PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit hipertensi pada kehamilan berperan besar dalam morbiditas dan
mortalitas maternal dan perinatal. Hipertensi diperkirakan menjadi komplikasi sekitar 710% dari kejadian kehamilan, dengan setengah sampai duapertiganya didiagnosis
mengalami preeklampsia atau eklampsia (Poole, 2004). Lebih dari satu dasawarsa
terakhir ini, kematian ibu melahirkan menempati urutan utama masalah kesehatan di
Indonesia. Berbagai upaya telah dilakukan tetapi tingkat kematian ibu melahirkan masih
tetap tinggi. Menurut Azwar, angka kematian ibu melahirkan di Indonesia yaitu sebanyak
334 per 100.000 kelahiran hidup. Penyebab kematian ibu melahirkan, sebagian besar
disebabkan oleh pendarahan 40-60%, toksemia gravidarum (preeklampsia dan eklampsia)
30-40% dan infeksi 20-30% (Maryunani dan Yulianingsih, 2009). Kematian ini umumnya
dapat dicegah bila komplikasi kehamilan dan resiko tinggi lainnya dapat dideteksi sejak
dini, kemudian mendapatkan penanganan yang tepat dan adekuat pada saat yang paling
kritis yaitu pada masa sekitar persalinan. Preeklampsia dan eklampsia menempati urutan
kedua penyebab kematian ibu sedangkan yang pertama adalah pendarahan. Oleh karena
itu diagnosis dini preeklampsia yang merupakan tingkat pendahuluan eklampsia, serta
penanganannya perlu segera dilaksanakan untuk menurunkan angka kematian ibu dan
anak (Maryunani dan Yulianingsih, 2009).
Preeklampsia merupakan penyakit hipertensi yang khas dalam kehamilan, yaitu
dengan tekanan darah 140/90 mmHg sesudah 20 minggu masa kehamilan dengan
proteinuria. Preeklampsia berbeda dengan hipertensi kronik. Hipertensi kronik yaitu
terjadi sebelum 20 minggu masa kehamilan. Wanita yang mengalami hipertensi kronik
sebelum hamil dapat berubah menjadi preeklampsia (Dipiro, dkk, 2000).
Menurut Pedoman dan Diagnosis Terapi RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
tahun 2007 obat yang digunakan untuk penanganan preeklampsia berat antaralain
antihipertensi (nifedipin) dan antikejang (magnesium sulfat), sedangkan untuk
preeklampsia ringan digunakan methyldopa (Anonim, 2007). Antihipertensi yaitu untuk
menormalkan tekanan darah sehingga mencegah terjadinya komplikasi penyakit lain
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI
Preeklampsia adalah penyakit hipertensi yang khas dalam kehamilan biasanya timbul
sesudah minggu ke-20 dengan gejala utama hipertensi yang akut pada wanita hamil dan wanita
dalam nifas sedangkan gejala lainnya antara lain edema dan proteinuria. Kadang-kadang hanya
hipertensi dengan proteinuria atau hipertensi dengan edema (Martaadisoebrata, dkk, 2004).
1.2 ETIOLOGI
Etiologi preeklampsia bertambahnya frekuensi preeklampsia dengan bertambahnya usia
kehamilan, penyebab terjadinya perbaikan keadaan penderita setelah janin mati dalam
kandungan, penyebab jarang timbul kembali preeklampsia pada kehamilan berikutnya dan
penyebab timbulnya gejala-gejala seperti hipertensi, edema, proteinuria, kejang dan koma
(Wiknjosastro, 2006). Sedangkan menurut Penyebab timbulnya preeklampsia pada ibu hamil
belum diketahui secara pasti, tetapi pada umumnya disebabkan oleh vasospasme arteriola
(Maryunani, 2009). Faktor risiko yang berkaitan dengan perkembangan preeklampsia : riwayat
keluarga yang pernah mengalami preeklampsia atau eklampsia, penyakit ginjal dan hipertensi
yang sudah ada sebelum hamil dan obesitas (Prawirohardjo, 2008).
