Tafsir Fi Zhilalil-Quran III Juz VI : Bagian Akhir An-Nisa & Permulaan AlMaidah
mendirikan sholat. Metode semacam ini banyak terdapat di dalam
ungkapan bahasa Arab dan di dalam Al-Quran, untuk enonjolkan
makna khusus (ikhthishash) dalam bahasa tersebut, karena
mempunyai relevansi khusus. Demikian pula dalam mushaf-mushaf
lain, lafadz ini disebutkan dengan irab nashob, meskipun
disebutkan dengan irab rofa, dalam mushaf Abdullah bin Masud.
Tafsir Fi Zhilalil-Quran III Juz VI : Bagian Akhir An-Nisa & Permulaan AlMaidah
Tafsir Fi Zhilalil-Quran III Juz VI : Bagian Akhir An-Nisa & Permulaan AlMaidah
daerah tertentu, maupun yang datang kepada semua manusia,
Muhammad Rasulullah SAW penutup para nabi.
Masing-masing menerima wahyu dari Allah. Tidak ada yang
membawa ajaran dari dirinya sendiri. Apabila Allah pernah
berbicara secara langsung kepada Musa, maka itu adalah salah satu
bentuk wahyu yang tidak ada seorang pun yang mengetahui
bagaimana terjadinya, karena Al-Quran tidak menjelaskan hal itu
kepada kita. Kita tidak mengetahui melainkan bahwa yang demikian
itu berupa kalam (perkataan). Akan tetapi, bagaimana tabiatnya??
Bagaimana terjadinya??? Dengan indara atau kekuatan apa Musa
menerimanya?? Semua itu merupakan urusan gaib yang Al-Quran
tidak menceritakannya kepada kita. Selain Al-Quran, dalam
masalah ini, adalah dongeng-dongen yang tidak memiliki sandaran
bukti-bukti yang akurat.
Para rasul yang diceritakan Allah kepada rasul-Nya ataupun
yang tidak di ceritakan-Nya, memang sudah dikehendaki oleh
keadilan dan rahmat Allah untuk mengutus mereka kepada hamba hamba-Nya. Adapu tujuannya adalah untuk member kabar gembira
kepada mereka dengan menjanjika kenikmatan dan keridhaan
kepada orang-orang yang beriman dan mematuhinya, dan
memperingatkan mereka dengan menyediakan neraka dan
kemurkaan bagi orang-orang kafir dan durhaka. Sehingga, kelak
mereka tidak mempunyai alasan untuk membantah Allah, sebagai
firman-Nya :
..Agar tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah
diutusnya rasul-rasul itu..
Tafsir Fi Zhilalil-Quran III Juz VI : Bagian Akhir An-Nisa & Permulaan AlMaidah
Kepunyaan Allah-lah argumentasi yang kuat pada jiwa dan alam
semesta. Allah telah memberi manusia akal yang dapat
dipergunakannya untuk memikirkan dan merenungkan petunjukpetunjuk iman di dalam jiwa dan alam semesta. Akan tetapi, karena
kasih sayang Allah kepada hamba - hamba-Nya dan karena kuatnya
dominasi syahwat dan hawa nafsu terhadap perangkat mulia yang
telah diberikan-Nya kepada mereka, yaitu perangkat akal, maka
rahmat dan hikmah-Nya berkehendak mengutus para rasul kepada
mereka untuk memberi kabar gembira dan peringatan,
mengngatkan dan menyadarkan mereka, menyelamatkan fitrah,
dan membebaskan akal mereka dari tekanan hawa nafsu, yang
menghalangi mereka dari petunjuk petunjuk hidayah dan kesan
kesan keimanan pada jiwa dan alam
semesta.
Tafsir Fi Zhilalil-Quran III Juz VI : Bagian Akhir An-Nisa & Permulaan AlMaidah
dan aktivitasnya, sebagaimana menjadi dasar kecenderungannya
kepada akhirat, sesuatu yang lebih besar dan lebih kekal.
