancy.

Am

Fam

Physician.

2014 Jul 1;90(1):34-40.


8. Silvalingam Vanitha N, Duncan W Collin, Kirk Emma, Shephard Lucy A,
Horne Andre Q. Diagnosis and Management of ectopic Pregnancy. J Fam
Plann Reprod Health Care. 2011.

18

Anda mungkin juga menyukai