Beberapa faktor yang berkaitan dengan terjadinya preeklampsia adalah :
a. Faktor Trofoblast
Semakin banyak jumlah trofoblast semakin besar kemungkina terjadinya Preeklampsia. Ini
terlihat pada kehamilan Gemeli dan Molahidatidosa. Teori ini didukung pula dengan adanya
kenyataan bahwa keadaan preeklampsia membaik setelah plasenta lahir.
b. Faktor Imunologik
Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama dan jarang timbul lagi pada kehamilan
berikutnya. Secara Imunologik dan diterangkan bahwa pada kehamilan pertama
pembentukan Blocking Antibodies terhadap antigen plasenta tidak sempurna, sehingga
timbul respons imun yang tidak menguntungkan terhadap Histikompatibilitas Plasenta. Pada
kehamilan berikutnya, pembentukan Blocking Antibodies akan lebih banyak akibat respos
imunitas pada kehamilan sebelumnya, seperti respons imunisasi.
c. Faktor Hormonal
Penurunan hormon Progesteron menyebabkan penurunan Aldosteron antagonis, sehingga
menimbulkan kenaikan relative Aldoteron yang menyebabkan
sehingga terjadi Hipertensi dan Edema.
d. Faktor Genetik
Menurut Chesley dan Cooper (1986) bahwa Preeklampsia / eklampsia bersifat diturunkan
melalui gen resesif tunggal.2 Beberapa bukti yang menunjukkan peran faktor genetic pada
kejadian Preeklampsia-Eklampsia.
e. Faktor Gizi
Menurut Chesley (1978) bahwa faktor nutrisi
1.3 FATOFISIOLOGI
Pada preeklampsia terjadi spasme pembuluh darah disertai dengan retensi garam dan air.
Pada biopsi ginjal ditemukan spasme hebat arteriola glomerulus. Pada beberapa kasus, lumen
arteriola sedemikian sempitnya sehingga hanya dapat dilalui oleh satu sel darah merah. Jadi
jika semua arteriola dalam tubuh mengalami spasme, maka tekanan darah akan naik sebagai
usaha untuk mengatasi tekanan perifer agar oksigenasi jaringan dapat dicukupi. Sedangkan
kenaikan berat badan dan edema yang disebabkan oleh penimbunan air yang berlebihan
dalam ruangan interstitial belum diketahui sebabnya, mungkin karena retensi air dan garam.
Proteinuria dapat disebabkan oleh spasme arteriola sehingga terjadi perubahan pada
glomerulus (Mochtar, 1998).
1.4 FISIOLOGI KEHAMILAN
Proses kehamilan adalah mata rantai yang berkesinambungan dan terdiri dari ovulasi
pelepasan ovum, terjadi migrasi spermatozoa dan ovum, terjadi konsepsi dan pertumbuhan
zigot, terjadi nidasi (implantasi) pada uterus, pembentukan plasenta, tumbuh kembang hasil
konsepsi sampai aterm :
1. Ovulasi
Ovulasi adalah proses pelepasan ovum yang dipengaruhi oleh system hormonal yang
kompleks.
2. Spermatozo
dibentuk vitelus.
Dalam perjalanan korona radiate makin berkurang dalam zona pelucida. Nutrisi
4. Nidasi
Nidasi adalah masuknya dan tertanamnya hasil konsepsi ke dalam endometrium. Bagianbagian nidasi meliputi :
Pertemuan kedua inti ovum dan spermatozoa membentuk zigot.
Dalam beberapa jam zigot membelah dirinya menjadi dua dan seterusnya.
Bersamaan dengan pembelahan inti, hasil konsepsi terus berjalan ke uterus.
Hasil pembelahan sel memenuhio seluruh ruangan dalam ovum yang besarnya
morula yang kemungkinan berasal dari korona radiata yang menjadi sel trofoblas
Sel trofoblas dalam pertumbuhannya mampu mengeluarkan hormone korionik
2.5 KLASIFIKASI
2.6 KOMPLIKASI
Komplikasi bila tidak ditangani dengan baik maka dapat berkembang menjadi eklampsia
yang mana tidak hanya dapat membahayakan ibunya tetapi juga janin dalam Rahim ibu (Utoma,
1997). Kemungkinan yang terberat adalah terjadinya kematian ibu dan janin, solusio plasentae,
hipofibrinogemia, haemolisis, perdarahan otak , kelainan mata, edema paru, nekrosis hati,
sindroma HELLP, dan kelainan hati (Wiknjosastro, 2006).