Kalau Allah SWT menciptakan manusia dengan segala
potensinya itu mengetahui bahwa akal manusia yang
dianugerahkan-Nya kepada mereka itu sudah mencukupi untuk
menggapai hidayah dan kemaslahatan bagi kehidupan mereka di
dunia dan di akhirat, maka tidak perlu lagi Dia mengutus para rasul
sepanjang sejarah dan tidak perlu Dia menjadikan alasan untuk
membantah hamba hamba-Nya dengan mengutus para rasul
kepada mereka untuk menyampaikan wahyu-Nya. Akan tetapi,
karena Allah mengetahui bahwa akal yang diberikan-Nya kepada
manusia merupakan peralatan yang terbatas kemampuannya untuk
mencapai hidayah dan untukk membuat manhaj kehidupan bagi
manusia guna mewujudkan kemaslahatan yang sebenarnya bagi
kehidupan ini, dan menyelamatkan yang bersangkutan dari akibat
yang buruk didunia dan di akhirat,
maka hikmah dan rahmat-Nya
berkehendak untuk mengutus para rasul kepada manusia, dan tidak
akan menghukum mereka kecuali sesudah sampainya risalah ini :
[ surat Al-Isra ayat 15]
Tafsir Fi Zhilalil-Quran III Juz VI : Bagian Akhir An-Nisa & Permulaan AlMaidah
menegakkan kaidah untuk menjadi landasan manhaj kehidupan
amaliah, yang dapat membawa kepada kebaikan dunia dan akhirat.
Peranan akal bukanlah untuk menghakimi agama dan
ketetapan ketetapannya dalam menentukan sah atau batal dan
diterima atau ditolaknya suatu amal, setelah ditegaskan keabsahan
sumbernya dari Allah. Juga setelah dipahami maksudnya , yakni
petunjuk petunjuk bahasa dan istilah bagi nashnya setelah
diketahui apa yang ditunjukinya , yang mungkin akal belum mampu
menanggapinya. Atau, memang ia tidak ingin menerimanya
sehingga ia layak mendapatkan azab dari Allah atas kekafirannya
setelah mendapatkan penjelasan yang sedemikian rupa. Dengan
demikian, sudah menjadi keharusan bagi seseorang untuk
menerima ketetapan ketetapan agama Allah apabila telah sampai
kepadanya dengan cara yang benar dan apabila akal sudah
memahami maksud dan tujuannya.
Risalah ini berbicara kepada akal untuk menyadarkannya ,
mengarahkannya, dan meletakkannya kepada manhaj penalaran
yang benar baginya. Jadi, bukan dengan pengertian bahwa akal
yang menghukumi sah atau batalnya risalah. Apabila sudah
terdapat nash inilah yang menjadi hukum. Akal manusia harus
menerima, mematuhi, dan melaksanakannya, baik isi petunjuk
petunjuk itu dipahami olehnya maupun dirasakan asing baginya.
Peranan akal dalam hal ini adalah untuk memahami apa yang
dimaksudkan oleh nash dan petunjuk petunjuknya sesuai dengan
makna ungkapannya menurut bahasa dan istilah. Hingga batas ini
selesailah peranan akal itu. Petunjuk petunjuk nash yang sahih
tidak dapat dibatalkan atau ditolak oleh pertimbangan akal. Karena
nash ini dari sisi Allah, sedangkan akal bukanlah Tuhan yang berhak
menghukumi sah atau batal dan diterima atau ditolaknya apa yang
datang dari sisi Allah.
Pada titik persoalan yang rumit ini memang sering terjadi
kekeliruan, baik dari orang orang yang hendak menuhankan akal
manusia dengan menjadikannya hakim terhadap sah atau ketetapan
ketetapan agama, maupun dari orang orang yang hendak
mengabaikan akal dan menafikan peranannya dalam maslah
keimanan dan petunjuk. Jalan tengah yang tepat ialah apa yang
telah kami jelaskan disini, yaitu bahwa risalah berbicara kepada akal
supaya memahami ketetapan ketetapannya. Risalah juga
menggariskan baginya manhaj yang benar untuk menalar dan
Tafsir Fi Zhilalil-Quran III Juz VI : Bagian Akhir An-Nisa & Permulaan AlMaidah
memikirkan ketetapan ketetapan tersebut beserta semua urusan
kehidupan. Apabila akal telah mengerti terhadap ketetapan
ketetapannya, yakni memahami apa yang dimaksudkan oleh nash,
maka tidak boleh ia melampauinya melainkan hanya membenarkan,
mematuhi dan melaksanakannya.
