BEBERAPA fenomena alam dewasa ini telah membuat trauma bangsa Indonesia.
Hampir setiap nyawa yang tinggal di sudut pulau terpencil sekalipun di negeri ini
tidak lepas dari ancaman bencana. Bahkan, bayi-bayi yang masih segar dan belum
bisa membelalakkan tatapan matanya harus turut menjadi bagian dari sasaran
bencana. Seakan, setiap nafas yang kita hembuskan tak dapat luput dari ancaman
bencana yang selalu lebih siaga dari pada manusia.
Sebagian dari kita menganggap bahwa bencana yang melanda hampir di
seluruh sudut negara ini adalah fenomena alamiah. Tragedi mahadahsyat bencana
Tsunami yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 lalu telah meluluh
lantakkan Aceh dan sekitarnya. Belum sampai rekonstruksi korban Tsunami di
Aceh terwujud, gempa bumi menggoyang Yogjakarta dan membumihanguskan
apa yang dilaluinya. Inilah yang dianggap sebagian masyarakat sebagai fenomena
alam. Ketika media mulai jarang memberitakan gempa Yogjakarta, menyusullah
Tsunami di Pangandaran. Tak mau kalah dengan Pangandaran, sekitar 23 Mei
2006 Sidoarjo, Jawa Timur, meluberkan lumpur panas yang kerap disebut
lumpur Lapindo. Tak mau ketinggalan, ibu kota Jakarta memuntahkan air yang
yang akan
menghampiri kita....!!?
Bila semua fenomena kita asumsikan semata karena alam, secara teologis,
kita sudah menyalahkan Tuhan. Benarkah seluruh fenomena alam yang selama
ini menimpa bangsa kita semata-mata karena fenomena alam (baca: Tuhan)?
Jika demikian, kenapa Tuhan melimpahkan bencana pada bangsa
yang
mengagungkan nama-Nya (beragama) ini? Lalu apa yang salah dengan bangsa dan
negara ber-Tuhan ini?
Deretan pertanyaan tersebut menjadi persoalan yang terus diperdebatkan
oleh sebagian besar penduduk negara ini. Dari masyarakat desa sampai perkotaan,
dari mayarakat yang berpendidikan sampai yang tak berpendidikan, dari anak SD
sampai para profesor, dan seterusnya. Demikianlah realitas bangsa yang penuh
dengan tanda tanya dan ketidakpastian. Yang penuh dengan janji dan
ketidakjujuran. Penuh dengan alibi sang elit penguasa serta penindasan terhadap
yang lemah. Bila ini yang terjadi, bukanlah Tuhan yang menghendaki semua
tragedi! Bagi saya, manusialah yang sebenarnya menentukan tragedi ini.
Seorang intelektual Muslim asal Iran, Seyyed
Hossein
Nasr (1994)
merumuskan bahwa dalam setiap agama (khususnya Islam) memuat hikmah yang
ramah terhadap tatanan alam, signifikansi religius, dan kaitan eratnya dengan
setiap fase kehidupan. Semua agama di muka bumi ini menghendaki pelestarian
keanekaragaman hayati. Menjaga pelestarian keanekaragaman hayati adalah
wujud nyata pengabdian seorang hamba pada Tuhannya. Hanya saja, manusialah
yang seringkali menampik pesan Tuhan yang sangat berarti bagi kalangsungan
hidup manusia itu sendiri.
Masih segar tentunya ingatan kita pada tragedi penebangan hutan secara
liar (illegal logging) di Kalimantan dan Riau beberapa waktu lalu yang merugikan
negara milyaran rupiah serta mengancam keseimbangan ekosistem alam.
Eksploitasi besar-besaran terjadi di beberapa daerah yang memiliki sumber daya
alam. Namun, eksplorasi yang eksploitatif tersebut memugar tatanan alam dan
mengakibatkan bencana seperti banjir di beberapa daerah selama musim hujan.
Ketidaktepatan dan kelalaian dalam penanganan tata ruang kota pun telah
mengakibatkan bencana banjir dengan pembuangan sampah yang menyumbat
beberapa pintu kanal air di Jakarta awal tahun 2007 ini (Kompas, 17/2/07).
Demikian juga banjir lumpur di Sidoarjo yang mengutamakan asas keuntungan
perusahaan dan mengabaikan keselamatan ekosistem dan masyarakat yang ada di
sekitarnya. Kejadian tersebut tidak lagi melihat alam sebagai patner melainkan
sebagai obyek yang harus diperas semaksimal mungkin untuk menghasilkan
kekayaan pribadi para elit negara ini.
Alih-alih perbuatan mereka memanfaatkan sumber daya alam, justru yang
terjadi adalah perusakan yang menimbulkan bencana. Kemiskinan, pengangguran,
dan pembodohan terjadi di berbagai daerah akibat keserakahan segelintir kaum
penguasa. Hampir setiap pelanggaran yang dilakukan kaum elit penguasa seolah
menjadi ketetapan mutlak pemerintah. Tak pelak, lembaga penegak hukum yang
seharusnya mampu menyeimbangkan laju pemerintahan yang memihak rakyat
hanya sebagai alat legislasi bagi kekuasaan elit pemerintah.
Apabila penegak hukum berfungsi sebagaimana mestinya, saya optimis
akan terjadi keseimbangan dalam tata pemerintahan yang memihak pada keadilan
dan
kepentingan
rakyat.
Namun
tidak
hanya
lembaga
hukum
yang
keadilan
semakin
sempit.
Dengan
keseimbangan
tatanan
yang
berkepanjangan,
diskriminasi
hukum,
korupsi,
kolusi,
mewujudkan
penuh
mengontrol setiap aktivitas lembaga dan masyarakat dengan penuh rasa tanggung
penting diterapkan di
mengantarkan
masyarakat
Yatsrib
menjadi
masyarakat
yang
pelatihan maupun