Ben-zion Taber (1994) menyebutkan bahwa komplikasi-komplikasi potensial maternal
meliputi Eklampsia, solusio plasenta, gagal ginjal, nekrosis hepar, rupture hepar, DIC, anemia
hemolitik mikroangiopatik, perdarahan otak, edema paru dan pelepasan retina. Sedangkan
komplikasi-komplikasi pada janin meliputi prematuritas, insufisiensi utero-plasental, retardasi
pertumbuhan intrauterine dan kematian janin intrauterine.
2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG
2.8 PENATALAKSANAAN
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian keperawatan merupakan salah satu dari komponen dari proses keperawatan yaitu
suatu usaha yang dilakukan oleh perawat dalam menggali permasalahan dari pasien meliputi
usaha pengumpulan data tentang status kesehatan seorang pasien secara sistematis, menyeluruh,
akurat, singkat dan berkesinambungan.Komponen pengkajian keperawatan secara comprehensif
yang dilaksanakan perawat secara umum meliputi: anamnese pada pasien, keluarga, dan perawat
lain, pemeriksaan kesehatan, pengkajian pemeriksaan diagnostik, serta pengkajian
penatalaksanaan medis. Keahlian dalam melakukan observasi, komunikasi, wawancara, dan
pemeriksaan fisik, sangat penting untuk mewujudkan fase pengkajian proses
keperawatan(Muttaqin,2011).
dikumpulkan, maka perawat harus berkonsultasi dengan perawat yang lebih mengerti dalam
mendokumentasikan data keperawatan, perawat menguraikan perilaku pasien dari pada
memperkirakan atau menginterpretasikan perilaku.
3) Relevan
Pencatatan data yang komprehensif biasanya banyak sekali data yang harus dikumpulkan
sehingga menyita waktu perawat untuk mengidentifikasi. Kondisi yang seperti ini bisa
diantisipasi dengan membuat data secara komprehensif, tetapi singkat dan jelas. Dengan
mencatat data yang relevan sesuai dengan masalah pasien merupakan data fokus terhadap
masalah pasien dan sesuai dengan situasi khusus (Muttaqin, 2011)
Pada dasarnya tujuan pengkajian adalah mengumpulkan data objektif dan subjektif dari pasien,
adapun data yang terkumpul mencakup pasien, keluarga, masyarakat, lingkungan, atau
kebudayaan. (http://in.wikipedia.2011/23/pengkajian-keperawatan./). diakses 23 agustus 2013
pukul 21:00.
a. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan selama pengkajian antara lain (Suara et al, 2010):
1) Memahami secara keseluruhan situasi yang sedang dihadapi oleh pasien dengan cara
memperhatikan kondisi fisik, psikologi, emosi, sosialkultural, dan spiritual yagn bisa
mempengaruhi status kesehatannya.
2) Mengumpulkan semua informasi yang bersangkutan dengan masa lalu, saat ini bahkan
sesuatu yang berpotensi menjadi masalah bagi pasien guna membuat suatu data yang lengkap.
Data yang terkumpul berasal dari perawat-pasien selama berinteraksi dan sumber yang lain.
3) Memahami bahwa pasien adalah sumber informasi primer.
4) Sumber informasi sekunder meliputi anggota keluarga, orang yang berperan penting dan
catatan kesehatan pasien.
b. Metode pengumpulan data meliputi (Suara et al, 2010) :
1) Melakukan interview/wawancara.
2) Riwayat kesehatan/keperawatan
3) Pemeriksaan fisik
4) Mengumpulkan data penunjang hasil laboratorium dan diagnostik lain serta catatan
kesehatan (rekam medik)
2. Diagnosa Keperawatan (Suara et al, 2010)
Diagnosa keperawatan adalah proses menganalisis data subjektif dan objektif yang telah
diperoleh pada tahap pengkajian untuk menegakan diagnosa keperawatan, dalam diagnosa
keperawatan melibatkan proses berpikir kompleks tentang data yang dikumpulkan dari pasien,
keluarga, rekam medik, dan pemberi pelayanan kesehatan yang lain.