Karena risalah tidak membebani manusia untuk
melaksanakannya, baik hal itu dapat mereka mengerti maupun
tidak. Risalah juga mentolerir akal untuk menguji ketetapan
ketetapannya manakala sudah dimengerti, sesuai dengan
pemahaman nash nashnya. Karena risalah yang datang dari sisi
Allah itu, hanya mengatakan kebenaran dan hanya memerintah
kepada kebaikan.
Manhaj yang benar untuk menerima risalah dari Allah ialah
janganlah akal menentang ketetapan ketetapan agama yang
benar setelah dimngerti maksudnya dengan ketetapan ketetapana
yang telah ada sebelumnya, baik yang didasarkan pada logika,
pengalaman pengalamannya yang terbatas, maupun hasil hasil
percobaannya yang tidak sempurna. Manhaj yang benar ialah
menerima nash nash yang sahih dengan segala ketetapannya,
karena hal ini lebih sahih daripada keputusan keputusan
pribadinya dan manhajnya lebih lurus daripada manhaj pribadinya,
sebelum berpatokan kepada pertimbangan penalaran keagamaan
yang tepat. Oleh karena itu, akal tidak boleh mengkonfirmasikan
ketetapan ketetapan agama apabila sudah sahih dari sisi Allah
dengan keputusan keputusan buatan akal sendiri.
Akal bukanlah Tuhan yang keputusan keputusannya dapat
mengamandemen ketetapan Allah. Akal seseorang boleh
menyanggah pemahaman akal orang lain terhadap nash , dan
memang inilah lapangannya. Hal ini tidak terlarang baginya asalkan
terbuka baginya lapangan untuk melalakukan penakwilan dan
pemahaman yang bermacam macam, menurut prinsip prinsip
yang benar dalam rangka mencari kebenaran. Kebebasan berpikir,
menurut prinsip prinsip yang benar dan berpatokan pada patokan
patoka yang ditetapkan oleh agama sendiri, memang dijamin bagi
akal manusia dalam lapangan yang luas. Dalam hal ini, tidak ada
satupun lembaga, kekuasaan atau perorangan yang berwenang
menghalangi akal untuk memahami maksud nash yang benar dan
aneka macam pelaksanaannya kalau nash itu dapat ditafsiri dengan
bermacam macam penafsiran dalam batas batas patokan yang
benar dan menggunakan manhaj yang benar, yang diambil dari
Tafsir Fi Zhilalil-Quran III Juz VI : Bagian Akhir An-Nisa & Permulaan AlMaidah
ketetapan ketetapan agama. Nah, hal ini juga merupakan makna
dari perkataan bahwa risalah berbicara kepada akal.
Islam memang agama akal. Maksudnya, ia berbicara kepada
akal dengan keputusan keputusan dan ketetapan ketetapannya,
dan tidak memaksakan akal untuk menerima hal hal luar biasa
yang tidak ada peluang baginya melainkan tunduk patuh kepada hal
hal itu. Islam meluruskan manhaj berfikir bagi akal dan
menyerunya untuk merenungkan dalil dalil petunjuk dan hal hal
yang membawa kepada keimanan pada diri dan alam semesta,
untuk membebaskan fitrah dari beban beban tradisi, adat,
kebodohan, dan tekanan tekanan syahwat yang menyesatkan
akal dan fitrah. Islam menyerahkan kepada akal untuk memahami
petunjuk petunjuk nash dan dengan kandungan keputusan
keputusannya, dan islam tidak mewajibkan kepada akal untuk
mengimani apa yang tidak dapat dipahami dan dimengerti
petunjuknya.
Apabila akal telah sampai pada tingkat mengetahui petunjuk
dan memahami ketetapan ketetapan agama, maka tidak ada
alternatif bagi akal kecuali menerimanya dengan sepenuh hati
(beriman) atau tidak mau menerimanya (kafir), sedangkan dia tidak
berwenang menghukumi sah atau batalnya suatu keputusan agama.
Akal juga tidak tidak berwenang untuk menentukan apakah suatu
ketetapan agama dapat diterima atau ditolak, sebagaimana yang
dikatakan oleh orang orang yang hendak menjadikan akal sebagai
Tuhan untuk menerima ketetapan ketetapan agama yang benar
atau untuk menolaknya. Maka, inilah yang disinyalir Allah di dalam
firman-Nya, Apakah kamu beriman kepada sebagian Al-Kiatb dan
mengkuufuri sebagian yang lain ? Lalu ditetapkan oleh-Nya bagi
yang bersikap demikian sebagai kafin dan diancam dengan siksaan.
Apabila Allah sudah menetapkan hakikat mengenai urusan alam
semesta atau menetapkan sesuatu mengenai kewajiban kewajiban
dan larangan larangan, maka apa yang telah ditetapkan Allah itu
wajib diterima dan ditaati oleh orang yang telah sampai hal itu
kepadanya. Tentunya bila ia telah mengerti petunjuk yang
dimaksudkan.
Allah SWT berfirman mengenai tabiat dan sifat alam beserta
isinya :
Tafsir Fi Zhilalil-Quran III Juz VI : Bagian Akhir An-Nisa & Permulaan AlMaidah
Maka
Dia
menciptakan manusia dari tanah kering seperti
tembikar, dan Dia menciptakan jin dari nyala api. [Ar-Rahman:
14-15]
Maka, mengenai semua itu, yang benar ialah apa yang
difirmankan-Nya, dan akal tidak boleh mengatakan, Aku tidak
menjumpai semua ini di dalam keputusan keputusan,
[engetahuan, atau percobaanku. Pasalnya, hasil pencapaian akal
dalam masalah ini bisa salah dan bisa benar. Sedangkan, apa yang
Tafsir Fi Zhilalil-Quran III Juz VI : Bagian Akhir An-Nisa & Permulaan AlMaidah
telah ditetapkan Allah tidak ada kemungkinan lain kecuali
kebenaran.
Kemudian Allah SWT berfirman mengenai manhaj atau tata
kehidupan manusia,
Barangsiapa tidak
memutuskan perkara menurut
apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang
yang kafir. [Al-Maidah : 44]
tidak
mengerjakan
(meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari
pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. [Al-Baqoroh : 278 279]
Dan hendaklah kamu (istri istri nabi) tetap di rumahmu dan
janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang
Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan
ta`atilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud
hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan
membersihkan kamu sebersih-bersihnya. [Al-Ahzab : 33]
Tafsir Fi Zhilalil-Quran III Juz VI : Bagian Akhir An-Nisa & Permulaan AlMaidah
bertentangan dengan perintah Allah, atau yang tidak diizinkan, dan
diisyaratkan Allah untuk manusia. Pasalnya, apa yang dipandang
baik dan maslahat oleh akal mungkin salah dan mungkin benar,
juga mungkin didorong oleh syahwat dan keinginan keinginan.
Sedangkan, apa yang ditetapkan Allah tidak ada kemungkinan lain
kecuali benar dan baik.
Apa yang telah ditetapkan Allah SWT mengenai masalah akidah
dan pandangan hidup atau tata kehidupan, terlepas bagaimana
pandangan akal terhadapnya. Apabila sudah sah nashnya dan qathi
pasti petunjuknya, serta tidak dibatasi untuk waktu tertentu, maka
akal tidak boleh mengatakan, Aku hanya ingin mengambil hal hal
yang berkaitan denga akidah dan syiar syiar ubudiah saja, karena
aku melihat bahwa zaman itu terus berubah yang memerlukan
perubahan sistem dan tata kehidupan. Seandainya Allah
membatasi objek hanya untuk waktu tertentu, maka sudah tentu
nash nash itu tidak akan disebutkan secara mutlak, yang meliputi
masa turunnya nash dan akhir zaman.
Kita harus menjauhkan diri dari sikap menentang Allah dan
menuduh pengetahuan Allah terbatas dan tidak sempurna.