The North American Nursing Diagnosis Association (NANDA, 1992) mendefinisikan diagnosa
keperawatan semacam keputusan klinik yang mencakup respon pasien, keluarga, dan respon
komunitas terhadap sesuatu yang berpotensi sebagai masalah kesehatan dalam proses kehidupan,
di mana dalam membuat diagnosa keperawatan dibutuhkan ketrampilan klinik yang baik,
mencakup proses diagnosa keperawatan dan perumusan dalam pembuatan pernyataan
keperawatan.
Proses diagnosa keperawatan dibagi menjadi kelompok interpretasi dan menjamin keakuratan
diagnosa dari proses keperawatan itu sendiri. Perumusan pernyataan diagnosa keperawatan
memiliki beberapa syarat yaitu mempunyai pengetahuan yang dapat membedakan antara sesuatu
yang aktual, risiko, dan potensial dalam diagnosa keperawatan. Komponen diagnosis
keperawatan terdiri dari : Masalah (P), Penyebab (E), dan tanda atau gejala (S) atau masalah dan
penyebab (PE).
a. Rumusan diagnosa keperawatan
Peraturan dalam menulis diagnosa (Suara et al, 2010 ) :
1) Diagnosa aktual (Suara et al, 2010 )
Komponen diagnosa aktual :
PES (Problem + Etologi + tanda dan gejala) atau
PRS (Problem + factor yang berhubungan dengan + tanda dan gejala)
Menggunakan kata penghubung berhubungan dengan.
2) Diagnosa resiko (Suara et al, 2010 )
Komponen diagnosa resiko :
PE (Problem + Etiologi) atau
PR (Problem + factor yang berhubungan dengan)
Menggunakan kata penghubung berhubungan dengan.
3) Diagnosis Keperawatan Kemungkinan
Menurut NANDA adalah pernyataan tentang masalah-masalah yang diduga masih memerlukan
data tambahan, dengan harapan masih diperlukan untuk memastikan adanya tanda dan gejala
factor risiko (Hidayat, 2009).
4) Diagnosis keperawatan Sehat-sejahtera/Wellness
Menurut NANDA diagnosis keperawatn sehat adalah ketentuan klinis mengenai individu,
kelompok, atau masyarakat dalam transisi dari tingkat kesehatan khusus ketingkat kesehatan
yang lebih baik. Dalam menentukan diagnosis keperawatan sehat menunjukan terjadi
peningkatan fungsi kesehatan menjadi fungsi yang positif (Hidayat, 2009).
5) Diagnosis keperawatan sindrom
Menurut NANDA diagnosis keperawatan Sindrom adalah diagnosis keperawatan yang terdiri
dari sekelompok diagnosis keperawtan actual atau risiko tinggi yang didugaakan tampak karena
suatu kejadian atau situasi tetentu (Hidayat, 2009).
3. Intervensi Keperawatan (Suara et al, 2010)
Intervensi keperawatan adalah panduan untuk perilaku spesifik yang diharapkan dari pasien atau
tindakan yang harus dilakukan oleh perawat, Intervensi ini dilakukan untuk membantu pasien
dalam mencapai hasil yang diharapkan.
Intervensi keperawatan harus spesifik dan dinyatakan dengan jelas, pengkualifikasian seperti
bagaimana, kapan, di mana, frekuensi, dan besarnya memberikan isi dari aktivitas yang
direncanakan dan intervensi keperawatan dapat dibagi menjadi dua yaitu mandiri dimana
dilakukan oleh perawat dan kolaboratif yang dimana dilakukan oleh pemberi perawatan lainnya.