MahaSuci dan MahaTinggi Allah dari apa yang mereka katakan.
Ijtihad itu hanya boleh dilakukan dalam rangka menerapkan nash
umum terhadap kondisi parsial, bukan dalam rangka menerima
prinsip umum atau menolaknya, di bawah pendapat akal siapa pun
dan pada generasi yang mana pun !!
Apa yang kami kemukakan ini sama sekali tidak mengurangi
nilai dan peranan akal bagi kehidupan manusia. Karena lapangan di
hadapannya sangat luas untuk menerapkan nash nash terhadap
kondisi kondisi aktual, sesudah ditetapkan pedoman dengan
manhaj penalaran dan timbangan timbangannya yang digali dari
agama Allah dan ajaran ajarannya yang benar. Juga terbentang
lapangan yang lebih luas lagi dihadapannya untuk mengetahui
tabiat alam semesta beserta potensi potensi, kekuatan, dan
kandungan kandungannya dan bagaimana memanfaatkan apa
yang telah diciptakan oleh Allah untuknya dari alam semesta serta
bagaimana menumbuhkan, mengembangkan, dan meningkatkan
kehidupan dalam batas batas manhaj Allah, bukan seperti yang
dikehendaki oleh syahwat dan hawa nafsu yang dapat menyesatkan
akal dan menutup fitrah dengan timbunan noda dan kotoran !!
Tafsir Fi Zhilalil-Quran III Juz VI : Bagian Akhir An-Nisa & Permulaan AlMaidah
Tafsir Fi Zhilalil-Quran III Juz VI : Bagian Akhir An-Nisa & Permulaan AlMaidah
Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang
berat.
(23). Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al Qur'an kepadamu
(hai
yang
dapat melindungiku dari (azab)
Allah dan sekali-kali tiada
akan memperoleh tempat
berlindung selain daripada-Nya". (23). Akan tetapi (aku hanya)
Tafsir Fi Zhilalil-Quran III Juz VI : Bagian Akhir An-Nisa & Permulaan AlMaidah
Sungguh merupakan urusan yang sangat besar. Yaitu, urusan
kemerdekaan, urusan kehidupan, dan kematian, urusan
kebahagiaan, dan kesengsaraan, dan urusan pahala dan siksaan
manusia. Mungkin ketika telah sampai risalah kepadanya lantas
mereka menerima dan mengikutinya, sehingga mereka
mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Mungkin risalah
itu sampai kepada mereka, tetapi mereka menolak dan
membuangnya, sehingga celakalah mereka di dunia dan di akhirat.
Mungkin juga risalah itu tidak sampai kepada mereka sehingga
mereka dapat beralasan kepada Tuhannya. Tangung jawab
kesengsaraan dan kesesatannya di dunia bergantung di pundak
orang yang ditugasi untuk menyampaikan risalah, tetapi dia tidak
menyampaikannya.
Para rasul Allah telah menunaikan amanat dan menyampaikan
risalah. Mereka menghadap Tuhan dengan keadaan telah bersih dari
beban tugas yang berat itu. Mereka telah menyampaikan risalah
dengan lisan, dengan memberikan keteladanan dalam perbuatan
nyata, dan dengan perjuangan yang sungguh sungguh siang dan
malam untuk menghilangkan segala hambatan dan rintangan, baik
berupa kesamar samarang yang menggoncangkan pikiran dan
kesesatan kesesatan yang tampak indah di pandang, maupun
berupa kekuatan kekuatan kezaliman yang senantiasa
menghalang halangi manusa dari dakwah dan memfitnah mereka
dalam urusan agama. Hal seperti ini dialami oleh Rasulullah SAW.
Sebagai penutup para Nabi, penyampai wahyu yang terakhir, dan
pembawa risalah yang pamungkas. Beliau tidak cukup
menghilangkan hambatan hambatannya itu dengan lisannya saja,
melainkan juga dengan perilaku dan tindakan, Sehingga tidak ada
fitnah lagi, dan agama itu hanya milik Allah.
Akan tetapi, tugas berat itu kini beralih ke atas pundak orang
orang sesudah beliau, yaitu orang orang yang beriman kepada
risalah beliau. Disana ada generasi generasi yang terus
berdatangan sepeninggal Nabi SAW. Dengan silih berganti. Mereka
tidak dapat lepas dari tanggung jawab untuk menegakkan hujjah
Allah kepada manusia, dan tanggung jawab menyelamatkan
manusia dari azab akhirat dan kesengsaraan dunia. Semua itu tidak
dapat dicapai kecuali dengan menyampaikan dan menunaikan
risalah sesuai cara Rasulullah SAW. Mennyampaikan dan
menunaikannya. Karena risalah adalah risalah dan manusia adalah
manusia, sedang disana ada kesesatan kesesatan, hawa nafsu,
syubhat syubhat, dan syahwat. Di sana juga ada kekuatan
Tafsir Fi Zhilalil-Quran III Juz VI : Bagian Akhir An-Nisa & Permulaan AlMaidah
kekuatan yang sombong dan zalim, yang menghalang halangi
manusia dari dakwah dan memfitnah merka dalam urusan agama
dengan melakukan penyesatan yang dilakukan dengan
menggunakan kekuatannya. Sikap dan hambatan hambatannya
sama. Manusia adalah tetap manusia juga !!
Risalah harus disampaikan dan tunaikan. Disampaikan dengan
menjelaskan kepada manusia disertai perbuatan nyata sehingga
orang orang yang menyampaikan risalah itu menjadi terjemahan
hidup yang realistis dari apa yang mereka sampaikan. Juga
disampaikan dengan menghilangkanhambatan - hambatan yang
merintangi jalan dakwah dan memfitnah manusia dengan kebatilan
dan kekuatannya. Kalau semua ini tidak dilaksanakan, berarti tidak
ada penyampaian risalah.
Ini adalah kewajiban yang tidak ada alasan untuk melepaskan
diri darinya. Kalau tidak dilaksanankan, maka akan menimbulkan
konsekuensi yang berat, yaitu tersesatnya semua manusia. Juga
akan menimbulkan kesengsaraan bagi mereka di dunia dan tidak
tegaknya hujjah Allah atas mereka di akhirat !!
Maka siapakah gerangan yang akan meremehkan tanggung
jawab yang dapat meretakkan punggung, menggetarkan tulang
rusuk dan menggoncangkan persendian in ???
Orang yang mengaku dirinya muslim harus menyampaikan
dan menunaikan tugas ini. Kalau tidak, maka tidak ada jaminan
keselamatan baginya di dunia dan akhirat. Kalau seseorang
menyatakan dirinya muslim tetapi tidak mau menyampaikan dan
menunaikan risalah, apapun bentuknya penyampaian dan
penunaiannya, bereati dia memberikan kesaksian yang
bertentangan dengan islam yang diakui sebagai agamanya itu,
bukan kesaksian akan kebenaran islam, Allah SWT berfirman :
[ surat al-baqoroh ayat 143]
Tafsir Fi Zhilalil-Quran III Juz VI : Bagian Akhir An-Nisa & Permulaan AlMaidah
mengaplikasikan Islam dalam semua aspek kehidupannya.
Kesaksiannya berujung dengan ijtihad untuk menghilangkan
kendala kendala yang menyesatkan manusia dan memfitnahnya,
apapun bentuk dan corak kendala itu. Kalau di dalam melaksanakan
hal itu dia gugur, maka dia menjadi syahid yang telah
menunaikan kesaksiannya untuk agamanya dan menghadap
Tuhannya. Hanya yang demikian itu sajalah orang orang yang
mati syahid.
Tafsir Fi Zhilalil-Quran III Juz VI : Bagian Akhir An-Nisa & Permulaan AlMaidah
Tetapi, Dia hanya menyerahkan kepada akala bagaimana ia
menerapkan manhaj kehidupan yang telah dibuat Allah untuknya
itu. Kemudian dalam bidang bidang lain yan g luas, akal berkreasi
dan berinovasi untuk mengubah dan menguraikannya menjadi
begini dan begitu dengan menggunakan bahan bahan yang telah
diciptakan Allah untuk manusia sebagai makhluk berakal yang bisa
salah dan bisa benar.