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi merupakan langkah keempat dalam tahap proses keperawatan dengan
melaksanakan berbagai strategi keperawatan (tindakan keperawatan) yang telah di rencanakan
dalam rencana tindakan keperawatan. Dalam tahap ini perawat harus mengetahui berbagai hal
diantaranya bahaya-bahaya fisik dan perlindungan pada pasien, tehnik komunikasi, kemampuan
dalam prosedur tindakan, pemahaman tentang hak-hak dari pasien serta dalam memahami
tingkat perkembangan pasien. Dalam pelaksanaan rencana tindakan terdapat dua jenis tindakan,
yaitu tindakan jenis mandiri dan tindakan kolaboratisi. Sebagai profesi, perawat mempunyai
kewenangan dan tanggung jawab dalam menentukan asuhan keperawatan (Hidayat, 2009).
Implementasi tindakan keperawatan dibedakan menjadi tiga kategori yaitu (Asmadi, 2008) :
a. Independent, yaitu suatu kegiatan yang dilaksanakan oleh perawat tanpa petunjuk dari dokter
atau tenaga kesehatan lainnya.
b. Interdependent, yaitu suatu kegiatan yang memerlukan kerja sama dari tenaga kesehatan
lain.
c. Dependen, berhubungan dengan pelaksanaan rencana tindakan medis/instruksi dari tenaga
medis.
Implementasi merupakan tindakan mengimplementasikan tindakan yang telah diidentifikasi
dalam intervensi atau rencana asuhan keperawatan, dalam pengimplementasian ini perawat
harus melewati beberapa proses yaitu :
a. Bekerja sama dengan pasien dalam pelaksanaan tindakan keperawatan.
b. Berkolaborasi dengan profesi kesehatan lain untuk meningkatkan status kesehatan pasien.
c. Melakukan tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah kesehatan pasien.
d. Melakukan supervisi terhadap tenaga pelaksana keperawatan di bawah tanggung jawabnya.
e. Menjadi koordinator pelayanan dan advokasi terhadap pasien untuk mencapai tujuan
kesehatan
f. Menginformasikan kepada pasien tentang status kesehatan dan fasilitas-fasilitas pelayanan
kesehatan yang ada.
g. Memberikan pendidikan pada pasien dan keluarga mengenai konsep, keterampilan asuhan
diri serta membantu pasien memodifikasi lingkungan yang digunakannya
h. Mengkaji ulang dan merevisi pelaksanaan tindakan keperawatan berdasarkan respon pasien.
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan merupakan kegiatan akhir dari protes keperawatan, dimana perawat
menilai hasil yang diharapkan terhadap diri ibu dan menilai sejauh mana masalah ibu dapat
diatasi. Disamping itu, perawat juga memberikan umpan balik atau pengkajian ulang, seandainya
tujuan yang ditetapkan belum tercapai, maka dalam hal ini proses keperawatan dapat
dimodifikasi (Mitayani, 2009).
Jenis evaluasi (Hidayat, 2009) :
a. Evaluasi formatif : evaluasi yang dilakukan saat melakukan intervensi dengan respon segera.
b. Evaluasi sumatif : rekapitulasi dari hasil observasi dan analis status pasien pada waktu
tertentu berdasarkan tujuan yang direncanakan pada tahap perencanaaan.
Evaluasi mengacu kepada penilaian, tahapan, dan perbaikan. Pada tahap ini perawat menemukan
penyebab mengapa suatu proses keperawatan dapat berhasil atau gagal dimana perawat
menemukan reaksi pasien terhadap intervensi keperawatan yang telah diberikan dan menetapkan
apa yang menjadi sasaran dari rencana keperawatan dapat diterima. Dalam melakukan evaluasi
d) Tingkat kesadaran ; penurunan GCS sebagai tanda adanya kelainan pada otak.
e) USG ; untuk mengetahui keadaan janin.
f) NST : untuk mengetahui kesejahteraan janin.
d. Pemeriksaan fisik biologis
Keadaan umum : lemah
Kepala : sakit kepala, wajah edema
Mata : konjungtiva sedikit anemis, edema pada retina
Pencernaan abdomen : nyeri daerah epigastrium, anoreksia, mual dan muntah.
Ekstremitas : edema pada kaki dan tangan juga pada jari-jari.
Sistem persyarafan : hiperrefleksia, klonus pada kaki.