Kita berhenti di depan besarnya keadilan yang mentolerir
manusia untuk membantah Allah SWT, seandainya Dia tidak
mengutus para rasul untuk memberikan kabar gembira dan
eringatan, disamping telah disediakan-Nya alam semesta sebagai
kitab terbuka yang berupa wujud dan jiwa manusia penuh dengan
ayat yang dapat menjadi saksi atas keberadaan, keesaan,
pengaturan, rencana, kekuasaan dan pengetahuan Sang Maha
Pencipta. Dipenuhinya fitrah dengan kerinduan dan keinginan untuk
berhubungan dengan Penciptanya dan tunduk bersimpuh di
hadapan-Nya. Juga adanya keserasian, respon dan tarik menarik
antara fitrah dan indikasi indikasi adanya Sang Mahah Pencipta
bagi alam semesta dan jiwa manusia. Selain itu, ditambah pula
dengan karunia akal yang berpotensi untuk menghitung kesaksian
kesaksian dan menarik kesimpulan.
Akan tetapi, karena Allah SWT mengetahui unsur unsur
kelemahan pada kekuatan kekuatan ini yang dapat menjadikan
potensi tersebut terabaikan dan mengambil keputusan secara
keliru, maka Allah mentolerir manusia dengan argumentasi
kealaman,fitrah, dan akal untuk membantah-Nya. Tetapi, hanya jika
Dia belum mengutus rasul rasul kepada mereka untuk
menyelamatkan semua potensi itu dari sesuatu yang dapat saja
mengotorinya, dan untuk membuat patokan dengan timbangan
kebenaran Illahi yang tercermin di dalam risalah. Sehingga, hukum
hukum yang digali oleh potensi dirinya menjadi benar apabila
konsisten diatas pedoman manhaj Illahi. Nah hanya denga itu
sajalah mereka harus mengakui, menaati, dan mengikuti. Jika tidak,
maka gugurlah argumentasinya untuk membantah Allah, dan dia
berhak mendapat siksa.
Kita berhenti didepan keagungan pemeliharaan, karunia,
rahmat, d an kebaikan Allah terhadap makhluk yang dimuliakan dan
di pilih-Nya ini, yang diketahui-Nya memiliki kelemahan dan
kekurangan, lantas diserahi kerjaan yang luas untuk ,menjadi
khalifah di muka bumi. Kekhalifahan ini bagi manusia merupakan
Tafsir Fi Zhilalil-Quran III Juz VI : Bagian Akhir An-Nisa & Permulaan AlMaidah
kerajaan yang sanagat luas sekali. Meskipun didalam kerajaan Allah
ia hanya sebutir atom yang berada dalam genggaman-Nya, ia tidak
lepas dari kekuasaan-Nya yang Agung.
Pemeliharaan, karunia, rahmat, dan kebaikan-Nya menghendaki
untuk tidak menyerahkan manusia kepada fitrah yang telah
diberikan kepadanya untuk jadi pembimbing dan penunjuk jalan,
karena cahayanya dapat saja redup dan tidak pula menyerahkannya
kepada akal untuk menjadi pembimbing. Dan anugrah jalan
hidupnya, karena akal itu bisa saja tersesat. Oleh karena itu, Tuhan
memberinya karunia dengan mengutus para rasul yang datang silih
berganti. Akan tetapi, ada saja manusia yang mendustakan dan
menentang. Namun demikian, Dia tidak begitu saja menghukum
mereka karena kesalahan dan dosa dosanya itu, tidak menahan
kebaikan dan karunia karunia-Nya, dan tidak pula menghentikan
pemberian petunjuk-Nya. Dia tidak menghukumnya dengan
menjatuhkan siksaan di dunia atau di akhirat sehingga risalah itu
sampai padanya, kecuali bila ia menolak dan mengingkari, lalu mati
dalam kekafiran tanpa sempat bertaubat.
Adalah suatu hal yang mengherankan bila pada.. .. .. .. .. .. .. .. ..
.. .. .. .. .. .. .. .. ..