Genitourinaria : oliguria, proteinuria.
c. Analisa data
Analisa data merupakan kegiatan intelektual yang meliputi kegiatan mentabulasi,
mengklasifikasi, mengelompokan, mengkaitkan data, dan akhirnya menarik suatau kesimpulan.
2. Diagnosa Keperawatan (NANDA, 2010-2014)
a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru.
b. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penurunan cardiac out put (COP).
c. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan tekanan osmotik, perubahan
permeabilitas pembuluh darah.
d. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual dan
muntah
e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik
f. Nyeri akut berhubungan dengan peningkatan vaskuler otak.
g. Resiko cedera pada janin berhubungan dengan tidak adekuatnya perfusi darah ke plasenta.
3. Intervensi Keperawatan (NIC & NOC, 2007)
a. Diagnosa keperawatan
Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 kali 24 jam pasien menunjukan
keefektifan pla nafas.
Kriteria hasil: pola nafas efektif dan frekuensi nafas menjadi normal (16-24 kali/menit)
Intervensi:
1) Evaluasi frekuensi pernafasan dan kedalaman nafas
Rasional: untuk mengetahui pola nafas pasien
2) Auskultasi bunyi nafas
Rasional: untuk mengetahui ada tidaknya bunyi nafas tambahan
3) Atur posisi pasien semi fowler
Rasional: merangsang fungsi pernafasan atau ekspansi paru
4) Kolaborasi pemberian O2 sesuai indikasi
Rasional: meningkatkan pengiriman O2 ke paru
b. Diagnosa keperawatan
Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penurunan cardiac out put (COP).
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 60 menit diharapkan tidak terjadi
gangguan perfusi jaringan serebral.
Kriteria hasil: tekanan sistole dan diastole dalam batas normal, dan tidak mengalami nyeri
kepala.
Intervensi:
1) Observasi tanda-tanda vital
Rasional: untuk mengetahui tingkat kegawatan pasien
2) Pantau AGD (Analisa Gas Darah)
Rasional: asidosis yang terjadi dapat menghambat masuknya oksigen pada tingkat sel
3) Monitor adanya diplopia, pandangan kabur, nyeri kepala
Rasional: pandangan kabur dan nyeri kepala merupakan indikasi terjadinya vasospasme
pembuluh darah dan kurangnya suplai O2 ke otak.
4) Kolaborasi pemberian cairan elektrolit melalui parenteral (IV)
Rasional: meminimalkan fluktuasi dalam aliran vaskuler
c. Diagnosa keperawatan
Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan tekanan osmotik, perubahan
permeabilitas pembuluh darah.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 kali 24 jam volume cairan kembali seimbang
Kriteria hasil: terbebas dari edema, tekanan kapiler paru dan tanda-tanda vital dalam batas
normal.
1) Pantau dan catat intake dan output setiap hari.
Rasional: dengan memantau intake dan output diharapkan dapat diketahui adanya keseimbangan
cairan.
2) Pemantauan tanda-tanda vital, catat waktu pengisian kapiler (CRT).
Rasional: dengan memantau tanda-tanda vital dan pengisian kapiler dapat dijadikan pedoman
untuk penggantian cairan atau menilai respon dari kardiovaskuler.
3) Memantau dan menimbang berat badan ibu.
Rasional: dengan memantau berat badan ibu dapat diketahui berat badan yang merupakan
indikator yang tepat untuk menentukan kesimbangan cairan.
4) Observasi keadaan edema.
Rasional: keadaan edema merupakan indikator keadaan cairan dalam tubuh.
5) Berikan diet rendah garam sesuai hasil kolaborasi dengan ahli gizi.
Rasional: diet rendah garam akan mengurangi terjadinya kelebihan cairan.
6) Kaji distensi vena jugularis dan perifer
Rasional: retensi cairan yang berlebihan bisa dimanifestasikan dengan pelebaran vena jugularis
dan edema perifer.
7) Kolaborasi dengan tim medis lainnya dalam pemberian diuretik.
Rasional: diuretik dapat meningkatkan filtrasi glomerulus dan menghambat penyerapan sodium
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran